Anda di halaman 1dari 178

PLAGIAT

PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

INTRIK POLITIK

DALAM NOVEL PANGERAN DIPONEGORO: MENUJU SOSOK KHALIFAH

KARYA REMY SYLADO

(PENDEKATAN HISTORIS)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh
Nama : Bitbit Pakarisa
NIM : 07 4114 007

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2012

i
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

iii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Hidup Adalah Bermain

(Kak Seto)

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Tuhan Yang Maha Tak Tertebak

Ayah dan kedua ibuku,

Gilang, Mega, Khery

Serta semua orang yang kukasihi

iv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas

segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana

pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan

dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan

terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yaitu:

1. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, sebagai dosen pembimbing I, terima kasih

atas segala bimbingan saya untuk meyelesaikan skripsi ini.

2. SE Peni Adji, S.S, M.Hum sebagai dosen pembimbing II, terima kasih

atas segala bimbingannya kepada saya untuk menyelesesaikan skripsi

ini.

3. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar

membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia.

4. Ayah dan kedua ibu saya, yang telah memberikan doa, semangat, dan

dukungan materiil kepada penulis selama menempuh pendidikan di

Sastra Indonesia.

5. Ketiga adikku, Gilang, Mega, dan Khery atas semangat yang diberikan

kepada penulis selama pengerjaan skripsi.

v
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

vi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

vii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

viii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRAK

Pakarisa, Bitbit. 2012. “Intrik Politik dalam Novel Pangeran Diponegoro:


Menuju Sosok Khalifah Karya Remy Sylado: Pendekatan Historis.”
Skripsi Strata (S-1). Yogyakarta. : Program Studi Sastra Indonesia,
Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata
Dharma.

Penelitian ini mengkaji tentang intrik politik dalam novel Pangeran


Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado. Tujuan penelitian ini
adalah menganalisis dan mendeskripsikan analisis struktural yang difokuskan pada
analisis alur, mendeskripsikan situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825,
dan menganalisis serta mendeskripsikan intrik politik dalam novel Pangeran
Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan historis. Penelitian ini diawali dengan
analisis struktur teks sastra yang difokuskan pada analisis alur, deskripsi teks sejarah,
yaitu situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825, analisis teks sastra, yaitu
intrik politik dalam novel Pagengeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah,
kemudian menarik relevansi antara fakta sejarah dengan hasil analisis teks sastra.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis,
deskripsi, perbandingan, dan klasifikasi. Metode analisis digunakan untuk
menganalisis isi teks sastra. Metode perbandingan digunakan untuk menarik relevansi
antara teks sastra dengan teks sejarah. Metode klasifikasi digunakan untuk
mengklasifikasikan bantuk-bentuk intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro:
Menuju Sosok Khalifah. Metode deskripsi digunakan untuk mendeskripsikan teks
sejarah dan hasil penelitian data.
Hasil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Alur dalam novel
Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah adalah alur campuran. Peristiwa-
peristiwa yang terjadi tidak berjalan secara kronologis atau progresif. Ini dikarenakan
ada peristiwa yang mengalami flash back. Konflik utama dalam novel Pangeran
Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah adalah perbedaan kepentingan antara Pangeran
Diponegoro dengan Belanda beserta pribumi kaki tangannya. (2) Teks sejarah
mengenai situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825 menggambarkan
kerawanan politik yang berimbas terhadap kekacauan di tataran elit keraton
Yogyakarta. Hal ini diakibatkan karena campur tangan kolonial Belanda dan Inggris
dalam kebijakannya terhadap kerajaan Yogyakarta. (3) Intrik politik tergambarkan
dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Intrik politik yang
terdapat dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah meliputi(a)
intrik politik Danurejo IV dalam usahanya mengacaukan hubungan antara Inggris
dengan keraton Yogyakarta, (b) intrik politik Sultan Hamengku Buwono III dalam
usahanya menyingkirkan Paku Alam I, (c) intrik politik orang-orang Belanda dalam

ix
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

usahanya menyingkirkan Sultan Hamengku Buwono III (d) intrik politik


Danurejo IV dalam usahanya menduduki jabatan perwalian Atas Sultan Hamengku
Buwono IV, (e) intrik politik Danurejo IV dalam usahanya menyingkirkan Paku
Alam I, (f) intrik politik Belanda dalam usahanya menyingkirkan Sultan Hamengku
Buwono IV, (g) intrik politik Danurejo IV dalam usahanya menyingkirkan Pangeran
Diponegoro.
Terdapat relevansi antara teks sejarah tentang situasi politik di Yogyakarta
pada tahun 1811-1825 pada bab III dengan intrik politik dalam novel Pangeran
Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah pada bab IV. Situasi politik pada teks sejarah
yang relevan dengan intrik politik Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah
adalah buktinya.
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa novel Pangeran Diponegoro:
Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado menggambarkan intrik politik yang
terjadi pada masa-masa sebelum pecahnya perang Jawa. Intrik Politik dilakukan oleh
Danurejo IV, Sultan Hamengku Buwono III, dan Belanda sebagai salah satu pemicu
penting terjadinya perang Jawa dalam novel tersebut.

x
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRACT

Pakarisa, Bitbit. 2012. “The Political Intrigues in Pangeran Diponegoro: Menuju


Sosok Khalifah, A Novel by Remy Sylado: A Historical Approach”.
An Undergraduate Thesis (S-1). Yogyakarta: Indonesian Literature
Study Program, Department of Indonesian Literature, Literature
Faculty, Sanata Dharma University.

This study focuses on the political intrigue in a novel by Remy Sylado entitled
Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. There are four purposes in this study.
They are (1) to analyze and describe a structural analysis focused on plot analysis, (2)
to elaborate a political situation in Yogyakarta in 1811-1825, and (3) to analyze and
to explain the political intrigue in a novel entitled Pangeran Diponegoro: Menuju
Sosok Khalifah.
In the research, the researcher conducted historical approach. The researcher
started the study by analyzing the structure of literature texts focused on plot analysis.
Then, the researcher analyzed the description of history texts which was politics
situation in Yogyakarta in 1811-1825. The next step was analyzing the literature text
which was political intrigue in the novel. The last step the researcher did was finding
out the relevancy between history facts and the result of analyzing the literature text.
Method used in this study was analysis, descriptive, comparison, and
classification method. Analysis method was employed to analyze the content of
literature text. Comparison method was used to gain the relevance between literature
text and historical text. Classification method was used to classify the forms of
political intrigues in novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah
Descriptive method was used to describe historical text and the research findings
There were essential results of the study. They were the plot used in the novel
was the compound plot. The events occurred did not flow chronologically or
progressively. It was caused by an event engaged with flash back. The main conflict
in the novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah was the different interest
between Prince Diponegoro, the Netherlands, and his native assistants. The next
result was the history texts which were related to politics situation in Yogyakarta in
1811-1825 outlined the politics susceptibility which gave effect to the disorder in
royal Yogyakarta. This was due to the intervention of the Netherlands and England in
the policy of the Yogyakarta Empire. The researcher also found another result that
was political intrigue described in the novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok
Khalifah. The intrigues in the novel were (1) Danurejo IV’s political intrigue in his
effort to break the relationship between England and the Yogyakarta Empire, (2)
Sultan Hamengku Buwono III‘s political intrigue in his effort to eliminate Paku Alam
I, (3) the Netherlands’ political intrigue to eliminate Sultan Hamengku Buwono III,
(4) Danurejo IV’s political intrigue in his effort to occupy the vice of Sultan
Hamengku Buwono IV, (5) Danurejo IV’s political intrigue in his effort to eliminate

xi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Paku Alam I, (6) the Netherlands’ political intrigue to eliminate Sultan Hamengku
Buwono IV, and (7) Danurejo IV’s political intrigue to eliminate Prince Diponegoro.
There was the relevancy between the history texts related to politics situation
in Yogyakarta in 1811-1825 that the researcher employed in chapter III and political
intrigue in the novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah in chapter IV.
The proof of this was the politics situation in the history texts engaged with political
intrigue in the novel.
The conclusion of the research was the novel Pangeran Diponegoro: Menuju
Sosok Khalifah by Remy Sylado described the political intrigues occurred in pre
Javanese war. The intrigues done by Danurejo IV, Sultan Hamengku Buwono III, and
the Netherlands could be admitted as the causes of Java war in the novel.

xii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………… iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................... iv

KATA PENGANTAR………………………………………………......... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………… ............. vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS.................................. viii

ABSTRAK ................................................................................................... ix

ABSTRACT .................................................................................................. xi

DAFTAR ISI................................................................................................ xiii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................... 11

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................ 12

1.4 Manfaat Penelitian .......................................................... 12

1.5 Tinjauan Pustaka……………………………………….. 13

1.6 Landasan Teori................................................................ 13

1.6.1 Teori Alur............................................................ 13

1.6.2 Teori Sastra Historis............................................ 14

xiii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

1.7 Batasan Istilah………………………………………… . 16

1.7.1 Politik………………………………………… .. 16

1.7.2 Intrik…………………………………………… 18

1.7.3 Intrik Politik……………………………………. 18

1.8 Pendekatan……………………………………………. .. 18

1.9 Metode Penelitian……………………………................ 19

1.9.1 Metode Pengumpulan Data……………………… 20

1.9.2 Metode Analisis Data…………………................. 21

1.9.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data................... 23

1.10 Sumber Data……………………………………………. 23

1.10.1 Sumber Data Primer............................................ . 23

1.10.2 Sumber Data Sekunder......................................... 24

1.11 Sistematika Penyajian…………………………………... 24

BAB II ANALISIS ALUR NOVEL PANGERAN DIPONEGORO:

MENUJU SOSOK KHALIFAH ............................................... 25

2.1 Tahap Penyituasian…………………………………….. 25

2.2 Tahap Pemunculan Konflik……………………………. 32

2.3 Tahap Peningkatan Konflik……………………………. 71

2.4 Tahap Klimaks………………………………………… 84

2.5 Tahap Penyelesaian…………………………………….. 87

2.6 Rangkuman…………………………………………….. 88

xiv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB III SITUASI POLITIK DI YOGYAKARTA PADA MASA KOLONIAL

INGGRIS DAN BELANDA TAHUN 1811-1825 .................. 91

3.1 Situasi Politik di Yogyakarta Sebelum Tahun 1811. ...... 92

3.1.1 Permulaan Berdirinya Kerajaan Mataram

Yogyakarta…………………………………… 92

3.1.2 Situasi Politik pada Masa

Sultan Hamengku Buwono II Tahun 1792-1810.. 93

3.2 Situasi Politik Kesultanan Yogyakarta pada Masa

Pemerintahan Inggris Tahun 1811-1816......................... 99

3.2.1 Situasi Politik pada Masa

Sultan Hamengku Buwono III Tahun 1812-1814. 101

3.2.2 Situasi Politik pada Masa

Sultan Hamengku Buwono IV dalam Periode

Pemerintahan Inggris Tahun 1814-1816 .............. 105

3.3 Situasi Politik pada Masa Pemerintahan Belanda

Tahun 1816-1825 ............................................................. 107

3.3.1 Situasi Politik pada Masa

Sultan Hamengku Buwono IV dalam Periode

Pemerintahan Belanda Tahun 1816-1825............. 107

3.3.2 Situasi Politik pada Masa

Sultan Hamengku Buwono V Tahun 1822-1826 . 110

3.4 Rangkuman…………………………………………… . 115

xv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB IV INTRIK POLITIK DALAM NOVEL PANGERAN DIPONEGORO:

MENUJU SOSOK KHALIFAH ............................................... 117

4.1 Intrik Politik pada Masa

Pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III ................. 118

4.1.1 Usaha Danurejo IV Mengacaukan Hubungan Antara

Inggris dengan Keraton Yogyakarta…………… 118

4.1.2 Intrik Politik Sultan Hamengku Buwono III

dalam Usaha Menyingkirkan Paku Alam I

sebagai Lawan Politiknya..................................... 121

4.1.3 Intrik Politik Orang-Orang Belanda dalam Peristiwa

Kematian Sultan Hamengku Buwono III .............. 123

4.2 Intrik Politik pada Masa Pemerintahan

Sultan Hamengku Buwono IV………………… ........... 127

4.2.1 Intrik Politik Danurejo IV dalam Usaha

Menduduki Jabatan Perwalian atas

Sultan Hamengku Buwono IV .............................. 127

4.2.2 Usaha Danurejo IV Menyingkirkan Paku Alam I

sebagai Lawan Politiknya .................................... 131

4.2.3 Intrik Politik Belanda dalam Peristiwa Kematian

Sultan Hamengku Buwono IV.............................. 134

4.3 Intrik Politik pada Masa Perwalian

Sultan Hamengku Buwono V.......................................... 138

xvi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

4.3.1 Usaha Danurejo IV Menyingkirkan

Pangeran Diponegoro sebagai Lawan Politiknya .. 138

4.4 Relevansi Fakta Sejarah dengan Intrik Politik dalam Novel

Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah............. 146

BAB V PENUTUP…………………………………………………….. 155

5.1 Kesimpulan…………………………………………… . 155

5.2 Saran…………………………………………………… 157

DAFTAR PUSTAKA……………………… .............................................. 159

xvii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan suatu karya yang dihasilkan melalui proses kreatif

pengarang. Kreativitas ini dapat bersumber pada imajinasi pengarang atau hasil

observasi pengarang terhadap realitas yang dihadapinya. Hal ini juga dijelaskan

oleh Sumardjo (1979: 65) yang mengatakan karya sastra merupakan hasil

pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Novel sebagai salah satu

genre sastra juga merupakan produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-

nilai sosial, politik, etika, religi, dan filsafat yang bertolak dari pengungkapan

kembali fenomena kehidupan (Sardjono, 1992: 10).

Objek karya sastra adalah realitas, apa pun juga yang dimaksud dengan

realitas oleh pengarang. Apabila realitas itu berupa peristiwa sejarah maka karya

sastra dapat, pertama, mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa

imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar

kemampuan pengarang. Kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi

pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai

suatu peristiwa sejarah. Ketiga, seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat

merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan

pengetahuan dan daya imajinasi pengarang (Kuntowijoyo, 2006: 171).

1
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Dalam konteks sastra, sejarah juga dapat menjadi inspirasi utama

pengarang dalam menciptakan karya sastra. Dick Hartoko menjelaskan jika roman

historis, roman sejarah, mengambil bahan dan tokoh-tokohnya dari masa silam,

biasanya dengan maksud untuk menampilkan suasana pada zaman tertentu. Bahan

diterima dari penelitian sejarah tetapi diolah, diatur dan ditafsirkan menurut daya

imajinasi sendiri (1986: 60).

Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado

adalah salah satu karya sastra yang bersumber dari sejarah. Sejarah Pangeran

Diponegoro menjadi dasar penciptaan novel sejarah ini. Oleh karena itu, novel ini

bisa dikategorikan sebagai novel sejarah.

Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado

merupakan kelanjutan dari karya sekuel pertamanya yang berjudul Pangeran

Diponegoro: Menggagas Ratu Adil. Pada sekuel yang pertama diceritakan tentang

kehidupan masa kecil Pangeran Diponegoro hingga saat sebelum dia menikah.

Pada sekuel yang pertama ini juga untuk pertama kali Ontowiryo (nama kecil dari

Pangeran Diponegoro) memilih nama Diponegoro sebagai nama pangerannya dan

direstui oleh ayahnya yaitu Sultan Hamengku Buwono III. Sejak kecil Ontowiryo

dibesarkan oleh eyang buyutnya, Ratu Ageng, di luar lingkungan keraton, yaitu di

Tegalrejo. Ontowiryo dididik untuk gemar membaca sekaligus dilatih untuk mahir

melempar lembing, menganggar keris, dan berpacu dengan kuda. Pada usia

sepuluh tahun Otowiryo dituntut untuk memahami Qur’an dan menguasai bacaan-

bacaan kebudayaan Jawa seperti primbon, suluk, serta kitab-kitab kawruh. Ratu
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Ageng berpendapat bahwa kepandaian dan kemampuan seperti itu harus dikuasai

oleh calon pemimpin seperti Ontowiryo. Suami Ratu Ageng yang merupakan

Sultan Hamengku Buwono I sudah memiliki firasat tentang kepemimpinan

Ontowiryo di masa yang akan datang dalam memerangi Belanda sejak ia masih

balita.

Pada sekuel yang pertama ini menggambarkan perjalanan spiritual

Ontowiryo. Ontowiryo lebih suka pergi ke bukit-bukit, ke hutan, ke goa-goa

untuk bersemedi daripada mengikuti perkembangan situasi keraton. Pada fase

itulah tercetus pertama kali dalam pikiran Ontowiryo bahwa pada usia empat

puluh tahun dia harus menyelamatkan Jawa dari penjajahan. Sekuel yang pertama

ini diakhiri dengan cerita Pangeran Diponegoro yang mulai memikirkan calon

istrinya.

Sekuel novel yang kedua yaitu Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok

Khalifah menggambarkan konflik-konflik yang dialami oleh Diponegoro. Dalam

novel ini dideskripsikan kolonialisme Belanda dan Inggris yang dibantu oleh kaki

tangan orang-orang pribumi menjadi faktor utama terjadinya perang Jawa. Intrik

politik menjadi alat utama untuk menjalankan dan memperebutkan kekuasaan

baik pihak Belanda, pribumi kaki tangan Belanda, maupun Keraton Yogyakarta

sendiri.

Tokoh utama novel ini adalah Pangeran Diponegoro. Pangeran

Diponegoro adalah anak tertua dari Sultan Raja, Hamengku Buwono III dengan

salah satu selirnya yaitu Raden Ayu Mangkarawati. Diponegoro adalah santri
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

yang taat pada nilai-nilai keislaman sekaligus mencintai budaya Jawa sebagai

identitasnya. Baginya Islam adalah cita-cita luhur keraton sejak Mataram Islam

berdiri.

Dikisahkan bahwa Diponegoro jatuh cinta kepada Ratnaningsih. Karena

Diponegoro adalah anak dari Sultan Raja, maka pernikahan Diponegoro dengan

Ratnaningsih harus dilakukan dengan adat keraton. Namun sebagai seorang

pemeluk agama Islam yang taat dan sejak kecil hidup di luar keraton, Diponegoro

menolak prosesi pernikahan dengan cara keraton. Baginya Keraton sudah tidak

lagi mencerminkan cita-cita rakyatnya. Pendudukan kolonial Belanda dan Inggris

menjadikan keraton hanya sebagai boneka untuk kepentingan Kolonial. Keraton

Yogyakarta pun semakin jauh dari nilai-nilai Islam yang diyakininya. Selain itu,

dengan menikah seperti cara rakyat biasa, Diponegoro ingin membuktikan kepada

rakyat Yogyakarta kalau dia adalah bagian dari mereka.

Ibunda Diponegoro, Raden Ayu Mangkarawati sadar dirinya hanya

seorang selir dari Sultan Raja padahal ia memiliki darah biru dari kerajaan di

Madura. Apabila pernikahan tetap dilangsungkan dengan cara rakyat biasa,

Mangkarawati khawatir garis keturunan darah birunya akan terputus. Berbagai

usaha dilakukan oleh Mangkarawati untuk membujuk Diponegoro menikah sesuai

dengan adat keraton. Mangkarawati meminta bantuan orang-orang terdekat

Diponegoro yaitu Kyai Mojo, Ratu Ageng, dan Ratnaningsih sendiri untuk

membujuk Diponegoro mengikuti keinginannya. Tetapi Diponegoro tidak bisa

dibujuk dan tetap pada pendiriannya.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Pada akhirnya prosesi pernikahan dilakukan dengan cara adat keraton

walaupun tetap dilangsungkan di luar kompleks keraton, yaitu di Tegalrejo.

Diponegoro tidak bisa mengelak pernyataan salah satu ahli budaya dari Bantul

yaitu Ki Projosubroto. Ki Projosubroto menjelaskan bahwa adat rakyat biasa

sebenarnya tidak berbeda dengan adat keraton. Selama ini rakyatlah yang justru

semakin jauh dari adatnya. Lebih lanjut, keraton berfungsi untuk menjadi benteng

adat budaya dengan memelihara prosesi budaya Jawa.

Intrik politik mulai terlihat ketika muncul tokoh yang bernama Danurejo

IV. Danurejo IV adalah patih adipati yang diangkat oleh Raffles pada masa

pendudukan Inggris di Nusantara. Walaupun Danurejo IV diangkat oleh Inggris,

namun perangainya yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh

keuntungan pribadi membuat ia bisa dimanfaatkan oleh siapapun yang

membayarnya.

Seorang barid diutus oleh keraton ke Vredeburg untuk memberikan

undangan kepada Marlborough. Kebetulan saat itu Danurejo IV diutus oleh Van

Rijnst, orang Belanda yang menjadi pegawai Inggris, untuk mencarikan tukang

kerik guna mengobati sakit masuk anginnya Marlborough. Danurejo IV melihat

barid tersebut. Berpura-pura membantu memberikan undangan tersebut kepada

Marlborough, Danurejo IV justru dengan sengaja tidak langsung memberikan

kartu undangan tersebut kepada Marlborough. Ia berencana untuk menunda

memberikan kartu undangan hingga hari pernikahan Diponegoro. Ia sadar orang

Inggris yang dikenal disiplin tidak akan datang apabila undangan diberikan secara
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

mendadak. Dengan begitu, Marlborough akan menganggap keraton

meremehkannya.

Intrik-intrik politik mulai meningkat ketika Muntinghe, orang Belanda

yang merupakan tuan tanah, memiliki rencana jangka panjang untuk membuka

tanah di sebelah Tegalrejo. Rencana tersebut selalu dihalang-halangi oleh Sultan

Raja. Lalu Muntinghe berpikir untuk membunuh Sultan Raja yang terlihat pada

kutipan berikut:

“Bikin Sultan Raja sakit, supaya matinya alami. Cari resepnya dari tukang obat
Cina. Pasti orang Cina punya obatnya. Lalu kalau Sultan Raja mati, bisa direka dulu
untuk sementara hadirnya putra mahkota sebagai Sultan Sepuh Hamengku Buwono IV,
sampai akhirnya Sultan Sepuh bebas dari pembuangan. Kenapa saya ingin Sultan Sepuh
bebas? Dulu dengan pihak kita, dia mengecewakan. Tapi, sekarang, setelah Sultan Raja
naik di bawah kendali Inggris, Sultan Raja lebih tidak baik terhadap kita ketimbang
Sultan Sepuh. Lain dari itu, secara pribadi Sultan Sepuh menjanjikan kepada saya, bisa
mengalihkan tanah di sebelah Tegalrejo itu untuk saya beli. Selama orang Belanda lain
tidak pernah melihat itu.” (Remy, 2008: 121)

Dari kutipan di atas, Belanda yang berkepentingan untuk menguasai tanah

di Yogyakarta melakukan intrik politik dengan cara membunuh Sultan Raja.

Selama ini, Sultan Raja selalu menghalangi keinginan Muntinghe untuk investasi

tanah di Tegalrejo. Selain itu, tanah di Tegalrejo tersebut dikuasai oleh Ratu

Ageng dan Diponegoro adalah pewaris selanjutnya. Dengan kata lain, rencana

Muntinghe ini secara langsung akan menimbulkan konflik dengan Pangeran

Diponegoro.

Sultan Raja diangkat Inggris sebagai Sultan Hamengku Buwono III.

Sebelumnya, Sultan Hamengku Buwono II diturunkan tahtanya oleh Inggris

karena dianggap sebagai kaki tangan Belanda.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Peristiwa sebelumnya adalah pernikahan Diponegoro yang tidak

mengundang Crawfurd. Crawfurd adalah residen Inggris pada saat itu. Hubungan

yang tidak harmonis antara Sultan Raja dengan Crawfurd semakin terlihat. Pada

peristiwa tersebut, justru yang diundang adalah Marlborough walaupun secara

birokrasi berada di bawah Crawfurd. Dengan kata lain, apabila Sultan Raja mati

saat itu, maka pandangan umum yang timbul adalah penguasa Inggris yang

menghendaki kematian itu.

Dalam melaksanakan berbagai intrik politiknya, Belanda selalu

menggunakan orang-orang pribumi yang bisa dibayar dengan uang. Hal ini

terlihat dalam kutipan berikut:

“Bukankah dalam peta tata pemerintahan di Nusantara, yang kita baca dari
catatan-catatan VOC sejak dua ratus tahun lalu, perpanjangan tangan kita adalah
manusia-manusia kelas tikus dan kucing seperti Danurejo IV?” Muntinghe tertawa. Dia
terpuaskan. “Anda Betul,“ katanya (Remy, 2008: 146).

Dalam kutipan di atas, Engelhard berusaha meyakinkan Muntinghe untuk

menggunakan Danurejo IV dalam menjalankan rencananya membunuh Sultan

Raja. Pada akhirnya Danurejo IV berhasil menjalankan rencana tersebut dengan

mempengaruhi Secodiningrat, tokoh pemimpin Cina di Yogyakarta untuk

membuatkankan obat racun. Upah yang besar dari Belanda tidak bisa ditolak baik

oleh Danurejo IV maupun Secodiningrat.

Pengganti Sultan Raja sebagai Hamengku Buwono IV adalah Djarot.

Djarot adalah adik dari Diponegoro. Djarot yang masih berumur sebelas tahun

masih belum matang untuk menjadi seorang raja. Praktis, keraton hanya

dimanfaatkan Belanda dan Danurejo IV untuk kepentingan bisnis mereka.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Kepemimpinan Djarot sebagai Sultan Hamengku Buwono IV hanya

berlangsung sebentar. Djarot dibunuh oleh Danurejo IV atas perintah dari

Belanda. Danurejo IV kembali menggunakan jasa Secodiningrat untuk

membuatkan racun. Djarot meninggal setelah diracun dalam perjalanan

berliburnya di pantai selatan Yogyakarta.

Diponegoro mencurigai bahwa adiknya, Djarot tidak meninggal karena

sakit. Dia menduga kalau Djarot meninggal karena dibunuh oleh Danurejo IV.

Namun demikian, Diponegoro tidak langsung bertindak atas dasar kecurigaannya

tersebut. Ia masih percaya dengan panggilan rohaninya yaitu akan berperang

menyelamatkan Jawa ketika usianya menginjak 40 tahun.

Kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IV segera digantikan oleh

Sultan Menol. Sultan Menol masih berusia 4 tahun. Kali ini Diponegoro mau

mendampingi Sultan Menol sebagai penasihatnya. Di lain pihak, Danurejo IV

juga duduk sebagai penasihat. Hal ini menimbulkan konfrontasi langsung antara

Diponegoro dengan Danurejo IV.

Di lain pihak, kekalahan Inggris dari Napoleon memaksa Inggris untuk

mengembalikan wilayah jajahannya kepada Belanda. Perbedaan sistem antara

kolonial Belanda dengan Inggris membuat situasi Jawa pada waktu itu tidak

menentu. Inggris memaksakan sistem liberal di wilayah jajahannya untuk

menjalankan politik kolonialnya. Sedangkan Belanda menjajajah dengan sistem

pemungutan uang dan hasil rempah-rempah secara langsung.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Kesabaran Diponegoro makin diuji dengan adanya peraturan pemungutan

pajak tanah paksa dari pemimpin Belanda di Batavia, Van Der Capellen.

Diponegoro dilapori beberapa muridnya yang melihat langsung beberapa anak

buah Wironegoro dan Danurejo IV memungut pajak secara paksa kepada rakyat

Yogyakarta. Mendapat laporan seperti itu, Diponegoro mencoba untuk melihatnya

sendiri. Diponegoro segera bertindak dengan memukuli para tukang pemungut

pajak.

Melihat anak buahnya dipukuli oleh Diponegoro, Danurejo IV dan

Wironegoro segera melapor kepada residen Belanda. Beberapa kali Residen

Smissaert mengajak Diponegoro untuk berunding di kantornya yaitu villa Bedoyo.

Danurejo IV berusaha mempengaruhi Smissaert untuk segera menindak tegas

Diponegoro. Keberadaan Diponegoro membuat Danurejo IV tidak bisa leluasa

untuk memperoleh keuntungan dari pemungutan pajak.

Rencana Muntinghe sebelumnya untuk proyek pemotongan jalan di

Tegalrejo akhirnya direalisasikan. Beberapa suruhan Belanda diutus untuk

mematok tanah yang memotong tanah milik Diponegoro. Melihat kejadian

tersebut, Diponegoro langsung meminta anak buahnya untuk melepas kembali

patokan-patokan tanah tersebut. Kejadian tersebut terus berulang sampai

Smissaert tidak bisa menerima tindakan Diponegoro lagi. Akhirnya Smissaert

memutuskan untuk menyerang Puri Tegalrejo dan babakan perang Jawa dimulai

sejak saat itu


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

10

Penulis hanya akan menganilis karya Remy Sylado pada sekuel novel

yang kedua yaitu Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Hal ini

dikarenakan dalam rangka memahami intrik politik yang terjadi sebelum perang

Jawa terjadi, pada sekuel yang kedua inilah intrik-intrik politik yang dilakukan

oleh pihak Belanda, orang-orang pribumi kaki tangan Belanda, maupun Keraton

Yogyakarta sendiri meningkat. Hal ini terjadi karena kepentingan pihak-pihak

tersebut yang ingin memperebutkan dan memanfaatkan kekuasaan yang ada.

Situasi inilah yang mengharuskan Diponegoro untuk mengambil sikap, yaitu

pernyataan perang terhadap kolonial. Dengan kata lain, Diponegoro mulai terlibat

secara langsung dalam situasi politik di Jawa, khususnya daerah Yogyakarta

waktu itu.

Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk menganalisis novel

Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado. Penulis akan

memaparkan intrik politik dalam novel ini yang menyebabkan terjadinya perang

Jawa.

Dalam menganalisis intrik politik novel Pangeran Diponegoro: Menuju

Sosok Khalifah , penulis akan menggunakan pendekatan historis. Menurut Ratna

(2004: 65), pendekatan historis memusatkan perhatian pada masalah bagaimana

hubungannya terhadap karya yang lain, sehingga diketahui kualitas unsur-unsur

kesejarahannya. Pendekatan historis dengan demikian mempertimbangkan

relevansi karya sastra sebagai dokumen sosial. Lebih lanjut, Ratna (2004: 66)

menjelaskan bahwa pendekatan historis pada umumnya dikaitkan dengan


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

11

kompetensi sejarah umum yang dianggap relevan, sastra lama dengan kerajaan-

kerajaan besar, sastra modern dengan gerakan sosial, politik, ekonomi, dan

kebudayaan pada umumnya. Dalam penelitian ini, penulis hanya akan melihat

kedekatan antara novel Pangeran Diponegoro Menuju Sosok Khalifah karya

Remy Sylado dengan beberapa teks sejarah antara lain Kuasa Ramalan :

Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Karya Peter

Carey, Perdjanjian Gianti-Perang Pahlawan Dipanegara karya Soekanto,

Pahlawan Dipanegara Berdjuang: Bara Api Kemerdekaan Tak Kunjung Padam

karya Sagimun MD, dan Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari

emporium Sampai Imperium karya Sartono Kartodirjo.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam

skripsi ini adalah sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimana alur dalam novel Pangeran Diponegoro Menuju Sosok

Khalifah karya Remy Sylado?

1.2.2 Bagaimana situasi politik di Yogyakarta dalam teks sejarah pada

masa pendudukan kolonial Belanda dan Inggris tahun 1811-1825?

1.2.3 Bagaimana intrik politik yang terjadi dalam Novel Pangeran

Diponegoro Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado?


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

12

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1.3.1 Mendeskripsikan alur dalam novel Pangeran Diponegoro Menuju

Sosok Khalifah karya Remy Sylado.

1.3.2 Mendeskripsikan situasi politik di Yogyakarta dalam teks sejarah

pada masa kolonial Inggris dan Belanda tahun 1811-1825.

1.3.3 Menjelaskan intrik politik yang terjadi dalam Novel Pangeran

Diponegoro Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.4.1 Dalam dunia sastra Indonesia, Penelitian ini dapat menambah

wawasan tentang penelitian sastra bercorak historis.

1.4.2 Penelitian ini dapat membantu praktisi sastra dalam memahami

novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy

Sylado.

1.4.3 Penelitian ini dapat menjadi referensi studi sejarah tentang Pangeran

Diponegoro, khususnya intrik-intrik politik yang terjadi sebelum

peristiwa perang Jawa.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

13

1.5 Tinjauan Pustaka

Sejauh pengamatan penulis, Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok

Khalifah karya Remy Sylado belum pernah diteliti sama sekali.

1.6 Landasan Teori

Penulis menggunakan beberapa teori untuk kerangka berpikir. Teori-teori

tersebut adalah teori alur, teori historis sastra, konsep politik, intrik, dan intrik

politik.

1.6.1. Alur

Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa

sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu

cerita. Istilah alur dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita

(Aminuddin, 1991 : 83).

Menurut Nurgiyantoro (2007: 149), tahapan alur dapat dibagi menjadi

lima tahapan, yaitu (1) tahap situation atau tahap penyituasian, (2) tahap

generating circumstances atau tahap pemunculan topik, (3) tahap rising action

atau tahap peningkatan konflik, (4) tahap climax atau tahap klimaks, dan (5) tahap

denouement atau tahap penyelesaian.

Tahap penyituasian adalah tahapan yang berisi pelukisan dan pengenalan

situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembuka cerita,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

14

pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandasi

cerita yang akan dikisahkan pada tahap bertikutnya (Nurgiyantoro, 2007: 149).

Tahap pemunculan konflik adalah tahapan munculnya konflik. Konflik itu

sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap

berikutnya. Tahap peningkatan konflik merupakan tahapan ketika konflik yang

telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan

dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi

inti cerita semakin mencekam dan menegangkan (Nurgiyantoro, 2007: 149).

Tahap klimaks merupakan tahapan ketika konflik yang terjadi mencapai

titik intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih

dari satu klimaks. Tahap penyelesaian adalah tahapan konflik yang telah

memasuki babak penyelesaian atau ketegangan dikendorkan. Dalam tahap ini,

konflik-konflik yang lain atau konflik-konflik tambahan (jika ada) diberi jalan

keluar atau ceritanya diakhiri (Nurgiyantoro, 2007: 150).

1.6.2 Teori Sastra Historis

Karya sastra sebagai simbol verbal mempunyai beberapa peranan di

antaranya sebagai cara pemahaman, cara perhubungan, dan cara penciptaan.

Objek karya sastra adalah realitas, apapun juga yang dimaksud realitas oleh

pengarang. Apabila realitas itu berupa peristiwa sejarah maka karya sastra dapat,

pertama, mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imaginer dengan

maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

15

pengarang. Kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk

menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah.

Dan ketiga, seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan

kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi

pengarang (Kuntowijoyo, 2006:171).

Sesuai dengan perkembangan metode dan teori di satu pihak, usaha untuk

menghindarkan sekat pemisah antar disiplin di pihak lain, masalah-masalah

sosiologi dan sejarah dalam sastra justru menemukan tempat yang subur.

Setidaknya ada tiga masalah yang perlu dikemukakan dalam penelitian dengan

menggunakan pendekatan historis, yaitu (1) relevansi fakta-fakta sejarah, dalam

hal ini berkaitan dengan isi. (2) Homologi unsur-unsur, dalam hal ini berkaitan

dengan struktur. (3) Relevansi proses kreatif dalam hal ini berkaitan dengan

perkembangan genre sastra (Ratna, 2005: 354).

Dalam penelitian ini, penulis akan mengkhususkan pada relevansi fakta-

fakta sejarah Diponegoro dengan novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok

Khalifah karya Remy Sylado. Ratna (2005:356) menjelaskan bahwa keterlibatan

fakta sejarah dapat diidentifikasikan secara jelas, seberapa jauh sebuah karya

mencerminkan sejarah. Hubungan ini dapat dipahami melalui tokoh, kejadian, dan

latar. Nama tokoh, nama tempat, dan tahun-tahun kejadian merupakan unsur-

unsur yang sangat mudah untuk dikaitkan dengan sejarah umum, sisa peninggalan

sejarah, dan sumber-sumber tertulis lain. Oleh karena itu, sastra sejarah bagi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

16

masyarakat lama, novel sejarah bagi masyarakat modern dianggap sebagai

memiliki fungsi-fungsi ganda, fungsi estetis sekaligus dokumen sosial

Keberadaan fakta-fakta sejarah dalam sastra tidak harus memberikan

makna yang sama dengan sejarah. Tujuan karya sastra dengan sejarah jelas

berbeda. Sesuai dengan hakikatnya, tujuan karya seni adalah kualitas estetis,

artinya, apapun yang terkandung di dalamnya difungsikan untuk mencapai tujuan

tersebut. Apabila fakta sejarah memberikan makna sebagai kebenaran yang dapat

dipercaya, sebaliknya karya sastra justru memberikan pertimbangan lain, bahkan

sebaliknya (Ratna, 2005:356)

1.7 Batasan Istilah

1.7.1 Politik

Penulis menggunakan konsep politik dalam rangka memahami intrik

politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy

Sylado.

Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics,

yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα πολιτικά (politika - yang

berhubungan dengan negara) dengan akar katanya πολίτης (polites - warga negara)

dan πόλις (polis - negara kota). Secara etimologi kata ‘politik’ masih berhubungan

dengan polisi, kebijakan. Kata ‘politis’ berarti hal-hal yang berhubungan dengan

politik. Kata ‘politisi’ berarti orang-orang yang menekuni hal politik


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

17

(http://id.wikipedia.org/wiki/Politik#Etimologi). Dalam penelitian ini penulis

menggunakan pengertian politik sebagai kebijakan.

Ramlan Surbakti (1992: 1-2), menjelaskan sejak awal hingga

perkembangan yang terakhir ada sekurang-kurangnya lima pandangan mengenai

politik. Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk

membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal

yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik

sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan

kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan

dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai

konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang

dianggap penting.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan konsep politik yang

ketiga yaitu politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan

mempertahankan kekuasaan dalam rakyat. Hal ini dikarenakan konsep politik ini

digunakan sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam hal

ini direpresentasikan oleh penguasa dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju

Sosok Khalifah. Jadi, konsep politik yang ketiga ini yang paling relevan dalam

memahami intrik politik novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

18

1.7.2 Intrik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Intrik adalah penyebaran kabar

bohong yang sengaja untuk menjatuhkan lawan (KBBI, 2008: 544). Penulis

menggunakan istilah intrik untuk mengidentifikasi segala bentuk penyebaran

kabar bohong yang dilakukan tokoh-tokoh dalam novel Pangeran Diponegoro:

Menuju Sosok Khalifah untuk menjatuhkan lawan politiknya masing-masing.

1.7.3 Intrik Politik

Politik adalah segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan

mempertahankan kekuasaan dalam rakyat (Surbakti, 1992: 2). Intrik adalah

penyebaran kabar bohong yang sengaja untuk menjatuhkan lawan (KBBI, 2008:

4). Dalam penelitian ini, penulis menggabungkan istilah intrik dan politik sebagai

batasan istilah intrik politik yaitu usaha penyebaran kabar bohong yang sengaja

untuk menjatuhkan lawan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam

rakyat.

1.8. Pendekatan

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan

historis. Penelitian dengan menggunakan pendekatan ini berdasarkan sejarahnya

dan dibedakan dengan sejarah sastra, sastra sejarah, dan novel sejarah. Hal ini

dikarenakan penelitian sastra dengan menggunakan pedekatan historis tidak bisa

lepas dari fakta-fakta sejarah.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

19

Diawali dengan melakukan analisis struktural terhadap novel Pangeran

Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado untuk membongkar dan

memaparkan secermat, seteliti dan mendalam mungkin keterkaitan dan

keterjalinan semua analisis dan aspek karya sastra yang sama-sama menghasilkan

makna menyeluruh. Langkah selanjutnya adalah melihat teks sejarah yang

berkaitan dengan situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825. Setelah itu.

penulis memfokuskan pada peristiwa-peristiwa yang menghadirkan intrik politik

dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Langkah terakhir

adalah menarik relevansi antara intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro:

Menuju Sosok Khalifah dengan situasi politik di Yogyakarta tahun 1811-1825

dalam beberapa teks sejarah seperti Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan

Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Karya Peter Carey, Perdjanjian Gianti-

Perang Pahlawan Dipanegara karya Soekanto, Pahlawan Dipanegara

Berdjuang: Bara Api Kemerdekaan Tak Kunjung Padam karya Sagimun MD, dan

Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari emporium Sampai Imperium

karya Sartono Kartodirjo.

1.9 Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi

sasaran ilmu yang bersangkutan. Suatu metode yang dipilih dengan

mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek yang bersangkutan (Yudiono,

1986: 14).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

20

Metode penelitian meliputi metode pengumpulan data, metode analisis

data, dan metode penyajian hasil analisis data seperti berikut.

1.9.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode

studi pustaka. Studi pustaka adalah studi yang mengambil objek penelitiannya

dari kepustakaan. Dalam bidang ilmu sastra, sebuah novel, sebuah drama,

sekumpulan puisi atau cerpen, babad, geguritan, tradisi lisan, dan sebagainya

dianggap valid sebagai objek, baik untuk menyusun makalah, skripsi, tesis, dan

disertasi ( Ratna, 2004:17). Metode tersebut dipakai untuk mendapatkan data yang

ada, yaitu isi novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy

Sylado, buku-buku referensi, dan artikel atau tulisan-tulisan yang berkaitan

dengan objek tersebut.

Dalam metode ini juga digunakan teknik simak dan teknik catat. Teknik

simak adalah teknik penyediaan data dengan menyimak penggunaan bahasa.

Teknik catat adalah teknik menyediakan data dengan mencatat hasil penyimakan

data pada kartu data (Sudaryanto, 1993: 133-135). Dalam penelitian ini, objek

bahasa yang dimaksud oleh Sudaryanto dapat diisi oleh objek penelitian apa pun,

termasuk karya sastra. Teknik simak digunakan untuk menyimak teks sastra dan

teks sejarah yang telah dipilih sebagai bahan penelitian. Teknik catat digunakan

untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan mendukung penulis dalam
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

21

memecahkan rumusan masalah. Teknik catat merupakan tindak lanjut dari teknik

simak.

1.9.2 Metode Analisis Data

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi metode

analisis, deskripsi, perbandingan, dan klasifikasi data. Metode analisis digunakan

untuk menganalisis unsur alur dan intrik politik dalam novel Pangeran

Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado. Metode analisis isi

adalah metode yang digunakan untuk mengkaji isi dari suatu hal. Isi tersebut yang

menjadi objek prioritas yang akan dianalisis, misalnya, karya sastra, maka yang

akan dianalisis adalah isi karya tersebut secara utuh dan pesan-pesan yang ada

dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra (Ratna, 2004:48)

Isi dalam metode analisis ini terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi

komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen atau naskah,

sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat

komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi sebagaimana dimaksudkan oleh

penulis, sedangkan isi komunikasi adalah isi sebagaimana terwujud dalam

hubungan naskah dengan konsumen (Ratna, 2004: 48). Analisis isi laten akan

menghadirkan arti, sedangkan analisis isi komunikasi akan melahirkan makna.

Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan situasi politik yang

terjadi di Yogyakarta tahun 1811-1825. Metode deskriptif adalah penelitian yang

ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

22

alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk,

aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara

fenomena yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata, 2006:72).

Metode perbandingan digunakan oleh peneliti untuk mengkomparasi novel

Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado dengan

beberapa teks sejarah seperti Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir

Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Karya Peter Carey, Perdjanjian Gianti-

Perang Pahlawan Dipanegara karya Soekanto, Pahlawan Dipanegara

Berdjuang: Bara Api Kemerdekaan Tak Kunjung Padam karya Sagimun MD, dan

Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari emporium Sampai Imperium

karya Sartono Kartodirjo. Metode perbandingan di sini terbatas pada pengertian

metode perbandingan dalam hubungan intertekstual antara dua karya sastra yang

saling menunjukkan persamaan. Prinsip metode perbandingan ini ialah persamaan

antara karya sastra satu dengan karya sastra yang lain. Persamaan ini dapat berupa

struktur, unsur pembentuk strukturnya, gaya bahasa, dan sebagainya.(Pradopo,

2002: 22)

Setelah menganalisis isi alur Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok

Khalifah, penulis mengklasifikasikan hasil analisis data. Metode klasifikasi adalah

metode yang menggunakan pengelompokan data untuk memperjelas hasil analisis

data. Klasifikasi mendasarkan pengelompokannya pada data-data yang memiliki

cirri penting (keraf, 1982:35). Penulis mengklasifikasikan intrik politik yang

terjadi dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

23

1.9.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Pasca menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif untuk

menyajikan hasil analisis data. Metode deskriptif adalah suatu bentuk penelitian

yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik

fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa

bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan

antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata, 2006:72).

Metode deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan

menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat

yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat yang terjadi, atau

tentang kecendrungan yang tengah berlangsung.

1.10 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1.10.1 Sumber Data Primer

Judul Buku : Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah

Pengarang : Remy Sylado

Tahun Terbit : 2008

Penerbit : Tiga Serangkai

Halaman : 435 halaman


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

24

1.10.2 Sumber Data Sekunder

Judul Buku : Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir

Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 jilid II

Pengarang : Peter Carey

Tahun Terbit : 2012

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama

dengan KITLV

Halaman : 507 Halaman

1.11 Sistematika Penyajian

Untuk mempermudah pemahaman terhadap proses dan hasil penelitian ini,

dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini

dapat dirinci sebagai berikut. Bab satu merupakan pendahuluan yang berisi latar

balakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, landasan teori, pendekatan, metode penelitian, teknik

pengumpulan data, sumber data, dan sistematika penyajian. Bab dua merupakan

analisis struktur alur dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah

karya Remy Sylado. Bab tiga merupakan deskripsi mengenai situasi politik di

Yogyakarta dalam teks sejarah pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan

Inggris tahun 1811-1825. Bab empat merupakan analisis tentang intrik politik

yang terjadi dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya

Remy Sylado. Bab lima merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

25

BAB II

ANALISIS ALUR

NOVEL PANGERAN DIPONEGORO: MENUJU SOSOK KHALIFAH

KARYA REMY SYLADO

Dalam upaya melakukan penelitian yang menggunakan pendekatan

historis, maka penulis terlebih dahulu melakukan analisis struktural atau analisis

unsur intrinsik. Penulis memfokuskan analisis struktur hanya pada analisis alur

yang ada dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, karena alur

ceritalah yang sangat potensial menggambarkan intrik politik yang terjadi dalam

novel ini.

Penulis menganalisis alur dengan menitikberatkan pada peristiwa-

peristiwa penting dalam urutan waktu yang membentuk alur novel Pangeran

Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Tahapan alur yang digunakan penulis

adalah lima tahapan alur menurut Nurgiyantoro. Nurgiyantoro membagi tahapan

tersebut menjadi tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap

peningkatan konflik, tahap klimaks, dan tahap penyelesaian (Nurgiyantoro, 2007:

149). Analisis alur novel ini akan diuraikan sebagai berikut.

2.1 Tahap Situation/ Penyituasian

Tahap penyituasian adalah tahap awal dalam novel Pangeran Diponegoro:

Menuju Sosok Khalifah. Tahap penyituasian dalam novel ini berisi pengenalan

25
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

26

tokoh-tokoh cerita. Tahap ini juga menjadi pembuka cerita, pemberian informasi

awal cerita yang melandasi cerita yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya.

Tahap penyituasian dalam novel ini adalah sebagai berikut.

Dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, subjudul

dimulai dengan nomor tiga puluh satu. Subjudul nomor satu hingga tiga puluh

diceritakan pada novel sequel yang pertama yaitu Pangeran Diponegoro:

Menggagas Ratu Adil.

Pada subjudul nomor tiga puluh, alur dimulai dengan pengenalan tokoh

bernama Bendara Raden Ayu Ratnaningsih. Ratnaningsih digambarkan sebagai

wanita cantik berkulit langsat, bertubuh singset, dan berpenampilan luwes (Hlm.1-

2).

Pengenalan tokoh Raden Ayu Ratnaningsih beranjak ke pembuka cerita

yaitu peristiwa pertemuan antara Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran

Diponegoro di Keraton Yogyakarta. Kedatangan Pangeran Diponegoro ke keraton

dalam rangka silaturahmi pada hari Lebaran. Dalam peristiwa pertemuan tersebut

dipaparkan juga tokoh bernama Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi

adalah paman Pangeran Diponegoro yang berperan sebagai tokoh yang

mempertemukan Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran Diponegoro. (Hlm.

11)

Pertemuan antara Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran Diponegoro

membuat mereka saling jatuh cinta. Hal ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

(1) “Namamu Ratnaningsih?” tanya Pangeran Diponegoro agak


tersendat.“Ya, “ jawab Ratnaningsih agak kagok.“Oh,” kata Pangeran
Diponegoro tertular kagok. Sekonyong terasa ada sesuatu yang terjadi di
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

27

lubuk hatinya, suatu kembaran pengalaman batin yang misterius, yang


belum pernah dirasakannya sampai sepanjang usianya yang sekarang.
(Hlm. 12)

Pembuka cerita berlanjut dengan pemunculan tokoh Ratu Ageng. Ratu

Ageng adalah istri Sultan Hamengku Buwono I. Ia juga merupakan nenek buyut

Pangeran Diponegoro. Ratu Ageng adalah orang yang mengasuh Pangeran

Diponegoro sejak kecil di Puri Tegalrejo.

Ratu Ageng melihat pertemuan Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran

Diponegoro. Ratu Ageng melihat bahwa Pangeran Diponegoro jatuh cinta

terhadap Raden Ayu Ratnaningsih. Ratu Ageng segera meminta keduanya untuk

menentukan tanggal pernikahan. (Hlm. 13)

Tahap penyituasian mulai mengarah pada sikap tokoh Pangeran

Diponegoro. Terjadi konflik kecil dalam penentuan pernikahan Pangeran

Diponegoro. Pangeran Diponegoro merasa tidak suka melangsungkan

pernikahannya menurut istiadat keraton. Di lain pihak, ibunda Pangeran

Diponegoro, Raden Ajeng Mangkarawati menginginkan anaknya menikah

menurut istiadat keraton. (Hlm. 16)

Latar bergerak menuju ke Puri Tegalrejo, kediaman Ratu Ageng dan

Pangeran Diponegoro. Dengan sikapnya yang melawan adat keraton, Pangeran

Diponegoro berkata kepada Nenek Buyutnya, Ratu Ageng.

(2) “Maaf, Nek, “kata Pangeran Diponegoro lagi. “Siapa berani menyalahkan pilihan
Nenek meninggalkan kraton dan hidup di luar kraton, di Tegalrejo ini? Nenek sendiri
sudah melakukan perlawanan terhadap leluri keraton. Dan aku bangga pada Nenek.”
Biarlah aku memilih jalanku menjadi seorang rakyat biasa di antara rakyat-rakyat
jelata. Darah biruku toh tidak menjamin aku masuk surga. Tapi, kalau berada di
tengah rakyat, dan berjuang bagi mereka, aku yakin Tuhan akan mencatatku, sebab
seperti pepatah asing yang boleh diserap kebenarannya, adalah, suara rakyat
merupakan suara Tuhan.” (Hlm. 17)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

28

Sebagai tokoh protagonis dalam Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok

Khalifah, Pangeran Diponegoro lebih memilih untuk terikat pada adat bangsanya

yaitu bangsa Jawa dan rakyatnya. Pangeran Diponegoro tidak setuju jika harus

terikat pada adat keturunan darah birunya yaitu sebagai anak tertua dari selir

Hamengku Buwono III. (Hlm. 17)

Latar bergerak ke rumah Raden Ayu Ratnaningsih. Ibunda Pangeran

Diponegoro, Raden Ajeng Mangkarawati, Pangeran Bei, dan Pangeran

Mangkubumi berkunjung ke rumah Ratnaningsih. Kedatangan ibu dan paman dari

Pangeran Diponegoro tersebut bertujuan untuk membujuk Ratnaningsih supaya

Pangeran Diponegoro mau menikah menurut adat keraton. Pangeran Bei

berpendapat bahwa keponakannya yang sama-sama mereka percayakan

harapannya untuk menjadi pemimpin rakyat tidak ada artinya jika tidak

menunjukkan asalnya dari darah seorang pemimpin. Ratnaningsih menuruti

perintah Raden Ajeng Mangkarawati, Pangeran Bei, dan Pangeran Mangkubumi

untuk mencoba membujuk Pangeran Diponegoro agar mau menikah dengan adat

keraton.(Hlm. 18-19)

Ratnaningsih mencoba membujuk Pangeran Diponegoro untuk menikah

menurut adat keraton. Namun, Pangeran Diponegoro tetap pada pendiriannya.

Pangeran Diponegoro merasa telah memberikan alasan kepada nenek buyutnya

yang notabene adalah orang yang mengasuhnya sejak kecil dan paling mengerti

dirinya. Ratnaningsih tidak kecewa karena sikapnya yang menurut terhadap

Pangeran Diponegoro.(Hlm. 21)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

29

Pada Subbab nomor tiga puluh satu, penyituasian bergerak pada sikap

Raden Ajeng Mangkarawati. Raden Ajeng Mangkarawati mencari segala cara

untuk membujuk anaknya supaya menikah dengan adat keraton. Mangkarawati

tidak mungkin menyampaikan kegundahan tersebut pada suaminya, Sultan

Hamengku Buwono III. Raden Ajeng Mangkarawati masih ingat bahwa suaminya

yang baru saja naik tahta menjadi sultan karena rekayasa Raffless bahkan pernah

ditolak Pangeran Diponegoro ketika ditawari jabatan di keraton. Satu-satunya

harapannya adalah Atibroto Darmokusolo di desa Mojo, Surakarta yang lebih

dikenal dengan sebutan Kiai Mojo. Tokoh ini cukup dihormati oleh Pangeran

Diponegoro. Mangkarawati berharap dengan bantuan Kiai Mojo, Pangeran

Diponegoro mau mengubah pendiriannya.(Hlm. 23-24)

Kiai Mojo diundang Raden Ajeng Mangkarawati ke Tegalrejo untuk

membahas pernikahan Pangeran Diponegoro. Sebelumnya, Kiai Mojo sudah

diminta bantuan oleh Raden Ajeng Mangkarawati untuk membujuk Pangeran

Diponegoro supaya mau mengubah pendiriannya. Dalam rapat di Tegalrejo

tersebut, Kiai Mojo gagal membujuk Pangeran Diponegoro untuk melangsungkan

pernikahan sesuai adat keraton. Peristiwa tersebut membuat Kiai Mojo berpikir

apa yang terjadi sehingga Pangeran Diponegoro bersikeras dengan sikapnya.

Ketika rapat tersebut selesai dan ia pulang ke desa Mojo, Kiai Mojo berbicara

sendiri di atas kudanya,

(3) Sementara di dalam pikiran Kiai Mojo, terus timbul pertanyaan, mengapa Pangeran
Diponegoro demikian berkeras. Apakah kekecewaan Pangeran Diponegoro menjadi
kebencian?Dia tahu, Pangeran Diponegoro telah berkali-kali mengatakan keadaan
keraton sedang berubah menjadi sarang penyamun. Hampir saban pekan orang-
orang di keraton bermabuk-mabuk minuman keras. Mereka telah menjadi pribadi-
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

30

pribadi Jawa yang pecah: meniru ha-hal lahir bangsa Barat yang kafir, dan mengira
itu pantas, padahal keadaan rohani mereka tidak laras. ”pasti itu masalahnya”, Kata
Kiai Mojo Bercakap sendiri di atas kudanya. Dia pun ingat bahwa gara-gara keadaan
susila dan akhlak orang-orang di kraton sudah demikian kedodoran-dalam mana
sultan sendiri tidak sanggup menjadi contoh yang baik- menyebabkan Ratu Ageng
dulu menyingkir dari kraton dan membangun puri di Tegalrejo. (Hlm. 34)

Pada subbab tiga puluh dua, Pangeran Diponegoro memenuhi undangan

Kiai Mojo untuk berkunjung ke Surakarta. Pangeran Diponegoro sampai ke

Surakarta pada siang hari. Sambil makan durian, Pangeran Diponegoro berdiskusi

dengan Kiai Mojo dan para santrinya di pendopo Kiai Mojo. Mereka

mendiskusikan tentang politik penjajahan Inggris yang tengah berkuasa di

Batavia, kebaikan dan keburukan raja-raja Jawa: Paku Buwono IV di

Surakarta dan Hamengku Buwono III di Yogyakarta, roda bisnis orang-orang

Cina, dan rakyat jelata yang makin susah tak bisa makan dan berpenyakit cacar.

(Hlm. 43)

Baru pada malam harinya, Kiai Mojo menyampaikan maksudnya

mengundang Pangeran Diponegoro ke Surakarta. Kiai Mojo menceritakan bahwa

ibunda Pangeran Diponegoro pernah menangis di pendoponya karena pendirian

Pangeran Diponegoro yang hanya mau menikah dengan adat rakyat biasa.

Pangeran Diponegoro merasa sudah berkata pada nenek buyutnya bahwa ia harus

membuktikan kalau ia bagian dari rakyat. Kiai Mojo memberikan saran kepada

Pangeran Diponegoro untuk mengatakan apa yang pernah ia katakan kepada

nenek buyutnya itu. (Hlm. 45-46)

Perdebatan mengenai tata cara pernikahan Pangeran Diponegoro berakhir

pada subbab nomor tiga puluh tiga dengan munculnya seorang tokoh bernama Ki

Pujosubroto. Ki Pujosubroto adalah ahli budaya yang sangat mahir dari Bantul.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

31

Pada awalnya ia diundang ke Tegalrejo untuk menjelaskan tata cara pernikahan

sesuai adat rakyat biasa karena reputasinya sebagai ahli budaya. Namun Ki

Pujosubroto menjelaskan bahwa adat perkawinan Jawa yang benar harus terikat

pada tata cara yang diterapkan keraton. Lebih lanjut, Ki Pujosubroto menjelaskan

bahwa keratonlah yang menjadi benteng budaya Jawa termasuk tata cara

pernikahan sejak Mataram Buddha sampai Mataram Islam. Dia juga menjelaskan

bahwa justru rakyat Jawa yang mengindahkan adat istiadat tersebut. Pangeran

Diponegoro tidak bisa membantah penjelasan Ki Pujosubroto. Setelah itu, Ki

Pujosubroto menjelaskan tata cara pernikahan adat Jawa secara rinci dari kitab

yang ia bawa di depan Pangeran Diponegoro, Ratu Ageng, Raden Ajeng

Mangkarawati, dan paman-pamannya yaitu Pangeran Bei dan Pangeran

Mangkubumi. (Hlm. 49-52)

Setelah semuanya sepakat, maka persiapan lain segera diputuskan. Salah

satunya adalah pemilihan tempat yang diputuskan oleh Ratu Ageng. Ratu Ageng

memilih Puri Tegalrejo sebagai tempat pernikahan Pangeran Diponegoro. Bagi

Ratu Ageng, Pangeran Diponegoro besar di Tegalrejo, maka pesta pernikahannya

juga harus dilangsungkan di Tegalrejo. (Hlm. 59)

Pada tahap penyituasian ini, terlihat sikap Pangeran Diponegoro sebagai

tokoh protagonis. Sikapnya menggambarkan sebagai calon pemimpin rakyat kecil

yang menolak segala bentuk penjajahan. Bahkan ia juga berani menentang tradisi

keraton yang dianggapnya sebagai kaki tangan penjajah.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

32

Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy

Sylado merupakan sekuel kedua dari novel sebelumnya yang berjudul Pangeran

Diponegoro: Menggagas Ratu Adil. Oleh sebab itu tahap penyituasian dalam

novel ini tidak memuat gambaran pelukisan, pengenalan situasi latar, dan

pengenalan tokoh secara terinci.

2.2 Tahap Generating Circumtances/Tahap Pemunculan Konflik

Tahap ini merupakan tahap ketika konflik awal mulai dimunculkan.

Masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai

dimunculkan. Konflik akan berkembang menjadi konflik pada tahap yang

berikutnya (Nurgiyantoro, 2007: 149).

Pemunculan konflik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok

Khalifah mulai terlihat pada saat Pangeran Diponegoro mencoba melawan adat

keraton dalam upacara pernikahan yang mulai direncanakannya. Masalah

mengenai penentuan prosesi perkawinan Pangeran Diponegoro menggambarkan

sikapnya yang membenci akhlak yang tidak baik akibat pengaruh dari penjajahan

kolonial Inggris dan Belanda sebelumnya. (Hlm. 16)

Setelah masalah-masalah mengenai penentuan prosesi perkawinan

Pangeran Diponegoro dan Raden Ayu Ratnaningsih berakhir pada subbab tiga

puluh tiga, muncul peristiwa lainnya yang memunculkan konflik-konflik baru.

Pada subbab nomor tiga puluh empat, muncul tokoh baru yang bernama Danurejo

IV. Danurejo IV adalah tokoh antagonis yang berperan sebagai patih setelah
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

33

diangkat oleh Gubernur Jenderal Inggris, Raffles. Danurejo IV digambarkan

sebagai sosok yang tidak karuan, perangainya angkuh, dan congkak. (Hlm. 61)

Kemunculan Danurejo IV menyebabkan terciptanya konflik-konflik baru

pada peristiwa-peristiwa berikutnya. Pemunculan konflik dimulai dengan intrik

yang dilakukan Danurejo IV. Danurejo IV memanfaatkan pesta pernikahan

Pangeran Diponegoro.

Danurejo IV mendapat undangan dari Tegalrejo dalam rangka pernikahan

Pangeran Diponegoro. Pada awalnya, ia tidak begitu peduli dan hanya mengingat

bahwa yang akan menikah itu adalah putra sulung Sultan Raja atau Sultan

Hamengku Buwono III dari anaknya yang mencapai tiga puluh dua orang. Namun

saat ia pergi ke Vredeburg, Danurejo IV bertemu dengan tokoh yang bernama Van

Rijnst. Van Rijnst adalah tokoh orang Belanda yang sekarang bekerja untuk

Inggris setelah Nusantara dikuasai oleh Inggris. Danurejo IV memberitahu kepada

Van Rijnst tentang pernikahan salah satu anak Sultan Hamengku Buwono III,

Pangeran Diponegoro. (Hlm. 61-62)

Danurejo IV menghasut Van Rijnst dengan memanfaatkan pernikahan

Pangeran Diponegoro. Danurejo IV memanfaatkan ketidaktahuan Van Rijnst

tentang pernikahan tersebut untuk menghasut pihak Inggris. Danurejo IV

mengatakan bahwa Sultan Hamengku Buwono III keterlaluan karena pejabat

tertinggi Inggris di Yogyakarta, yaitu tokoh yang bernama Residen Crawfurd

belum tahu bahwa Sultan Hamengku Buwono III mau mantu. Ia juga menghasut

Van Rijnst bahwa peran Inggris lewat Raffles yang sudah mengangkat Sultan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

34

Hamengku Buwono III setelah menurunkan Sultan Sepuh sebagai Sultan

Hamengku Buwono II, dilecehkan karena ketidaktahuan pihak Inggris tentang

pernikahan anak Sultan Hamengku Buwono III tersebut. Selain itu, Danurejo IV

juga menitikberatkan pembicaraan tentang pernikahan tersebut pada tempat

perhelatannya yang dilaksanakan di luar keraton yaitu di Puri Tegalrejo. (Hlm.

62)

Dialog antara Van Rijnst dengan Danurejo IV di Vredeburg itu membuat

Van Rijnst berpikir untuk memanfaatkan situasi tersebut. Van Rijnst ingin

menghasut Crawfurd untuk memperoleh keuntungan pribadinya sebagai orang

Belanda. Dalam pikirannya ia berbicara sendiri.

(4) “Ada hal ganjil di balik perhelatan putra Sultan Raja di Puri Tegalrejo dan bukan
Keraton Yogyakarta.” Maunya, dengan membahas itu kepada Marlborough, tak usah
Crawfurd, dia bisa pengaruhi kebijakan Inggris yang kepalang sudah menaikkan
Sultan Raja di Takhtanya. Sementara dalam amatannya selama ini Sultan Sepuh
sebagai Hamengku Buwono II yang sudah digeser oleh Raffles itu, lebih mudah
dikendalikan oleh Belanda. (Hlm. 64)

Namun Crawfurd dalam pandangan Van Rijnst bukanlah orang yang

mudah dihasut. Tokoh ini digambarkan sebagai residen yang berpenampilan

serius khas orang Inggris. Usianya 29 tahun. Ia menjabat sebagai residen

Yogyakarta pada periode 1811-1814 dan kemudian pada periode Januari 1816

sampai Agustus 1816. Keseriusannya tersebut membuatnya terkesan sebagai

orang yang kaku. Selain itu, ia juga terkesan tak acuh kepada orang lain dan lebih

sering duduk di meja kerjanya untuk menulis naskah History of the East Indian

Archipelago. (Hlm. 71)

Van Rijnst kemudian mencoba untuk menghasut Marlborough.

Marlborough adalah pejabat Inggris yang dinilai oleh Ratu Ageng sebagai satu-
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

35

satunya orang asing yang menunjukkan perhatiannya pada pribumi. Namun

Marlborough saat itu sedang mengidap penyakit salesma. Timbul niat Van Rijnst

untuk datang ke ruang kerja Marlborough menawarkan pengobatan tradisional

Jawa yaitu mengerik-kerikkan uang sen ke kulit badan. Hal ini dilakukannya agar

bisa mendekati Marlborough. Akhirnya Marlborough menyuruh Van Rijnst untuk

meminta Danurejo IV mencarikan tukang kerik. (Hlm. 65)

Latar bergerak ke Tegalrejo. Di lain pihak, tiga hari sebelum perhelatan di

Tegalrejo, Ratu Ageng memutuskan untuk mengundang pihak Inggris untuk

datang ke acara pernikahan Pangeran Diponegoro. Orang yang diundang adalah

Marlborough. (Hlm. 67)

Karena peristiwa sebelumnya yaitu Van Rijnst menyuruh Danurejo IV

untuk mencarikan tukang kerik, maka timbul niat-niat licik Danurejo IV.

Peristiwa tersebut adalah ketika Danurejo IV datang ke Vredeburg dengan

membawa seorang tukang kerik. Kedatangan Danurejo IV kebetulan bersamaan

dengan seorang utusan dai Puri Tegalrejo yang membawa undangan pernikahan

Pangeran Diponegoro untuk Marlborough. Dengan Licik, Danurejo IV meminta

undangan tersebut dan kemudian mengatakan kepada utusan Tegalrejo dan

penjaga pos di depan Vredeburg bahwa ia akan menyerahkan undangannya

kepada Marlborough. Namun, undangan tersebut sengaja ditunda diberikannya

selama tiga hari. Ia berharap bahwa orang Inggris yang terkenal disiplin seperti

Marlborough tidak akan datang karena undangan yang mendadak. Dengan

demikian, Danurejo IV berharap bisa membuat keruh hubungan Inggris dan


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

36

Keraton Yogyakarta. Tujuan utama Danurejo IV sebenarnya terlihat dalam

kutipan berikut

(5) Di luar itu, tujuannya yang utama adalah kepercayaan pihak Inggris akan semakin
besar, dan jangkauan laba yang diraihnya dalam mengatur bisnis orang Cina akan
semakin luas juga. Yang dia dambakan, jika Inggris menaruh rasa percaya
kepadanya, dan namanya menjadi harum di mata penguasa tertinggi di Batavia yang
beberapa waktu lalu menganugerahkannya sebagai patih, maka peta bisnis Cina yang
bisa dipegangnya adalah seluruh bekas wilayah Mataram sebelum Perjanjian Giyanti:
mulai dari Indramayu di barat sampai Blambangan di timur, termasuk Madura. (Hlm.
70)

Pada Subbab nomor tiga puluh lima, latar bergerak ke Puri Tegalrejo. Tiga

hari sudah berlalu setelah Danurejo IV mengambil undangan pernikahan Pangeran

Diponegoro milik Marlborough. Hari ini adalah hari pernikahan Pangeran

Diponegoro dan Raden Ayu Ratnaningsih. Keterangan Ki Pujosubroto tentang

seluk beluk adat dilaksanakan dengan semestinya. (Hlm. 75)

Di sisi lain, pada subbab nomor tiga puluh enam, Danurejo IV

melaksanakan intrik yang ia telah rencanakan sebelumnya. Sebelum berangkat ke

pernikahan Pangeran Diponegoro di Puri Tegalrejo, Danurejo IV singgah dulu ke

Vredeburg. Seperti yang sudah ia rencanakan tiga hari sebelumnya, Danurejo IV

baru memberikan undangan pernikahan Pangeran Diponegoro pada hari ini

kepada Marlborough. Danurejo IV berhasil membuat Marlborough tidak datang

ke pesta pernikahan Pangeran Diponegoro karena alasan undangan yang

mendadak. (Hlm. 89-90)

Pada saat yang bersamaan ketika Danurejo IV keluar dari ruang

Marlborough, Van Rijnst juga datang ke Vredeburg untuk menemui Marlborogh.

Mereka berdua berpas-pasan. Van Rijnst melihat wajah Danurejo IV yang

gembira. Kedatangan Van Rijnst dalam rangka undangan dari Marlborough yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

37

ingin berterimakasih terhadap Van Rijnst karena sarannya menggunakan

pengobatan kerik berhasil. Dalam pertemuan tersebut, Van Rijnst menanyakan

kepada Marlborough perihal kedatangan Danurejo IV sebelumnya yang terlihat

gembira. Pertanyaan itu yang menyebabkan Danurejo IV ketahuan berbohong

kalau undangan pernikahan Pangeran Diponegoro diberikan baru hari ini.

Marlborough menjelaskan bahwa Danurejo IV datang ke kantornya untuk

memberikan undangan pernikahan tersebut. Ternyata Van Rijnst mengetahui

bahwa undangan tersebut telah diberikan kepada pos penjaga Vredeburg tiga hari

sebelumnya. (Hlm. 93-94)

Latar kembali ke Tegalrejo. Danurejo IV yang baru saja singgah ke

Vredeburg, telah sampai ke Tegalrejo untuk menghadiri acara pernikahan

Pangeran Diponegoro. Di tengah-tengah pesta pernikahan, Danurejo IV juga

menghasut Pangeran Mangkubumi. Danurejo IV mengaku bahwa sebelum ke

acara ini, ia sempat singgah ke Vredeburg untuk menjemput Marlborough, tetapi

yang bersangkutan tidak mau. (Hlm. 95)

Setelah peristiwa pernikahan Pangeran Diponegoro, latar bergerak kembali

ke Vredeburg. Marlborough memanggil Danurejo IV yang kecewa dengan

perbuatan Danurejo IV yang membohonginya. Dalam peristiwa tersebut,

Danurejo IV berhasil lolos dari kemarahan Marlborough karena kemampuan

berkelitnya yang hebat. Kendati demikian, peristiwa itu membuat Marlborough

tidak lagi percaya terhadap Danurejo IV.(Hlm. 99)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

38

Pada subbab nomor tiga puluh tujuh, alur bergerak ke Batavia. Setting

waktunya adalah bulan Desember 1812. Marlborough datang ke Batavia untuk

merayakan pesta pergantian tahun bersama Raffles dan pejabat Inggris lainnya di

Batavia. Sebelum berangkat ke Batavia, Marlborough ternyata menyimpan rasa

penasaran terhadap peristiwa pernikahan Pangeran Diponegoro yang

dilangsungkan bukan di kompleks keraton. Marlborough menyimpulkan bahwa

seakan-akan Sultan Hamengku Buwono III mengalah untuk meninggalkan

keraton guna mendatangi pesta pernikahan tersebut demi Pangeran Diponegoro.

(Hlm. 101-102)

Pesta pergantian tahun tersebut sempat dinodai oleh peristiwa

tenggelamnya kapal Inggris Phoenix yang membuat kapten kapal tersebut, James

Bowen Esq meninggal sepekan sebelum tahun baru. Kapal tersebut karam setelah

kalah dalam pertempuran dengan Pangeran Anom di Sambas, utara Pontianak.

Seluruh pejabat Inggris di Batavia mengenakan pakaian hitam untuk menghadiri

peletakan nisan James Bowen Esq. Peristiwa tersebut membuat Raffles tertekan

karena memerintahkan James Bowen Esq untuk menyerang Pangeran Anom di

Sambas tanpa konsultasi dengan komando militer. (Hlm. 103)

Marlborough yang sedang berada di Batavia hadir di acara berkabung

tersebut. Di sela-sela acara, Raffles mengundang Marlborough untuk berbincang-

bincang mengenai keadaan di Yogyakarta pada malam harinya. Meskipun

mendapat tekanan, Raffles masih tetap bersemangat untuk melanjutkan penulisan


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

39

bukunya History of Java walaupun dalam posisi yang tertekan seperti sekarang.

(Hlm. 103)

Peristiwa selanjutnya adalah perbincangan antara Raffles dan Marlborough

tentang Yogyakarta pada malam hari. Raffles meminta Marlborough untuk

menceritakan hal-hal menarik yang terjadi di Yogyakarta, kecuali hal-hal yang

bersangkutan dengan Crawfurd. Raffles memang tidak begitu menyukai

Crawfurd. Marlborough yang sebelum datang ke Batavia masih penasaran dengan

peristiwa pernikahan Pangeran Diponegoro, menceritakan kejadian tersebut

kepada Raffles. Marlborough menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut merupakan

isyarat kekuatan kharisma Pangeran Diponegoro sampai-sampai membuat

ayahnya yang raja itu datang ke tempat yang ia pilih untuk pestanya. Raffles

tertarik dengan cerita Marlborough tersebut. Raffles meminta Marlborough untuk

mencatat apa saja yang dianggap perlu untuk penyusunan bukunya. Dalam

perbincangan tersebut, Raffles juga memberitahu kepada Marlborough tentang

rencana-rencananya mengelola Nusantara.

(6) Hal istimewa yang menjadi perhatian saya, dan itu akan saya wujudkan dalam
tindakan, adalah pada tahun depan ini saya akan mengeluarkan peraturan tentang
pelarangan melakukan praktik jual-beli budak. (Hlm.106)

Selain itu, Raffles juga menyampaikan pandangannya tentang Belanda.

Menurutnya, Belanda sudah melakukan kejahatan buruk yaitu perbudakan.

Raffles digambarkan sebagai tokoh yang sangat membenci Belanda. (Hlm.106-

107)

Pada siang harinya, Marlborough yang ternyata sangat dipercayai oleh

Raffles diundang kembali ke kantor Raffles untuk melakukan pembicaraan yang


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

40

disebutnya rahasia. Bersama dengan Trowt, tokoh yang juga dipercayai olehnya,

Raffles melakukan pembicaraan serius dengan Marlborough. Raffles berpesan

kepada Marlborough untuk selalu berhati-hati terhadap orang Belanda yang ada di

Vredeburg. Marlborough mengatakan hanya ada satu orang Belanda yang ada di

Vredeburg, yaitu Van Rijnst yang ia sebut sebagai ilmuwan. (Hlm.108)

Penjelasan mengenai tokoh Van Rijnst terlihat dalam perbincangan

tersebut. Raffles menyanggah pernyataan Marlborough bahwa Van Rijnst adalah

seorang ilmuwan. Menurut catatan-catatan dari orang-orang Belanda yang ada di

Batavia, Van Rijnst adalah seorang oportunis yang memiliki banyak kasus

eksploitasi manusia. Lebih lanjut, dalam konteks politik, Raffles berpesan kepada

Marlborough untuk berhati-hati terhadap semua orang Belanda. Raffles juga

menunjukkan sebuah salinan surat awal abad ke tujuh belas tentang kejahatan

Belanda terhadap orang-orang Inggris. Melalui perbincangan tersebut, timbul

kebencian Marlborough terhadap Van Rijnst. (Hlm.111)

Peristiwa kepergian Marlborough ke Batavia di atas menjelaskan adanya

ketidaksesuaian kepentingan Inggris dengan orang-orang Belanda. Pemunculan

konflik ini terus berkembang ke ke peristiwa-peristiwa berikutnya. Rencana untuk

membunuh Sultan Hamengku Buwono III adalah pemunculan konflik berikutnya.

Pada subbab tiga puluh delapan, Di Yogyakarta, Van Rijnst pergi ke

rumah tokoh bekas residen Belanda pada zaman Daendels yang masih berada di

Yogyakarta yaitu Engelhard. Terjadi percakapan di antara keduanya di serambi

rumah Engelhard seperti pada kutipan berikut ini.

(7) “Saya dengar Sultan Sepuh merindukan takhtanya kembali.”


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

41

“Dengar? Dengar dari siapa?”(Hlm. 119)

Ternyata orang yang dimaksudkan Van Rijnst dalam dialog di atas ada di

dalam rumah. Engelhard mempersilahkan tokoh bernama Muntinghe keluar dari

dalam rumahnya. Dialog selanjutnya adalah seperti pada kutipan berikut.

(8) “Ya, saya tahu, karena saya bertemu langsung dengan Sultan Sepuh di tempat
pembuangannya, bahwa dia bermaksud merebut kembali takhtanya yang sekarang
diduduki oleh Sultan Raja,” Kata Muntinghe.
“Hambatannya, jangan lupa, Sultan Raja dinaikkan oleh Inggris, “kata Engelhard.
“Ini memang rencana jangka panjang, “kata Muntinghe.
“Tujuannya apa?” tanya Van Rijnst.
“Rencana jangka panjang saya, saya ingin membuka tanah di sebelah Tegalrejo,
“Kata Muntinghe. “Tanah itu bagus untuk investasi. Sementara Sultan Raja
menghalang-halangi.” (Hlm. 119-120)

Muntinghe juga memiliki ide untuk membunuh Sultan Hamengku Buwono

III untuk melancarkan roda bisnisnya. Ia juga memanfaatkan hubungan yang tidak

harmonis antara Sultan Hamengku Buwono III dengan Residen Crawfurd untuk

melancarkan rencananya. Hal ini dapat terlihat pada kutipan berikut

(9) “Makanya,” Kata Muntinghe, “Kalau Sultan Raja yang menghalang-halangi itu
bisa mati sekarang, pandangan umum yang timbul adalah penguasa Inggris yang
menghendaki kematiannya itu.” (Hlm. 120)

(10) “Bikin Sultan Raja sakit, supaya matinya alami. Cari resepnya dari obat Cina. Pasti
orang Cina punya obatnya. Lalu, kalau Sultan Raja mati, bisa direka dulu untuk
sementara hadirnya putra mahkota sebagai Sultan Hamengku Buwono IV, sampai
Sultan Sepuh bebas dari pembuangannya.(Hlm. 121)

Sultan Sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II yang sempat bertemu

dengan Muntinghe sebelumnya, menjanjikan kepadanya berupa pengalihkan tanah

di Tegalrejo agar bisa dibeli. Sementara itu, soal penempatan putra mahkota, Van

Rijnst berpendapat bisa memanfaatkan Danurejo IV. Danurejo IV mereka anggap

sebagai sosok yang sempurna untuk dijadian anteknya. Muntinghe meminta Van

Rijnst untuk mempertemukannya dengan Danurejo IV. (Hlm. 122)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

42

Muntinghe adalah tuan tanah yang memiliki kekayaan yang sangat besar.

Ia lahir di Amsterdam, dan lulus sekolah tinggi hukum di Groningen. Pada

awalnya kedatangannya ke Batavia di masa pemerintahan Gubernur Jendral

Albertus H. Weise, ia adalah sekretaris kedua pemerintahan pusat. Sekarang di

masa pemerintahan Inggris, Muntinghe adalah anggota Right Honorable the

Governor General in Council. Kekayaannya diperoleh dari bisnis spekulasi

pertanahan, membeli Pamanukan, Indramayu, Kandanghaur dengan harga

$30.000 lalu disewakan kepada orang Cina $10.000 per tahun. (Hlm. 114)

Sementara itu Engelhard adalah bekas residen Belanda yang dipecat oleh

Gubernur Jenderal Daendels pada tahun 1808. Karena pemecatan tersebut,

kekayaannya berupa tanah sekitar mancanegara Yogyakarta, daerah burung walet

di Karangbolong, dan penghasilan F 100 per tahun disita dan jatuh ke tangan

Daendels. Setelah Daendels ditarik pulang ke Belanda, Engelhard belum sempat

mengambil kembali kekayaan-kekayaannya tersebut karena Nusantara sudah

direbut oleh Inggris. (Hlm. 128)

Alur terus bergerak ke hari berikutnya. Danurejo IV yang sebelumnya

diminta Van Rijnst untuk menemui Muntinghe di rumah Engelhard, mendatangi

rumah Engelhard pada malam hari. Pertemuan tersebut tidak berjalan dengan baik

bagi Danurejo IV dan Muntinghe. Hal ini dikarenakan prediksi Danurejo IV yang

beranggapan pertemuan tersebut tidak jauh dari masalah bisnis sebelumnya

ternyata salah. Muntinghe hanya bertanya-tanya seputar perasaan kedudukan

Danurejo IV sebagai patih. Hal ini membuat Danurejo IV tidak begitu tertarik dan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

43

menjadi terkesan sombong di mata Muntinghe. Peristiwa tersebut sempat

membuat Muntinghe kecewa dan enggan memanfaatkan Danurejo IV. (Hlm. 123-

124)

Pada subbab nomor tiga puluh sembilan, tahap pemunculan konflik

berkembang ke peristiwa-peristiwa yang dialami Pangeran Diponegoro, Danurejo

IV, Residen Crawfurd, dan Engelhard secara bersamaan. Danurejo IV ternyata

menyesal telah menyia-nyiakan kesempatan untuk mendekati Muntinghe.

Peristiwa berikutnya adalah Danurejo IV kembali mendatangi rumah Engelhard

bertemu dengan Muntinghe untuk menyampaikan penyesalannya. Namun

Muntinghe sudah pergi ke Surakarta. Engelhard mengatakan kepada Danurejo IV

kalau lusa kemungkinan Muntinghe kembali lagi ke rumahnya. Danurejo IV

memohon Engelhard untuk mempertemukannya lagi dengan Muntinghe. Danurejo

IV berharap mendapat keuntungan dari pertemuan tersebut. Engelhard

memberitahu bahwa sebenarnya Danurejo IV akan diberi tugas yang sangat

rahasia oleh Muntinghe. Engelhard kemudian menyuruh Danurejo IV menemui

Van Rijnst di Vredeburg untuk mencari tahu tugas rahasia tersebut. (Hlm. 126)

Latar berpindah ke Vredeburg. Danurejo IV menemui Van Rijnst untuk

menanyakan tugas rahasia yang dipaparkan Engelhard pada peristiwa sebelumnya.

Ternyata tugas rahasia tersebut adalah mencarikan obat yang bisa digunakan

untuk racun. Ketika Danurejo IV menanyakan racun untuk siapa, Van Rijnst

menjelaskan bahwa hal tersebut sangat rahasia. Taruhannya jika gagal adalah

kepala Danurejo IV. Imbalannya adalah uang dalam jumlah yang besar. Van
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

44

Rijnst memberitahukan bahwa tugas tersebut bisa Danurejo IV laksanakan

beberapa bulan lagi bertepatan dengan kepergiannya pulang ke Belanda. (Hlm.

127)

Di lain pihak, Marlborough yang pada akhir tahun 1812 berada di Batavia

sudah kembali lagi ke Yogyakarta. Residen Crawfurd menanyakan perihal

kepergiannya ke Batavia. Marlborouhg hanya memberitahukan bahwa di Batavia

ia hanya diminta menceritakan situasi dan kejadian-kejadian yang menarik di

Yogyakarta untuk bahan buku yang akan ditulis Raffles. Crawfurd sempat

menanyakan perihal kabar bahwa dirinya akan segera ditarik oleh Raffles dari

Yogyakarta. Namun Marlborough menjelaskan bahwa Raffles tidak menyinggung

Crawfurd sama sekali. (Hlm. 132)

Alur berpindah ke kehidupan Pangeran Diponegoro. Setelah menikah, Saat

ini Raden Ayu Ratnaningsih sudah hamil tujuh bulan. Sesuai adat Jawa, acara

mitoni pun digelar. Ayah Pangeran Diponegoro yang hadir pada acara tersebut

melakukan tradisi membanting kendi. Dalam kepercayaan Jawa, apabila kendi

yang dibanting pecah, maka anak yang lahir adalah putri. Namun jika kendi yang

dibanting tidak pecah, maka anak yang lahir adalah putra. Ternyata kendi tersebut

tidak pecah. Segera setelah prosesi tersebut, Sultan Hamengku Buwono III

mengajak Pangeran Diponegoro untuk berkuda ke Kaliurang besok harinya.(Hlm.

135-136)

Pada Subbab nomor empat puluh, dipaparkan alur selanjutnya yaitu

peristiwa Pangeran Diponegoro berkuda dengan Ayahnya ke Kaliurang beserta


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

45

para pengawal keraton. Sesampainya di Kaliurang, Sultan Hamengku Buwono III

memberitahukan maksudnya mengajak Pangeran Diponegoro berkuda ke

Kaliuarang. Ia gembira karena kendi yang dibanting pada prosesi mitoni hari

sebelumnya, tidak pecah. Artinya anak Pangeran Diponegoro adalah laki-laki dan

bisa menjadi penerus tahkta kesultanan Yogyakarta di masa mendatang. Dengan

kata lain, Sultan Hamengku Buwono III menginginkan Pangeran Diponegoro

menjadi Pangeran Adipati Anom, calon Hamengku Buwono IV. Namun Pangeran

Diponegoro menolak terlibat dalam tatanan pemerintahan keraton. Ia masih tetap

pada pendiriannya untuk menjadi rakyat biasa di Puri Tegalrejo. (Hlm.138)

Dalam peristiwa tersebut, Sultan Hamengku Buwono III juga

menyampaikan beberapa firasat buruknya kepada Pangeran Diponegoro. Sultan

Hamengku merasa ada orang-orang yang yang membahayakan kedudukannya.

Hal ini dapat terlihat dalam kutipan berikut

(11) “Aku punya firasat buruk, Belanda sedang main di belakangku, entah dengan Paku
Alam I entah pula dengan Danurejo IV.”(Hlm.139)

Sultan Hamengku Buwono III juga memberitahukan kepada Pangeran

Diponegoro bahwa dirinya tidak menyukai Crawfurd. Namun Crawfurd dianggap

Sultan Hamengku Buwono III tidak bermain di belakangnya. Ketidaksukaannya

hanyalah karena masalah ketidakcocokan dalam menangani tatanegara di

Yogyakarta. (Hlm.139)

Karena Firasat buruknya, Sultan Hamengku Buwono III memberitahukan

pada Pangeran Diponegoro bahwa ia pernah berencana ingin membunuh Paku

Alam I. Dalam melakukan rencananya tersebut, Sultan Hamengku Buwono III


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

46

sudah mengatur cara-caranya. Sultan Hamengku Buwono III mengatur dan

menyewa kecu (perampok bayaran) untuk merampok dan membunuh

Notokusumo dengan berpura-pura tidak tahu yang mereka bunuh adalah

Notokusumo. Rencana tersebut tidak terlaksanakan karena para kecu takut

terhadap kutukan yang bisa saja terjadi pada diri mereka meskipun Sultan

Hamengku Buwono III menjamin akan menanggung akibatnya. (Hlm.141)

Ternyata percakapan Pangeran Diponegoro dengan Sultan Hamengku

Buwono III didengar oleh mata-mata Belanda yang bekerja sebagai pengawal

keraton. Pada malam harinya, mata-mata tersebut mendatangi rumah Engelhard

dan memberitahukan isi percakapan antara Pangeran Diponegoro dengan Sultan

Hamengku Buwono III. Pada saat itu, Muntinghe telah kembali ke rumah

Engelhard setelah peristiwa sebelumnya pergi ke Surakarta. Mendengar

keterangan dari mata-mata tersebut, Engelhard dan Muntinghe segera berpikir

untuk melakukan politik adu domba antara Sultan Hamengku Buwono III dengan

Paku Alam I. Mereka berencana menggunakan jasa Danurejo IV untuk

menjalankan rencana-rencana itu. Rencana Engelhard dan Muntinghe

menggerakkan alur menuju pemunculan konflik yang lebih kompleks. (Hlm.143-

145)

Pada keesokan harinya, Danurejo IV dijemput oleh Van Rijnst untuk

menemui Engelhard dan Muntinghe di rumah Engelhard. Pada awalnya,

Muntinghe yang sempat kecewa dengan sikap Danurejo IV yang sombong, tidak

mau menggunakan jasa Danurejo IV lagi. Namun Engelhard berusaha


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

47

meyakinkan bahwa Danurejo IV adalah sosok yang sempurna untuk menjalankan

rencana-rencanya. Dalam pandangan Engelhard, Danurejo IV adalah sosok yang

bisa menghamba pada siapapun yang memberikannya keuntungan besar.

Walaupun Danurejo IV diangkat oleh Inggris, Ia tetap bisa dimanfaatkan untuk

menjalankan apapun asalkan mendapat upah yang besar. (Hlm. 146)

Pada subbab nomor empat puluh satu, latar bergerak kembali ke Tegalrejo.

Marlborough datang Mengunjungi Ratu Ageng dan Pangeran Diponegoro.

Marlborough digambarkan datang dengan niat yang tulus dan dengan sopan

santun yang menghargai tradisi Jawa. Peristiwa Kedatangan Marlborough ini

terjadi dua hari setelah acara mitoni yang dilangsungkan di Tegalrejo. Kedatangan

Marlborough ini dalam rangka silaturahmi sekaligus menyampaikan

penyesalannya tidak hadir dalam acara pernikahan Pangeran Diponegoro delapan

bulan sebelumnya. Peristiwa silaturahmi tersebut membuat Ratu Ageng dan

Pangeran Diponegoro mengetahui bahwa tidak hadirnya Marlborough dalam pesta

pernikahan Pangeran Diponegoro delapan bulan silam ternyata adalah rekayasa

Danurejo IV.(Hlm. 150)

Di lain pihak, Danurejo IV yang sebelumnya diperintahkan Van Rijnst

untuk mencarikan obat untuk dijadikan racun, pergi ke pecinan. Danurejo IV

membawa banyak uang logam yang disimpan dalam karung goni. Maksud

kedatangannya adalah untuk menemui Secodiningrat atau Tan Jin Sing. Tan Jin

Sing adalah tokoh pemimpin Cina di Yogyakarta. Selain pimpinan Cina di

Yogyakarta, Tanj Jin Sing juga dikenal sebagai ahli meracik obat.(Hlm. 152).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

48

Danurejo IV menyatakan maksudnya datang ke rumah Tan Jin Sing di

daerah Pecinan. Danurejo IV meminta bantuan Tan Jin Sing untuk meracik obat

untuk dijadikan racun. Danurejo IV tidak memberikan keterangan apa-apa

terhadap Tan Jin Sing perihal maksud menyuruhnya membuatkan racun. Danurejo

IV hanya memberikan keterangan bahwa racun tersebut dikehendaki oleh Belanda

untuk menimba keuntungan buat mereka. Awalnya Tan Jin Sing menolak niat

tersebut. Tetapi akhirnya Tan Jin Sing tergoda setelah Danurejo IV memberikan

uang dengan jumlah yang sangat banyak untuk imbalannya. Padahal uang-uang

tersebut sudah dikorupsi oleh Danurejo IV sebelumnya setelah mendapatkannya

dari Van Rijnst. Ketika Danurejo IV keluar dari rumah Tan Jin Sing, ia berpas-

pasan dengan Ong Kian Tiong di daerah Pecinan. Ong Kian Tiong adalah

pedagang keliling yang cukup dekat dengan orang-orang di Puri Tegalrejo. (Hlm

156-159)

Pada subbab nomor empat puluh dua, alur bergerak meloncat pada

peristiwa kelahiran putra Pangeran Diponegoro. Pada malam harinya, digelar

acara selamatan. Sultan Hamengku Buwono III ikut hadir disana. (Hlm. 165)

Di lain pihak, Muntinghe dan Engelhard, dan Danurejo IV sedang

membahas rencana mereka mengadu domba Paku Alam I dengan Hamengku

Buwono III, sekaligus melibatkan Inggris di dalamnya. Pada saat itu, Van Rijnst

sedang pulang ke Belanda seperti rencananya sebelumnya. Muntinghe ingin

memanfaatkan surat perjanjian yang dibuat Raffles untuk mengatur hak-hak

kekuasaan Paku Alam I dengan Hamengku Buwono III. Salinan surat tersebut ada
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

49

di tangan Muntinghe. Rencana adu domba tersebut dapat terlihat dari kutipan

berikut

(12) “Bunyi artikel 21 dalam perjanjian ini bisa jadi senjata untuk memperkeruh
keadaan. “ Kata Engelhard kepada Danurejo IV. “Melihat bahwa Sultan Raja tidak
melaksanakan perjanjian tentang keharusan memberi kelonggaran dan kesempatan
kepada Notokusumo selaku Paku Alam untuk masuk dalam dinas gubernermen
Inggris, maka sepatutnya Crawfurd menegur Sultan Raja. Menegur berarti
menyalahkan kerja Sultan Raja, “kata Engelhard.(Hlm. 168)

Perjanjian tersebut memaksa Crawfurd untuk menegur Sultan Hamengku

Buwono III. Dengan kata lain, hubungan Crawfurd dengan Sultan Hamengku

Buwono III akan terkesan semakin mengeruh. Setelah itu, rencana untuk

membunuh Sultan Hamengku Buwono III dengan racun dari Tan Jin Sing baru

dilaksanakan. Dengan begitu, orang-orang akan menganggap bahwa Crawfurd lah

yang paling dituduh. (Hlm.169)

Sultan Hamengku Buwono III akhirnya meninggal karena racun buatan

Tan Jin Sing. Kematian Sultan Hamengku Buwono III membuat Pangeran

Diponegoro terkejut. Pangeran Diponegoro kemudian datang ke keraton untuk

melayat kematian ayahnya tersebut. (Hlm.170)

Pada subbab empat puluh tiga, Setting bergerak ke Tegalrejo pada bulan

November 1814. Peristiwa kematian Sultan Hamengku Buwono III membuat

Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Bei segera bertindak berpikir mencari

penggantinya. Pangeran Diponegoro dibujuk untuk menggantikan Sultan

Hamengku Buwono III oleh Pangeran Bei, Pangeran Mangkubumi, dan Ratu

Ageng. Namun, Pangeran Diponegoro tetap teguh pada pendiriannya dan tidak

mau menjadi raja Yogyakarta. Pangeran Diponegoro memberi saran kepada


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

50

Pangeran Bei, Pangeran Mangkubumi dan Ratu Ageng untuk mengangkat

adiknya, Ibnu Jarot menjadi Sultan Hamengku Buwono IV. Karena adiknya masih

anak-anak, Pangeran Diponegoro juga menyarankan untuk menempatkan orang-

orang dewasa yang arif untuk membimbingnya. (Hlm. 176)

Masalah yang timbul adalah orang-orang yang akan duduk mendampingi

Ibnu Jarot akan ditentukan oleh pihak Inggris. Setelah Kematian Sultan

Hamengku Buwono III, Crawfurd ditarik oleh Raffles dan digantikan oleh residen

Garnham. Garnham lah yang akan menentukan orang yang akan mendampingi

Ibnu Jarot. Kemungkinan terbesarnya adalah Danurejo IV.(Hlm. 177)

Di lain pihak, Residen Garnham menyuruh Danurejo IV untuk

mengumpulkan beberapa bupati untuk membahas calon pengganti Sultan

Hamengku Buwono III. Para bupati yang diundang berdasarkan usul dari

Danurejo IV tersebut adalah Raden Tumenggung Pringgodiningrat, Raden

Tumenggung Ronodiningrat, dan Raden Tumenggung Mertodiningrat. Danurejo

IV bersiasat mengarahkan rapat tersebut. Danurejo IV mempengaruhi Residen

Granham untuk segera menobatkan putra mahkota, Ibnu Jarot sebagai Sultan

Hamengku Buwono IV. Residen Granham sendiri menuruti perkataan Danurejo

IV. Namun salah satu dari bupati yaitu Raden Tumenggung Pringgodiningrat

merasakan keganjilan dalam rapat tersebut. Ia menanyakan kepada Danurejo IV

kenapa tidak meminta pertimbangan kakak-kakak Ibnu Jarot. Namun hal tersebut

dibantah Danurejo IV dengan mengatakan bahwa pihak Inggris sudah

memberikan wewenang kepada kita untuk menentukannya.(Hlm. 178-179)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

51

Pangeran Mangkubumi mendapat laporan dari Raden Tumenggung

Pringgodiningrat mengenai rapat tentang penentuan pengganti Sultan Hamengku

Buwono III yang berlangsung sebelumnya. Pangeran Mangkubumi marah karena

pihak keraton tidak dilibatkan dalam rapat tersebut. Pangeran Mangkubumi dan

Pangeran Bei segera mengumpulkan kakak-kakak Ibnu Jarot dan memanggil

Danurejo IV. (Hlm. 180)

Dalam pertemuan tersebut beberapa kakak Ibnu Jarot tidak datang. Salah

satunya adalah Pangeran Diponegoro yang menyatakan keengganannya.

Sebelumnya, Danurejo IV menjelaskan alasannya tidak melibatkan kakak-kakak

Ibnu Jarot. Menurutnya orang-orang yang dia undang untuk menggelar rapat

sebelumnya bersama Residen Granham adalah orang –orang yang dianggapnya

bisa dipercaya. Mendengar pernyataan Danurejo IV tersebut, Pangeran Bei

terpancing emosinya. Pangeran Bei emosi karena menafsirkan pernyataan

Danurejo IV bahwa dengan kata lain orang keraton dan kakak-kakak Ibnu Jarot

adalah orang yang tidak bisa dipercaya. Pangeran Bei hampir memukul Danurejo

IV, namun dicegah oleh Pangeran Mangkubumi. (Hlm. 181-182)

Alur bergerak terus ke rapat-rapat selanjutnya. Setelah rapat memutuskan

Ibnu Jarot diangkat menjadi Sultan Hamengku Bunowo IV, rapat selanjutnya

adalah membahas langkah-langkah penasihat-penasihat Ibnu Jarot. Dalam rapat

tersebut, Danurejo IV memberikan pendapatnya seperti terlihat pada kutipan

berikut.

(13) “Yang perlu segera ditindaklanjuti oleh Sultan Hamengku Buwono IV dalam
rangka mengisi kas negara, adalah memberikan hak penyewaan tanah tanpa syarat
kepada orang-orang Cina.(Hlm. 183)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

52

(14) “Kita semua tahu orang Cina adalah bangsa pekerja yang paling tekun. Penyewaan
tanah kepada orang Cina bisa menghasilkan keuntungan ganda: tanahnya tidak
hanya ditanam padi, tebu, atau kopi, tapi dengan tanaman-tanaman itu jelas akan
didirikan juga pabrik-pabriknya. Nah, sudah dapat dibayangkan lapangan kerja yang
terbuka lebar bagi rakyat.”(Hlm. 183)

Semua orang yang mengikuti rapat tersebut diam karena ragu mendengar

pendapat Danurejo IV. Di satu sisi pendapat Danurejo IV cerdas, tetapi di sisi lain

sifatnya yang angkuh membuat mereka ragu kepada kesungguhannya. (Hlm. 183)

Keesokan harinya di Tegalrejo, Pangeran Mangkubumi menyatakan

keraguannya kepada Ratu Ageng dan Pangeran Diponegoro. Pangeran

Mangkubumi merasa Danurejo IV adalah orang yang tidak bisa dipercaya. Ratu

Ageng menanggapi bahwa apapun yang terjadi kalau Inggris mempercayainya,

kita tidak bisa berbuat apa-apa. Pangeran Diponegoro hanya mendengar tanpa

merespon pembicaraan tersebut. (Hlm. 184)

Beberapa waktu setelah peristiwa di atas, Pangeran Diponegoro pergi ke

rumah Penghulu Mlangi. Penghulu Mlangi adalah guru Pangeran Diponegoro

semasa kecil. Tokoh tersebut sangat dihormati oleh Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro datang ke rumah Penghulu Mlangi khusus untuk saling

bertukar pikiran mengenai keadaan keraton. Pangeran Diponegoro bercerita

bahwa keadaan keraton sudah semakin kacau dan jauh dari nilai-nilai Jawa-Islam.

Penghulu Mlangi menyarankan Pangeran Diponegoro untuk menghimpun para

pemuda dan melawan penjajah. Pangeran Diponegoro berjanji untuk melakukan

apa yang disarankan Penghulu Mlangi pada saat yang tepat sekaligus meminta

restu darinya.(Hlm. 186)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

53

Pada subbab nomor empat puluh empat, alur bergerak pada peristiwa

pergantian dewan perwalian Sultan Hamengku Buwono IV. Danurejo IV, Raden

Tumenggung Pringgodiningrat, Raden Tumenggung Ronodiningrat, dan Raden

Tumenggung Mertodiningrat yang sebelumnya berkedudukan sebagai dewan

perwalian Sultan Hamengku Buwono IV digantikan oleh Paku Alam I atas

keputusan Raffles. (Hlm. 186-188)

Danurejo IV sangat marah dengan keputusan Raffles. Dengan demikian,

rasa kebanggaan Danurejo IV hilang. Selain itu, kebiasaan hura-hura seperti

minum-minuman beralkohol dari Eropa pun hilang. Pengaruh kebiasaan Belanda

yang dibawa oleh Danurejo IV ke keraton cukup kuat walaupun pada saat ini

adalah zaman penjajahan Inggris. Danurejo IV sendiri pada peristiwa-peristiwa

sebelumnya adalah kaki tangan Belanda. (Hlm. 189)

Peristiwa selanjutnya adalah kedatangan Penghulu Mlangi ke Tegalrejo.

Kedatangan Penghulu Mlangi ke Tegalrejo untuk mengatakan bahwa rakyat di

lingkungan Mlangi sudah sangat resah. Keresahan mereka dikarenakan kondisi

keraton Yogyakarta yang semakin buruk setelah diangkatnya Danurejo IV

menjadi dewan perwalian. Paku Alam I yang menggantikan Danurejo IV sebagai

penasihat Sultan Hamengku Buwono IV pun ikut terbawa arus dan tidak berhasil

menghentikan pengaruh buruk Belanda yang dibawa Danurejo IV sebelumnya.

Penghulu Mlangi menginginkan Pangeran Diponegoro untuk duduk di dewan

perwalian Sultan Hamengku Buwono IV. Menurutnya, hanya Pangeran

Diponegoro yang sanggup menasehati Sultan Hamengku Buwono IV supaya bisa


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

54

kembali ke cita-cita kebangsaan beragama dari Sultan Agung dan Sultan

Hamengku Buwono I (Hlm. 191-193)

Pangeran Mangkubumi datang ke Tegalrejo saat Pangeran Diponegoro dan

Penghulu Mlangi berbincang-bincang. Sebelumnya, Pangeran Mangkubumi sudah

dihasut oleh Danurejo IV. Pangeran Mangkubumi menceritakan bahwa Danurejo

IV baru saja bertemu dengannya. Hasutan Danurejo IV itu adalah perihal

kedudukan Paku Alam I sebagai wali dari Sultan Hamengku Buwono IV. Dengan

kata lain, Paku Alam I berkedudukan untuk mengatur Sultan Hamengku Buwono

IV yang masih sangat remaja. Hal tersebut melecehkan trah Hamengku Buwono.

(Hlm. 196)

Pada subbab nomor empat puluh lima, diskusi antara Pangeran

Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, dan Penghulu Mlangi terus berlanjut.

Danurejo IV dan Paku Alam I dalam pandangan Pangeran Diponegoro, Pangeran

Mangkubumi, dan Penghulu Mlangi telah gagal membimbing Ibnu Jarot sebagai

Sultan Hamengku Buwono IV. Kedudukan keduanya justru membuat Ibnu Jarot

berubah menjadi pribadi yang kebarat-baratan. Pangeran Diponegoro yang

menilai adiknya sebagai pribadi yang baik tiga tahun sebelumnya akhirnya mau

untuk ke keraton untuk menasehati Sultan Hamengku Buwono IV. (Hlm. 200-

2003)

Alur bergerak dengan perpindahan latar ke pura Paku Alam I. Residen

Garnham datang ke pura Paku Alam I. Dalam kunjungannya tersebut, Residen

Garnham mengatakan kepada Paku Alam I bahwa ia akan segera meninggalkan


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

55

Yogyakarta. Kedudukannya sebagai residen akan digantikan kembali oleh

Crawfurd. Residen Garnham juga mengatakan bahwa sedang terjadi perundingan

antara Inggris dengan pihak Belanda. Perundingan tersebut untuk mengembalikan

Nusantara kepada Belanda. (Hlm. 206-207)

Pada Subbab nomor empat puluh enam, latar bergerak ke Keraton

Yogyakarta. Setting waktunya adalah awal Januari 1816. Pangeran Diponegoro

datang ke Keraton setelah mendapat undangan perpisahan dari Sultan Hamengku

Buwono IV dalam rangka acara perpisahan Residen Garnham. Rencananya,

Pangeran Diponegoro ingin sekaligus menasihati Sultan Hamengku Buwono IV

seperti yang telah ia janjikan sebelumnya dengan Pangeran Mangkubumi dan

Penghulu Mlangi. (Hlm. 213)

Dalam peristiwa tersebut, Pangeran Diponegoro melihat secara langsung

orang-orang seperti Sultan Hamengku Buwono IV, Paku Alam, Danurejo IV

mabuk-mabukan dengan orang-orang Inggris dan Belanda. Pangeran Diponegoro

juga sempat ditawari minuman keras oleh Paku Alam I dan adiknya Ibnu Jarot

atau Sultan Hamengku Buwono IV. Hal tersebut yang membuat Pangeran

Diponegoro merasa lebih yakin dengan pandangannya sebelumnya bahwa keraton

sudah tidak mengindahkan nilai-nilai keislaman dan budaya Jawa. Kekecewaan

Pangeran Diponegoro semakin memuncak ketika nasihatnya kepada Sultan

Hamengku Buwono IV tidak dihiraukan oleh adiknya tersebut. Setelah peristiwa

tersebut, Pangeran Diponegoro beranjak pulang dan tidak mau datang lagi ke

keraton. (Hlm. 214-218)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

56

Marlborough juga hadir dalam acara tersebut. Ia sempat bertemu dan

berbincang-bincang dengan Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi

cukup terkejut melihat Marlborough bertindak sopan dan tidak mabuk seperti

orang-orang barat yang lainnya. Marlborough diceritakan sebagai orang Inggris

yang taat dengan agama Katholik. Dalam perbincangan tersebut, Marlborough

mengatakan bahwa pihak Belandalah yang menyebabkan orang-orang di keraton

menjadi terbiasa minum-minuman keras. (Hlm. 218-220)

Pada tanggal 19 Agustus 1816 di Batavia, Belanda resmi menggantikan

Inggris di Nusantara. Hal ini dikarenakan Napoleon Bonaparte yang menyebabkan

Nusantara dijajah Prancis melalui Daendels kembali mengalahkan Inggris.

Jabatan gubernur jenderal di Batavia dipegang oleh Van Der Capellen. Sementara

itu, Jabatan residen di Yogyakarta dipegang oleh Nahuys. (Hlm. 223-224)

Pada subbab nomor empat puluh tujuh, latar berada di Tegalrejo. Pangeran

Diponegoro sedang mencemaskan keadaan nenek buyutnya, Ratu Ageng yang

sedang sakit. Selain itu Pangeran Diponegoro juga semakin cemas dengan

keadaan keraton yang semakin hari semakin suram dalam pandangannya.(Hlm.

224-227)

Pada saat nenek buyutnya sakit, Pangeran Diponegoro mulai

meningkatkan kemampuan silatnya. Di Puri Tegalrejo, Pangeran Diponegoro rajin

berlatih silat dengan pedagang kelontong yang cukup dekat dengan Ratu Ageng,

dan Pangeran Diponegoro yaitu Ong Kian Tiong. Ong Kian Tiong selain

pedagang kelontong, juga sangat mahir bermain silat. Pangeran Diponegoro sadar
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

57

bahwa silat memang berasal dari Cina dan memanfaatkan persahabatannya

dengan Ong Kian Tiong untuk menyerap sebanyak-banyaknya ilmu silat. Dalam

bayangannya, Pangeran Diponegoro sudah bersiap-siap untuk menghimpun para

pemuda dan melatih mereka bersilat.(Hlm. 230-232)

Alur meloncat ke tahun-tahun berikutnya. Keadaan rakyat di sekitar Puri

Tegalrejo semakin sengsara. Kesengsaraan rakyat dikarenakan wabah penyakit

cacar dan kebijakan-kebijakan Gubernur Van Der Capellen yang sangat

merugikan rakyat. Pada tahun 1820, Van Der Capellen mengeluarkan peraturan

tentang peranan pejabat-pejabat Belanda di Jawa yang berimbas terhadap

penindasan secara langsung dengan rakyat pribumi. Di dalam peraturan tersebut

juga disebutkan ada peran baru dalam birokrasi Belanda yaitu regent. Regent

berperan sebagai dewan atas residen. Regent juga boleh memiliki patih sendiri

yang membawahi wedana, demang, serta lurah. Perpanjangan tangan Belanda ini,

yang seluruhnya pribumi pada prakteknya justru lebih kejam dari Belanda. (Hlm.

232-233)

Sebagian besar dari perpanjangan tangan Belanda bersekolah di sekolah

militer Jatingaleh, Semarang. Orang-orang tersebut diwajibkan menguasai bahasa

Belanda, Inggris, dan Prancis. Salah satu dari murid di sekolah tersebut adalah

tokoh yang bernama Wironegoro. (Hlm. 233)

Wironegoro adalah teman Pangeran Diponegoro sewaktu kecil. Pada saat

mereka masih kecil, Pangeran Diponegoro pernah berkelahi dan mengalahkan

Wironegoro. Sekarang, setelah Wironegoro belajar kemiliteran di Semarang, Ia


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

58

diangkat Belanda menjadi pemungut pajak tanah yang disebut pajak pacumpleng.

(Hlm. 234)

Danurejo IV yang pada akhir masa pemerintahan Inggris dipecat dari

dewan penasihat Sultan Hamengku Buwono IV, pada saat ini juga diangkat oleh

Belanda menjadi pemungut pajak tanah. Danurejo IV dan Wironegoro sama-sama

memiliki banyak kaki tangan dalam menjalankan tugasnya memungut pajak tanah

dari rakyat. (Hlm. 234)

Dalam kondisi demikian, Pangeran Diponegoro sempat dilapori oleh dua

orang remaja yang bernama Banteng Wareng dan Roto tentang kekejaman anak

buah Wironegoro dan Danurejo IV dalam menjalankan tugasnya memungut pajak

terhadap rakyat. Banteng Wareng dan Roto menceritakan kepada Pangeran

Diponegoro bahwa mereka melihat para pemungut pajak tersebut menyiksa rakyat

yang terlambat membayar pajak pacumpleng di daerah Bedoyo di bawah lereng

Merapi. Selain itu, Banteng Wareng dan Roto juga menceritakan bahwa Nahuys

sudah membangun villa di Bedoyo di bagian atas lereng. (Hlm. 235)

Pada subbab nomor empat puluh delapan, ketegangan konflik meningkat.

Pangeran Diponegoro berniat untuk melihat secara langsung kekejaman para

pemungut pajak seperti yang diceritakan oleh Banteng Wareng dan Roto. Pagi-

pagi, Pangeran Diponegoro berangkat sendiri dari Tegalrejo ke daerah Bedoyo.

(Hlm. 237)

Di daerah tersebut, Pangeran Diponegoro melihat empat orang pemungut

pajak sedang menyiksa seseorang sampai mati. Pangeran Diponegoro


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

59

menghampiri keempat orang tersebut. Terjadi perkelahian diantara mereka. Dua

dari keempat pemungut pajak tersebut mati karena tidak sengaja saling

membunuh satu sama lain akibat kepintaran Pangeran Diponegoro. Selain itu,

satu orang lari setelah kalah, dan satu orang lainnya pingsan. Orang yang pingsan

tersebut setelah sadar kemudian ditanyai oleh Pangeran Diponegoro tentang siapa

yang menyuruh mereka melakukan kekejaman tersebut. Pemungut pajak tersebut

mengatakan bahwa yang menyuruhnya adalah Wironegoro. Pangeran Diponegoro

yang masih ingat nama Wironegoro kemudian menyuruh pemungut pajak tersebut

pulang dan mengatakan kepada Wironegoro bahwa dia adalah Ontowiryo (nama

kecil Pangeran Diponegoro).(Hlm. 238-241)

Konflik semakin berkembang saat kedua pemungut pajak yang selamat

pada peristiwa sebelumnya segera menemui Wironegoro. Wironegoro marah

melihat kedua anak buahnya kalah hanya oleh satu pendekar. Ketika ditanya

tentang pelakunya, orang yang sempat ditanyai oleh Pangeran Diponegoro

menjawab Ontowiryo. Mendengar nama tersebut, Wironegoro terkejut. Ia masih

ingat ketika masih kecil ia pernah kalah berkelahi dengan Pangeran Diponegoro.

(Hlm. 242-245)

Latar bergerak ke sebuah warung kopi daerah pecinan. Cerita tentang

kematian dua orang pemungut pajak sebelumnya, terdengar ke para pemungut

pajak yang lainnya. Di warung kopi tersebut, mereka membicarakan peristiwa

tersebut. Pada saat itu, beberapa anak buah Danurejo IV juga ada di sana. Selain

itu, muncul tokoh baru keturunan Tionghoa bernama panggilan Eyang Condro.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

60

Eyang Condro juga ikut mendengarkan cerita tentang perkelahian pendekar yang

bernama Ontowiryo dengan keempat anak buah Wironegoro.(Hlm. 245)

Keesokan harinya, beberapa anak buah Danurejo IV menceritakan

kejadian perkelahian tersebut kepada Danurejo IV. Setelah mendengar hal

tersebut, Danurejo IV segera pergi menemui Wironegoro. Danurejo IV mendesak

Wironegoro untuk melakukan tindakan tegas terhadap Pangeran Diponegoro.

Namun, Wironegoro yang pernah latihan militer sebelumnya, merasa perlu

perhitungan yang tepat untuk melakukan tindakan terhadap Pangeran Diponegoro

yang dianggapnya bukan orang sembarangan.(Hlm. 246-249)

Pada subbab nomor empat puluh Sembilan, alur bergerak ke setting waktu

27 Januari 1820. Pada hari itu, Paku Alam I menyatakan mundur sebagai wali

pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IV. Oleh karena keputusan Paku Alam I

tersebut, Residen Nahuys pergi ke Pura Pakualaman untuk membujuk Paku Alam

I kembali menjadi wali penasihat Sultan Hamengku Buwono IV. Residen Nahuys

khawatir terjadinya guncangan politik di keraton Yogyakarta. Namun, Paku Alam

I tidak bersedia kembali menjadi wali penasihat Sultan Hamengku Buwono IV.

Paku Alam I mengundurkan diri dari perwalian Sultan Hamengku Buwono IV

untuk menghindari prasangka buruk dari sesama saudaranya. (Hlm. 253)

Di pihak lain, Pangeran Diponegoro semakin giat berlatih silat. Latihan

silat tersebut mulai melibatkan para cantrik. Latihan tersebut sudah berlangsung

selama empat pekan. Pada mulanya jumlah mereka ada tiga puluh orang, termasuk

Banteng Wareng dan Roto. Selain pria, ada juga wanita yang berlatih silat. Para
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

61

wanita tersebut dilatih oleh istri Pangeran Diponegoro, Ratnaningsih yang

ternyata juga pandai bersilat.(Hlm. 251-252)

Saat Pangeran Diponegoro beristirahat dari latihan silat, Pangeran

Mangkubumi datang ke Puri Tegalrejo. Pangeran Mangkubumi mengabarkan

kepada Pangeran Diponegoro tentang mundurnya Paku Alam I sebagai penasihat

Sultan Hamengku Buwono IV. Pangeran Mangkubumi, khawatir apabila dengan

mundurnya Paku Alam I, Danurejo IV akan kembali menjadi penasihat Sultan

Hamengku Buwono IV. Dengan begitu, keadaan keraton yang sudah parah

sebelumnya akan semakin parah lagi dengan hadirnya kembali Danurejo IV

sebagai penasihat Sultan Hamengku Buwono IV. (Hlm. 258)

Pangeran Mangkubumi menginginkan Pangeran Diponegoro menjadi

penasihat Sultan Hamengku Buwono IV untuk mengantisipasi masuknya

Danurejo IV ke keraton kembali. Ratu Ageng yang sudah sembuh dari sakitnya

juga menginginkan hal serupa. Namun, Pangeran Diponegoro menolak. Pangeran

Diponegoro saat ini lebih mengharapkan cantrik-cantriknya untuk merealisasikan

harapan-harapannya. Secara lebih luas, harapannya tersebut adalah untuk

melawan Belanda seperti terlihat dari kutipan saat Pangeran Diponegoro berbicara

kepada para cantriknya berikut.

(15) “ Siapa musuh negara kita?”


“Setan Belanda!”
“Bagus.” (Hlm. 252)

Danurejo IV yang pernah mengalami masa keemasan ketika menjadi

penasihat Sultan Hamengku Buwono IV, terus berusaha mendekati Residen

Nahuys. Danurejo IV ingin mendekati Residen Nahuys agar dirinya diangkat


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

62

menjadi penasihat Sultan Hamengku Buwono IV kembali. Usaha tersebut ternyata

sulit karena Nahuys terlalu membuat jarak dengan Danurejo IV. Pada saat yang

demikian, Van Rijnst kembali ke Yogyakarta setelah pulang dari Belanda.

Danurejo IV memanfaatkan Van Rijnst untuk mendekati Nahuys. (Hlm. 257)

Van Rijnst menemui Residen Nahuys. Van Rijsnt sebelumnya sudah dapat

membaca ambisi politik Nahuys. Van Rijnst menyarankan kepada Nahuys untuk

mengangkat Danurejo IV menjadi penasihat Sultan Hamengku Buwono IV. Van

Rijnst berpendapat bahwa Danurejo IV bisa dimanfaatkan untuk melakukan apa

saja. Selain itu, Van Rijnst juga memberitahu kepada Nahuys tentang kedekatan

Danurejo IV dengan orang-orang Cina. Kedekatan itulah yang membuat rencana

untuk membunuh Sultan Hamengku Buwono III berhasil dan rahasianya tetap

terjaga sampai sekarang. Lebih lanjut strategi Van Rijnst dapat terlihat dari

kutipan berikut.

(16) “Dia dekat dengan orang Cina. Dalam Ilmunya orang Cina, Sun Tzu, dikatakan
bahwa untuk memukul musuh haruslah musuh itu berada dalam jarak dekat.”(Hlm.
260)
(17) “Kalau dia menjadi wali Sultan Hamengku Buwono IV, itu artinya dia dekat dengan
sasaran untuk dilakukan apa pun yang bahkan tidak masuk akal tadi.”(Hlm. 261)

Pada subbab nomor lima puluh, pemunculan konflik berkembang ke

rencana pembunuhan Sultan Hamengku Buwono IV. Setelah Danurejo IV

diangkat menjadi penasihat Sultan Hamengku Buwono IV, timbul rencana Van

Rijnst untuk membunuh Sultan Hamengku Buwono IV. Van Rijnst meminta

bantuan Danurejo IV untuk melakukan rencananya ini. Mereka berencana untuk

kembali menggunakan jasa Tan Jin Sing untuk membuatkan racun. Rencana
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

63

tersebut bukan hanya didasarkan oleh kepentingan Nahuys, tetapi juga ada nama

Muntinghe dan Engelhard. (Hlm. 262)

Pada tanggal 6 Desember 1822, Sultan Hamengku Buwono IV meninggal.

Latar berada di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro dan Ratu Ageng mendengar

kabar tersebut dari Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Bei. Pangeran

Diponegoro menduga kematian adiknya tersebut karena diracun. Dugaan

Pangeran Diponegoro tersebut atas dasar indera keenamnya. Ratu Ageng dan

Pangeran Mangkubumi menanyakan pelakunya. Pangeran Diponegoro bersila dan

memejamkan mata ketika ia mencoba menduga siapa pelakunya. Dugaan

Pangeran Diponegoro dapat terlihat dalam kutipan berikut.

(18) “Bukan. Agaknya mahacorah. Dia juga yang berada di balik kematian ayahanda
Sultan Raja.” (Hlm. 264)

Pertanyaan Ratu Ageng mengerucut kepada peran pelaku. Ratu Ageng

menanyakan tentang kemungkinan peran tumenggung dalam kematian Sultan

Hamengku Buwono IV. Pangeran Diponegoro membenarkannya. Ada dua

tumenggung yang mereka duga. Mereka adalah Tumenggung Secodiningrat atau

Tan Jin Sing dan Tumenggung Sumodipuro atau Danurejo IV. (Hlm. 265)

Terjadi flash back dalam penjelasan peristiwa kematian Sultan Hamengku

Buwono IV. Sebelum Sultan Hamengku Buwono IV meninggal, Nahuys akan

mengakhiri masa jabatannya sebagai Residen Yogyakarta. Gubernur Jendral Van

Der Capellen menganggap kepemimpinan Residen Nahuys di Yogyakarta buruk.

Nahuys dianggap gagal karena terlalu lama berada di hutan sebagai anggota

Badan Administrasi Kehutanan. (Hlm. 266)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

64

Sebelum berhenti dari jabatannya, Nahuys pergi ke Batavia untuk

ambisinya membuktikan kepada Van Der Capellen bahwa ia tidak seburuk yang

Van Der Capellen kira. Cara pembuktian Nahuys terhadap Van Der Capellen

dapat terlihat dari kutipan berikut.

(19) “Saya akan menjadi malaikat maut bagi Sri Sultan.” (Hlm. 266)

Residen Nahuys berpendapat bahwa hanya Sultan Hamengku Buwono II

yang bisa menjadi boneka paling sempurna bagi Belanda. Dengan membunuh

Sultan Hamengku Buwono IV, Belanda menginginkan Sultan Hamengku Buwono

II naik takhta kembali. Pendapat Nahuys tersebut juga disetujui oleh Van Der

Capellen. (Hlm. 267)

Peristiwa flash back selanjutnya adalah pemanggilan Danurejo IV oleh

Residen Nahuys ke vila Nahuys di Bedoyo pada malam hari. Danurejo IV

mendapat tugas dari Nahuys untuk membunuh Sultan Hamengku Buwono IV.

Nahuys ingin memanfaatkan posisi Danurejo IV sebagai penasihat Sultan

Hamengku Buwono IV untuk menjalankan rencananya. Nahuys juga

menginginkan Danurejo IV menggunakan jasa Raden Tumenggung Secodiningrat

atau Tan Jin Sing untuk membunuh Sultan Hamengku Buwono IV. Rencana

tersebut sifatnya sangat rahasia. Kepala Danurejo IV adalah jaminannya. Danurejo

IV pun menyetujui rencana Nahuys. (Hlm. 269)

Pada malam itu juga, Danurejo IV pergi menemui Tan Jin Sing. Danurejo

IV sampai ke rumah Tan Jin Sing pada pukul 02.30 malam. Tan Jin Sing

memahami maksud Danurejo IV yang meminta dibuatkan racun untuk

kepentingan Belanda. (Hlm. 270-271)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

65

Keesokan harinya, Danurejo IV datang menemui Sultan Hamengku

Buwono IV. Danurejo IV menawarkan tamasya ke pesisir selatan. Sultan

Hamengku Buwono IV menyetujuinya. Sultan Hamengku Buwono IV meminta

Danurejo IV untuk mempersiapkan tamasyanya dua hari kemudian. Dalam

tamasya tersebut, Danurejo IV juga mengajak ketiga penasihat Sultan Hamengku

Buwono IV yang lainnya yaitu Tumenggung Pringgodiningrat, Tumenggung

Martonegoro, dan Tumenggung Ronodiningrat. (Hlm. 272)

Rombongan Sultan Hamengku Buwono IV berangkat bertamasya pada

pagi hari. Ketika perjalanan berangkat, rombongan tersebut berhenti untuk

beristirahat pada siang hari. Pada saat itu, Danurejo IV menyiapkan minuman

kelapa muda yang telah ia campur dengan racun. Sultan Hamengku Buwono IV

meminum air kelapa muda tersebut. Racun bereaksi setelah satu jam diminum.

Rombongan baru sadar Sultan Hamengku Buwono IV meninggal ketika sudah

sampai ke pesisir selatan. (Hlm. 272-274)

Latar bergerak ke warung kopi di pecinan. Pernyataan Pangeran

Diponegoro tentang kematian Sultan Hamengku Buwono IV karena diracun

kepada Pangeran Mangkubumi sebelumnya menyebar sampai ke pecinan. Tan Jin

Sing yang berada di warung kopi tersebut mendengar orang-orang berbicara

tentang kematian Sultan Hamengku Buwono IV yang diduga karena racun.

Mendengar obrolan tersebut, Tan Jin Sing gugup dan ketakutan. (Hlm. 274)

Setelah kejadian tersebut, pada hari berikutnya, Tan Jin Sing menghubungi

Danurejo IV untuk datang ke warung kopi di daerah pecinan. Di tempat itu,


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

66

Danurejo IV berbicara kepada orang-orang bahwa pernyataan Pangeran

Diponegoro hanya hasutan saja. Danurejo IV juga berbicara bahwa orang yang

paling patut diduga meracun Sultan Hamengku Buwono IV adalah Pangeran

Diponegoro. Alasannya adalah Pangeran Diponegoro iri pada adiknya karena

justru adiknya yang diangkat jadi Sultan Hamengku Buwono IV. (Hlm. 275)

Semua orang percaya. Mereka percaya karena sebagian besar dari mereka

adalah orang Cina. Hal ini dikarenakan Danurejo IV sering membantu urusan

bisnis orang Cina. Hanya ada satu orang yang tidak percaya pada Danurejo IV

pada waktu itu yaitu Ong Kian Tiong. Ong Kian Tiong menyanggah omongan

Danurejo IV. Mendengar sanggahan Ong Kian Tiong, Danurejo IV langsung pergi

dari warung kopi tersebut. (Hlm. 275-276)

Pada subbab nomor lima puluh satu, latar bergerak ke Vila Nahuys di

Bedoyo. Danurejo IV melaporkan keberhasilannya melaksanakan misi untuk

membunuh Sultan Hamengku Buwono IV kepada Residen Nahuys. Misi

selanjutnya setelah terbunuhnya Sultan Hamengku Buwono IV adalah membuat

sebuah dewan penasihat. Nahuys meminta Danurejo IV mengurus misi membuat

dewan nasihat dengan residen baru yang akan menggantikannya. (Hlm. 277-279)

Alur kembali bergerak lurus dengan latar di Tegalrejo. Pangeran

Diponegoro merasa sedih mendengar kabar meninggalnya adiknya, Sultan

Hamengku Buwono IV. Pangeran Diponegoro sedang membayangkan

kenangannya bersama adiknya semasa hidup. Dalam bayangannya, Pangeran

Diponegoro melupakan kelakuan yang menyimpang dari Sultan Hamengku


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

67

Buwono IV saat ia mengunjunginya ketika perayaan penyambutan Residen

Nahuys di keraton. (Hlm. 281)

Setelah kematian Sultan Hamengku Buwono IV, Pangeran Mangkubumi

memikirkan tentang pengganti Sultan Hamengku Buwono IV. Pangeran

Mangkubumi mendiskusikannya dengan Pangeran Diponegoro. Pangeran

Diponegoro menyarankan adiknya Menol sebagai pengganti Sultan Hamengku

Buwono IV. Menol baru berusia tiga tahun. Diskusi keduanya berkembang ke

arah peran Belanda dalam menentukan dewan perwalian untuk mendampingi

Menol. Pikiran Pangeran Diponegoro langsung tertuju kepada Danurejo IV.

Pangeran Diponegoro meramalkan tentang peran Danurejo IV sebagai

perpanjangan tangan Belanda akan membuat keadaan keraton dan Yogyakarta

secara umum menjadi semakin buruk. Prediksinya tentang Danurejo IV dapat

terlihat dari kutipan berikut.

(20) “Rasanya tidak ada seorang ‘dia’ di Yogyakarta-baik dalam Negara, Negara Agung,
maupun Mancanegara-yang lebih bajingan daripada Danurejo IV. (Hlm. 282)

Dalam diskusi tersebut, Pangeran Mangkubumi kembali menyarankan

Pangeran Diponegoro untuk duduk sebagai dewan perwalian di keraton. Pangeran

Mangkubumi berpendapat bahwa keberadaan Pangeran Diponegoro bisa menjadi

penyeimbang. Namun, Pangeran Diponegoro tetap tidak mau duduk sebagai

pejabat di keraton. (Hlm. 284)

Pada Subbab nomor lima puluh dua, setting waktu meloncat ke bulan

Oktober tahun 1823. Danurejo IV pergi ke Vredeburg untuk menemui Van Rijnst.

Van Rijnst yang dicarinya ternyata sedang berada di Vila Bedoyo untuk melihat
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

68

renovasi vila untuk residen pengganti Nahuys. Danurejo IV memutuskan untuk

pergi menemui Van Rijnst ke Vila Bedoyo.

Di Vila Bedoyo, Danurejo IV bertemu dengan Van Rijnst. Danurejo IV

ingin menyampaikan gagasannya tentang pengganti Sultan Hamengku Buwono

IV. Danurejo IV berpendapat untuk memasang putra mahkota yang baru berusia

tiga tahun. Dengan begitu, kekuasaan sultan akan sepenuhnya dapat dikontrol.

Van Rijnst membenarkan gagasan Danurejo IV dan menganggap gagasan tersebut

dapat disampaikan kepada residen yang baru. Residen yang dimaksudkan tersebut

akan hadir pada perayaan 3 Oktober (hari merdekanya Leiden dari pengepungan

tentara Spanyol) di Vredeburg. Danurejo IV meminta kepada Van Rijnst untuk

diundang hadir dalam acara tersebut. (Hlm. 290)

Residen pengganti Nahuys adalah A.H. Smissaert. Smissaert adalah orang

Belanda kelahiran Batavia. Latar belakangnya tersebut membuat Smissaert

pandai berbahasa Melayu. (Hlm. 291)

Setting waktu bergerak pada tanggal 3 Oktober. Latar berada di

Vredeburg. Para pejabat Belanda merayakan perayaan 3 Oktober yaitu hari

bebasnya Belanda dari penjajahan Spanyol tahun 1574. Danurejo IV, Wironegoro,

dan beberapa orang dari keluarga kesultanan dan Pakualaman hadir dalam

upacara tersebut. Dalam upacara tersebut, Smissaert berpidato di depan mimbar.

Dalam pidatonya, Smissaert mengagumi tokoh filsuf Descartes untuk

membanggakan bangsa Belanda. Selain itu, terlihat bahwa Smissaert memiliki

sikap yang merendahkan pribumi. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan berikut.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

69

(21) “Descartes memang benar”, katanya. “Maka terpujilah Descartes yang


mengingatkan kita, bangsa Belanda. Kalau kita, bangsa Belanda tidak mau berpikir
pastilah kita tidak sampai di negeri timur ini, dan melihat paradoks yang nyata,
bahwa kita pandai dan pribumi tolol.”(Hlm. 293)

Pada malam harinya, acara ramah-tamah diselenggarakan di vila Bedoyo.

Smissaert berpesta bersama pejabat-pejabat Belanda lainnya. Dalam acara tersebut

hadir pula beberapa pelacur yang didatangkan khusus untuk memuaskan hasrat

Smissaert. (hal 297)

Residen Smissaert digambarkan sebagai residen yang suka berpesta pora,

bermabuk-mabukan, dan sering menggunakan jasa pelacur. Kebiasaan Smissaert

ini terdengar oleh Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro mendapat laporan

dari salah seorang jongos yang bekerja di Vila Bedoyo yang dipecat oleh

Smissaert. Jongos tersebut menceritakan kepada Pangeran Diponegoro bahwa ia

dipecat karena membagikan sisa-sisa makanan di vila Bedoyo kepada orang-orang

yang kelaparan di sekitar tempat tersebut. Smissaert marah dan memukuli jongos

tersebut karena tindakannya memberi makan kepada orang-orang yang kelaparan

di sekitaran vila Bedoyo. Peristiwa tersebut membuat kesan yang buruk Pangeran

Diponegoro terhadap Smissaert.(Hlm. 300)

Pada subbab nomor lima puluh tiga, alur bergerak kembali ke Tegalrejo.

Pangeran Diponegoro termenung ketika melihat para tukang bangunan yang

sedang merenovasi surau di Tegalrejo yang akan dibangun menjadi masjid. Para

tukang bangunan tersebut terlihat sangat kurus. Penjelasan mengenai keadaan

rakyat Yogyakarta dapat terlihat dalam renungan Pangeran Diponegoro. Penyakit


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

70

cacar terus merebak dan menyebabkan banyak korban jiwa di Yogyakarta. (Hlm.

301-303)

Pangeran Diponegoro juga merenungkan tentang keberadaan Belanda

yang semakin menyengsarakan rakyat Yogyakarta. Pangeran Diponegoro berjanji

pada usia 40 tahun, ia akan melawan Belanda. Cita-citanya tidak hanya

menyatukan rakyat di Yogyakarta dan Surakarta, tapi seluruh Nusantara seperti

yang pernah Gajah Mada lakukan pada masa Kerajaan Majapahit. (Hlm. 305)

Pangeran Diponegoro terbangun dari renungannya ketika Pangeran

Mangkubumi datang ke Tegalrejo. Pangeran Mangkubumi membujuk Pangeran

Diponegoro untuk pergi ke keraton untuk rapat membahas pengangkatan putra

mahkota Menol untuk menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Pangeran

Diponegoro akhirnya mau ke keraton setelah dibujuk oleh Pangeran

Mangkubumi. Ia juga mau menjadi salah satu dewan penasihat Sultan Hamengku

Buwono V yang baru berusia tiga tahun (Hlm. 307)

Danurejo IV hadir dalam rapat tersebut sebagai seorang tumenggung. Ia

terlihat mengendalikan rapat tersebut. Danurejo IV menyampaikan semua hal

yang mewakili kepentingan Belanda. Sebelumnya, Danurejo IV bertemu dengan

Van Rijnst di Vredeburg terlebih dahulu untuk membahas kepentingan Belanda

dalam hal kepengurusan Sultan Hamengku Buwono V. (hal 308)

Kepentingan Belanda yang disampaikan Van Rijnst terhadap Danurejo IV

sebelum rapat kepengurusan pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V terlihat

dalam kutipan berikut.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

71

(22) “Tekankan pada dewan yang akan dibentuk untuk membantu Sultan Hamengku
Buwono V adalah menyangkut sistem kepamongprajaan dalam menarik pungutan-
pungutan di luar pajak resmi dari tanah-tanah yang diukur luasnya dan
kepemilikannya. Camkan baik-baik itu. Itu untuk mereka yang memiliki tanah.
Sedangkan mereka yang tidak memiliki tanah, diharuskan bekerja 66 hari dengan
tidak menerima upah sesuap pun nasi. Kamu harus tekankan juga, bahwa penasihat
Sultan Hamengku Buwono V harus menjalankan itu dengan patuh. Katakan, bahwa
karena Sultan Hamengku Buwono IV tidak patuh pada tugas dan kewajibannya itu,
maka dia menerima resiko yang paling fatal atas hidupnya. Katakan kepada dewan
perwalian itu, harus hati-hati terhadap kebijakan hukum Gubernur Jenderal yang
sekarang ini, Van der Capellen adalah seoarang pakar hukum yang tahu betul soal
hukuman.“ (Hlm. 308-309)

Pesan Van Rijnst tersebut disampaikan Danurejo IV di dalam rapat

pembahasan dewan perwalian Sultan Hamengku Buwono V. Pangeran

Diponegoro yang hadir dalam rapat menyanggah semua pernyataan Danurejo IV.

Pangeran Diponegoro mau menjadi dewan perwalian Sultan Hamengku Buwono

V dengan tujuan untuk mengembalikan cita-cita dasar pendiri kerajaan, Sultan

Hamengku Buwono I yaitu sebagai bangsa yang merdeka. (Hlm. 311)

Konflik antara Pangeran Diponegoro dan Danurejo IV menegang dan

berakhir dengan perkelahian keduanya pada saat rapat berlangsung. Danurejo IV

kalah dalam perkelahian yang membuat badannya penuh dengan luka. Peristiwa

ini membuat konflik menjadi meningkat intensitasnya pada peristiwa-peristiwa

berikutnya. (Hlm. 313-314)

2.3 Tahap Rising Action atau Tahap Peningkatan Konflik

Tahap rising action atau peningkatan konflik merupakan tahapan di mana

konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

72

dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi

inti cerita semakin mencengkam dan menegangkan (Nurgiyantoro, 2007: 149).

Berbagai konflik antara Danurejo IV dengan Pangeran Diponegoro dengan

orang-orang terdekatnya meningkat. Hal ini dikarenakan Pangeran Diponegoro

dan Danurejo IV sama-sama menjadi dewan perwalian Sultan Hamengku Buwono

V. Situasi ini menimbulkan konfrontasi langsung antara Pangeran Diponegoro

dengan Danurejo IV. Tahapan peningkatan konflik ini ditandai dengan upaya-

upaya Danurejo IV menyingkirkan Pangeran Diponegoro.

Pada subbab nomor lima puluh empat, alur bergerak pada upaya-upaya

Danurejo IV membunuh Pangeran Diponegoro. Upaya yang pertama adalah

menggunakan kekuatan orang Cina untuk melampiaskan emosinya terhadap

Pangeran Diponegoro. Danurejo IV segera pergi ke kantor himpunan orang-orang

Cina di belakang klenteng pecinan. Danurejo IV meminta para dewan pengurus

Cina berkumpul di kantor tersebut. (Hlm. 320)

Danurejo IV menghasut para anggota dewan Cina dengan memanfaatkan

sejarah kelam etnis Tionghoa di Nusantara untuk menyingkirkan Pangeran

Diponegoro. Hal ini dapat terlihat dari kutipan berikut.

(23) “Anak selir Sultan Raja dari Tegalrejo ini bisa berbahaya bagi hak hidup kalian di
sini. Dia keras dan fanatik. Bisa-bisa dia memakai cara Kertanegara atau
Wikrawardhana atau Valckeneir untuk menghembuskan anti Cina kepada rakyat. Itu
artinya kehidupan kalian semua terancam. Oleh karena itu, saya kira cara yang
paling tepat adalah menghalau dia.” (Hlm. 320)

Dalam peristiwa tersebut, muncul tokoh bernama Ket Wan. Ket Wan

adalah keturunan bangsa Mancu yang menjadi salah satu anggota dewan Cina
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

73

yang ikut mendengarkan hasutan Danurejo IV. Sifat Ket Wan adalah pemarah dan

mudah terpancing emosi apabila terhasut. (Hlm. 322)

Sifat Ket Wan yang pemarah memudahkan Danurejo IV menjalankan

rencananya untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro. Danurejo IV

merencanakan untuk membuat pertandingan adu lembing di atas kuda. Danurejo

IV merancang pertandingan adu lembing secara bebas, sampai mati. (Hlm. 323)

Rencana Danurejo IV disetujui oleh Ket Wan. Ket Wan menganggap

mudah mengalahkan Pangeran Diponegoro dalam pertandingan adu lembing. Ia

berencana menggunakan dua lembing masing-masing untuk melumpuhkan kuda

tunggangan Pangeran Diponegoro dan Pangeran Diponegoro sendiri. (Hlm. 324)

Ong Kian Tiang ikut hadir dalam pertemuan tersebut. Ong kian Tiang

tidak setuju dengan pendapat Danurejo IV yang menganggap Pangeran

Diponegoro akan membahayakan kehidupan orang Cina di Yogyakarta. Segera

setelah peristiwa itu, Ong Kian Tiang pergi ke Tegalrejo menemui Pangeran

Diponegoro. (Hlm. 324)

Ong kian Tiang menceritakan secara lengkap hasutan Danurejo IV

terhadap para dewan Cina kepada Pangeran Diponegoro. Ong kian Tiong

menyarankan Pangeran Diponegoro untuk berhati-hati. Ia juga menyarankan

Pangeran Diponegoro untuk mengganti kuda tunggangannya dalam menghadapi

pertandingan adu lembing tersebut. Ong Kian Tiong mereferensikan kuda tangguh

yang dijual di daerah Kedu kepada Pangeran Diponegoro. (Hlm. 325-326)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

74

Sementara itu, beberapa orang Cina datang ke rumah Ong Kian Tiong.

Salah satunya adalah rohaniawan Konghucu Can Hong Bok yang bernama Jawa

Eyang Condro. Mereka mengetahui bahwa Ong Kian Tiong cukup dekat dengan

Pangeran Diponegoro. Ong Kian Tiong bertemu dengan mereka setelah pulang

dari Tegalrejo. Kedatangan mereka untuk menanyakan kebenaran sikap Pangeran

Diponegoro yang disampaikan Danurejo IV. Ong Kian Tiong menjelaskan bahwa

pernyataan yang disampaikan Danurejo IV tidak benar.(Hlm. 326-327)

Setelah mendengar keterangan dari Ong Kian Tiong, Eyang Condro

menemui ketua dewan Cina, Tan Jin Sing untuk membahas pernyataan Danurejo

IV. Tan Jin Sing dekat dengan Danurejo IV dan sering mendapat keuntungan dari

Danurejo IV. Oleh sebab itu, Tan Jin Sing tidak menanggapi kekhawatiran eyang

Condro. (Hlm. 328)

Pada Subbab nomor lima puluh lima, Pangeran Diponegoro pergi ke Kedu

untuk melihat kuda yang direferensikan Ong Kian Tiong. Sesampainya Di Kedu,

Pangeran Diponegoro merasa cocok dengan kuda itu. Ia bersepakat dengan

penjualnya untuk membeli kuda itu. (Hlm. 334)

Pangeran Diponegoro bergegas pulang ke Tegalrejo. Hal ini dikarenakan

sebelum berangkat, Ratu Ageng sakit. Dalam perjalanan pulangnya, Pangeran

Diponegoro kagum dengan kegagahan kuda tunggangannya. Ia memberi nama

kudanya sebagai Kiai Gentayu. (Hlm. 336)

Pada Subbab nomor lima puluh enam, Danurejo IV melanjutkan rencana

untuk menggelar pertandingan adu lembing di atas kuda. Danurejo IV


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

75

mengundang seluruh penasihat Sultan Hamengku Buwono V. Undangan ini

adalah rekayasa Danurejo IV dengan alasan membahas kegiatan untuk memberi

perhatian kepada orang-orang Cina. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberi

penghargaan kepada orang-orang Cina yang berperan penting membangun

tataniaga di Yogyakarta. (Hlm. 341)

Para penasihat Sultan Hamengku Buwono V hadir. Pangeran Diponegoro,

Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Bei ikut hadir dalam pertemuan tersebut.

Danurejo IV mengutarakan maksudnya menyelenggarakan pertandingan adu

lembing di atas kuda di depan para penasihat Sultan Hamengku Buwono V.

Dalam pertemuan tersebut, Danurejo IV terkejut setelah mengetahui Pangeran

Diponegoro sudah mengetahui rencananya. Peristiwa tersebut membuat Danurejo

IV marah kepada Ong Kian Tiang. Ia berpikir Ong Kian Tiong telah

membocorkan rahasia rekayasanya. (Hlm. 341-344)

Setelah pertemuan itu, Danurejo IV langsung pergi ke rumah Ong Kian

Tiong. Di rumah Ong Kian Tiong, ketegangan kembali muncul setelah Ong Kian

Tiang mengaku menceritakan rencana Danurejo IV kepada Pangeran Diponegoro.

Danurejo IV beberapa kali mencoba memukul Ong Kian Tiang. Karena Ong Kian

Tiong adalah orang Cina yang pandai silat, serangan Danurejo IV tidak berhasil.

Danurejo IV tidak berkutik. Peristiwa tersebut membuat ketegangan terus

meningkat intensitasnya. (Hlm. 345-348)

Alur terus bergerak sepekan kemudian. Pertandingan adu lembing di atas

kuda antara Ket Wan dengan Pangeran Diponegoro digelar di alun-alun


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

76

Yogyakarta. Rakyat Yogyakarta antusias melihat pertandingan tersebut dilihat

dari jumlah penontonnya yang banyak. Orang-orang penting dari keraton

kesultanan dan Pakualaman, dan beberapa pejabat Belanda menyaksikan

pertandingan tersebut. Hanya Residen Smissaert yang tidak hadir. (Hlm. 349)

Dalam pertandingan tersebut, Pangeran Diponegoro berhasil mengalahkan

Ket Wan. Kuda tunggangannya, Kiai Gentayu memperlihatkan kekuatannya. Ket

Wan mati setelah terkena lembing di tenggorokannya. Sesaat setelah

memenangkan pertandingan, Pangeran Diponegoro mendekati Danurejo IV dan

meneriakinya. Perkataan Pangeran Diponegoro dapat dilihat dalam kutipan

berikut.

(24) “Harusnya bukan dia yang mati. Dia bukan musuh saya. Saya tidak bermusuhan
dengan orang Cina. Orang Cina adalah saudara tua bangsa Nusantara. Saya heran
kenapa saya dibikin jadi musuh Cina. Harusnya musuh saya adalah Belanda.” (Hlm.
353)

Kemarahan Danurejo IV terus meningkat setelah mendengar ucapan

Pangeran Diponegoro. Selain itu, para pejabat Belanda yang menyaksikan

pertandingan tersebut juga mendengar ucapan Pangeran Diponegoro kepada

Danurejo IV. Salah satunya adalah Van Rijnst. (Hlm. 353)

Kegagalan Danurejo IV membunuh Pangeran Diponegoro membuat

konflik terus berkembang. Pada Subbab nomor lima puluh tujuh, Danurejo IV

mencoba cara lain untuk membunuh Pangeran Diponegoro. Karena Pangeran

Diponegoro sulit dikalahkan dengan kekuatan fisik, Danurejo IV berencana untuk

meminta bantuan paranormal untuk membunuh Pangeran Diponegoro. Danurejo

IV berdiskusi dengan Van Rijnst untuk rencananya meminta bantuan paranormal.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

77

Van Rijnst mereferensikan paranormal di Semarang yang bernama Cohen.

Menurut orang-orang Belanda, reputasi Cohen sebagai paranormal tidak bisa

diragukan lagi. (Hlm. 356-358)

Danurejo IV dan Van Rijnst berangkat ke Semarang untuk menemui

Cohen. Namun rencana mereka kembali gagal. Cohen menolak untuk mencelakai

orang. Keahliannya adalah membaca kartu tarot, bukan mencelakai orang. Dalam

peristiwa tersebut, Cohen sempat meramalkan kejadian buruk yang akan dialami

Van Rijnst dalam waktu dekat melalui kartu tarotnya. Hal ini membuat Danurejo

IV dan Van Rijnst semakin kecewa datang ke Semarang untuk menemui Cohen.

Selain tujuan keduanya tidak berhasil, Van Rijnst justru mendapat ramalan buruk

dari Cohen. (Hlm. 355-366)

Di lain pihak, Eyang Condro dengan beberapa anggota dewan Cina

lainnya yang sepaham dengannya pergi menemui Ong Kian Tiong. Hal ini

dikarenakan kekhawatiran mereka terhadap isu rasial. Mereka sempat mendengar

rakyat yang menonton pertandingan adu lembing pada peristiwa sebelumnya

meneriakkan kata-kata rasial. Kata-kata rasial yang dimaksudkan adalah teriakan

ganyang Cina, bunuh saja Cina itu. (Hlm. 367)

Pada subbab nomor lima puluh delapan, latar bergerak ke Tegalrejo, pada

malam hari. Eyang Condro mengajak Ong Kian Tiong untuk pergi menemui

Pangeran Diponegoro. Eyang Condro dan Ong Kian Tiong merasa diperalat oleh

Danurejo IV dan Tan Jin Sing. Eyang Condro melihat bahwa pemimpin dewan

Cina Tan Jin Sing hanya menjadi alat kepentingan Danurejo IV. Eyang Condro
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

78

dan Ong Kian Tiong menegaskan kepada Pangeran Diponegoro bahwa mereka

bukan menjadi bagian dari kepentingan Danurejo IV. (Hlm. 375-378)

Konflik antara Danurejo IV dengan Pangeran Diponegoro terus

berkembang. Danurejo IV mulai berpikir untuk menggunakan kekuasaan

Smissaert untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro. Danurejo IV

menginginkan Pangeran Diponegoro disingkirkan dari dewan perwalian Sultan

Hamengku Buwono V.

Pada subbab nomor lima puluh Sembilan, Danurejo IV pergi ke vila

Bedoyo untuk menemui Smissaert. Danurejo IV menghasut Smissaert supaya

Smissaert melakukan tindakan tegas terhadap Pangeran Diponegoro. Hal ini dapat

terlihat dari kutipan dialog Danurejo IV terhadap Smissaert berikut.

(25) “Saya sedang bicara mengenai anak selir yang duduk sebagai wali Sultan
Hamengku Buwono V. Orang ini sangat merugikan pejabat Belanda. Dia
menghalang-halangi penagih pacumpleng. Padahal direncanakan, melalui
kebejabatan Tuan, 20% dari tagihan pacumpleng yang menjadi hak penyelenggara
tagihan, akan diberikan kepada Tuan Residen”( Hlm. 385)

Selain hasutan, Danurejo IV juga menjanjikan memberikan 40% dari hak

pendapatannya kepada Smissaert. (Hlm. 386)

Smissaert menugaskan Danurejo IV dan Wironegoro untuk memberikan

surat pemanggilan kepada Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Danurejo IV dan

Wironegoro berangkat ke Tegalrejo pada sore harinya. Pada saat itu, Pangeran

Diponegoro sedang melatih bela diri kepada para cantriknya. (Hlm. 387)

Pangeran Diponegoro berangkat ke Vila Bedoyo keesokan harinya sesuai

dengan surat yang diberikan oleh Danurejo IV dan Wironegoro sehari

sebelumnya. Di Vila Bedoyo Pangeran Diponegoro bertemu dengan Smissaert,


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

79

Danurejo IV, dan Van Rijnst. Sebelumnya, Danurejo IV melaporkan adanya

kegiatan militer di Puri Tegalrejo yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.

Pertemuan Pangeran Diponegoro dengan Residen Smissaert dan Danurejo IV

membuat tingkat ketegangan semakin meningkat. (Hlm. 391-392)

Pangeran Diponegoro tidak senang terhadap Smissaert yang

memperlakukannya tidak sopan. Ia juga menampar Danurejo IV di depan

Smissaert. Konflik ini terjadi karena Residen Smissaert memberitahukan bahwa

Danurejo IV lah yang memberikan laporan hasutan mengenai pajak pacumpleng

dan kegiatan militer di Puri Tegalrejo. hal ini terlihat dari kutipan berikut.

(26) Pangeran Diponegoro bangkit dari kursinya, langsung menampar muka Danurejo
IV. Yang disebut ini pun terjengkal. Sementara Smissaert berteriak-teriak.(Hlm.
393)
(27) “Ya, sudah, Tuan sudah mendapat laporan dari antek Tuan ini. Kata Pangeran
Diponegoro. “Saya tidak menyangkal. Karenanya saya pun merasa pembicaraan
kita sudah selesai. Selamat siang.” (Hlm. 393)

Pada subbab nomor enam puluh, alur bergeser ke masalah utang Keraton

Yogyakarta. Gubernur Jenderal Van Der Capellen menugaskan Residen Smissaert

untuk menagih utang dan tunggakan sewa menyewa tanah terhadap orang-orang

Cina yang harus dibayar pihak keraton kepada pemerintah Belanda. (Hlm. 395)

Seluruh pejabat keraton hadir ke kantor Residen Smissaert. Selain itu,

mantan pejabat yang pernah menjadi dewan perwalian Sultan Hamengku Buwono

IV juga dipanggil dan hadir. Yang tidak hadir hanya Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro menolak untuk hadir. Setelah peristiwa pemanggilannya di

Vila Bedoyo, Pangeran Diponegoro mengundurkan diri dari Dewan Perwalian

Sultan Hamengku Buwono V. (Hlm. 395)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

80

Pihak keraton tercatat memiliki utang sebesar 40.000 real Spanyol. Saat

itu, pihak keraton hanya memiliki uang 800 real Spanyol. Danurejo IV meminta

waktu terhadap pihak Belanda untuk mengumpulkan uang sebesar 40.000 real

Spanyol. Pihak Belanda akhirnya memberi waktu selama satu minggu kepada

keraton untuk mengumpulkan uang 40.000 real Spanyol. (hal 396-397)

Sesaat setelah pertemuan tersebut, Danurejo IV menemui Smissaert.

Danurejo IV mengatakan kepada Smissaert bahwa kemampuan tertinggi pihak

keraton dalam mengumpulkan uang hanya berada pada kisaran 26.000 real

Spanyol. Sisanya yaitu 14.000 real Spanyol sepenuhnya akan menjadi tanggung

jawab Danurejo IV. (Hlm. 397)

Danurejo IV memiliki rencana untuk memperoleh keuntungan pribadi

dalam masalah utang keraton kepada Belanda ini. Kepada Smissaert, Danurejo IV

memanfaatkan ketidakhadiran Pangeran Diponegoro pada saat pertemuan

membahas utang keraton. Danurejo IV merekayasa cerita bahwa ketidakhadiran

Pangeran Diponegoro karena tidak ingin keuangan Tegalrejo berkurang untuk

kewajiban membayar utang. (Hlm. 398)

Kepada pihak Cina, Danurejo IV merekayasa cerita untuk memeras Tan

Jin Sing. Danurejo IV memanfaatkan isu rahasia kematian Sultan Hamengku

Buwono III dan Sultan Hamengku Buwono IV karena racun. Danurejo IV

memberitahukan bahwa Pangeran Diponegoro saat ini membutuhkan dana

sebesar 40.000 real Spanyol untuk membiayai kegiatan militernya di Tegalrejo.

Apabila Pangeran Diponegoro disuap dengan uang sebesar 40.000 real Spanyol,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

81

maka Pangeran Diponegoro akan melupakan firasatnya tentang kematian ayah dan

adiknya karena racun. Danurejo IV juga menggarisbawahi gejala anti Cina yang

kapan saja bisa terjadi jika isu kematian yang merujuk pada racun buatan Tan Jin

Sing meluas. Tan Jin Sing akhirnya bersedia memberikan dana sebesar 40.000

real Spanyol kepada Danurejo IV. Tan Jin Sing mendapatkan uang tersebut dari

iuran yang dikumpulkan oleh para dewan Cina. (Hlm. 399)

Sementara itu, beberapa orang Cina yang merasa diperas Danurejo IV

lewat Tan Jin Sing mengeluhkan hal tersebut kepada Eyang Condro. Bersama

Ong Kian Tiong, Eyang Condro pergi ke Tegalrejo menemui Pangeran

Diponegoro. Ia menceritakan bahwa Danurejo IV memeras orang-orang Cina

demi kepentingannya. (Hlm. 402)

Kepada pihak keraton, Danurejo IV meminta tiap pejabat keraton iuran

sebesar 1000 real Spanyol. Dari iuaran tersebut terkumpul dana sebesar 26.000

real Spanyol. Danurejo IV yang sebelumnya sudah memperoleh dana sebesar

40.000 real dari Tan Jin Sing, mengatakan bahwa sisa utang sebesar 14.000 real

Spanyol akan ia tanggung. Mendengar hal itu, para pejabat keraton menjadi

kagum dengan Danurejo IV. Mereka tidak mengetahui jika sudah diperalat

Danurejo IV. (Hlm. 403)

Danurejo IV yang sebelumnya menjanjikan 40% dari penghasilan

pemungutan pajaknya terhadap Smissaert, memberikan 2.600 real Spanyol kepada

Smissaert. Smissaert senang mendapatkan uang dengan mudah dari Danurejo IV.

Karena hal itu, Danurejo IV mengalihkan masalah kedudukan Pangeran


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

82

Diponegoro sebagai dewan perwalian Sultan Hamengku Buwono V menjadi

masalah kegiatan militer di Puri Tegalrejo. Danurejo IV mengatakan kepada

Smissaert bahwa kegiatan tersebut bertujuan untuk menyerang pihak Belanda.

Dengan alasan ini, akhirnya Smissaert memutuskan untuk menangkap Pangeran

Diponegoro. Rencananya adalah mengundang Pangeran Diponegoro dan seluruh

pejabat keraton untuk berpesta, kemudian menjebak Pangeran Diponegoro dengan

jalan dibuat mabuk. (Hlm. 406)

Pada subbab nomor enam puluh satu, alur bergerak ke peristiwa pesta

yang diselenggaran Smissaert. Pesta tersebut diselenggarakan di Loji Besar dalam

rangka penghormatan terhadap pihak keraton yang berhasil membayar kewajiban

utang terhadap pemerintahan Belanda. Para pangeran dan pejabat dari Yogyakarta

dan Surakarta termasuk Pangeran Diponegoro hadir dalam acara tersebut.(Hlm

407)

Sebelum berangkat memenuhi undangan Smissaert, Pangeran Diponegoro

membawa 80 pengawal pilihannya. Kesemuanya adalah para cantrik yang sudah

ia latih di Puri Tegalrejo. Hal ini dikarenakan permintaan Raden Ayu

Ratnaningsih dan Ratu Ageng yang cemas dengan keselamatan Pangeran

Diponegoro. (Hlm. 407-408)

Para pengawal Pangeran Diponegoro sudah diminta untuk bersiap-siap

dengan segala kemungkinan yang ada sebelum berangkat. Setelah sampai di

tempat pesta, mereka berpencar menjadi empat kelompok yang masing-masing

terdiri dari 20 orang. Mereka berjaga di luar karena tidak diperkenankan masuk
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

83

oleh Smissaert. Sedangkan jumlah pasukan Belanda di Loji Besar hanya 30

orang.(Hlm. 409)

Dalam peristiwa tersebut, para pengawal Pangeran Diponegoro bertemu

dengan Van Rijnst di gerbang pintu masuk. Karena penghinaan Van Rijnst saat

mereka berpas-pasan, Banteng wareng menghunuskan kerisnya ke leher Van

Rijnst. Van Rijnst tewas dalam kejadian tersebut.(Hlm. 409-410)

Di dalam Loji Besar, Pangeran Diponegoro berpura-pura mabuk setelah

diberi minuman oleh Smissaert. Melihat Pangeran Diponegoro dalam kondisi

mabuk, Smissaert memerintahkan Wironegoro untuk menangkapnya. Pangeran

Diponegoro yang mengawasi pergerakan Smissaert, Danurejo IV, dan

Wironegoro ketika ia berpura-pura mabuk, telah mempersiapkan diri jika terjadi

sesuatu yang tidak ia inginkan. Peristiwa selanjutnya dapat dilihat dari kutipan

berikut

(28) Melihat bahwa Wironegoro sedang menuju ke arahnya, cepat-cepat Pangeran


Diponegoro bangkit dari kursi lantas berjalan ke pintu luar. Dengan satu jentikan
jari, Pengawal yang berada di dekat pintu, segera datang. Setelah itu, semuanya,
yang 80 orang, serempak hadir di situ. (Hlm. 414)

Banteng Wareng menyeret mayat Van Rijnst atas perintah Pangeran

Diponegoro. Melihat mayat Van Rijnst, Danurejo IV kaget dan ketakutan. Segera

terbayang ramalan Cohen tentang Van Rijnst yang akan mengalami kejadian

buruk. (Hlm. 415)

Di depan para pejabat Belanda dan keraton, Pangeran Diponegoro juga

memberitahukan bahwa uang Danurejo IV untuk membayar utang kepada pihak

Belanda diperoleh dengan cara memeras orang-orang Cina. Pangeran Diponegoro


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

84

mengatakan kepada Smissaert untuk menyingkirkan Danurejo IV dan juga

Wironegoro. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

(29) “Tuan harus pecat orang ini, “katanya. “Selain orang ini, juga orang itu,
Wironegoro. Merekalah yang membuat negeri ini menjadi kacau. Sebenarnya
kebencian rakyat kepada Belanda, adalah karena kelakuan mereka. Kalau tuan tidak
memecat mereka, saya tidak tanggung akibatnya nanti. (Hlm. 418)

Mendengar ucapan Pangeran Diponegoro, Wironegoro langsung

menyerang Pangeran Diponegoro. Namun kesigapan Pangeran Diponegoro

membuat Wironegoro justru terpelanting karena tendangan Pangeran Diponegoro.

Smissaert kemudian berteriak untuk menghentikan kekacauan yang terjadi. (Hlm.

418)

2.4 Tahap Klimaks atau Climax

Tahap klimaks merupakan tahapan di mana konflik yang terjadi mencapai

titik puncak intensitas. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih

dari satu klimaks (Nurgiyantoro, 2007: 150).

Berbagai rencana Danurejo IV untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro

yang telah dipaparkan pada tahap peningkatan konflik, berakhir dengan peristiwa

Penyerangan Belanda ke Puri Tegalrejo. Hal ini menandai titik puncak intensitas

ketegangan konflik antara Pangeran Diponegoro dengan Danurejo IV dan

Belanda. Peristiwa tersebut menjadi klimaks dalam novel Pangeran Diponegoro :

Menuju Sosok Khalifah.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

85

Klimaks terjadi pada subbab terakhir yaitu subbab nomor enam puluh dua.

Sebelum peristiwa penyerangan dipaparkan, diceritakan terlebih dahulu peristiwa

meninggalnya Ratu Ageng akibat sakit yang dideritanya. Pada saat itu, Raden Ayu

Ratnaningsih sudah memiliki tiga anak. Suasana berkabung ini membuat

terbentuknya suasana penyituasian klimaks. (Hlm. 419-420)

Dalam masa berkabung, Smissaert lewat hasutan Danurejo IV,

memerintahkan pasukannya untuk memasang patokan-patokan tanah di Tegalrejo

untuk pembuatan jalan yang menghubungi kuncen. Melihat kejadian tersebut,

Diponegoro langsung meminta anak buahnya untuk melepas kembali patokan-

patokan tanah tersebut. Perisitwa tersebut terjadi secara berulang-ulang.(Hlm.421-

424)

Peristiwa sebelumnya yaitu percobaan penangkapan Pangeran Diponegoro

di Loji Besar membuat pangeran-pangeran yang hadir pada acara tersebut menjadi

kagum kepada Pangeran Diponegoro. Kekaguman itu membuat mereka

menyatakan siap membantu Pangeran Diponegoro untuk melawan Belanda.

Jumlah para cantrik Pangeran Diponegoro pun sudah mencapai ratusan. Mereka

berjaga siang dan malam secara bergiliran. (Hlm. 425)

Pangeran Diponegoro menyadari bahwa perang dengan Belanda tidak

lama lagi akan terjadi. Ia juga sudah siap berperang. Hal ini karena usianya sudah

menginjak empat puluh tahun pada saat itu. Artinya setting waktu berada pada

tahun 1825. Hal ini terlihat pada peristiwa kematian Sultan Hamengku Buwono

IV pada tahun 1822, usia Pangeran Diponegoro adalah tiga puluh tujuh tahun.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

86

Di usia empat puluh tahun, Pangeran Diponegoro telah bersumpah pada

Ratu Ageng untuk memimpin perang melawan Belanda. Bagi Pangeran

Diponegoro, usia empat puluh tahun adalah usia yang membuatnya sudah sangat

matang. Kematangan ini adalah syarat untuk menempuh jihad sesuai ajaran Islam

yang ia yakini. (Hlm.428).

Pangeran Diponegoro juga terus mengobarkan semangat kepada para

cantriknya untuk bersiap perang. Hal ini dapat terlihat dari kutipan berikut.

(30) “Baik, Saudara-Saudara, “Kata Pangeran Diponegoro, menggumpal rasa percaya


dirinya. “Saya sendiri pun siap memimpin Saudara-Saudara untuk mengangkat
senjata, melawan Belanda. Kita akan pakai senjata mereka sendiri, untuk membasmi
mereka. Kita akan rampas senjata itu selepas bulan ini.(Hlm.427)
(31) “Di usia 40 tahun ini jangan harap Belanda bisa bermain-main api lagi dengan kita,
sebab kita akan rebut api mereka, dan kita bakar mereka, mengirim mereka ke
neraka. Dengan dukungan Saudara-Saudara saya siap maju, terus maju, pantang
mundur, tidak mengenal kamus mundur, tidak ada sejengkal pun tanah air kita yang
boleh diambil dan dikuasai Belanda. Mari kita perang di jalan Allah. Fi sabillilah!”
(Hlm.428)

Ternyata ada penyusup suruhan Danurejo IV dalam peristiwa tersebut.

Penyusup tersebut segera melaporkan kejadian di Tegalrejo kepada Danurejo IV.

Danurejo IV yang mendapat laporan tersebut, segera melapor kepada Smissaert.

Menyadari bahaya serangan dari Tegalrejo, Smissaert segera berinisiatif untuk

menyerang Pangeran Diponegoro terlebih dahulu. (Hlm.429-431)

Akhirnya Smissaert memerintahkan pasukannya untuk menyerang Puri

Tegalrejo. hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(32) Dan, hatta, terdengarlah dentum meriam di timur puri, tiga kali, pertanda
penyerangan Belanda ke puri telah dimulai. Tentara-tentaranya yang dipimpin oleh
Chavelier, tapi disertai juga dengan Wironegoro dan Danurejo IV, merengsek ke
depan puri, mengepung di situ. (Hlm. 433)
(33) Terjadilah baku tembak seru. Bantuan pasukan Belanda di depan sana makin
banyak. Peluru meriam yang mereka tembakkan ke dalam puri mulai merusak atap
bangunan. Sementara masjid yang dibangun dengan susah payah oleh Pangeran
Diponegoro, sudah menyala. Getir Pangeran Diponegoro melihat itu. (Hlm. 434)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

87

Dalam pertempuran tersebut, istri Pangeran Diponegoro beserta ketiga

anaknya yang masih kecil berhasil meloloskan diri melalui perintah Pangeran

Diponegoro menuju Selarong. Pangeran Diponegoro akhirnya ikut mundur atas

nasihat Pangeran Mangkubumi. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(34) Kekuatanmu tidak berimbang, Wir, “kata Pangeran Mangkubumi. “Lebih baik
kamu membantu Ratnaningsih ke Selarong. Aku ikut bersamamu ke sana. Kita
susun kekuatan di sana untuk melawan Belanda.”(Hlm. 434)

Tahapan Klimaks dalam novel ini berakhir dengan terbakarnya Puri

Tegalrejo. Peristiwa penyerangan Belanda ke Puri Tegalrejo menjadi awal dari

babakan perang Jawa. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(35) Di Selarong nanti, mulai besok Pangeran Diponegoro berpikir untuk bertindak
menegakkan harga diri itu atas nama rakyatnya dan bangsanya. Tindakan itu
selanjutnya merupakan awal dari perang suci di bawah keyakinan jihad melawan
angkara, penindasan, penjajahan. Ya, Perang Jawa dimulai besok. (Hlm. 435)

Kutipan diatas menjadi penutup cerita novel Pangeran Diponegoro : Menuju

Sosok Khalifah karya Remy Sylado.

2.5 Tahap Denouement atau Tahap Penyelesaian

Tahap penyelesaian adalah tahapan konflik yang telah memasuki babak

penyelesaian atau ketegangan dikendorkan. Dalam tahap ini, konflik-konflik yang

lain atau konflik-konflik tambahan (jika ada) diberi jalan keluar atau ceritanya

diakhiri (Nurgiyantoro, 2007: 150).

Dalam novel Pangeran Diponegoro : Menuju Sosok Khalifah karya Remy

Sylado, cerita berakhir dengan penyerangan Belanda terhadap Pangeran


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

88

Diponegoro. Peristiwa tersebut menjadi puncak ketegangan yang terjadi akibat

konflik Pangeran Diponegoro dengan kekuasaan kolonial Belanda.

Setelah klimaks, tidak ada pengendoran ketegangan dalam cerita ini.

Selain itu, tidak ada jalan keluar yang dipaparkan untuk menyelesaikan konflik

yang terjadi dalam novel Pangeran Diponegoro : Menuju Sosok Khalifah karya

Remy Sylado. Hal ini dikarenakan cerita dalam novel ini berhenti pada peristiwa

penyerangan Belanda terhadap Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, Penulis

menyimpulkan tidak ada tahapan penyelesaian dalam Novel Pangeran

Diponegoro : Menuju Sosok Khalifah.

2.6 Rangkuman

Penulis menyimpulkan bahwa analisis struktur alur dalam Novel Pangeran

Diponegoro : Menuju Sosok Khalifah adalah alur campuran. Peristiwa-peristiwa

yang terjadi dalam tahapan alur tidak seluruhnya berjalan lurus, progresif.

Terdapat peristiwa flash back pada subbab nomor lima puluh. Flash back

dimunculkan untuk menjelaskan latar belakang kematian Sultan Hamengku

Buwono IV dan peristiwa kematiannya.

Tahapan penyituasian dimulai dengan peristiwa pertemuan Pangeran

Diponegoro dengan Raden Ayu Ratnaningsih. Dalam tahap ini, muncul konflik

kecil yang terjadi karena ketidaksesuaian pendapat Pangeran Diponego dengan

ibundanya Raden Ajeng Mangkarawati dalam menentukan prosesi pernikahan.

Raden Ajeng Mangkarawati menginginkan anaknya menikah dengan adat keraton,


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

89

tetapi Pangeran Diponegoro menginginkan adat seperti rakyat biasa. Konflik

tersebut menjelaskan sikap Pangeran Diponegoro sebagai orang islam taat yang

tidak suka dengan jabatan keraton. Selain itu, Pangeran Diponegoro ingin

membuktikan kepada rakyatnya bahwa ia adalah bagian dari rakyat melalui

prosesi pernikahannya.

Tahap pemunculan konflik dimulai ketika muncul tokoh bernama

Danurejo IV. Dalam alur novel ini, Danurejo IV memiliki kepentingan yang

berlawanan dengan Pangeran Diponegoro. Danurejo IV adalah patih yang menjadi

kaki tangan Belanda. Danurejo IV berada di balik beberapa peristiwa seperti

kematian Sultan Hamengku Buwono III dan Sultan Hamengku Buwono IV.

Tahap peningkatan konflik dimulai ketika Pangeran Diponegoro dan

Danurejo IV sama-sama duduk sebagai dewan perwalian Sultan Hamengku

Buwono V. Situasi ini menimbulkan konfrontasi langsung antara Pangeran

Diponegoro dengan Danurejo IV. Peristiwa-peristiwa dalam tahapan ini adalah

berbagai upaya Danurejo IV menyingkirkan Pangeran Diponegoro.

Tahap Klimaks terjadi pada peristiwa penyerangan pasukan Belanda ke

Puri Tegalrejo, kediaman Pangeran Diponegoro. Tahapan ini terjadi pada subbab

nomor enam puluh dua. Penyerangan pasukan Belanda terjadi karena hasutan

Danurejo IV terhadap Belanda melalui Residen Smissaert.

Penulis menyimpulkan tidak terdapat tahap penyelesaian dalam novel

Pangeran Diponegoro : Menuju Sosok Khalifah. Hal ini dikarenakan cerita

berhenti pada tahap klimaks, yaitu penyerangan pasukan Belanda ke Puri


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

90

Tegalrejo. Selain itu, juga tidak terdapat jalan keluar dalam menyelesaikan konflik

antara Pangeran Diponegoro dengan Danurejo IV dan Belanda.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

91

BAB III

SITUASI POLITIK DI YOGYAKARTA

PADA MASA KOLONIAL INGGRIS DAN BELANDA

TAHUN 1811-1825

Dalam bab ini, penulis akan memaparkan situasi politik di Yogyakarta

pada masa kolonial Inggris dan Belanda tahun 1811-1825. Situasi politik di

Yogyakarta dalam beberapa teks sejarah menjadi acuan penulis dalam rangka

memahami fakta-fakta sejarah. Pemaparan teks sejarah digunakan penulis dalam

rangka melakukan analisis pendekatan historis terhadap novel Pangeran

Diponegoro : Menuju Sosok Khalifah.

Penulis hanya memfokuskan situasi politik di Yogyakarta pada masa

kolonial Inggris dan Belanda tahun 1811-1825. Hal ini berkaitan dengan setting

waktu dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Remy Sylado

sebagai pengarang menggunakan setting waktu pada masa pemerintahan Inggris

melalui Raffles sampai masa pemerintahan Belanda melalui Van Der Capellen.

Pada tahun-tahun tersebut telah terjadi peralihan pemerintahan Inggris dan

Belanda di Nusantara, termasuk Keraton Yogyakarta. Lebih khusus, situasi politik

yang terjadi di Yogyakarta pada masa peralihan pemerintahan Inggris dan

Belanda menjadi pemicu terjadinya perang jawa tahun 1825-1830 yang dipimpin

oleh Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang mengharuskan penulis memaparkan

91
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

92

situasi politik dalam rangka memahami intrik-intrik politik yang terjadi di

dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.

3.1 Situasi Politik Sebelum tahun 1811

Dalam rangka memahami situasi politik dalam rentan waktu tahun 1811-

1825, penulis terlebih dahulu memaparkan situasi politik pada masa sebelumnya,

karena situasi politik pada masa-masa ini sangat berpengaruh terhadap masa-masa

setelah tahun 1811.

3.1.1 Permulaan Berdirinya Kerajaan Mataram Yogyakarta

Kerajaan Mataram Yogyakarta didirikan oleh Mangkubumi setelah

melakukan pemberontakan terhadap Keraton Surakarta. Pemberontakan

Mangkubumi dapat diselesaikan melaui perjanjian Giyanti pada tahun 1755.

Dalam perjanjian tersebut, Mangkubumi diangkat sebagai Sultan atas setengah

daerah pedalaman kerajaan Mataram. Kemudian Mangkubumi membuka hutan di

daerah yang sekarang di kenal dengan nama Yogyakarta. Pada saat itulah

Mangkubumi menobatkan dirinya sebagai Sultan Hamengku Buwono I dan

Mataram Yogyakarta berdiri. (Sukanto,1958:8)

Wilayah kerajaan Mataram di Yogyakarta dibagi menjadi tiga bagian

sesuai dengan Perjanjian Giyanti seperti berikut, (1)Nagara, yaitu ibukota atau

tempat kedudukan raja, (2)Nagara Agung, yaitu daerah-daerah di sekitar kota


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

93

tempat kedudukan raja, (3)Mancanegara, yaitu daerah-daerah taklukan

kerajaan.(Sagimun, 1955:31)

Nagara Agung langsung dikuasai dan diperintah oleh raja dan patih beserta

bupati-bupati yang juga menjadi nayaka-nayaka (boleh disamakan dengan

menteri-menteri dari kabinet kerajaan). Para pegawai raja biasanya mendapat

tanah lungguh di daerah Nagara Agung, sedangkan di daerah Mancanegara

dikuasai dan diperintah oleh bupati-bupati yang mewakili raja di daerah-daerah itu

dan biasanya tinggal di luar ibu kota kerajaan. Bupati-bupati mancanegara itu

dikepalai oleh seorang bupati wadana (bupati kepala).(Sagimun, 1955:31)

Wilayah keraton Yogyakarta setelah perjanjian Giyanti adalah sebagai

berikut, (1)Nagara meliputi kota tempat kedudukan raja atau Sultan Yogyakarta,

(2)Nagara Agung meliputi daerah-daerah di sekitar ibu-kota Ngayogyakarta

Adiningrat, Pajang di sebelah barat daya Surakarta, Sukowati di sebelah timur laut

Surakarta, Bagelan, Kedu, Bumi-Gede di sebelah barat laut Surakarta, (3)

Mancanegara meliputi daerah-daerah Madiun, Magetan, Caruban, separuh

Pacitan, Kertasana, Kalangbret, Ngrawa (Tulungagung), Japan (Mojokerto),

Jipang (Bojonegoro), Teras, Karas, Selo, Warung, Grobogan. (Sagimun, 1955:32)

3.1.2 Situasi Politik Pada Masa Sultan Hamengku Buwono II tahun 1792-

1810

Pada tanggal 2 April 1792, Pangeran Adipati Anom (Raden Mas Sundara)

diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono II setelah Sultan Hamengku Buwono


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

94

I meninggal pada tanggal 24 Maret 1792. Dalam literatur, baik dalam babad

maupun tulisan asing, Sultan Hamengku Buwono I digambarkan sebagai seorang

yang berhasil memimpin keraton Yogyakarta dan dicintai oleh rakyatnya. Hal ini

berlainan dengan gambaran Sultan Hamengku Buwono II, yang lebih dikenal

dengan nama Sultan Sepuh (Sukanto, 1958:47). Carey (2012:183) mengatakan

bahwa masa pemerintahan Sultan Sepuh adalah awal kekacauan politik di

Yogyakarta secara berturut-turut hingga meletusnya perang jawa pada tahun 1825.

Segera setelah pengangkatannya, Sultan Sepuh mengganti sebagian besar

bupati-bupati dan pegawai-pegawai semasa Sultan Hamengku Buwono I. Pejabat-

pejabat kerajaan yang baru ini tidak sebaik seperti pada masa Sultan Hamengku

Buwono I. Reformasi kepejabatan yang dilakukan Sultan Sepuh merupakan

strategi politiknya untuk membuat kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan

keinginannya.

Dalam masa pemerintahannya, Sultan Sepuh memberlakukan beberapa

kebijakan yang secara garis besar membuat kekayaan pribadinya meningkat

berkali lipat. Sultan Sepuh meningkatkan beban pajak kepada penduduknya baik

di wilayah Negara Agung, maupun Mancanegara. Beban mereka terdiri dari

empat macam pajak yaitu pajak tanah, pajak pacumpleng, pajak kerigaji, dan

yang terakhir adalah aneka pajak dan tugas rodi tidak tetap yang dikenal dengan

sejumlah nama seperti taker tedhak, wang bekti, gugur gunung, dan pagaweyan.

Walaupun aneka pajak tersebut tidak terlalu membebani di wilayah Negara


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

95

Agung, tetapi merupakan beban yang sangat berat di Mancanegara wilayah timur

di mana pajak-pajak tersebut diatur oleh para bupati.(Carey, 66:2012)

Sampai Agustus 1812, ketika kewajiban-kewajiban rodi bupati wilayah

timur di ibu kota kerajaan ditiadakan, beban kerja yang sangat berat ditimpakan

kepada tenaga kerja dari daerah wilayah-wilayah timur. Hal ini terjadi khususnya

di Yogyakarta dalam program kebijakan Sultan Sepuh lainnya yaitu melaksanakan

aneka proyek pembangunan untuk pesanggrahannya. (Carey, 66:2012)

Sementara itu, pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II

inilah Herman Willem Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal untuk

wilayah Hindia Timur oleh pemerintah Belanda-Prancis (Sagimun, 35:1955).

Pada tanggal 5 Januari 1808, Marsekal Herman Willem Daendels tiba di Batavia.

Misi utamanya adalah menjadikan Jawa dan kepulauan Nusantara lainnya sebagai

Pangkalan Militer dalam rangka menghadapi ancaman Inggris di Lautan

Hindia.(Carey, 184-185:2012)

Pada periode ini, masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II beserta

kedatangan Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Timur telah memicu

serangkaian kekacauan di Keraton Yogyakarta. Kebijakan aneka pajak yang

diterapkan Sultan Sepuh dan misi militer Daendels membuat rakyat yang berada

dalam pemerintahan Keraton Yogyakarta menjadi sengsara. Berbagai kepentingan

politik pun akhirnya muncul akibat dari kebijakan Sultan Sepuh dan Daendels.

Walaupun tugas darurat Daendels bersifat militer, ia juga diberi kekuasaan

yang besar untuk melaksanakan reformasi pada pemerintahan yang korup warisan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

96

VOC. Kepengurusan VOC sudah diserahkan kepada kekuasaan pemerintahan

Belanda menyusul kebangkrutan perusahaan dagang itu pada tahun 1799. (Carey,

186:2012)

Misi militer Daendels dalam masa pemerintahannya ini berdampak besar

terhadap situasi politik di Yogyakarta. Carey (186:2012) mengatakan bahwa salah

satu pertimbangan strategis terpenting Daendels dalam merencanakan pertahanan

Jawa adalah menetralisir kedudukan keraton-keraton yang mandiri. Kewenangan

dan pengaruh keraton itu dianggap oleh Daendels bisa menjadi pesaing bagi

pemerintahannya. Dalam hal ini, Keraton Yogyakarta merupakan ancaman besar

karena sumber daya militer dan cadangan dananya yang kuat dari hasil aneka

pajak yang pernah dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono II.

Pada tanggal 28 Juli 1808, Daendels menetapkan peraturan upacara resmi

baru dalam konteks hubungan pemerintah kolonial dengan keraton-keraton di

Jawa. Dalam peraturan tersebut, ditetapkan misalnya minister-minister (residen)

dilarang mempersembahkan sirih atau minuman, akan tetapi mereka harus

menyuruh mempersembahkannya oleh pesuruh-pesuruh yang berpakaian, selang-

seling kepada raja dan kepada minister. Selain itu, tempat duduk minister harus

sejajar dengan tempat duduk raja (Sukanto, 59:1958). Dengan kata lain, Daendels

menginginkan kedudukan pemerintahannya sejajar dengan keraton Yogyakarta

secara simbolis walaupun hal ini merupakan penghinaan terhadap adat-istiadat

keraton. Peraturan Daendels tentang tata cara upacara resmi keraton dengan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

97

pemerintahan kolonial menjadi dasar awal perselisihan diantara Sultan Sepuh

dengan Daendels.

Selain itu, untuk menjalankan misi pertahanan militernya atas ancaman

serbuan Inggris, Daendels makin menekan keraton-keraton untuk membuka pintu

masuk bagi persediaan kayu kawasan mancanegara timur. Semua tuntutan tertuju

pada tonggak-tonggak kayu keras untuk pembangunan garis-garis pertahanan laut

yang baru di benteng Lodewijk di Surabaya. Namun pada awal 1809, tuntutannya

diperluas hingga mencakup larangan swasta untuk menjual kayu jati lewat

perbatasan ke daerah-daerah pasisir yang dikuasai oleh Belanda dan hal ini secara

nyata menandakan berlakunya monopoli kayu oleh pemerintahan Daendels

(Carey, 248:2012). Dengan kata lain, penduduk wilayah timur keraton Yogyakarta

dirugikan baik oleh kebijakan Sultan Sepuh maupun kebijakan Daendels. Hal ini

menimbulkan pemberontakan yang dipimpin oleh bupati yang mengepalai

wilayah timur, Raden Ronggo. (Carey, 300:2012)

Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun dari tahkta kerajaan pada awal

Januari 1811 oleh Daendels. Selanjutnya Daendels mengangkat Putra Mahkota,

ayah Pangeran Diponegoro, sebagai Sultan Hamengku Buwono III yang lebih

dikenal sebagai Sultan Raja. Akan tetapi Sultan Hamengku Buwono II atau Sultan

Sepuh oleh Daendels diperbolehkan tinggal di dalam keraton. Sagimun (37:1955)

berpendapat bahwa kondisi dimana Sultan Raja yang telah diangkat menjadi

Sultan Hamengku Buwono III berada berdampingan dengan Sultan Sepuh di

keraton membuat keadaan politik intern keraton Yogyakarta menjadi kacau.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

98

Kekacauan ini terbukti ketika pemerintahan Belanda-Prancis berhasil

dikalahkan Inggris oleh ekspedisi yang dilakukan Lord Minto dan Raffles. Sultan

Sepuh memanfaatkan situasi ini untuk merebut tahktanya kembali dari Sultan

Raja. Dalam masa-masa seperti ini, patih Danurejo II dibunuh oleh Sultan Sepuh

karena banyak membantu Daendels dalam misi menjatuhkan Sultan Sepuh

sebagai raja Yogyakarta. (Sagimun, 39:1955)

Hal ini meninggalkan warisan penderitaan yang menjelma dalam

pengelompokan politik pada awal abad ke sembilan belas. Pemberontakan Raden

Ronggo Prawirodirjo III (bupati Madiun) di Madiun pada November-Desember

1810, misalnya, menggugah dukungan yang besar di daerah itu karena

pemberontakan tersebut merupakan gerakan daerah yang secara bersama

ditujukan baik kepada Pakubuwono IV, Sultan Hamengku Buwono II, maupun

kepada Belanda. Pada waktu yang sama, banyak diantara para bupati wilayah

timur mendukung ayah Diponegoro, Putra Mahkota Yogyakarta, melawan Sultan

Sepuh selama pertarungan kekuasaan di keraton pada 1810-1812 karena Putra

Mahkota Yogyakarta jauh lebih lunak dalam menuntut kerja rodi.(Carey, 68:2012)

3.2 Situasi Politik Kesultanan Yogyakarta pada Masa Pemerintahan Inggris

tahun 1811-1816

Pada tanggal 3 Agustus 1811, angkatan perang Inggris mendarat di

Batavia. Enam minggu kemudian, kepulauan Nusantara jatuh ke tangan Inggris.

Pada tanggal 19 September 1811, Thomas Stamford Raffles resmi menjadi


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

99

Gubernur Jenderal Hindia Timur untuk pemerintahan Inggris. (Sukanto,

129:1958)

Menanggapi kekrisuhan kekuasaan yang terjadi di keraton Yogyakarta,

Raffles tidak menginginkan Sultan Sepuh kembali duduk sebagai raja Yogyakarta.

Sultan Sepuh dianggap terlalu angkuh dan tidak bisa diajak kerja sama dengan

siapa pun selama tidak menguntungkan kepentingan pribadinya. Melalui sebuah

ekspedisi, Raffes berhasil menduduki Yogyakarta dan memaksa Sultan Sepuh

kembali turun dari kedudukannya sebagai raja. Pada masa-masa ini, Inggris

memanfaatkan putra mahkota dan Notokusumo untuk menggulingkan

pemerintahan Sultan Sepuh. Akibat dari ekspedisi ini, Sultan Sepuh diasingkan

oleh Raffles ke pulau Pinang.( Sukanto, 1958:95)

Segera setelah ekspedisi Raffles, perubahan-perubahan penting segera

mempengaruhi kondisi perpolitikan di Keraton Yogyakarta. Putra Mahkota

kembali diangkat menjadi raja Yogyakarta oleh Raffles. Notokusumo (adik Sultan

Sepuh) yang berjasa membantu Raffles selama penyerbuannya ke Yogyakarta,

diberikan jabatan sebagai pangeran yang merdeka. Notokusumo mendirikan

keratonnya sendiri yang kemudian dikenal dengan nama Pakualaman.

Akan tetapi, Putra Mahkota berselisih dengan Notokusumo. Putra

Mahkota sangat benci kepada Notokusumo. Pendirian ini logis mengingat Putra

Mahkota masih kuatir bahwa Notokusumo akan menjadi Sultan dengan bantuan

Inggris. Dalam babad diceritakan bahwa Putra Mahkota berusaha mencari jalan

untuk membunuh Notokusumo (Sukanto,1958:92). Dua kekuatan politik di


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

100

Yogyakarta antara kasultanan dengan Pakualaman yang saling bermusuhan ini

menimbulkan kerawanan pada tataran elit keraton.

Di sisi lain, bantuan Raffles terhadap Putra Mahkota untuk mengangkat

dirinya menjadi Raja Yogyakarta bukan tanpa syarat. Raffles membuat perjanjian

yang dikenal dengan nama perjanjian 1812. Secara garis besar, perjanjian tersebut

merugikan pihak keraton dan semakin memperbesar kekuatan politik Inggris

dalam intervensinya terhadap keraton Yogyakarta. Beberapa isi perjanjian yang

penting adalah melarang para raja memiliki pasukan militer apa pun kecuali yang

diizinkan oleh pemerintah Inggris untuk melindungi diri dan daerah kekuasaan

mereka. (Carey, 2012:441).

Dalam perjanjian yang diprakarsai Raffles, Pemerintahan Inggris juga

mengambil alih berbagai wilayah barat dan timur daerah Mancanegara, dan tanah

inti kesultanan di Nagara Agung. Kedu sebagai daerah paling makmur di Jawa

dan merupakan penghasilan utama keraton Yogyakarta dan keraton Surakarta juga

diambil alih oleh pihak Inggris.(Carey, 2012:442)

Pemberlakuan kerangka pajak tanah di wilayah-wilayah yang diambil alih

untuk menghasilkan pajak menimbulkan penderitaan yang berat bagi penduduk

setempat. Tidak hanya tuntutan pajak terlalu tinggi, tapi penduduk, khususnya

yang berladang, juga dipaksa membayar tunai dengan mata uang perak, bukan

dengan hasil pertanian. Hal ini menjeremuskun mereka ke tangan rentenir

Tionghoa yang membebankan bunga tinggi. Aneksasi wilayah oleh Raffles pada
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

101

Agustus 1812 memperparah masalah-masalah sosial di keraton-keraton dan secara

lebih luas lagi dalam masyarakat Jawa. (Carey, 2012:446)

3.2.1 Situasi Politik Pada Masa Sultan Hamengku Buwono III tahun 1812-

1814

Sultan Hamengku Buwono III diangkat oleh Raffles menjadi raja

Yogyakarta pada juni 1812. Setelah itu, putra Sultan Hamengku Buwono III,

Bendoro Raden Mas Sudomo diangkat menjadi Putra Mahkota. Ibunda Sultan

Hamengku Buwono III, Ratu Kedaton diangkat menjadi Ratu Ageng. Ratu Ageng

diberi tugas khusus sebagai pengasuh Putra Mahkota. Istri Sultan Hamengku

Buwono III, diangkat menjadi Ratu Kencono. (Carey, 2012:413)

Banyak pengangkatan baru menyangkut mereka yang memberikan

dukungan paling besar kepada Sultan Hamengku Buwono III semasa perebutan

kekuasaan dengan ayahnya, Sultan Sepuh. Yang terkemuka diantara mereka

adalah anggota keluarga Danurejan. Ikatan baru yang penting antara keluarga

dekat Sultan Hamengku Buwono III dan Danurejan juga dijalin melalui

pernikahan dua putri Danurejan dengan putra-putra raja baru. Pernikahan ini

membawa genapnya pemulihan martabat keluarga Danurejan setelah tidak

menentu di bawah kekuasaan Sultan Hamengku Buwono II.(Carey, 2012:432)

Meskipun kerawanan besar yang menyertai awal pemerintahan Sultan

Hamengku Buwono III, kekuasaan singkatnya selama dua puluh sembilan bulan

itu merupakan salah satu kurun kemakmuran yang berlangsung damai dan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

102

berhasil bagi Yogyakarta. Dalam hal pemerintahan kerajaan, perbaikan penting

telah berhasil diwujudkan dibandingkan pemerintahan pendahulunya yang boros

dan menyusahkan. Pembangunan banyak pondok berburu dan wisma di pedesaan

yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono II dihentikan dan diadakan

penghematan ketat atas belanja keraton guna mengisi harta kekayaan. Pada saat

wafatnya Sultan Hamengku Buwono III, November 1814, Keraton Yogyakarta

telah memiliki kas keuangan sekitar 60.000 Dolar Spanyol. (Carey, 2012:455)

Pada paruh kedua pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III, terjadi

beberapa perubahan politik penting. Pada 17 Maret 1813, melalui perjanjian yang

diprakarsai oleh Raffles, persoalan tanah Pakualam akhirnya berhasil diselesaikan.

Penyelesaian ini mengakui bahwa Pangeran yang berkedudukan merdeka itu dan

keluarganya berada di bawah perlindungan langsung pemerintah kolonial dan

pemerintah tersebut akan membayar Paku Alam berupa tunjangan bulanan sebesar

750 Dolar Spanyol.(Carey, 2012:460)

Perubahan penting lain dalam pemerintahan adalah pengangkatan patih

baru. Sumodipuro diangkat sebagai Raden Adipati Danurejo IV pada 2 Desember

1813. Latar belakang pengangkatannya adalah keperluan yang semakin mendesak

untuk mengganti penjabat patih, Mas Tumenggung Sindunegoro (Danurejo III)

yang sudah pikun dan sering membuat kesalahan dalam membicarakan urusan

dengan residen. (Carey, 2012:462)

Pada awalnya Patih Danurejo IV adalah pejabat yang cakap dan disukai.

Namun seiring dengan pengaruh politiknya yang kuat sebagai patih yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

103

menghubungkan keraton Yogyakarta dengan pemerintahan kolonial, Danurejo IV

berubah menjadi seorang pemeras dan pajabat yang korup. Ia memonopoli sumber

pendapatan kerajaan. Ia juga menuntut uang dari penguasaan tanah jabatan baru

yang ia tandatangai selain bergiat di bidang jual-beli tanah Yogyakarta. Semua

wewenang dan kekuasaannya, menjadikan Patih Danurejo IV seseorang yang

sangat kaya. Perilakunya menimbulkan bencana yaitu pemerintahan Yogyakarta

mulai tersendat-sendat. Perselisihan di kalangan pejabat tinggi menjadi semakin

parah. Babad Diponegoro menggambarkan Danurejo IV sebagai “setan

berpakaian manusia yang merampok orang sembari duduk”.(Carey, 2012:464)

Empat hari setelah pelantikan Sumodipuro sebagai patih, Kapitan Cina,

Tan Jin Sing diangkat menjadi Raden Tumenggung Secodiningrat dengan tanah

jabatan senilai 800 cacah. Surat pengangkatan dari Sultan ditandatangani oleh

residen Yogyakarta, Crawfurd pada 6 Desember 1813 dan secara khusus

menyatakan Tan Jin Sing telah diberi gelar dan tanah jabatan sebagai imbalan atas

jasa-jasanya kepada pemerintah Inggris dan Sultan Hamengku Buwono III pada

tahun 1812. (Carey, 2012:466)

Namun pengangkatan tersebut dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono

III hanya karena tekanan. Perasaan anti Tionghoa di kalangan rakyat sudah

memanas di Yogyakarta setelah bantuan orang-orang Cina melalui Tan Jin Sing

terhadap ekspedisi Raffles Juni 1812 untuk mengepung keraton Yogyakarta. Jadi,

pengangkatan Tan Jin Sing sebagai seorang bupati miji Yogyakarta (pejabat yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

104

langsung di bawah perintah Sultan) tidak terjadi pada saat yang baik dalam

hubungan Tionghoa dengan Jawa. (Carey, 2012:466)

Dengan demikian situasi politik di Yogyakarta menjadi semakin rawan

terhadap intrik-intrik politik. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono

III, kekuatan politik yang dimiliki seorang patih dipegang oleh Danurejo IV.

Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Danurejo IV adalah pejabat

yang tidak punya moral, koruptor, dan dikenal sebagai kaki tangan kolonial.

Selain itu, muncul kekuatan politik baru di Yogyakarta yang secara langsung

berada dalam perlindungan pemerintahan Inggris yaitu Pakualaman yang

dipimpin oleh musuh Raja Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono III, yaitu

Notokusumo. Selain itu, kekuatan Cina secara politis juga telah disahkan oleh

Raffles setelah pengangkatan Tan Jin Sing sebagai Raden Tumenggung.

Dalam situasi politik seperti di atas, Tanggal 3 November 1814, Sultan

Hamengku Buwono III wafat. Cerita babad menyiratkan bahwa wafatnya Sultan

Hamengku Buwono III dengan tiba-tiba menimbulkan kecemasan luar biasa di

keraton. Ratu Ageng, Ibunda Sultan Hamengku Buwono III, khawatir jika putra

mahkota belum siap menjadi raja Yogyakarta. Sementara itu, Diponegoro

menyatakan bahwa tidak seorang pun di Yogyakarta yang memperkirakan Sultan

wafat secepat itu. (Carey, 2012:475)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

105

3.2.2 Situasi Politik pada Masa Sultan Hamengku Buwono IV dalam Periode

Pemerintahan Inggris Tahun 1814-1816.

Putra Mahkota, Djarot (adik Pangeran Diponegoro tetapi berbeda ibu)

diangkat oleh Inggris menjadi Sultan Hamengku Buwono IV pada bulan

September tahun 1814. Pada saat itu, Sultan Hamengku Buwono IV masih berusia

tiga belas tahun. (Sukanto,1958:100)

Wafatnya Sultan Hamengku Buwono III secara mendadak merupakan

pertanda buruk bagi Yogyakarta, karena terjadi tepat ketika harapan sedang

tumbuh bahwa nasib baik kesultanan mungkin akan terpulihkan setelah

malapetaka pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II. Kenyataan

bahwa Yogyakarta sekarang harus diperintah oleh seorang yang masih kanak-

kanak membuka lebar kemungkinan persekongkolan dan korupsi di keraton.

(Carey, 2012:47)

Garnham selaku residen Yogyakarta pada masa ini, membentuk dewan

perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengku Buwono IV. Danurejo IV,

Raden Tumenggung Pringgodiningrat, dan dua bupati keraton Raden

Tumenggung Ronodiningrat dan Raden Tumenggung Mertonegoro, diangkat

menjadi wali Sultan Hamengku Buwono IV.(Carey, 2012:476)

Pilihan Garnham terhadap orang-orang yang diangkat menjadi dewan

perwalian tidak berkenan pada Raffles. Raffles kemudian mengirimkan perintah

agar Paku Alam I yang ditunjuk sebagai wali Sultan satu-satunya. Hal ini

menimbulkan kebingungan di kalangan keraton Yogyakarta. Situasi politik yang


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

106

demikian menempatkan Paku alam I sebagai pejabat yang mengontrol kesultanan

(Carey, 2012:477). Fakta bahwa Sultan Hamengku Buwono IV adalah raja yang

masih berumur tiga belas tahun membuat posisi dewan perwalian yang diduduki

Paku Alam I menjadi sangat penting

Peristiwa-peristiwa sejak meninggalnya Sultan Hamengku Buwono III

secara mendadak hingga pengangkatan Paku Alam I sebagai wali Sultan

Hamengku Buwono IV, membuka segala kemungkinan adanya intrik-intrik

politik di belakang semua kejadian tersebut. Seperti sudah dituliskan pada bagian

sebelumnya, hubungan antara Sultan Hamengku Buwono III dengan Paku Alam I

atau Notokusumo tidak baik semenjak kemelut politik pada masa akhir

pemerintahan Sultan Sepuh. Dugaan Sultan Hamengku Buwono III terhadap

Notokusumo yang ingin merebut kekuasaannya pada akhirnya benar-benar terjadi

setelah Sultan Hamengku Buwono III meninggal.

Kedudukan politik yang kuat Paku alam I di lingkungan keraton

Yogyakarta mendorong Paku Alam I memanfaatkannya untuk memperoleh

keuntungan pribadi seperti membeli sejumlah bidang tanah sebagai milik sendiri

dan bergaya hidup mewah di kediamannya. Pada saat yang sama, banyak tindakan

yang lebih kecil mengobarkan kejengkelan dan menggarisbawahi ambisi

politiknya yang berlebihan. Paku Alam I menuntut dirujuk sebagai Pangeran

Adipati, gelar yang sebelumnya ditolak oleh Inggris. Ia juga meminta agar

ditentukan urutan pengganti, kalau-kalau Sultan Hamengku Buwono IV tiba-tiba


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

107

wafat, dengan harapan agar pemerintahan kolonial memastikan dirinya sebagai

pewaris takhta kerajaan Yogyakarta. (Carey, 2012:478)

Pernyataan residen Crawfurd tentang Sultan Hamengku Buwono IV

menunjukkan bahwa Raja Yogyakarta tersebut sejalan dengan kepentingan politik

Inggris. Ia tidak menunjukkan ambisi yang memungkinkan bentrokan dengan

kepentingan orang Eropa. (Carey, 2012:480)

Namun, Kepulauan Nusantara kembali mengalami peralihan kekuasaan

dari Inggris kepada Belanda. Pada Mei 1815, keputusan akhir telah diambil oleh

Pemerintahan Inggris untuk meninggalkan Jawa sesuai dengan syarat-syarat

Perjanjian Wina 9 Juni 1815 dan Konvensi London 13 Agsutus 1814, yang telah

menyetujui kembalinya semua bekas koloni Belanda yang dikuasai Inggris sejak

1803. Keputusan ini merupakan bagian kebijakan Inggris yang lebih luas untuk

menegakkan kembali kekuatan Belanda guna mengimbangi kemungkinan

ancaman dari pihak Prancis yang bangkit lagi sesudah perang revolusioner dan

perang Napoleon.(Carey, 2012:502)

3.3 Situasi Politik pada Masa Pemerintahan Belanda Tahun 1816-1825

3.3.1 Situasi Politik pada Masa Sultan Hamengku Buwono IV dalam Periode

Pemerintahan Belanda Tahun 1816-1825

Beberapa waktu sebelum pemulihan pemerintahan Belanda pada Agustus

1816, Ibu Suri (Ibu Sultan Hamengku Buwono IV), Ratu Ibu (nenek Sultan

Hamengku Buwono IV), dan Patih Danurejo IV mengambil alih semua wewenang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

108

Paku Alam I sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV(Carey, 2012:478). Paku

Alam I telah berhenti menjadi wali Sultan sejak tanggal 27 Januari 1820.(Sukanto,

1958:104)

Sultan Hamengku Buwono IV kurang dalam kecerdasan dan keterampilan

untuk memerintah Yogyakarta. Karenanya ia mudah dikendalikan baik oleh

ibunya, yang sangat senang kepadanya dan memenuhi semua keinginannya,

maupun oleh para pendukungnya di keraton. Pemerintahan Belanda pasca 1816

dalam diri Residen baru, Nahuys van Burgst, memperparah keadaan ini dengan

memanfaatkan usia muda dan kurangnya pengalaman Sultan demi memajukan

rencananya memperbesar pengaruh ekonomi Eropa di wilayah-wilayah

kerajaan.(Carey, 2012:483)

Masa perwalian sejak Paku Alam I hingga Danurejo IV membuat jalan

kepentingan ekonomi asing di daerah kekuasaan keraton Yogyakarta menjadi

terbuka lebar. Hal ini sangat memungkinkan jika dilihat dari gambaran kedua

pejabat ini pada penjelasan sebelumnya. Apalagi kepentingan utama Residen

Belanda Nahuys pada saat itu adalah melebarkan kekuasaan melalui politik

persewaan tanah kepada pihak swasta baik asing maupun lokal.

Sukanto (1958:103) menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Sultan

Hamengku Buwono IV, tanah-tanah disewakan kepada orang Eropa secara besar-

besaran. Setidaknya ada dua akibat dari kebijakan tersebut. Secara ekonomis,

rakyat menjadi miskin, dan secara politik, pengaruh orang-orang Eropa menjadi

semakin besar.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

109

Kebijakan ini tidak lepas dari aliran politik liberal yang mulai dibawa baik

oleh Daendels maupun Raffles ke negeri jajahan. Kartodirjo (1999:337)

menjelaskan bahwa Politik kolonial sejak pengambilalihan VOC hingga

penyelenggaraan sistem tanam paksa mencerminkan suatu ekonomi politik yang

berlandaskan pada ideologi liberalisme. Sistem pemerintahan hendak dipisahkan

sepenuhnya dari sistem perdagangan, sehingga perlu dicari sumber keuangan bagi

penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Kebobrokan keadaan ekonomi baik

di Indonesia maupun di Belanda menjadi persoalannya. Untuk memperoleh

sumber keuangan baik Daendels maupun Raffles, meskipun tidak konsekuen

dengan prinsipnya, menjual dan menyewakan tanah pada nonpribumi, yaitu

bangsa Eropa, Cina, dan Arab. Di daerah kerajaan, raja, para bangsawan dan

pejabat juga mendapat kebebasan juga menyewakan tanahnya kepada bangsa

Eropa.

Pada 6 Desember 1822, raja yang masih muda itu wafat setelah kembali ke

keraton dari perjalanan ke salah satu pesanggrahannya. Ia mendadak kena

serangan penyakit ketika sedang makan. Tubuhnya langsung membengkak, suatu

pertanda, menurut dugaan beberapa orang masa itu, bahwa ia telah diracuni

(Carey, 2012:591). Sagimun (1955:43) menuliskan bahwa menurut beberapa

orang, Sultan Hamengku Buwono IV mati karena racun. Hal ini sangat mungkin

terjadi di dalam suasana permusuhan dan kekeruhan yang sering terjadi di dalam

dan di sekitar keraton.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

110

Demikianlah berakhirnya pemerintahan adik Diponegoro. Masa ini

menutup suatu bab yang menyedihkan dalam sejarah Yogyakarta. Di lingkungan

keraton, tunas persaingan antara Diponegoro dengan Danurejo IV dengan cepat

berkobar menjadi permusuhan terbuka. Perpecahan menyeluruh hanya

memerlukan waktu beberapa bulan lagi.(Carey, 2012:591)

3.3.2 Situasi Politik pada Masa Sultan Hamengku Buwono V Tahun 1822-

1826

Setelah meninggalnya Sultan Djarot sebagai Sultan Hamengku Buwono IV,

anaknya, Pangeran Menol yang masih berusia tiga tahun diangkat menjadi Sultan

Hamengku Buwono V. Pada hari Kamis, 19 Desember 1822, Putra Mahkota

diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono V. Ratu Ageng (Nenek Sultan

Hamengku Buwono V), Ratu Kencono (Ibu Sultan Hamengku Buwono V / istri

resmi mendiang Sultan Hamengku Buwono IV), Pangeran Mangkubumi, dan

Pangeran Diponegoro diangkat menjadi wali Sultan. Pengangkatan Ratu Ageng

dan Ratu Kencono berkaitan dengan pengasuhan dan perawatan Sultan Hamengku

Buwono V. Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi bertanggung jawab

atas pengelolaan kesultanan Yogyakarta. Sementara itu, Danurejo IV bertugas

memberi laporan keuangan wilayah kesultanan kepada para wali setiap tiga bulan

dan membayarkan uang perwalian langsung kepada mereka. (Carey, 2012:598)

Pada masa ini kekisruhan politik di keraton Yogyakarta mencapai

puncaknya. Hal ini karena kedudukan Pangeran Diponegoro dan Pangeran


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

111

Mangkubumi sebagai wali yang berlawanan dengan kepentingan Danurejo IV.

Untuk pertama kalinya, Pangeran Diponegoro menduduki sebuah jabatan penting

dalam susunan pemerintah keraton Yogyakarta. Kondisi ini tidak disukai oleh

Danurejo IV karena keberadaan Pangeran Diponegoro menjadi penghalang

baginya dalam memonopoli pemerintahan. Hal ini segera tercermin dalam

penjelasan berikutnya yaitu mengenai permasalahan penyewaan tanah.

Pada masa Sultan Hamengku Buwono V, permasalah utama yang dihadapi

keraton adalah menyangkut peraturan baru yang ditetapkan oleh Gubernur

Jenderal Van Der Capellen. Peraturan baru tersebut adalah penghapusan sistem

penyewaan tanah oleh swasta. Kartodirjo (1999:338) menjelaskan, Van Der

Capellen menentang sistem ini oleh karena bersama dengan penyewaan desa atau

tanah, tenaga rakyat dapat digunakan oleh penyewa. Akibatnya ialah bahwa

dengan demikian eksploitasi rakyat oleh penyewa dapat meraja-lela tidak kurang

daripada lingkungan tradisional atau Feodal. Sehubungan dengan itu sejak tahun

1817 secara berturut-turut dikeluarkan larangan bagi Cina untuk berusaha di

Priangan, dan bagi Eropa di tanah kerajaan.

Pada kenyataannya penyewaan tanah kepada swasta sudah dijalankan

sejak Sultan Sepuh bertahta dan mencapai puncaknya pada pemerintahan Sultan

Hamengku Buwono IV. Kebijakan ini menimbulkan permasalahan yang sangat

serius dalam konteks keuangan keraton Yogyakarta. Hal ini karena pihak swasta

yang sudah terlanjur menyewa tanah-tanah milik kerajaan secara bersamaan

meminta ganti rugi uang yang sangat banyak dan tidak sebanding dengan nilainya
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

112

kepada pihak keraton. Niat baik Van Der Capellen tersebut ternyata justru

dimanfaatkan oleh para penyewa tanah untuk menguras keuangan keraton.

Terbukti kebijakan Van Der Capellen menyeret Pangeran Diponegoro

pada perseteruan dengan Danurejo IV dan Ratu Ageng. Carey (2012:632)

menjelaskan, Sebagai seorang wali Sultan Hamengku Buwono V dengan

tanggung jawab khusus atas penataan keuangan keraton, Diponegoro diminta

memimpin dalam perundingan ganti rugi terhadap penyewa tanah. Urusan

pertama menyangkut Bedoyo (tanah yang disewa Nahuys untuk vilanya semasa

menjabat sebagai residen), dimana Nahuys meminta jumlah uang ganti rugi yang

sangat besar yaitu 50.000 Dolar Spanyol.

Residen pengganti Nahuys, Smissaert mengundang Pangeran

Mangkubumi dan Pangeran Diponegoro ke pertemuan di wisma residen dengan

dihadiri oleh Patih Danurejo IV, menekan keduanya dalam masalah itu dan

meminta Danurejo IV memberi rincian uang yang dikeluarkan oleh Nahuys untuk

upah harian pekerjanya. Pertemuan tersebut berakhir dengan perselisihan di kedua

belah pihak. Kedua wali Sultan langsung kembali ke keraton membahas masalah

itu dengan Ratu Ageng, sembari menegaskan akibatnya yang parah terhadap

keuangan keraton jika jumlah uang yang diminta oleh Smissaert disetujui. Namun

Ratu Ageng, atas prakarsanya sendiri mengingat perlunya menjaga agar

gubernemen tetap bersikap baik, memerintahkan Danurejo IV menerima jumlah

yang diusulkan oleh residen. Kesepakatan pembayaran ganti rugi tersebut sebesar
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

113

26.000 dolar Spanyol. Peristiwa ini berakibat dengan keengganan Pangeran

Diponegoro menjadi wali Sultan Hamengku Buwono V. (Carey, 2012:636)

Meskipun ada pertentangan antara Diponegoro dan dua orang saingannya

yang utama, Ratu Ageng dan Danurejo IV, ia tampaknya telah menunaikan tugas-

tugasnya sebagai wali dengan sebaik-baiknya selama hampir setahun setelah

penunjukannya. Baru setelah Smissaert tiba pada pertengahan Februari 1823, dan

asistennya Chevallier, pada 26 Agustus tahun yang sama, pertentangan pribadi ini

menyebabkan tidak mungkinnya terjalin kerjasama. Waktu itu seluruh masalah

penghapusan penyewaan tanah dan ganti rugi bagi orang-orang Eropa penyewa

tanah telah merusak hubungan antara para wali sultan dan pejabat gubernemen di

Yogyakarta (Carey, 2012:600). Di satu sisi, kelompok sekitar Danurejo IV berada

di sebelah pihak penguasa Belanda. Sementara itu, Pangeran Diponegoro dan

Pangeran Mangkubumi tidak setuju dengan kepentingan Danurejo IV dan

kelompoknya.(Carey, 2012:642)

Dalam masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V ini Yogyakarta

dipimpin residen Smissaert. Van Der Capellen mengangkat Smissaert dengan

harapan agar ada seorang pejabat tinggi di Yogyakarta yang akan lebih patuh

daripada Nahuys dalam hal penyewaan tanah (Carey, 2012:611). Carey

(2012:615) mencatat bahwa Smissaert sering tidak berada di Yogyakarta. Dalam

menjalankan tugas-tugasnya sebagai residen, Smissaert bergantung pada bawahan

seperti Patih Danurejo IV. Situasi ini sangat menguntungkan Danurejo IV dalam

memanfaatkan kelemahan residen untuk kepentingannya sendiri.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

114

Smissaert sebagai residen Yogyakarta memutuskan untuk memperbaiki

jalan-jalan kecil Yogyakarta, satu diantaranya melewati pagar sebelah timur

Tegalrejo, milik Pangeran Diponegoro. Pada 17 Juni 1825, jalan ini mulai

dipasangi patok oleh para bawahan Patih Danurejo IV. Terhalangnya jalan itu

menyebabkan terganggunya Diponegoro dan mereka yang tinggal di

pemukimannya serta desa-desa sekitarnya. Lagipula Danurejo IV tidak

memberitahukan perintah Smissaert itu kepada Diponegoro dan ia baru tahu

setelah patok-patok ditancapkan. Perbuatan Danurejo IV itu, yang hampir pasti

disengaja, sama dengan pelanggaran tata krama secara terang-terangan sehingga

mau tidak mau terjadilah percekcokan antara orang-orang Diponegoro dan para

pekerja jalan. Penduduk desa-desa sekitar Tegalrejo segera terlibat juga (Carey,

2012:704). Peristiwa inilah yang menjadi pertanda berawalnya perang Jawa yang

terjadi dalam kurun waktu 1825-1830.

Kebijakan Van Der Capellen menyebabkan kemerosotan taraf hidup petani

di daerah Yogyakarta dan sekitarnya dalam tahun-tahun sesudah Belanda kembali

berkuasa, memicu timbulnya pergolakan petani yang terus menerus dalam paruh

kedua 1820-an seandainya perang jawa pun tidak terjadi. Sejumlah perlawanan

para petani terus terjadi dan semakin tinggi intensitasnya dalam kurun 1817-1822.

Paduan ganti rugi penyewaan lahan dan politik aneksasi Van Der Capellen

memperparah situasi politik dan ekonomi di keraton Yogyakarta.(Carey,

2012:708)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

115

3.4 Rangkuman

Dari uraian Bab III, terlihat bahwa situasi politik pada masa-masa

menjelang Perang Jawa menjadi salah satu pemicu penting terjadinya Perang

Jawa. Kepentingan Kolonial baik Inggris melalui Raffless maupun Belanda

melaui Daendels dan Van Der Capellen secara terus-menerus menggerus

kekuasaan Keraton Yogyakarta. Situasi ini membuat kekacauan di Keraton

Yogyakarta terus meningkat. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa Keraton

Yogyakarta secara berturut-turut dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono IV

yang masih berumur tiga belas tahun dan Sultan Hamengku Buwono V yang

masih berumur tiga tahun. Situasi demikian membuat Keraton Yogyakarta hanya

menjadi boneka bagi pemerintah kolonial melalui Paku Alam I dan Danurejo IV,

bahkan kepentingan golongan Cina melaui Tan Jin Sing. Di sisi lain, baik Paku

Alam I, Tan Jin Sing, maupun Danurejo IV memiliki kepentingan lain untuk

memperlebar kekuasaan dan memperkaya keuangan pribadinya.

Pangeran Diponegoro yang dalam beberapa literatur selalu berpihak pada

kepentingan rakyat kecil, seorang santri yang taat, dan memiliki kharisma yang

kuat akhirnya terlibat secara langsung dengan pemerintahan Keraton Yogyakarta.

Pangeran Diponegoro sempat menjadi wali dalam pemerintahan Sultan

Hamengku Buwono V sampai akhirnya memutuskan berhenti karena

perseteruannya dengan Danurejo IV.

Latar belakang inilah yang membuat Pangeran Diponegoro melakukan

perlawanan terhadap Kolonial dan kaki tangannya. Keadaan masyarakat di Jawa


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

116

bagian tengan dan selatan yang semakin memprihatinkan akibat kekacauan politik

di keraton Yogyakarta membuat mereka secara besar-besaran bergerak untuk

membantu Pangeran Diponegoro dalam masa-masa perang Jawa.

Uraian mengenai situasi politik di Yogyakarta merupakan referensi sejarah

mengenai perkembangan politik pada masa-masa sebelum pecahnya perang Jawa.

Dalam rangka melakukan pendekatan historis, penulis akan mengkhususkan pada

relevansi fakta-fakta sejarah Diponegoro dengan novel Pangeran Diponegoro

Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado. Dalam hal ini, penulis memfokuskan

fakta-fakta sejarah pada pemaparan Situasi politik di Yogyakarta menjelang

pecahnya perang Jawa. Pemaparan ini menjadi referensi penulis dalam melakukan

analisis intrik-intrik politik yang terjadi dalam novel Pangeran Diponegoro :

Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado pada bab IV.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

117

BAB IV

INTRIK POLITIK

DALAM NOVEL PANGERAN DIPONEGORO: MENUJU SOSOK

KHALIFAH

Dalam bab ini, penulis memfokuskan penelitian pada pemaparan intrik

politik yang terjadi dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.

Intrik adalah penyebaran kabar bohong yang sengaja untuk menjatuhkan lawan

(KBBI, 2008: 4). Politik adalah segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan

mempertahankan kekuasaan dalam rakyat (Surbakti, 1992: 2). Konsep Intrik

Politik disimpulkan oleh penulis sebagai usaha penyebaran kabar bohong yang

sengaja untuk menjatuhkan lawan dengan tujuan mencari atau mempertahankan

kekuasaan dalam rakyat.

Di dalam tatanan pemerintahan sebuah negara atau kerajaan, intrik politik

sering digunakan penguasa untuk memperkuat kekuasaannya. Di pihak lain, intrik

politik juga dijadikan alat oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan bahkan

menggeser kekuasaan penguasa. Keadaan demikian membuat konflik-konflik

terjadi antara penguasa dan lawan politiknya dalam rangka mempertahankan atau

memperoleh pengaruh kekuasaan. Hal inilah yang terjadi dalam novel Pangeran

Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.

117
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

118

Penulis akan mengklasifikasikan dan mendeskripsikan intrik politik yang

terjadi dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah berdasarkan

peristiwa-peristiwa secara urut sesuai dengan alur seperti berikut.

4.1 Intrik Politik pada Masa Pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III

4.1.1 Usaha Danurejo IV Mengacaukan Hubungan Antara Inggris dengan

Keraton Yogyakarta

Intrik politik dimulai dengan kemunculan tokoh Danurejo IV. Kemunculan

Danurejo IV dalam alur Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah

menyebabkan konflik mulai mengarah pada corak kepentingan politik. Sebagai

patih Yogyakarta saat itu, Danurejo IV berfungsi sebagai penghubung antara

keraton Yogyakarta dengan pemerintahan kolonial Inggris. Dalam hal ini,

Danurejo IV memanfaatkan jabatannya untuk membuat keruh hubungan Sultan

Hamengku Buwono III dengan pemerintahan kolonial Inggris di Yogyakarta.

Intrik politik dilakukan Danurejo IV dengan memanfaatkan pesta

pernikahan Pangeran Diponegoro. Danurejo IV merekayasa surat undangan dari

Keraton Yogyakarta yang ditujukan kepada pejabat penting Inggris di

Yogyakarta, Marlborough. Undangan tersebut diambil Danurejo IV penjaga pos

Vredeburg. Sebelumnya, seorang utusan dari Tegalrejo memberikan undangan

pernikahan Pangeran Diponegoro kepada penjaga di pos Vredeburg setelah

ditugaskan Ratu Ageng untuk memberikan undangan tersebut kepada

Marlborough. Danurejo IV dan utusan Tegalrejo tersebut bertemu di Vredeburg.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

119

Danurejo IV membohongi penjaga pos Vredeburg tersebut dengan mengatakan

akan menyerahkan undangan kepada Marlborough pada saat itu. Namun,

undangan pernikahan Pangeran Diponegoro tidak diberikan langsung kepada

Marlborough. Danurejo IV sengaja menunda memberikan undangan selama tiga

hari, tepat pada hari berlangsungnya pernikahan Pangeran Diponegoro. Danurejo

IV memahami bahwa orang Inggris yang terkenal disiplin seperti Marlborough

tidak akan mau menghadiri pesta pernikahan yang undangannya diberikan secara

mendadak. Dengan demikian, Danurejo IV berharap bisa membuat keruh

hubungan Inggris dengan keraton Yogyakarta.(Hlm. 68-69)

Alur kemudian bergerak pada perisitiwa pernikahan Pangeran Diponegoro

dengan Raden Ayu Ratnaningsih. Danurejo IV pergi ke Vredeburg menemui

Marlborough sembari memberikan undangan pernikahan dengan harapan yang

bersangkutan tidak mau hadir karena undangan yang mendadak. Harapannya

menjadi kenyataan. Danurejo IV merasa senang karena berhasil menghasut

Marlborough. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(36) Dia bahkan merasa senang, sebab pernyataan pertama dari Marlborough yang
diterjemahkan oleh penerjemahnya, adalah rasa tidak laras yang dianggapnya
sebagai ungkapan rasa kecewa, bahwa undangan ini mendadak.(Hlm. 89)

Di lain pihak, Danurejo IV membohongi pihak keraton dengan

mengatakan bahwa Marlborough tidak mau menghadiri acara tersebut. Hal ini

terlihat dari percakapan Danurejo IV terhadap Pangeran Mangkubumi seperti

berikut.

(37) “Tadi saya coba ajak Tuan Marlborough untuk datang ke pesta ini, tapi seperti tiga
hari lalu, ketika dia menerima undangan dari sini, dia menolak.”(Hlm. 94)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

120

Kutipan (37) menunjukkan bahwa Danurejo IV membohongi Pangeran

Mangkubumi kalau undangan sudah diberikan tiga hari sebelumnya. Selain itu,

Danurejo IV juga berbohong kepada Pangeran Mangkubumi bahwa Marlborough

sudah menyatakan sikapnya menolak menghadiri pesta pernikahan sudah sejak

tiga hari yang lalu.

Usaha Danurejo IV membohongi pihak keraton dengan pihak Inggris

melalui Marlborough adalah intrik politik pertama yang terjadi dalam novel

Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Penulis menyimpulkan usaha

menyebarkan kebohongan yang dilakukan Danurejo IV bermuatan politik. Usaha

Danurejo IV sengaja dilakukan untuk membuat keruh hubungan Inggris dengan

Keraton. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan berikut.

(38) Dengan tidak datangnya seorang pun pejabat Inggris , karena undangan dadakan –
yang akan disebutnya sebagai undangan tidak sopan – maka dia mudah sekali
membuat gambaran buruk tentang kesungguhan Sultan Hamengku Buwono III
dalam menata Yogyakarta Hadiningrat. Dalam benaknya, apabila opini tentang itu
terbentuk, pasti bakal muncul prasangka-prasangka dan rasa tidak percaya. (Hlm.
69-70)

Kutipan (38) memperlihatkan kesengajaan Danurejo IV untuk

mengacaukan hubungan Inggris dengan Keraton Yogyakarta. Dasar tujuannya

adalah, sebagai patih, Danurejo IV menginginkan kedekatan dengan pihak

Inggris. Salah satu jalannya adalah mendekati pihak Inggris seperti residen

Crawfurd dan Marlborough sambil menyerang kepemimpinan Sultan Hamengku

Buwono III. Melalui kedekatannya dengan pihak Inggris, Danurejo IV berharap

memiliki kekuatan untuk memonopoli kekuasaan Sultan Hamengku Buwono III.

Dengan begitu, Danurejo IV memiliki peluang untuk menguasai wilayah peta


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

121

bisnis Cina di seluruh wilayah Mataram sebelum perjanjian Giyanti. Hal ini dapat

terlihat dalam kutipan berikut.

(39) Di luar itu, tujuannya yang utama adalah kepercayaan pihak inggris akan semakin
besar, dan jangkauan laba yang diraihnya dalam mengatur bisnis orang Cina akan
semakin luas juga. Yang dia dambakan, jika Inggris menaruh rasa percaya
kepadanya, dan namanya menjadi harum di mata penguasa tertinggi di Batavia yang
beberapa waktu lalu menganugerahkannya sebagai patih, maka peta bisnis Cina
yang bisa dipegangnya adalah seluruh bekas wilayah Mataram sebelum Perjanjian
Giyanti: mulai dari Indramayu di barat sampai Blambangan di timur, termasuk
Madura. (Hlm. 70)

4.1.2 Intrik Politik Sultan Hamengku Buwono III dalam Usaha

Menyingkirkan Paku Alam I sebagai Lawan Politiknya

Peristiwa yang menggambarkan intrik politik yang dilakukan Sultan

Hamengku Buwono III untuk menyingkirkan lawan politiknya terjadi ketika

Pangeran Diponegoro berdialog dengan Sultan Hamengku Buwono III di

Kaliurang. Sultan Hamengku Buwono III mengajak Pangeran Diponegoro untuk

berkuda ke Kaliurang. Maksud Sultan adalah mengajak berbicara Pangeran

Diponegoro karena ada hal penting yang ingin ia sampaikan dan hanya akan

disampaikan kepada Pangeran Diponegoro.(Hlm.135)

Sultan Hamengku Buwono III memiliki firasat bahwa dirinya berada

dalam bahaya. Ia menginginkan Pangeran Diponegoro menjadi putra mahkota.

Sultan menilai Pangeran Diponegoro memiliki jiwa kepemimpinan yang paling

menonjol di antara anak-anaknya yang lain, meskipun hanyalah anak dari seorang

selir. Maksudnya adalah apabila terjadi apa-apa dengan dirinya, Sultan Hamengku

Buwono III akan tenang karena ada Pangeran Diponegoro yang akan

menggantikannya. Namun, Pangeran Diponegoro menolak keinginan ayahnya


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

122

tersebut dengan alasan bahwa adiknya yang anak dari permaisuri, Ibnu Jarot, lebih

pantas menjadi putra mahkota. (Hlm.138-139)

Bahaya yang dimaksudkan oleh Sultan Hamengku Buwono III adalah

masalah perebutan kekuasaan. Hal ini terlihat dalam kutipan dialog Sultan

Hamengku Buwono III kepada Pangeran Diponegoro berikut.

(40) “Masalahnya, apa yang aku persoalkan ini memang persoalan yang tidak selesai
dalam satu pintu. Yang namanya pemerintahan selalu terbuka pintu perebutan, dan
di dalam perebutan selalu terbuka pula pintu penindasan. Kalau tidak mau ditindas,
harus mau menindas.”(Hlm.141)

Usaha Sultan Hamengku Buwono III adalah rencana untuk membunuh

Notokusumo. Notokusumo adalah paman Sultan Hamengku Buwono III. Pada

zaman pemerintahan kolonial Inggris, Notokusumo diangkat oleh Raffles sebagai

pangeran merdeka yang bergelar Paku Alam I. Sultan Hamengku Buwono III

mempunyai firasat bahwa Notokusumo mengincar kedudukannya sebagai Raja

Yogyakarta. Firasat Sultan Hamengku Buwono III menjadi dasar tujuannya

berencana membunuh Notokusumo. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(41) “Namanya juga firasat. Tapi dalam firasat ini, tiba-tiba aku merasa ingin
membunuh Notokusumo si Paku Alam I itu. (Hlm. 139)
(42) “Ah, ini masalah lama, Sebelum aku menjadi Sultan Hamengku Buwono III. Aku
kira Belanda pun sudah tahu itu sebelum Inggris masuk Yogyakarta. Masuknya
Inggris, dengan memasang Crawfurd sebagai residen semata-mata untuk
menjalinkan tali kesedarahan Hamengku Buwono dengan Paku Alam dalam
kerangka menyirnakan citra Sultan Sepuh yang sudah mereka singkirkan ke
Penang sana. Celakanya, diam-diam Notokusumo dan Notodiningrat bersama-
sama mengincar kedudukan menjadi Hamengku Buwono. Artinya, Paku Alam
dengan sengaja menyingkirkan aku. Kurang ajar sekali.Uh! Benar-benar aku benci
Notokusumo yang Paku Alam I. Sumpah mati disamber geledeg, aku ingin
membunuhnya.(Hlm.140)

Intrik yang dilakukan oleh Sultan Hamengku III adalah rencana

merekayasa proses kematian Notokusumo. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan

berikut.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

123

(43) “Aku sudah atur sejumlah kecu dari Pajang, Mataram, Sukowati untuk merampok
Notokusumo, lantas membunuhnya dengan pura-pura tidak tahu bahwa yang
mereka bunuh itu Paku Alam.”(Hlm.141)

Peristiwa perbincangan Sultan Hamengku Buwono III kepada Pangeran

Diponegoro di Kaliuarang pada kutipan (41), (42), dan (43) ini menggambarkan

bahwa ia ingin mengelabuhi publik kalau kematian Notokusumo dilakukan secara

tidak sengaja oleh perampok bayaran. Situasi yang demikian juga membuat

kematian Notokusumo akan terkesan tidak berkaitan dengan situasi politik di

keraton yang rawan akan perebutan kekuasaan antara Notokusumo dan Sultan

Hamengku Buwono III. Dengan begitu, Notokusumo akan tersingkir tanpa

melibatkan Sultan Hamengku Buwono III sebagai yang tertuduh. Meskipun di

dalam alur cerita, rencana Sultan Hamengku Buwono III membunuh Notokusumo

gagal, namun hal ini menggambarkan usahanya melakukan intrik politik untuk

menyingkirkan lawan politiknya.

4.1.3 Intrik Politik Orang-Orang Belanda dalam Peristiwa Kematian

Sultan Hamengku Buwono III

Kepentingan Orang-orang Belanda dalam masa pemerintahan kolonial

Inggris tergambarkan ketika muncul tokoh-tokoh orang Belanda seperti Van

Rijnst, dan Muntinghe. Muntinghe adalah mantan sekretaris pemerintahan pusat

di Batavia pada masa pemerintahan Belanda melalui Gubernur Jendral Albertus

H. Weise. Ia juga merupakan pebisnis di sektor sewa-menyewa tanah yang

membuatnya sebagai orang yang sangat kaya. (Hlm. 114)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

124

Sementara itu, Van Rijnst adalah orang Belanda yang pada masa

pemerintahan Raffles, bekerja untuk kepentingan Inggris. Menurut catatan-catatan

dari orang-orang Belanda di Batavia, Van Rijnst adalah seorang oportunis yang

memiliki banyak kasus eksploitasi manusia. Raffles sebagai pimpinan tertinggi

pemerintahan kolonial Inggris di Nusantara juga memberikan kesan yang negatif

terhadap Van Rijnst sebagai orang Belanda yang perlu dicurigai karena dapat

merugikan kepentingan Inggris.(Hlm. 108)

Dengan latar belakang demikian, kedua tokoh orang Belanda tersebut

menggerakkan alur Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah ke arah

pembunuhan Sultan Hamengku Buwono III. Selain latar belakang tokoh-tokoh di

atas, keadaan politik di Yogyakarta pada masa tersebut juga mendasari peristiwa

pembunuhan Sultan Hamengku Buwono III. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan

berikut.

(44) Asal-muasal keruwetan berikut ini adalah karena keadaan centang perenang dalam
negeri, antara keinginan dan kemauan dari pemerintah dan penguasa menyangkut
kedudukannya dan kehidupannya, dilatari oleh kenyataan politik yang gonjang-
ganjing dan kelangsungan ekonomi yang morat-marit, sehingga mereka yang
merasa punya hak tertentu dalam pelbagai lapangan, terutama bekas pejabat
Belanda yang kini bekerja bagi Inggris dan bangsawan Jawa yang bingung, lantas
memilih sikap aji mumpung. (Hlm. 118)

Narasi pada kutipan (44) menunjukkan bahwa baik orang-orang Belanda

pada masa pemerintahan Inggris maupun bangsawan Jawa memiliki ambisi

memanfaatkan keadaan politik pada masa pemerintahan Sultan Hamengku

Buwono III yang rawan. Dalam hal ini, Muntinghe, Van Rijnst, dan Danurejo IV

adalah tokoh-tokoh yang dimaksudkan dalam kutipan (44).


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

125

Muntinghe memanfaatkan posisi Sultan Hamengku Buwono II yang pada

masa awal kedatangan Raffles, diturunkan secara paksa dari singgasananya dan

diasingkan di Pulau Penang karena tidak sejalan dengan kebijakan-kebijakan yang

dibuat Raffles. Sultan Hamengku Buwono II ternyata masih menginginkan

kedudukannya sebagai raja Yogyakarta dipulihkan kembali. Hal ini terlihat dalam

kutipan berikut.

(45) “ Ya, saya tahu, karena saya bertemu langsung dengan Sultan Sepuh di tempat
pembuangannya, bahwa dia bermaksud merebut kembali tahktanya yang sekarang
diduduki oleh Sultan Raja.” Kata Muntinghe (Hlm. 119)
(46) “ Dulu, dengan pihak kita, dia (Sultan Sepuh) mengecewakan. Tapi, sekarang,
setelah Sultan Raja naik di bawah kendali Inggris, Sultan Raja lebih tidak baik
terhadap kita ketimbang Sultan Sepuh. Lain dari itu, secara pribadi Sultan Sepuh
menjanjikan kepada Saya, bisa mengalihkan tanah di sebelah Tegalrejo itu untuk
saya beli, selama orang Belanda lain tidak pernah melihat itu.”(Hlm. 121)

Kutipan (45) dan (46) memperlihatkan tujuan Muntinghe membunuh

Sultan Hamengku Buwono III. Sultan Hamengku Buwono III adalah penghalang

bagi Muntinghe untuk menguasai lahan bisnis sewa-menyewa tanah di daerah

Yogyakarta. Dalam hal ini, Muntinghe memanfaatkan ambisi Sultan Hamengku

Buwono II yang menginginkan tahktanya kembali dengan janji kerja sama yang

lebih baik dibandingkan dengan penguasa yang sekarang.

Misi Muntinghe dilakukan dengan jalan membunuh Sultan Hamengku

Buwono III menggunakan racun. Dalam menjalankan misinya, Muntinghe

menggunakan jasa Danurejo IV atas saran Van Rijnst sebagai eksekutornya.

Sementara itu, Danurejo IV menggunakan jasa kapitan Cina, Tan Jin Sing dalam

hal pembuatan racun yang akan digunakan untuk membunuh Sultan Hamengku

Buwono III. Muntinghe juga berencana menempatkan putra mahkota untuk

sementara sebagai Sultan Hamengku Buwono IV selama Sultan Sepuh belum


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

126

bebas dari pembuangannya di Penang setelah misi membunuh Sultan Hamengku

Buwono III sukses.(Hlm. 121)

Muntinghe juga memanfaatkan hubungan yang tidak harmonis antara

Sultan Hamengku Buwono III dengan residen Crawfurd. Crawfurd tidak diundang

oleh kalangan keraton Yogyakarta pada peristiwa pernikahan Pangeran

Diponegoro. Selain itu, satu-satunya pejabat Inggris yang diundang yaitu

Marlborough bahkan tidak hadir dalam pesta tersebut karena rekayasa Danurejo

IV. Situasi demikian yang menjadi dasar Muntinghe dalam menyimpulkan

hubungan yang tidak harmonis antara Sultan Hamengku Buwono III dengan

Inggris. (Hlm.120)

Tidak cukup demikian, hubungan antara Sultan Hamengku Buwono III

dengan Inggris semakin diperparah oleh Muntinghe dan Danurejo IV dengan

melibatkan Paku Alam I sekaligus Raffles melalui perjanjiannya dengan

Kesultanan dan Pakualaman. Perselisihan antara Paku Alam I dengan Sultan

Hamengku Buwono III dibaca oleh Muntinghe dan Danurejo IV sebagai upaya

Sultan yang menghalang-halangi hubungan Paku Alam I dengan gubernemen

Inggris. Dalam perjanjian tersebut, Sultan Hamengku Buwono III diharuskan

memberikan kelonggaran kepada Notokusumo selaku Paku Alam I untuk masuk

dalam dinas gubernemen Inggris. Dengan demikian, Sultan Hamengku Buwono

III telah melanggar isi perjanjiannya dengan Raffles. Peraturannya adalah

Crawfurd sebagai residen Inggris di Yogyakarta harus menegur kinerja Sultan

Hamengku Buwono III. (Hlm.168)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

127

Momentum seperti di atas segera dimanfaatkan Muntinghe untuk

menjalankan misinya menyingkirkan Sultan Hamengku Buwono III. Hal ini

terlihat dalam kutipan dialog Muntinghe dengan Van Rijnst berikut.

(47) ”Makanya, “ Kata Muntinghe, “kalau Sultan Raja yang menghalang-halangi itu bisa
mati sekarang, pandangan umum yang timbul adalah penguasa Inggris yang
menghendaki kematiannya itu. (Hlm. 120)

Kutipan (47) memperlihatkan intrik politik yang dilakukan Muntinghe

dalam misinya menyingkirkan Sultan Hamengku Buwono III. Muntinghe ingin

mengelabuhi pandangan orang bahwa Inggris adalah pihak yang patut dicurigai di

balik kematian Sultan Hamengku Buwono III. Tujuannya adalah menempatkan

Sultan Hamengku Buwono II menjadi raja Yogyakarta kembali untuk

memonopoli kekuasaan keraton Yogyakarta. Dengan begitu, Muntinghe bisa

menguasai peta bisnis sewa-menyewa tanah di wilayah keraton Yogyakarta.

Akibat dari intrik Politik orang-orang Belanda, Sultan Hamengku Buwono

III tewas terbunuh. Peristiwa tersebut juga menyudutkan residen Crawfurd

sebagai orang yang paling memungkinkan untuk dituduh. Segera setelah kematian

Sultan Hamengku Buwono III, Crawfurd ditarik oleh Raffles ke Batavia dan

digantikan oleh residen Garnham. (Hlm. 169)

4.2 Intrik Politik dalam Masa Pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IV

4.2.1 Intrik Politik Danurejo IV dalam Usaha Menduduki Jabatan Perwalian

atas Sultan Hamengku Buwono IV

Peristiwa kematian Sultan Hamengku Buwono III membawa alur cerita

Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah pada pengangkatan Ibnu Jarot


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

128

sebagai Sultan Hamengku Buwono IV. Sementara itu, Putra Mahkota yang dalam

sistem feodal Jawa adalah calon pengganti raja, masih berusia tiga belas tahun.

Maka harus dibentuk dewan perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengku

Buwono IV dalam menjalankan pemerintahanya. Pada kenyataannya, keraton

Yogyakarta tidak memiliki pedoman untuk mengatur permasalahan perwalian

raja. Hal ini karena keraton belum pernah mengalami situasi yang

demikian.(Hlm.181)

Danurejo IV berusaha memanfaatkan situasi di atas untuk melaksanakan

ambisinya menguasai keraton Yogyakarta. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(48) “Memang“, kata Danurejo IV. “Justru karena keadaan seperti ini belum pernah
terjadi, kita tidak punya perangkat aturan baru yang bisa kita pakai sebagai
pegangan. Berhubung tidak adanya aturan itu, maka Inggris, dalam hal ini Tuan
Raffles, menunjuk saya untuk membuat aturan baru. Aturan itu sudah dilaksanakan.
Bahwa Ibnu Jarot akan segera dinobatkan menjadi Sultan Hamengku Buwono IV.
Dan, berhubung dia masih mentah, maka saya sebagai pengemban perintah Raffles,
lantas mengangkat orang-orang yang menurut pendapat saya bisa dipercaya, yaitu
Raden Tumenggung Pringgodiningrat, Raden Tumenggung Ronodiningrat, dan
Raden Tumenggung Mertodiningrat.”(Hlm.181)
(49) Orang-orang merasa heran, kenapa Danurejo IV yang dulu bupati Jipang dengan
nama Raden Tumenggung Sumodipuro itu, sekarang menjadi memuakkan begini.
Dalam bicara, baik tidak resmi maupun resmi Danurejo IV selalu hendak menguasai
orang lain, anggapannya seakan semua orang adalah figuran dan dia pemegang rol
utama. Apabila dia tersudut di dalam rapat, dia menameng dirinya dengan
meminjam nama Raffles:
“Bukan gagasan saya berkata begitu. Saya meneruskan wawasan
Raffles”.(Hlm.182)

Kutipan (48) dan (49) memperlihatkan bahwa Danurejo IV memegang

kendali penuh dalam proses pergantian raja dari Sultan Hamengku Buwono III

kepada Sultan Hamengku Buwono IV. Ia juga berusaha untuk menguasai masalah

pengangkatan perwalian Sultan Hamengku Buwono IV. Dalam hal ini, Danurejo

IV menggunakan kekuatan politik Inggris melalui nama Raffles untuk melindungi


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

129

pendapat-pendapatnya dengan menyebut dirinya sebagai pengemban perintah

Raffles.

Danurejo IV berhasil menduduki jabatannya sebagai ketua dewan

perwalian Sultan Hamengku Buwono IV. Posisi politiknya tersebut membuat

Danurejo IV dengan mudah memonopoli kebijakan keraton Yogyakarta. Hal ini

dapat terlihat dalam kutipan berikut.

(50) “Yang perlu segera ditindaklanjuti oleh Sultan Hamengku Buwono IV dalam rangka
mengisi kas negara, adalah memberikan hak penyewaan tanah tanpa syarat kepada
orang-orang Cina.”(Hlm.183)

Kutipan (50) adalah pendapat Danurejo IV yang disampaikannya pada saat

rapat membahas langkah-langkah dewan perwalian Sultan Hamengku Buwono IV

dalam menjalankan program pemerintahannya. Dengan memberikan hak

penyewaan tanah kepada orang-orang Cina, maka kekayaan Danurejo IV akan

berlipat ganda. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan berikut.

(51) Padahal, satu-satunya tujuan Danurejo IV di sini, di luar permainannya yang lain,
adalah mengharapkan keuntungan dari urusan pertanahan yang menjadi bisnis
orang-orang Cina dan orang-orang Belanda. Dari bisnis mereka itu, dia mendapat
komisi yang membuatnya makin gemuk. (Hlm 198)

Kutipan (51) memperlihatkan tujuan utama Danurejo IV dalam

mengendalikan kebijakan keraton. Dengan kekuatan politiknya baik sebagai patih

maupun wali Sultan Hamengku Buwono IV, Danurejo IV sepenuhnya

mengendalikan keraton Yogyakarta.

Pada kenyataannya, Raffles tidak berkenan dengan kedudukan Danurejo

IV sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV. Raffles memecat Danurejo IV dari

jabatannya tersebut. Ia menunjuk Paku Alam I sebagai wali tunggal Sultan

Hamengku Buwono IV. (Hlm. 187-188)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

130

Penunjukan Paku Alam I oleh Raffles disebabkan karena hubungan

istimewa antara Paku Alam I dengan Inggris. Hal ini dapat terlihat dalam kontrak

politik antara Inggris dengan Paku Alam tahun 1813 pada kutipan berikut.

(52) “Gubernemen Inggris sepenuhnya yakin akan kesetiaan dan jasa-jasa Pangeran
Paku Alam, maka Gubernemen Inggris akan memberi perlindungan langsung
kepada Sri Paku Alam dan keluarganya”.(Hlm.205)

Gambaran yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa Danurejo IV

melakukan intrik politik untuk menguasai keraton Yogyakarta. Kutipan (48) dan

(49) menjelaskan bahwa Danurejo IV berhasil menduduki jabatan wali Sultan

Hamengku Buwono IV karena memakai tameng nama Raffles kepada para

pejabat keraton sebagai pelindung ambisi-ambisinya.

Namun, pada kenyataannya, justru Raffles tidak berkenan dengan

pengangkatan dirinya sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV. Raffles yang

memecat Danurejo IV dan menggantikannya dengan Paku Alam I. Dengan kata

lain, Raffles memang tidak pernah menunjuk Danurejo IV untuk mengatur proses

perwalian Sultan Hamengku Buwono IV. Hal ini berlainan dengan pernyataan

Danurejo IV yang selalu mengatakan jika dirinya adalah pengemban perintah

Raffles. Dengan begitu, Danurejo IV telah melakukan intrik politik dengan cara

membohongi para pejabat keraton dengan mengatakan dirinya sebagai pengemban

perintah Raffles untuk memperoleh kekuasaan sebagai wali Sultan Hamengku

Buwono IV.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

131

4.2.2 Usaha Danurejo IV Menyingkirkan Paku Alam I sebagai Lawan

Politiknya

Pengangkatan Paku Alam I sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV

oleh Raffles membuat Danurejo IV terpukul. Penghasilan dan rasa kebanggaannya

sebagai wali yang mengendalikan Sultan Hamengku Buwono IV pun hilang. (Hlm

189)

Akibat peristiwa tersebut, Danurejo IV melakukan berbagai upaya untuk

merebut kedudukannya sebagai wali dari Paku Alam I. Danurejo IV menyerang

kedudukan Paku Alam I dengan menghasut Pangeran Mangkubumi. Hal ini

terlihat dalam kutipan dialog Danurejo IV kepada Pangeran Mangkubumi berikut.

(53) “Bagaimanapun gubernemen Inggris keliru menaruh Notokusumo sebagai wali


Jarot”, kata Danurejo IV. “Coba bayangkan dengan akal sehat: Paku Alam
mengatur Hamengku Buwono. Selain ini sesat, juga melecehkan wangsa Hamengku
Buwono. Betul kan? (Hlm.196)

Danurejo IV berhasil menghasut Pangeran Mangkubumi untuk sependapat

dengan dirinya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(54) Pangeran Mangkubumi ragu menjawab itu, tapi dia tertodong untuk berpihak pada
frustasi Danurejo IV. Maka kata satu-satunya yang terlisankan di mulutnya adalah,
“Ya.”
(55) “Sampeyan Benar sekali berpikir begitu”, kata Danurejo IV, bermuka ular.
“Harusnya kan yang duduk dalam perwalian Jarot adalah sampeyan dengan kakak-
kakak Jarot secara langsung yang punya hubungan darah. Nah, satu-satunya bupati
dari luar, yang tepat, karena menguasai permasalahannya, ya, tentu saja saya.” (Hlm
196)

Kutipan (53) menjelaskan bahwa Danurejo IV mencoba menghasut

Pangeran Mangkubumi agar ia setuju dengan pendapatnya bahwa kedudukan

Paku Alam I sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV salah. Kutipan (55)

menunjukkan pendapat Danurejo IV tentang kakak-kakak Sultan Hamengku


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

132

Buwono IV bersama dengan dia sendiri sebagai orang-orang yang paling tepat

menduduki jabatan perwalian atas Sultan Hamengku Buwono IV. Hasutan

Danurejo IV pada kutipan (55) membuat kedudukan Paku Alam I sebagai Wali

Sultan hamengku Buwono IV terkesan tidak pantas mengingat ia bukan kakak

dari Sultan Hamengku Buwono IV.

Padahal pendapat Danurejo IV pada kutipan (55) justru berlawan dengan

kebijakannya semasa menjabat perwalian atas Sultan Hamengku Buwono IV.

Pada masa jabatannya sebagai wali Sultan, Danurejo IV sengaja tidak melibatkan

kakak-kakak Sultan Hamengku Buwono IV seperti Pangeran Diponegoro agar ia

sepenuhnya memonopoli kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IV. Hal ini

menunjukkan bahwa Danurejo IV dengan sengaja menyebarkan isu kesedarahan

untuk mengacaukan hubungan antara kalangan keraton Yogyakarta dengan Paku

Alam I dengan tujuan merebut kembali jabatannya sebagai wali Sultan Hamengku

Buwono IV.

Pada tanggal 27 Januari 1820, Notokusumo selaku Paku Alam I mundur dari

jabatannya sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV. Ia menyatakan tidak mau

lagi meneruskan tanggung jawabnya sebagai wali atas pemerintahan Sultan

Hamengku Buwono IV. (Hlm. 251)

Dengan mundurnya Paku Alam I sebagai wali atas Sultan Hamengku

Buwono IV, berarti hasutan Danurejo IV yang sengaja dihembuskan kepada

kalangan keraton berhasil. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(56) “Saya tidak ingin terjadi prasangka buruk dari sesama saudara yang makin meluas.”
(Hlm. 254)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

133

Kutipan (56) adalah pernyataan Paku Alam kepada Nahuys sebagai residen

Belanda setelah pergantian kekuasaan dari Inggris kepada Belanda. Nahuys

menemui Paku Alam I untuk menanyakan alasannya mundur dari jabatan wali

Sultan Hamengku Buwono IV. Kutipan (56) memperlihatkan bahwa Paku Alam I

merasakan prasangka-prasangka yang muncul di lingkungan keraton Yogyakarta

berkaitan dengan posisinya sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV. Hal itulah

yang membuat Paku Alam I mundur dari jabatannya.

Pada awal pengangkatan Paku Alam I sebagai wali Sultan Hamengku

Buwono IV, Danurejo IV sudah menyebarkan hasutan-hasutan yang menyerang

kedudukan Paku Alam I sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV di lingkungan

keraton Yogyakarta. Kutipan (53) dan (55) menunjukkan usaha hasutan Danurejo

IV tersebut. Hasil hasutannya adalah mundurnya Paku Alam I sebagai wali Sultan

Hamengku Buwono IV dengan alasan seperti pada kutipan (56). Dengan kata lain,

Danurejo IV melakukan intrik politik untuk menyingkirkan Paku Alam I dari

jabatan sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV dengan cara menyebarkan

hasutan kepada kalangan keraton. Tujuan dari intrik politik Danurejo IV tersebut

adalah agar ia bisa menduduki jabatannya sebagai wali Sultan Hamengku Buwono

IV kembali.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

134

4.2.3 Intrik Politik Belanda dalam Peristiwa Kematian Sultan Hamengku

Buwono IV

Danurejo IV berhasil menduduki jabatannya kembali sebagai wali Sultan

Hamengku Buwono IV setelah mundurnya Paku Alam I dari jabatan tersebut.

Pengangkatan Danurejo IV sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV terjadi

ketika Belanda sudah mengambil alih kekuasaan Nusantara dari Inggris. Posisi

Raffles telah digantikan oleh Gubernur Jendral Belanda yaitu Van Der Capellen.

Posisi residen Yogyakarta diduduki oleh Nahuys. Nahuys adalah tokoh yang

memiliki ambisi besar untuk diperhatikan oleh Van Der Capellen. Sementara itu,

kedekatan Danurejo IV dengan orang-orang Belanda seperti Van Rijnst membuka

terjalinnya kerjasama antara Nahuys dengan Danurejo IV. (Hlm.261)

Nahuys sebagai residen yang ambisius dipecat oleh Van Der Capellen dari

jabatannya sebagai residen yang berkedudukan di Yogyakarta. Pemecatannya

membuat Nahuys merasa ingin membuktikan kepada Van Der Capellen bahwa ia

bisa berjasa untuk pemerintahan kolonial Belanda. Jalan pembuktiannya adalah

dengan cara membunuh Sultan Hamengku Buwono IV. (Hlm. 266)

Ambisi dan rencana pembunuhan Sultan Hamengku Buwono IV oleh

Nahuys kepada Van Der Capellen terlihat dalam kutipan berikut.

(57) “ Saya akan menjadi malaikat maut bagi Sri Sultan.”(Hlm. 266)
(58) “Orang yang pandai harus mampu membuktikan hasil pekerjaan sulit yang
kepalang disanggupinya untuk dilaksanakannya”, kata Nahuys. “Saya akan
buktikan itu kepada Anda.”(Hlm. 267)

Tujuan Belanda untuk membunuh Sultan Hamengku Buwono IV terlihat

dalam kutipan berikut.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

135

(59) “Ya, ya. Kita ingin Sultan Hamengku Buwono II kembali ke takhtanya di
Yogyakarta. Tidak ada satu pun Sultan, antara yang Sultan Hamengku Buwono III
dan Hamengku Buwono IV, terlebih-lebih Hamengku Buwono I, yang bisa kita
andalkan kecuali Hamengku Buwono II. Anda mengerti?”

Nahuys membutuhkan eksekutor untuk melaksanakan rencananya

membunuh Sultan Hamengku Buwono IV. Van Rijnst menyarankan kepada

Nahuys untuk menggunakan Danurejo IV untuk menjalankan misi tersebut,

berdasarkan pengalamannya pada peristiwa kematian Sultan Hamengku Buwono

III sebelumnya. Melalui saran Van Rijnst, Nahuys akhirnya melibatkan Danurejo

IV dalam misinya. (Hlm. 261, 267)

Nahuys segera meminta Danurejo IV menemui dirinya. Dalam pertemuan

tersebut, Nahuys meminta Danurejo IV melaksanakan misinya membunuh Sultan

Hamengku Buwono IV dengan menggunakan racun ramuan Cina. Hal ini terlihat

dalam kutipan berikut.

(60) “Hubungi dulu Secodiningrat. Saya ingin yakin, bahwa ada ramuan Cina yang bisa
membuat orang mati tidak mendadak, tapi pasti mati pada satu atau dua jam setelah
meminumnya.” (Hlm.268)
(61) “Bagus. Ingat baik-baik rahasia ini. Sasarannya adalah orang yang Tuan kenal betul
sebagai Dewan Perwaliannya.” (Hlm. 269)

Kutipan (60) dan (61) adalah diaolog antara Nahuys dengan Danurejo IV.

Kutipan (60) menunjukkan bahwa Nahuys berencana menggunakan racun buatan

Secodiningrat untuk membunuh target pada kutipan (61). Kutipan (61) adalah

perintah Nahuys kepada Danurejo IV. Hal ini menunjukkan bahwa sasaran

Nahuys adalah Sultan Hamengku Buwono IV dengan menyebutkan kepada

Danurejo IV bahwa “Sasarannya adalah orang yang Tuan kenal betul sebagai

Dewan Perwaliannya”.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

136

Setelah mendapat misi tersebut, Danurejo IV mengajak Sultan Hamengku

Buwono IV pesiar ke pesisir selatan. Sultan Hamengku Buwono IV pun

menyetujui ajakan Danurejo IV untuk pergi pesiar ke pesisir selatan. Di tengah

perjalanan pada siang hari, rombongan tersebut berhenti untuk beristirahat.

Kesempatan itu dimanfaatkan Danurejo IV untuk mencampurkan racun buatan

Secodiningrat ke minuman yang akan diberikan kepada Sultan Hamengku

Buwono IV. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(62) Sebelum kelapa muda dibawa kepada Sultan Hamengku Buwono IV untuk diminum
airnya, diam-diam Danurejo IV menaruh racun buatan Secodiningrat itu ke
dalamnya. (Hlm. 273)

Sultan Hamengku Buwono IV wafat dalam peristiwa tersebut pada 6

Desember 1822. Tidak ada seorang pun yang berprasangka akan kematian Sultan

Hamengku Buwono IV kecuali Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro

memiliki firasat jika kematian adiknya tersebut karena diracun. Hal ini terlihat

dalam kutipan berikut.

(63) “Beliau pasti diracun”, kata Pangeran Diponegoro kepada kedua orang pamannya
yang datang ke Tegalrejo menyampaikan peri kematian itu. (Hlm 262)
(64) “Indraku yang lain melihat itu”, jawab Pangeran Diponegoro.(Hlm.263)

Kutipan (63) dan (64) adalah reaksi Pangeran Diponegoro setelah

mendengar Sultan Hamengku Buwono IV wafat dari kedua pamannya yaitu

Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Bei. Secara singkat dari mulut ke mulut,

firasat Pangeran Diponegoro pun menyebar ke rakyat Yogyakarta. (Hlm.274)

Di Pecinan, kabar itu menjadi masalah bagi Tan Jin Sing. Ia khawatir

kalau rahasia kematian Sultan Hamengku Buwono IV terbongkar. Kekhawatiran

Tan Jin Sing karena ia terlibat dalam pembunuhan tersebut. Tan Jin Sing
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

137

meminta bantuan kepada Danurejo IV agar rahasia kematian Sultan Hamengku

Buwono IV tidak terbongkar. Hal ini juga menjadi tanggung jawab Danurejo IV

kepada Belanda untuk menjaga rahasia pembunuhan Sultan Hamengku Buwono

IV. Taruhannya adalah kepala Danurejo IV jika rahasia pembunuhan Sultan

Hamengku Buwono IV bocor (Hlm. 275)

Intrik politik terlihat ketika Danurejo IV menyebarkan kabar bohong

untuk melindungi Belanda, dirinya, dan Tan Jin Sing dari kabar tentang kematian

Sultan karena racun. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.

(65) “Itu cuma hasutan si anak selir Pangeran Dipegoro”, kata Danurejo IV. “Mestinya,
kalau benar Sultan seda diracun, yang meracun ya Pangeran Diponegoro, sebab dia
cemburu pada adiknya itu.”(Hlm. 275)
(66) “Ya, tentu saja dia cemburu pada adiknya. Dia kan kepingin menjadi Sultan, tapi
tidak kesampaian.”(Hlm.275)

Kutipan (65) dan (66) adalah hasutan Danurejo IV yang ditujukan kepada

masyarakat keturunan Tionghoa di Pecinan. Pada kutipan (65) dan (66) Danurejo

IV menuduh Pangeran Diponegoro sebagai orang yang paling memungkinkan

berada di balik kematian Sultan Hamengku Buwono IV jika ia memang

meninggal karena diracun.

Belanda melalui Van Rijnst sengaja melibatkan Danurejo IV pada awal

rencana pembunuhan terhadap Sultan Hamengku Buwono IV. Hal ini karena

Danurejo IV sudah terbukti menjadi kaki tangan yang sempurna bagi Muntinghe

pada saat peristiwa pembunuhan Sultan Hamengku Buwono III. Reputasi

Danurejo IV membuat Belanda tidak perlu lagi khawatir akan bocornya rahasia

misi pembunuhan tersebut. Terbukti pada kutipan (65) dan (66) Danurejo IV
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

138

mampu berkelit dari kabar tentang kematian Sultan Hamengku Buwono IV karena

diracun yang berhembus di kalangan rakyat.

Penulis menyimpulkan bahwa Belanda melakukan intrik politik membunuh

Sultan Hamengku Buwono IV dengan tujutan untuk menempatkan Sultan

Hamengku Buwono II kembali menjadi raja Yogyakarta. Kutipan (65) dan (66)

menunjukkan bahwa melalui kaki tangannya yaitu Danurejo IV, Belanda

menyebarkan kabar bohong kepada masyarakat di Pecinan kalau Pangeran

Diponegoro adalah orang yang paling memungkinkan berada di balik kematian

Sultan Hamengku Buwono IV. Dengan demikian, masyarakat tidak akan sedikit

pun mencurigai Belanda sebagai pihak yang berada di balik kematian Sultan

Hamengku Buwono IV.

4.3 Intrik Politik pada Masa Perwalian Sultan Hamengku Buwono V

4.3.1 Usaha Danurejo IV Menyingkirkan Pangeran Diponegoro sebagai

Lawan Politiknya

Kematian Sultan Hamengku Buwono IV membawa alur Pangeran

Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah ke pengangkatan Putra Mahkota, Pangeran

Menol menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Rencana Belanda untuk

menempatkan kembali Sultan Sepuh sebagai raja Yogyakarta tertunda setelah

mendengar nasihat dari Danurejo IV. Danurejo IV menyarankan agar Pangeran

Menol segera diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono V. (Hlm. 290)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

139

Belanda melalui residennya yang baru yaitu Smissaert menyetujui saran

Danurejo IV. Alasannya adalah Sultan Menol masih berusia tiga tahun. Dengan

begitu Belanda bisa melakukan apa saja terhadap keraton Yogyakarta dengan

catatan Danurejo IV duduk dalam dewan perwalian Sultan Menol. Di sisi lain,

Danurejo IV akan semakin berkuasa di Keraton Yogyakarta.

Namun impian Danurejo IV tidak sepenuhnya sesuai harapan. Melalui

bujukan Pangeran Mangkubumi, Pangeran Diponegoro bersedia untuk menduduki

dewan perwalian atas Sultan Hamengku Buwono V. Hal ini membawa alur cerita

pada konfrontasi antara kepentingan Danurejo IV dengan Pangeran Diponegoro

yang berseberangan. (Hlm. 307)

Perselisihan antara Pangeran Diponegoro dengan Danurejo IV segera

terlihat pada saat rapat membahas program kebijakan pemerintahan Sultan

Hamengku Buwono V. Pendapat Danurejo IV terlihat dalam kutipan berikut.

(67) “Bagaimanapun dewan perwalian tidak boleh bertentangan dengan kebijakan


pemerintahan Belanda.”(Hlm. 312)

Sementara itu, pendapat Pangeran Diponegoro dapat terlihat dalam kutipan

berikut.

(68) “Ah, itu menghina harkat saya. Itu berarti kita sengaja menggadaikan kepala kita
kepada antek Belanda. kalau Sampeyan merasa itu benar, silakan saja. Tapi saya
menolak, saya tidak bersedia dibikin jadi antek Belanda.”(Hlm. 312)

Perbedaan pendapat antara Pangeran Diponegoro dengan Danurejo IV

pada rapat tersebut berkembang menjadi perkelahian. Danurejo IV kalah dalam

perkelahian tersebut. Peristiwa ini membuat Danurejo IV merasa perlu untuk

menyingkirkan Pangeran Diponegoro. Danurejo IV menganggap Pangeran


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

140

Diponegoro adalah penghalang bagi kebijakan-kebijakannya untuk memonopoli

keraton Yogyakarta. (Hlm. 313-315)

Usaha pertama Danurejo IV untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro

adalah rencana membunuh Pangeran Diponegoro dengan memanfaatkan kekuatan

orang-orang keturunan Tionghoa. Danurejo IV mengumpulkan seluruh anggota

Dewan Cina yang diketuai Tan Jin Sing. Danurejo IV menghasut para anggota

Dewan Cina untuk memusuhi Pangeran Diponegoro. hal ini terlihat dalam kutipan

berikut.

(69) “Anak selir Sultan Raja dari Tegalrejo ini bisa berbahaya bagi hak hidup kalian di
sini, “Kata Danurejo IV melancarkan asutannya kepada orang-orang Cina itu. “Dia
keras dan fanatik. Bisa-bisa dia memakai cara Kertanegara atau Wikramardhana
atau Valckeneir untuk menghembuskan anti Cina kepada rakyat. Itu artinya
kehidupan kalian semua terancam. Oleh karena itu, Saya kira cara yang paling tepat
adalah menghalau dia.”(Hlm. 320)

Kutipan (69) memperlihatkan Danurejo IV memanfaatkan sejarah kelam

bangsa Cina di Nusantara untuk menghasut para anggota dewan Cina. Dengan

mengatakan Pangeran Diponegoro sebagai orang yang fanatik dan keras,

Danurejo IV menyimpulkan di depan para anggota dewan Cina bahwa Pangeran

Diponegoro adalah tokoh yang berbahaya bagi etnis Tionghoa.

Dalam peristiwa tersebut, muncul tokoh bernama Ket Wan. Ket Wan

adalah orang Mancu yang mudah emosi. Danurejo IV berhasil menghasut Ket

Wan untuk membunuh Pangeran Diponegoro. Hasutan Danurejo IV terlihat dalam

kutipan berikut.

(70) Kata Danurejo IV kepada Ket Wan, “Saya kira, hanya Ket Wan yang sanggup
memberi pelajaran kepada putra Sultan Raja dari Tegalrejo itu. Kenapa? Selain
bahwa dia memang berbahaya , dia juga meremehkan weiwang (wibawa) kekuasaan
Mancu terhadap Cina.”(Hlm. 323)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

141

(71) “Bagus. Saya akan atur. Saya akan bikin pertandingan itu sebagai pertandingan
bebas, menumbuk dada, sampai mati, seperti cerita Pangeran Mangkubumi sebelum
menjadi Sultan Hamengku Buwono I dalam pertandingannya melawan Mayor De
Clerq.(Hlm. 323)

Kutipan (71) menunjukkan cara Danurejo IV untuk membunuh Pangeran

Diponegoro. Danurejo IV merekayasa pertandingan adu lembing antara Ket Wan

dengan Pangeran Diponegoro. Danurejo IV berharap Pangeran Diponegoro bisa

mati terbunuh dalam pertandingan tersebut. Sementara itu, Ket Wan yakin akan

dengan mudah membunuh Pangeran Diponegoro karena kemampuannya bermain

adu lembing. (Hlm. 323)

Di Keraton Yogyakarta, Danurejo IV berusaha mengelabuhi para anggota

dewan perwalian Sultan Hamengku Buwono V. Hal ini terlihat dalam kutipan

berikut.

(72) “Begini, saudara sedarah, saya atas nama orang-orang Cina di Yogyakarta ini, telah
mempersiapkan sebuah acara pertandingan ketangkasan dalam rangka merayakan
hari penghormatan kepada Jing Cui Co Su (dewa yang melindungi para perantau)
yang selama ini hanya dirayakan orang-orang Cina di Semarang. Padahal orang-
orang Cina, sebagai perantau semestinya menghormati Jing Cui Co Su (Hlm. 342)

Kutipan (72) menunjukkan bahwa Danurejo IV berusaha mengelabuhi

para anggota dewan perwalian Sultan Hamengku Buwono V untuk mengadakan

acara pertandingan ketangkasan. Pertandingan ketangkasan yang dimaksud adalah

adu lembing antara Ket Wan dengan Pangeran Diponegoro. Acara tersebut

dilaksanakan dengan alasan untuk menghormati orang-orang Cina sebagai

perantau di Yogyakarta. Padahal tujuan utama Danurejo IV adalah membunuh

Pangeran Diponegoro.

Alur bergerak pada peristiwa pertandingan adu lembing antara Pangeran

Diponegoro melawan Ket Wan di Alun-alun. Dalam peristiwa tersebut, justru Ket
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

142

Wan yang terbunuh oleh lembing Pangeran Diponegoro. Dengan demikian,

Danurejo IV gagal menyingkirkan Pangeran Diponegoro dengan menggunakan

kekuatan Ket Wan. (Hlm 353)

Pada peristiwa tersebut, Pangeran Diponegoro berteriak kepada Danurejo

IV yang duduk di kursi penonton. Kata-kata Pangeran Diponegoro terlihat pada

kutipan berikut.

(73) Kepada Danurejo IV yang wajahnya sekonyong pucat, Pangeran Diponegoro


berkata, “Harusnya bukan dia yang mati. Dia bukan musuh saya. Saya tidak
bermusuhan dengan orang Cina. Orang Cina adalah saudara tua bangsa Nusantara.
Saya heran kenapa saya dibikin jadi musuh Cina. Harusnya musuh saya adalah
Belanda.” (Hlm. 353)

Pada kutipan (69) dan (70) Danurejo IV mengatakan kepada para anggota

dewan Cina bahwa Pangeran Diponegoro berbahaya bagi etnis Tionghoa dan

pantas untuk dibunuh. Pada kutipan (73) Pangeran Diponegoro mengatakan Cina

bukan musuhnya, melainkan Belanda. Dengan begitu, Danurejo IV secara sengaja

membohongi para anggota dewan Cina untuk tujuan membunuh Pangeran

Diponegoro. Sementara itu, kutipan (72) menunjukkan bahwa Danurejo IV juga

berusaha mengelabuhi para dewan perwalian Sultan Hamengku Buwono V.

Danurejo IV mengatakan kepada para dewan perwalian Sultan Hamengku

Buwono V untuk mengadakan acara ketangkasan dengan maksud menghargai

orang-orang Cina yang berada Yogyakarta, padahal tujuannya adalah membunuh

Pangeran Diponegoro. Penulis menyimpulkan bahwa Danurejo IV melakukan

intrik politik membohongi para anggota dewan Cina dan anggota dewan

perwalian Sultan Hamengku Buwono V dengan tujuan membunuh Pangeran

Diponegoro sebagai lawan politiknya.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

143

Kegagalan intrik politik sebelumnya membuat Danurejo IV mencari jalan

lain untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro. Usaha Danurejo IV yang lainnya

adalah dengan menggunakan kekuatan Belanda.

Pada saat itu, jabatan residen Belanda untuk Yogyakarta diduduki oleh

Smissaert. Van Der Capellen menugaskan Smissaert untuk mengurusi masalah

utang keraton Yogyakarta. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(74) Tiba-tiba konsentrasi Smissaert sekarang adalah tugas yang diperintahkan oleh
Gubernur Jendral Van Der Capellen, untuk menagih utang dan tunggakan sewa-
menyewa tanah terhadap orang-orang Cina yang harus dibayar pihak keraton
kepada pihak pemerintah Belanda. (Hlm. 395)

Smissaert mengundang seluruh pejabat keraton untuk membahas soal

utang keraton. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(75) Kini, di mejanya, Smissaert berkata kepada semua pejabat keraton yang hadir di
situ, “Tagihan yang harus dibayar oleh Sri Sultan kepada pihak kami, jumlahnya
40.000 real uang Spanyol. (Hlm. 396)

Dalam peristiwa tersebut, Pangeran Diponegoro adalah satu-satunya

pejabat keraton yang tidak datang. Situasi yang demikian dimanfaatkan Danurejo

IV untuk menghasut Smissaert. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(76) Tuan harus tahu, Pangeran Diponegoro tidak mau datang ke sini untuk pertemuan
tadi itu, sebab dia tidak mau jalur keuangan Tegalrejo kalong (berkurang) untuk
pembayaran utang kraton. (Hlm 398)

Danurejo IV juga memanfaatkan momentum tersebut dengan mengaitkan

kepada masalah kedudukan Pangeran Diponegoro sebagai wali Sultan Hamengku

Buwono V. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(77) Danurejo IV mengeraskan bisik-bisiknya. “Tuan harus tahu rahasia ini. Bahwa
sebetulnya Pangeran Diponegoro itu dengki pada Menol yang sekarang sudah
menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Dia berambisi menjadi Sultan. Dulu waktu
Sultan Hamengku Buwono IV dia iri pada adiknya itu, maka dia merekayasa
kematian Jarot melalui Tumenggung Martonegoro.Nah, dia kira, setelah Jarot
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

144

meninggal, Takhta kesultanan akan diserahkan kepadanya. Ternyata tidak. Ternyata


takhta kesultanan itu diserahkan kepada menol. Tidak heran, dalam kedudukannya
sebagai waki Menol yang sekarang menjadi Sultan Hamengku Buwono V,
tindakannya awur-awuran. Saya tahu betul rahasia ini. Itu sebabnya dia tidak suka
pada saya.:” (Hlm 398)

Kutipan (76) dan (77) memperlihatkan Danurejo IV menghasut Smissaert

dengan menyerang kedudukan Pangeran Diponegoro sebagai wali Sultan

Hamengku Buwono V. Danurejo IV membohongi Smissaert dengan mengatakan

Pangeran Diponegoro tidak datang pada rapat karena tidak mau keuangan di

Tegalrejo berkurang. Selain itu, Danurejo IV juga membohongi Smissaert bahwa

Pangeran Diponegoro berambisi untuk menjadi raja sehingga membunuh Sultan

Hamengku Buwono IV. Hal tersebut yang menjadi dasar hasutan Danurejo IV

kepada Smissaert untuk menguatkan pendapatnya jika Pangeran Diponegoro

harus disingkirkan.

Pada kenyataannya, Pangeran Diponegoro sudah menyatakan mundur dari

perwalian Sultan Hamengku Buwono V. Pangeran Diponegoro mundur karena

merasa tidak bisa bekerja sama lagi dengan Danurejo IV. Pernyataan mundur

Pangeran Diponegoro dapat terlihat dalam kutipan berikut.

(78) Ketika undangan dikirim kepadanya, maka jawab Pangeran Diponegoro tegas,
“Saya tidak merasa berkepentingan di sana. Saya sudah melepas diri dari tanggung
jawab sebagai dewan perwalian Sultan Hamengku Buwono V.”(Hlm. 395)

Pernyataan mundur Pangeran Diponegoro tidak membuat Danurejo IV

berhenti berusaha menyingkirkan Pangeran Diponegoro. Selain dendamnya

karena kalah berkelahi dengan Pangeran Diponegoro, Danurejo IV menganggap

Pangeran Diponegoro adalah batu sandungan baginya sekalipun sudah tidak

menduduki jabatan sebagai wali Sultan Hamengku Buwono V.(Hlm. 404)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

145

Hal ini segera terlihat ketika Danurejo IV mengetahui Pangeran

Diponegoro sedang mempersiapkan para cantriknya berlatih bela diri. Informasi

tersebut dimanfaatkan oleh Danurejo IV menekan Smissaert untuk menangkap

Pangeran Diponegoro. Akhirnya Smissaert menyetujui saran Danurejo IV untuk

menangkap Pangeran Diponegoro. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(79) “Kalau begitu adakan pesta, “kata Smissaert. “Undang semua pangeran dari pihak
kesultanan dan pakualaman. Kasih minum, mabuk, lantas tangkap.”(Hlm. 406)

Uraian di atas menunjukkan bahwa Danurejo IV melakukan intrik politik

untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro. Dalam melakukan intrik politiknya,

Danurejo IV menggunakan kekuatan Belanda setelah sebelumnya gagal

memanfaatkan orang-orang Cina. Danurejo IV berusaha membohongi Smissaert

seperti pada kutipan (76) dan (77) dengan tujuan menyingkirkan lawan politiknya

yaitu Pangeran Diponegoro.

Pada masa perwalian Sultan Hamengku Buwono V ini, penulis

menyimpulkan Danurejo IV melakukan dua kali intrik politik dalam usahanya

menyingkirkan Pangeran Diponegoro. Intrik politik yang pertama adalah usaha

pembunuhan Pangeran Diponegoro dengan memanfaatkan orang-orang Cina.

Intrik politik yang kedua adalah usaha menangkap Pangeran Diponegoro dengan

memanfaatkan kekuatan Belanda melalui Smissaert.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

146

4.4 Relevansi Fakta Sejarah dengan Intrik Politik dalam Novel Pangeran

Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah

Sebagai upaya melakukan pendekatan historis, penulis telah memaparkan

teks sejarah tentang situasi politik di Yogyakarta tahun 1811-1825 pada bab III.

Pada bab IV, penulis telah memaparkan intrik politik yang terjadi dalam novel

Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Dari pemaparan tersebut, terdapat

relevansi antara fakta sejarah yang penulis paparkan pada bab III dengan intrik

politik yang terjadi dalam Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.

Danurejo IV sebagai tokoh antagonis dalam Pangeran Diponegoro:

Menuju Sosok Khalifah sejalan dengan pemaparan teks sejarah pada bab III.

Danurejo IV berperan besar mengacaukan atmosfer politik keraton Yogyakarta

sejak pengangkatannya oleh Raffles hingga pecahnya perang Jawa. Pemaparan

teks sejarah pada Bab III juga menunjukkan Pangeran Diponegoro bermusuhan

dengan Danurejo IV dan memuncak saat masa perwalian Sultan Hamengku

Buwono V. Hal tersebut sejalan dengan Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok

Khalifah yang menggerakkan alur kepada intrik-intrik yang dilakukan Danurejo

IV.

Pada bab III, terlihat adanya perselisihan antara Paku Alam I dengan

Sultan Hamengku Buwono III. Perselisihan di antaranya timbul setelah Raffles

memberikan hak istimewa terhadap Notokusumo dengan mengangkatnya sebagai

Pangeran yang Merdeka dengan gelar Paku Alam I. Pengangkatan atas

Notokusumo adalah hadiah dari Raffles karena jasa-jasanya membantu Raffles


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

147

dalam penyerbuannya ke keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan

Hamengku II. Namun kedekatan antara Inggris dengan Notokusumo membuat

Sultan Hamengku Buwono III khawatir Notokusumo ingin merebut kekuasaannya

sebagai raja Yogyakarta melalui bantuan Inggris. Situasi tersebut sejalan dengan

alur novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Pada masa

pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III, terdapat intrik politik yang

dilakukan Sultan Hamengku Buwono III dengan tujuan menyingkirkan Paku

Alam I. Sultan Hamengku Buwono III pernah berniat untuk membunuh Paku

Alam I karena kekhawatirannya terhadap Paku Alam I yang ingin merebut

kekuasaannya sebagai raja Yogyakarta.

Peristiwa kematian Sultan Hamengku Buwono III menunjukkan kalangan

keraton Yogyakarta terkejut dan tidak siap. Ketidaksiapan pihak keraton

berdasarkan atas umur putra mahkota yang baru berumur tiga belas tahun.

Kematian Sultan Hamengku Buwono III juga terjadi saat keuangan keraton mulai

stabil. Pada saat itu, Danurejo IV, Tan Jin Sing, dan Paku Alam I telah menduduki

jabatannya masing-masing. Ketiganya memiliki hubungan yang tidak baik dengan

Sultan Hamengku Buwono III. Latar peristiwa tersebut menunjukkan relevansinya

dengan Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Remy Sylado

mengolahnya menjadi intrik politik orang-orang Belanda melalui Danurejo IV dan

Tan Jin Sing dalam peristiwa pembunuhan Sultan Hamengku Buwono III.

Relevansi antara fakta sejarah dengan intrik politik Pangeran Diponegoro:

Menuju Sosok Khalifah juga terlihat pada masa-masa perwalian Sultan Hamengku
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

148

Buwono IV. Pada Bab III, Danurejo IV dengan ketiga tumenggungnya yaitu

Tumenggung Pringgodiningrat, Tumenggung Ronodiningrat, dan Tumenggung

Mertonegoro diangkat oleh Garnham menjadi wali dari Sultan Hamengku

Buwono IV. Namun, posisi mereka segera digantikan Paku Alam I oleh Raffles.

Penunjukannya karena kepentingan Raffles menempatkan orang kepercayaannya

tersebut di jajaran keraton Yogyakarta. Setelah Belanda kembali menguasai

Nusantara, Paku Alam I mundur dan Danurejo IV kembali mengambil alih jabatan

wali Sultan Hamengku Buwono IV. Perubahan kedudukan politik pada peristiwa

tersebut sejalan dengan situasi dalam Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok

Khalifah sehingga menggerakkan alur pada intrik politik Danurejo IV masa

perwalian Sultan Hamengku Buwono IV.

Dalam Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, Sultan Hamengku

Buwono IV wafat karena diracun oleh orang-orang Belanda melalui Danurejo IV

dan Tan Jin Sing. Hal ini menunjukkan relevansinya dengan teks sejarah pada bab

III. Beberapa sejarawan seperti Peter Carey dan Sagimun memaparkan bahwa

Sultan Hamengku Buwono IV wafat karena diracun.

Pemaparan teks sejarah pada bab III menunjukkan hubungan yang tidak

baik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Jawa sejak bantuan Tan Jin Sing

kepada Raffles pada masa penyerbuan Raffles ke keraton Yogyakarta dan

pengangkatan Tan Jin Sing sebagai kapitan Cina pada masa pemerintahan

kolonial Inggris. Situasi yang demikian menunjukkan relevansinya dengan intrik

politik Danurejo IV dalam memanfaatkan dewan perwalian Cina yang dikepalai


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

149

Tan Jin Sing. Beberapa kali Danurejo IV menyinggung masalah sensitifitas

hubungan antara masyarakat Jawa dengan etnis Tionghoa. Hal ini yang

menggerakkan alur Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah pada usaha

pembunuhan Pangeran Diponegoro oleh Danurejo IV dengan memanfaatkan

orang-orang Cina.

Di dalam teks sejarah, aliran politik liberal yang dianut sejak masa

pemerintahan Daendels hingga Raffles telah menyebabkan praktik sewa-menyewa

tanah di daerah kerajaan Mataram Yogyakarta dikuasai oleh para pemilik modal

baik orang-orang Cina maupun orang-orang Eropa. Praktik sewa-menyewa tanah

tersebut semakin marak pada saat pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IV.

Namun Van Der Capellen menghapus kebijakan tersebut pada saat

pemerintahannya setelah peralihan pemerintahan kolonial dari Inggris kepada

Belanda. Akibat dari kebijakan Van Der Capellen, orang-orang Cina dan Eropa

merasa dirugikan karena tanah yang mereka sewa dari Keraton diberhentikan.

Oleh karena itu, mereka menuntut ganti rugi uang terhadap keraton yang

menyebabkan keraton Yogyakarta terlilit utang. Keadaan tersebut ditentang oleh

Pangeran Diponegoro. Situasi ini terjadi pada saat masa perwalian Sultan

Hamengku Buwono V dimana Pangeran Diponegoro menjadi salah satu dari wali

tersebut.

Pemaparan teks sejarah di atas menunjukkan adanya relevansi dengan

intrik politik dalam Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Van Der

Capellen menuntut utang sebanyak 40.000 real Spanyol kepada para pejabat
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

150

keraton melalui residen Smissaert. Situasi tersebut dimanfaatkan Danurejo IV

sehingga menggerakkan alur Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah pada

intrik politiknya untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro.

Secara garis besar, pemaparan teks sejarah pada bab III telah menunjukkan

relevansinya dengan pemaparan intrik politik dalam Pangeran Diponegoro:

Menuju Sosok Khalifah pada bab IV. Sebagai pengarang, Remy Sylado mengolah

situasi politik dalam teks sejarah menjadi intrik politik dalam novel Pangeran

Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut.

Tabel 1 Relevansi Teks Sastra Intrik Politik Pangeran Diponegoro: Menuju

Sosok Khalifah Karya Remy Sylado dengan Beberapa Teks Sejarah

seperti Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan

Lama di Jawa, 1785-1855 Karya Peter Carey, Perdjanjian Gianti-

Perang Pahlawan Dipanegara karya Soekanto, Pahlawan Dipanegara

Berdjuang: Bara Api Kemerdekaan Tak Kunjung Padam karya

Sagimun MD, dan Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900

Dari emporium Sampai Imperium karya Sartono Kartodirjo tentang

Situasi Politik di Yogyakarta Tahun 1811-1825.

No Novel Pangeran Teks Sejarah Relevansi


Diponegoro:
Menuju Sosok
Khalifah

1 Intrik politik Danurejo Danurejo IV diangkat oleh Inggris Remy Sylado mengolah gambaran
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

151

IV mengacaukan sebagai patih. Danurejo IV adalah tokoh Danurejo IV yang berperangai


hubungan Inggris pemeras dan pejabat yang korup. pemeras dan pejabat korup dalam teks
dengan keraton Babad Diponegoro via Carey sejarah menjadi intrik politik Danurejo
Yogyakarta. (2012:464) mengatakan Danurejo IV merekayasa pernikahan Diponegoro
IV sebagai “Setan berpakaian untuk mengacaukan hubungan antara
manusia yang merampok orang keraton Yogyakarta dengan Inggris.
sembari duduk”. Tujuan utamanya adalah menguasai
bisnis sewa tanah. Dalam hal ini,
relevansi antara teks sejarah dengan
novel Pangeran Diponegoro: Menuju
Sosok Khalifah hanyalah kesamaan
gambaran Danurejo IV sebagai
seorang patih yang licik sejak awal
kemunculannya.
2 Intrik politik Sultan Sukanto (1958:92) menjelaskan Sukanto menjelaskan bahwa Sultan
Hamengku Buwono III bahwa Sultan Hamengku Buwono Hamengku Buwono III pernah
dalam usaha III khawatir kedudukannya berencana membunuh Paku Alam I
menyingkirkan Paku sebagai Raja direbut Paku Alam I karena kekhawatirannya akan
Alam I Sebagai lawan dengan bantuan Inggris. Babad perebutan kekuasaan melalui bantuan
politiknya Diponegoro via Sukanto Inggris. Hal ini relevan dengan intrik
menjelaskan bahwa Sultan politik dalam Pangeran Diponegoro:
Hamengku Buwono III berusaha Menuju Sosok Khalifah. Remy Sylado
mencari jalan untuk membunuh menggambarkan niat Sultan
Paku Alam I. Hamengku Buwono III membunuh
Paku Alam I dengan jalan menyewa
perampok bayaran. Tujuan utamanya
adalah menyingkirkan Paku Alam I
sebagai lawan politiknya.
3 Intrik politik orang- Pada tanggal 3 November 1814, Dalam teks sejarah, kematian Sultan
orang Belanda dalam Sultan Hamengku Buwono III Hamengku Buwono III terjadi saat
peristiwa kematian wafat. Sultan Hamengku Buwono keuangan keraton mulai membaik.
Sultan Hamengku III wafat secara tiba-tiba sehingga Selain itu, dalam konteks politik,
Buwono III menimbulkan kecemasan di Danurejo IV dan Tan Jin Sing sama-
kalangan keraton. kecemasan sama telah diangkat Inggris sebagai
pihak keraton karena pejabat di masing-masing posisinya.
menganggap putra mahkota yang Relevansi di antara kedua teks ini
masih kanak-kanak tidak akan adalah sama-sama menggambarkan
bisa memerintah (Carey, reaksi kalangan keraton Yogyakarta
2012:475) Kematian Sultan bahwa kematian Sultan Hamengku
Hamengku Buwono III juga terjadi Buwono III akan membawa masalah
saat keuangan keraton mulai besar bagi pemerintahan keraton
stabil. Pada saat itu, Danurejo IV, Yogyakarta. Dalam hal ini, putra
Tan Jin Sing, dan Paku Alam I mahkota yang baru berusia tiga belas
telah menduduki jabatannya tahun dianggap belum bisa menduduki
masing-masing. Ketiganya posisi raja Yogyakarta. Remy Sylado
memiliki hubungan yang tidak mengolah peristiwa kematian Sultan
baik dengan Sultan Hamengku Hamengku Buwono III dalam teks
Buwono III sejarah menjadi intrik politik orang-
orang Belanda melalui Danurejo IV dan
Tan Jin Sing dalam peristiwa
pembunuhan Sultan Hamengku
Buwono III. Tujuan utamanya adalah
menguasai tanah di Tegalrejo untuk
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

152

investasi. Selain itu, dalam teks


sejarah, Sultan Hamengku Buwono III
telah terlibat perselisihan dengan
Sultan Hamengku Buwono II sejak
masa-masa peralihan dari
pemerintahan kolonial Belanda dan
Inggris. Hal ini juga menunjukkan
relevansi antara teks sejarah dengan
Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok
Khalifah. Intrik politik yang
digambarkan Remy Sylado
memperlihatkan bahwa Sultan
Hamengku Buwono II terlibat di balik
kematian Sultan Hamengku Buwono
III. Sultan Hamengku Buwono II
memanfaatkan kepentingan orang-
orang Belanda seperti Muntinghe untuk
merebut kekuasaannya kembali
setelah diasingkan oleh Raffles ke
penang.
4 Intrik politik Danurejo Granham sebagai residen Inggris Dalam teks sejarah, Danurejo IV
IV dalam usaha menunjuk Danurejo IV, Raden beserta ketiga tumenggung lainnya
menduduki jabatan Tumenggung Pringgodiningrat, sempat menjabat sebagai wali Sultan
perwalian Sultan Raden Tumenggung Hamengku Buwono IV sebelum
Hamengku Buwono IV Ronodiningrat, dan Raden diturunkan oleh Raffles melalui residen
Tumenggung Mertonegoro Garnham. Fakta sejarah tersebut
sebagai wali Sultan Hamengku relevan dengan intrik politik yang
Buwono IV (Carey, dipaparkan Remy Sylado dalam
2012:476).Namun Raffles menggambarkan usaha Danurejo IV
mengirimkan perintah kepada menduduki jabatan wali Sultan
Garnham agar Paku Alam I Hamengku Buwono IV. Danurejo IV
ditunjuk sebagai wali Sultan mengelabuhi kalangan keraton
Hamengku Buwono IV Yogyakarta dengan menggunakan
tameng nama Raffles untuk menduduki
jabatan sebagai wali Sultan Hamengku
Buwono IV. Namun Raffles justru
memerintahkan Garnham menunjuk
Paku Alam I menggantikan Danurejo IV
sebagai wali Sultan Hamengku
Buwono IV.
5 Usaha Danurejo IV Pada Agustus 1816, Danurejo IV Pada masa-masa pergantian
menyingkirkan Paku mengambil alih wewenang Paku pemerintahan dari Inggris ke Belanda,
Alam I sebagai lawan Alam I sebagai wali Sultan Danurejo IV mengambil alih wewenang
politiknya Hamengku Buwono IV (Carey, Paku Alam I sebagai wali Sultan
2012:478) Hamengku Buwono IV. Peristiwa
sejarah tersebut relevan dengan intrik
politik yang dipaparkan oleh Remy
Sylado. Remy Sylado mengolah
peristiwa sejarah tersebut menjadi
intrik politik Danurejo IV dalam
usahanya mengambil alih posisi wali
Sultan Hamengku Buwono IV dari
Paku Alam I dengan menghasut orang-
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

153

orang keraton Yogyakarta.


6 Intrik politik Belanda Pada tanggal 6 Desember 1822, Relevansi di antara kedua teks ini
dalam peristiwa Sultan Hamengku Buwono IV adalah sama-sama menggambarkan
kematian Sultan wafat setelah melakukan kematian Sultan Hamengku Buwono IV
Hamengku Buwono IV perjalanan ke salah satu akibat racun. Dalam hal ini, Remy
pesanggrahannya. Carey Sylado mengolahnya menjadi intrik
(2012:591) dan Sagimun politik Belanda membunuh Sultan
(1955:43) mengatakan bahwa Hamengku Buwono IV melalui
Sultan Hamengku Buwono IV Danurejo IV dengan menggunakan
menurut beberapa orang racun buatan Tan Jin Sing. Tujuan
meninggal karena diracun. utamanya adalah menempatkan Sultan
Hamengku Buwono II kembali menjadi
raja Yogyakarta. Namun, baik dalam
teks sejarah maupun teks Pangeran
Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah,
setelah peristiwa kematian Sultan
Hamengku Buwono IV, posisi raja
Yogyakarta justru diberikan kepada
Pangeran Menol yang masih berusia
tiga tahun.
7 Usaha Danurejo IV Pangeran Diponegoro bersama Baik di dalam teks sejarah maupun di
menyingkirkan Danurejo IV menduduki jabatan novel Pangeran Diponegoro: Menuju
Pangeran Diponegoro sebagai wali Sultan Hamengku Sosok Khalifah, masa-masa
sebagai lawan Buwono V. Carey (2012:591) pemerintahan Sultan Hamengku
politiknya menyebut persaingan antara Buwono V adalah masa puncak
Pangeran Diponegoro dengan ketegangan antara Pangeran
Danurejo IV dengan cepat Diponegoro dengan Danurejo IV dan
berkobar menjadi permusuhan Belanda. Ketegangan di antara
terbuka. keduanya karena Pangeran
Pada masa perwalian Sultan Diponegoro menduduki posisi wali
Hamengku Buwono V, Van Der Sultan Hamengku Buwono V yang
Capellen sebagai gubernur berakibat perselisihannya dengan
jendral Belanda menghapus Danurejo IV. Remy Sylado mengolah
sistem penyewaan tanah oleh situasi politik ini menjadi intrik-intrik
swasta. Sejak tahun 1817, politik Danurejo IV menyingkirkan
dikeluarkan larangan bagi Cina Pangeran Diponegoro karena dianggap
untuk berusaha di Priangan, dan sebagai penghalang bagi
bagi Eropa di tanah kerajaan. kepentingannya. Dalam melakukan
(Kartodirjo (1999:338). Akibat dari intrik politiknya, Danurejo IV
kebijakan Van Der Capellen, menggunakan isu rasis terhadap kaum
keraton Yogyakarta mengalami Tionghoa untuk menyingkirkan
kerugian keuangan. Salah Pangeran Diponegoro. Hal ini relevan
satunya adalah utang Keraton dengan realita sejarah bahwa
terhadap pemerintahan kolonial hubungan antara Etnis Tionghoa
Belanda sebesar 50.000 Dolar dengan pribumi memang memburuk
Spanyol dalam urusan ganti rugi sejak ekspedisi Raffles ke keraton
terhadap penyewaan tanah di Yogyakarta yang mendapat bantuan
Bedoyo dari kapitan Cina, Tan Jin Sing. Selain
Pangeran Diponegoro Mundur itu, kedua teks pada masa perwalian
setelah situasi tersebut Sultan Hamengku Buwono V sama-
menimbulkan perselisihan sama menggambarkan kondisi
dengan Danurejo IV keuangan keraton yang memburuk
karena beban utang akibat peraturan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

154

dari Van Der Capellen mengenai


larangan swasta baik Eropa maupun
Tionghoa menjalankan bisnis sewa
tanah. Situasi ini diolah Remy Sylado
untuk menggambarkan intrik politik
Danurejo IV dalam usahanya
menyingkirkan Pangeran Diponegoro
dengan memanfaatkan permasalahan
utang keraton Yogyakarta terhadap
pemerintahan kolonial Belanda.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

155

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penulis menarik kesimpulan

bahwa novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado

menggambarkan intrik politik yang terjadi pada masa-masa sebelum pecahnya

perang Jawa. Intrik Politik dilakukan sebagian besar oleh Danurejo IV dan

Belanda sebagai tokoh antagonis dalam novel tersebut.

Dalam upaya melakukan penelitian yang menggunakan pendekatan

historis, maka penulis terlebih dahulu melakukan analisis struktural atau analisis

unsur intrinsik. Penulis memfokuskan analisis strukturnya hanya pada analisis alur

yang ada dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, karena alur

ceritalah yang sangat potensial menggambarkan intrik politik yang terjadi dalam

novel ini.

Penulis menyimpulkan bahwa analisis struktur alur dalam Novel Pangeran

Diponegoro : Menuju Sosok Khalifah adalah alur campuran. Peristiwa-peristiwa

yang terjadi dalam tahapan alur tidak seluruhnya berjalan lurus, progresif.

Terdapat peristiwa flash back pada subbab nomor lima puluh. Flash back

dimunculkan untuk menjelaskan latar belakang kematian Sultan Hamengku

Buwono IV dan peristiwa kematiannya. Konflik utama dalam novel ini adalah

perbedaan kepentingan antara Pangeran Diponegoro dengan Danurejo IV dan

Belanda.

155
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

156

Penulis menyimpulkan bahwa situasi politik pada masa-masa menjelang

Perang Jawa pada bab III menjadi salah satu pemicu penting terjadinya Perang

Jawa. Kepentingan Kolonial baik Inggris melalui Raffless maupun Belanda

melaui Daendels dan Van Der Capellen secara terus-menerus menggerus

kekuasaan Keraton Yogyakarta. Situasi ini membuat kekacauan di Keraton

Yogyakarta terus meningkat. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa Keraton

Yogyakarta secara berturut-turut dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono IV

yang masih berumur tiga belas tahun dan Sultan Hamengku Buwono V yang

masih berumur tiga tahun. Situasi demikian membuat Keraton Yogyakarta hanya

menjadi boneka bagi pemerintah kolonial melalui Paku Alam I dan Danurejo IV,

bahkan kepentingan golongan Cina melaui Tan Jin Sing. Di sisi lain, baik Paku

Alam I, Tan Jin Sing, maupun Danurejo IV memiliki kepentingan lain untuk

memperlebar kekuasaan dan memperkaya keuangan pribadinya.

Pada bab IV, penulis memfokuskan penelitian pada pemaparan intrik

politik yang terjadi dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.

Intrik politik digerakkan oleh tokoh Danurejo IV, Belanda, dan Sultan Hamengku

Buwono I. Intrik politik yang dilakukan oleh Danurejo IV antara lain usahanya

mengacaukan hubungan antara Inggris dengan Keraton Yogyakarta, menduduki

jabatan perwalian atas Sultan Hamengku Buwono IV, dan usaha menyingkirkan

Paku Alam I dan Pangeran Diponegoro sebagai lawan politiknya. Intrik politik

yang dilakukan Belanda antara lain intrik politik orang-orang Belanda dalam

peristiwa kematian Sultan Hamengku Buwono III dan Sultan Hamengku Buwono
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

157

IV. Intrik politik yang dilakukan Sultan Hamengku Buwono III adalah usaha

menyingkirkan Paku Alam I sebagai lawan politiknya. Intrik politik masing-

masing pihak terjadi karena kepentingan untuk merebut, mempertahankan, atau

memonopoli kekuasaan di wilayah kerajaan Mataram Yogyakarta.

Dalam kerangka pendekatan historis, penulis menyimpulkan bahwa

terdapat relevansi antara intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro:

Menuju Sosok Khalifah pada bab IV dengan fakta sejarah pada bab III. Sebagai

pengarang, Remy Sylado mengolah peristiwa sejarah sebagai inspirasi penulisan

karyanya. Hal ini karena situasi politik pada teks sejarah berhubungan dengan

intrik politik Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.

Dari analis yang telah dilakukan, penulis dapat mengambil kesimpulan

bahwa dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, tokoh-tokoh

antagonis seperti Danurejo IV dan orang-orang Belanda berperan besar dalam

mengacaukan situasi politik di Yogyakarta pada masa sebelum perang Jawa. Hal

tersebut membuat Pangeran Diponegoro sebagai tokoh protagonis memutuskan

untuk melawan dan memimpin perang Jawa.

5.2 Saran

Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah ini masih memiliki

banyak permasalahan yang dapat digunakan untuk penelitian. Novel ini dapat

diteliti lagi dengan pendekatan psikologi sastra. Pendekatan ini adalah


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

158

psikoloanalisa untuk melihat perkembangan psikis tokoh-tokoh yang ada di novel

tersebut dalam masa-masa sebelum perang Jawa.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

159

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Jakarta: Gramedia.

Carey, Peter . 2012. Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan
Lama di Jawa, 1785-1855. Jilid II. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia bekerja sama dengan KITLV.

Hartoko, Dick, dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:


Kanisius.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. 2008. Jakarta: Balai Pustaka.

Kartodirjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari


Emporium Sampai Imperium. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Keraf, Gorys.1982. Eksposisi dan Deskripsi. Ende: Nusa Indah.

Kuntowijoyo, 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

M.D, Sagimun. 1955. Pahlawan Dipanegara Berdjuang: Bara Api Kemerdekaan


Tak Kunjung Padam. Yogyakarta: Tjabang Bagian Bahasa, Djawatan
Kebudajaan Kementerian P.P.dan K.

Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko.2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta:


Gama Media.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Jaya.

__________________. 2010. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan


Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sardjono, Maria. A. 1992. Paham Jawa: Menguak Falsafah Hidup Manusia Jawa
Lewat Karya Fiksi Mutakhir Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.

Soekanto. 1958. Perdjanjian Gianti-Perang Pahlawan Dipanegara. Jakarta: N.V.


Soeroengan.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.

159
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

160

Sumardjo, Yacob.1979. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: CV. Nur


Cahaya.

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.

Sylado, Remy. 2008. Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Surakarta:


Tiga Serangkai.

Sriwahyuningtyas dan Santoso, Wijaya Heru. 2011. Pengantar Apresiasi Prosa.


Surakarta: Yuma Pustaka.

Yudiono, K.S. 1986. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.

“Politik, Wikipedia Bahasa Indonesia”, Stable URL:


http://id.wikipedia.org/wiki/politik#etimologi. Diunduh : 02/03/2012,13.52
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BIODATA PENULIS

Bitbit Pakarisa lahir tanggal 22 Oktober 1987 di Surakarta. Mengawali

pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 70 Surakarta pada tahun 1994-2000

dan dilanjutkan ke tingkat menengah pertama di Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama Negeri 4 Surakarta pada tahun 2000-2003. Penulis melanjutkan studi

ke Sekolah Menengah Atas Kristen 1 Surakarta pada tahun 2003-2006. Pendidikan terakhir yang

ditempuh penulis pada tahun 2007 hingga sekarang di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai