Anda di halaman 1dari 15

A.

PENDAHULUAN

Di antara banyak negara di dunia ini, tidak ada satupun negara yang memiliki
keanekaragaman keyakinan dan budaya, ras dan etnis, seperti Indonesia. Dilihat dari
sukubangsanya saja, terdapat kurang lebih 700 suku bangsa yang ada di nusantara. Dengan
demikian kunci tegak berdirinya negara ini adalah persatuan dari seluruh kemajemukan yang
ada. Sebaliknya, kunci meruntuhkan negara ini adalah mencegah potensi persatuan dari seluruh
kemajemukan tersebut. Sejak lahir, siapapun manusia yang ada di nusantara harus sadar
betul tentang hal ini.

Setiap negara yang sadar akan kemajemukan manusianya, budayanya, keyakinannya


pasti berusaha untuk menciptakan persatuan bangsa. Tengok saja Amerika. Meski keragaman
budayanya masih kalah jauh dari Indonesia, mereka punya semboyan “E Pluribus Unum”,
yang berarti “dari banyak menjadi satu”. Jerman memiliki semboyan Einigkeit und

Recht und Freiheit yang memiliki arti kesatuan dan keadilan dan kemerdekaan.
Argentina, En Unión y Libertad (dalam persatuan dan kemerdekaan). Bolivia, La Unión es
la Fuerza (persatuan adalah kekuatan). Malaysia, Bersekutu Bertambah Mutu (bersatu menjadi
kuat). Dan masih banyak lagi negara yang memandang kunci tegaknya suatu negara adalah
persatuan.

Pengalaman Indonesia pun tidak jauh berbeda dengan negara-negara tersebut. Para
pemimpin Indonesia memandang bahwa persatuan adalah kunci maju-mundurnya kemajuan
bangsa. Oleh karena itu, dikutiplah sepenggal kalimat dari kitab Sutasoma karangan Empu
Tantular: “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda namun tetap satu jua.
Semboyan inilah spirit yang mendorong para pemimpin bangsa dari ujung timur hingga barat
untuk menciptakan suatu asas yang dapat diterima secara bersama-sama. Dari dorongan
semangat inilah lahir Pancasila. Tanpa Pancasila, sangat mungkin terjadi, tidak ada Indonesia
merdeka.

Namun Pancasila semakin hari mulai kehilangan elan vitalnya. Bukan karena ia tidak
memiliki makna, melainkan karena ia tidak dipelajari dan dihayati. Tidak sedikit
masyarakat Indonesia yang apriori terhadap Pancasila. Belum mempelajari sudah tidak suka.
Ketidaksukaan terhadap Pancasila membuka masuknya ideologi lain yang merusak masuk ke
Indonesia. Ideologi kapitalisme liberal telah masuk dan menimbulkan efek kesengsaraan
yang dahsyat di Indonesia. Tapi masih saja banyak yang belum sadar bahwa kesengsaraan
ini adalah efek lanjutan dari sikap kita tidak mempelajari Pancasila.

Dari latar belakang inilah Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan UMP didirikan.
Di lembaga ini, Pancasila tidak hanya ideologi yang ditempatkan dalam konteks politik saja.
Lebih dari itu, Pancasila juga ditempatkan dalam konteks ilmu. Hal ini paling tidak menyimpan
2 pengertian. Pengertian pertama, Pancasila ditempatkan sebagai objek kajian. Sedangkan
pengertian kedua, Pancasila dilekatkan dalam tubuh ilmu pengetahuan. Mengingat
Pancasila adalah ideologi maka menjelaskan pengertian kedua lebih problematik daripada
yang pertama.

Kalau dilihat dalam pengertian pertama, sudah banyak ilmuwan yang mencoba untuk
melihat Pancasila sebagai objek kajian. Karya mengagumkan yang paling terakhir terbit
barangkali adalah Negara Paripurna yang ditulis oleh Yudi Latif. Namun dilihat dalam
pengertian kedua, melekatkan Pancasila dalam ilmu pengetahuan pasti mengundang banyak
perdebatan. Sebab ada pendapat bahwa menyatukan ideologi dengan ilmu pengetahuan haram
hukumnya. Namun jika ditelusuri lebih jauh, pendapat itu sendiri masih dalam perdebatan yang
belum berakhir.

Dalam diskursus keilmuan, ada debat yang akrab disebut dengan


methodenstreit. Isi perdebatan itu adalah, apakah ilmu hanya cukup berhenti pada titik
menjelaskan sebagaimana adanya atau sampai pada titik bagaimana seharusnya yang
sebagaimana adanya itu? Dari sudut pandang ilmuwan sosial kritis, ilmu tidak hanya berfungsi
untuk menjelaskan, namun juga untuk mengarahkan kehidupan manusia menuju lebih baik.
Sepositivistik seorang ilmuwan, keyakinan tersebut niscaya ada meskipun tidak dinyatakan
terang-terangan. Dengan demikian, dalam kenyataannya, ilmu juga ikut andil dalam
mendefinisikan bagaimana dunia seharusnya, bukan hanya mendefinisikan dunia sebagaimana
adanya. Artinya, ideologi selalu melekat dalam ilmu. Inilah yang dipercaya oleh
ilmuwan yang ikut dalam gerbong mazhab kritis.
Ambil contoh ilmu ekonomi barat. Meskipun ilmu ekonomi itu bersandar pada
klaim objektif, namun tetap saja ideologi kapitalis-liberal melekat erat di dalamnya.
Artinya, jika kita melepaskan Pancasila dari ilmu maka ideologi lain yang akan mengambil
alih. Dari kerangka berfikir seperti itulah, dapat dipahami mengapa Mubyarto, Dawam
Rahardjo, Sri-edi Swasono, Revrisond Baswir, M. Yudi Haryono mengembang- kan ilmu
ekonomi Pancasila untuk menggeser ilmu ekonomi kapitalis-neoliberalis yang sedang
menjadi mainstream di Indonesia.

B. SUBSTANSI KAJIAN
a. Kepemimpinan Pancasila
Pancasila merupakan inti dari karakter bangsa Indonesia. Pancasila dapat
disebut sebagai reduksi nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila
merupakan norma dasar dan dasar negara Indonesia. Pancasila merupakan sebuah
konsepsi dan cita-cita bangsa Indonesia. Soekarno (1989:64) mengemukakan arus
sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu
konsepsi dan cita-cita, jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan citacita
itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya. Pentingnya
cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa, dipertegas oleh
Gardner yang berpendapat no nation can achieve greatness unless it believes in
something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great
civilization (Latif, 2011:42). Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran
kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu yang dipercayainya itu
memiliki dimensi- dimensi moral guna menopang peradaban besar.
Kepemimpinan Pancasila berarti kepemimpinan yang mengacu kepada sila-
sila Pancasila. Seorang pemimpin berbagai level dan bidang harus mengacu kepada
sila-sila Pancasila. Seorang pemimpin yang berjiwa Pancasila selalu berupaya
menerapkan fungsi kepemimpinannya dengan berlandaskan pada nilai-nilai
Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang diterapkan oleh seorang pemimpin, pada
nantinya akan diinternalisasi kepada segenap bawahannya. Nilai-nilai Pancasila
menjadi parameter dalam berperilaku setiap warga negara. Nilai-nilai Pancasila
menjadi seperangkat moral dan etika bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan (2013:vi) menyatakan bahwa nilai-
nilai Pancasila dari segi implementasi terdiri atas: (1) nilai dasar; (2) nilai
instrumental; dan (3) nilai praksis.
Nilai dasar terdiri atas nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai Kemanusiaan
yang adil dan beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai instrumental merupakan penjelasan dari
nilai dasar, dengan kata lain semua perangkat perundang-undangan haruslah
merupakan penjabaran dari nilai-nilai dasar Pancasila yang terdapat pada
pembukaan dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945. Para penyusun
peraturan perundang-undangan (legal drafter) di lembaga-lembaga legislatif,
eksekutif, dan yudikatif dari tingkat pusat hingga daerah adalah orang-orang yang
bertugas melaksanakan penjabaran nilai dasar Pancasila menjadi nilai-nilai
instrumental. Jika seluruh warga bangsa taat asas pada nilai-nilai instrumental, taat
pada semua peraturan perundang-undangan yang betul-betul merupakan
penjabaran dari nilai dasar Pancasila, maka sesungguhnya nilai praksis Pancasila
telah wujud pada amaliyah setiap warga.
Jika mengacu pada sila-sila Pancasila, maka seorang pemimpin yang
berlandaskan Pancasila harus menerapkan sila-sila Pancasila. Hal senada juga
dikemukakan oleh Tandiasa (2015) yang menyatakan kepemimpinan Pancasila
adalah kepemimpinan yang membawa masyarakat dalam kesadaran bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Kepemimpinan Pancasila berpedoman pada nilai-nilai Pancasila dan merupakan
kriteria sosok pemimpin bangsa Indonesia. Hal ini dipertegas oleh Sutrisno
(2013:4) yang berpendapat bahwa setiap bangsa harus mampu menentukan
sendiri kriteria sosok pemimpinnya, agar bangsa tersebut mampu
mengembangkan dan mencapai tujuannya secara berkelanjutan. Kriteria sosok
pemimpin nasional, haruslah ditetapkan berdasarkan undang-undang, sehingga
dapat ditampilkan sosok pemimpin yang tepat sesuai harapan masyarakat luas di
dalam mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur.
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, sudah seharusnyalah
kriteria tersebut merupakan penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam bentuk
karakter seseorang. Untuk itu, menurut Sutrisno (2013:6) seorang pemimpin yang
ideal diharapkan memenuhi kriteria: (1) seorang yang takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa; (2) seorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil
dan beradab; (3) seorang yang memiliki rasa persatuan Indonesia yang tinggi tanpa
membedakan seseorang berdasarkan kepentingan tertentu; (4) seorang yang
mampu mengembangkan semangat musyawarah/mufakat secara baik demi
kepentingan bangsa dan negara; dan (5) seorang yang mampu mengembangkan
pembangunan nasional untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila sesungguhnya harus menjadi landasan kehidupan
berbangsa dan bernegara, untuk bisa menjadi instrumen menangkal krisis yang
bersifat multidimensional. Mengembalikan Pancasila sebagai landasan hidup harus
dimulai dari kepemimpinan yang bisa memberi dan menjadi contoh untuk
membuktikan bahwa nilai- nilai Pancasila masih sangat relevan, yaitu
kepemimpinan yang betul-betul dipercaya oleh masyarakat. Purnama (2010)
menyatakan hanya kepemimpinan yang bersih, transparan, dan profesional yang
bisa dipercaya masyarakat. Sehingga dengan demikian untuk mengembalikan
Pancasila sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara, dibutuhkan
kepemimpinan yang bersih, transparan, dan profesional. Pancasila seringkali
dianggap sekedar wacana, nilai-nilanya tidak termanifestasikan secara nyata dalam
kehidupan, dan tidak bisa jadi solusi bangsa.
Pancasila sering dianggap sebagai bagian dari masalah, karena dianggap
sebagai instrumen dari Orde Baru untuk memanipulasi dan menindas rakyat.
Namun di sisi lain, rakyat sudah tidak percaya siapapun, terutama yang sudah
berkuasa dan jadi pemimpin, karena mereka dianggap sudah gagal memenuhi janji
proklamasi dan tidak perduli kepada rakyat. Ketika para pemimpin ini bicara soal
Pancasila, rakyat semakin antipati terhadap Pancasila itu sendiri. Hanya dengan
kepemimpinan yang betul-betul bersih, transparan, dan profesional, nilai-nilai
luhur Pancasila bisa betul-betul menjadi landasan hidup yang nyata dan membawa
kesejahteraan bagi bangsa dan negara. Azra (2008) menegaskan berbagai upaya
perlu dilakukan guna mengembangkan relevansi Pancasila sebagai dasar wawasan
kebangsaan dan identitas nasional Indonesia di tengah berbagai tantangan yang
dihadapi negara-bangsa Indonesia.
Hal ini dipertegas dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) pasal 4
yang menyatakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila merupakan
penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta
setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik pusat maupun di
daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh. Adapun nilai dan norma-norma
yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
meliputi 36 butir, yaitu:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Dijabarkan menjadi 4 butir, yaitu: (1) percaya dan takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab; (2) hormat-menghormati dan bekerja sama
antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda,
sehingga terbina kerukunan hidup; (3) saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya; dan (4) tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab


Dijabarkan menjadi 8 butir, yaitu: (1) mengakui persamaan derajat, persamaan
hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia; (2) saling mencintai sesama
manusia; (3) mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepo seliro; (4) tidak
semena-mena terhadap orang lain; (5) menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; (6)
gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; (7) berani membela kebenaran dan
keadilan; dan (8) bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh
umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja
sama dengan bangsa lain.
3. Sila Persatuan Indonesia
Dijabarkan menjadi 5 butir, yaitu: (1) menempatkan persatuan, kesatuan,
kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan
golongan; (2) rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara; (3) cinta tanah
air dan bangsa; (4) bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia;
dan (5) memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika.
4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan
Dijabarkan menjadi 7 butir, yaitu: (1) mengutamakan kepentingan negara dan
masyarakat; (2) tidak memaksakan kehendak kepada orang lain; (3) mengutamakan
musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama; (4)
musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan; (5)
dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
keputusan musyawarah; (6) musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai
dengan hati nurani yang luhur; dan (7) keputusan yang diambil harus
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
5. Sila Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dijabarkan menjadi 12 butir, yaitu: (1) mengembangkan perbuatan-perbuatan
yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-
royongan; (2) bersikap adil; (3) menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban;
(4) menghormati hak- hak orang lain; (5) suka memberi pertolongan kepada
orang lain; (6) menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain; (7) tidak bersifat
boros; (8) tidak bergaya hidup mewah; (9) tidak melakukan perbuatan yang
merugikan kepentingan umum; (10) suka bekerja keras; (11) menghargai hasil
karya orang lain; dan (12) bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.
b. Kepemimpinan Khilafah
Khilafah, belakangan ini menjadi kosa kata yang sering disebut banyak
kalangan. Khilafah disebut-sebut berlawanan dengan Pancasila. Benarkah
demikian? Simak ulasannya berikut ini.Secara umum, khilafah adalah
kepemimpinan umum bagi seluruh umat muslim dunia, untuk menegakkan syariat
Islam, mengemban dakwah ke seluruh dunia. Berbentuk sebuah pemerintahan
Islam, pemimpin pemerintahanya dinamakan khalifah atau imam.
Konsep khilafah mengacu pada firman Allah dalam surah Al Baqarah: 30,
Allah berfirman, ”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman, ‘Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa engkau
hendak menjadikan (khalifah) orang yang akan membuat kerusakan dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan
mensucikan engkau?’ Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnhya Aku
lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.’”
Berbicara tentang penegakan khilafah di negara pancasila, Ketua Dewan
Pertimbangan MUI Prof. Dr. Din Syamsudin ikut ambil suara. “Khilafah dipahami
sebagai kekuasaan politik atau lembaga politik-pemerintahan tidak menjadi
kesepakatan ulama. Ada beberapa ulama yang berpendapat demikian,” kata Din
Syamsudin lewat keterangan tertulisnya pada republika.co.id.Ia menambahkan,
bahwa sesungguhnya konsep khilafah dalam Islam dapat diterapkan dalam bentuk
adanya lembaga mondial yang mempersatukan seluruh umat Islam tanpa terkecuali.
“Seperti Vatikan yang mempersatukan umat katolik sedunia,” ujarnya.
Din menyatakan jika konsep khilafah di Indonesia dapat belajar dari sistem
yang di terapkan oleh Vatikan. Menurutnya, umat katolik di negara manapun sangat
tunduk dan patuh kepada Vatikan tanpa mengabaikan sistem nasional masing
masing bangsa.“Saya mengusulkan kepada umat Islam untuk mentransformasi
‘Khilafah ‘Alamiyah’ mereka dalam bentuk yang diterapkan oleh Vatikan” ujarnya.
Bagi umat Islam yang ingin membentuk khilafah mondial, dapat meniru Vatikan
dengan mentransformasi konsep khilafah dalam suatu lembaga mondial tanpa
menegasi sistem nasional masing-masing negara, walau tidak semua muslim mau
bergabung.“Ini dapat menjadi solusi antara khilafah dengan pancasila,” tegasnya.
Dengan begini, khilafah tidak diabaikan, tetapi negara pancasila juga tetap
ditegakkan. Ia menambahkan, “Dari dulu, integrasi, wawasan keagamaan dan
wawasan keindonesiaan bagi umat Islam sudah melekat.” Namun, kata Din.
Semangat keagamaan atau budaya vatikan yang mampu merajut persatuan dan
kebersamaan itu bagus ditiru. “Mungkin, kekhalifahan Islamiyah membutuhkan
pemersatu, penengah dan kekuatan mediasi,” tutupnya.
Relevansi sistem khilafah yang menjadi ”jargon” Hizbut Tahrir Indoneia
dengan sistem negara Islam modern. Sebab diyakini bahwa dalam ajaran Islam
terdapat juga sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara
umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan (pemerintahan) Islam
dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan (pemerintahan
Barat), karena Islam akan tegak, terpelihara dan terlindungi dengan adanya
pemerintahan Islam. Sistem Pemerintahan yang harus diteladani adalah sistem yang
telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dan para khalifah yang berdiri di
atas landasan aqidah Islam.
Dengan dijadikannya aqidah Islam sebagai landasan berdirinya khilafah,
maka mengharuskan undang-undang dasarnya berikut perundang-undangan yang
lain harus digali dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Allah SWT telah
memerintahkan kepada para penguasa agar menerapkan hukum sesuai dengan apa
yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya. Atas dasar inilah, seluruh
undang-undang yang lain, hanya ditentukan berdasarkan hukum-hukum syar’i
yang digali dari syari’at Islam. Dengan demikian, Islam adalah sistem yang
paripurna dan komprehensif bagi seluruh kehidupan manusia. Kaum muslim
diwajibkan untuk memberlakukannya secara total dalam sebuah negara yang
memiliki bentuk tertentu dan khas, yang tertulis di dalam sebuah sistem khilafah
(pemerintah Islam). Karena itu negara Islam tidak dibolehkan memiliki satupun
pemikiran, konsep, hukum ataupun standar yang tidak digali dari syari’at Islam.
Pandangan itu menurut Syarif, mendapat pembenarannya dalam Sunnah
Nabi yang sekaligus menegaskan posisi Nabi sebgai pemimpin spiritual dan
pemimpin komunitas politik. Ini fakta sejarah bahwa setelah hijrah ke Madinah,
Nabi Muhammad Saw membangun sebentuk negara kota (city-state) yang bersifat
ketuhanan. Sejak berdirinya negara Madinah yang memiliki konstitusi tertulis
pertama di dunia, Piagam Madinah, Mitsaq al-Madinah, Nabi Muhammad Saw
sudah bertindak sebagai kepala negara. Selain mengangkat pejabat-pejabat negara,
termasuk sejumlah gubernur (wali) diberbagai wilayah, beliau juga menjalankn
syari’at Islam terhadap seluruh warga negara. Nabi Muhammad Saw tidak
menggunakan hukum adat, hukum Persia ataupun hukum Romawi untuk
memutuskan perkara (mengadili) di antara rakyatnya.
Itu sebabnya, slogan Islam din wa daulah sering difahami sebagai berikut:
(1) sistem pemerintahan dalam negara-negara Islam merupakan inti dari ajaran
Islam; (2) politik merupakan bagian dari Islam, karenanya praktik berpolitik
berarti praktik beragama. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan antara agama dan
politik; (3) kewajiban mendirikan negara Islam berdasarkan, baik perundang-
undangan maupun fiqh-nya; yakni penerapan syari’at Islam, dan (4) dasar dari
negara Islam adalah manhaj islami dan sistem moral Islam. Pada gilirannya, Islam
menjadi ideologi politik bagi masyarakat dalam kerangka yang lebih konkret
bahwa Islam memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menegakkan negara
dan menerapkan aturan berdasarkan hukum-hukum Islam. Masalah politik,
ekonomi, sipil, militer, pidana dan perdata diatur jelas oleh Islam. Seluruh aturan
itu telah dipraktikkan pada masa Rasulullah, al-Khulafa al-Rasyidin dan
pemerintah sesudahnya. Hal ini membuktikan bahwa Islam merupakan suatu
sistem bagi negara dan pemerintahan serta untuk mengatur masyarakat, umat dan
individu-individu.
Konsep khalifah di masa al-Khalafa al-Rasyidin dimaknai sebagai
pengganti Nabi Saw, istilahnya adalah Khalifah al-Nabi, namun setelah masa
Dinasti Umaiyah dan Abbasiyah diganti dengan istilah khalifatullah, yang
mencerminkan imunitas seorang pemimpin. Inilah politisasi agama yang telah
dilakukan oleh para pemimpin negara di zaman Umaiyah dan Abbasiyah, agar
mereka tidak mendapatkan kritik dari masyarakat sehingga khalifah dapat terus
menerus mempertahankan kekuasaannya. Padahal, sebagaimana dikemukakan al-
Asymawi dalam bukunya al-Islam al-Siyasi; ”Tuhan menginginkan Islam sebagai
sebuah agama, tetapi manusia membelokkannya menjadi politik. Agama bersifat
umum, universal dan menyeluruh, sedangkan politik kesukuan dan terbatas dalam
ruang dan waktu”.
Selama beberapa abad, kekhalifahan terus berlangsung di dunia Islam
dalam satu bentuk ke bentuk tertentu--baik dalam pengertiannya yang sebenarnya
ataupun secara formal--hingga abad modern ini. Bentuk terakhir kekhaliafahn ini
adalah kekhalifahan Usmaniyah. Tetapi ketika negara tersebut melemah dan tidak
mampu lagi mempertahankan kekuatan dan kehormatan Islam, negara tersebut ikut
kehilangan legitimasinya sebagai pemimpin dunai Islam. Dengan demikian,
kepemimpinan tersebut harus berpindah kepada negara Islam yang lain.
Masuknya pemikiran nasionalisme yang dipropagandakan agen-agen
negara Barat ke wilayah kekuasaan Usmaniyah menyebabkan kaum muslimin
terpecah belah dan perlahan-lahan tidak mengindahkan lagi aqidah Islam. Dampak
nyata dari ideologi nasionalisme adalah jatuhnya sistem khilafah (pemerintahan
Islam), yang telah didirikan oleh Rasulullah Saw dan para khalifah penerusnya.
Setelah berakhirnya sistem khilafah di Turki (1924), dunia Islam mulai ramai
membicarakan tentang negara Islam.8 Selama masa penjajahan Barat atas dunia
Islam, kaum muslim tidak sempat dan juga tidak mampu berpikir tentang ajaran
agama mereka secara jelas, komprehensif dan tuntas mengenai berbagai masalah.
Masalah utama yang dihadapi oleh setiap muslim adalah mengubah dirinya
menjadi negara Islam dan menyatukannya dengan negeri-negeri Islam lainnya.
Masalah ini merupakan masalah utama, sehingga wajib bagi kaum muslimin
melakukan tindakan hidup atau mati. Metode yang digunakan untuk
merealisasikan tujuan tersebut adalah menegakkan khilafah. Dengan demikian,
masalah utama yang dihadapi umat Islam saat ini menegakkan khilafah sebagai
sistem pemerintahan, untuk merealisasikan mengubah negeri Islam menjadi negara
Islam dan selanjutnya menyatukannya dengan negeri-negeri Islam lainnya.
Bangsa Barat telah memelintir kaum muslimin hingga menjadi penganut
tsaqafah (kebudayaan) mereka. Mereka mengetahui benar bahwa senjata beracun
yang pernah dipakai untuk menghabisi Daulah Islam adalah senjata andalan yang
juga bisa dipakai pula untuk menghabisi kehidupan dan institusi umat Islam,
selama mereka berpegang pada tsaqafah tersebut. Pemikiran-pemikiran yang
mereka bawa seperti nasionalisme, sekularisme dan pemikiran lain yang dipakai
untuk menikam Islam adalah bagian dari pemikiran beracun yang terkandung
dalam tsaqafah Barat yang dicekokkan pada generasi Islam. Barat telah
menjadikan semua itu sebagai sumbu putar aktivitas-aktivitas yang bersifat sesaat.
Demikian juga masyarakat diracuni dengan ilusi kemustahilan berdirinya Daulah
Islamiyah dan kemustahilan persatuan negeri-negeri Islam karena terdapat
perbedaan kultur, penduduk, dan bahasa, sekalipun sesungguhnya mereka adalah
satu umat yang terikat dengan aqidah Islamiyah yang melahirkan suatu peraturan
hidup yang Islami.
Selanjutnya, muncul reaksi yang dihadapi oleh kalangan pembaharu
dalam masyarakat Islam Indonesia, di antaranya Hizbut Tahrir Indonesia. Hizbut
Tahrir yang didirikan Taqiyuddin al-Nabhani pada tahun 1953, membaca
fenomena yang terjadi sebagai tantangan untuk memajukan umat Islam agar tidak
tertindas oleh pemikiran dan paham-paham Barat yang ingin memisahkan agama
dari kehidupan. Melihat pertarungan yang tidak sehat dan semakin membebeknya
para penguasa negara-negara Islam kepada dunia Barat, menjadikan Taqiyuddin al-
Nabhani dengan partai politik Hizbut Tahrir mencoba menyusun strategi untuk
membendung jalan masuknya gerakan-gerakan anti Islam.12 Tidak dapat
dipungkiri secara fakta bahwa hal yang paling penting adalah bagaimana
melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui pemulihan kembali kesadaran umat
Islam.
Sepeninggal Nabhani partai Hizbut Tahrir dipimpin oleh Abdul Qadim
Zallum, Kelahiran Khalil Palestina dan tanggal 19-10-1378 H, cabang Hizbut
Tahrir Libanon didirikan. Kelompok aktivis di Libanon, Yordania dan Suriah,
kemudian berkembang keberbagai negara Islam bahkan saat ini telah mencapai
Eropa, terutama Australia dan Jerman Barat.13 Memang tidak ada data yang valid
kapan sebenarnya Hizbut Tahrir datang ke Indonesia. Namun diperkirakan ia
masuk pada era 1980-an. Menurut Ismail Yusanto juru bicara Hizbut Tahrir
Indonesia bahwa kedatangan Hizbt Tahrir sebenarnya hampir berbarengan dengan
gerakan-gerakan Islam lainnya, seperti Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh dan
kelompok salafi lainnya. Ismail Yusanto termasuk orang yang paling awal
memasuki Hizbut Tahrir.

C. KESIMPULAN

Khilafah sering kali dihubungkan dengan kekuasaan politik dalam Islam. Dalam hal ini
para ulama klasik telah menggunakan istilah khilafah, imamah, dan belakangan menggunakan
istilah daulah untuk negara. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menjelaskan hakikat kekuasaan
adalah kepentingan sosial bagi manusia. Ada beberapa tipe kekuasaan menurutnya. Pertama adalah
al-milk at-thabi’i (kekuasaan yang alamiah), yaitu tanggung jawab yang komprehensif (kepada
masyarakat) berdasarkan kepentingan dan syahwat (hal 150). Kategori kekuasaan ini tidak baik
dalam suatu kepemimpinan dan akan berdampak negatif kepada masyarakatnya. Kedua adalah
siyasih (kekuasaan politis) yaitu tanggung jawab yang komprehensif (masyarakat) berdasarkan
cara pandang akal dalam mendatangkan kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan di dunia
(hal 151). Pada jenis kedua ini kekuasaan hanya mengandalkan rasionalitas pemimpin dalam
mengelola negara dengan menafikkan peran agama, yang memungkinkan disebut sebagai
pemerintahan sekuler. Ketiga adalah khilafah yaitu tanggung jawab yang komprehensif
(masyarakat) berdasarkan syariat untuk kemaslahatan akhirat dan dunia, yang pada akhirnya
kembali ke kemaslahatan akhirat (hal. 152). Menurut Ibnu Khaldun, pada hakikatnya khilafah
adalah tentang pemimpin yang mampu menegakkan syariat dalam menjaga agama dan
kepentingan politik dunia di dalamnya. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa kekuasaan yang
kategori pertama dan kedua adalah mazmum (tercela).

Menurut penulis merujuk pada konsep khilafah yang diajukan oleh Ibnu Khaldun jelas
bahwa penekanannya adalah bagaimana kekuasaan/pemerintahan dalam suatu negara itu dapat
memberikan kemaslahatan yang tidak hanya di dunia, tetapi akhirat. Sehingga konsep khilafah
harusnya tidak perlu ditakutkan oleh sebagian orang atau kelompok. Karena inti dari khilfah adalah
menghendaki adanya kemaslahatan bagi masyarakat di dunia dan akhirat. Sesungguhnya apa yang
ditawarkan Prof Din Syamsuddin dengan khilafah kulturan visional (madaniyah) yaitu tata dunia
baru untuk menggantikan sistem dunia (world system) yang sekuler dan membuat kerusakan dunia
yang bersifat komulatif, sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Khaldun.Karena itu
konsep khilafah yang dipahami saat ini perlu dikembalikan kepada ide awalnya yaitu konsep
khalifah. Khalifah dalam artian seorang pemimpin harus dapat diikuti karena kualitas dirinya.
Sedang khalifah dalam arti wakil atau penerus ia tidak boleh bertindak atas nama dirinya, tetapi
apa yang dilakukan itu atas nama yang diwakilkannya. Dalam hal ini adalah warga negaranya. Jika
khalifah itu sebagai wakil Tuhan, maka ia sebagai pemimpin atau imam harus bertindak atas nama
aturan-aturan Tuhan.

Konsep negara Pancasila yang disepakati oleh para founding father NKRI sudah tepat
karena dirumuskan untuk memberikan kemaslahatan agama dan dunia bagi warga negararanya.
Sila pertama Pancasila merupakan inti dari penjagaan agama bagi tiap-tiap individu yang harus
dijamin oleh pemerintah. Bagi Muslim sila pertama ini merupakan manifestasi dari konsep tauhid
yang harus diyakini dalam lisan dan perbuatannya. Sedangkan sila lainnya berkaitan dengan aspek
urusan hubungan manusia di dunia yang itu pun harus dijaga agar dapat memberikan
kemaslahatannya hidup di dunia. Sebagai khalifah dalam konteks saat ini, pemimpin Indonesia ke
depannya harus mampu untuk mengintegrasikan peran agama dengan urusan dunia bagi warga
negaranya dengan memberikan kemaslahatan. Agama bukanlah penghalang pembangunan negara
sebagaimana yang dikonsepsikan oleh sebagian pemikir/tokoh Barat. Agama adalah inti dari
pembagunan negara. Lalu, agama bukanlah jargon yang hanya muncul dalam pesta demokrasi lima
tahunan. Dia adalah way of life yang harus diterapkan dalam bernegara.
DAFTAR PUSTAKA

al-Nabhani, Negara Islam (Bogor: Pustaka Tariqul Izzah, 2000), 2.

Anwar, Kajian PAT Perspektif Kelompok Keagamaan, Studi Kasus Terhadap Gerakan Hizbut
Tahrir, (Palembang: Skripsi, 2004), 1.

Hawwa, Sistem Bermasyarakat dan Bernegara (Jakarta: Ishlahiy Press, tt), 1.

Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (edisi pertama) (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), 174.

Muqhni, Sejarah kebudayaan Islam di Turki (Jakarta: Logos, 1997), 142.

Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),
1.

Rais, Cakrawala Islam; antara Cita dan Fakta (Jakarta: Mizan,2001), 162.

Raji, Mengenal Aliran-aliran dalam Islam dan cirri-ciri ajarannya (Jakarta: Pustaka al- Riyadl,
2006), 152.

Syarif, Fiqh Siyasah (Jakata: Erlangga, 2008), 80. (al-Asymawi,1992:84)

Zallum, Sistem Pemerintahan Islam (Jakarta: Al Azhar Press, tt:), 12.

Zallum, Demokrasi Sistem Kufur Haram Mengambil, Menerapkan dan Menyebarkannya,


(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,2007), 206

Anda mungkin juga menyukai