Pleurodesis adalah penyatuan pleura viseralis dengan parietalis baik secara
kimiawi, mineral ataupun mekanik, secara permanen untuk mencegah akumulasi
cairan maupun udara dalam rongga pleura. Tindakan tersebut biasanya diindikasikan untuk efusi pleura maligna dan pneumotoraks spontan. Pemilihan teknik yang tepat, agen sklerosis, kriteria pemilihan pasien, serta evaluasi hasil tindakan merupakan hal yang sering diperdebatkan. Hal itu menyebabkan belum didapat konsensus yang disepakati para ahli di dunia tentang prosedur ini. Meskipun demikian, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa rekomendasi dan hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan pleurodesis.7 Secara umum, tujuan dilakukannya pleurodesis adalah untuk mencegah berulangnya efusi berulang (terutama bila terjadi dengan cepat), menghindari torakosintesis berikutnya dan menghindari diperlukannya insersi chest tube berulang, serta menghindari morbiditas yang berkaitan dengan efusi pleura atau pneumotoraks berulang (trapped lung, atelektasis, pneumonia, insufisiensi respirasi, tension pneumothorax). Pleurodesis merupakan terapi simptomatis jangka panjang serta diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup dan aktivitas kehidupan sehari-hari, sehingga pleurodesis dapat dilakukan untuk terapi paliatif penderita efusi pleura maligna.7 Bila pleurodesis gagal, perlu dipertimbangkan untuk melakukan tindakan alternatif seperti pleurotomi operatif, pemasangan shunt pleuroperitoneal, atau dengan drainase torakostomi menggunakan kateter dan kantung.7 Pleurodesis pada Keadaan Benigna Pleurodesis pada kasus pneumotoraks7 Pendekatan pada pasien dengan pneumotoraks spontan meliputi : 1. Insidensi yang relatif tinggi pada pasien usia muda, sehingga pleurodesis dapat diandalkan serta masih memungkinkan untuk dilakukannya torakotomi pada masa selanjutnya (misalnya untuk reseksi kanker paru, transplantasi paru, dan sebagainya). 2. Ruptur bullae dan blebs membutuhkan intervensi khusus untuk mencegah rekurensi. 3. Permukaan mesotelial pleura yang sebagian besar masih normal memungkinkan tingkat keberhasilan pleurodesis yang lebih baik walaupun membutuhkan dosis analgesik yang lebih tinggi. Selain itu, respons yang adekuat diperoleh dapat dengan dosis agen sklerosis yang lebih rendah. Tujuan utama pada penatalaksanaan pneumotorak adalah pengembangan paru yang sempurna. Pada sebagian kasus, hal tersebut dapat diatasi dengan drainase pleura atau Water Sealed Drainage (WSD), namun angka rekurensi pada teknik ini cukup tinggi sehingga penyatuan kedua lapisan pleura perlu dipertimbangkan untuk menekan angka rekurensi tersebut. Meskipun demikian, pada pasien usia muda, penggunaan talc pleurodesis masih kontroversial karena potensi menimbulkan komplikasi jika dilakukan pembedahan toraks di kemudian hari. Walaupun relatif aman, komplikasi jangka panjang penggunaan talk pada kasus pneumotorak belum dipahami sepenuhnya, sehingga sebagian ahli tetap menganjurkan terapi konservatif sebelum melakukan tindakan yang invasif.7 Pada pasien pneumotorak, dosis analgesik dan titrasi dosis agen sklerosis perlu diperhatikan dengan baik karena rasa nyerinya lebih berat dibandingkan rasa nyeri pada pasien keganasan. Dosis talk sebaiknya tidak lebih dari 3-4 g (sekitar 5-6 ìL bubuk talk kering).7 Pneumotoraks pada Pasien AIDS7 Pneumotoraks spontan sering terjadi pada pasien AIDS dengan pneumocystic pneumonia oleh infeksi Pneumocystis jiroveci. Peningkatkan risiko terjadinya pneumotorak terdapat pada pasien dengan riwayat kebiasaan merokok, penggunaan pentamidin aerosol, serta ditemukannya pneumatoceles pada rontgen dada. Pada kasus-kasus tersebut, pleurodesis kimiawi perlu dipertimbangkan. Pneumotorak pada Pasien Fibrosis Kistik7 Pada pasien fibrosis kistik terdapat tendensi untuk terjadinya pneumotorak bilateral. Hal tersebut membutuhkan manajemen khusus dan mungkin merupakan kandidat untuk transplantasi paru. Penggunaan WSD dan/atau suction dapat dilakukan untuk beberapa hari. Selanjutnya mungkin diperlukan video-assisted thoracotomy surgery (VATS) dengan bulektomi serta pleurodesis apikal, jika terdapat kebocoran udara yang berkesinambungan. Tindakan itu dianggap cukup efektif dan masih memungkinkan untuk dilakukannya torakotomi di kemudian hari. Pneumotorak pada Efusi Pleura Benigna7 Pada efusi pleura tanpa keganasan, pleurodesis dapat dilakukan dengan syarat: 1. Keadaan efusi hanya bersifat simptomatik 2. Tidak terdapat trapped lung 3. Terapi alternatif lainnya telah dilakukan dan gagal. Keadaan tersebut dapat ditemui pada gagal jantung, sirosis hati, sindrom nefrotik, chylothorax, atau lupus erimatosus sistemik. Meskipun demikian, indikasi ini tidak berlaku luas dan sebaiknya dilakukan setelah eksplorasi dengan torakoskopik rongga pleura. Pleurodesis pada efusi akibat gagal jantung biasanya gagal. Efusi pleura pada sirosis hepatik sulit dikontrol karena hubungan rongga pleura dengan rongga abdomen. Pada sindrom nefrotik, efusi pleura dikaitkan dengan edema paru luas akibat hipoproteinemia berat sehingga kebocoran pro-tein ke rongga pleura setelah pleurodesis masih mungkin terjadi. Keberhasilan pleurodesis pada chyclothorax mem-butuhkan aliran chyle melalui duktus torasikus yang minimal menggunakan diet khusus atau hiperalimentasi intravena. Kontraindikasi Tidak ada kontraindikasi absolut untuk pleurodesis.7 Meskipun demikian, perlu dipertimbangkan kemungkinan tingkat keberhasilan prosedur pada pasien serta risiko dilakukannya prosedur agar pasien mendapat manfaat opti-mal dari tindakan yang dilakukan. Beberapa keadaan yang dapat dianggap sebagai kontraindikasi relatif pleurodesis meliputi:7 1. Pasien dengan perkiraan kesintasan < 3 bulan 2. Tidak ada gejala yang ditimbulkan oleh efusi pleura 3. Pasien tertentu yang masih mungkin membaik dengan terapi sistemik (kanker mammae, dll) 4. Pasien yang menolak dirawat di rumah sakit atau keberatan terhadap rasa tidak nyaman di dada karena slang torakostomi 5. Pasien dengan reekspansi paru yang tidak sempurna setelah pengeluaran semua cairan pleura (trapped lung) Teknik dan Bahan7 Aspek Mekanis Untuk menghasilkan perlekatan antara lapisan pleura parietal dengan pleura viseralis diperlukan evakuasi udara dan cairan secara sempurna. Obstruksi oleh clots dapat dicegah dengan penggunaan chest tube. Penggunaan chest tube yang dipasang sebelum tindakan dilakukan serta me-ninggalkannya selama beberapa waktu (untuk monitoring pasca tindakan) dapat meningkatkan tingkat keber- hasilan. Aspek Biologis Agar terjadi perlekatan yang sempurna, permukaan pleura harus teriritasi baik secara mekanik maupun dengan pemberian agen sklerosis. Selain itu, telah berkembang konsep baru yaitu peran fungsional respons mesotelium terhadap stimulus sklerosis. Pemilihan Agen Sklerosis Sejak tahun 1935 telah diketahui bahwa aplikasi talk pada rongga pleura mampu memicu terjadinya adhesi. Selain itu, juga telah dikenal lebih dari 30 agen sklerosis lainnya untuk prosedur pleurodesis. Walaupun demikian, talk telah terbukti paling efektif dan murah untuk pleurodesis. Tetrasiklin HCl: Efektivitas tetrasiklin bervariasi antara 45-77% dengan angka rekurensi yang cukup tinggi. Penggunaanya mem-butuhkan analgesik dosis tinggi. Sekarang tetrasiklin parenteral sudah tidak diproduksi lagi sehingga sekarang sudah tidak digunakan. Doksisiklin: Rerata nilai efektivitas doksisiklin 72%, namun peng-gunaannya membutuhkan dosis ulangan, seringkali lebih dari 2 minggu. Minosiklin: Juga merupakan turunan tetrasiklin yang diharapkan dapat digunakan sebagai pengganti. Angka keberhasilan yang dicapai rata-rata 86%. Minosiklin pada dosis pleuro- desis dapat menimbulkan gejala vestibular dan meningkatkan kejadian hemotorak pasca tindakan. Bleomisin: Karena mahal dan diabsorbsi secara sistemik (menim-bulkan risiko toksik) penggunaannya tidak luas. Kuinakrin: Banyak digunakan di Skandinavia, kuinakrin dapat menimbulkan reaksi toksik berat pada susunan saraf pusat karena dibutuhkan dalam dosis besar. Talk: Angka keberhasilan penggunaan talk pada pleurodesis mencapai 91%, terutama bila melalui torakoskopi.2 Pleurodesis talk dengan torakoskopik dianggap paling efektif diban-dingkan dengan metode lain karena mampu memastikan drainase cairan sempurna serta distribusi yang merata di seluruh permukaan pleura. Penggunaan talk tidak membu-tuhkan anestesia umum ataupun intubasi trakea, namun perlu melakuan anestesia lokal serta parenteral dengan sangat hati-hati. Pada penggunaan talk, komplikasi yang telah dilaporkan meliputi nyeri, demam ringan (berhubungan dengan proses inflamasi yang terjadi), gagal napas akut, pneumonitis, dan gagal napas dapat terjadi pada penggunaan dosis tinggi (10g). Persiapan pasien7 1. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga, indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul, 2. Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menan-datangani surat ijin tindakan. 3. Foto toraks dilakukan sebelum pleurodesis untuk memas-tikan bahwa paru-paru telah mengembang sepenuhnya. Mediastinum dilihat untuk menilai tekanan pleura di sisi efusi dan kontra lateral, 4. Bila memungkinkan dilakukan bronkoskopi sebelum pleurodesis utnuk menilai adakah obstruksi di bronkus yang memerlukan radioterapi atau terapi laser. 5. Anamnesis dan pemeriksaan fisik ulang 6. Dilakukan pemeriksaan hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu) 7. Hasil laboratorium dilihat ulang. 8. Bila belum terpasang, insersi chest tube. Semua cairan pleura dibiarkan keluar sampai habis, atau produksi cairan maksimal 100 cc per 24 jam. Idealnya slang berada pada posisi posterio-inferior Persiapan alat dan bahan7 Alat-alat: - Klem chest tube 2 buah - Catheter tip syringe (60 ml) 1 buah - Mangkuk steril 1 buah - Sarung tangan steril - Drape/duk steril - Kassa steril Bahan-bahan: - Larutan povidon-iodine, - 10 ampul lidokain 2% - 1 ampul pethidin 50 mg - cairan NaCl 0,9% 2. Bahan sclerosing (salah satu): - Agen sitotoksik: bleomisin 40-80 unit, atau mitoksantron 30 mg (20mg/m2), dicampur dengan 30-100 ml NaCl 0,9%, - Tetrasiklin dan turunannya: tetrasiklin 1000 mg (35 mg/kgBB) atau minosiklin 300 mg (7 mg/kgBB) atau doksisiklin 500-1000 mg, dicampur dengan 30-100 ml NaCl 0,9% dan 20 ml lidokain 2% - Talk: 3-10 g bubuk talk steril dilarutkan dalam 100 ml NaCl 9%. Talk disterilkan dengan radiasi sigma atau dimasukkan dalam autoclave dengan suku 270°F. Bubuk dimasukkan dalam kolf NaCL 0,9%, dikocok, lalu dituang ke dalam mangkuk steril. Prosedur Tindakan:7 1. Tindakan dilakukan di ruangan pasien 2. Dipasang jalur infus NaCl 0,9% 3. Disiapkan O2 4. Posisi pasien setengah lateral dekubitus pada sisi kon-tralateral (sisi yang ada chest tube berada di atas), tempat-kan handuk di antara pasien dan tempat tidur. 5. Pethidin 50 mg IM, 15-30 menit sebelum memasukkan zat pleurodesis. 6. Chest tube di-klem dengan 2 klem, lalu dilepaskan dari adaptor/WSD 7. Klem dibuka sesaat, agar paru sedikit kolaps dalam rongga pleura 8. 20 ml lidokain 2% diinjeksikan melalui chest tube, kemudian klem kembali dipasang. Posisi pasien diubah-ubah agar lidokain merata di seluruh permukaan pelura 9. Dengan menggunakan teknik steril, agen sclerosing dicampur dengan larutan saline di mangkuk steril. Aspirasi campuran dengan syringe. 10. Syringe dipasangkan pada chest tube, kedua klem dibuka, larutan diinjeksikan melalui chest tube. Bilas dengan NaCl 0,9%. 11. Pasien diminta bernapas beberapa kali agar larutan tertarik ke rongga pleura 12. Klem segera dipasangkan kembali dan chest tube dihubungkan dengan adaptor WSD 13. Hindari suction negatif selama 2 jam setelah pleurodesis. Posisi tubuh pasien diubah-ubah (supine, dekubitus la-teral kanan-kiri) selama 2 jam, lalu klem dicabut. Rong- ga pleura dihubungkan dengan suction bertekanan -20 cm H2O. Monitoring pasca tindakan: 1. Dilakukan foto toraks AP ulang untuk meyakinkan re-ekspansi paru, bila perlu setiap hari 2. Awasi tanda vital 3. Monitor drainase chest tube harian 4. Monitor kebocoran udara 5. Perban diganti tiap 48 jam 6. Kendalikan nyeri dengan analgetik 7. Bila perlu spirometri insentif 8. Mobilisasi bertahap, cegah thrombosis vena dalam 9. Pertimbangkan mencabut chest tube bila drainase pleura harian < 100 ml atau tidak terlihat lagi fluktuasi pada botol WSD. Komplikasi yang mungkin timbul meliputi7 1. Nyeri 2. Takikardia, takipnea, pneumonitis, atau gagal napas (terutama setelah pemberian slurry talc), edema paru reekspansi. Umumnya keadaan ini bersifat reversibel. 3. Demam. Biasanya berkaitan dengan pleuritis, hilang dalam <48 jam 4. Ekspansi paru inkomplit dan partially trapped lung 5. Reaksi terhadap obat 6. Syok neurogenik