Judul Makalah…………………………….………………………………………………….. i
Kata Pengantar………………………...……………………………………………………… ii
Daftar Isi………………………………………...……………………………………………. iii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang……………….……………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………… 1
C. Tujuan dan Manfaat………..………………………………………………………... 1
BAB II Pembahasan
A. Definisi Munakahat……………………….…………………………………………... 2
B. Konsep Pernikahan Dalam Islam………………….………………………………….. 2
C. Hukum Dilakukannya Pernikahan……………………………………………………. 4
D. Syarat dan Rukun Pernikahan………………………………………………………… 5
E. Hikmah Munakahat…………………………………………………………………… 7
F. Larangan Pernikahan Dalam Islam…………………………………………………… 8
G. Kafaah Dalam Munakahat……………………………………………………………. 10
BAB III Penutup…………………………………………………………………………….... 12
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………… iv
A. Etika Pergaulan
Masa remaja merupakan masa yang sangat kritis, masa untuk melepaskan ketergantungan terhadap
orang tua dan berusaha mencapai kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa.
keberhasilan para remaja melalui masa transisi sangat dipengaruhi oleh faktor biologis (faktor fisik), kognitif
(kecerdasan intelektual), psikologis (faktor mental), maupun faktor lingkungan. Dalam kesehariannya,remaja
tidak lepas dari pergaulan dengan remaja lain. remaja dituntut memiliki keterampilan sosial (social skill) untuk
dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. keterampilan-keterampilan tersebut meliputi
kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, mendengarkan pendapat/ keluhan dari
orang lain, memberi / menerima umpan balik, memberi/ menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan
yang berlaku, dan lain-lain.
Prinsip-prinsip etika pergaulan remaja
B. Pengertian Pernikahan
Menurut KBBI pernikahan/per·ni·kah·an/ n 1 hal (perbuatan) nikah; 2 upacara nikah:
Dalam kitab Fathul Muin, menurut Bahasa ialah mengumpulkan menjadi satu.
Menurut sumber diatas dapat saya simpulkan bahwa pernikahan adalah suatu perbuatan yang
mengumpulkan dua orang pria dan wanita untuk menghalalkan sebuah persetubuhan.
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka
menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan
barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi
dirinya.”[1]
“Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau
melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika
kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak
berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah,
maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang
zhalim.” [Al-Baqarah : 229]
Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa Jalla. Dan dibenarkan rujuk
(kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang
disebutkan dalam surat Al-Baqarah, lanjutan ayat di atas:
“Kemudian jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-
ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]
Jadi, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri melaksanakan syari’at Islam dalam
rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.
D. Prinsip Memilih Jodoh & UU Pernikahan
Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu harus kafa-ah dan
shalihah.
Agama Islam sangat memperhatikan kafa-ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam hal
per-nikahan. Dengan adanya kesamaan antara kedua suami isteri itu, maka usaha untuk mendirikan dan
membina rumah tangga yang Islami -insya Allah- akan terwujud. Namun kafa-ah menurut Islam hanya diukur
dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlak seseorang, bukan diukur dengan status sosial, keturunan dan
lain-lainnya. Allah ‘Azza wa Jalla memandang derajat seseorang sama, baik itu orang Arab maupun non Arab,
miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan derajat dari keduanya melainkan derajat taqwanya.
Bagi mereka yang sekufu’, maka tidak ada halangan bagi keduanya untuk menikah satu sama lainnya.
Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berorientasi pada hal-hal yang sifatnya materialis
dan mempertahankan adat istiadat untuk meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur-an dan Sunnah Nabi
yang shahih, sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
َأل َ ْر َبعَۖۖ ْال َم ْرأ ََة ُ ت ُ ْن َك ُح: سب َها ل َمال َها
َ ولديْن َها َول َج َمال َها َول َح، ْ َ َي َداكََ ت َر َبتَْ الديْنَ بذَاتَ ف.
َ اظف ََْر
“Seorang wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan
agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang taat agamanya (ke-Islamannya), niscaya kamu akan
beruntung.” [2]
Hadits ini menjelaskan bahwa pada umumnya seseorang menikahi wanita karena empat hal ini. Dan
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih yang kuat agamanya, yakni memilih yang
shalihah karena wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia, agar selamat dunia dan akhirat.
Namun, apabila ada seorang laki-laki yang memilih wanita yang cantik, atau memiliki harta yang
melimpah, atau karena sebab lainnya, tetapi kurang agamanya, maka bolehkah laki-laki tersebut
menikahinya? Para ulama membolehkannya dan pernikahannya tetap sah.
“…Maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga
diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (me-reka)…” [An-Nisaa’ : 34]
Lafazh َ قَانت َاتdijelaskan oleh Qatadah, artinya wanita yang taat kepada Allah dan taat kepada
suaminya.[3]
َُ صال َح َةُ ْال َم ْرأ ََة ُ الد ْن َيا َمت َاعَ َو َخي
ْر َمت َاعَ اَلد ْن َيا َّ ال.
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” [4]
“Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan suami apabila ia melihatnya, mentaati apabila suami
menyuruhnya, dan tidak menyelisihi atas diri dan hartanya dengan apa yang tidak disukai suaminya.” [5]
“Empat hal yang merupakan kebahagiaan; isteri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga
yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang merupakan kesengsaraan; tetangga yang jahat,
isteri yang buruk, tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang jelek.” [6]
Menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, dan penjelasan para ulama bahwa di antara ciri-ciri
wanita shalihah ialah :
Apabila kriteria ini dipenuhi -insya Allah- rumah tangga yang Islami akan terwujud.
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Mahaesa.
Pasal 2
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat
(2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila:
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan
atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal
6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini
dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu
yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)
3. Keluarga yang barokah
Ciri ketiga keluarga bahagia menurut islam adalah keluarga yang barokah. Ingat, kebahagian bukan diukur dari harta
yang melimpah ruah. Tetapi bagaimana kita memanfaatkan rezeki yang ada menjadi lebih berkah. Antara suami dan
istri haruslah saling bahu-membahu. Tidak apa-apa walaupun kita tak kaya, yang penting harta kita diperoleh dengan
cara yang halal. Kemudian jangan lupa untuk bersedekah dan senantiasa bersyukur. Dengan demikian, jiwa kita akan
lebih tentram dan kebahagian bisa diperoleh.
Di samping harta, umur dan waktu kita juga seharusnya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Hidup di dunia
memang menyenangkan, tapi jangan melupakan kehidupan di akhirat karena disitulah kita akan kekal selama-
lamanya.
ٍ مِن أ َ إنفُ ِسكُ إم أ َ إز َوا ًجا ِلت َ إس ُكنُوا إِلَ إي َها َو َجعَ َل بَ إينَ ُك إم َم َوداة ً َو َرحإ َمةً ۚإِ ان فِي َٰذَ ِلكَ ََليَا
َت ِلقَ إو ٍم يَتَفَ اك ُرون َومِ إن آيَاتِ ِه أ َ إن َخلَقَ لَكُ إم إ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Q.S. Ar-Rum:
21)
6. Keluarga yang rahmah (Saling Menyayangi dan dirahmati Allah SWT)
Wa Rahmah merupakan kelanjutan dari mawaddah (cinta), dimana Wa berarti “dan”, Rahmah berarti “rahmat atau
karunia atau anugerah Allah SWT”. Rahmah juga bisa didefinisakan sebagai kasih sayang.
Kebahagiaan keluarga akan semakin lengkap bilamana seorang suami memberikan kasih sayang kepada istrinya,
menghargai, tidak membentak-bentak, dan menafkahi secara ikhlas. Begitupun dengan seorang istri, ia juga harus
memberikan cinta tulus kepada suami dan anak-anaknya. Serta tak melupakan menjalankan perintah agama dan
mengamalkan sunnah Rasulullah SAW agar kelak kehidupan rumah tangga memperoleh rahmat dari Allah SWT.