Anda di halaman 1dari 58

PEMBANGUNAN DAERAH, DESA DAN KOTA

BAB XIV

PEMBANGUNAN DAERAH, DESA DAN KOTA

A. PENDAHULUAN

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1988 telah


mengamanatkan bahwa pembangunan daerah perlu senantiasa ditingkatkan
agar laju pertumbuhan semua daerah serta laju pertumbuhan wilayah
pedesaan dan wilayah perkotaan semakin seimbang dan serasi sehingga
pelaksanaan pembangunan nasional serta hasil-hasilnya makin merata di
seluruh Indonesia. Ditetapkan pula dalam GBHN bahwa pembangunan
daerah perlu dilaksanakan secara terpadu, selaras, serasi dan seimbang serta
diarahkan agar pembangunan yang berlangsung di setiap daerah sesuai
dengan prioritas dan potensi daerah. Keseluruhan pembangunan daerah juga
merupakan satu kesatuan pembangunan nasional yang diarahkan untuk
memantapkan terwujudnya Wawasan Nusantara. Untuk mencapai tujuan
tersebut maka kemampuan, prakarsa, serta partisipasi masyarakat dan
pemerintah daerah dalam pembangunan terus didorong dan ditingkatkan.

GBHN mengamanatkan juga bahwa dalam rangka pembangunan dae-


rah perlu diberikan perhatian khusus kepada daerah yang relatif miskin dan
terbelakang, daerah padat penduduk dan daerah sangat kurang penduduk,
daerah transmigrasi, daerah kepulauan terpencil, serta daerah perbatasan.
Untuk ini, pembangunan prasarana dan sarana ekonomi dan sosial perlu
ditingkatkan secara lebih merata ke seluruh wilayah tanah air.

XIV/3
Sesuai amanat GBHN tersebut maka upaya pembangunan daerah,
desa dan kota telah dilaksanakan dan ditingkatkan secara konsisten dari
tahun ke tahun sejak Repelita I sampai dengan Repelita V, terlebih-lebih
dalam 5 tahun terakhir ini, dari tahun 1988/89 hingga tahun 1992/93. Adapun
langkah-langkah kebijaksanaan dan program-program pembangunan daerah
yang telah dilakukan meliputi pembangunan desa, pembangunan Daerah
Tingkat II, pembangunan Daerah Tingkat I, pengembangan kawasan terpadu,
pembangunan perkotaan, penataan ruang, penataan pertanahan dan
pembinaan aparatur pemerintah. Pembangunan daerah yang dilaksanakan
selama PJPT I tersebut telah berhasil membantu memenuhi berbagai
kebutuhan yang dihadapi dan lebih mendayagunakan pemanfaatan potensi
daerah.

Pada dasarnya kinerja dan dampak pembangunan di daerah di seluruh


tanah air adalah hasil keseluruhan upaya bangsa berdasar strategi
pembangunan nasional yang dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu,
sesuai dengan Trilogi Pembangunan dan Wawasan Nusantara. Dampak
positif dan hasil-hasil pembangunan dalam kurun waktu tersebut sangat
dirasakan oleh masyarakat dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia.
Secara umum, hasil-hasil pembangunan daerah sangat menggembirakan.

Sejak Repelita I telah dikembangkan berbagai program pembangunan


daerah, termasuk didalamnya berbagai program bantuan pembangunan
melalui Instruksi Presiden (Inpres). Bantuan pembangunan kepada daerah
yang terus meningkat tidak saja menciptakan pembangunan yang lebih
merata di seluruh wilayah, akan tetapi juga telah mampu menggerakkan
masyarakat untuk berpartisipasi aktif dan meningkatkan laju pembangunan
secara nasional. Selain itu, pembangunan daerah telah berhasil membantu
upaya menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Antara lain dapat terlihat
dari terbukanya daerah-daerah yang dahulu terisolasi, meningkatnya
kemampuan berbagai daerah untuk berswasembada pangan, meningkatnya
pelayanan kesehatan, menurunnya angka kematian bayi, dan adanya
peningkatan usia harapan hidup. Hal yang juga terlihat dari upaya
pembangunan daerah ini adalah meningkatnya kemampuan pemerintah
daerah dalam menangani pembangunan di daerah masing -masing.

Dalam Repelita I, upaya pembangunan daerah pertama-tama


dilakukan dengan Program Bantuan Pembangunan Desa yang dilaksanakan
melalui Program Inpres Desa pada tahun 1969/70, dan kemudian melalui

XIV/4
Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II atau Program Inpres Dati II pada
tahun 1970/71. Pada akhir Repelita I, tahun 1973/74, telah dicanangkan
Program Pembangunan Sarana Pendidikan Dasar atau program Inpres
Sekolah Dasar yang pelaksanaannya oleh pemerintah Daerah Tingkat II.
Program-program ini, Inpres secara nyata telah mampu meningkatkan taraf
hidup masyarakat desa serta memperluas cakupan dan meningkatkan jumlah
anak-anak peserta pendidikan dasar, sehingga dapat meningkatnya taraf
pendidikan dan kecerdasan masyarakat.

Dalam Repelita II, rangkaian bantuan tersebut telah berhasil


ditingkatkan lagi dengan melaksanakan 4 (empat) program bantuan baru: (1)
Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan atau Inpres Kesehatan dimulai pada
tahun 1974/75; (2) Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I atau Inpres Dati
I sejak tahun 1974/75 sebagai pengganti dari Sumbangan Pemerintah
Pengganti (SPP) ADO; (3) Bantuan Penghijauan dan Reboisasi dimulai pada
tahun 1976/77; dan (4) Bantuan Pembangunan/Pemugaran Pasar pada tahun
1976/77. Dengan demikian selama Repelita II dilaksanakan tujuh Program
Bantuan Pembangunan Daerah, tiga di antaranya merupakan program-
program bantuan yang sudah diperkenalkan dalam Repelita I.

Dalam Repelita III, untuk melengkapi program-program bantuan


pembangunan daerah yang ada dalam periode sebelumnya, sejak tahun
1979/80 telah ditambahkan Program Penunjangan Jalan Kabupaten. Dalam
Repelita IV, sejalan dengan kebutuhan daerah, peningkatan besaran anggaran
terus dilakukan, di samping dilakukan penambahan kebijaksanaan
pelengkap. Kebijaksanaan pelengkap tersebut berupa Kebijaksanaan
Pembangunan Perkotaan, yang dimulai tahun 1987/88 dengan nama
Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu atau P3KT.

Dalam lima tahun terakhir ini sejak tahun 1988/89 hingga tahun
keempat Repelita V, alokasi anggaran telah ditingkatkan dengan sangat
berarti didukung dengan penyempurnaan dan pelengkapan kebijaksanaan
untuk menunjang pembangunan daerah. Dalam rangka itu pada tahun
1989/90, telah diprogramkan bantuan Peningkatan Jalan Propinsi atau Inpres
Peningkatan Jalan Propinsi (IPJP) dan Program Penunjangan Jalan
Kabupaten/Kotamadya yang kemudian diganti menjadi Program Peningkatan
Jalan Kabupaten atau Inpres Peningkatan Jalan Kabupaten (IPJK). Maksud
utama penyempurnaan tersebut adalah untuk meluaskan cakupan program
termasuk lingkup jangkauannya (kabupaten dan propinsi). Dengan

XIV/5
mengubah program penunjangan menjadi program peningkatan maka
pembangunan jaringan jalan tersebut dilaksanakan dengan kualitas
konstruksi yang dapat bertahan setidaknya selama 5 tahun.

Selain itu, dalam upaya pemberian perhatian khusus kepada


daerah-daerah yang relatif miskin dan terbelakang, sejak tahun 1989/90
telah dilaksanakan Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT) yang
merupakan program untuk pengentasan kemiskinan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang pada umumnya berlokasi di kawasan-
kawasan yang relatif terisolasi yang sebelumnya masih kurang tersentuh
program pembangunan.

Dalam periode 5 tahun terakhir, tahun 1988/89 sampai dengan tahun


keempat Repelita V, usaha-usaha peningkatan pembangunan daerah juga
telah lebih ditingkatkan lagi dengan melaksanakan penataan ruang daerah di
seluruh Indonesia. Penataan ruang sebagai salah satu cara untuk mewadahi
kegiatan pembangunan nasional secara lebih efisien dan dalam nafas
pembangunan yang berkelanjutan melalui pelestarian sumber daya alam,
terus dimasyarakatkan.

Sejalan dengan maksud untuk memanfaatkan ruang secara efisien dan


optimal, serta untuk meningkatkan produktivitas dan mutu kegunaan tanah
sebagai salah satu kekayaan sumber daya alam, program penataan pertanahan
semakin ditingkatkan. Upaya peningkatan penataan pertanahan telah
ditunjang dengan memantapkan kelembagaan pertanahan nasional dalam
bentuk Badan Pertanahan Nasional (BPN). Program penataan pertanahan
telah berhasil meningkatkan penyelesaian registrasi dan sertifikasi tanah di
seluruh tanah air. Demikian pula penataan pertanahan melalui konsolidasi
tanah, pemetaan penggunaan tanah dipedesaan dan perkotaan, serta
penertiban administrasi land reform telah meningkat dengan pesat. Selain
daripada itu sistem pendataan pertanahan yang komprehensif dan terinci juga
telah berkembang dengan pesat berkat penggunaan perangkat-perangkat
dengan teknologi terbaru.

Pembinaan aparatur pemerintahan ditujukan untuk meningkatkan


keterampilan personil dan mematangkan fungsi lembaga dalam kerangka
otonomi dan desentralisasi. Kegiatan ini meliputi kegiatan pendidikan dan
pelatihan, penambahan jumlah tenaga terampil, penyempurnaan lembaga
pemerintahan yang ada dan pembentukan lembaga baru, serta penyediaan

XIV/6
prasarana penunjang kelembagaan yang dibutuhkan. Seluruh kegiatan
tersebut telah dilaksanakan dengan semakin meningkat dan telah
membuahkan hasil yang cukup menggembirakan.

B. PEMBANGUNAN DESA

Program pembangunan desa sebagai bagian dari upaya pembangunan


daerah telah dilaksanakan sejak Repelita I. Program ini terutama diarahkan
pada peningkatan kemampuan sumberdaya manusia termasuk penciptaan
iklim yang mendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya masyarakat
pedesaan dalam berproduksi, mengolah dan memasarkan hasil produksinya,
sehingga tercipta lapangan kerja dan pemerataan pendapatan.

Kegiatan pembangunan desa yang dilaksanakan meliputi (1) Bantuan


Pembangunan Desa, (2) Pengembangan Unit Daerah Kerja Pembangunan
(UDKP), (3) Peningkatan Prakarsa dan Swadaya Masyarakat, (4)
Pemukiman Kembali Penduduk dan Penataan Desa, (5) Pemugaran
Perumahan dan Lingkungan Desa, serta (6) Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga (PKK). Kegiatan-kegiatan pembangunan tersebut telah dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan, membantu mengurangi
jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, meningkatkan
kemampuan aparatur pemerintah desa dan menambah besarnya jumlah desa
swasembada.

1. Bantuan Pembangunan Desa

Dalam rangka mempercepat pemerataan pembangunan dan


hasil-hasilnya di seluruh Indonesia, serta dalam rangka mendorong pe -
ngembangan usaha-usaha swadaya gotong-royong masyarakat di daerah
pedesaan, maka sejak Repelita I daerah pedesaan memperoleh bantuan
pembangunan desa yang didasarkan atas Instruksi Presiden. Dalam
pelaksanaan program Bantuan Pembangunan Desa atau yang biasa dikenal
sebagai Inpres Desa ini, bantuan langsung diberikan kepada setiap desa di
seluruh Indonesia untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang
direncanakan, dilaksanakan, serta dikendalikan oleh masyarakat desa sendiri
dan hasilnya dipelihara secara swadaya dengan gotong-royong.

Dengan maksud meningkatkan peranan wanita dalam pembangunan

XIV/7
desa ini, maka sejak tahun 1980/81 sebagian dari Bantuan Pembangunan
Desa tersebut digunakan untuk membantu mengembangkan kemampuan dan
peranan kaum wanita melalui Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di
setiap desa.

Pada awal Repelita I bantuan yang diberikan langsung kepada setiap


desa adalah rata-rata sebesar Rp 100.000 setahun, dan jumlah desa pada
akhir Repelita I adalah 45.587 desa. Jumlah bantuan ini kemudian
diusahakan untuk ditingkatkan terus, sehingga pada tahun keempat Repelita
V, tahun 1992/93, mencapai Rp 4,5 juta, atau 45 kali lipat jumlah pada
awal Repelita I, per desa, untuk sebanyak 63.721 desa.

Khusus sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repe-


lita V, laju peningkatan jumlah bantuan pembangunan desa lebih cepat dari
dalam Repelita sebelumnya. Pada tahun 1989/90 jumlah bantuan adalah
Rp 1.500.000 per desa, termasuk untuk program PKK sebesar Rp 300.000
per desa. Pada tahun 1990/91 jumlah bantuan ditingkatkan menjadi
Rp 2.500.000 per desa termasuk untuk PKK sebesar Rp 500.000. Pada
tahun 1991/92, jumlah bantuan desa ditingkatkan lagi menjadi Rp 3.500.000
per desa, termasuk bantuan untuk program PKK sebesar Rp 700.000 per desa.
Pada tahun 1992/93, yaitu tahun keempat Repelita V bantuan ini ditingkatkan
lagi menjadi Rp 4.500.000 per desa, termasuk Rp 900.000 bantuan untuk
kegiatan PKK. Jumlah desa pada tahun itu telah dikonsolida-sikan menjadi
63.721 desa. Rincian jumlah bantuan pembangunan desa untuk tiap propinsi
terlihat pada Tabel XIV-1, sedangkan perkembangan jumlah desa, jumlah
bantuan tiap desa serta macam bantuan dapat dilihat pada Tabel XIV-2.

Bantuan Pembangunan Desa digunakan antara lain untuk penyediaan


prasarana perhubungan desa seperti jalan dan jembatan desa, penyeberangan
sungai, pengadaan prasarana pasar, prasarana sosial-budaya seperti kantor
Balai Desa, Poskamling, Posyandu, pengadaan air bersih, usaha kebun
pembibitan, tanaman pekarangan, usaha penjahitan, usaha penggilingan
padi, pembuatan minyak kelapa, pembakaran kapur, dan pembuatan batu
bata dan genteng. Di samping itu peranan bantuan ini melalui program PKK
dan Posyandu terhadap peningkatan mutu sumber daya manusia terutama di
bidang kesehatan, pendidikan dan keluarga berencana adalah sangat besar.

XIV/8
TABEL XIV – 1
PERKEMBANGAN BANTUAN PEMBANGUNAN DESA, 1)
1969/70 – 1992/93
(juta rupiah)

1) Inpres Bantuan Pembangunan Desa, angka tahunan


2) Kegiatan penunjang

XIV/9
TABEL XIV – 2
PERKEMBANGAN JUMLAH DESA DAN BANTUAN PEMBANGUNAN DESA, 1)
1969/70 – 1992/93

1) Angka tahunan
2) Bantuan untuk menunjang kegiatan PKK, Rp. 300.000,- per Desa
3) Bantuan untuk menunjang kegiatan PKK, Rp. 500.000,- per Desa
4) Bantuan untuk menunjang kegiatan PKK, Rp. 700.000,- per Desa
5) Bantuan untuk menunjang kegiatan PKK, Rp. 900.000,- per Desa

XIV/10
2. Pemantapan Pelaksanaan Unit Daerah Kerja Pembangunan
(UDKP)

Usaha untuk meningkatkan dan mengkoordinasikan pembangunan


desa dilaksanakan melalui sistem UDKP yaitu sistem perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan yang dilakukan di
tingkat kecamatan. Usaha ini merupakan penerapan mekanisme perencanaan
dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah sehingga dengan demikian dapat
tercapai tujuan pembangunan daerah yang merupakan upaya pencapaian
sasaran nasional di daerah, sesuai dengan kebutuhan, potensi, aspirasi, dan
prioritas penanganan masalah yang dihadapi masyarakat daerah pedesaan.
Sistem UDKP diterapkan di kecamatan yang berpotensi untuk berkembang
dan diharapkan perkembangannya dapat membawa dampak positif terhadap
kecamatan sekitarnya.

Program ini dimulai sejak Repelita III. Untuk meningkatkan


kemampuan UDKP sebagai sistem manajemen pembangunan tingkat keca-
matan maka sejak periode tersebut telah dilaksanakan berbagai kegiatan,
seperti Penataran Camat, penempatan Tenaga Kerja Sukarela Badan Urusan
Tenaga Sukarela Indonesia (TKS-BUTSI), pemberian paket UDKP,
pelatihan pembina teknis Kader Pembangunan Desa (KPD) dan Instansi
Sektor Kecamatan (ISK) UDKP, serta penentuan Kecamatan Terpilih.

Dalam Repelita III, sesuai dengan strategi Trilogi Pembangunan


yang menitikberatkan pada pemerataan, sistem UDKP mulai diterapkan di
kecamatan-kecamatan yang relatif terbelakang dan padat penduduk, dalam
upaya makin mengurangi keterbelakangannya. Melalui sistem UDKP ini
juga dikembangkan teknologi pedesaan yang sesuai dengan kondisi wilayah
masing-masing. Dampak program ini terlihat dengan semakin baiknya
kualitas perencanaan pembangunan desa, makin tertampungnya aspirasi
masyarakat pedesaan, makin terkoordinirnya pembangunan proyek sektoral di
kecamatan, serta pelaksanaan program-program pedesaan lainnya.

Dalam Repelita III ini telah diselenggarakan Penataran Camat untuk


sebanyak 1.093 orang dan pelatihan pembina teknis KPD sebanyak 2.567
orang. Dengan demikian, dialog dengan para Camat dalam rangka
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan makin dapat berjalan dengan
baik, serta dapat memperoleh masukan-masukan maupun usulan-usulan
program pembangunan yang lebih tepat guna.

XIV/11
Dalam Repelita IV, telah dilakukan kegiatan penataran Camat
sejumlah 2.242 orang, penempatan TKS-BUTSI sebanyak 666 orang, latihan
Sekwilcam (Sekretaris Wilayah Kecamatan) sebanyak 3.529 orang, latihan
penatar UDKP Tingkat Kabupaten sebanyak 75 orang dan latihan KPD
sejumlah 168.953 orang.

Sejak tahun 1988/89 hingga tahun keempat Repelita V, yaitu tahun


1992/93, kegiatan-kegiatan UDKP terutama ditekankan pada kegiatan
Penataran Camat untuk pemantapan sistem UDKP, pelatihan KPD, dan
pelatihan pelatih Pembangunan Desa Terpadu (PDT) tingkat Kabupaten/
Kotamadya.

Pada tahun 1988/89, penataran Camat dilanjutkan untuk 952 orang,


pelatihan KPD untuk 61.325 orang, dan pelatihan PDT untuk 570 orang.
Pada tahun 1989/90, kegiatan penataran Camat dilaksanakan untuk 1.042
orang, pelatihan KPD untuk- 36.010 orang, dan pelatihan pelatih PDT
sebanyak 3.481 orang. Sedangkan pada tahun 1990/91, penataran Camat
dilaksanakan untuk sejumlah 1.255 orang, pelatihan KPD sebanyak 18.005
orang, dan pelatihan untuk pelatih PDT untuk sebanyak 960 orang. Dalam
tahun 1991/92, kegiatan Penataran Camat dilaksanakan untuk sebanyak 941
orang, pelatihan KPD sebanyak 19.055 orang, pelatihan pelatih PDT
sebanyak 960 orang. Sedangkan untuk tahun keempat Repelita V, yaitu
tahun 1992/93, penataran Camat dilaksanakan untuk sebanyak 838 orang
serta Pelatihan Pelatih PDT sejumlah 1.260 orang.

Demikianlah maka selama lima tahun terakhir sejak tahun 1988/89


sampai dengan tahun keempat Repelita V, telah dilaksanakan penataran dan
pelatihan bagi 5.028 Camat, 134.345 KPD, dan 7.231 pelatih PDT.
Manfaat peningkatan kemampuan aparat di tingkat desa dan kecamatan
tersebut terutama dapat dirasakan pada waktu pelaksanaan program yang
direncanakan dan dilaksanakan di tingkat kecamatan seperti misalnya
Program PKT.

3. Peningkatan Prakarsa dan Swadaya Masyarakat

Dalam rangka peningkatan pembangunan di daerah pedesaan,


prakarsa dan partisipasi masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat
di pedesaan terus didorong dan ditingkatkan. Sejalan dengan maksud
tersebut, gerakan PKK dan LKMD yang dibentuk oleh, dari, dan untuk

XIV/12
masyarakat desa terus dikembangkan dan ditingkatkan fungsinya.
Pengembangan dan peningkatan LKMD diarahkan pada peningkatan
kemampuannya untuk: merencanakan dan melaksanakan pembangunan desa
serta mewadahi kegiatan dan peran serta masyarakat desa dalam
pembangunan. Untuk dapat makin meningkatkan efektivitas fungsi LKMD,
maka di setiap desa/kelurahan dibentuk Kader Pembangunan Desa (KPD)
yang berperan sebagai pendorong motivasi dan penggerak masyarakat dalam
pembangunan di setiap desa. Hingga sekarang, pada tahun keempat Repelita
V ini, sebanyak 48% desa telah memiliki KPD.

Dalam upaya peningkatan kualitas manusia pedesaan, khususnya


peningkatan sikap, pengetahuan dan keterampilannya, sejak tahun 1989/90
dilaksanakan Kursus Pelopor Pembangunan Desa (KPPD). Melalui KPPD
ini diharapkan makin dapat ditingkatkan produktivitas dan kualitas tenaga
kerja pedesaan, yang sangat diperlukan dalam rangka upaya meningkatkan
pendapatan masyarakat pedesaan.

Sejalan dengan upaya peningkatan program PKK, maka dalam


Repelita IV telah dilaksanakan pelatihan pengelolaan program dan
penyuluhan bagi Tim Penggerak PKK dari tingkat Propinsi sampai tingkat
Kecamatan. Selama Repelita IV telah dilakukan pelatihan bagi Tim
Penggerak PKK tingkat Propinsi sebanyak 810 orang, Tim Penggerak PKK
Tingkat Kabupaten sebanyak 8.880 orang dan Tim Penggerak PKK Tingkat
Kecamatan sebanyak 8.110 orang. Mulai tahun 1989/90 dilaksanakan
Latihan Pengelola Program dan Penyuluhan PKK Tingkat Kecamatan yang
diikuti oleh 3.576 orang, tahun 1990/91 diikuti oleh sebanyak 4.200 orang,
tahun 1991/92 sebanyak 2.400 orang dan pada tahun 1992/93 diikuti
sebanyak 1.740 orang.

Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V, tahun


1992/93, kegiatan PKK telah lebih ditingkatkan antara lain dalam
penyelenggaraan pelatihan bagi Tim Penggerak PKK tingkat Kecamatan,
pembinaan kegiatan kelompok UP2K (Usaha Peningkatan Pendapatan
Keluarga), penyelenggaraan Kejar Paket A, dan dalam pembinaan
Posyandu.

Selain itu dalam upaya memperluas jangkauan kegiatan PKK, sejak


tahun 1986 telah berhasil dikembangkan "Kelompok Dasa Wisma" yaitu
kelompok PKK yang masing-masing terdiri dari 10 hingga 20 keluarga yang

XIV/13
tinggalnya berdekatan, dan kegiatan Peningkatan Pendapatan Usaha
Keluarga. Untuk menunjang kegiatan tersebut sampai dengan tahun keempat
Repelita V telah dilatih sebanyak 1.710 orang anggota Kelompok Dasa
Wisma dan 2.850 orang pembina kegiatan Peningkatan Pendapatan Usaha
Keluarga.

Dengan usaha-usaha ini maka dua hal telah dicapai yakni pertama,
penyiapan dan peningkatan kemampuan pelaksana pembangunan di tingkat
paling bawah, dan kedua peningkatan . peran serta wanita secara aktif dalam
usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat dari tingkat paling bawah serta
dalam usaha merangsang dan menampung peran serta masyarakat secara
langsung.

4. Pemukiman Kembali Penduduk dan Penataan Desa

Usaha Pemukiman Kembali Penduduk dilaksanakan di daerah-daerah


yang penduduknya masih mengikuti pola hidup berpindah-pindah,
sedangkan Penataan Desa dilakukan di desa-desa yang penduduknya sangat
sedikit. Kegiatan pemukiman kembali penduduk dilakukan terutama bagi
penduduk yang terancam atau terkena bencana alam, yang terkena proyek
vital, dan yang berdiam di daerah-daerah kritis/rawan, di daerah perbatasan,
daerah aliran sungai, dan daerah suaka alam. Kegiatan pemukiman kembali
penduduk dilaksanakan sejak tahun keempat Repelita I, 1972/73. Dalam
Repelita I telah berhasil dimukimkan kembali sebanyak 2.180 KK, dalam
Repelita II sebanyak 6.519 KK, dalam Repelita III sebanyak 16.169 dan
dalam Repelita IV sebanyak 28.421 KK. Sehingga sampai dengan tahun
kedua Repelita IV, yaitu tahun 1985/1986, telah berhasil dimukimkan
kembali penduduk sebanyak 53.289 KK yang tersebar di 220 lokasi
(kabupaten) di seluruh Indonesia.

Sejak tahun 1986/87 program ini diintegrasikan dengan program


transmigrasi dan ditujukan untuk membina desa-desa transmigrasi yang telah
diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dengan demikian, hingga tahun
keempat Repelita V, tahun 1992/93, dalam program kegiatan pemukiman
kembali penduduk lebih banyak dilakukan kegiatan pembinaan dan
pemantapan pembinaan desa di desa-desa transmigrasi tersebut. Di dalam
kegiatan ini, pada tahun 1989/90 telah dilaksanakan kegiatan pembinaan di
39 lokasi, 1990/91 di 37 lokasi, tahun 1991/92 di 45 lokasi dan pada tahun
1992/93 di 44 lokasi.

XIV/14
Dengan kegiatan ini, maka desa-desa transmigrasi telah lebih
terintegrasikan dalam sistem permukiman di dalam kecamatannya, baik
secara sosial maupun ekonomi. Dengan demikian program transmigrasi
menjadi bagian yang lebih terpadu dengan program pembangunan
pemerintah daerah. Sementara itu dampak lain dari program ini adalah
semakin berkurangnya jumlah penduduk yang masih mengikuti pola hidup
berpindah-pindah, pemanfaatan lahan semakin efisien, dan jumlah desa
berpenduduk jarang semakin berkurang.

5. Pemugaran Perumahan dan Lingkungan Desa

Kegiatan Pemugaran Perumahan dan Lingkungan Desa dimaksudkan


untuk membantu kelompok masyarakat desa yang perlu membangun dan
memperbaiki rumahnya agar makin memenuhi persyaratan-persyaratan
kesehatan dan lingkungan.

Kegiatan ini telah diselenggarakan sejak Repelita II hingga tahun


keempat Repelita V sekarang ini. Sasaran kegiatan ini terutama adalah
kelompok yang kurang mampu. Sejak Repelita II hingga tahun keempat
Repelita V, telah dilaksanakan Pemugaran Perumahan dan Lingkungan Desa
di 46.004 lokasi.

Dalam Repelita II, dilaksanakan pemugaran di sebanyak 1.145


lokasi, sedangkan dalam Repelita III, sebanyak 5.691 lokasi, dan dalam
Repelita IV dilaksanakan pemugaran perumahan di 7.358 lokasi. Sejak tahun
1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 program pemugaran perumahan dan
lingkungan desa telah dilaksanakan di 15.076 lokasi yang tersebar di 26
propinsi.

Pada tahun 1988/89 dilaksanakan pemugaran perumahan di 2.466


lokasi, pada tahun 1989/90 di 2.540 lokasi, tahun 1990/91 di 3.100 lokasi,
tahun 1991/92 di 3.405 lokasi dan tahun 1992/93 di 3.565 lokasi.

Dalam tahun 1992/93, yaitu tahun keempat Repelita V, program ini


diubah menjadi Program Penataan Desa dan dilaksanakan di 7 propinsi
yaitu: Kalimantan Barat, Maluku, DI Yogyakarta, Jambi, Sumatera Utara,
Sumatera Barat dan Timor Timur.

Dampak dari Pemugaran Perumahan dan Lingkungan Desa adalah

XIV/15
semakin meningkatnya kondisi lingkungan perumahan pedesaan sehingga
mutu kehidupan masyarakat desa menjadi lebih baik.

Seluruh bantuan pembangunan desa tersebut telah menghasilkan


berbagai prasarana dasar yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat desa,
sesuai dengan kondisi dan masalah desa yang bersangkutan. Bantuan desa
juga telah mendorong berkembangnya swadaya masyarakat, khususnya yang
berwujud sumbangan masyarakat, yang secara langsung dapat membantu
memperbesar hasil dan memperluas jangkauannya.

Kegiatan-kegiatan yang dibiayai dari bantuan-bantuan pembangunan


desa bersama swadaya masyarakat tersebut telah berhasil membantu
meningkatkan kemandirian penduduk pedesaan, meningkatkan kemampuan
aparatur pemerintah desa dan makin meluaskan cakupan serta sebaran
kegiatan-kegiatan pembangunan sampai ke pelosok-pelosok tanah air.

Berbagai dampak program pembangunan pedesaan telah dapat terlihat


dengan semakin bertambahnya jumlah desa Swasembada. Hal ini
menunjukkan bahwa kesadaran pemahaman masyarakat pedesaan dalam
kemandirian dan peran sertanya dalam proses pembangunan semakin
meningkat. Kesiapan partisipasi dalam perekonomian daerah juga semakin
mantap. Di samping itu dampak pembinaan desa Swasembada diharapkan
akan dapat memperkokoh perekonomian koperasi yang berlandaskan pada
kegiatan perekonomian masyarakat pedesaan. Di samping itu derajat
kesehatan dan keadaan gizi masyarakat semakin membaik. Berbagai
pencapaian tingkat kesejahteraan nasional, antara lain didukung pula oleh
kinerja program ini.

C. PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT II

Program Pembangunan Daerah Tingkat II pada dasarnya dimak-


sudkan sebagai usaha untuk mencapai sasaran pembangunan daerah secara
nasional sesuai dengan kebutuhan, potensi, serta aspirasi masyarakat, dan
dapat menanggulangi masalah di masing-masing daerah. Untuk maksud ini
untuk seluruh Daerah Tingkat II telah diberikan beberapa program bantuan.
Melalui seluruh program bantuan pembangunan Daerah Tingkat II ini
diharapkan kabupaten dan kotamadya Daerah Tingkat II dapat terdukung
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan yang menjadi

XIV/16
tanggung jawab dan wewenang pemerintah Daerah Tingkat II.

Secara keseluruhan jenis-jenis bantuan itu adalah berupa: Bantuan


Pembangunan Daerah Tingkat II atau dikenal dengan Inpres Dati II; Bantuan
Pembangunan Sarana Pendidikan Dasar atau Inpres Sekolah Dasar; Bantuan
Pembangunan Sarana Kesehatan atau Inpres Kesehatan; Bantuan Sarana
Penghijauan; Bantuan Kredit Pemugaran Pasar atau Inpres Pasar; dan
Bantuan Peningkatan Jalan dan Jembatan Kabupaten/Kotamadya, atau Inpres
Peningkatan Jalan dan Jembatan Kabupaten/Kotamadya (IPJK).

Program Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II atau Inpres Dati II


mulai dilaksanakan pada tahun 1970/71. Tiga tahun kemudian, yaitu pada
tahun 1973/74, jenis bantuan untuk Daerah Tingkat II ditambah lagi dengan
program Bantuan Pembangunan Sarana Pendidikan Dasar, atau Inpres
Sekolah Dasar. Pada tahun 1974/75, program pembangunan daerah tingkat
II ditambah lagi dengan Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan, atau
Inpres Kesehatan. Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat
Repelita V program Bantuan Pembangunan Sarana Pendidikan Dasar dikenal
sebagai program Peningkatan Pembinaan Sekolah Dasar sedangkan program
Pembangunan Sarana Kesehatan dijadikan 2 (dua) program baru,
masing-masing Program Peningkatan Pelayanan Kesehatan serta Program
Penyediaan Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman.

Bantuan Sarana Penghijauan atau Inpres Penghijauan dan Bantuan


Kredit Pemugaran Pasar atau Inpres Pasar mulai dilaksanakan sejak tahun
1976/77. Sejak tahun 1989/90 Program Bantuan Sarana Penghijauan
kemudian dikenal sebagai Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis.

Program Peningkatan Jalan dan Jembatan Kabupaten/Kotamadya atau


Inpres Peningkatan Jalan dan Jembatan Kabupaten/Kotamadya dilaksanakan
sejak 1989/90. Program bantuan ini merupakan penyempurnaan dari
Program Penunjangan Jalan dan Jembatan Kabupaten/Kotamadya yang
dilaksanakan sejak tahun 1979/80.

1. Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II

Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II atau yang juga dikenal


sebagai Inpres Dati II ditujukan untuk membantu Daerah Tingkat II dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan di daerahnya. Dengan

XIV/17
penyediaan bantuan ini diharapkan agar Pemerintah Daerah Tingkat II dapat
secara lebih leluasa melaksanakan berbagai upaya untuk menggali serta
memanfaatkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
ada, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat di daerah
masing-masing. Sejak permulaannya, tahun 1970/71 sampai dengan tahun
keempat Repelita V sebagian besar penggunaan Bantuan Pembangunan
Daerah Tingkat II diarahkan kepada kegiatan operasional dan pemeliharaan
prasarana dan sarana yang sudah ada, terutama jalan dan jembatan. Namun
di samping itu digunakan juga untuk peningkatan dan pembangunan jalan
baru.

Jumlah bantuan yang diterima oleh masing-masing Daerah Tingkat II


melalui Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II didasarkan pada jumlah
penduduk. Bagi daerah yang berpenduduk kurang dari suatu jumlah tertentu,
diberikan bantuan dengan jumlah minimum yang telah ditetapkan. Baik
bantuan berdasarkan jumlah penduduk maupun bantuan minimum terus
ditingkatkan dari tahun ke tahun. Jika pada tahun pertama diadakannya
bantuan ini, yaitu tahun 1970/71, besar bantuan adalah Rp 50,- per
penduduk dengan minimum bantuan Rp 5 juta, maka pada tahun keempat
Repelita V besar bantuan telah ditingkatkan menjadi Rp 4.000 per penduduk
dengan minimum bantuan Rp 750 juta. Dengan perkataan lain bantuan
masing-masing Dati II sejak Repelita I hingga tahun 1992/93, per jiwa telah
meningkat 80 kali, sedangkan bantuan minimum per Dati II meningkat 150
kali.

Khusus selama lima tahun terakhir sejak tahun 1988/89 sampai dengan
tahun 1992/93, yaitu tahun keempat Repelita V, besar bantuan telah
ditingkatkan dari Rp 1.450 per penduduk dengan bantuan minimum per Dati
II sebesar Rp 170 juta per Dati II menjadi Rp 4.000 per penduduk dengan
bantuan minimum Rp 750 juta per Dati II. Data perkembangan penyediaan
dana melalui Program Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel XIV-3.

Di samping jumlah yang diterima atas dasar jumlah penduduk atau


jumlah bantuan minimum, Daerah Tingkat II memperoleh pula sejumlah dana
sebagai pengembalian hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan. Dana ini
juga dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kegiatan ekonomi
masyarakat di daerah-daerah. Selain itu dimaksudkan juga agar Pemerintah
Daerah lebih aktif dalam meningkatkan upaya penggalian sumber-sumber

XIV/18
TABEL XIV – 3
PERKEMBANGAN JUMLAH BANTUAN PEMBANGUNAN DATI II, 1)
MASING-MASING PROPINSI DAERAH TINGKAT I
1970/71 – 1992/93
(juta rupiah)

1) Angka tahunan.
2) Termasuk bantuan untuk penyusunan RUTR Dati II dan Pengembangan Perkotaan.
3) Peralatan dan Kegiatan Penunjang.

XIV/19
pendapatan yang ada di daerah, seperti Pajak Bumi dan Bangunan.

Hasil fisik dari pelaksanaan Program Bantuan Pembangunan Daerah


Tingkat II meliputi berbagai macam jenis prasarana dan sarana yang dapat
dikelompokkan dalam prasarana jalan, jembatan, pengairan dan lain-lain.
Dalam tahun terakhir Repelita I (1973/74) Bantuan Pembangunan Daerah
Tingkat II yang telah dapat dilaksanakan meliputi 2.799 proyek.

Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V, yaitu


tahun 1992/93, jumlah proyek yang dikerjakan mencapai 28.744 proyek,
yaitu dari 3.802 proyek pada tahun 1988/89, menjadi 9.025 proyek pada
tahun 1992/93 (Tabel XIV-4).

Jenis proyek yang paling menonjol, atau lebih dari separuh kegiat-
annya dibiayai dari Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II, adalah proyek
pemeliharaan jalan dan jembatan. Jika pada akhir Repelita I, yaitu tahun
1973/74, proyek jalan yang dibiayai dari bantuan ini baru mencapai se-
panjang 5.220 km, maka selama 5 tahun sejak tahun 1988/89 sampai dengan
tahun keempat Repelita V, telah dapat ditangani sepanjang 184.777 km
jalan. Pada tahun 1988/89, pemeliharaan jalan yang dikerjakan mencapai
33.812 km. Sedangkan pada tahun 1989/90, yaitu tahun pertama Pelita V,
jalan yang ditangani mencapai 23.463 km, tahun 1990/91 sepanjang 49.008
km, tahun 1991/92 sepanjang 31.494 km, dan tahun 1992/93 atau pada
tahun keempat Pelita V diperkirakan 47.000 km. Jadi selama 4 tahun Pelita
V, telah ditangani jalan sepanjang 150.965 km meliputi kegiatan berupa
pemeliharaan, rehabilitasi, dan peningkatan serta berupa pembangunan
jaringan jalan baru.

Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II juga dipergunakan untuk


menangani pembangunan berbagai macam prasarana dan sarana lainnya
seperti terminal bus, pelabuhan sungai, pasar desa serta berbagai macam
prasarana lingkungan permukiman seperti saluran air limbah, bangunan
pengendali banjir, persampahan, dan lain-lain. Lokasi proyek-proyek tersebut
tersebar ke pelosok-pelosok di setiap kabupaten/kotamadya, sehingga
menjangkau sebagian besar penduduk Indonesia.

Dengan bantuan ini, maka prasarana baik sosial maupun ekonomi


yang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan dan kebutuhan penduduk
telah secara berangsur-berangsur terpenuhi. Hal ini di samping menyelamat-

XIV/20
TABEL XIV – 4
HASIL FISIK PELAKSANAAN PROYEK-PROYEK 1)
BANTUAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT II,
TAHUN 1970/71 – 1992/93

1) Angka tahunan.
2) Angka sementara.

XIV/21
kan lingkungan pemukiman penduduk dari bahaya banjir dan meningkatkan
usaha penyehatan lingkungan pemukiman tersebut, juga telah meluaskan
jangkauan kegiatan ekonomi penduduk dalam proses produksi dan
pemasaran hasilnya. Di samping itu juga jangkauan pelayanan sosial serta
mutunya meningkat sehingga derajat kesehatan maupun tingkat pengetahuan
dan keterampilan mereka meningkat. Bantuan-bantuan ini secara tidak
langsung juga berperan dalam upaya kita menanggulangi kemiskinan dan
keterisolasian, yang secara langsung ditangani melalui program PKT
(Pengembangan Kawasan Terpadu).

Di samping menghasilkan produk fisik, pelaksanaan Program


Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II telah memberikan sumbangan
yang sangat berarti dalam upaya peningkatan pendapatan melalui penyediaan
kesempatan kerja. Lebih kurang seperempat dari seluruh biaya
proyek-proyek yang dibiayai dari program ini dan sebagian besar dari
belanja bahan untuk pelaksanaan proyek-proyek bantuan ini berupa
komponen upah. Adapun tenaga kerja yang dapat terserap baik dalam
pelaksanaan kegiatan proyek maupun dalam proses produksi bahan dan
material meliputi rata-rata lebih-kurang 500.000 orang per tahun.

2. Bantuan Peningkatan Jalan Kabupaten/Kotamadya

Bantuan penting lainnya yang disediakan untuk pembangunan Daerah


Tingkat II adalah Bantuan Peningkatan Jalan Kabupaten/Kotamadya.
Bantuan pembangunan ini mulai dilaksanakan pada tahun anggaran 1979/80
dengan nama Bantuan Penunjangan Jalan Kabupaten/Kotamadya dan
ditujukan untuk meningkatkan aktivitas pembangunan melalui peningkatan
jumlah jaringan jalan di seluruh Daerah Tingkat II.

Mulai tahun pertama Repelita V (1989/90), sesuai dengan intensitas


kegiatan ekonomi yang sudah berkembang ditandai dengan meningkatnya
lalu-lintas barang dan orang di Daerah Tingkat II, sifat bantuan diubah dari
penunjangan jalan menjadi peningkatan jalan, dengan maksud mengutamakan
kegiatan-kegiatan perbaikan dan peningkatan kondisi jalan, namun dengan
biaya pemeliharaan yang relatif lebih rendah.

Besar bantuan untuk peningkatan jalan ini dari tahun ke tahun


meningkat terus sesuai dengan prioritas yang diberikan. Pada tahun
1979/80, saat bantuan ini mulai dilaksanakan, jumlah yang disediakan

XIV/22
adalah Rp 13 miliar dan setiap tahun meningkat terus sehingga menjadi
Rp 825,6 miliar pada tahun keempat Repelita V. Hal ini berarti meningkat
dengan lebih dari 63 kali lipat.

Sejak tahun 1988/89 sampai tahun 1992/93, bantuan ini rata-rata


setiap tahun meningkat 47%, yaitu dari Rp 180 miliar pada tahun 1988/89,
menjadi sebesar Rp 825,6 miliar pada tahun keempat Repelita V (Tabel XIV-
5).

Bantuan Penunjangan Jalan Daerah Tingkat II selama Repelita III


yang dimulai pada tahun 1979/80, telah menghasilkan hasil fisik berupa
penunjangan jalan secara kumulatif sepanjang 32.939,6 km dan 60.165,2 m
jembatan, dan selama Pelita IV menghasilkan hasil fisik berupa penunjangan
jalan sepanjang 38.881,7 km dan 44.577,6 m jembatan.

Dalam Repelita V Program Penunjangan Jalan diganti menjadi


Program Peningkatan Jalan. Hasilnya pada tahun 1989/90 berupa
peningkatan jalan sepanjang 6.016,6 km dan 9.753,0 m jembatan, pada
tahun 1990/91 berupa peningkatan jalan sepanjang 12.200,1 km dan
23.573,3 m jembatan, pada tahun 1991/92 berupa peningkatan jalan
sepanjang 10.063,9 km dan 22.327,6 m jembatan, dan pada tahun 1992/93
peningkatan jalan sepanjang 10.550,0 km dan 22.492,1 m jembatan telah
diselesaikan (Tabel XIV-6). Sampai dengan tahun keempat Pelita V telah
ditingkatkan pemantapan jalan sepanjang 38.830,6 km dan penanganan
78.146,0 m jembatan. Dampak pembangunan jalan ini terhadap mobilitas
manusia, barang dan jasa adalah sangat besar. Hal ini sudah tentu akan
meningkatkan efisiensi pelaksanaan pembangunan di Dati II.

Penggunaan dana bantuan peningkatan jalan ini, di samping


diarahkan untuk peningkatan pelayanan lalu lintas angkutan barang dan
penumpang pada umumnya, juga diarahkan untuk menangani ruas-ruas
strategis, seperti yang menunjang kegiatan PIR/NES, menunjang
pengembangan pariwisata, dan menunjang program transmigrasi. Untuk
daerah-daerah di luar Jawa terutama Kalimantan, Irian Jaya, Sulawesi, Riau
dan Sumatera Selatan, bantuan peningkatan jalan juga digunakan untuk
meningkatkan jalan-jalan setapak menjadi jalan yang dapat dilalui
kendaraan, sehingga dapat membuka daerah terpencil dan terisolir. Dengan
demikian masyarakat di daerah terpencil mempunyai hubungan ke
pusat-pusat pemasaran untuk menjual hasil produksinya, yang pada

XIV/23
TABEL XIV – 5
PERKEMBANGAN JUMLAH BANTUAN PENINGKATAN JALAN KABUPATEN/KOTAMADYA 1)
1979/80 – 1992/93
(juta rupiah)

1) Angka tahunan.
2) Kegiatan Penunjang.

XIV/24
TABEL XIV – 6
PERKEMBANGAN JUMLAH BANTUAN PENINGKATAN JALAN KABUPATEN/KOTAMADYA, 1)
1979/80 – 1992/93
(juta rupiah)

1) Angka tahunan.
2) Angka diperbaiki.
3) Angka sementara..

XIV/25
gilirannya dapat meningkatkan kegiatan perekonomian setempat, sehingga
dapat menanggulangi kemiskinan di daerah tersebut.

Melalui bantuan ini, usaha pengadaan peralatan pembuatan jalan di


daerah juga didorong dengan semakin besarnya volume pekerjaan
peningkatan jalan dan jembatan yang ditangani. Dalam rangka mengatasi
kurangnya kemampuan industri konstruksi, dan untuk membantu
perkembangan industri konstruksi di berbagai daerah dalam pelaksanaan
proyek-proyek dengan bantuan ini juga diusahakan keterlibatan asosiasi
industri konstruksi agar lebih banyak menyebar ke daerah-daerah dan
melaksanakan sistim paket kontrak dan sub-kontrak untuk memungkinkan
kontraktor kelas lebih rendah, terutama kontraktor setempat, untuk
berpartisipasi dalam pembangunan di Daerah Tingkat II. Untuk penyediaan
dan pengadaan aspal secara tepat waktu telah diusahakan pengembangan
distributor aspal di berbagai daerah. Upaya ini juga dimaksudkan untuk
sekaligus dapat mendorong tumbuhnya kesempatan berusaha di bidang
pengadaan aspal.

Adanya Bantuan Peningkatan Jalan Kabupaten/Kotamadya telah


mempercepat tersedianya prasarana jalan di Daerah Tingkat II dan di
pedesaan yang selanjutnya mempermudah hubungan antara pusat produksi
dan pusat pemasaran. Pada gilirannya hal ini mendorong tumbuhnya
kegiatan perekonomian di pedesaan, baik pertanian maupun industri
kerajinan rakyat, di samping mempermudah pergerakan orang, sehingga
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan, meningkatkan
efisiensi kegiatan ekonomi pedesaan dan mengurangi kemiskinan.
Selanjutnya hal ini juga memberi peluang penambahan lapangan kerja yang
lebih besar di sektor produksi maupun jasa. Diharapkan luas cakupan dan
kualitas akses di Dati II akan meningkatkan kegiatan produksi terutama
industri rakyat dan manufaktur.

Dengan semakin ditingkatkannya dana program Inpres Dati II dan


program Inpres Peningkatan Jalan Kabupaten/Kotamadya, maka jaringan
jalan di Tingkat II telah bertambah dengan sangat berarti. Hal ini terlihat
dari bertambahnya panjang jalan yang di tahun 1970 adalah sekitar 54.284
km, menjadi 65.218 km di tahun 1975; lima tahun kemudian, 1980, naik
lagi menjadi 96.998 km, di tahun 1985 meningkat sehingga mencapai
157.525 km dan pada tahun 1990 menjadi 170.631 km.

XIV/26
D. PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT I

1. Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I

Pada tahun 1974/75 Pemerintah mulai melaksanakan bantuan


Pembangunan Daerah Tingkat I. Langkah kebijaksanaan ini ditujukan untuk
memacu dan meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam pembangunan
sesuai dengan prioritas dan potensi daerah masing-masing, seperti yang
digariskan dalam GBHN. Penggunaan bantuan ini pada tahun tersebut
terutama diarahkan untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan bangunan
pengairan dan jalan propinsi. Mulai tahun 1976/77 bantuan kepada Daerah
Tingkat I dikembangkan lebih lanjut dengan program Reboisasi yang
dilaksanakan pada kawasan hutan negara.

Selanjutnya sejak tahun 1989/90 program bantuan Peningkatan Jalan


Propinsi mulai dilaksanakan sebagai upaya untuk memperlancar
pengangkutan barang dan meningkatkan aksesibilitas lalu-lintas antar
kabupaten.

Program Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I mempunyai tujuan


utama untuk meningkatkan keselarasan antara pembangunan sektoral dan
regional, meningkatkan keserasian pertumbuhan antar daerah dan
meningkatkan partisipasi daerah dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
Dalam kerangka itu jumlah bantuan yang diterimakan secara keseluruhan
terus meningkat. Di samping itu alokasi antar daerah selalu diserasikan
dengan maksud memperkecil kesenjangan antar daerah.

Sesuai dengan kebijaksanaan tersebut, jumlah bantuan minimum yang


diberikan kepada Daerah Tingkat I terus ditingkatkan dari sebesar Rp 2
miliar pada akhir Repelita II menjadi sebesar Rp 22,5 miliar pada tahun
keempat Repelita V, atau lebih dari sebelas kali lipat. Bantuan ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan kepada berbagai daerah yang relatif belum
berkembang, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Irian Jaya, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bengkulu dan Jambi, untuk memacu
perkembangan masing-masing agar makin memperkecil ketertinggalannya.

Khususnya sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat


Repelita V, yaitu tahun 1992/93, alokasi Bantuan Daerah Tingkat I terus

XIV/27
ditingkatkan. Bahkan sejak tahun 1990/91, di samping bantuan dasar juga
disediakan sejumlah dana tertentu, yaitu sebesar Rp 108 miliar, yang
pengalokasiannya menggunakan faktor luas wilayah daratan sebagai proporsi
yang dikalikan jumlah tersebut. Dengan memasukkan unsur luas wilayah
sebagai kriteria alokasi, besaran bantuan pembangunan Dati I bervariasi
antara satu propinsi dengan propinsi yang lain sesuai dengan luas geografis
masing-masing. Dengan demikian propinsi yang mempunyai wilayah cukup
luas seperti Irian Jaya, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Riau dan Sumatera Selatan memperoleh tambahan alokasi bantuan
sesuai dengan luas wilayah masing-masing sehingga dapat lebih
meningkatkan kegiatan pembangunannya sesuai dengan kebutuhannya.

Bantuan Dati I pada tahun 1988/89 per propinsi adalah Rp 12 miliar.


Dengan makin ditingkatkannya bantuan tersebut, khususnya bantuan
dasarnya, maka pada tahun keempat Repelita V, yaitu tahun 1992/93, bantuan
setiap propinsi masing-masing menjadi Rp 22,5 miliar, ditambah dengan
alokasi yang diperolehnya berdasarkan luas areal wilayahnya. Dengan
demikian jumlah bantuan Dati I untuk setiap propinsi pada tahun 1992/93
menjadi jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah bantuan tahun
terakhir Repelita II dan hampir dua kali lipat dibanding dengan tahun
1988/89. Perkembangan bear bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I
untuk seluruh propinsi dapat, dilihat pada Tabel XIV-7.

Pola penggunaan Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I, dalam


Repelita II dan III dibagi atas dua bagian. Bagian yang pertama digunakan
untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan pengairan serta perbaikan irigasi,
dan pemeliharaan jalan propinsi. Kebijaksanaan ini dimaksudkan agar
Pemerintah Daerah makin memprioritaskan kegiatan operasi dan
pemeliharaan bangunan-bangunan infrastruktur hasil pembangunan yang
telah dilaksanakan tahun sebelumnya. Bagian kedua digunakan untuk
melaksanakan berbagai proyek tertentu sesuai dengan prioritas daerah dalam
rangka mengatasi masalah yang mendesak yang dihadapi Pemerintah
Daerah, dan untuk mengembangkan potensi daerah dalam rangka
pelaksanaan pembangunan daerah masing-masing.

Kegiatan operasi dan pemeliharaan pengairan yang diselenggarakan


oleh Pemerintah Daerah di semua propinsi rata-rata setiap tahun dapat
memfungsikan secara teknis 3.556.800 ha sawah. Pemeliharaan sarana
irigasi ini sangat besar sumbangannya dalam pelestarian swasembada

XIV/28
TABEL XIV – 7
PERKEMBANGAN BANTUAN PEMBANGUNAN DATI I, 1)
1973/74 – 1992/93
(juta rupiah)

1) Angka tahunan.
2) SPP-ADO (Sumbangan Pemerintah Pengganti Alokasi Devisa Otomatis)
3) Kegiatan Penunjang.

XIV/29
pangan. Secara fisik, hasil sejak tahun 1974/75 sampai dengan tahun
keempat Repelita V terus meningkat. Jika pada tahun 1974/75 meliputi
3.657.175 ha, maka pada tahun 1992/93 meliputi 5.495.028 ha. Sejak tahun
1989/90-1992/93, berbagai prasarana dan sarana yang dioperasikan dan
dipelihara dengan program ini antara lain meliputi: 8.798 bendung, 8.991
bangunan air, seperti, pintu-bagi, dan pintu-buang. Juga ditangani sepanjang
66.492 km saluran pembawa, baik saluran primer maupun sekunder, serta
sebagian kecil saluran tertier. Di samping itu 24.770 km saluran pembuang,
dan 2.574 buah fasilitas eksploitasi, seperti, kendaraan roda empat, sepeda
motor, dan lain sebagainya.

Sepanjang 4.412 km tanggul banjir dan 51.867 km jalan inspeksi


juga telah memanfaatkan bantuan Kegiatan operasi dan pemeliharaan
sarana dan prasarana tersebut kesemuanya dilaksanakan oleh Dinas PU
Tingkat I.

Jika pada tahun 1974/75 baru dapat mengoperasikan dan memelihara


jaringan pengairan seluas 3.718.299 ha, maka pada tahun 1992/93 telah
meningkat menjadi seluas 4.143.136 ha.

Dampak yang dapat dirasakan oleh Pemerintah Daerah dengan


adanya Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I adalah penciptaan peluang
untuk mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Total PAD
ke 27 propinsi adalah sebesar Rp 714,070 miliar pada tahun 1987/1988,
meningkat menjadi Rp 814,156 miliar pada tahun 1988/1989 dan pada tahun
1991/1992 meningkat lagi menjadi Rp 1.604,037. Suatu kenaikan sebesar
97% dalam kurun waktu 4 tahun. Sebagian dari Pendapatan Asli Daerah
tersebut digunakan untuk memperlancar kegiatan pembangunan.

Dampak lain dari adanya Bantuan Pembangunan Dati I adalah adanya


peningkatan pelayanan serta kemampuan aparat pemerintah dalam
pengelolaan pembangunan dan makin mengecilnya kesenjangan
pembangunan antar daerah. Antara lain memperbesar bantuan kepada
daerah-daerah yang relatif tertinggal, melengkapi rangsangan program
nasional dalam pengentasan kemiskinan, misalnya melalui pelanjutan
program Pengembangan Kawasan Terpadu. Bahkan sekarang inisiatif
dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I, sedang program nasional
adalah sebagai stimulasi/pelengkap saja.

XIV/30
2. Bantuan Peningkatan Jalan Propinsi

Dalam rangka peningkatan kondisi dan kualitas jalan propinsi yang


ada, maka Pemerintah Daerah Tingkat I telah memperoleh Bantuan
Peningkatan Jalan Propinsi sejak awal tahun 1989/90. Target pada tahun
terakhir Repelita V adalah bahwa 90% jalan propinsi mencapai kondisi
mantap.

Sejalan dengan kebijaksanaan desentralisasi, tanggung jawab


peningkatan kualitas dan pemeliharaan jalan propinsi secara penuh telah
diserahkan kepada Daerah Tingkat I. Oleh karena itu alokasi bantuan untuk
peningkatan jalan propinsi setiap tahun secara nasional ditingkatkan cukup
besar.

Pada tahun 1989/90 dialokasikan bantuan sebesar Rp 69,25 miliar;


kemudian ditingkatkan terus sehingga pada tahun 1992/93 menjadi Rp
347,62 miliar, atau lebih dari 5 kali lipat.

Hasil program Peningkatan Jalan Propinsi ini terlihat meningkat


terus yaitu 2.493,9 km jalan dan 7.177,6 m jembatan pada tahun 1989/90,
dan menjadi 12.374,6 km jalan dan 47.955,6 m jembatan pada tahun
1992/93. Dengan demikian sampai akhir tahun keempat secara persentase
telah dicapai 74,6% jalan propinsi dalam kondisi mantap. Sisanya akan
ditangani pada tahun terakhir Repelita V. Rincian alokasi bantuan dan
realisasi hasil fisik di masing-masing propinsi terlihat pada Tabel XIV-8.

Penyediaan dana Bantuan Peningkatan Jalan Propinsi, di samping


telah mempercepat pencapaian sasaran jalan mantap, juga telah berhasil
memperbaiki mutu pelayanan jasa angkutan, mengurangi biaya eksploitasi
kendaraan, dan memperlancar arus lalulintas. Perbaikan tingkat aksesibilitas
perhubungan di setiap propinsi secara umum akan meningkatkan kegiatan
ekonomi dalam menopang kebijaksanaan peningkatan program ekspor dari
sektor non migas. Selain itu juga mendorong kemajuan industri konstruksi
setempat dengan dimanfaatkannya sumber daya manusia, peralatan dan
sumber daya lainnya di daerah. Hal ini sangat membantu persiapan proses
tinggal landas.

3. Program Pengembangan Wilayah (PPW)

Melengkapi bantuan pembangunan untuk Pemerintah Daerah

XIV/31
TABEL XIV – 8
PERKEMBANGAN JUMLAH BANTUAN PENINGKATAN JALAN PROPINSI, 1)
1989/90 – 1992/93

1) Angka tahunan.
2) Kegiatan Penunjang.

XIV/32
Tingkat I, Pemerintah juga melaksanakan program-program pengembangan
wilayah. Program Pengembangan Wilayah ditujukan untuk mengembangkan
wilayah-wilayah tertentu dengan berbagai kegiatan sektoral secara terpadu.
Program ini dimulai sejak Repelita I, dan dari tahun ke tahun cakupan
kegiatan serta wilayah yang ditangani semakin meningkat sesuai dengan
permasalahan yang semakin berkembang.

Dalam Repelita I disusun studi-studi pembangunan wilayah di


Wilayah Sumatera Barat, Sumatera Bagian Selatan, Kalimantan Barat, dan
Jabotabek.

Dalam Repelita II, yaitu periode tahun 1974/75-1978/79, studi-studi


pembangunan wilayah lebih diperluas lagi baik dalam cakupan wilayahnya
maupun sasaran dan hasil-hasil yang diharapkan. Sasaran dan hasil-hasilnya
lebih diperluas sehingga mencakup pengembangan data dasar dan analisis
wilayah, serta rencana pengembangan wilayah jangka panjang dan jangka
menengah yang mencakup pengembangan sektoral dan pengembangan
spasial. Wilayah-wilayah yang distudi selama Repelita II meliputi: Sumatera
Bagian Selatan, Indonesia Bagian Timur dan Sulawesi, Jawa Timur dan Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bandung Raya, Gerbang Kertosusila
dan Kalimantan Timur.

Dalam Repelita III, yaitu periode tahun 1979/80-1983/84, telah


dilaksanakan lima proyek pengembangan wilayah terpadu (di sebelas
propinsi). Yang terbesar di antaranya adalah Provincial Area Development
Project (PDP) I dan PDP II yang mencakup 8 propinsi atau 44 kabupaten di
berbagai daerah. Proyek pengembangan wilayah lainnya adalah Bangun
Desa I di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk 2 kabupaten, di Kabupaten
Pasaman Barat, dan 2 kabupaten di Daerah Istimewa Aceh.

Dalam Repelita IV, yaitu periode 1984/85, studi wilayah yang lebih
menekankan kepada identifikasi program dan keterpaduan proyek untuk
investasi jangka menengah dan jangka pendek, dilaksanakan di wilayah
Maluku dan Sumatera bagian utara.

Selain menyelesaikan lima proyek-proyek pengembangan wilayah


terpadu terdahulu, dalam Repelita IV ini juga dilaksanakan enam proyek
baru, yaitu: proyek-proyek pengembangan lahan perbukitan kritis di wilayah
Jawa Tengah, wilayah Jawa Timur, wilayah Mahakam Tengah, wilayah

XIV/33
Sulawesi Selatan, wilayah Sulawesi Tenggara, dan wilayah NTT. Di
samping itu ada dua proyek yang ditujukan khusus untuk peningkatan
kemampuan Bappeda Dati I dalam mengevaluasi dan merencanakan
pemanfaatan sumber daya lahan, yaitu proyek Land Resources Evaluation
and Planning (LREP) di delapan propinsi di Sumatera serta peningkatan
kelembagaan perkreditan di daerah (Financial Institution Development),
kedua-duanya tahun 1988/1989.

Dalam Repelita V, studi wilayah dilanjutkan dan dilaksanakan di dua


wilayah yaitu di Sumatera bagian Selatan yang dimulai pada tahun 1990 dan
diselesaikan pada tahun 1992, serta di wilayah Indonesia bagian Timur yang
baru dimulai tahun 1993 ini dan diharapkan selesai pada tahun 1995.
Berbeda dengan studi-studi pengembangan wilayah pada masa sebelumnya,
studi pengembangan wilayah dalam Repelita V ini lebih ditekankan pada
penyusunan paket-paket pengembangan wilayah terpadu dengan
mengidentifikasi sektor-sektor strategis yang perlu dikembangkan di
kawasan-kawasan tertentu dengan profil investasi yang lebih jelas. Dalam
Repelita V ini juga diteruskan pelaksanaan program-program pengembangan
wilayah di wilayah Teluk Cenderawasih, Irian Jaya, NTB, NTT, Sulawesi,
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Timor Timur.

Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya kelautan, dan


meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam perencanaan pe-
ngembangan wilayah, pada waktu ini sedang disiapkan kegiatan program
Marine Resource Evaluation and Planning (MREP) yang dimulai di 10
propinsi pada tahun 1992/93. Sedangkan untuk pemanfaatan sumber daya
lahan dilaksanakan proyek LREP II tahun 1992/93 yang mencakup 18
propinsi, untuk melengkapi proyek LREP I yang sudah dilaksanakan
terdahulu di 8 propinsi di Sumatera.

Dengan demikian, keseluruhan program pengembangan wilayah yang


telah dilaksanakan mencakup kegiatan studi-studi propinsi, upaya
identifikasi potensi untuk keperluan investasi, sampai dengan kegiatan
penyempurnaan penyusunan data perencanaan kawasan daratan dan kawasan
lautan. Diharapkan dengan meningkatnya pengenalan daerah secara lebih
sistematis merupakan persiapan yang lebih memadai dalam menyongsong
Repelita selanjutnya.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa serangkaian program bantuan

XIV/34
pembangunan daerah terutama Bantuan Dati I telah banyak berperan dalam
pembangunan nasional yang berwawasan Nusantara. Pembangunan jalan,
pelabuhan dan telekomunikasi telah menciptakan suatu keadaan yang
memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa. Perkembangan-perkembangan
tersebut menjamin kesatuan ekonomi yang digambarkan dengan makin
kecilnya perbedaan harga antar daerah.

E. PENGEMBANGAN KAWASAN TERPADU

Dalam rangka lebih memeratakan pembangunan dan hasil-hasilnya ke


seluruh pelosok wilayah Indonesia, khususnya mengingat adanya wilayah-
wilayah yang terpencil sehingga tertinggal dibanding masyarakat di tempat-
tempat lain, maka sejak tahun 1989/90 telah dilaksanakan program
Pengembangan Kawasan Terpadu.

Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT) adalah program pembangun-


an yang dirancang secara khusus untuk menanggulangi kemiskinan dengan
sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui serangkaian
kegiatan di kawasan-kawasan yang relatif masih terbelakang. Kawasan-
kawasan tersebut pada umumnya masih belum tersentuh oleh program-
program pembangunan yang ada, karena menghadapi permasalahan-
permasalahan khusus, seperti keterpencilan lokasi, keterbatasan sumber daya
alam yang dimiliki, sifat lahan kritis/minus, lingkungan yang kumuh,
kekurangan pelayanan prasarana dasar dan hal-hal lain, yang semuanya
merupakan kendala utama terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat .

Sasaran program PKT adalah: (1) merangsang kegiatan sosial


ekonomi masyarakat melalui peningkatan mutu sumber daya manusia,
pengembangan wilayah dan perbaikan mutu lingkungan hidup; (2) mem -
bangkitkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat melalui pelibatan
masyarakat secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan,
pemberian hak dan tanggungjawab kepada masyarakat dalam pembangunan,
serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan dan
memelihara hasil pembangunan yang dilaksanakan; (3) mendukung program
pembangunan daerah melalui peningkatan perencanaan dari bawah,
peningkatan koordinasi pembangunan antar instansi di daerah, dan

XIV/35
peningkatan kemampuan aparat pemerintah daerah dalam perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara terpadu.

Dalam pencapaian sasaran yang pertama, program PKT mengguna-


kan pendekatan pengembangan wilayah secara terpadu yaitu melalui
pelaksanaan serangkaian kegiatan yang disesuaikan dengan permasalahan
utama yang dihadapi oleh masyarakat di masing-masing kawasan. Kegiatan
tersebut antara lain meliputi usaha pemenuhan kebutuhan dasar, bantuan
untuk meningkatkan produksi dan kemampuan berusaha masyarakat,
penyediaan prasarana fisik berskala kecil untuk menembus keterisolasian
wilayah, bantuan untuk peningkatan produktivitas dan pemasaran hasil
produksi masyarakat, pemeliharaan sumber daya air, tanah dan hutan
melalui kegiatan konservasi lahan kritis, reboisasi dan penghijauan serta
pencegahan abrasi dan intrusi air laut.

Untuk mencapai sasaran yang kedua dilakukan perencanaan program


yang dilakukan dari bawah dan pelaksanaan kegiatannya dilakukan secara
swakelola. Perencanaan dari bawah yang diterapkan dalam program PKT
dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut menentukan
kegiatan yang sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan pelaksanaan dengan
cara swakelola dapat melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan dan
sekaligus menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat. Selain
itu cara ini dapat pula memberikan peluang terhadap penggunaan bahan
lokal yang ada. Dengan demikian, program PKT memberikan banyak hasil,
yaitu hasil program secara fisik dan juga meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk merencanakan dan melaksanakan program sesuai dengan
kebutuhannya. Selain itu, program ini juga menambah kesempatan kerja
bagi masyarakat setempat. Dan yang sangat panting, program ini memberi
peluang inisiatif merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang cocok
dengan kebutuhan di kawasan itu oleh masyarakat setempat.

Tanggung jawab perencanaan dan pelaksanaan program PKT dise-


rahkan kepada Pemerintah Daerah Tk. II, dibantu oleh Pemerintah Daerah
Tk. I. Melalui mekanisme tersebut program PKT dapat secara otomatis
meningkatkan kemampuan aparatur Pemerintah Daerah Tk. I dan II dalam
koordinasi, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan di daerah.

XIV/36
Program PKT dimulai pada tahun anggaran 1989/90, dengan alokasi
dana sebesar Rp 2,35 miliar untuk membiayai 12 lokasi/kawasan proyek
percontohan di 12 propinsi, yaitu di DI Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi,
Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tenggara, Maluku, Irian Jaya dan Timor Timur. Pelaksanaan program tersebut
mendapat tanggapan positif dari Pemerintah Daerah dan masyarakat
setempat.

Pada tahun 1990/91 alokasi dana program PKT ditingkatkan menjadi


Rp 30,7 miliar untuk menangani 112 kawasan di 97 kabupaten di 26
propinsi di luar DKI Jakarta. Pada tahun yang sama, program PKT juga
menangani pengembangan Badan Kredit Desa (BKD) dengan cara
mendukung pelatihan personil kunci untuk mengaktifkan kembali 1.346
BKD di Jawa dan Madura. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperbesar
jumlah lembaga perkreditan di desa yang tumbuh dari bawah, yang
diharapkan nantinya dapat memberikan pelayanan kredit yang lebih mudah
kepada masyarakat desa bagi pengembangan usahanya.

Pada tahun 1991/92 alokasi dana bagi program PKT ditingkatkan


lagi menjadi Rp 73,4 miliar, untuk menangani 241 kawasan di 147
kabupaten di 27 propinsi. Pada tahun tersebut upaya penanggulangan
kemiskinan tidak saja dilakukan di pedesaan, tetapi juga di kawasan
perkotaan, seperti di DKI Jakarta. Program PKT tahun tersebut juga
memberi dukungan terhadap kegiatan pemukiman kembali di Timor Timur
di 8 kecamatan di 5 kabupaten.

Pada tahun 1992/93, alokasi dana program PKT meningkat menjadi


Rp 154,2 miliar untuk menangani 480 kawasan di 248 kabupaten di 27
propinsi. Perincian perkembangan bantuan Program PKT sejak tahun
1989/90 sampai tahun 1992/93 diberikan dalam Tabel XIV-9.

Sejalan dengan maksud memperluas cakupan program PKT, maka


pencapaian tujuan dan sasaran program juga terus ditingkatkan. Mulai tahun
anggaran 1992/93 program PKT diupayakan untuk dikaitkan dengan
program lain yang lebih luas, yaitu antara lain dengan program
pengembangan perekonomian rakyat di Kalimantan dan dengan program SP3
(Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan). Dalam rangka penyiapan

XIV/37
TABEL XIV – 9
PERKEMBANGAN JUMLAH BANTUAN 1)
PROGRAM PENGEMBANGAN KAWASAN TERPADU
1979/80 – 1992/93
(juta rupiah)

Keterangan:
1) Angka tahunan.
2) Program PKT baru dimulai pada awal Repelita V;
angka di dalam kurung menunjukkan jumlah kawasan/kecamatan.
3) Termasuk bantuan luar negeri untuk propinsi DI Aceh, Jawa Barat dan Maluku.

XIV/38
masyarakat secara lebih matang, diupayakan juga pelibatan unsur lembaga
swadaya masyarakat (LSM/LPSM). Semua upaya yang telah ditempuh ter-
sebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari program penanggulangan
kemiskinan secara keseluruhan, dalam rangka mempercepat proses
peningkatan kesejahteraan sekitar 27 juta penduduk yang masih hidup di
bawah garis kemiskinan.

Hasil pelaksanaan program PKT selama ini menunjukkan bahwa


secara keseluruhan telah ditangani sekitar 850 kawasan yang mencakup
kurang lebih 4.100 desa. Masyarakat yang memperoleh manfaat secara
langsung dari bantuan program diperkirakan kurang lebih mencapai 210.000
KK, sedangkan secara tidak langsung memberikan pula manfaat kepada
140.000 KK penduduk di sekitar desa-desa yang memperoleh bantuan
program yang tersebar di semua propinsi.

Dampak langsung dari program PKT yang dapat dirasakan oleh


masyarakat antara lain berupa penyusutan jumlah wilayah yang belum
terjangkau oleh program pembangunan disebabkan oleh semakin berkurang -
nya tingkat keterisolasian desa. Dengan diterapkannya perencanaan dari
bawah maka aspirasi kegiatan pembangunan yang selama ini belum
sempurna pelaksanaannya atau belum masuk prioritas daerah, dapat
dilaksanakan melalui PKT. Kebutuhan prasarana penunjang jalan maupun
penunjang komunikasi laut, khususnya bagi daerah-daerah terpencil dan
jarang penduduk, juga telah dapat ditanggulangi dan diwujudkan melalui
program PKT. Lebih lanjut, dengan adanya program PKT, masyarakat telah
dapat meningkatkan pemasaran hasil-hasil pertanian sejalan dengan semakin
membaiknya sarana perhubungan ke pusat-pusat pemasaran tersebut.
Dampak penting lainnya yang dapat terlihat sebagai hasil program PKT
adalah adanya peningkatan kemampuan dan ketrampilan aparat pemerintah
daerah dalam merencanakan dan mengelola kebutuhan pembangunannya
serta memfungsikan proses perencanaan dari bawah secara lebih efektif. Hal
yang terakhir ini sangat penting dalam memantapkan proses pentahapan
desentralisasi/otonomi daerah secara nyata dan bertanggung jawab.

F. PEMBANGUNAN PERKOTAAN

Pertumbuhan penduduk perkotaan selama tahun 1980-1990 mencapai

XIV/39
rata-rata 5,4% per tahun. Kota-kota besar dengan penduduk di atas 200.000
jiwa tumbuh dengan laju pertumbuhan antara 3-6% per tahun. Sedangkan
kota-kota lainnya yang berpenduduk di bawah 200.000 jiwa tumbuh dengan
laju yang lebih pesat. Pertumbuhan penduduk di kota-kota yang berstatus
Kotamadya lebih pesat daripada di kota-kota lainnya.

Urbanisasi yang pesat ini tidak mungkin dibendung. Hal tersebut


sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan diversifikasi ekonomi
nasional. Di samping merupakan pusat pertumbuhan ekonomi, kota-kota di
Indonesia juga berfungsi sebagai pusat pendidikan tinggi serta pelayanan
sosial lainnya, serta merupakan penggerak modernisasi dan inovasi. Semua
fungsi itu menuntut penanganan kota yang terpadu sebagai bagian dari
pembangunan daerah dan nasional. Untuk itu pemerintah melaksanakan
berbagai program pembangunan perkotaan khususnya menyangkut pem -
bangunan prasarana, peningkatan kemampuan keuangan dan kelembagaan
daerah, penanggulangan kemiskinan, dan sebagainya.

Dalam Repelita III, pada tahun 1980/81 telah dilakukan studi


komprehensif mengenai Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (National
Urban Development Strategy/NUDS). Atas dasar hasil studi ini, diusahakan
identifikasi tingkatan (hirarki) dan kategori kota dalam sistem perkotaan
yang menjadi landasan kebijaksanaan pengembangan prasarana perkotaan
nasional.

Dalam Repelita IV, dalam tahun 1981-1985, dilakukan upaya


penyusunan konsep pembangunan perkotaan terpadu yang merupakan tindak
lanjut dari studi penyusunan Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan.
Pada tahun 1986 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan perkotaan yang
terdiri dari 6 butir: (i) Peningkatan wewenang dan tanggung jawab
pemerintah daerah dalam pembangunan dan pemeliharaan prasarana
perkotaan; (ii) Penyempurnaan perencanaan dan penyusunan program
pembangunan perkotaan; (iii) Peningkatan kemampuan keuangan pemerintah
daerah; (iv) Penyempurnaan sistem pendanaan dengan memantapkan tata
cara pinjaman pemerintah daerah; (v) Peningkatan kemampuan tenaga dan
kelembagaan pemerintah daerah; (vi) Peningkatan koordinasi antara berbagai
instansi dan tingkat pemerintahan yang terkait.

XIV/40
Sesuai dengan arahan kebijaksanaan yang telah digariskan tersebut
maka pada tahun anggaran 1986/87 mulai dilaksanakan penyiapan Program
Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT). Program ini bertujuan untuk
menterpadukan pembangunan prasarana perkotaan dan meningkatkan
kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan kota.

Prinsip-prinsip yang mendasari pelaksanaan P3KT adalah de-


sentralisasi dan atau dekonsentrasi fungsi perencanaan dan pengembangan
program, keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan program-program fisik,
serta keterpaduan sumber-sumber pembiayaan antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan sumber-sumber dana luar negeri.

P3KT pada saat ini meliputi program pembangunan di tujuh sektor,


yaitu penyediaan air bersih, pengendalian banjir, pengelolaan persampahan,
pengelolaan sanitasi lingkungan, perbaikan kampung, dan perbaikan
prasarana lingkungan pasar.

Penyiapan pelaksanaan P3KT dimulai pada tahun ketiga Repelita IV.


Pada saat itu Program Jangka Menengah (PJM) kota Metropolitan Bandung
telah diselesaikan. Selanjutnya pada tahun 1987/88, cakupan penyiapan
P3KT terus diperluas ke kota-kota besar, seperti Jabotabek dan kota-kota
kecil lainnya. Pada tahun 1988/89 dilaksanakan P3KT di Medan.

Pada tahun 1989/90 sebanyak 90 kota besar dan kecil, sebagian besar
meliputi kota-kota di Pulau Jawa dan Sumatera, telah melaksanakan P3KT.
Pada tahun 1990/91 jumlah kota yang telah menyusun PJM dalam rangka
pelaksanaan P3KT meningkat menjadi 121 kota, termasuk kota-kota yang
memasuki tahapan pelaksanaan, seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, Bandar
Lampung, dan Palembang. Selain itu, juga dilaksanakan P3KT di kota-kota
sedang dan kecil di Jawa Timur, Bali, Sulawesi, dan Irian Jaya. Pada tahun
1991/92, dan tahun 1992/93, tahun keempat Repelita V, jumlah kota besar
dan kecil yang termasuk dalam program P3KT seluruhnya mencapai 123
buah. Pada tahun keempat Repelita V, hampir seluruh kota-kota yang telah
memiliki PJM tersebut sudah memasuki tahap pelaksanaan (Tabel XIV-10).

Pada tahun terakhir Repelita V direncanakan dapat segera


dilaksanakan pembangunan prasarana perkotaan untuk kota-kota di Jawa

XIV/41
TABEL XIV – 10
JUMLAH KOTA KABUPATEN/KODYA DALAM PROGRAM 1)
PEMBANGUNAN PRASARANA KOTA TERPADU (P3KT)
1989/90 – 1992/93

Keterangan:
1) Angka tahunan.
2) P3KT dimulai dengan tahap persiapan konsep dan perencanaan program pada tahun 1986/87
pelaksanaannya sebagai Program Nasional baru dimulai pada awal Repelita V.

XIV/42
Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan dan kota-kota di wilayah Indonesia
bagian Timur, seperti di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Maluku dan Timor Timur.

Peningkatan kemampuan koordinasi lembaga dalam pengelolaan


perkotaan juga dikembangkan. Dalam hal ini, mulai tahun anggaran
1986/87, telah dibentuk Tim Koordinasi Pembangunan Perkotaan (TKPP)
yang bertugas untuk menetapkan kebijaksanaan pembangunan perkotaan.
Pada tahun 1989 dibentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Program
Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (TKP4KT). yang bertugas mengelola
pelaksanaan P3KT dan memberikan dukungan teknis pada TKPP. Sejak
tahun 1989/90 fungsi koordinasi pembangunan perkotaan melalui TKPP
lebih ditingkatkan lagi. Peningkatan kemampuan kelembagaan daerah
merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari peningkatan kelembagaan.
tingkat pusat. Untuk itu telah dikembangkan bentuk struktur organisasi di
daerah guna mendukung pelaksanaan P3KT. Program ini juga meningkatkan
peranan institusi daerah dalam upaya untuk mengimbangi percepatan yang
timbul pada pembangunan perkotaan. Usaha-usaha yang telah dilakukan
selama ini adalah berupa bantuan pelatihan yang diikuti oleh wakil-wakil
instansi yang terkait dalam pembangunan perkotaan di daerah.

Dalam kurun waktu PJPT I pelaksanaan pembangunan perkotaan


juga telah memberikan sumbangan besar dalam penanggulangan kemiskinan
di daerah perkotaan. Jumlah penduduk yang hidup dibawah garis
kemiskinan di daerah perkotaan telah menurun dari sekitar 39% dari jumlah
penduduk perkotaan di tahun 1976, menjadi sekitar 17% pada tahun 1990.

Upaya penanggulangan kemiskinan di daerah perkotaan banyak


diarahkan pada . program peremajaan lingkungan permukiman kumuh atau
KIP (Kampong Improvement Program). Pada akhir Repelita I, tahun
1973/74, penanganan lingkungan permukiman kumuh telah dimulai di 1
kota, DKI Jakarta. Pada akhir Repelita II, 1978/79, telah ditangani di 2 kota
yaitu DKI Jakarta dan Surabaya. Sedangkan pada akhir Repelita III,
1983/84, penanganan permukiman kumuh telah meningkat secara kumulatif
menjadi di 228 kota, meliputi area seluas 25.490 ha. Pada akhir Repelita IV,
yaitu tahun 1988/89, jumlah kota yang ditangani dalam program ini secara
kumulatif menjadi 451 kota, meliputi area seluas 49.757,6 ha.

XIV/43
Khusus dalam tahun 1988/89 penanganan kawasan permukiman
kumuh mencakup kawasan seluas 5.431,7 ha. Sejak tahun pertama sampai
tahun keempat Repelita V, penanganan permukiman kumuh masing-masing
dapat disebutkan sebagai berikut: tahun 1989/90 sebanyak 242 kota, tahun
1990/91 sebanyak 291 kota, tahun 1991/92 sebanyak 299 kota, dan tahun
1992/93 sebanyak 386 kota.

Sejak tahun 1984/85 hingga tahun 1988/89 seluas 24.100 hektar


permukiman kumuh di perkotaan telah diperbaiki melalui Program
Perbaikan Kampung (KIP) dan telah bermanfaat bagi sekitar 6 juta rumah
tangga.

Usaha lain untuk perbaikan kondisi perumahan bagi penduduk


berpendapatan rendah adalah penyediaan pinjaman Bank Tabungan Negara
(BTN) bagi rumah tangga dengan penghasilan kurang dari Rp 450.000 per
bulan.

Dengan dilaksanakannya program pembangunan perkotaan, selain


telah memberikan dampak bagi peningkatan penyediaan prasarana perkotaan
juga telah memberikan pengaruh positif pada pelaksanaan desentralisasi dan
koordinasi pembangunan di daerah. Hal ini dapat diindikasikan dengan
adanya peningkatan kontribusi pendanaan daerah baik melalui Pendapatan
Asli Daerah maupun program-program Inpres untuk pelaksanaan
pembangunan perkotaan secara keseluruhan. Pemerintah Dati II dituntut
secara aktif melakukan kapitalisasi dan penggalian sumber dayanya dalam
rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Dalam upaya peningkatkan kemampuan keuangan pemerintah daerah


tersebut, pada Repelita IV pemerintah juga memperkenalkan Manual
Pendapatan Daerah (MAPATDA) yang merupakan sistem penilaian dan
pemungutan pajak perkotaan. Dengan dilaksanakannya sistem ini,
pendapatan asli daerah di luar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terlihat
meningkat secara berarti, setiap tahunnya tumbuh dengan rata-rata 6,4%
dalam tahun-tahun 1984/85-1988/89. Sebagai contoh, 9 Dati II di Propinsi
Sumatera Utara mengalami peningkatan 19,5% hingga 95,9%; 4 Dati II di
Sumatera Barat meningkat 13,8% hingga 42,6% dan 5 Dati II di Jawa Barat
sebesar 24,5% hingga 47,6%.

XIV/44
Selain itu peran serta masyarakat dan swasta dalam penyediaan
prasarana perkotaan makin menjadi kenyataan. Hal ini terlihat dari
peningkatan partisipasi masyarakat dalam program perbaikan kampung dan
peningkatan peranan aktif serta kerja sama pihak swasta dan pemerintah Dati
II dalam bidang air minum dan persampahan. Koordinasi pembangunan di
daerah juga terlihat makin meningkat, yaitu dengan makin berfungsinya
Bappeda TK I maupun Bappeda TK II sebagai lembaga perencana dan
koordinasi serta terlibatnya dinas-dinas sektoral TK I dan II pada tahap
persiapan serta pelaksanaan pembangunan prasarana perkotaan.

G. PENATAAN RUANG

Sesuai dengan perkembangan kebijaksanaan pembangunan nasional,


program penataan ruang dari Repelita ke Repelita juga mengalami
penyempurnaan sehingga makin mampu menunjang dan mendorong
tercapainya sasaran-sasaran pembangunan nasional dan daerah. Tujuan
penataan ruang dalam skala yang besar adalah koordinasi dan integrasi
pembangunan sektoral dan daerah dalam kerangka mekanisme pemanfaatan
sumber daya yang optimal, terwujudnya keseimbangan pertumbuhan dalam
suatu wilayah dan antar wilayah (daerah, kota, desa), serta kelestarian
lingkungan hidup. Sedangkan dalam skala lebih kecil penataan ruang
bertujuan untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan berbagai
pemanfaatan dan pengembangan unsur fisik serta fungsi prasarana dan
sarana ke dalam satuan tata lingkungan kota dan desa yang optimal.
Penataan ruang di tingkat ini berusaha mengakomodasikan berbagai rencana
pembangunan fisik yang dilaksanakan masyarakat dan pemerintah daerah,
dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.

Dalam Repelita I, program penataan ruang secara nasional diarahkan


untuk membentuk wawasan masyarakat akan pentingnya arti pembangunan
yang dilandaskan pada rencana tata ruang pada berbagai tingkatan wilayah.
Pada periode ini rencana tata ruang yang berhasil disusun antara lain adalah
Rencana Garis Besar untuk 58 kota dan Rencana Induk untuk 9 kota.

Dalam Repelita II, program penataan ruang diarahkan untuk


menunjang rehabilitasi prasarana perhubungan (khususnya jalan) dan

XIV/45
pengairan di berbagai daerah dan kota secara cepat. Hasil-hasil program
penataan ruang dalam Repelita ini berupa rencana-rencana kerangka umum
baik untuk kota maupun daerah (kabupaten/propinsi). Selanjutnya untuk
mendukung tercapainya usaha penyusunan tersebut dan pelaksanaannya di
daerah, dibentuk Unit-unit Perencanaan Daerah di 10 Propinsi. Di samping
itu dilakukan juga penyusunan rancangan Undang-undang Bina Kota dan
Standar Tata Ruang Kota.

Dalam Repelita III, pendekatan pengembangan wilayah semakin


ditekankan. Program perencanaan tata ruang semakin ditingkatkan dengan
melakukan kegiatan penyusunan rencana tata ruang permukiman
transmigrasi, penyusunan SPWTN (Struktur Pengembangan Wilayah
Tingkat Nasional), SWP (Satuan Wilayah Pengembangan), WPP (Wilayah
Pengembangan Partial), SKP (Satuan Kawasan Permukiman), serta
perencanaan dan penentuan orde-orde kota disemua propinsi.

Mengingat pertumbuhan kota-kota yang disebabkan oleh urbanisasi


dan pertumbuhan daerah-daerah kabupaten yang pesat sebagai hasil
pembangunan nasional dalam Repelita I dan II, maka dalam Repelita III
program transmigrasi dan pengendalian pertumbuhan kota dan daerah dianti -
sipasi tidak hanya dengan pengaturan rencana-rencana tata ruang dalam
lingkup kota dan kabupaten, tetapi juga rencana tata ruang dalam lingkup
propinsi, antar propinsi dan secara nasional. Selain itu juga telah diperluas
pembinaan kemampuan tenaga dan lembaga yang terkait.

Dalam Repelita IV, hal-hal utama yang mempengaruhi kebijaksanaan


dan prioritas sasaran program penataan ruang adalah: perlunya keterpaduan
untuk mengurangi dampak negatif pembangunan yang mengutamakan
pelaksanaan sektor tertentu; kebutuhan prasarana kota yang terus meningkat
serta pelestarian lingkungan hidup untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam periode ini, seperti telah dikemukakan sebelumnya, dilaksanakan
studi Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan, yang kemudian
diimplementasikan dalam pelaksanaan Program Pengembangan Prasarana
Kota Terpadu (P3KT).

Dengan masuknya secara resmi program penataan ruang ke dalam


dokumen Repelita IV, maka kegiatan dan hasil program penataan ruang

XIV/46
langsung diperhitungkan sebagai produk pembangunan nasional yang
merupakan wadah untuk memadukan berbagai produk perencanaan
pembangunan sektor dan daerah. Pada akhir Repelita IV telah diselesaikan
rencana tata ruang untuk 239 kota, rencana umum tata ruang daerah untuk
36 kabupaten dan studi pengembangan wilayah untuk 5 propinsi.

Program penataan ruang sejak tahun 1988/89 diarahkan antara lain


untuk mengidentifikasi kawasan-kawasan yang perlu diprioritaskan dalam
rangka pengembangan ekonomi daerah. Disamping itu program ini juga
diarahkan untuk memberi dimensi spasial dari program pembangunan
daerah. Tujuannya adalah agar pada akhir Repelita V, semua daerah telah
mempunyai rencana tata ruang yang dapat digunakan sebagai landasan
penyusunan program pembangunan yang akan dilaksanakan.

Sejak tahun 1988/89, program penataan ruang telah merupakan


amanat GBHN 1988. Dalam lingkup kebijaksanaan itu program penataan
ruang lebih difokuskan pada peninjauan kembali rencana-rencana tata ruang
yang telah disusun sebelumnya.

Hasil program penataan ruang sejak tahun 1988/89 hingga tahun


keempat Repelita V terus ditingkatkan dan meliputi perencanaan tata ruang
kota, Kabupaten, dan tata ruang Propinsi serta kawasan-kawasan yang
dianggap prioritas. Pada tahun 1988/89 rencana kota yang telah tersusun
baru meliputi 1 kota, yaitu DKI Jakarta.

Sejak itu dalam rangka pelaksanaan program ini telah berhasil disusun
rencana pengembangan kota besar untuk 8 kota, Rencana Umum Tata Ruang
Kota (RTURK) untuk 7 kota, Rencana Umum Tata Ruang Daerah Kabupaten
(RUTRD) sebanyak 21 kabupaten, Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi
(RSTRP) sebanyak 2 Propinsi dan identifikasi kawasan strategis di 26
propinsi. Pada tahun 1990/91 telah berhasil disusun: Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Kota untuk 13 kawasan, RUTRD untuk 48 kabupaten,
RSTRP untuk sebanyak 6 propinsi dan studi pengembangan wilayah untuk 10
propinsi. Selanjutnya pada tahun 1991/92, telah dihasilkan antara lain RDTR
Kota untuk 39 kawasan, Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) untuk 9
kota, RUTRD Kabupaten untuk 112 kabupaten, RSTR Propinsi sebanyak 18
propinsi sehingga telah mencakup seluruh 27 propinsi,

XIV/47
dan pengembangan peta digital di beberapa wilayah perkotaan. Dalam tahun
ke empat Repelita V, yaitu tahun 1992/93, telah diselesaikan antara lain
rencana tata ruang kawasan strategis di 4 kawasan, pedoman teknik penataan
ruang kawasan dan penyusunan metoda pemantauan perubahan struktur
ruang kota. Pada akhir Repelita V nanti, diharapkan penyusunan Rencana
Umum Tata Ruang untuk -seluruh 296 Dati II (kodya dan kabupaten) dapat
diselesaikan.

Dalam 5 tahun terakhir ini, sampai dengan tahun keempat Repelita V


juga ditingkatkan kegiatan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan aparat
Pemerintah Daerah. Untuk mengamankan pemanfaatan ruang dalam
mewadahi pembangunan dengan pertumbuhan yang tinggi sekaligus
menjamin berkelanjutan, Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional
dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 57 Tahun 1989. Tim ini terdiri
dari instansi/departemen teknis yang terlibat dalam perencanaan maupun
operasionalisasi pembangunan dan penataan ruang, dipimpin oleh Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional selaku Ketua, Menteri
Sekretaris Negara dan Menteri Negara KLH selaku Wakil Ketua I dan II.

Proses penyusunan rencana-rencana tata ruang itu secara


berangsur-angsur dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dengan bantuan
teknis dari beberapa instansi pusat. Pada tahun 1990 telah dikeluarkan
Keputusan Presiden yang mengatur pengelolaan kawasan berfungsi lindung
(Keppres No. 32/1990) dan pengaturan penggunaan tanah bagi kawasan
industri (Keppres No. 33/1990).

Program penataan ruang sejak Repelita I telah turut meningkatkan


keterpaduan pembangunan antar sektor di Pusat dan di daerah dan telah
berhasil mengurangi pemanfaatan ruang yang tumpang tindih, meningkatkan
keterpaduan perencanaan dan sinkronisasi pelaksanaannya, optimasi
penggunaan sumber-sumber daya dan pelestarian lingkungan hidup dalam
berbagai tingkat/lingkup pembangunan daerah dan kota.

Kekompleksan masalah penataan ruang yang dihadapi dan didorong


oleh perlunya pemantapan penataan ruang secara hukum sebagai landasan
pengembangan pembangunan, maka pemerintah memberlakukan
Undang-undang tentang Penataan Ruang (UU No.24 Tahun 1992). Ber -

XIV/48
dasarkan Undang-undang Penataan Ruang tersebut, kegiatan-kegiatan
pembangunan di daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah dan
masyarakat harus dilandaskan pada rencana tata ruang daerah.

Untuk dapat melaksanakan Undang-undang Penataan Ruang tersebut


maka upaya pemasyarakatan yang telah dimulai sejak November 1992 perlu
terus dilanjutkan. Pemasyarakatan Undang-undang Penataan Ruang tersebut
sangat penting, baik bagi aparat pengelola pembangunan di daerah maupun
masyarakat luas.

Program-program penataan ruang selama PJPT I terutama dalam 5


tahun terakhir telah berhasil meletakkan landasan spasial untuk
pembangunan yang serasi secara sektoral, antar wilayah dan antar waktu.
Dengan demikian, dampak program penataan ruang telah banyak dirasakan
dengan semakin meningkatnya kualitas koordinasi pembangunan di daerah.
Lebih terkoordinasinya pembangunan di daerah selanjutnya akan
menghindarkan adanya konflik-konflik penggunaan ruang antar sektor, lebih
meningkatnya efisiensi penggunaan ruang dan sumber daya alam serta
semakin tingginya efektivitas penggunaan sang untuk mendapatkan nilai
tambah yang sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat.

Pada akhir Repelita V, semua propinsi, kotamadya dan kabupaten


serta kota-kota penting diharapkan sudah memiliki rencana tata ruang daerah
yang berkekuatan hukum. Dengan adanya rencana tata ruang daerah yang
berkekuatan hukum tersebut, maka diharapkan seluruh masyarakat akan
mematuhi rencana tata ruang sehingga pelaksanaan pembangunan daerah
akan dapat dilaksanakan secara lebih terkoordinasi secara spasial, dan upaya
pelestarian sumber daya alam akan dapat terlaksana.

H. PENATAAN PERTANAHAN

Arti strategis dari tanah dalam lingkup pembangunan pertanahan ini


berkaitan dengan peranannya dalam perwujudan aspek keadilan dan
peningkatan kesejahteraan rakyat dalam arti hak memiliki, mengusahakan
serta menikmati hasil tanah tersebut. Kenyataannya tanah yang tersedia
secara fisik terbatas, dalam pengertian luas maupun sebarannya.

XIV/49
Dalam GBHN digariskan bahwa kebijaksanaan dasar pembangunan
bidang pertanahan diarahkan pada pemanfaatan tanah yang sungguh-
sungguh membantu usaha peningkatan kesejahteraan rakyat dalam rangka
mewujudkan keadilan sosial. Kegiatan-kegiatan di bidang pertanahan dalam
rangka mencapai tujuan tersebut meliputi penguasaan tanah, penataan
penggunaan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, serta pengukuran dan
pendaftaran tanah.

Hasil-hasil yang telah dicapai sejak Repelita I hingga tahun keempat


Repelita V adalah antara lain penerbitan sebanyak 4.187.272 sertifikat untuk
keperluan PIR (Perkebunan Inti Rakyat), permukiman transmigrasi,
PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria) dan tanah wakaf. Selain itu
telah juga dilaksanakan pemetaan fotogrametri seluas 1.096.000 ha,
konsolidasi tanah perkotaan seluas 4.400 ha, pemetaan penggunaan tanah di
pedesaan dan perkotaan seluas 417.984 ha, serta penertiban administrasi
land reform untuk 114.976 Kepala Keluarga. Secara rinci data tersebut
dijabarkan dalam Tabel XIV-11.

Kegiatan di bidang pertanahan selama Repelita I terutama difokuskan


pada penertiban hak-hak atas tanah, dan pemetaan penggunaan serta
kemampuan tanah di wilayah pedesaan dan perkotaan di seluruh Indonesia.
Dalam Repelita II, kegiatan bidang pertanahan diutamakan pada upaya
penatagunaan dan pengurusan hak-hak atas tanah, serta pengukuran dan
pendaftaran tanah. Pada periode ini juga di beberapa daerah telah di -
laksanakan pengukuran tanah melalui pemotretan udara (fotogrametris)
sebagai kelanjutan kegiatan pengukuran secara terestris yang dilakukan
dalam Repelita I.

Peningkatan kegiatan program transmigrasi secara besar-besaran pada


akhir Repelita II, juga telah meningkatkan kegiatan di bidang pertanahan,
terutama meliputi penyiapan lahan transmigrasi, pengukuran, pendaftaran,
dan penyelesaian sertifikat tanah.

Dalam Repelita III, kegiatan di bidang pertanahan dalam menunjang


program pembangunan sektor perkebunan, peternakan, perikanan dan
perumahan juga semakin meningkat. Kegiatan ini meliputi persiapan
pengadaan lahan, pengukuran, pemetaan dan pemberian sertifikat hak atas

XIV/50
TABEL XIV – 11
PELAKSANAAN KEGIATAN PERTANAHAN 1)
1973/74 – 1992/93

1) Angka kumulatif sejak 1968, kecuali dalam Repelita V.

XIV/51
tanah bagi para peserta proyek/masyarakat di sektor tersebut. Sementara itu
jaminan kepastian hukum atas tanah bagi masyarakat berpenghasilan rendah
juga makin ditingkatkan dengan pemberian sertifikat melalui kegiatan
PRONA.

Dalam Repelita IV telah diselesaikan pemetaan fotogrametris untuk


100 kota. Pemetaan tersebut digunakan untuk kepentingan pengadaan data
dasar di bidang pertanahan bagi keperluan selanjutnya, antara lain untuk
perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di daerah perkotaan.

Pada tahun 1988/89, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dibentuk


dengan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 dengan tugas utama
membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi
pertanahan. Sejak itu, sesuai dengan arahan GBHN Tahun 1988,
kebijaksanaan dalam bidang pertanahan diarahkan untuk lebih menunjang
kegiatan-kegiatan yang mendukung pembangunan secara keseluruhan.

Dewasa ini Badan Pertanahan Nasional sedang melaksanakan


otomatisasi program pengadministrasian pertanahan dan melanjutkan
pemetaan (terestrial) sumber daya pertanahan di seluruh 27 propinsi.
Dengan kegiatan ini diharapkan pada akhir Repelita VI masalah registrasi
dan sertifikasi yang tertunggak akan dapat diselesaikan.

Pada tahun 1989/90, telah dikeluarkan sertifikat tanah untuk PIR dan
transmigrasi, masing-masing berjumlah 23.788 dan 116.131 buah sertifikat.
Disamping itu juga telah dilaksanakan konsolidasi tanah perkotaan seluas
2.300 ha, pemetaan detail penggunaan tanah pedusunan seluas 4.480.000
ha, pemetaan kemampuan tanah seluas 3.400 ha, dan pemetaan kawasan
Puncak di kabupaten Bogor seluas 8.000 ha.

Pada tahun 1990/91 telah dilaksanakan penertiban sertifikat PIR dan


transmigrasi sebanyak 2.981 dan 164.034 sertifikat dan sertifikat PRONA
sebanyak 58.321 sertifikat, pembuatan peta pendaftaran tanah dan foto-
grametri seluas masing-masing 49.723 dan 9.000 ha, pemetaan pengguna-
an tanah perkotaan di 25 kota, pemetaan detail penggunaan tanah pedusun-
an seluas 7.956.000 ha dan pemetaan kemampuan tanah seluas 1.680.000
ha, serta meneruskan pemetaan kawasan Puncak seluas 10.000 ha.

XIV/52
Pada tahun 1991/92 kegiatan penertiban sertifikat melalui kegiatan
PRONA semakin ditingkatkan dan berhasil menyelesaikan sebanyak 81.261
sertifikat. Pada tahun ini juga dimulai kegiatan penertiban sertifikat tanah
wakaf sebanyak 95.003 sertifikat. Sementara itu penertiban sertifikat PIR
dan transmigrasi mencapai 5.706 dan 154.168 sertifikat, pembukuan hak
sebanyak 26.771 persil, serta penertiban pengurusan hak-hak tanah sebanyak
18.710 SK. Melalui kegiatan pengaturan kembali penguasaan tanah (landre -
form), telah diselesaikan redistribusi tanah seluas 8.410 ha, serta konsolidasi
tanah perkotaan dan pertanian seluas 1.250 ha. Selain itu dilaksanakan
pemetaan pendaftaran tanah dan fotogrametri masing-masing seluas 14.848
ha dan 55.200 ha, pemetaan detail penggunaan tanah pedusunan seluas
14.620.000 ha, pemetaan kemampuan tanah seluas 2.152.000 ha,
melanjutkan pemetaan kawasan Puncak seluas 10.000 ha.

Pada tahun 1992/93 kegiatan penertiban sertifikasi tetap dilanjutkan


untuk lahan-lahan yang belum disertifikasi. Penertiban sertifikasi untuk PIR
dan transmigrasi masing-masing menghasilkan 1.732 dan 18.656 sertifikat,
sedangkan untuk PRONA telah dikeluarkan 9.975 sertifikat. Dalam bidang
penatagunaan tanah telah diselesaikan pemetaan detail penggunaan tanah
pedusunan seluas 10.842.000 ha dan pemetaan kemampuan tanah seluas
2.168.000 ha.

Upaya pengembangan sistem informasi geografis pertanahan untuk


menunjang terwujudnya tertib hukum dan administrasi di bidang pertanahan
merupakan salah satu program penataan pertanahan yang diprioritaskan.
Upaya tersebut antara lain dilakukan dengan penggunaan teknologi pemetaan
dan pemantauan perubahan penggunaan tanah dengan pemanfaatan foto-foto
udara, citra satelit dan program otomatisasi pendataan pertanahan pada
umumnya.

Program pengelolaan pertanahan yang dilaksanakan selama 4 tahun


Repelita V, antara lain, telah pula menghasilkan peningkatan sistem
pendataan pertanahan yang lebih komprehensif. Hal ini terutama telah
dimanfaatkan untuk keperluan pelaksanaan pembangunan dan pelayanan
kepada masyarakat. Dalam hal mendukung pelaksanaan pembangunan,
sistem pendataan termasuk ketersediaan peta-peta detail tersebut telah
menjadi sumber informasi yang kaya dan mutakhir untuk kepentingan

XIV/53
perencanaan teknis baik di , tingkat pusat maupun daerah. Dengan demikian
perkembangan masalah pertanahan dapat terus dipantau dan dikelola
administrasinya secara cepat. Program pemetaan dengan menggunakan foto
udara, dalam rangka perbaikan peta dasar pertanahan/pendaftaran tanah
nasional, secara langsung bermanfaat bagi pendataan peningkatan Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) di semua propinsi.

Melalui program pertanahan ini, pelayanan pertanahan kepada


masyarakat terutama dalam bentuk kepastian penguasaan hak atas tanah serta
penyelesaian sengketa hak atas tanah, juga telah mengalami banyak
peningkatan. Kepastian penguasaan tanah tersebut sangat bermanfaat antara
lain dalam memberikan kemudahan bagi masyarakat, misalnya para petani
untuk memperoleh kredit. Secara umum juga dapat digunakan sebagai data
dasar dalam perhitungan pajak pemilikan tanah.

Sangat penting untuk dikemukakan adalah waktu pengurusan


sertifikat sebagai pelayanan masyarakat pada saat ini telah jauh lebih cepat
dari Repelita sebelumnya. Pada umumnya waktu pengurusan telah berkurang
sebanyak separuh waktu yang dibutuhkan sebelumnya. Lebih jauh lagi,
berkat program otomatisasi yang telah dilaksanakan sekarang, kasus-kasus
adanya duplikasi sertifikat secara bertahap telah dapat dihilangkan.

I. PEMBINAAN APARATUR PEMERINTAHAN

Pembangunan daerah yang semakin pesat menuntut ditingkatkannya


jumlah dan kemampuan aparatur pemerintah, khususnya di Daerah Tingkat
II. Pembinaan aparatur dalam hal ini ditujukan untuk meningkatkan
keterampilan aparat dan mematangkan fungsi kelembagaan dalam kerangka
otonomi dan desentralisasi agar makin mampu merencanakan, melaksanakan,
dan mengendalikan kegiatan-kegiatan pembangunan.

Berbagai upaya untuk meningkatkan kemampuan aparatur Peme-


rintahan Daerah telah dilaksanakan sejak Repelita I, antara lain mulai dari
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di dalam maupun di luar negeri;
penambahan tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan; dan penyempurnaan
lembaga-lembaga pemerintahan serta pembentukan lembaga baru. Prasarana

XIV/54
penunjang kelembagaan, baik itu berupa penyempurnaan peraturan maupun
prasarana fisik Pamong Praja, telah pula dilaksanakan secara bertahap.
Peningkatan kemampuan Pemerintah Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II
untuk merencanakan dan menyusun anggaran kegiatan telah diawali dengan
pembentukan Bappeda tingkat propinsi pada tahun 1974 dan tingkat
Bappeda kabupaten/kotamadya pada tahun 1980.

Pembentukan kedua lembaga perencanaan daerah tersebut me-


lengkapi kebutuhan pelaksana badan perencana dalam alur proses
perencanaan nasional - regional.

Pada mulanya kebutuhan tenaga ahli perencana yang masih langka,


dipenuhi dengan menugaskan atau mengalih-tugaskan tenaga ahli dari staf
perguruan tinggi setempat. Namun sekarang, sesudah 15 tahun, ketersediaan
tenaga ahli perencana, di Bappeda Tk. I dan Bappeda Tk. II telah makin
mantap dan merupakan tenaga tetap yang tangguh. Hal ini, antara lain,
berkat program peningkatan kursus program Perencanaan Nasional yang
diadakan sejak tahun 1975 bekerja sama dengan Universitas Indonesia.

Bappeda Tingkat II, yang dalam lingkup pembangunan jangka


panjang akan memegang peran kunci dalam perencanaan daerah, saat ini
sedang memperoleh kesempatan untuk ditingkatkan keterampilan
perencananya dengan pelatihan Teknik Manajemen Perencanaan Pem -
bangunan (TMPP). Program pendidikan dan pelatihan ini diselenggarakan
bersama oleh Bappenas dan Departemen Dalam Negeri dengan bekerjasama
dengan Universitas Indonesia, Universitas Syiah Kuala, Universitas Gajah
Mada dan Universitas Hasanuddin. Program ini, dirancang khusus untuk
meningkatkan kemampuan aparat Bappeda Tingkat II dalam kegiatan
perencanaan pembangunan daerah, sebagai persiapan peletakan titik berat
otonomi Daerah Tingkat II, sesuai dengan yang diamanatkan dalam PP No.
45 Tahun 1992.

Yang penting dengan dibentuknya kedua Bappeda di Tingkat I dan


Tingkat II tersebut, proses perencanan Pusat Daerah dilengkapi dengan
wawasan perencanaan dari bawah keatas. Berfungsinya kedua badan
perencanaan daerah tersebut tercermin dalam acara. tahunan dalam P5D
(Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di
Daerah) yang berlangsung sejak lebih dari 10 tahun yang lalu.

XIV/55
Peningkatan kemampuan dan keterampilan aparat pemerintah daerah
terus menerus dilaksanakan dan bahkan sekarang terdapat jaminan agar hasil
penataran ataupun kursus peningkatan kemampuan perencanaan daerah
berdaya guna. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tahun 1992,
lulusan program up grading tidak dapat dipindahkan atau dimutasikan,
minimal selama 5 tahun.

Selanjutnya secara bertahap, urusan pemerintahan yang sebelumnya


ditangani oleh Pemerintah Pusat diserahkan kepada Pemerintah Daerah,
antara lain dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) 14/1987
mengenai pengalihan beberapa fungsi Pekerjaan Umum ke daerah, dan PP
6/1988 yang melimpahkan kewenangan untuk mengkoordinasikan kegiatan
pembangunan instansi pusat di daerah kepada Gubernur dan Bupati/
Walikotamadya.

Penyempurnaan kelembagaan dalam mendukung pembangunan dae-


rah, desa dan kota, menjadi lebih terkoordinasi dengan ditetapkannya
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) melalui Keppres No.
23/1975, diperkuat dengan Keppres No. 250/M/1983. Tugas-tugas DPOD
yang terpenting adalah memberikan saran kepada Presiden mengenai
pembentukan daerah-daerah otonomi baru, pengintegrasian satuan-satuan
otonomi lokal, pengalihan tanggung jawab pusat ke daerah, dan penambahan
sumber-sumber pendanaan lokal.

Status administrasi yang tepat dan kemampuan pembiayaan yang


memadai sangat penting untuk pengelolaan kota yang efektif. Demikianlah
terus diusahakan untuk meningkatkan status kota-kota menjadi kota
administratif atau kotamadya.

Selama 5 tahun dari 1988 hingga 1992, telah dikeluarkan serangkaian


Peraturan Perundangan-undangan yang meningkatkan status dan peranan
daerah, baik Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II. Peraturan
Perundang-undangan tersebut adalah:
(1) PP Nomor 22 Tahun 1991 tentang Penyerahan Sebagian Urusan
Pemerintahan Dalam Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kepada
Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II;

XIV/56
(2) PP Nomor 44 Tahun 1990 tentang Perubahan Batas Wilayah Kota-madya
Dati II Sawahlunto, Kabupaten Dati II Sawahlunto/Sijunjung dan
Kabupaten Dati II Solok;
(3) UU Nomor 6 Tahun 1990 tentang Pembentukan Kabupaten Dati II
Halmahera Tengah;
(4) UU Nomor 7 Tahun 1990 tentang Pembentukan Kotamadya Dati II
Bitung;
(5) UU Nomor 6 Tahun 1991 tentang Pembentukan Kabupaten Dati II
Lampung Barat;
(6) UU Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Dati II
Denpasar;
(7) PP Nomor 45 Tahun 1992 tentang Titik Berat Otonomi pada Daerah
Tingkat II;
(8) PP Nomor 69 Tahun 1992 tentang Perubahan Batas Wilayah Kota -
madya Dati II Salatiga dan Kabupaten Dati II Semarang.

Adapun kegiatan yang sedang dalam proses penyelesaian adalah:


1. RUU Pembentukan Kotamadya Dati II Tangerang;
2. RUU Pembentukan Kotamadya Dati II Jayapura;
3. RUU Pembentukan Kotamadya Dati II Mataram;
4. RUU Pembentukan Kotamadya Dati II Palu;
5. Yang masih dalam penelitian dan evaluasi Departemen Dalam Negeri
ialah:
1. Pembentukan Kotamadya Dati II Kupang;
2. Pembentukan Kotamadya Dati II Kendari;
3. Perluasan Kotamadya Dati II Sukabumi;
4. Perluasan Kotamadya Dati II Bogor;
5. Perluasan Kotamadya Dati II Magelang; dan
6. Pemindahan Ibu kota Kabupaten Dati II Ermera dari Ermera ke
Gleno (secara de facto telah pindah sejak tahun 1982).

Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas


penyiapan program dan proyek pada tingkat lokal serta untuk men-
terpadukan prioritas daerah dan prioritas pusat secara sistematis. Untuk itu
konsultasi pembangunan dilaksanakan secara bertahap mulai dari desa,
kecamatan, kabupaten, propinsi, wilayah sampai tingkat nasional.
Pemerintah senantiasa berusaha agar kualitas mekanisme perencanaan
pembangunan dari atas dan dari bawah terus meningkat.

XIV/57
Mengingat pentingnya modernisasi institusi pelayanan umum maka
telah dilakukan suatu studi penyempurnaan administrasi khususnya
administrasi perkotaan. Hasilnya adalah Konsep Rencana Strategis (Renstra)
Pengelolaan Perkotaan di Indonesia. Laporan ini menggambarkan pola
pengelolaan kota yang ada beserta usulan-usulan perbaikan yang sesuai
dengan kondisi di Indonesia.

Dalam rangka meningkatkan kualitas aparatur pemerintah di daerah,


sejak Repelita I sampai dengan Repelita V telah dilaksanakan berbagai
program pendidikan dan latihan yang diperuntukkan bagi aparat Departemen
Dalam Negeri (Depdagri) Pusat maupun aparat Pemerintah Daerah Tingkat I
dan Tingkat II. Program Diklat tersebut dibagi menjadi: Diklat Kader melalui
institusi pendidikan yang ditunjuk (HP, APDN, dan beberapa universitas di
dalam negeri); Diklat Penjenjangan (SESPA, SEPADYA, SEPALA,
SEPADA); Diklat Teknis Fungsional yang meliputi lebih dari 122 jenis
pelatihan; Diklat Penataran melalui kegiatan orientasi yang dilakukan kepada
aparat Pemda; dan Diklat Luar Negeri melalui pengiriman aparat Depdagri
Pusat dan Pemda untuk studi di luar negeri.

Selain dari pada itu berbagai upaya telah dilaksanakan untuk


meningkatkan kemampuan aparatur di bidang Keuangan Daerah, khususnya
bagi aparat Dinas Pendapatan Daerah Tingkat II dan aparat Bagian
Keuangan Daerah Tingkat II. Untuk itu telah dilaksanakan latihan keuangan
daerah yang dikerjakan oleh Universitas Indonesia. Sedangkan untuk
meningkatkan kemampuan Dinas Pekerjaan Umum, dalam Pelita V ini telah
ditempatkan 600 tenaga teknik di Daerah Tingkat II khususnya di daerah
luar Jawa. Selain penempatan tenaga teknis di Daerah Tingkat II, juga
dilakukan peningkatan kemampuan melalui berbagai latihan yang
dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum.

XIV/58

Anda mungkin juga menyukai