Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hipertensi merupakan masalah kesehatan dunia, prevalensi hipertensi yang
meningkat, disertai dengan penyakit lain yang menyertainya akan meningkatkan
risiko kejadian kardiovaskuler dan penyakit ginjal.
Hipertensi biasanya tidak menimbulkan gejala yang spesifik, sehingga
menyebabkan banyak penderita hipertensi yang tidak diobati, dari pasien hipertensi
yang mendapat pengobatan, hanya sekitar 10-20% yang mencapai target kontrol tekanan
darah. Diperkirakan prevalensi hipertensi akan semakin meningkat sehingga
memberikan dampak pada kesehatan masyarakat.1,2
Intervensi hipertensi berupa modifikasi gaya hidup dapat menghambat
progresivitas hipertensi. Namun, sebagian besar pasien memerlukan obat anti hipertensi
seumur hidup dengan kombinasi lebih dari satu obat. Kondisi ini mendasari begitu banyak
jenis obat anti hipertensi yang beredar di pasaran. Di lain pihak hal ini menimbulkan
kompleksitas bagi klinisi dalam pemilihan obat anti hipertensi mana yang paling efektif
dan tepat diberikan berdasarkan kondisi spesifik pasien yang dihadapi. Klinisi dituntut
memiliki kemampuan dalam menentukan indikasi memulai terapi farmakologi, target
kendali tekanan darah (TD), dan jenis anti hipertensi yang harus dipilih. Pedoman
penatalaksanaan hipertensi sangat diperlukan oleh para dokter untuk mencegah
terjadinya komplikasi kardio-serebrovaskuler. Perubahan gaya hidup dan obat- obatan
terbukti dapat menurunkan tekanan darah dan komplikasi kardiovaskuler pada penderita
hipertensi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140
mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran
dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang).7 Hipertensi
didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of
High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg.5
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi berbagai
faktor resiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi dibedakan menjadi
yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur. Faktor yang
dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok, pola
konsumsi makanan yang mengandung natrium dan lemak jenuh.5
Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan
jantung, penyakit jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang
berakibat pada kelemahan fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan jantung yang dapat
berakibat kecacatan bahkan kematian. Hipertensi atau yang disebut the silent killer
yang merupakan salah satu faktor resiko paling berpengaruh penyebab penyakit jantung
(cardiovascular).6

2.2 Epidemiologi
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling umum ditemukan dalam
grafik kedokteran primer menurut NHLBI (National Heart, Lung and Blood Institute), 1
dari 3 pasien menderita hipertensi. Hipertensi merupakan faktor risiko infark miokard,
stroke, gagal ginjal akut dan juga kematian. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
menujukkan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia adalah sebesar 26,5%. Pada grafik 1,
terlihat prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran (mengunakkan kriteria hipertensi
JNC 7) cenderung turun dari 31,7% pada tahun 2007 menjadi 25,8% pada tahun 2013.
Dalam laporan RISKESDAS 2013, diasumsikan bahwa penurunan diperkirakan terjadi
karena perbedaan alat ukur yang digunakan tahun 2007 dan 2013, kesadaran masyrakat
akan kesehatan makin membaik pada tahun 2013.

2
Grafik 1. Prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran pada umur >18 tahun
menurut provinsi pada tahun 2007, dan 2013

Grafik 2. Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara. pada umur >18


tahun menurut provinsi pada tahun 2007 dan 2013

Grafik 3. Prevalensi hipertensi berdasarkan usia3

3
2.3 Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi sistolik,
hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi sistolik (isolated systolic
hypertension) merupakan peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan
tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik
berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri apabila jantung berkontraksi (denyut
jantung). Tekanan sistolik merupakan tekanan maksimum dalam arteri dan tercermin pada
hasil pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan
diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya ditemukan pada anak- anak
dan dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil
menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah
yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik
berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara dua
denyutan. Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan sistolik dan
diastolik.6
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 % kasus. Banyak
faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan
saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan
Na.
2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus.
Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,
hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing,
feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan,
dan lain-lain.6
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), klasifikasi
hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal, prehipertensi,
hipertensi derajat I dan derajat II. (Tabel 1)

4
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VIII7

Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah menurut kelompok usia pada JNC VIII

2.4 Patofisiologi
Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi
dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan resistensi vaskular
(peripheral vascular resistance). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah ini
dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi sesungguhnya
merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai dengan peningkatan
curah jantung dan / atau ketahanan periferal.11
Cardiac output berhubungan dengan hipertensi, peningkatan cardiac output
secara logis timbul dari dua jalur, yaitu baik melalui peningkatan cairan (preload) atau
peningkatan kontraktilitas dari efek stimulasi saraf simpatis. Tetapi tubuh dapat
mengkompensasi agar cardiac output tidak meningkat yaitu dengan cara meningkatkan
resistensi perifer. 11

5
Gambar 1. Skematik patofisiologi hipertensi

Gambar 2. Skematik patofisiologi hipertensi

6
Gambar 3. Patofisiologi hipertensi
1) Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah
Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai dengan
penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis merupakan proses
multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh darah dan terbentuk deposit
substansi lemak, kolesterol, produk sampah seluler, kalsium dan berbagai substansi
lainnya dalam lapisan pembuluh darah. Pertumbuhan ini disebut plak. Pertumbuhan plak
di bawah lapisan tunika intima akan memperkecil lumen pembuluh darah, obstruksi
luminal, kelainan aliran darah, pengurangan suplai oksigen pada organ atau bagian tubuh
tertentu. Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam pengontrolan
pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu
molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi
pada kasus hipertensi primer. Berikut merupakan gambaran pembentukan plak
aterosklerosis (Gambar 1)

7
Gambar 4. Pembentukkan plak aterosklerosis

Peningkatan tekanan darah dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan


perubahan struktural pembuluh darah. Perubahan struktur meliputi perubahan struktur
makro dan mikrovaskular. Perubahan makrovaskular berupa arteri menjadi kaku serta
perubahan amplifikasi tekanan sentral ke perifer. Perubahan mikrovaskular berupa
perubahan rasio dinding pembuluh darah dan lumen pada arteriol besar, abnormalitas
tonus vasomotor serta ‘structural rarefaction’ (hilangnya mikrovaskular akibat aliran
darah tidak mengalir di semua mikrovaskular demi mempertahankan perfusi ke kapiler
tertentu).[10]
Perubahan struktur tersebut akan mengganggu perfusi jaringan. Oleh karena tu
dalam jangka waktu lama dapat timbul kerusakan organ target.[10] Walaupun autoregulasi
tubuh terhadap tekanan darah akan berusaha mempertahankan aliran darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, kemampuan regulasi tersebut menurun pada pasien
hipertensi. Organ target yang dapat rusak meliputi jantung, ginjal, mata serta otak.
2) Sistem Renin-Angiotensin
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). Angiotensin II inilah yang
memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama :
a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
8
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang
pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur volume
cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)
dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl
akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan
ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan
darah.7

Gambar 4. Peran Sistem Renin-Angiotensin dalam Hipertensi

9
3) Sistem Saraf Simpatis
Perubahan sistem kardiovaskular, neurohormonal dan ginjal sangat berperan.
Peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat memicu peningkatan kerja jantung yang
berakibat peningkatan curah jantung. Kelainan pada pembuluh darah berperan terhadap
total resistensi perifer. Vasokonstriksi dapat disebakan peningkatan akitivitas saraf
simpatis, gangguan regulasi faktor lokal (nitrit oxide, faktor natriuretik, dan endothelin)
yang berperan dalam pengaturan tonus vaskular. Kelainan pada ginjal berupa defek kanal
ion Na+/K+/ATPase, abnormalitas regulasi hormon renin-angiotensin-aldosteron serta
gangguan aliran darah ke ginjal. Gangguan pada tekanan natriuresis juga dapat
mengganggu pengaturan eksresi sodium hingga mengakibatkan retensi garam dan cairan.
Peningkatan kadar vasokonstriktor seperti angiotensin II atau endotelin berhubungan
dengan peningkatan total resistensi perifer dan tekanan darah.
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di
pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron pregangli on melepaskan asetilkolin, yang
akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.3
4) Pola diet dan obesitas
Pola diet tinggi garam terutama pada pasien dengan sensitivitas garam yang tinggi
berkontribusi dalam menimbulkan tekanan darah tinggi. Pola hidup yang tidak sehat seperti
inaktivitas fisik dan pola diet yang salah dapat menimbulkan obesitas. Obesitas juga
berperan dalam meningkatkan risiko hipertensi esensial sebagaimana suatu studi
menunjukkan penurunan berat badan diikuti penurunan tekanan darah.[8] Obesitas dapat
memicu hipertensi melalui beberapa mekanisme di antaranya kompresi ginjal oleh lemak
retroperitoneal dan visceral. Peningkatan lemak visceral terutama lemak retroperitoneal
dapat memberikan efek kompresi pada vena dan parenkim renal sehingga meningkatkan
tekanan intrarenal, mengganggu natriuresis tekanan hingga mengakibatkan hipertensi.

10
Selain itu peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat dipicu oleh leptin. Studi
menunjukkan ikatan leptin pada reseptornya terutama pada neuron proopiomelanocortin
(POMC) di hipotalamus dan batang otak berperan dalam peningkatan tersebut.
Perangsangan saraf simpatis menyebabkan peningkatan kadar angiotensin II dan
aldosterone. Pada obesitas, peningkatan jaringan lemak dan laju metabolik meningkatkan
curah jantung sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan aliran darah. Tak hanya itu,
obesitas juga berkaitan dengan sindroma metabolik.
Peningkatan tekanan darah dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan
perubahan struktural pembuluh darah. Perubahan struktur meliputi perubahan struktur
makro dan mikrovaskular. Perubahan makrovaskular berupa arteri menjadi kaku serta
perubahan amplifikasi tekanan sentral ke perifer. Perubahan mikrovaskular berupa
perubahan rasio dinding pembuluh darah dan lumen pada arteriol besar, abnormalitas tonus
vasomotor serta ‘structural rarefaction’ (hilangnya mikrovaskular akibat aliran darah tidak
mengalir di semua mikrovaskular demi mempertahankan perfusi ke kapiler tertentu).
Perubahan struktur tersebut akan mengganggu perfusi jaringan. Oleh karena tu
dalam jangka waktu lama dapat timbul kerusakan organ target.[10] Walaupun autoregulasi
tubuh terhadap tekanan darah akan berusaha mempertahankan aliran darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, kemampuan regulasi tersebut menurun pada pasien
hipertensi. Organ target yang dapat rusak meliputi jantung, ginjal, mata serta otak.9

Gambar 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah

11
Gambar 6. Faktor yang mempengaruhi hipertensi

2.5 Faktor Risiko


Faktor resiko terjadinya hipertensi antara lain:
1. Usia
Tekanan darah cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki
meningkat pada usia lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita meningkat pada usia
lebih dari 55 tahun.
2. Ras/etnik
Hipertensi bisa mengenai siapa saja. Bagaimanapun, biasa sering muncul pada
etnik Afrika Amerika dewasa daripada Kaukasia atau Amerika Hispanik.
3. Jenis Kelamin
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada wanita.
4. Kebiasaan Gaya Hidup tidak Sehat
Gaya hidup tidak sehat yang dapat meningkatkan hipertensi, antara lain minum
minuman beralkohol, kurang berolahraga, dan merokok.10
a. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan hipertensi,
sebab rokok mengandung nikotin. Menghisap rokok menyebabkan nikotin terserap
oleh pembuluh darah kecil dalam paru-paru dan kemudian akan diedarkan hingga ke
otak. Di otak, nikotin akan memberikan sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas
epinefrin atau adrenalin yang akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa
jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan darah yang lebih tinggi.37

12
Tembakau memiliki efek cukup besar dalam peningkatan tekanan darah
karena dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Kandungan bahan kimia
dalam tembakau juga dapat merusak dinding pembuluh darah.8
Karbon monoksida dalam asap rokok akan menggantikan ikatan oksigen
dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah meningkat karena jantung
dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ dan
jaringan tubuh lainnya. Karbon monoksida dalam asap rokok akan menggantikan
ikatan oksigen dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah meningkat
karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup ke
dalam organ dan jaringan tubuh lainnya.
b. Kurangnya aktivitas fisik
Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan darah. Pada orang yang
tidak aktif melakukan kegiatan fisik cenderung mempunyai frekuensi denyut
jantung yang lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan otot jantung bekerja lebih
keras pada setiap kontraksi. Makin keras usaha otot jantung dalam memompa darah,
makin besar pula tekanan yang dibebankan pada dinding arteri sehingga
meningkatkan tahanan perifer yang menyebabkan kenaikkan tekanan darah.
Kurangnya aktifitas fisik juga dapat meningkatkan risiko kelebihan berat badan yang
akan menyebabkan risiko hipertensi meningkat. Studi epidemiologi membuktikan
bahwa olahraga secara teratur memiliki efek antihipertensi dengan menurunkan
tekanan darah sekitar 6-15 mmHg pada penderita hipertensi. Olahraga banyak
dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur
dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah.
Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi.12

2.6 Penegakkan Diagnosis


Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat menggunakan
sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali pengukuran
dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas meja dengan posisi telapak
tangan menghadap ke atas dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran
dilakukan dalam keadaan tenang. Pasien yang terdiagnosa hipertensi dapat dilakukan
tindakan lebih lanjut yakni :

13
1) Menentukan sejauh mana penyakit hipertansi yang diderita
Tujuan pertama program diagnosis adalah menentukan dengan tepat sejauh mana
penyakit ini telah berkembang, apakah hipertensinya ganas atau tidak, apakah arteri
dan organ-organ internal terpengaruh, dan lain- lain.
2) Mengetahui penyebabnya
Tujuan kedua dari program diagnosis adalah mengisolasi penyebab spesifiknya.
3) Pencarian faktor risiko tambahan
Aspek lain yang penting dalam pemeriksaan, yaitu pencarian faktor-faktor risiko
tambahan yang tidak boleh diabaikan.
4) Pemeriksaan dasar
Setelah terdiagnosis hipertensi maka akan dilakukan pemeriksaan dasar, seperti
kardiologis, radiologis, tes laboratorium, EKG (electrocardiography) dan rontgen.
5) Tes khusus
Tes yang dilakukan antara lain adalah :
a. X- ray khusus (angiografi) yang mencakup penyuntikan suatu zat warna yang
digunakan untuk memvisualisasi jaringan arteri aorta, renal dan adrenal.
b. Memeriksa saraf sensoris dan perifer dengan suatu alat electroencefalografi
(EEG), alat ini menyerupai electrocardiography (ECG atau EKG).43
6) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang sebagai evaluasi inisial pada penderita hipertensi meliputi
pengurukan funsi ginjal, elektrolit serum, glukosa puasa, dan lemak dapat diulang kembali
setelah pemberian agen antihipertensi dan selanjutnya sesuai dengan indikasi klinis.
Pemeriksaan laboratorium ekstensif diperlukan pada pasien dengan hipertensi yang resisten
terhadap obat dan ketiga evaluasi klinis mengarah pada bentuk kedua dari hipertensi. 6,14
Sistem Pemeriksaan
Ginjal Urinanalisis mikroskopik, eksresi albumin, serum BUN dan/atau
kreatinin
Endokrin Serum natrium, kalium, kalsium, dan TSH
Metabolik Glukosa puasa atau HbA1c, profil lipid (kolesterol total, HDL dan
LDL, trigliserida)
Lainnya Darah lengkap, rontgen dan elektrokardiogram
Tabel 3. Pemeriksaan Penunjang sebagai evaluasi awal6,14

14
2.7 Penatalaksanaan
Inisiasi Terapi Hipertensi
Begitu banyak definisi mengenai hipertensi, dari perspektif klinis definisi
yang dianggap paling pas: hipertensi adalah “level tekanan darah (TD) dimana pengobatan
untuk menurunkan TD menjadi lebih rendah dibandingkan level tersebut akan memberikan
manfaat klinis yang sangat signifikan”. Level TD yang dimaksud disini akan sangat bervariasi
antar satu individu dengan individu yang lainnya tergantung faktor risiko kardiovaskular
absolut yang dimiliki. Merujuk pada kondisi ini maka ditetapkan ambang batas TD secara
absolut kapan memulai terapi farmakologi dan target kendali TD yang optimal.3
Sebagaian besar guideline hipertensi merekomendasikan tatalaksana farmakologi pada

pasien dengan TD 140/90 mmHg yang belum mencapai target TD yang diinginkan dengan

modifikasi gaya hidup. Beberapa bukti menunjukkan bahwa pengobatan tekanan darah
>160/100 mmHg dapat menurunkan kejadian stroke, infrak jantung, gagal jantung dan
kematian.4-8 Terbukti bahwa terapi tekanan darah >140/90 mmHg khususnya pada pasien yang
berisiko tinggi sangat bermanfaat. Hal yang berbeda didapat pada JNC-8 yang menyatakan
bahwa batas inisiasi terapi adalah 140/90 mmHg untuk dewasa umur <60 tahun tetapi
merekomendasikan batasan yang lebih rendah yaitu pada usia >60 tahun.9

Target Terapi Hipertensi


Target ideal dari terapi tekanan darah tergantung dari populasi pasien, tetapi guideline harus
merekomendasikan terhadap populasi secara umum. Sampai saat ini target tekanan darah adalah <
140/90 mmHg untuk hipertensi uncomplicated dan target yang lebih rendah <130/80 mmHg untuk
mereka yang berisiko tinggi yaitu pasien dengan diabetes, penyakit kardiovaskuler atau
serebrovaskuler dan penyakit ginjal kronik. Khusus untuk guideline JNC VIII, usia <60 tahun

target kendali TD adalah sama yaitu <140/90 mmHg dan usia >60 tahun adalah <150/90 mmHg.4,9

Tabel berikut ini menunjukkan perbandingan dari berbagai guideline mengenai target tekanan darah
dan pemilihan awal obat hipertensi. Tabel 3. Perbandingan target dan pemilihan obat antihipertensi
dari berbagai guideline.4

15
Tabel 4. Perbandingan target dan pemilihan obat antihipertensi dari berbagai guideline.4

Prinsip Penatalaksanaan Hipertensi

Berdasarkan analisis dari berbagai penelitian didapatkan beberapa hal yang penting dalam
penatalaksanaan hipertensi.
1. Penurunan tekanan darah sangat penting dalam menurunkan risiko mayor kejadian
kardiovaskuler pada pasien hipertensi, jadi prioritas utama dalam terapi hipertensi adalah
mengontrol tekanan darah
2. Penelitian pendahuluan memfokuskan pada pengobatan tekanan darah diastolik tetapi
tekanan darah sistolik lebih sulit dikontrol dan lebih berpengaruh pada outcome
kardiovaskuler.
3. Monoterapi jarang bisa mengontrol tekanan darah, dan banyak pasien memerlukan lebih
dari 1 obat anti hipertensi
4. Respon terhadap berbagai klas anti hipertensi adalah heterogen, beberapa pasien mungkin
akan berespon lebih baik dari pasien yang lain.

16
5. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa penyakit komorbiditas seperti diabetes, dan
kerusakan target organ seperti LVH dan CKD mengindikasikan pemilihan kelas obat yang spesifik
dalam terapi hipertensi tetapi hal ini jangan sampai menyampingkan pentingnya kontrol
tekanan darah.
6. Penurunan tekanan darah 20/10 mmHg pada pasien hipertensi akan menurunkan 50% risiko
kejadian kardiovaskuler.
Strategi Terapi Hipertensi
Obat anti hipertensi terdiri dari beberapa jenis, sehingga memerlukan strategi terapi untuk
memilih obat sebagai terapi awal, termasuk mengkombinasikan beberapa obat anti hipertensi.
Asessmen awal meliputi identifikasi faktor risiko, komorbid, dan adanya kerusakan organ target
memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan pemilihan obat anti hipertensi.
Sebelum membahas lebih mendetail mengenai terapi farmakologi pada hipertensi, peran
tatalaksana modifikasi gaya hidup tetap memegang peranan penting. Modifikasi gaya hidup
selama periode observasi (TD belum mencapai ambang batas hipertensi) harus tetap
dilanjutkan meskipun pasien sudah diberikan obat anti hipertensi. Perubahan gaya hidup dapat
mempotensiasi kerja obat anti hipertensi khususnya penurunan berat badan dan asupan garam.
Perubahan gaya hidup juga penting untuk memperbaiki profil risiko kardiovaskuler
disamping penurunan TD.
Pilihan Terapi Inisial
Terapi farmakologi hipertensi diawali dengan pemakaian obat tunggal.
Tergantung level TD awal, rata-rata monoterapi menurunkan TD sistole sekitar 7-13 mm
Hg dan diastole sekitar 4-8 mmHg Terdapat beberapa variasi dalam pemilihan terapi
awal pada hipertensi primer. Sebelumnya guideline JNC VII merekomendasikan
thiazide dosis rendah. JNC VIII saat ini merekomendasikan ACE-inhibitor, ARB,
diuretic thiazide dosis rendah, atau CCB untuk pasien yang bukan ras kulit hitam. Terapi
awal untuk ras kulit hitam yang direkomendasikan adalah diuretic thiazide dosis rendah
atau CCB. Di lain pihak guideline Eropa terbaru merekomendasikan 5
golongan obat sebagai terapi awal yaitu ACE-inhibitor, ARB, diuretic thiazide dosis
rendah, CCB atau -blocker berdasarkan indikasi khusus (Gambar 1).
Guideline UK NICE memakai pendekatan berbeda, menekankan etnik
dan ras merupakan faktor determinan penting dalam menentukan pilihan obat awal
pada hipertensi. Hal ini selanjutnya diadaptasi oleh guideline JNC VIII.

17
Rasionalisasi dari konsep ini adalah RAAS bersifat lebih aktif pada usia
muda jika dibandingkan pada usia tua dan ras kulit hitam. Jadi guidelina UK.
NICE merekomendasikan ACE-inhibitor atau ARB pada usia <55 tahun, bukan ras kulit
hitam sedangkan CCB untuk untuk usia >55 tahun (bukan ras kulit hitam) dan ras kulit
hitam dengan semua rentang usia. Batasan untuk rekomendasi ini adalah: (1) diuretics
thiazide lebih dipilih dibandingkan CCB untuk kondisi gagal jantung atau pasien
dengan risiko tinggi untuk mengalami gagal jantung; (2) ACE inhibitor atau ARB
tidak digunakan pada wanita hamil, dalam kondisi ini -blocker lebih dipilih.
Guideline UK. NICE dan JNC VIII membatasi pemakaian Beta blocker
sebagai terapi awal dengan pengecualian adanya indikasi spesifik seperti pasien gagal
jantung kronik, angina simtomatik, atau pasca infark miokard. Alasan dibatasinya
pemakaian Beta blocker sebagai terapi awal adalah: (1) Kurang efektif dalam
menurunkan risiko stroke dan penyakit jantung iskemik jika dibandingkan dengan
golongan obat lain; (2) meningkatkan risiko diabetes terutama jika dibandingkan
dengan terapi diuretik; (3) lebih mahal dari segi pembiayaan jika dipakai sebagai terapi
awal. Pengobatan antihipertensi dengan terapi farmakologis dimulai saat seseorang
dengan hipertensi tingkat 1 tanpa faktor risiko, belum mencapai target TD yang
diinginkan dengan pendekatan nonfarmakologi.

Tabel 5. Indikasi Spesifik Pemilihan Obat Awal Pada Hipertensi1.

18
Penelitian besar membuktikan bahwa obat-obat antihipertensi utama
berasal dari golongan : diuretik, ACE inhibitor, antagonis kalsium, angiotensin receptor
blocker (ARB) dan beta blocker (BB). Semua golongan obat antihipertensi di atas
direkomendasikan sebagai pengobatan awal hipertensi dan terbukti secara signifikan
menurunkan TD. Tabel di bawah ini menunjukkan jenis-jenis obat antihipertensi dan
dosis yang disarankan.

Tabel 5. Dosis Obat Antihipertensi Berdasarkan Evidence-Based4

Kombinasi Obat Antihipertensi

Tujuan utama pengobatan hipertensi adalah untuk mencapai dan mempertahankan target
TD. Jika target TD tidak tercapai dalam waktu satu bulan pengobatan, maka dapat
dilakukan peningkatan dosis obat awal atau dengan menambahkan obat kedua dari salah
satu kelas (diuretik thiazide, CCB , ACEI , atau ARB ).4

19
Gambar 7. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi Esensial, Terapi Awal dan Kombinasi
(Guideline UK. NICE)2

Kombinasi dua obat dosis rendah direkomendasikan untuk kondisi TD >20/10 mmHg di
atas target dan tidak terkontrol dengan monoterapi. Secara fisiologis konsep kombinasi 2 obat
(dual therapy) cukup logis, karena respon terhadap obat tunggal sering dibatasi oleh mekanisme
counter aktivasi. Sebagai contoh kehilangan air dan sodium oleh thiazide akan dikompensasi
oleh RAAS sehingga akan membatasi efektivitas thiazide dalam menurunkan tensi. Kombinasi 2
golongan obat dosis rendah yang direkomendasikan adalah penghambat RAAS+diuretic dan
penghambat RAAS+CCB. Penting harus diingat jangan menggunakan kombinasi ACEI dan
ARB pada 1 pasien yang sama. Jika target TD tidak bisa dicapai menggunakan 2 macam obat
antihipertensi dalam rekomendasi di atas atau karena kontra indikasi atau dibutuhkan lebih dari
3 obat untuk mencapai target TD, obat antihipertensi dari kelas lain dapat digunakan.
Rujukan ke spesialis hipertensi dapat diindikasikan untuk pasien yang target
TD tidak dapat dicapai dengan menggunakan strategi di atas atau untuk pengelolaan
pasien yang kompleks yang memerlukan tambahan konsultasi. Guideline JNC VIII
merekomendasikan ACE-inhibitor atau ARB dengan CCB atau thiazid. Konsep ini sama
dengan guideline UK yang pertama merekomendasikan kombinasi ACE-inhibitor atau ARB
dengan CCB (A+C). Guideline JNC VIII merekomendasikan kombinasi ACE-inhibitor
atau ARB dengan CCB dan atau thiazid. Konsep ini sama dengan guideline UK. yang
pertama merekomendasikan kombinasi ACE-inhibitor atau ARB dengan CCB (A+C).

20
Mengkombinasikan Penghambat Renin-Angiotensin-Aldosterone System (RAAS)

Kombinasi beberapa jenis obat dari golongan penghambat RAAS dewasa ini
sudah tidak direkomendasikan. Data dari trial ONTARGET(3) (ACE inhibitor+ARB) dan
ALTITUDE (ARB+Direct Renin Inhibitor)(4) mendapatkan jika kombinasi ini tidak
lebih efektif jika dibandingkan ACE inhibitor tunggal dalam menurunkan risiko penyakit
kardiovaskuler pada populasi berisiko tinggi termasuk dengan diabetes. Di lain
pihak kombinasi tersebut meningkatkan efek samping seperti gangguan fungsi ginjal.
Tabel di bawah ini menunjukkan strategi penentuan titrasi dosis atau kombinasi obat
anti hipertensi.

Tabel 6. Strategi penentuan dosis obat antihipertensi

Bagan di bawah ini menunjukkan pilihan kombinasi obat anti hipertensi, dimana 4 dasar
dari proses fisiologi dalam pengaturan tekanan darah dan penempatan dari klas utama obat
antihipertensi dihubungkan dengan proses yang bertanggungjawab terhadap efek primer dari
antihipertensinya. Obat kombinasi dalam mengontrol tekanan darah biasanya lebih efektif dari sisi
yang berbeda (misalnya : diuretik + ARB) dan sebaliknya pada sisi yang sama dari diagram
(Misalnya Beta blocker + alfa-2 agonis).

21
Gambar 2. Skema terapi kombinasi obat antihipertensi5
(ACE-I. Angiotensin converting enzyme inhibitor; ARB, angiotensin receptor blocker;
CCB, calcium channel blocker; MRS, mineralcorticoid antagonist).
Obat – obat Anti Hipertensi
Ada berbagai kelas obat antihipertensi dengan mekanisme kerja dan efek
samping yang berbeda-beda. Tabel di bawah ini menunjukkan kelas obat antihipertensi,
mekanisme kerja dan efek samping yang bisa terjadi.

Tabel 7. Obat Antihipertensi yang direkomendasikan dalam JNC8 5

22
Penatalaksanaan hipertensi secara menyeluruh berdasarkan JNC VIII dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :

Gambar 9. Algoritme Manajemen Hipertensi Berdasarkan JNC 84

23
2.8 Komplikasi

I. Jantung
Penyakit jantung merupakan penyebab yang tersering menyebabkan kematian
pada pasien hipertensi. Penyakit jantung hipertensi merupakan hasil dari
perubahan struktur dan fungsi yang menyebabkan pembesaran jantung kiri
disfungsi diastolik, dan gagal jantung.6
II. Otak
Hipertensi merupakan faktor risiko yang penting terhadap infark dan
hemoragik otak. Sekitar 85 % dari stroke karena infark dan sisanya karena
hemoragik. Insiden dari stroke meningkat secara progresif seiring dengan
peningkatan tekanan darah, khususnya pada usia > 65 tahun. Pengobatan pada
hipertensi menurunkan insiden baik stroke iskemik ataupun stroke hemorgik.6
III. Ginjal
Hipertensi kronik menyebabkan nefrosklerosis, penyebab yang sering terjadi
pada renal insufficiency. Pasien dengan hipertensif nefropati, tekanan darah
harus 130/80 mmHg atau lebih rendah, khususnya ketika ada proteinuria.6

2.9 Pencegahan
Pencegahan dan kontrol dari hipertensi membutuhkan dukungan politik sebagai
peran dari pemerintah dan para pembuat kebijakan. Petugas kesehatan, komunitas
peneliti akademis, lembaga masyarakat, sektor privat, serta keluarga dan penderita
hipertensi sendiri semuanya ikut berperan.

24
BAB III
PENUTUP

Hipertensi merupakan penyakit yang sangat umum ditemui dan dikenal sebagai
penyakit kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah diatas normal.
Faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dapat dibagi menjadi 2 yaitu faktor yang
dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak
dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, dan faktor
genetik. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi tergantung dari gaya hidup
pasien.
Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskuler dan ginjal. Berdasarkan JNC VIII target tekanan darah adalah
kurang dari 140/90 mmHg untuk kelompok usia >40 tahun dan kurang dari 150/90
mmHg untuk kelompok usia >60 tahun. Terapi untuk hipertensi dapat dibagi
menjadi 2 yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi non
farmakologis antara lain mengurangi asupan garam, olah raga, menghentikan rokok
dan mengurangi berat badan, dapat dimulai sebelum atau bersama-sama dengan
obat farmakologi. Untuk terapi farmakologi beberapa golongan obat yang dapat
dipakai antara lain ACE inhibitor, angiotensin receptor blocker, beta blocker,
penghambat kanal kalsium, dan diuretik tipe thiazide. Penggunaan obat
antihipertensi dapat dikombinasikan ataupun dengan menaikkan dosis obat secara
bertahap sampai mencapai target tekanan darah.
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyebab gagal jantung,
gagal ginjal serta penyakit serebrovaskular.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO). A Global Brief on Hypertension: Silent


Killer, Global Public Health Crisis [Internet]. 2013 [diakses pada 15 November
2015]. Tersedia dari: http://chronicconditions.thehealthwell.info/search-
results/global-brief-hypertension-silent-killer-global-public-health-
crisis?source=relatedblock
2. Krishnan A, Garg R, Kahandaliyanage A. Hypertension in the South-East Asia
Region: an overview. Regional Health Forum. 2013; 17(1): 7-14.
3. James PA, Oparil S, Carter BL et al. 2014 Evidence-Based Guideline for the
Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel
Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA:
2013.
4. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL, et
al. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 2003; 42:
1206–52.
5. Cowley AW Jr. The genetic dissection of essential hypertension. Nat Rev
Genet. 2006 Nov; 7(11):829–40. [PMID: 17033627].
6. Kasper, Braunwald, Fauci, et al. Harrison’s principles of internal medicine
17th edition. New York: McGrawHill: 2008.
7. Setiawan, Zamhir. Karakteristik sosiodemografi sebagai faktor resiko
hipertensi studi ekologi di pulau Jawa tahun 2004 [Tesis].Jakarta: Program
Studi Epidemiologi Program Pasca Sarjana FKM-UI; 2006.
8. Hasurungan, JA.Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada
lansia di Kota Depok tahun 2002 [Tesis]. Jakarta:Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia; 2002.
9. Thomas M. Habermann, , Amit K. Ghosh. Mayo Clinic Internal Medicine
Concise Textbook. 1st edition. Canada: Mayo Foundation for Medical
Education and Research: 2008.

26
10. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan RI.
Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. 2006.
11. Norman M. Kaplan. Kaplan's Clinical Hypertension 9th edition. Philadelphia,
USA: Lippincott Williams & Wilkins: 2006.
12. Horacio J, Nicolaos E. Sodium and Potassium in the Pathogenesis of
Hypertension. N Engl J Med 2007; 356: 1966-78.
13. Rahajeng E, Tuminah S. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di
Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia: 2009; 59 (12): 580-7.
14. Kenning I, Kerandi H, Luehr D, Margolis K, O’Connor P, Pereira C, Schlichte
A, Woolley T. Institute for Clinical Systems Improvement. Hypertension
Diagnosis and Treatment. Updated November 2014.
15. Basuki B, Setianto B. Age, body posture, daily working load – past
antihypertensive drugs and risk of hypertension: a rural Indonesia study. Med
J Indon. 2001; 10(1): 29-33.
16. Kaplan NM. Clinical hypertension. 8th ed. Lippincott: Williams & Wilkins;
2002.

27

Anda mungkin juga menyukai