Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persaingan antar BMT (Baitul Maal Wa Tamwil) yang semakin ketat,

secara langsung ataupun tidak langsung, akan berpengaruh terhadap pencapaian

profitabilitas BMT. Meskipun BMT memiliki motivasi lebih daripada sekedar

bisnis, keamampuan BMT dalam menghasilkan profit menjadi indikator penting

keberlanjutan entitas bisnis. Selain itu, kemampuan menghasilkan profit menjadi

indikator penting untuk mengukur kemampuan bersaing BMT dalam jangka

panjang.

Profitabilitas merupakan dasar dari adanya keterkaitan antara efisiensi

operasional dengan kualitas jasa yang dihasilkan oleh suatu bank.Tujuan analisis

profitabilitas sebuah bank adalah untuk mengukur tingkat efisiensi usaha yang

dicapai oleh bank yang bersangkutan (Kuncoro, 2002). Menurut Weygandt et al.

(2008), rasio profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur

efektivitas manajemen perusahaan secara keseluruhan, yang ditunjukkan dengan

besarnya laba yang diperoleh perusahaan.

Return on Asset (ROA) merupakan salah satu rasio profitabilitas. Kuncoro

(2002) menyatakan bahwa ROA menunjukkan kemampuan manajemen bank

dalam mengelola aktiva yang tersedia untuk mendapatkan net income. Sedangkan

Siamat (2005) mengemukakan bahwa ROA merupakan rasio yang memberikan

informasi seberapa efisien suatu bank dalam melakukan kegiatan usahanya,

karena rasio ini mengindikasikan seberapa besar keuntungan yang dapat diperoleh

1
2

rata-rata terhadap setiap rupiah asetnya.Semakin besar ROA menunjukkan kinerja

perusahaan semakin baik, karena return semakin besar.

BMT (Baitul Maal Wa Tamwil) yang berfungsi sebagai lembaga

intermediasi keuangan, melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan

menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkannya kembali

kepada masyarakat melalui pembiayaan.

Dana yang dihimpun dari masyarakat biasanya disimpan dalam bentuk

giro, tabungan dan deposito baik dengan prinsip wadiah maupun prinsip

mudharabah. Sedangkan penyaluran dana dilakukan oleh BMT melalui

pembiayaan dengan empat pola penyaluran yaitu prinsip jual beli, prinsip bagi

hasil, prinsip ujroh dan akad pelengkap (Karim, 2008: 123).

Penilaian kelayakan pembiayaan pada BMT (Baitul Maal Wa Tamwil) ,

selain didasarkan pada business wise, juga harus mempertimbangkan syariah wise.

Artinya, bisnis tersebut layak dibiayai dari segi usahanya dan acceptable dari segi

syariahnya (Muhammad, 2005: 75). Diantara empat pola penyaluran pembiayaan

yang ada pada BMT, terdapat dua pola utama yang saat ini dijalankan oleh BMT

dalam penyaluran pembiayaan, yakni pembiayaan dengan prinsip jual beli dan

pembiayaan dengan prinsip bagi hasil.

Pendapatan bank sangat ditentukan oleh berapa banyak keuntungan yang

diterima dari pembiyaan yang disalurkan. Keuntungan yang diterima dari prinsip

jual beli berasal dari mark up yang ditentukan berdasarkan kesepakatan antara

BMT dengan nasabah. Sedangkan pendapatan dari prinsip bagi hasil ditentukan
3

berdasarkan kesepakatan besarnya nisbah, keuntungan BMT tergantung pada

keuntungan nasabah.

Pola bagi hasil banyak mengandung risiko, oleh karena itu pihak bank

harus aktif berusaha mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerugian nasabah

sejak awal (Muhammad, 2005: 13). Harahap et al. (2005: 73) menyebutkan bahwa

akad yang banyak digunakan dalam pembiayaan pada prinsip jual beli adalah

murabahah, salam dan istishna’. Sedangkan pada prinsip bagi hasil, akad yang

banyak digunakan adalah mudharabah dan musyarakah.

Sebagaimana telah dikutip Dimyauddin di dalam bukunya murabahah

menurut Ibnu Rusy al Maliki adalah jual beli komuditas dimana penjual

memberikan informasi kepada pembeli tentang harga pokok pembelian barang

dan tingkat keuntungan yang diinginkan (Dimyauddin, 2008: 103-104).

Menurut Anwar, murabahah adalah menjual suatu barang dengan harga

pokok ditambah dengan keuntungan yang disetujui bersama untuk dibayar pada

waktu yang ditentukan atau dibayar secara cicilan (Anwar, 1991: 13). Istilah yang

hampir sama diberikan oleh Hulwati yang menyatakan bahwa murabahah secara

istilah adalah menjual suatu barang dengan harga modal ditambah dengan

keuntungan ( Hulwati, 2009: 76).

Sedangakan mudharabah adalah perjanjian atas suatu jenis perkongsian

dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan dana, dan pihak kedua

(mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha (Abraham, 2008: 12-13).

Mudharabah juga bisa diartikan dengan meleburnya harta dan tenaga (Dwi

Condro, 2012: 324).


4

Non performing financing adalah jumlah kredit yang bermasalah dan

kemungkinan tidak dapat ditagih (Irham, 2004: 143). Menunda pembayaran bagi

yang mampu adalah suatu kezaliman (Siamat, 2005: 47), imam Syafii menyatakan

pinjaman semuanya dijamin, barang siapa yang meminjam sesuatu, maka jika

terjadi kelalaian atau kehilangan atau kerusakan maka peminjam wajib

menanggungnya (Mardhani, 2008: 156)

Non Performing Financing adalah rasio yang digunakan untuk mengukur

kemampuan manajemen bank dalam mengelola pembiayaan bermasalah yang ada

dapat dipenuhi dengan aktiva produktif yang dimiliki oleh suatu bank (Teguh

Pudjo Mulyono, 1995). Ali (2004) menyatakan bahwa apabila porsi pembiayaan

bermasalah membesar maka hal tersebut pada akhirnya berpengaruh pula pada

kemungkinan terjadinya penurunan besarnya keuntungan/pendapatan yang

diperoleh bank. Penurunan pendapatan ini akan mampu mempengaruhi besarnya

perolehan laba bank syariah. Dan pada akhirnya, akan mempengaruhi besarnya

profitabilitas yang tercermin denganReturn on Asset (ROA) yang diperoleh bank

syariah.

Berdasarkan statistik Bank Indonesia, akad murabahah mendominasi

pembiayaan yang disalurkan BMT dan disusul dengan akad mudharabah dan

musyarakah. Dengan diperolehnya pendapatan dari pembiayaan yang disalurkan,

diharapkan profitabilitas bank akan membaik, yang tercermin dari perolehan laba

yang meningkat (Firdaus, 2009: 61). Oleh karena itu, pengelolaan pembiayaan

baik pembiayaan jual beli, pembiayaan bagi hasil, maupun jenis pembiyaan

lainnya akan sangat mempengaruhi profitabilitas yang diterima BMT.


5

Pembiayaan yang disalurkan oleh BMT (Baitul Maal Wa Tamwil) dapat

menimbulkan potensi pembiayaan bermasalah. Pembiayaan bermasalah dapat

dilihat dari tingkat non performing financing (NPF). Menurut Siamat (2005),

pembiayaan bermasalah adalah pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan

akibat adanya faktor kesengajaan dan atau karena faktor eksternal diluar

kemampuan/kendali nasabah peminjam.

Jadi, besar kecilnya NPF ini menunjukkan kinerja suatu bank dalam

pengelolaan dana yang disalurkan. Apabila porsi pembiayaan bermasalah

membesar, maka hal tersebut pada akhirnya menurunkan besaran pendapatan

yang diperoleh bank (Ali, 2004). Sehingga pada akhirnya akan dapat

mempengaruhi tingkat profitabilitas BMT. Penelitian ini bertujuan untuk

memberikan bukti empiris mengenai pengaruh pembiayaan jual beli, pembiayaan

bagi hasil, dan rasio non performing financing terhadap profitabilitas BMT

Amanah Ummah Di Karisidenan Surakarta.

B. Pembatasan Masalah

Guna mendapatkan hasil yang fokus dan jelas pada permasalahan peneliti

dan mengingat keterbatasan yang dimiliki peneliti, maka objek penelitian

diberikan batasan sebagai berikut:

1. Pembahasan dan analisa yang dilakukan dalam penelitian ini hanya berkisar

pada variabel-variabel yang mempengaruhi profitabilitas BMT Amanah

Ummah se-Karisidenan Surakarta pada periode 2013 sampai dengan tahun

2016. Itupun tidak semua variabel yang mempengaruhi profitabilitas BMT

Amanah Ummah akan dimasukkan dalam model penelitian, penulis


6

membatasi dengan menggunakan tiga variabel independen yakni: 1)

Murabahah (jual beli), 2) Mudharabah (kerjasama), 3) Rasio Non Performing

Financing (rasio yang digunakan untuk mengukur pengelolaan pembiayaan.

2. Penelitian ini menggunakan data sekunder time series bulanan dari bulan

Januari 2013 sampai dengan bulan Desember 2016. Data tersebut diambil

dari Laporan bulanan BMT Amanah Ummah.

C. Perumusan Masalah

Dari uraian permasalahan yang dihadapi BMT Amanah Ummah, maka

pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh Murabahah terhadap profitabilitas ?

2. Apakah ada pengaruh Mudharabah terhadap profitabilitas ?

3. Apakah ada pengaruh Rasio Non Performing Financing terhadap

profitabilitas ?

4. Apakah ada pengaruh Murabahah, Mudharabah, dan Rasio Non Performing

Financing terhadap Profitabilitas ?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah dan pertanyaan penelitian

diatas maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaruh Murabahah terhadap profitabilitas BMT

Amanah Ummah serta seberapa besar pengaruhnya.

2. Untuk mengetahui pengaruh Mudharabah terhadap profitabilitas BMT

Amanah Ummah serta seberapa besar pengaruhnya.


7

3. Untuk mengetahui pengaruh Rasio Non Performing Financing terhadap

profitabilitas BMT Amanah Ummah serta seberapa besar pengaruhnya.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang dilakukan berkaitan dengan profitabilitas pada

BMT Amanah Ummah beserta variabel-variabel yang mempengaruhinya adalah

sebagai berikut :

1. Penelitian diharapkan bermanfaat terutama bagi para debitur maupun kreditur

BMT Amanah Ummah guna mengetahui bagaimana perubahan suatu kondisi,

baik internal maupaun eksternal perbankan mempengaruhi kinerja BMT.

Dengan begitu debitur maupun kreditur mempunyai gambaran pada kondisi

yang bagaimana suatu BMT dapat menguntungkan sebagai media investasi

maupun penyedia dana.

2. Bagi BMT Amanah Ummah diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam

pembuatan keputusan terhadap kebijakan pembiayaan maupun ekspansi asset

serta untuk langkah antisipasi terhadap semua faktor yang nantinya akan

mempengaruhi kinerja perusahaan.

3. Bagi akademisi dapat memberikan manfaat dalam hal pengembangan ilmu

ekonomi khususnya manajemen keuangan, melalui pendekatan dan cakupan

variable yang digunakan, terutama pengaruh kondisi makro ekonomi dan

pangsa aset BMT terhadap kinerja BMT Amanah Ummah yang diukur dari

profitabilitasnya.

Anda mungkin juga menyukai