Anda di halaman 1dari 24

SKENARIO SUB MODUL 3

KAKU KUDUK

Wanita 70 tahun diantar oleh keluarganya ke UGD dengan penurunan kesdaran. Lima
hari yang lalu pasien mengeluh mata merah dan sembab dengan kotoran mata. Sejak dua hari
yang lalu pasien demam tinggi disertai nyeri kepala hebat, sehari yang lalu mulai terjadi
penurunan kesadaran. Hasil pemeriksaan GCS diperoleh M5V2E3, tanda vital : TD
100/70mmHG, N 80x/menit, R 20x/menit, T 39oC. Pemeriksaan status neurologis ditemukan
tanda meningeal (+). Dokter juga mengkonsultasikan pasien tersebut ke spesialis saraf.
Spesialis saraf menyuruh untuk dilakukan pemeriksaan LCS. Hasil pemeriksaan LCS
diperoleh warna keruh, protein meningkat, glukosa turun, leukosit meningkat dominan PMN.
Pasien diterapi dengan paracetamol dan antibiotik.

STEP I

1. Kaku kuduk  Leher yang kaku biasanya ditandai dengan rasa sakit
dan sulit atau tahanan menggerakkan leher terutama
saat memutar kepala.
2. Tanda meningeal  Rangsangan meningeal yang timbul bila ada iritasi
pada meningen berupa kaku kuduk, tanda brudzinsky I dan II
dan tanda Kernig

keyword

1. Wanita 70 tahun mengalami penurunan kesadaran


2. Pasien mengeluh mata merah , sembab dan kotoran mata 5 hari yang lalu
3. Demam tinggi dan nyeri kepala hebat 2 hari yang lalu
4. GCS  M5V2E3
5. TTV  TD : 100/40
N : 80x/mnt
R : 20x/mnt
T : 39O
Tanda meningeal ( + )

6. LCS  Keruh, peningkatan protein , penurunan glukosa , peningkatan

1
leukosit ( dominan PMN )
7. Terapi dengan paracetamol dan antibiotic

STEP II

1) Apa yang menyebabkan pasien mengalami penurunan kesadaran ?


2) Apakah hubungan jenis kelamin dan usia pada kasus tersebut ?
3) Mengapa pasien mengeluhkan mata merah , sembab dan kotoran pada
mata ?
4) Apa yang menyebabkan nyeri kepala hebat pada pasien tersebut ?
5) Bagaimana mekanisme demam tinggi pada pasien tersebut ?
6) Jelaskan kemungkinan diagnosis kasus !
7) Bagaimana hubungan penurunan kesadaran dengan keluhan pasien 5
hari lalu !
8) Mengapa ditemukan LCS keruh,protein meningkat, glukosa menurun ,
dan leukosit yang meningkat ?
9) Apa antibiotic yang kita-kira dokter berikan ?
10) Jelaskan yang dimaksud tanda meningeal + dan bagaimana
mekanisme nya !
11) Apa penatalaksaan awal kasus yang sudah di diagnosis ?
12) Mengapa pasien bias kaku kuduk ?
13) Apa saja faktir resiko pada keluhan pasien ?
14) Apa yang menyebabkan diagnosis pada kasus ?

STEP III

2
STEP IV

Edukasi

Prinsip dan tata laksana Pencegahan dan vaksinasi

Penegakan diagnosis
Definisi

MENINGITIS

Manifestasi klinis
Epidemiologi

Pathogenesis dan patofisiologi Klasifikasi berdasarkan etiologi

Factor resiko

STEP V

LO :

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang definisi meningitis, ensefalitis,


enselopati, meningoenselopati
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang epidemiologi meningitis
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang klasifikasi meningitis
berdasarkan etiologi
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang faktor risiko meningitis
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang patogenesis dan phatofisiologi
meningitis
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang menifestasi klinis meningitis
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang penegakkan diagnosis meningitis
3
8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang prinsip dan tatalaksana
meningitis
9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang edukasi meningitis
10. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang pencegahan dan vaksinasi
meningitis
11. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang prognosis meningitis

4
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Meningitis, Ensefalopati, Ensefalitis dan Meningoensefalitis(1)

Meningitis Merupakan inflamasi pada meninges


terutama pada ruangan spatium
subarachnoid yaiu antara arachnoid mater
dan piamater
Ensepalopati Merupakan istilah umum yang
menggambarkan penyakit otak, kerusakan
ataupun malfungsi otak yang progresif
Ensefalitis Merupakan inflamasi yang terjadi pada
parenkim otak
Meningoensepalitis Merupakan inflamasi ataupun peradangan
pada meninges dan encephalon

(2,3)
2.2 Epidemiologi Meningitis Bakteri
Meningitis bakterial akut merupakan permasalahan kesehatan dunia yang serius.
Secara keseluruhan merupakan permasalahan kesehatan dunia yang serius. Secara
keseluruhan diperkirakan 1-2 juta kasus meningitis bakteri terjadi dalam satu tahun.
Permasalahan yang lebih penting terjadi di negara-negara dengan sumber daya yang rendah,
seperti beberapa daerah Sub Sahara Afrika, Asia Teggara dan Amerika Selatan. Insiden
meningitis bakterial pada dewasa ini di negara maju sebesar 4-6 per 100.000 orang pertahun,
sedangkan insidensi meningitis pada anak usia kurang dari 5 tahun adalah 76,7 per 100.000
orang pertahun..

Penelitian yang membandingkan insidensi kasus meningitis bakterial pada anak-


anak usia <14 tahun, dewasa muda (14-20 tahun )dan dewasa (>20 tahun), secara berturut-
turut sebesar 20,6 dan 10 per 100.000 pertahun . Meningitis bakterial di Indonesia menduduki
urutan ke 9 dari 10 pola penyakit anak di delapan rumah sakit pendidikan di Indonesia pada
tahun 1984.Sekitar 80% dari seluruh kasus meningitis bakterial terjadi pada anak dan 70%
dari jumlah tersebut terjadi pada anak berusia 1-5 bulan. Mortalitas sebesar 12,5 % dan
menderita kelainan neurologis sebagai gejala sisa sebesar 30% . Fatality rate berkisar antara
2% pada bayi dan anak-anak dan 20-30% pada neonatus dan dewasa . Penelitian lain
menunjukan case fatality rate meningitis meningitis bakterial pada anak secara kesuluruhan
berkisar sebesar 36%. Di Negara maju, dimana fasilitas kesehatan lebih lengkap, case fatality
rate meningitis bakterial pada anak mendekati 10%. Mortalitas penyakit yang tidak

Meningitis Ensefalopati Ensefalitis Meningoensefalitis Merupakan inflamasi pada meninges


terutama pada ruangan spatium arachnoid yaitu diantara arachnoid mater dan piamater.
Merupakan istilah umum yang menggambarkan penyakit otak, kerusakan ataupun malfungsi
otak Merupakan inflamasi yang terjadi pada parenkim otak . Peradangan pada meninges dan
enchepalithis diobati mendekati 100%. Pada era sebelum penggunaan antibiotik,lebih dari
90% anak-anak dengan meningitis bakterial meninggal karena penyakit ini. Pengenalan
dengan vaksin terbukti menekan angka kematian walaupun angka morbiditas masih tetap.
5
2.3 Klasifikasi Meningitis Berdasarkan Etiologi (12)
1. Meningitis Bakteri
Meningitis bakteri adalah penyebab utama keadaan kebingungan akut dan satu di
mana diagnosis dini sangat penting untuk hasil yang baik. Kondisi predisposisi termasuk
infeksi sistemik (terutama pernapasan) atau parameningeal, trauma kepala, defek meningeal
anatomi, bedah saraf sebelumnya, kanker, alkoholisme, dan keadaan defisiensi imun.
Organisme etiologis bervariasi sesuai usia dan dengan adanya kondisi predisposisi

Patogenesis

Bakteri biasanya mendapatkan akses ke SSP dengan menjajah selaput lendir


nasofaring, yang mengarah ke invasi jaringan lokal, bakteremia, dan pembenihan hematogen
pada ruang subarachnoid. Listeria adalah pengecualian karena dicerna. Bakteri juga dapat
menyebar ke meninges secara langsung, melalui cacat anatomi di tengkorak atau dari situs
parameningeal seperti sinus paranasal atau telinga tengah. Kapsul bakteri polisakarida,
lipopolisakarida, dan protein membran luar dapat berkontribusi terhadap invasi dan virulensi
bakteri. Rendahnya tingkat antibodi dan komplemen yang ada dalam cairan serebrospinal
tidak memadai untuk menahan infeksi. Respon inflamasi yang dihasilkan terkait dengan
pelepasan sitokin inflamasi yang mempromosikan permeabilitas sawar darah-otak, edema
serebral vasogenik, perubahan aliran darah otak, dan mungkin sitotoksisitas langsung.
6
Meningitis bakteri ditandai oleh infiltrasi leptomeningeal dan perivaskular dengan
leukosit polimorfonuklear dan eksudat inflamasi. Ini cenderung paling menonjol pada
cembung serebral pada infeksi Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus dan pada pangkal
otak dengan Neisseria meningitidis. Edema otak, hidrosefalus, dan infark serebral dapat
terjadi, walaupun invasi bakteri pada parenkim otak jarang terjadi.

Temuan klinis

Pada presentasi, sebagian besar pasien memiliki gejala selama 1 hingga 7 hari. Ini
termasuk demam, kebingungan, muntah, sakit kepala, dan leher kaku, tetapi biasanya sindrom
lengkap tidak ada.

Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan demam dan tanda-tanda infeksi sistemik atau
parameningeal, seperti abses kulit atau otitis. Ruam petekie terlihat pada 50% hingga 60%
pasien dengan meningitis N. meningitidis. Tanda-tanda iritasi meningeal (meningismus)
terlihat pada sekitar 80% kasus, tetapi sering tidak ada pada orang yang sangat muda dan
sangat tua, atau dengan imunosupresi atau kesadaran yang sangat terganggu. Tanda-tanda ini
termasuk kekakuan leher pada fleksi pasif, fleksi paha pada fleksi leher (tanda Brudzinski),
dan resistensi terhadap ekstensi pasif lutut dengan pinggul tertekuk (tanda Kernig) (lihat
Gambar 1-5). Tingkat kesadaran, ketika diubah, berkisar dari kebingungan ringan hingga
koma. Tanda-tanda neurologis fokal, kejang, dan kelumpuhan saraf kranial dapat terjadi.
Papilledema jarang terjadi.

Temuan Laboratorium

Darah perifer dapat menunjukkan leukositosis polimorfonuklear dari infeksi sistemik


atau leukopenia yang disebabkan oleh imunosupresi. Organisme penyebab dapat dikultur dari
darah dalam kira-kira dua pertiga kasus. Gambar dada, sinus, atau tulang mastoid dapat
menunjukkan situs utama infeksi. CT otak atau MRI scan dapat menunjukkan peningkatan
kontras dari cembung otak, pangkal otak, atau ependyma ventrikel. EEG biasanya lambat
secara difus. Pungsi lumbal yang cepat dan pemeriksaan CSF sangat penting dalam semua
kasus yang diduga meningitis. Tekanan CSF meningkat pada sekitar 90% kasus, dan tampilan
cairan berkisar dari agak keruh hingga sangat purulen. Jumlah sel darah putih CSF 1.000
hingga 10.000 / μL adalah biasa, terutama terdiri dari leukosit polimorfonuklear, meskipun sel
mononuklear dapat mendominasi dalam meningitis Listeria monocytogenes. Konsentrasi
protein 100 hingga 500 mg / dL adalah yang paling umum. Tingkat glukosa CSF lebih rendah
dari 40 mg / dL pada sekitar 80% kasus dan mungkin terlalu rendah untuk diukur. Apusan

7
CSF bernoda Gram mengidentifikasi organisme penyebab pada 70% hingga 80% kasus.
Biakan CSF, yang positif pada sekitar 80% kasus, memberikan diagnosis pasti dan
memungkinkan penentuan sensitivitas antibiotik. Reaksi rantai polimerase dapat berguna
dalam meningitis bakteri kultur-negatif dan untuk mengidentifikasi strain meningokokus.

 MENINGITIS TB

Meningitis tuberkulosis harus dipertimbangkan pada pasien yang datang dengan


keadaan kebingungan, terutama jika ada riwayat TB paru, alkoholisme, pengobatan
kortikosteroid, infeksi HIV, atau kondisi lain yang terkait dengan gangguan respons imun. Ini
juga harus dipertimbangkan pada pasien dari daerah (misalnya, Asia, Afrika) atau kelompok
(misalnya, pengguna narkoba tunawisma dan pusat kota) dengan kejadian TB yang tinggi.

Patogenesis & Patologi

Meningitis tuberkulosis biasanya hasil dari reaktivasi infeksi laten dengan


Mycobacterium tuberculosis. Infeksi primer, biasanya didapat dengan menghirup tetesan yang
mengandung basil, dapat dikaitkan dengan penyebaran metastasis basil yang ditularkan
melalui darah dari paru-paru ke meninges dan permukaan otak. Di sini organisme tetap dalam
keadaan tidak aktif dalam tuberkel yang dapat pecah ke ruang subarachnoid di kemudian hari,
mengakibatkan meningitis tuberkulosis.

Temuan patologis utama adalah eksudat meningeal basal yang mengandung terutama
sel mononuklear. Tuberkel dapat dilihat pada meninges dan permukaan otak. Ventrikel dapat
membesar akibat hidrosefalus, dan permukaannya dapat menunjukkan eksudat ependymal
atau ependimitis granular. Arteritis dapat menyebabkan infark serebral, dan peradangan basal
dan fibrosis dapat menekan saraf kranial

Temuan klinis

Gejala biasanya telah hadir selama kurang dari 4 minggu pada saat presentasi dan
termasuk sakit kepala, demam, leher kaku, muntah, dan lesu atau kebingungan. Kehilangan
BB, gangguan penglihatan, diplopia, kelemahan fokus, dan kejang juga dapat terjadi. Riwayat
kontak dengan yang diketahui kasus TBC biasanya tidak ada.

Demam, tanda-tanda iritasi meningeal, dan kebingungan keadaan adalah temuan


paling umum pada pemeriksaan fisik, tetapi semua mungkin tidak ada. Papilledema, mata
pucat, dan hemiparesis atau paraparesis kadang terlihat. Komplikasi termasuk hiponatremia,
hidrosefalus, edema otak, kehilangan penglihatan, palsi kranial (terutama VI), blok
8
subarachnoid spinal, dan stroke, yang biasanya mempengaruhi kapsul internal, ganglia basal,
atau thalamus.

Hanya setengah hingga dua pertiga pasien menunjukkan hasil positif tes kulit untuk
TBC atau bukti aktif atau sembuh infeksi tuberkular pada rontgen dada; CT dada lebih
sensitif. Diagnosis ditegakkan dengan analisis CSF. Tekanan CSF biasanya meningkat, dan
cairan biasanya jernih dan tidak berwarna. Pleositosis sel limfositik dan mononuklear 50
hingga 500 sel / mL paling sering terlihat, tetapi pleositosis polimorfonuclear dapat terjadi
lebih awal dan dapat memberikan hasil yang keliru. kesan meningitis bakteri. Protein CSF
biasanya lebih dari 100 mg / dL dan dapat melebihi 500 mg / dL, khususnya pada pasien
dengan blok subarachnoid spinal. Glukosa kadar biasanya menurun dan mungkin kurang dari
20 mg / dL. Bakteri basil tahan asam (AFB) dari CSF (Gambar 4-12) seharusnya dilakukan
pada semua kasus yang diduga meningitis tuberkulosis, tetapi hanya positif pada sebagian
kecil kasus. Diagnosis pasti paling sering dibuat dengan membiakkan M. tuberculosis dari
CSF, suatu proses yang biasanya memakan waktu beberapa minggu dan membutuhkan
sejumlah besar cairan tulang belakang untuk hasil maksimal. CT atau MRI scan dapat
menunjukkan peningkatan tangki basal dan meninges kortikal atau hidrosefalus.

2. MENINGITIS VIRAL & ENCEPHALITIS

Infeksi virus pada meninges (meningitis) atau parenkim otak (ensefalitis) sering muncul
sebagai keadaan konfusional akut. Agen penyebab paling umum tercantum pada Tabel 4-12.
Petunjuk dalam sejarah yang mungkin menyarankan virus tertentu atau keluarga virus
termasuk waktu dalam setahun, perjalanan terakhir, kontak dengan serangga atau hewan lain,
kontak seksual, dan penekanan kekebalan. Beberapa virus (misalnya, herpesvirus) dapat
menyebabkan meningitis atau ensefalitis, tetapi yang lain lebih memengaruhi meninges
(misalnya, enterovirus) atau parenkim otak (misalnya, virus yang ditularkan melalui artropoda
— atau virus arbo)

Patologi

Infeksi virus dapat mempengaruhi SSP dalam tiga cara — penyebaran hematogen dari
infeksi virus sistemik (misalnya, virus yang ditularkan artropoda), penyebaran neuron virus
melalui transportasi aksonal (mis. Herpes simpleks, rabies), dan demielinasi autoimun
postinfectious (misalnya, varicella, influenza). Perubahan patologis pada meningitis virus
terdiri dari reaksi meningeal inflamasi yang dimediasi oleh limfosit. Ensefalitis ditandai oleh

9
perivaskular cuffing, infiltrasi limfositik, dan proliferasi mikroglial terutama melibatkan
daerah materi abu-abu subkortikal. Inklusi intranuclear atau intracytoplasmic sering terlihat

Temuan klinis

Manifestasi klinis meningitis virus termasuk demam, sakit kepala, leher kaku,
fotofobia, nyeri dengan gerakan mata, dan gangguan kesadaran ringan. Pasien biasanya tidak
tampak sakit seperti mereka dengan meningitis bakteri. Manifestasi sistemik dari infeksi
virus, termasuk ruam kulit, faringitis, limfadenopati, radang selaput dada, karditis, ikterus,
organomegali, diare, atau orkitis, dapat menyarankan agen etiologi tertentu. Ensefalitis virus,
yang melibatkan otak secara langsung, menyebabkan perubahan kesadaran yang lebih jelas
daripada meningitis virus, dan mungkin juga menghasilkan kejang dan tanda-tanda neurologis
fokal. Ketika tanda-tanda iritasi meningeal dan disfungsi otak hidup berdampingan, kondisi
ini disebut meningoensefalitis.

3. MENINGITIS JAMUR

Pada sebagian kecil pasien dengan infeksi jamur sistemik (mikosis), jamur menginvasi
SSP untuk menghasilkan meningitis atau lesi intraparenchymal fokal (Tabel 4-13). Beberapa
jamur adalah organisme oportunistik yang menyebabkan infeksi pada pasien dengan kanker,
mereka yang menerima kortikosteroid atau obat imunosupresif lainnya, dan inang yang lemah

10
lainnya. Penyalahgunaan obat intravena adalah rute potensial untuk infeksi Candida dan
Aspergillus. Asidosis diabetik berkorelasi kuat dengan mukormikosis rhinoserebral.
Sebaliknya, infeksi meningeal dengan Coccidioides, Blastomyces, dan Actinomyces biasanya
terjadi pada individu yang sebelumnya sehat. Cryptococcus (penyebab paling umum dari
meningitis jamur di Amerika Serikat) dan infeksi Histoplasma dapat terjadi pada pasien yang
sehat atau yang kekurangan imun. Meningitis kriptokokus adalah infeksi jamur yang paling
umum pada sistem saraf pada pasien dengan infeksi HIV, tetapi infeksi Coccidioides dan
Histoplasma juga dapat terjadi pada keadaan ini. Faktor geografis juga penting dalam
epidemiologi mikosis tertentu: Blastomyces terlihat terutama di Lembah Sungai Mississippi,
Coccidioides di Amerika Serikat bagian barat daya, dan Histoplasma di Amerika Serikat
bagian timur dan barat tengah.

Patogenesis & Patologi

Jamur mencapai SSP dengan penyebaran hematogen dari paru-paru, jantung, saluran
pencernaan atau genitourinarius, atau kulit, atau dengan ekstensi langsung dari situs
parameningeal seperti orbit atau sinus paranasal. Invasi meninge dari fokus infeksi yang
berdekatan secara umum sering terjadi pada mucormycosis tetapi juga dapat terjadi pada
aspergillosis dan actinomycosis.

Temuan patologis pada infeksi jamur pada sistem saraf meliputi reaksi eksudatif
meningeal mononuklear utama, abses fokal atau granuloma di otak atau ruang epidural tulang
belakang, infark serebral terkait dengan vaskulitis, dan pembesaran ventrikel yang disebabkan
oleh hidrosefalus yang berkomunikas

Temuan klinis

Meningitis jamur biasanya merupakan penyakit subakut dan secara klinis menyerupai
meningitis tuberkulosis. Gejala umum termasuk sakit kepala dan kelesuan atau kebingungan.
Mual dan muntah, kehilangan penglihatan, kejang, atau kelemahan fokus dapat dicatat,
sedangkan demam mungkin tidak ada. Pada pasien diabetes dengan asidosis, keluhan nyeri
wajah atau mata, keluarnya cairan hidung, proptosis, atau kehilangan penglihatan harus segera
memperingatkan dokter tentang kemungkinan infeksi Mucor.

Pemeriksaan kulit, orbit, sinus, dan dada yang cermat dapat mengungkapkan bukti
infeksi jamur sistemik. Pemeriksaan neurologis dapat menunjukkan tanda-tanda iritasi
meningeal, keadaan confusional, papilledema, kehilangan penglihatan, ptosis, exophthalmos,
kelumpuhan saraf kranial okular atau lainnya, dan kelainan neurologis fokal seperti
hemiparesis. Karena beberapa jamur (misalnya, Cryptococcus) dapat menyebabkan kompresi
11
sumsum tulang belakang, mungkin ada bukti nyeri tulang belakang, paraparesis, tanda-tanda
piramidal di kaki, dan hilangnya sensasi pada kaki dan tungkai .

4. Meningitis Parasit ( BEDA SUMBER )

Berbagai parasit dapat menyebabkan meningitis atau dapat mempengaruhi otak atau sistem
saraf.Secara keseluruhan, meningitis parasit lebih jarang terjadi dibandingkan viral dan
bakteri meningitis.

 Angiostrongylus cantonensis Meningitis


Angiostrongylus cantonensis adalah endemik di Asia Tenggara, Hawaii, dan pulau-pulau
Pasifik lainnya. Infeksi ditularkan dengan menelan moluska mentah yang terinfeksi dan
menghasilkan meningitis dengan darah tepi dan eosinofilia CSF.

Temuan klinis

Kebanyakan pasien mengeluh sakit kepala, dan sekitar setengahnya melaporkan leher
kaku, muntah, demam, dan parestesia. Limfositosis CSF limfositik, peningkatan protein

12
ringan, dan glukosa normal adalah tipikal. Penyakit akut biasanya sembuh secara spontan
dalam 1 hingga 2 minggu, meskipun kortikosteroid, analgesik, mengurangi tekanan CSF
dengan lumbal punksi berulang, dan obat antihelminthic dapat membantu.

 Baylisascaris procyonis

Patogenesis

Manusia adalah tuan rumah perantara yang kebetulan untuk B. procyonis .Infeksi terjadi
setelah menelan telur B. procyonis yang mengandung larva tahap kedua yang infektif. Pada
manusia, seperti pada inang perantara alami, larva B. procyonis menjalani migrasi jaringan
agresif yang mencakup SSP dan mata. Meskipun NLM klinis adalah sekuel infeksi yang
umum, larva B. procyonis tidak secara inheren neurotropik. Data hewan liar dan
eksperimental dan otopsi manusia menunjukkan bahwa keterlibatan SSP hasil dari migrasi
larva somatik yang luas. Pertumbuhan dan migrasi larva yang berlanjut setelah masuknya
beberapa larva B. procyonis ke dalam SSP mungkin memiliki konsekuensi yang berpotensi
parah.

Hewan dan data otopsi manusia yang terbatas menunjukkan bahwa larva B.
procyonis menetas di usus kecil, menembus mukosa usus, dan lewat, kemungkinan melalui
sirkulasi portal, melalui hati dan sepanjang saluran pembuluh darah ke paru-paru. Meskipun
hepatomegali dideskripsikan untuk baylisascariasis, hepatitis dan larva hepatik atau
granulomata tidak menonjol.Sebaliknya, larva Toxocara umumnya memengaruhi hati, karena
larva terperangkap begitu tuan rumah menjadi peka. Di paru-paru, larva B. procyonis pecah
kapiler paru, masuk ke pembuluh darah paru-paru, kembali ke sisi kiri jantung, dan
mendapatkan akses ke sirkulasi sistemik. Dari sirkulasi sistemik, larva dapat didistribusikan
ke seluruh tubuh, termasuk SSP. Larva kemungkinan besar mengakses otak dengan
menembus pembuluh darah otak.Setelah menetas di usus, sejumlah kecil larva bermigrasi
secara lokal di dinding usus, mesenterium, dan limfatik dan berpindah dari paru-paru ke
pleura, jaringan hilar, mediastinum, dan jantung.

Parasit dan faktor inang berkontribusi terhadap keberhasilan B. Procyonis sebagai parasit
dan patogenesis baylisascariasis pada manusia. Faktor-faktor parasit meliputi kesuburan
cacing dewasa, umur panjang dan daya tahan ovum, kisaran inang yang luas, kemampuan
larva untuk terus tumbuh hingga ukuran besar dalam inang perantara, dan toksisitas produk
ekskresi dan sekretori larva. Faktor inang meliputi ukuran otak inang dan respons inflamasi
eosinofilik inang

13
2.4 FAKTOR RESIKO ( IMAM )
1. Usia ekstrem (<5 atau >60 tahun)
2. Diabetes melitus, gagal ginjal kronis, insufisiensi adrenal, hipoparatiroidisme atau
fibrosis kistik
3. Imunosupresi, yang meningkatkan risiko infeksi oportunistik dan meningitis bakteri
akut
4. Infeksi HIV, yang merupakan predisposisi meningitis bakteri yang disebabkan oleh
organisme yang berkapsul, terutama Streptococcus pneumoniae , dan patogen
oportunistik
5. Crowding (seperti yang dialami oleh rekrutmen militer dan penghuni asrama
perguruan tinggi), yang meningkatkan risiko wabah meningitis meningokokus
6. Splenektomi dan penyakit sel sabit, yang meningkatkan risiko meningitis sekunder
terhadap organisme yang dienkapsulasi
7. Alkoholisme dan sirosis
8. Paparan terbaru terhadap orang lain dengan meningitis, dengan atau tanpa profilaksis
9. Infeksi yang berdekatan (misalnya, sinusitis)
10. Cacat dural (mis., Trauma, pembedahan, atau bawaan)
11. Talasemia mayor
12. Penyalahgunaan obat intravena (IV)
13. Endokarditis bakteri
14. Pirau ventrikuloperitoneal
15. Keganasan (peningkatan risiko infeksi Listeria )
16. Beberapa kelainan bawaan kranial

2.5 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI ( DEMAM,KAKU KUDUK , KEJANG )

14
2.6 Menifestasi Klinis Meningitis

 Bakteri  gejala klinik klasik dari meningitis adalah demam, sakit kepala, dan
kekakuan leher, Mual, muntah, dan fotofobia. Penurunan tingkat kesadaran terjadi
pada > 75% pasien dan dapat bervariasi dari kelesuan hingga koma. Kejang terjadi
pada awal meningitis bakteri atau selama perjalanan penyakit pada 20-40% pasien. (4)

 Virus Pasien datang dengan onset mendadak demam, sakit kepala, kekakuan
leherdan seringkali tanda-tanda konstitusional, termasuk muntah, anoreksia, diare,
batuk, faringitis, dan myalgia, Ruam Limfadenopat. tidak adanya tanda-tanda
neurologis fokal (status mental utuh) (4,5)

 Fungi  Tanda dan gejala meningitis jamur identik dengan bentuk lain dari
meningitis. Gejala dominan meliputi demam, sakit kepala, leher kaku, mual, muntah,
fotofobia, dan perubahan status mental.(6)

 Parasit  terdapat gejala Sakit kepala, Leher kaku, Mual, Muntah, Photophobia (mata
menjadi lebih sensitif terhadap cahaya), Status mental yang berubah (kebingungan).
Orang dengan EM(eosinophilic meningitis) yang disebabkan oleh A.
cantonensis sering memiliki perasaan kesemutan atau menyakitkan di kulit mereka
dan mungkin mengalami demam ringan. (7)

2.7 CARA PENEGAKAN DIAGNOSIS (8)

Diagnosis Meningitis

i. Anamnesis
1. Demam
2. Nyeri kepala
3. Penurunan kesadaran
4. Kejang
5. Kelemahan 1 sisi
6. Pada stadium lanjut dapat dijumpai tanda hidrosefalus: nyeri kepala
berat, muntah-muntah, kejang.
7. Pada orang dewasa biasanya diawali dengan infeksi saluran pernapasan atas
yang ditandai dengan demam dan keluhan-keluhan pernapasan, kemudian
8. Diikuti gejala-gejala SSP.

Pada Meningitis Mengingokokus seringkali diawali dengan gejala septikemia dan


syok septik, seperti demam, nyeri pada lengan dan/atau tungkai. Perlu diketahui riwayat
berpergian haji atau ada orang lain yang mengalami hal yang sama karena penyakit ini dapat
menyebabkan epidemi meningitis.
15
ii. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik menyeluruh.
2. Pemeriksaan neurologis: pemeriksaan GCS (penurunan kesadaran),
pemeriksaan kaku kuduk positif, pemeriksaan kekuatan motorik
(hemiparesis).
3. Pada stadium lanjut dapat dijumpai tanda seperti papiledema.
4. Pada Meningitis Meningokokus sering diawali dengan tanda septicemia dan
syok septik, seperti kulit teraba dingin atau kebiruan pada bibir, terdapat papul
sampai ekimosis pada ekstremitas.

iii. Pemeriksaan Penunjang


1. Darah lengkap, Kimia klinik (SE, SGOT, SGPT, BUN, SK,Albumin), kadar
elektrolite urine bila di curigai komplikasi SIADH pada penderita
meningitis.2.
2. Lumbal punksi

Kontra indikasi lumbal punksi: Papil edema Penurunan keasadaran yang dalam
dan progressif Kecurigaan lesi desak ruang Deficit neurologis fokal

Tabel 1. Karakteristik Cairan Serebrospinal berdasarkan etiologi (6)

Appearance OP RBC WBC Glucose protein Glutamine


≤5
mono
70-200mm nuklear/ ≥45 ≤45 <25
Normal Clear,colorless H2O 0/µL µL mg/dL mg/dL µg/dL
Bacterial meningitis Cloudy ↑ Normal ↑↑ PMN ↓↓ ↑↑ Normal
normal/
Tuberculous Meningitis Cloudy ↑ Normal ↑MN ↓ ↑ Normal
normal/
Fungal Meningitis Cloudy Normal or ↑ Normal ↑MN ↓ ↑ Normal
Viral Meningitis/ Normal
encephalitis Normal Normal or ↑ Normal ↑MN Normal or ↑ Normal
Parasitic Meningitis / normal/ Normal
encephalitis Cloudy Normal or ↑ Normal ↑MN,E Normal or ↑ Normal

2.8 Prinsip Tatalaksana

Tatalaksana
Antibiotik

 Berikan pengobatan antibiotik lini pertama sesegera mungkin.


o seftriakson: 100 mg/kgBB IV-drip/kali, selama 30-60 menit setiap 12 jam; atau
o sefotaksim: 50 mg/kgBB/kali IV, setiap 6 jam.
 Pada pengobatan antibiotik lini kedua berikan:
16
o Kloramfenikol: 25 mg/kgBB/kali IM (atau IV) setiap 6 jam
o ditambah ampisilin: 50 mg/kgBB/kali IM (atau IV) setiap 6 jam
 Jika diagnosis sudah pasti, berikan pengobatan secara parenteral selama sedikitnya 5
hari, dilanjutkan dengan pengobatan per oral 5 hari bila tidak ada gangguan absorpsi.
Apabila ada gangguan absorpsi maka seluruh pengobatan harus diberikan secara
parenteral. Lama pengobatan seluruhnya 10 hari.
 Jika tidak ada perbaikan:
o Pertimbangkan komplikasi yang sering terjadi seperti efusi subdural atau abses
serebral. Jika hal ini dicurigai, rujuk.
o Cari tanda infeksi fokal lain yang mungkin menyebabkan demam, seperti
selulitis pada daerah suntikan, mastoiditis, artritis, atau osteomielitis.
o Jika demam masih ada dan kondisi umum anak tidak membaik setelah 3–5
hari, ulangi pungsi lumbal dan evaluasi hasil pemeriksaan CSS
 Jika diagnosis belum jelas, pengobatan empiris untuk meningitis TB dapat
ditambahkan. Untuk Meningitis TB diberikan OAT minimal 4 rejimen:
o INH: 10 mg/kgBB /hari (maksimum 300 mg) - selama 6–9 bulan
o Rifampisin: 15-20 mg/kgBB/hari (maksimum 600 mg) – selama 6-9 bulan
o Pirazinamid: 35 mg/kgBB/hari (maksimum 2000 mg) - selama 2 bulan pertama
o Etambutol: 15-25 mg/kgBB/hari (maksimum 2500 mg) atau Streptomisin: 30-
50 mg/kgBB/hari (maksimum 1 g) – selama 2 bulan

Steroid

 Prednison 1–2 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis, diberikan selama 2–4 minggu,
dilanjutkan tapering off. Bila pemberian oral tidak memungkinkan dapat diberikan
deksametason dengan dosis 0.6 mg/kgBB/hari IV selama 2–3 minggu.

Tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan rutin deksametason pada
semua pasien dengan meningitis bakteri.

 System Rujukan

Kewenangan berdasar Tingkat Pelayanan Kesehatan :

 Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer


Tatalaksana ABC dan Resusitasi à rujuk
 PPK 2 (RS tipe B dan C) :
 Tatalaksana medis komprehensif sesuai ketersediaan fasilitas
17
 Rujuk bila pasien tidak mengalami perbaikan setelah diberi terapi

empiric selama 3-7 hari, mengalami Status epilepsy refrakter,

memerlukan tindakan definitive untuk menurunkan TIK dan atau tidak

memiliki fasilitas seperti pada PPK 3

• PPK 3 (RS tipe A) :

Tatalaksana medis komprehensif

2.9 Edukasi (11)


1) Penjelasan sebelum MRS (rencana rawat, biaya pengobatan, prosedur, masa
dan tindakan pemulihan dan latihan, manajemen nyeri, risiko dan komplikasi)
2) Penjelasan mengenai meningitis bakterial, risiko dan komplikasi selama
perawatan
3) Penjelasan mengenai faktor risiko dan pencegahan rekurensi
4) Penjelasan program pemulangan pasien (Discharge Planning)
5) Penjelasan mengenai gejala Meningitis Bakterialis, dan apa yang harus
dilakukan sebelum dibawa ke RS

2.10 Pencegahan dan vaksinasi (8,9)

Pencegahan

1. Mencuci tangan untuk membantu mencegah penyebaran kuman


2. Berlatih hidup higienis
3. Pola hidup sehat seperti istirahat yang cukup, berolahraga teratur, dan makan
makanan sehat
4. Menutup mulut saat batuk dan bersin

Anda juga dapat membantu melindungi diri sendiri dan orang lain dari meningitis bakteri
dengan mempertahankan kebiasaan sehat:

 Jangan merokok dan menghindari asap rokok


 Beristirahatlah yang banyak
 Hindari kontak dekat dengan orang yang sakit

Ini terutama penting bagi orang-orang yang berisiko tinggi terhadap penyakit, termasuk:

 Bayi muda
 Orang tua
 Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah
 Orang tanpa limpa atau limpa yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya

18
Vaksinasi (10)

1. Vaksin Influenza
a. Vaksin influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza
virus).
b. Vaksin influenza mengandung antigen dari dua sub tipe virus
c. influenza A dan satu sub tipe virus influenza B, subtipenya setiap tahun
direkomendasikan oleh WHO berdasarkan surveilans epidemiologi seluruh
dunia.
d. Untuk menjaga agar daya proteksi berlangsung terus-menerus, maka perlu
dilakukan vaksinasi secara teratur setiap tahun, menggunakan vaksin yang
mengandung galur yang mutakhir.
e. Vaksin influenza inaktif aman dan imunogenesitas tinggi.
f. Vaksin influenza harus disimpan dalam Vaccine Refrigerator dengan suhu 2º-
8ºC. Tidak boleh dibekukan

Rekomendasi:

1) Semua orang usia ≥ 65 tahun


2) Anak dengan penyakit kronik seperti asma, diabetes, penyakit ginjal dan
kelemahan sistem imun
3) Anak dan dewasa yang menderita penyakit metabolik kronis, termasuk
diabetes, penyakit disfungsi ginjal, hemoglobinopati dan imunodefisiensi
4) Orang yang bisa menularkan virus influenza ke seseorang yang berisiko tinggi
mendapat komplikasi yang berhubungan dengan influenza, seperti petugas
kesehatan dan petugas di tempat perawatan dan orang-orang sekitarnya, semua
orang yang kontak serumah, pengasuh anak usia 6–23 bulan, dan orang-orang
yang melayani atau erat dengan orang yang mempunyai risiko tinggi
5) Imunisasi influenza dapat diberikan kepada anak sehat usia 6–23 bulan

Kontra Indikasi:

1) Individu dengan hipersensitif anafilaksis terhadap pemberian vaksin influenza


sebelumnya dan protein telur jangan diberi vaksinasi influenza
2) Termasuk ke dalam kelompok ini seseorang yang setelah makan telur
mengalami pembengkakan bibir atau lidah, atau mengalami distres nafas akut
atau pingsan
3) Vaksin influenza tidak boleh diberikan pada seseorang yang sedang menderita
penyakit demam akut yang berat

Jadwal dan Dosis

a. Dosis untuk anak usia kurang dari 2 tahun adalah 0,25 ml dan usia lebih dari 2
tahun adalah 0,5 ml
b. Untuk anak yang pertama kali mendapat vaksin influenza pada usia ≤ 8 tahun,
vaksin diberikan 2 dosis dengan selang waktu minimal 4 minggu, kemudian
Imunisasi diulang setiap tahun
c. Vaksin influenza diberikan secara suntikan intra muskular di otot deltoid pada
orang dewasa dan anak yang lebih besar, sedangkan untuk bayi diberikan di
paha anterolateral

19
d. Pada anak atau dewasa dengan gangguan imun, diberikan dua (2) dosisdengan
jarak interval minimal 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang
memuaskan
e. Bila anak usia ≥ 9 tahun cukup diberikan satu kali saja, teratur, setiap tahun
satu kali.

2. Vaksin Pneumokokus
Terdapat dua macam vaksin pneumokokus yaitu vaksin pneumokokus
polisakarida (Pneumococcal Polysacharide Vaccine/PPV) dan vaksin pneumokokus
konyugasi (Pneumococcal Conjugate Vaccine/PCV).

Rekomendasi:

a. Vaksin Pneumokokus polisakarida (PPV) diberikan pada:

1) Lansia usia > 65 tahun

2) Anak usia > 2 tahun yang mempunyai risiko tinggi IPD (Invasive

Pneumococcal Disease) yaitu anak dengan asplenia (kongenital atau didapat),


penyakit sickle cell, splenic dysfunction dan HIV. Imunisasi diberikan dua
minggu sebelum splenektomi

3) Pasien usia > 2 tahun dengan imunokompromais yaitu HIV/AIDS,


sindrom nefrotik, multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan
transplantasi organ
4) Pasien usia > 2 tahun dengan imunokompeten yang menderita penyakit

kronis yaitu penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes

5) Pasien usia > 2 tahun kebocoran cairan serebrospinal

b. Vaksin Pneumokokus konyugasi (PCV) direkomendasikan pada:


1. Semua anak sehat usia 2 bulan – 5 tahun;
2. Anak dengan risiko tinggi IPD termasuk anak dengan asplenia baik kongenital
atau didapat, termasuk anak dengan penyakit sicklecell, splenic dysfunction
dan HIV. Imunisasi diberikan dua minggu sebelum splenektomi;
3. Pasien dengan imunokom promais yaitu HIV/AIDS, sindrom nefrotik, multipel
mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan transplantasi organ;
4. Pasien dengan imunokompeten yang menderita penyakit kronis yaitu penyakit
paru atau ginjal kronis, diabetes;
5. Pasien kebocoran cairan serebrospinal; dan

20
6. Selain itu juga dianjurkan pada anak yang tinggal di rumah yang huniannya
padat, lingkungan merokok, di panti asuhan dan sering terserang akut otitis
media

Jadwal dan Dosis:

1. Vaksin PCV diberikan pada bayi umur 2, 3 bulan dan 12 bulan;


2. Pemberian PCV minimal umur 6 minggu;
3. Interval antara dosis pertama dan kedua 4 minggu; dan
4. Apabila anak datang tidak sesuai jadwal pemberian Imunisasi pneumokokus
konyugasi yang telah ditetapkan maka jadwal dan dosis seperti pada tabel berikut ini:
Imunisasi Dosis vaksin yang Interval Keterangan
diberikan tambahan

Jika anak belum 2 dosis Imunisasi Minimal 1 bulan Dosis ketiga


mendapatkan dasar PCV sampai diberikan dengan
Imunisasi PCV pada usia 11 bulan interval minimal 2
usia 2 dan 3 bulan bulan dari dosis
kedua

Jika anak di atas usia 2 dosis sampai usia Minimal 1 bulan Tidak perlu dosis
12 bulan belum 24 bulan ketiga
pernah mendapat
Imunisasi PCV

Jika anak belum 1 dosis Imunisasi


mendapatkan lanjutan PCV (dosis
Imunisasi PCV ketiga) sampai usia
lanjutan (dosis 24 bulan
ketiga) pada usia 12
bulan

Program pemerintah dalam pencegahan(10)

Pada musim haji/umroh, manusia dari seluruh penjuru datang ke Arab Saudi untuk
menunaikan ibadah, termasuk negara-negara di Afrika yang endemis penyakit meningitis. Hal ini
21
diduga menjadi penyebab terjadinya kasus penyakit meningitis pada jemaah dan petugas yang
melayani jemaah di Arab Saudi. Meningitis Meningokokus merupakan satu penyakit infeksi menular
yang menyerang selaput otak. Penyebabnya Neisseria Meningitidis. Penularan dari manusia ke
manusia melalui sekret saluran pernafasan (droplet) ataupun air liur (saliva). Masa inkubasi penyakit
ini adalah 3-4 hari (rentang waktu 2-10hari). Gejala-gejala meningitis yaitu demam tinggi,
mual/muntah, sakit kepala, kaku kuduk, photofobio, ketahanan fisik yang melemah. Adapun gejala
awalnya seperti flu biasa, namun bertambah berat dengan panas tinggi dalam waktu yang singkat, 12-
24 jam sejak awal gejala.

Menurut Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Bandara Soekarno Hatta, dr. Imam
Triyantoro, MPH, Timur Tengah secara umum khususnya Arab Saudi adalah negara yang endemis
penyakit Meningitis Meningokokus (radang selaput otak). Dengan demikian, untuk mencegah
terjadinya penyakit Meningitis Meningokokus, maka setiap warga negara Indonesia yang ingin pergi
ke Arab Saudi perlu melakukan suntik vaksin.

Pemberian vaksin dilakukan maksimal dua minggu sebelum keberangkatan, karena efektifitas
vaksin mulai terbentuk 10-14 hari setelah pemberian. Setelah memperoleh vaksinasi Meningitis
Meningokokus, barulah calon jemaah umrah akan diberikan kartu International Certificate of
Vaccination (ICV) sebagai syarat memperoleh izin visa dari Pemerintah Arab Saudi. Pemberian vaksin
Meningitis Meningokokus merupakan syarat mutlak bagi semua calon jemaah haji dan umrah yang
akan memasuki kawasan Kerajaan Arab Saudi. Ketentuan ini dibahas dalam Nota Diplomatik
Kedutaan Besar Kerajaan Arab Saudi di Jakarta Nomor 211/94/71/577 tanggal 1 Juni 2006, bahwa
bagi setiap pendatang ke Arab Saudi, termasuk jemaah Haji/Umroh diwajibkan melakukan vaksinasi
meningitis quadrivalent (ACWY135), terang dr. Imam.

Imunisasi Meningitis Meningokokus

a. Meningitis meningokokus adalah penyakit akut radang selaput otak


yang disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitidis.
b. Meningitis merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan
kematian di seluruh dunia. Case fatality rate-nya melebihi 50%, tetapi
dengan diagnosis dini, terapi modern dan suportif, case fatality rate
menjadi 5-15%.
c. Pencegahan dapat dilakukan dengan Imunisasi dan profilaksis untuk
orang-orang yang kontak dengan penderita meningitis dan carrier.
d. Imunisasi meningitis meningokokus diberikan kepada masyarakat yang
akan melakukan perjalanan ke negara endemis meningitis, yang belum
mendapatkan Imunisasi meningitis atau sudah habis masa berlakunya
(masa berlaku 2 tahun).
22
e. Pemberian Imunisasi meningitis meningokokus diberikan minimal 30
(tiga puluh) hari sebelum keberangkatan. Setelah divaksinasi, orang
tersebut diberi ICV yang mencantumkan tanggal pemberian Imunisasi.
f. Bila Imunisasi diberikan kurang dari 14 (empat belas) hari sejak
keberangkatan ke negara yang endemis meningitis atau ditemukan
adanya kontraindikasi terhadap Vaksin meningitis, maka harus
diberikan profilaksis dengan antimikroba yang sensitif terhadap
Neisseria Meningitidis.
g. Bagi yang datang atau melewati negara terjangkit meningitis harus bisa
menunjukkan sertifikat vaksin (ICV)
(4,11)
2.11 Prognosis

Tingkat kematian adalah 3-7% untuk meningitis yang disebabkan oleh H. influenzae,
N. meningitidis, atau kelompok B streptokokus; 15%. sedangkan L. Monocytogenes: 20%.
untuk monocytogenes: 20% untuk S. pneumoniae.

Secara umum, risiko kematian dari peningkatan meningitis bakteri dengan (1)
penurunan tingkat kesadaran saat terinfeksi, (2) onset kejang dalam waktu 24 jam, (3) tanda-
tanda peningkatan TIK, (4) usia muda (bayi) dan usia> 50, (5) adanya kondisi comorbid
conditions termasuk shock dan / atau kebutuhan untuk ventilasi mekanik, dan (6)
keterlambatan dalam memulai pengobatan. Penurunan konsentrasi glukosa CSF (<2.2 mmol /
L [<40 mg / dL]) dan nyata meningkatkan konsentrasi protein CSF (> 3 g / L [> 300 mg / dL])
telah terbukti adanya peningkatan mortalitas dan hasil yang lebih buruk di beberapa kasus .
gejala sisa sedang atau berat terjadi pada 25% dari korban, meskipun insiden yang bervariasi
dengan organisme penyebab infeksi.

Gejala sisa yang umum termasuk penurunan fungsi intelektual, gangguan memori,
kejang, gangguan pendengaran dan pusing, dan gangguan gaya berjalan, mata bergerak, kaku
kuduk terdapat dalam banyak kasus. tetapi mungkin ringan dan hanya ada di sekitar batas
leher antefleksi. Tanda-tanda Konstitusi dapat mencakup malaise, mialgia, anoreksia, mual
dan muntah, sakit perut, dan / atau diare. Pasien paling sering mengeluh lesu ringan atau
mengantuk. Namun, perubahan yang lebih mendalam yaitu dapat menyebabkan penurunan
kesadaran, seperti pingsan, koma, atau kebingungan berbeda dengan meningitis virus dimana
menunjukkan adanya ensefalitis atau diagnosis alternatif lainnya. Demikian pula, kejang atau
tanda-tanda neurologis fokal atau gejala neuroimaging lainnya merupakan indikasi

23
keterlibatan parenkim otak yang tidak khas pada meningitis viral dan memungkinkan adanya
ensefalitis atau kelainan infeksi SSP atau proses peradangan.

Ad vitam: dubia ad bonam

Ad sanationam: dubia ad bonam

Ad fungsionam: dubia ad bonam

24

Anda mungkin juga menyukai