Anda di halaman 1dari 12

SOOCA SAPHIR BLOK TRAUMA MEDIK

INTOKSIKASI AKUT

Miss Felly, wanita 17th, datang ke UGD RSAL dengan keluhan tidak sadar.

Ibu Felly menjelaskan ke dokter, ketika dia masuk ke kamar felly, tiba tiba mereka melihat felly
tidak sadar. Kondisi ini diprediksi sekitar 2 jam yg lalu. Di kamarnya ditemukan insektisida cair.

2 hari sebelumnya, felly sering sendirian di kamar. Felly memiliki karakter yg tertutup.

1. Apakah problem dari pasien?


 Wanita, 17th
 Keluhan utama: tidak sadar
 Keluhan tambahan; ada cairan insektisida di kamar felly
2. Hipotesis
 Intoksikasi insektisida
 Sinkop
 Koma

Ukuran tubuhnya proposional. Tinggi 165cm berat 65kg

Mata: ikterik sclera (-), pupil: mengecil (pin point), lakrimasi +

Mulut: berbusa dan bau insektisida

Vital sign: BP=120/80mmHg T=36,8C P=82b/min reg, RR=24x/min

Jantung

 Inspeksi: iktus kordis normal, pulsasi intercostal (-), pulsasi epigastrik (-)
 Palpasi: iktus cordis tidak melebar, pulsa parastenal (-), pulsasi epigastrik (-), sternal lift
(-), thrill (-)
 Perkusi: konfigurasi jantung dbn
 Auskultasi: pulsasi jantung 92x/min, reg, gallop (-), murmur (-)

Pulmo:

 Inspeksi: simetris, statis, dinamis


 Palpasi: stem fremitus kanan=kiri
 Perkusi: sonor
 Auskultasi: vesikuler, wheezing (-), rales (-), prolonged eksperium (-)

Abdomen

 Inspeksi: distended (-)


 Auskultasi: peristaltic dbn, bising usus (+) normal
 Perkusi: liver span 10 cm, meteorismus (-)
 Palpasi: nyeri epigastrik (-) , nyeri perut kanan bawah/mcburney (-), hepar: tdk teraba

Ekstremitas: edema -/- hangat +/+

Pemeriksaan lab

 Hb: 13,5mg/dl, hct=40, leu=5200/ml, trombo=195.000

1
 Urine: pH=6.8, warna=kuning, reduksi (-), protein (-)
 Ekg: dbn
 SGOT: 31 IU/L
 SGPT: 33 IU/L
 Total bilirubin: 0.9mg/dl

Urin : pH = 6.8 warna kuning, reduksi (-), protein (-). Sedimen : eritrosit (0-1) leukosit (2-3)

3. Diagnossi awal pasien ? Intoksikasi organophospat


4. Management umum intoksikasi akut ?
Penanganan umum dilakukan SEGERA (CITO) apapun penyebab keracunannya, yaitu
tindakan ABCDE
A. Airway (jalan nafas) : Bebaskan jalan napas dari sumbatan. Bila perlu pasang pipa
endotrakeal.
B. Breathing (Pernafasan) : Menjaga agar pasien dapat bernapas dengan baik. Bila
perlu diberikan napas buatan.
C. Sirkulasi

Tekanan darah dan nadi dipertahankan dalam batas normal. Biasanya dipilihkan cairan
yang cepat mengisi vaskuler (kristaloid) misalnya : RL, NS, dan D 5%

D. Dekontaminasi (pembersihan)

Tergantung dari cara masuk bahan racun. Jika melalui kulit  dilakukan pelepasan
seluruh pakaian, memandikan dan mencuci dengan sabun atau keracunan. Bahan racun yang
tertelan  dilakukan pengosongan lambung dan usus dengan cara

a. Emesis

 Mekanik : merangasang orofaring bagian belakang


 Obat-obatan : larutan ipekak 10-20 cc dalam 1 gelas air hangat dapat diulang
setelah 30 menit atau apomorfin 0,6 mg/KgBB (i.m) / 0,1 mg/KgBB (i.v)
 Kontra Indikasi pemberian emesis < keracunan bahan korosif (air accu).
Keracunan minyak tanah, da nada penderita dengan kesadaran menurun atau
kejang
b. Kumbah lambung

Golden period <= 4jam, sebelum diabsorpsi usus. Dengan memasukkan pupa
nasogastric yang diisi air hangat 200-300 cc sampai bersih. Pada akhir kumbah
lambung dimasukkan norit 30g. Kontraindikasi : penderita kejang dan pada keracunan
korosif

Untuk keracunan makanan yang lain (Gadung, Jamur, Kupang, dll) dapat diberikan air
kelapa muda dengan tujuan untuk mengencrkan pengaruh racun di saluran cerna.

E. Eliminasi

Eliminasi bertujuan untuk membersihkan racun yang diperkirakan sudah berada di aliran
darah. Eliminasi dapat dilakukan dengan Diuresis Paksa, Hemodialisis, dan
Hemoperfusi.

a. Diuresis paksa : Jenis diuresis paksa (DP) =

2
 DP netral : Ca glukonas (iv) 3 L cairan D10% dalam 12 jam = furosemide
 DP alkali : Sama dengan DP netral ditambah setengah ampul Na bikarbonat
pada tiap D 5%
 DP Asam : Digunakan untuk keracunana amfetamin, strichnin, dan finisiklidin 
1,5 L ammonium klorida dan 500 cc D5 % (bergantian dengan 500 cc NS)
Kontra indikasi DP : syok, dekomp cordis, gagal ginjal, edema paru dan keracunan
karena zat yang sulit dieksresi ginjal

b. Dialisis

DIlakukan pada pasien dengan Koma dalam, hipotensi berat, kelainan asam basa
dan elektrolit, gagal ginjal, gagal jantung, penyakit paru, penyakit hati dan kehamilan

5. Bagaimana manajemen spesifik pada pasien?


a. Pemberian antidotum
Untuk menawarkan efek racun. Namun tidak semua racun mempunyai antidotum
yang spesifik
b. Tindakan suportif
Guna mempertahankan fungsi vital → koreksi keseimbangan asam-basa,
pengobatan infeksi, dll
6. Apa perbedaan faktor yang menimbulkan intoksikasi akut pada anak, masa pubertas
(remaja), dan usia lanjut?
 Pada anak-anak, keracunan sering terjadi karena terjadi keteledoran orang tua
menempatkan obat-obatan dan bahan kimia sehingga terjangkau anak-anak
 Pada masa pubertas (remaja) biasanya akibat kesengajaan karena sering terjadi
gejolak hidup dan kepribadian yang tidak matang
 Pada usia lanjut akibat daya ingat yang kurang, sehingga sering minum obat
dengan dosis yang berlebihan.
Penelitian di Jakarta menunjukkan terjadinya keracunan akut terbanyak pada kelompok
usia 20-29 tahun akibat kesenjangan akibat kepribadian yang belum matang.
7. Apa penyebab intoksikasi akut?
- Golongan pestisida – organofosfat, karbamat
- Bahan korosif – air aki
- Obat-obatan – parasetamol, antidepressan
- Makanan – gadung, kerang, jamur, dsb.
- Alkohol – metanol, etanol
- Minyak tanah
- Bahan kimia – tembaga, timbal, dsb
8. Apa tanda dan gejala dari intoksikasi organosfosfat?
Tanda dan gejala dari keracunan organofosfat dapat dibagi menjadi 3 kategori besar,
termasuk (1) efek muskarinik, (2) efek nikotinik, dan (3) efek SSP
 Jembatan keledai untuk mengingat efek muskarinik dari organofosfat adalah
SLUDGE (salivasi, lakrimasi, urinasi, diare, gangguan GI, emesis) dan DUMBELS
(diaphoresis dan diare, urinasi, miosis, bradikardi, bronchospasme, bronchorrhea,
emesis, lakrimasi berlebihan, dan salivasi). Efek muskarinik oleh sistem organ
termasuk :
- Cardiovascular – Bradikardi, hipotensi
- Respirasi - rhinorrhea, bronchorrhea, bronchospasme, batuk, distress respirasi
parah
- GI – hipersalivasi, mual dan muntah, nyeri abdomen, diare, inkontinensi fecal

3
- Genitourinary – inkontinensia
- Ocular – penglihatan kabur, miosis
- Kelenjar – peningkatan lakrimasi, diaphoresis
 Tanda dan gejala nikotinik termasuk fascikulasi otot, kram, kelemahan, dan
diaphragma failure. Efek nikotinik otonom termasuk hipertensi, takikardi, midriasis
dan pucat.
 Efek SSP termasuk kecemasan, emosi labil, kegelisahan, bingung, ataksia, tremor,
kejang dan coma

Dari : sumber lain

Tanda relatif pada sistem pencernaan termasuk salivasi yang berlebihan, lakrimasi, nyeri
abdominal, muntah, hipermotilitas intestinal, dan diare. Efek muscarinik pada asetilkolin
menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan sekresi bronkial. Efek nikotinic asetilkolin
diantaranya involuntary irregular, kontraksi otot yang berlebih, dan kelemahan pada otot
volunter. kematian biasanya disebakan karena kegagalan nafas (respiratory failure).

4
SESI KEDUA

Case title : Miss Felly

Pada hari kedua felly dirawat di rumah sakit, keadaan felly bertambah baik. Dokter memberikan
sulfat atropin dan beberapa terapi ke felly.

Pemeriksaan fisik :
Kondisi umum : GCS 4-6-5
Vital sign : BP : 110/80 mmHg pulse : 88x b/min, regular
Temp : 36,8˚C (axillar) RR : 20 x/min
-Mata : konjungtiva = pucat (+) ; scleral = icteric (-) ; pupil = 2 cm
- Mulut : NGT administration
- Cor / pulmo : normal
- Abdomen : normal
- Extremitas : hangat

IDK:

1. Bagaimana patofisiologi dari intoxicasi organofosfat?


Organofosfat dapat diabsorbsi melalui kulit, tertelan, terhirup, atau terinjeksi. Meskipun
kebanyakan pasien menimbulkan gejala secara cepat, onset dan keparahan gejala
tergantung dari komponen spesifik, jumlahnya, rute paparan, dan laju degradasi
metabolik.

Komponen organofosfat memblokir aksi enzim kolinesterase → asetilkolin tidak


terhidrolisis → asetilkolin terakumulasi dalam tubuh → menstimulasi reseptor muscarinic
→ (miosis, hipersekresi lakrimal, saliva, dan kelenjar GIT, stimulasi bronkial, dan otot
polos lainnya) dan reseptor nikotinic → stimulasi otot skeletal (kontraksi otot skeletal)
disertai dengan paralisis otot skeletal.

2. Bagaimana mekanisme sulfat atropin untuk intoxicasi organofosfat?


Atropin sulfat memblokir reseptor muscarinic → menurunkan efek muscarinik dari
asetilkolin → midriasis, penurunan sekresi dari saliva, bronkial, dan kelenjar GIT.

Pertama, kita harus memberi atropin sulfat sampai pupil menjadi midriasi kemudian kita
memberikan pralidoxime (kolinesterase rejuvenator/ regenerator) yang membuat
kolinesterase dapat menhidrolisis asetilkolin lagi dan otot skeletal dapat berfungsi
kembali.

3. Apa komplikasi dari intoxicasi organofosfat?


Komplikasi intoxicasi organofosfat diantaranya bronchorrhea, kejang, kelemahan, dan
neuropathy. Gagal nafas (respiratory failure merupakan penyebab kematian yg
paling umum.

4. Bagaimana prognosis intoksikasi organofosfat?


 Penilitan tentang mortalitas dunia melaporkan rasio mortalitas antara 3-25%. Senyawa
yang paling sering terlibat adalah malathion, dichlorvos, trichlorfon,
femitrothion/malathion.
 Rasio mortalitas berdasarkan tipe senyawa yang digunakan, jumlah yang tertelan,
kondisi kesehatan umum dari pasien, keterlambatan dalam penemuan dan transportasi,

5
manajemen pernapasan yang tidak memadai, keterlambatan intubasi, dan kegagalan
dalam pemasangan alat bantu napas.
5. Apa antidot dari beberapa intoksikasi akut?

Jenis Bahan Racun Antidot Spesifik


Alkaloid opium Nalokson
Paracetamol Asetilsistein, metionin
Sianida Dikobal edetat
Organofosfat, Karbonat Atropin
Logam berat besi Desferoksamin
Logam berat Arsen Dimerkaprol
Air raksa N asetil penisilamin
Tembaga D penisilamin
Timbal Dimerkaprol
Metanol (etilen glikol) Etanol
Antidepresan trisiklik Fisostigmin
Antikoagulan Kumarin Vitamin K

6
Sesi Ketiga

Judul kasus: Miss. Felly

Enam bulan kemudian, Miss. Felly datang kembali ke UGD RSAL dengan keluhan tidak sadar.
Keluarganya menjelaskan, bahwa Miss. Felly ditemukan di kamarnya dalam keadaan tidak
sadar setelah meminum panadol 10 tablet.

Pemeriksaan fisik:

Kondisi umum: GCS: 3 – 4 – 4

Vital sign: TD = 110/70 mmHg Nadi = 112 b/min, reguler

Suhu = 36,8 C (axillar) RR = 24 x/min

Mata: Konjungtiva = pucat (-) ; sklera = ikterik (-) ; pupil = normal

Jantung/Paru: normal

Abdomen: normal dan ekstremitas: dingin

1. Bagaimana manajemen intoksikasi paracetamol?


Kita harus memberikan N-acetylcisteine untuk meningkatkan gluthation di dalam tubuh
agar berinteraksi dengan metabolit rektif paracetamol (N-acetyl-p-benzoquinone) ->
reaksi dari metabolit reaktif dan makromolekul di dalam sel hati dan ginjal dapat
dicegah.

Asetilsistein adalah antidotum untuk toksisitas parasetamol

Asetilsistein, yang disebut juga N-asetilsistein atau NAC, bekerja untuk mengurangi
toksisitas parasetamol dengan memperbaiki penyimpanan antioksidan tubuh terutama
glutathion. Glutathion bereaksi dengan metabolit toksik NAPQI sehingga metabolit
tersebut tidak merusak sel dan dapat diekskresikan dengan aman. Cysteamine dan
metionin juga telah digunakan untuk mencegah hepatotoksisitas, meskipun penelitian
telah menunjukkan bahwa kedua bahan tersebut berhubungan dengan lebih banyak
efek samping obat dibandingkan asetilsistein. Sebagai tambahan, telah dibuktikan
bahwa asetilsistein merupakan antidotum yang lebih efektif, terutama pada pasien yang
datang lebih dari 8 jam post ingesti.

Jika pasien datang kurang dari 8 jam setelah overdosis parasetamol, maka asetilsistein
secara signifikan mengurangi resiko hepatotoksisitas serius dan menjamin pasien
selamat. Jika asetilsistein diberikan lebih dari 8 jam setelah ingesti, terdapat penurunan
tajam pada efektivitasnya karena kaskade toksik di liver telah terjadi, dan resiko nekrosis
hepar akut dan kematian meningkat secara dramatis. Meskipun asetilsistein paling
efektif jika diberikan pada saat awal, ia tetap memiliki efek yang menguntungkan jika
diberikan selambat 48 jam setelah ingesti. Pada praktek klinis, jika pasien datang lebih
dari 8 jam setelah overdosis parasetamol, maka karbon aktif tidak berguna, dan
asetilsistein harus diberikan sesegera mungkin. Pada pasien yang datang lebih awal,
arang aktif dapat diberikan saat pasien datang dan asetilsistein dimulai saat menunggu
hasil lab kadar parasetamol.

7
Pada praktek di Amerika Serikat, administrasi intravena (IV) dan oral dipertimbangkan
sama efektifnya jika diberikan dalam 8 jam setelah ingesti. Tetapi, IV merupakan satu –
satunya rute administrasi yang direkomendasikan oleh praktek australia-asia dan
inggris. Asetilsistein oral diberikan 140 mg/kg loading dose diikuti dengan 70 mg/kg tiap
4 jam sebanyak 17 kali. Asetilsistein oral mungkin ditolerasi secara buruk oleh karena
rasa dan aromanya yang tidak enak, dan kecenderungannya untuk menyebabkan mual
dan muntah. Jika arang aktif dosis berulang diindikasikan oleh karena adanya ingesti
obat lain, maka pemberian dosis arang dan asetilsistein tidak boleh diberikan
bersamaan.

Asetilsistein intravena diberikan sebagai infus kontinu selama 20 jam dengan total dosis
300 mg/kg. Administrasi yang dianjurkan melibatkan infus 150 mg/kg loading dose
selama 15 – 60 menit, diikuti dengan infus 50 mg/kg selama 4 jam, dan 100 mg/kg
terakhir diinfuskan selama 16 jam terakhir dari protokol. Asetilsistein intravena memiliki
keuntungan untuk memperpendek masa inap di rumah sakit, meningkatkan
kenyamanan dokter dan pasien, dan memungkinkan administrasi arang aktif untuk
mengurangi absorpsi dari parasetamol dan obat – obatan lain yang diingesti tanpa
kekhawatiran adanya gangguan akibat asetilsistein oral.

Efek samping dari pengobatan acetylsysteine yang sering terjadi adalah reaksi
anafilaktoid (non-immune anaphylaxis), gejala yang muncul biasanya adalah ruam,
mengi (wheezing), atau hipotensi ringan. Efek samping ini lebih sering terjadi pada
pasien yang diobati dengan IV acetylsysteine, sekitar 4-23% pasien mengalaminya.
Pada beberapa kasus yang jarang, reaksi parah yang mengancam jiwa dapat terjadi
pada pasien yang berisiko, seperti pasien asma. Jika reaksi anafilaktoid terjadi, maka
pengobatan acetylsteine secara temporer harus dihentikan atau dilambatkan dan
antihistamin serta perawatan suportif lain diadministrasikan.
Pada pasien dengan gagal hepar yang fulminan (onsetnya tiba-tiba & parah) atau
pasien yang diekspetasikan akan meninggal dari gagal hepar, maka manajemen
utamanya adalah transplantasi hepar. Pasien tersebut direkomendasikan untuk
melakukan transplantasi hepar apabila pH darah arterinya < 7,3 setelah resusitasi
cairan atau jika pasien memiliki ensefalopati grade III / IV, prothrombin time > 100 detik,
dan serum kreatinin > 300 mmol / L dalam waktu 24 jam. Metode lain yang dapat
dilakukan adalah transplantasi hepar partial. Metode ini memberikan keuntungan suportif
pada pasien, selagi hepar pasien tersebut melakukan regenerasi. Sewaktu hepar sudah
bisa berfungsi, maka obat imunosupresif harus dihentikan dan tidak boleh
menggunakan obat imunosupresif selama masa hidupnya.

2. Gejala dan tanda intoksikasi paracetamol !


Gejala dan tanda toksisitas paracetamol terjadi dalam 3 fase :
 Fase pertama dimulai dalam beberapa jam setelah overdosis, gejalanya adalah mual,
muntah, pucat, dan keringat. Namun, pasien biasanya tidak memiliki gejala spesifik
atau hanya menunjukkan gejala ringan pada 24 jam pertama toksisitas ini. Pada kasus
yang jarang, setelah overdosis yang masif, gejala yang muncul adalah asidosis
metabolik dan koma pada awal kejadian toksisitas.
 Fase kedua dimulai antara 24-72 jam setelah overdosis dan tandanya adalah
peningkatan kerusakan hepar. Umumnya, kerusakan terjadi di hepatosit karena
hepatosit yang memetabolisme paracetamol. Pasien akan menunjukkan gejala nyeri di
kuadran kanan atas abdomen. Peningkatan kerusakan hepar ini juga akan mengubah
marker biokimia fungsi hepar. International normalized ratio (INR) dan enzim
transaminase hepar, seperti alanine transaminase (SGPT) dan aspartate

8
transaminase (SGOT) meningkat sampai level yang abnormal. Gagal ginjal akut (AKI)
juga dapat terjadi pada fase kedua ini, disebabkan oleh karena sindrom hepatorenal
atau multiple organ dysfunction syndrome. Pada beberapa kasus, gagal ginjal akut
(AKI) dapat menjadi manifestasi klinis primer dari toksisitas ini. Jika terjadi hal tersebut,
maka dugaannya adalah metabolit toksik lebih banyak diproduksi di ginjal daripada di
hepar.
 Fase ketiga dimulai 3-5 hari setelah overdosis, pada fase ini terjadi komplikasi dari
nekrosis hepatic parah yang merujuk pada gagal hepar fulminan dengan komplikasi
defek koagulan, hipoglikemi, gagal ginjal, hepatic encephalopathy, edema cerebral,
sepsis, multiple organ failure, dan kematian. Jika pasien selamat dari fase ketiga ini,
maka nekrosis hepatic akan berakhir dan fungsi hepar serta ginjal akan normal
kembail dalam beberapa minggu. Keparahan toksisitas paracetamol itu bervariasi
tergantung dari dosisnya dan kesesuaian pengobatan yang diterima pasien.
3. Berapa dosis yang dapat menyebabkan intoksikasi
 Dosis toksik parasetamol sangat bervariasi. Pada umumnya, maksimum dosis yang
dianjurkan untuk dosis harian bagi dewasa sehat yaitu 4 gram. Dosis yang lebih tinggi
dapat meningkatkan resiko toksik . Pada dewasa, dosis tunggal diatas 10 gram atau
200mg/kgBB, apabila dosis lebih rendah maka dapat memperkecil kemungkinan
toksisitas. Toksisitas dapat juga terjadi ketika dosis lebih kecil diberikan dalam 24 jam
melebihi batas ini. Dosis normal parasetamol 1 gram 4 kali dalam sehari selama 2
minggu, pasien dapat terjadi peningkatan alanin transaminase hepar 3 kali dari nilai
normal. Dosis ini tidak menyebabkan gagal hepar. Penelitian menunjukkan
hepatoksisitas signifikan jarang terjadi pada pasien yang mengkonsumsi dengan dosis
lebih besar selama 3-4 hari. Pada orang dewasa, dosis 6 gram sehari lebih dari 48jam
dapat menyebabkan toksisitas. Overdosis parasetamol akut pada anak jarang
menyebabkan penyakit atau kematian, dan sangat jarang terjadi pada anak yang
mengkonsumsi parasetamol untuk treatment dengan dosis yang lebih besar jangka
lama. Dosis intravena harus diberikan lebih sedikit daripada oral.
 Pada beberapa individu, toksisitas parasetamol dapat terjadi dalam dosis normal. Hal
ini terjadi karena adanya perbedaan individu (idiosyncratic) dalam ekspresi dan aktivitas
beberapa enzim yang berperan dalam jalur metabolisme parasetamol.

Bagaimana farmakologi atropin dalam kasus ini

Alkaloid natural dan obat antimuskarinic tertier diabsorbsi baik dari pencermaan dan
membran konjungtiva. Atropin dan agen tertier lainnya terdistribusi luas di dalam tubuh. Level
signifikan dapat mencapai sistem saraf pusat dalam 30 menit hingga 1 jam , dan hal ini
dapat membatasi dosis yang dapat ditolerir untuk efek peripheral.

Setelah pemberian, eliminasi atropin dari darah terjadi dalam 2 fase, waktu paruh dari fase
cepat adalah 2 jam dan fase lambat adalah kira-kira 13 jam. Kira-kira 50% dosis diekskresi
tanpa diubah di urin. Sisanya terdapat di urin sebagai produk hidrolisis dan konjugasi. Efek
obat pada fungsi parasimpatis menurun cepat pada semua organ , kecuali mata.

Atropin menyebabkan blokade kerja cholinomimetic reversible pada reseptor muskarinik.


Blokade oleh dosis kecil atropin dapat diatasi dengan konsentrasi tinggi asetilkolin atau
agonist muskarinic yang ekuivalen. Atropin sangat selektif untuk reseptor muskarinik.

Efek terhadap sistem organ:

1. Sistem saraf pusat

9
Dalam dosis yang biasanya digunakan, atropine memiliki efek stimulan yang minimal
pada SSP, terutama pusat medullaris parasimpatetik.

2. Mata
Otot konstriktor pupil bergantung pada aktivasi muscarinic cholinoceptor. Aktivasi
reseptor ini diblok oleh atropine topical (midriasis). Efek okular penting yang kedua dari
obat anti muskarinik ialah dapat melemahkan kontraksi otot siliaris, atau cycloplegia.
Cycloplegia menyebabkan hilangnya kemampuan akomodasi; mata yang
teratropinisasi secara keseluruhan tidak dapat focus dalam penglihatan dekat.
Efek ketiga ialah dapat menurunkan sekresi lakrimal.

3. Sistem kardiovaskular
Nodus sinoatrial (SA) sangat sensitive terhadap blokade reseptor muskarinik. Dosis
atropine sedang hingga tinggi menyebabkan takikardi dan berdetak secara spontan
oleh blokade dari vagal slowing. Takikardia dapat muncul tapi memiliki efek kecil
terhadap tekanan darah.

4. Sistem respirasi
Baik otot polos dan kelenjar sekretoris jalan nafas menerima inervasi vagus dan
mengandung reseptor muskarinik. Bahkan dalam individu normal, administrasi atropine
dapat menyebabkan bronkodilatasi dan menurunkan sekresi. Obat-obatan
antimuskarinik sering digunakan sebelum adminstrasi anastesi inhalant untuk
mengurangi akumulasi sekresi di dalam trakea dan kemungkinan terjadinya
laryngospasme.

5. Sistem gastrointestinal
Blokade reseptor muskarinik memiliki efek dramatis pada pergerakan dan beberapa
fungsi sekresi dari gut. Obat antimuskarinik memiliki efek yang signifikan pada sekresi
saliva; mulut kering sering muncul pada pasien yang menggunakan obat anti
muskarinik untuk penyakit Parkinson atau kondisi urinary nya. Blokade sekresi gaster
kurang efektif: volume dan jumlah asam, pepsin, dan mucin semuanya berkurang,
tapi mungkin diperlukan atropine dalam dosis besar. Motilitas otot polos gastrointestinal
dipengaruhi dari gaster hingga colon. Secara umum, obat antimuskarinik
menghilangkan tonus dan pergerakan propulsive; dinding viscera menjadi relax.
Maka dari itu, waktu pengosongan lambung lebih lama dan waktu transit di usus juga
memanjang.

6. Traktus genitourinaria
Aksi antimuskarinik dari atropine dan analognya me-relax-kan otot polos ureter dan
dinding kandung kemih dan melambatkan voiding (urinasi).

7. Kelenjar keringat
Atropin menekan thermoregulatory sweating. Sabut kolinergik simpatetik menginervasi
kelenjar keringat eccrine, dan reseptor muskariniknya dapat diakses oleh antimuskarinik.
Pada orang dewasa, temperature tubuh meningkat oleh efek ini jika dosis yang besar
diadministrasikan, tapi di bayi dan anak-anak, bahkan dosis normal pun dapat
menyebabkan “demam atropine”

4. Bagaimana patofisiologi intoksikasi parasetamol?

10
Pathway utama metabolism parasetamol. Pathway menjuju NAPQI ditunjukkan dalam
warna merah .

Ketika digunakan dalam dosis terapeutik normal, paracetamol terbukti aman. Mengikuti dosis
terapeutik, paracetamol kebanyakan dikonversi menjadi metabolit nontoxic via metabolism
phase 11 oleh konjugasi dengan sulfat dan glucaronide, dengan sebagian kecil teroksidasi via
sistem enzim cytochrome P450. Cytochrome P450 2E1 dan 3A4 mengkonversi kurang lebih
5% paracetamol menjadi metabolit intermediet yang sangat reaktif, N-acetyl-p-
benzoquinoneimine (NAPQI). Dalam kondisi normal, NAPQI didetoksifikasi oleh konjugasi
dengan glutathione untuk membentuk cysteine dan mercapturic acid conjugates.

 Pada kasus overdosis paracetamol, jalur sulfat dan glukuronida menjadi tersaturasi, dan
lebih banyak paracetamol dipindahkan ke system sitokrom P450 untuk memproduksi
NAPQI. Sebagai hasilnya, suplai hepatoseluler dari glutathion menjadi berkurang,
dimana kebutuhan glutathion lebih tinggi dibandingkan regenerasinya. NAPQI tetap
berada dalam bentuk toksiknya di liver dan bereaksi dengan molekul membran seluler,
menghasilkan kematian dan kerusakan hepatosit yang tersebar luas, mengakibatkan
nekrosis hepatik akut. Pada pembelajaran pada hewan, glutathion hepatik harus
dikurangi hingga kurang dari 70% dari tingkat normal sebelum hepatotoksisitas terjadi.

5. Apa faktor resiko yang berpotensi meningkatkan resiko dari keracunan


paracetamol?
 Beberapa faktor berpotensi meningkatkan resiko dari keracunan paracetamol. Konsumsi
alkohol eksesif yang kronis dapat menginduksi CYP2E1, yang akhirnya meningkatkan
potensi keracunan paracetamol. Apakah kecanduan alkohol kronis digolongkan sebagai
faktor resiko telah menjadi perdebatan beberapa toksikologis klinis. Bagi pengguna

11
alkohol kronis, ingesti alkohol akut bersamaan dengan overdosis paracetamol mungkin
memiliki efek yang protektif. Untuk pengguna alkohol non-kronis, konsumsi alkohol akut
tidak memiliki efek protektif.

 Berpuasa adalah faktor resiko, kemungkinan karena penurunan dari simpanan


glutathion hepatik. Penggunaan konkomitan dari isoniazid inhibitor CYP2E1
meningkatkan resiko hepatotoksisitas, meskipun apakah induksi 2E1 berhubungan
dengan hepatotoksisitas pada kasus ini masih belum jelas. Penggunaan konkomitan
dari obat-obatan lain yang menginduksi enzim CYP, seperti antiepileptik termasuk
carbamazepin, phenytoin dan barbiturat, juga dilaporkan sebagai faktor resiko.

 Menurut studi terdahulu yang dilakukan University of Washington, campuran dari


paracetamol dan kafein dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan kerusakan liver.
Peneliti menemukan bahwa kafein dapat meningkatkan jumlah NAPQI hingga tiga kali
lipat. Reaksi ini dapat disebabkan oleh dosis yang besar kombinasi kafein dan
paracetamol. Dr. Sid Nelson, seorang profesor obat-obatan kimia di University of
Washington, mengatakan, "kafein dapat berinteraksi dengan sebuah enzim yang dapat
membentuk metabolit toksik dari paracetamol melalui cara meningkatkan pembentukan
metabolit toksik tersebut." Namun, jumlah kafein yang ditunjukkan untuk menyebabkan
efek pada studi terdahulu tersebut lebih tinggi dibandingkan dosis yang dikonsumsi
peminum kopi.

6. Bagaimana prognosis intoksisitas paracetamol?


Tingkat mortalitas dari overdosis paracetamol meningkat dua hari setelah ingesti, mencapai
maksimum pada hari keempat, lalu berkurang secara perlahan. Acidemia merupakan
indikator tunggal paling penting dari kemungkinan mortalitas dan kebutuhan untuk
transplantasi. Persentase mortalitas 95% saat tanpa transplantasi dilaporkan pada pasien
yang memiliki pH kurang dari 7,3. Indikator prognosis buruk yang lain termasuk insufisiensi
renal, grade 3 atau ensefalopati hepatik yang memburuk, peningkatan prothrombin time,
atau peningkatan tingkat asam laktat darah. Sebuah studi menunjukkan bahwa tingkat
faktor V yang kurang dari 10% dari kadar normal mengindikasikan prognosis yang buruk
(91% mortalitas), dimana rasio faktor VIII dibanding faktor V kurang dari 30 mengindikasikan
prognosis yang baik (100% bertahan hidup). Pasien dengan prognosis yang buruk biasanya
diidentifikasi dengan kemungkinan transplantasi liver. Pasien yang tida meninggal
diharapkan dapat sembuh total dan memiliki harapan hidup serta kualitas hidup normal.

12

Anda mungkin juga menyukai