Makalah Kepemimpinan 17110197
Makalah Kepemimpinan 17110197
PENDAHULUAN
Di antara banyak negara di dunia ini, tidak ada satupun negara yang memiliki
keanekaragaman keyakinan dan budaya, ras dan etnis, seperti Indonesia. Dilihat dari
sukubangsanya saja, terdapat kurang lebih 700 suku bangsa yang ada di nusantara. Dengan
demikian kunci tegak berdirinya negara ini adalah persatuan dari seluruh kemajemukan yang
ada. Sebaliknya, kunci meruntuhkan negara ini adalah mencegah potensi persatuan dari seluruh
kemajemukan tersebut. Sejak lahir, siapapun manusia yang ada di nusantara harus sadar
betul tentang hal ini.
Recht und Freiheit yang memiliki arti kesatuan dan keadilan dan kemerdekaan.
Argentina, En Unión y Libertad (dalam persatuan dan kemerdekaan). Bolivia, La Unión es
la Fuerza (persatuan adalah kekuatan). Malaysia, Bersekutu Bertambah Mutu (bersatu menjadi
kuat). Dan masih banyak lagi negara yang memandang kunci tegaknya suatu negara adalah
persatuan.
Pengalaman Indonesia pun tidak jauh berbeda dengan negara-negara tersebut. Para
pemimpin Indonesia memandang bahwa persatuan adalah kunci maju-mundurnya kemajuan
bangsa. Oleh karena itu, dikutiplah sepenggal kalimat dari kitab Sutasoma karangan Empu
Tantular: “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda namun tetap satu jua.
Semboyan inilah spirit yang mendorong para pemimpin bangsa dari ujung timur hingga barat
untuk menciptakan suatu asas yang dapat diterima secara bersama-sama. Dari dorongan
semangat inilah lahir Pancasila. Tanpa Pancasila, sangat mungkin terjadi, tidak ada Indonesia
merdeka.
Namun Pancasila semakin hari mulai kehilangan elan vitalnya. Bukan karena ia tidak
memiliki makna, melainkan karena ia tidak dipelajari dan dihayati. Tidak sedikit
masyarakat Indonesia yang apriori terhadap Pancasila. Belum mempelajari sudah tidak suka.
Ketidaksukaan terhadap Pancasila membuka masuknya ideologi lain yang merusak masuk ke
Indonesia. Ideologi kapitalisme liberal telah masuk dan menimbulkan efek kesengsaraan
yang dahsyat di Indonesia. Tapi masih saja banyak yang belum sadar bahwa kesengsaraan
ini adalah efek lanjutan dari sikap kita tidak mempelajari Pancasila.
Dari latar belakang inilah Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan UMP didirikan.
Di lembaga ini, Pancasila tidak hanya ideologi yang ditempatkan dalam konteks politik saja.
Lebih dari itu, Pancasila juga ditempatkan dalam konteks ilmu. Hal ini paling tidak menyimpan
2 pengertian. Pengertian pertama, Pancasila ditempatkan sebagai objek kajian. Sedangkan
pengertian kedua, Pancasila dilekatkan dalam tubuh ilmu pengetahuan. Mengingat
Pancasila adalah ideologi maka menjelaskan pengertian kedua lebih problematik daripada
yang pertama.
Kalau dilihat dalam pengertian pertama, sudah banyak ilmuwan yang mencoba untuk
melihat Pancasila sebagai objek kajian. Karya mengagumkan yang paling terakhir terbit
barangkali adalah Negara Paripurna yang ditulis oleh Yudi Latif. Namun dilihat dalam
pengertian kedua, melekatkan Pancasila dalam ilmu pengetahuan pasti mengundang banyak
perdebatan. Sebab ada pendapat bahwa menyatukan ideologi dengan ilmu pengetahuan haram
hukumnya. Namun jika ditelusuri lebih jauh, pendapat itu sendiri masih dalam perdebatan yang
belum berakhir.
B. SUBSTANSI KAJIAN
a. Kepemimpinan Pancasila
Pancasila merupakan inti dari karakter bangsa Indonesia. Pancasila dapat
disebut sebagai reduksi nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila
merupakan norma dasar dan dasar negara Indonesia. Pancasila merupakan sebuah
konsepsi dan cita-cita bangsa Indonesia. Soekarno (1989:64) mengemukakan arus
sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu
konsepsi dan cita-cita, jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan citacita
itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya. Pentingnya
cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa, dipertegas oleh
Gardner yang berpendapat no nation can achieve greatness unless it believes in
something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great
civilization (Latif, 2011:42). Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran
kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu yang dipercayainya itu
memiliki dimensi- dimensi moral guna menopang peradaban besar.
Kepemimpinan Pancasila berarti kepemimpinan yang mengacu kepada sila-
sila Pancasila. Seorang pemimpin berbagai level dan bidang harus mengacu kepada
sila-sila Pancasila. Seorang pemimpin yang berjiwa Pancasila selalu berupaya
menerapkan fungsi kepemimpinannya dengan berlandaskan pada nilai-nilai
Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang diterapkan oleh seorang pemimpin, pada
nantinya akan diinternalisasi kepada segenap bawahannya. Nilai-nilai Pancasila
menjadi parameter dalam berperilaku setiap warga negara. Nilai-nilai Pancasila
menjadi seperangkat moral dan etika bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan (2013:vi) menyatakan bahwa nilai-
nilai Pancasila dari segi implementasi terdiri atas: (1) nilai dasar; (2) nilai
instrumental; dan (3) nilai praksis.
Nilai dasar terdiri atas nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai Kemanusiaan
yang adil dan beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai instrumental merupakan penjelasan dari
nilai dasar, dengan kata lain semua perangkat perundang-undangan haruslah
merupakan penjabaran dari nilai-nilai dasar Pancasila yang terdapat pada
pembukaan dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945. Para penyusun
peraturan perundang-undangan (legal drafter) di lembaga-lembaga legislatif,
eksekutif, dan yudikatif dari tingkat pusat hingga daerah adalah orang-orang yang
bertugas melaksanakan penjabaran nilai dasar Pancasila menjadi nilai-nilai
instrumental. Jika seluruh warga bangsa taat asas pada nilai-nilai instrumental, taat
pada semua peraturan perundang-undangan yang betul-betul merupakan
penjabaran dari nilai dasar Pancasila, maka sesungguhnya nilai praksis Pancasila
telah wujud pada amaliyah setiap warga.
Jika mengacu pada sila-sila Pancasila, maka seorang pemimpin yang
berlandaskan Pancasila harus menerapkan sila-sila Pancasila. Hal senada juga
dikemukakan oleh Tandiasa (2015) yang menyatakan kepemimpinan Pancasila
adalah kepemimpinan yang membawa masyarakat dalam kesadaran bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Kepemimpinan Pancasila berpedoman pada nilai-nilai Pancasila dan merupakan
kriteria sosok pemimpin bangsa Indonesia. Hal ini dipertegas oleh Sutrisno
(2013:4) yang berpendapat bahwa setiap bangsa harus mampu menentukan
sendiri kriteria sosok pemimpinnya, agar bangsa tersebut mampu
mengembangkan dan mencapai tujuannya secara berkelanjutan. Kriteria sosok
pemimpin nasional, haruslah ditetapkan berdasarkan undang-undang, sehingga
dapat ditampilkan sosok pemimpin yang tepat sesuai harapan masyarakat luas di
dalam mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur.
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, sudah seharusnyalah
kriteria tersebut merupakan penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam bentuk
karakter seseorang. Untuk itu, menurut Sutrisno (2013:6) seorang pemimpin yang
ideal diharapkan memenuhi kriteria: (1) seorang yang takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa; (2) seorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil
dan beradab; (3) seorang yang memiliki rasa persatuan Indonesia yang tinggi tanpa
membedakan seseorang berdasarkan kepentingan tertentu; (4) seorang yang
mampu mengembangkan semangat musyawarah/mufakat secara baik demi
kepentingan bangsa dan negara; dan (5) seorang yang mampu mengembangkan
pembangunan nasional untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila sesungguhnya harus menjadi landasan kehidupan
berbangsa dan bernegara, untuk bisa menjadi instrumen menangkal krisis yang
bersifat multidimensional. Mengembalikan Pancasila sebagai landasan hidup harus
dimulai dari kepemimpinan yang bisa memberi dan menjadi contoh untuk
membuktikan bahwa nilai- nilai Pancasila masih sangat relevan, yaitu
kepemimpinan yang betul-betul dipercaya oleh masyarakat. Purnama (2010)
menyatakan hanya kepemimpinan yang bersih, transparan, dan profesional yang
bisa dipercaya masyarakat. Sehingga dengan demikian untuk mengembalikan
Pancasila sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara, dibutuhkan
kepemimpinan yang bersih, transparan, dan profesional. Pancasila seringkali
dianggap sekedar wacana, nilai-nilanya tidak termanifestasikan secara nyata dalam
kehidupan, dan tidak bisa jadi solusi bangsa.
Pancasila sering dianggap sebagai bagian dari masalah, karena dianggap
sebagai instrumen dari Orde Baru untuk memanipulasi dan menindas rakyat.
Namun di sisi lain, rakyat sudah tidak percaya siapapun, terutama yang sudah
berkuasa dan jadi pemimpin, karena mereka dianggap sudah gagal memenuhi janji
proklamasi dan tidak perduli kepada rakyat. Ketika para pemimpin ini bicara soal
Pancasila, rakyat semakin antipati terhadap Pancasila itu sendiri. Hanya dengan
kepemimpinan yang betul-betul bersih, transparan, dan profesional, nilai-nilai
luhur Pancasila bisa betul-betul menjadi landasan hidup yang nyata dan membawa
kesejahteraan bagi bangsa dan negara. Azra (2008) menegaskan berbagai upaya
perlu dilakukan guna mengembangkan relevansi Pancasila sebagai dasar wawasan
kebangsaan dan identitas nasional Indonesia di tengah berbagai tantangan yang
dihadapi negara-bangsa Indonesia.
Hal ini dipertegas dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) pasal 4
yang menyatakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila merupakan
penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta
setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik pusat maupun di
daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh. Adapun nilai dan norma-norma
yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
meliputi 36 butir, yaitu:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Dijabarkan menjadi 4 butir, yaitu: (1) percaya dan takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab; (2) hormat-menghormati dan bekerja sama
antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda,
sehingga terbina kerukunan hidup; (3) saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya; dan (4) tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
C. KESIMPULAN
Khilafah sering kali dihubungkan dengan kekuasaan politik dalam Islam. Dalam hal ini
para ulama klasik telah menggunakan istilah khilafah, imamah, dan belakangan menggunakan
istilah daulah untuk negara. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menjelaskan hakikat kekuasaan
adalah kepentingan sosial bagi manusia. Ada beberapa tipe kekuasaan menurutnya. Pertama adalah
al-milk at-thabi’i (kekuasaan yang alamiah), yaitu tanggung jawab yang komprehensif (kepada
masyarakat) berdasarkan kepentingan dan syahwat (hal 150). Kategori kekuasaan ini tidak baik
dalam suatu kepemimpinan dan akan berdampak negatif kepada masyarakatnya. Kedua adalah
siyasih (kekuasaan politis) yaitu tanggung jawab yang komprehensif (masyarakat) berdasarkan
cara pandang akal dalam mendatangkan kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan di dunia
(hal 151). Pada jenis kedua ini kekuasaan hanya mengandalkan rasionalitas pemimpin dalam
mengelola negara dengan menafikkan peran agama, yang memungkinkan disebut sebagai
pemerintahan sekuler. Ketiga adalah khilafah yaitu tanggung jawab yang komprehensif
(masyarakat) berdasarkan syariat untuk kemaslahatan akhirat dan dunia, yang pada akhirnya
kembali ke kemaslahatan akhirat (hal. 152). Menurut Ibnu Khaldun, pada hakikatnya khilafah
adalah tentang pemimpin yang mampu menegakkan syariat dalam menjaga agama dan
kepentingan politik dunia di dalamnya. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa kekuasaan yang
kategori pertama dan kedua adalah mazmum (tercela).
Menurut penulis merujuk pada konsep khilafah yang diajukan oleh Ibnu Khaldun jelas
bahwa penekanannya adalah bagaimana kekuasaan/pemerintahan dalam suatu negara itu dapat
memberikan kemaslahatan yang tidak hanya di dunia, tetapi akhirat. Sehingga konsep khilafah
harusnya tidak perlu ditakutkan oleh sebagian orang atau kelompok. Karena inti dari khilfah adalah
menghendaki adanya kemaslahatan bagi masyarakat di dunia dan akhirat. Sesungguhnya apa yang
ditawarkan Prof Din Syamsuddin dengan khilafah kulturan visional (madaniyah) yaitu tata dunia
baru untuk menggantikan sistem dunia (world system) yang sekuler dan membuat kerusakan dunia
yang bersifat komulatif, sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Khaldun.Karena itu
konsep khilafah yang dipahami saat ini perlu dikembalikan kepada ide awalnya yaitu konsep
khalifah. Khalifah dalam artian seorang pemimpin harus dapat diikuti karena kualitas dirinya.
Sedang khalifah dalam arti wakil atau penerus ia tidak boleh bertindak atas nama dirinya, tetapi
apa yang dilakukan itu atas nama yang diwakilkannya. Dalam hal ini adalah warga negaranya. Jika
khalifah itu sebagai wakil Tuhan, maka ia sebagai pemimpin atau imam harus bertindak atas nama
aturan-aturan Tuhan.
Konsep negara Pancasila yang disepakati oleh para founding father NKRI sudah tepat
karena dirumuskan untuk memberikan kemaslahatan agama dan dunia bagi warga negararanya.
Sila pertama Pancasila merupakan inti dari penjagaan agama bagi tiap-tiap individu yang harus
dijamin oleh pemerintah. Bagi Muslim sila pertama ini merupakan manifestasi dari konsep tauhid
yang harus diyakini dalam lisan dan perbuatannya. Sedangkan sila lainnya berkaitan dengan aspek
urusan hubungan manusia di dunia yang itu pun harus dijaga agar dapat memberikan
kemaslahatannya hidup di dunia. Sebagai khalifah dalam konteks saat ini, pemimpin Indonesia ke
depannya harus mampu untuk mengintegrasikan peran agama dengan urusan dunia bagi warga
negaranya dengan memberikan kemaslahatan. Agama bukanlah penghalang pembangunan negara
sebagaimana yang dikonsepsikan oleh sebagian pemikir/tokoh Barat. Agama adalah inti dari
pembagunan negara. Lalu, agama bukanlah jargon yang hanya muncul dalam pesta demokrasi lima
tahunan. Dia adalah way of life yang harus diterapkan dalam bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Kajian PAT Perspektif Kelompok Keagamaan, Studi Kasus Terhadap Gerakan Hizbut
Tahrir, (Palembang: Skripsi, 2004), 1.
Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (edisi pertama) (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), 174.
Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),
1.
Rais, Cakrawala Islam; antara Cita dan Fakta (Jakarta: Mizan,2001), 162.
Raji, Mengenal Aliran-aliran dalam Islam dan cirri-ciri ajarannya (Jakarta: Pustaka al- Riyadl,
2006), 152.