Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

Upper Urinary Tract Procedure


Ectracorporeal Shockwave litotripsi, Uretrorenoscopi dan Percutaneus
nefrolitopaxy

Oleh :
Ida Bagus Indra Nugraha Sudewa
H1A010036

Pembimbing:
dr. Pandu I Sp U

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN


KLINIK MADYA BAGIAN/SMF BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/RSUP NTB
2014

0
BAB I
PENDAHULUAN

Upper Urinaray Tract Procedure merupakan prosedur non invasive dan minimal invasive yang
digunakan untuk pengobatan saluran genitourinaria bagian atas. Adapun beberapa prosedur yang
akan dibahas yakni Ektracorporeal Shock Wave Litotripsi, Uretrorenoscopi, dan Percutaneus
nefrolitopaxy. Ketiga prosedur ini merupakan prosedur yang digunaknan untuk mengatasi
kejadian batu pada saluran kemih bagian atas.
Penyakit batu saluran kemih merupakan sudah dikenal sejak jaman babilonia dan jaman
mesir kuno. Sebagai salah satu buktinya adalah ditemukannya batu pada kandung kemih seorang
murni. Penyakit ini dapat menyerang penduduk di seluruh dunia tidak terkecuali penduduk di
Indonesia. Angka kejadian penyakit ini tidak sama di berbagai belahan bumi. Di negara-negara
berkembang banyak dijumpai pasien batu buli- buli sedangkan di negara maju lebih banyak
dijumpai batu saluran kemih bagian atas, hal ini karena adanya pengaruh status gizi dan aktivitas
pasien sehari hari. Di amerika serikat 5- 10 % penduduknya menderita penyakit ini, sedangkan di
seluruh dunia rata-rata terdapat 1-12 % penduduk yang menderita batu saluran kemih. Penyakit
ini merupakan penyakit ketiga terbanyak disampaing infeksi saluran kemih dan pembesaran
prostat benigna.( Basuki,2011)
Sekarang telah dikembangkan beberapa metode medikamentosa non invasive dan minimal
invasive dalam memcah batu saluran kemih bagian atas tanpa pembedahan yaitu dengan
prosedure ESWL( extracorporeal shock wave litotripsi) yaitu dengan energi kejut listrik ,
URS( uretrorenoskopi) dengan endoskopi yang dimasukkan melalui uretra dan PCNL
( percutaneus nefrolitopaxy)

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ESWL ( Ekstracorporeal Shock Wave Lithotripsy )


Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL) adalah prosedur dimana batu ginjal
dan ureter dihancurkan menjadi fragmen–fragmen kecil dengan menggunakan gelombang
kejut. Fragmen kecil ini kemudian dapat keluar secara spontan. Terapi non-invasif ini
membuat pasien terbebas dari batu tanpa pembedahan ataupun endoskopi.

2.1.1 Teknologi Mesin ESWL


Dornier HM3 (Human Model 3) adalah prototip mesin ESWL pertama yang dirancang
oleh Christian Chaussy dari Jerman, dan menjadi standar pembanding untuk mesin-mesin
baru. Mesin ini menggunakan generator gelombang kejut spark-gap. Pasien dan dan
generator ditempatkan pada sebuah bak air, sehingga gelombang kejut dengan mudah
melalui air serta jaringan dan terarah pada batu. Lokalisasi dilakukan menggunakan
fluoroskopi biplanar. Dalam perkembangannya, dilakukan modifikasi untuk mengurangi
penggunaan anestesi, lokalisasi batu lebih akurat, dan meningkatkan efektivitas. Bak air
yang digunakan oleh Dornier HM3 digantikan oleh generator kecil dan kasur air. Dengan
desain baru ini, pasien dapat diterapi dalam berbagai posisi yang membantu lokalisasi dan
maksimalisasi efek. Generator elektromagnetik merupakan generator yang banyak
digunakan saat ini. Alat ini memiliki zona fokus lebih kecil dari Dornier HM3 dan lebih
2
sedikit menggunakan anestesi. Pada mesin generasi baru juga dijumpai kombinasi
ultrasonik dan fluoroskopi. 4 Semua mesin litotripsi tersusun atas 4 komponen dasar : (1)
sumber energi (generator gelombang kejut), (2) focusing system, (3) pencitraan atau unit
lokalisasi, dan (4) mekanisme coupling.
a. Generator gelombang kejut
Semua generator gelombang kejut didasari oleh prinsip geometri elips.
Gelombang kejut dibuat pada titik fokus pertama dari ellipsoid (F1 dalam separuh
elips) dan dikirim ke titik fokus kedua (F2) pada pasien. Zona fokus adalah daerah pada
F2 dimana gelombang kejut terkonsentrasi. Terdapat 3 teknik yang digunakan untuk
membangkitkan gelombang kejut, yaitu elektrohidrolik, pizoelektrik dan energi
elektromagnetik
b. Focusing system
Semua litotriptor gelombang kejut memiliki sebuah focusing system yang
mengkonsentrasikan dan mengarahkan energi gelombang kejut ke batu, yaitu pada F2,
sehingga batu hancur menjadi fragmen. Sistem elektrohidrolik menggunakan prinsip
dari elips untuk mengarahkan energi yang di buat dari elektroda spark-gap. Pada sistem
pizoelektrik, kristal diatur pada lempeng hemisfer, sehingga energi yang dihasilkan
diarahkan pada satu titik pusat. Sistem elektromagnetik menggunakan lensa akustik
atau reflektor silindris untuk memfokuskan gelombang.
c. Sistem lokalisasi Pencitraan
Dikerjakan untuk melokalisasi batu dan mengarahkan gelombang kejut pada batu.
Selama terapi, pencitraan tetap dilakukan dengan tujuan untuk membantu meyakinkan
gelombang kejut ditembakkan pada arah yang tepat. Terdapat dua metode yang
digunakan untuk melokalisasi batu, yaitu fluoroskopi dan ultrasound. Fluoroskopi
memiliki keuntungan yaitu dapat mengidentifikasi batu renal dan ureter dan dapat
membantu menghitung perpindahan fragmen. Kerugian fluoroskopi adalah penggunaan
radiasi ion dan ketidakmampuan untuk memvisualisasikan batu radiolusen atau
radioopak minimal.
d. Mekanisme coupling
Sistem coupling dibutuhkan untuk menyalurkan energi yang dihasilkan oleh
generator dan gelombang tekanan pada permukaan kulit, yang kemudian akan

3
menembus jaringan tubuh untuk mencapai batu. Dahulu hal ini dilakukan dengan
menempatkan pasien pada bak mandi besar (Dornier HM3, generasi ke-1).. .

2.1.2 Indikasi ESWL


a. Penggunaan ESWL untuk Batu Ureter
Berdasarkan pedoman dari AUA, ESWL merupakan pilihan terapi untuk batu
ureter distal maupun proksimal, namun tidak untuk batu ureter tengah. Sedangkan
pedoman dari EAU lebih rinci menguraikan bahwa ESWL in situ merupakan pilihan
pertama terapi untuk batu radioopak, batu infeksi dan batu sistin semua ukuran di ureter
proksimal; batu radioopak, urat, batu infeksi dan sistin semua ukuran di ureter tengah;
serta batu radioopak, urat, batu infeksi dan sistin semua ukuran di ureter distal, ureter
tengah. Terdapat kontroversi dalam hal terapi mana yang terbaik untuk batu ureter,
terutama batu ureter distal, apakah ESWL atau URS.
b. Penggunaan ESWL untuk batu ginjal
Tujuan tatalaksana batu ginjal adalah untuk mencapai bersihan batu maksimal
(dinyatakan dengan angka bebas batu) dengan morbiditas minimal. Dalam memilih
pendekatan terapi , beberapa faktor harus dipertimbangkan, yaitu faktor batu, anatomi
ginjal, serta pasien. Faktor-faktor tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi tatalaksana batu ginjal.


Batu Anatomi ginjal Pasien (klinis)
Ukuran Obstruksi/ stasis Infeksi
Jumlah Hidronefrosis Obesitas
Komposisi Obstruksi uretropelvic Deformitas habitus tubuh
junction
Lokasi Divertikel kaliks Anak-anak dan orangtua
Primer / residif Ginjal tapal kuda atau Hipertensi dan gagal ginjal
anomali ektopik

Batu berukuran diameter <10mm paling sering dijumpai dari semua batu ginjal
tunggal. Terapi ESWL untuk batu ini memberikan hasil memuaskan dan tidak
bergantung pada lokasi ataupun komposisi batu. Batu berukuran 10-20 mm pada
umumnya masih diterapi dengan ESWL sebagai lini pertama. Namun, hasil ESWL

4
dipengaruhi oleh komposisi dan lokasi sehingga faktor tersebut harus dipertimbangkan.
Tatalaksana batu berukuran 20-30 mm masih menjadi kontroversi dan pemilihan
modalitas terapdipengaruhi oleh banyak faktor. Berdasarkan pedoman tatalaksana batu
staghorn dari AUA ( American Urology Association), batu ginjal >2cm paling baik
diterapi dengan teknik endoskopi. El-Anany melakukan uji klinis terhadap 30 pasien
dengan batu ginjal >2cm yang diterapi dengan laser holmium melalui ureteroskop.
Keberhasilan didefinisikan sebagai fragmentasi total mencapai <2mm dan atau tidak
didapatkan batu pada USG ginjal dan foto polos pada follow-up 3 bulan. Diperoleh
angka keberhasilan sebesar 77%. Terdapat korelasi erat antara ukuran batu, keberhasilan
dan durasi operasi. Beban batu 2-3 cm pada 23 pasien memerlukan durasi terapi rata-
rata selama 70 menit (55-85) dan sukses pada 20; pada tujuh pasien dengan beban
>3cm, terapi membutuhkan 135 (75-160) menit dan sukses pada tiga pasien. Semakin
kecil beban batu, semakin besar kesuksesan dan semakin sedikit waktu yang
dibutuhkan. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa terapi batu ginjal menggunakan
ureteropieloskopik merupakan terapi invasif minimal dibandingkan PNL dan operasi
terbuka, aman serta efektif untuk batu pelvis besar.
2.1.3 Kontradindikasi ESWL
a. Kontraindikasi Absolut
Kontra indikasi absolut adalah : infeksi saluran kemih akut, gangguan perdarahan
yang tidak terkoreksi, kehamilan, sepsis serta obstruksi batu distal.
Mengenai kehamilan, Asgari et al, melakukan studi kasus kontrol dari data sekunder
terhadap 824 wanita usia reproduksi dengan batu ginjal yang menjalani terapi ESWL
(Dornier HM3). Dari jumlah tersebut, enam wanita sedang mengalami kehamilan bulan
pertama saat menjalani ESWL. Sebelum ESWL, keenam pasien pernah melahirkan bayi
cukup bulan tanpa malformasi. Follow-up terhitung sejak sesi terakhir ESWL adalah
32,1 (10-58) bulan. Rata-rata jumlah gelombang kejut yang diberikan adalah 2850 (800-
6300), sedangkan rata-rata ukuran batu adalah 12 (5-18) mm. Keenam wanita tersebut
melahirkan bayi tanpa malformasi ataupun anomali kromosom. Studi ini menyimpulkan
bahwa ESWL dengan tuntunan ultrasound untuk batu ginjal tampaknya aman pada wanita
hamil. Namun, jumlah pasien yang lebih besar dengan studi prospektif dibutuhkan untuk

5
menilai efek jangka panjang; studi ini tidak menyarankan litotripsi sebagai terapi batu
ginjal untuk wanita hamil.
13 Frankenschmidt melaporkan kasus seorang wanita 28 tahun, hamil 25 minggu
dengan nyeri pinggang kanan. Ultrasound menunjukkan dilatasi sistem pengumpul ginjal
kiri dan ureter proksimal, terdapat batu berukuran 16x5 mm di ureter proksimal. Upaya
mendorong batu dengan stent tidak berhasil dan pasien mengalami serangan kolik
berulang yang tidak reda dengan narkotik parenteral, oleh karena itu dianjurlkan
nefrostomi perkutan. Namun, ketika pasien dijelaskan mengenai risiko perdarahan,
infeksi, pergeseran tube dan oklusi serta kemungkinan diversi ureter, sehingga pasien
meminta dilakukan ESWL. Dari pemeriksaan didapatkan jarak yang cukup (11 cm)
antara batu/fokus dan uterus, kemudian dilakukan ESWL pizoelektrik dengan penuntun
ultrasound. Batu berhasil dihancurkan dan fragmen keluar spontan tanpa kolik. Untuk
menghindari steinstrasse, dimasukkan Double J stent selama 3 minggu.14

b. Kontraindikasi Relatif untuk terapi ESWL adalah :


1. Status mental, meliputi kemampuan untuk bekerja sama dan mengerti prosedur
2. Berat badan > 300 lb (150 kg) tidak memungkinkan gelombang kejut mencapai batu,
karena jarak antara F1 dan F2 melebihi spesifikasi lithotriptor. Pada pasien seperti ini
sebaiknya dilakukan simulasi lithotriptor terlebih dahulu .
3. Pasien dengan deformitas spinal atau orthopedik, ginjal ektopik dan atau malformasi
ginjal (meliputi ginjal tapal kuda) mungkin mengalami kesulitan dalam pengaturan
posisi yang sesuai untuk ESWL. Selain itu, abnormalitas drainase intrarenal dapat
menghambat pengeluaran fragmen yang dihasilkan oleh ESWL
4. Masalah paru dan jantung yang sudah ada sebelumnya dan dapat diatasi dengan
anestesi
5. pasien dengan pacemaker aman diterapi dengan ESWL, tetapi dengan perhatian dan
pertimbangan khusus.
6. pasien dengan riwayat hipertensi kaena telah ditemukan peningkatan insiden hematom
perianal pasca terapi.
7. pasien dengan gangguan gastrointestinal, karena dapat mengalami eksaserbasi pasca
terapi walaupun jarang terjadi.

6
2.1.4 Prosedur ESWL
Bila seseorang telah ditentukan memenuhi indikasi ESWL dan memberikan informed
consent, maka perlu dilakukan pemeriksaan pra ESWL sebagai berikut:
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berikut dilakukan sebelum terapi untuk memastikan
bahwa pasien tidak menderita infeksi saluran kemih ataupun gangguan perdarahan
a. Fungsi ginjal : kreatinin serum
b. Analisis urin, kultur urin –
c. Hitung darah lengkap, prothrombin time (PT) dan activated parsial thromboplastin
time (APTT)
2. Pencitraan –
a. Pielografi intravena
b. ultrasonografi ginjal –
c. CT scan non kontras
3. Pemeriksaan lain - EKG pada pasien berusia > 50 tahun
2.1.5 Komplikasi
Berikut ini merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat terapi ESWL.
Komplikasi Ginjal.
1. Hematoma perinefrik, subkapsular dan intranefrik, yang dapat mengakibatkan nyeri
hebat, ileus dan syok/hipotensi.
2. Hematuria. Ini terjadi pada sebagian besar pasien dan hilang dalam beberapa jam
sampai beberapa hari. Kadang-kadang terjadi banyak bekuan darah sehingga
memerlukan pencitraan segera untuk mencari sumber retroperitoneal dan atau renal.
3. Sepsis. Hal ini jarang terjadi bila urin preoperatif steril.
4. Steinstrasse. Jika asimtomatik dan tidak menimbulkan obstruksi, pasien dimonitor
dengan pencitraan berkala. Jika terjadi obstruksi, infeksi, gejala klinis, maka sebaiknya
dilakukan nefrostomi perkutaneus atau ureteroskopi dengan stenting. Hipertensi. Hal ini
jarang terjadi, kemungkinan akan lebih besar bila terbentuk hematom perinefrik yang
besar. Elves melakukan uji klinis acak terkontrol mengenai efek ESWL terhadap
tekanan arah. Sebanyak 228 pasien dengan batu kaliks kecil (<15mm) diacak untuk
menjalani ESWL (113 pasien) dan sisanya sebagai kelompok kontrol (115 pasien).

7
5. Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg atau tekanan diastolik 90
mmHg, atau bila pasien diresepkan obat antihipertensi. Hasilnya, 43% pasien ada grup
kontrol dan 53% pada grup ESWL mengalami hipertensi. Rata-rata follow-up adalah
2,2 tahun; 35 (37%) pasien dalam grup kontrol dan 46 (47%) dalam kelompok ESWL
mengalami hipertensi (p=0,19). Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa tidak ada bukti
bahwa ESWL menyebaban perubahan tekanan darah..
6. Atrofi renal. Ini jarang dijumpai, namun dapat terjadi pada pasien yang memiliki
penyakit vaskular atau aterosklerotik ginjal.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah (1) komplikasi paru, misalnya hemoptisis,
(2) pankreatitis, (3) hematom limpa, (4) peningkatan sementara fungsi hati dan (5) kolik
bilier.

8
3.1 Uretrorenoskopi
3.1.1 Definisi
Ureterorenoskopi adalah endoskopi pada ureter bagian atas sampai di pelvis renalis
untuk diagnostik dan evaluasi dan intervensi teraupteik (Smith, 2008).
Ureterorenoskopi adalah endoskopi untuk insersi retrograd pada ureter, akan tetapi,
metode ini juga dapat digunakan pada metode antegrad dengan teknik perkutaneus traktus
nefrostomi secara tetap. Penggunaan teknik ini telah dilakukan pada dekade terakhir telah
menuju pada kaliber yang lebih kecil. Konsekuensi dari perkembangan ini bukan hanya
untuk manajemen ureterorenoskopi pada kalkuli urinarius (Smith, 2008).
Ureterorenoskopi yang rigid tersedia dalam ukuran 6,9-12,6 F dan semirigid fiberoptik
ureterorenoskopi dan fleksibel ureterorenoskopi tersedia dalam ukuran 6,2-9,3 F. Ukuran
terkecil dari alat ini biasanya hanya untuk prosedur diagnosis (Smith, 2008).

Gambar A Gambar B

Gambar 1. A. Semirigid Ureteroskopi B. Fleksibel Ureterorenoskopi (Dhinakar, 2007)

3.1.2 Indikasi Ureterorenoskopi


Menurut Smith, 2008, indikasi dari operasi ureterorenoskopi adalah :
a. Indikasi Diagnostik
1. Lesi pada ureter atau pelvis renalis
2. Hematuria pada traktus urinarius bagian atas

9
b. Indikasi Teraupeutik
1. Pengobatan batu saluran kemih
2. Pengamatan langsung uretrotomi internal pada striktur utetra
3. Reseksi endoskopi dan koagulasi tumor uretra
Insersi dari Ureterorenoskopi ke orifisium uretra mungkin dapat difasilitasi dengan
dilatasi intramural ureter, salah satunya dengan plastik dilator sekuens untuk meningkatkan
ukuran, dengan balon dilator kateter. Dilatasi dari ureter biasanya jarang diperlukan jika
ukurannya kecil (Smith, 2008).Dhinakar (2007), dalam penelitiannya mendapatkan hasil
bahwa indikasi dari prosedur ureterorenoskopi dapat dilakukan dalam berbagai kondisi.
Dari penelitian tersebut, didapatkan kondisi paling banyak dilakukannya prosedur URS
pada pasien yang mengalami batu ureter sebsesar 63,2% (81 orang). Indikasi lain dari
prosedur URS adalah sebagai diagnostik yang ditemukan pada 17 pasien sebesar 8,6%,
diikuti striktur ureter 11 pasien, obstruksi UPJ 5 kasus, selesai operasi ESWL 4 pasien, dan
pada pasien batu ginjal sebanyak 8 pasien.

Gambar 2. Grafik Indikasi Ureterorenoskopi pada Senter Rumah Sakit Sultan Qaboos,
Retrospective Study, Oman Medical Journal. Data from Dhinakar (2007)

10
2.2.3 Kontraindikasi
Berdasarkan data yang didapatkan oleh American Urological Association, (1997)
mendapatkan bahwa letak dan ukuran batu sangat menentukan keberhasilan dari operasi
Ureterorenoskopi. Hal ini ditentukan oleh data stone free rate yang tinggi pada variabel
letak dan ukuran batu sehingga letak batu yang terlalu tinggi terutama pada ureter bagian
proksimal dan ukuran batu yang lebih besar menjadi kontraindikasi dalam keberhasilan
operasi URS.

2.2.4 Prosedur Penggunaan


Ureterenoscopy merupakan sarana untuk memeriksa seluruh saluran kemih sejak dari
muaranya yaitu ujung pengeluaran saluran kencing hingga sampai di bagian hulunya ke
pielum ginjal. Berkat alat ini, maka keadaan di sepanjang saluran kemih sampai ke arah
ginjal bisa dilihat dan diketahui kondisinya, apakah terdapat gangguan, permasalahan, atau
suatu penyakit tertentu. Ini berarti, alat URS dapat digunakan untuk mendeteksi berbagai
keluhan yang ada kaitannya dengan saluran kemih. Hasil dari penggunaan alat URS yang
paling lazim didapatkan adalah deteksi atau diketahuinya infeksi saluran kencing atau
ditemukannya batu ureter yang menyumbat saluran kencing (Yahya F, 2012).
Kemampuan ureterenoscopy di atas dikarenakan alat ini terdiri dari bilah kecil mirip
selang lentur dan panjang yang mampu menyusup masuk dan meyusur sepanjang saluran
ureter hingga ke ujung ginjal. Bilah kecil yang berdiameter kurang dari dua millimeter ini,
di bagian ujungnya terdapat kamera yang mampu melihat kondisi bagian dalam di
sepanjang saluran kencing. Kamera tersebut juga terhubung dengan layar monitor yang
bisa disaksikan oleh dokter maupun petugas medis lain yang mendampinginya. Bahkan
jika keluarga atau pasien juga menginginkan untuk dapat turut melihat, maka melalui layar
monitor tersebut semuanya dapat diikuti oleh siapapun dengan sangat jelas. Kelebihan lain
tentang alat ini, jika ditambah dengan alat audio visual recorder, maka seluruh proses
tindakan medis yang menggunakan alat ureterenoscopy ini juga dapat direkam dan diputar
ulang sebagai bahan dokumentasi (Yahya F, 2012).

11
2.2.4 Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat R, dkk (2010), komplikasi dari tindakan ureterorenoskopi
meliputi
1. Sepsis, yaitu suatu tindakan masuknya kuman kedalam aliran darah. Gejala yang
umumnya muncul adalah demam tinggi atau bisa juga suhu tubuh sangat dingin,
turunnya tekanan darah, denyut nadi yang sangat cepat, hitung sel darah putih diats
10.000 atau kurang dari 4.000/mmk. Sepsis oleh karena masalah di aliran kencing biasa
disebut urosepsis. Oleh karena itu tindakan ini diawali dengan pemberian antibiotik.
2. Tercabutnya ureter dari ginjal atau kandung kencing.
3. Perlukaan saluran kencing hingga sobek/berlubangnya saluran kencing. Jika kondisi no
2 dan 3 terjadi, dapat diterapi dengan pemasangan selang di dalam tubuh (DJ stent) dan
jika sangat besar maka diperlukan operasi terbuka. Seandainya ureter tidak dapat
disambung, maka ureter dapat diganti dengan usus. Jika masih tidak memungkinkan
maka akan dilakukan pengangkatan ginjal (nefrektomi).

Penemuan ureteroskopi pada tahun 1980-an telah mengubah secara dramatis


manajemen batu saluran kemih. Ureteroskopi rigid digunakan bersama dengan litotripsi
ultrasonik, litotripsi elektrohidrolik, litotripsi laser dan litotripsi pneumatik agar
memberikan hasil lebih baik. Pengangkatan batu juga dapat dilakukan dengan ekstraksi
keranjang di bawah pengamatan langsung dengan fluoroskopi. Perkembangan dalam
bidang serat optik dan sistem irigasi menghasilkan alat baru yaitu ureteroskop semirigid
yang lebih kecil. (6,9 sampai 8,5 F). Penemuan miniskop semirigid dan ureteroskop
fleksibel membuat kita dapat mencapai ureter atas dan sistem pengumpul intrarenal secara
lebih aman. Namun, keterbatasan dari alat semirigid dan fleksibel ini adalah sempitnya
saluran untuk bekerja.5 Saat ini, pilihan alat tergantung dari lokasi batu, komposisi batu
dan pengalaman klinikus, serta ketersediaan alat.

12
4.1 Percutaneus Nephro Litolapaxy (PCNL)
4.1.1 Definisi
PCNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) adalah usaha mengeluarkan batu yang
berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukan alat endoskopi ke sistem kalies
melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi
fragmen-fragmen kecil.
Dalam prosedur ini, dokter bedah membuat luka kecil di daerah panggul dan kemudian
menggunakan alat yang disebut nephroscope untuk menemukan dan menghapus batu.
Untuk batu yang lebih besar, jenis probe energi (ultrasonik, electrohydraulic atau hidrolik)
mungkin diperlukan untuk memecah batu menjadi potongan-potongan kecil. Semua ini
dilakukan saat pasien dibius atau di bawah anestesi.

Salah satu keuntungan dari prosedur ini lebih SWL adalah bahwa ahli bedah
menghilangkan fragmen batu bukan mengandalkan bagian alami mereka dari ureter.

13
Umumnya, pasien tinggal di rumah sakit 2-3 hari dan mungkin memiliki kateter kecil di
ginjal selama proses penyembuhan. Kebanyakan pasien dapat melanjutkan ligh.

4.1.2 Indikasi
PCNL dianjurkan untuk:
1. Batu pielum simpel dengan ukuran >2 cm, dengan angka bebas batu sebesar 89%, lebih
tinggi dari angka bebas batu bila dilakukan ESWL yaitu 43%.1,6
2. Batu kaliks ginjal, terutama batu kaliks inferior dengan ukuran 2 cm, dengan angka
bebas batu 90% dibandingkan dengan ESWL 28,8%. Batu kaliks superior biasanya
dapat diambil dari akses kaliks inferior sedangkan untuk batu kaliks media seringkali
sulit bila akses berasal dari kaliks inferior sehingga membutuhkan akses yang lebih
tinggi.1,6
3. Batu multipel, pernah dilaporkan kasus batu multipel pada ginjal tapal kuda dan berhasil
diekstraksi batu sebanyak 36 buah dengan hanya menyisakan 1 fragmen kecil pada kalis
media posterior.
4. Batu pada ureteropelvic junction dan ureter proksimal. Batu pada tempat ini seringkali
impacted dan menimbulkan kesulitan saat pengambilannya.Untuk batu ureter proksimal
yang letaknya sampai 6 cm proksimal masih dapat dijangkau dengan nefroskop, namun
harus diperhatikan bahaya terjadinya perforasi dan kerusakan ureter, sehingga teknik ini
direkomendasikan hanya untuk yang berpengalaman.
5 Batu ginjal besar PCNL bada batu besar terutama staghorn membutuhkan waktu operasi
yang lebih lama, mungkin juga membutuhkan beberapa sesi operasi, dan harus
diantisipasi kemungkinan adanya batu sisa. Keberhasilan sangat berkaitan dengan
pengalaman operator.
6 Batu pada solitary kidney. Batu pada solitary kidney lebih aman diterapi dengan PCNL
dibandingkan dengan bedah terbuka.

4.1.3 Kontraindikasi
Hanya ada satu kontraindikasi absolut PCNL yaitu pada pasien yang memiliki
kelainan perdarahan atau pembekuan

14
4.1.4 Persiapan dan teknik PCNL
Secara umum teknik PCNL mencakup tahap prosedur yaitu : akses ginjal perkutan,
dilatasi, fragmentasi dan ekstrasi batu setra drainase.
4.1.4.1 Persiapan pasien
Persiapan meliputi anamnesis lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Kontraindikasi absolut terhadap tindakan PCNL perlu
diidentifikasi sebelum tindakan, yaitu: koagulopati dan infeksi saluran kemih yang aktif
serta belum diterapi. Penggunaan obat-obatan antikoagulan harus dihentikan minimal 7
hari sebelum tindakan. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah darah tepi, fungsi
ginjal, elektrolit, dan kultur urin.1
4.1.4.2 Alat dan Perlengkapan
Kelengkapan yang dibutuhkan dalam tindakan PCNL adalah:1 Ultrasound,
flouroskopi, jarum pungsi 18G translumbar angiography, guide wire, Metallic dilator
cannula 9 F dengan metal sheath 11 F (Karl Storz Endoscopes,® Germany), Metal
telescope dilators dengan hollow guide rod (9-24 F, Karl Storz), rigid nephroscopes 18 F
and 26 F(6°telescope, Karl Storz®), lithotriptor, stone forceps,folley catheter 16F, bila
diperlukan selang nefrostomi, ureter kateter no 5Fr, dan DJ stent. Sedangkan bahan-bahan
yang perlu disiapkan adalah: cairan irigasi NaCl 0,9%, kontras, metillen blue, dan benang
jahit.
4.1.4.3 Posisi Pasien
Sebelum dimulai tindakan PCNL dilakukan pemasangan kateter ureter dalam posisi
litotomi, kemudian posisi pasien dirubah menjadi tengkurap. PCNL dikerjakan dalam
posisi pasien tengkurap dengan sisi ginjal yang akan dikerjakan diposisikan lebih tinggi
30 derajat. Posisi tersebut menjamin ventilasi pasien tetap baik dan membuat kaliks
posterior berada pada posisi vertikal sehingga membantu pada saat melakukan pungsi.1,4

4.1.5 Komplikasi
1. Perdarahan
Perdarahan sering terjadi pada tindakan PCNL. Dilaporkan oleh Kessaris et al.
dikutip dari 23 tahun 1995, angka kejadian perdarahan yang tidak terkontrol dan

15
membutuhkan penanganan embolisasi mencapai 0,8% dari 2200 kasus. Peningkatan
risiko perdarahan terutama dihubungkan dengan pungsi kaliks media, pungsi multipel,
pungsi pada ginjal yang memiliki struktur anatomi abnormal, dan pada pasien dalam
medikasi antikoagulan atau antiplatelet. Pada kebanyakan kasus perdarahan, transfusi
tidak diperlukan dan cukup dengan tatalaksana konservatif. Perdarahan akut pada
tindakan PCNL disebabkan trauma pada pembuluh darah parenkim ginjal atau pada
cabang-cabang dari arteri dan vena di sistem pelviokaliks. Perdarahan akut biasanya
dapat dihentikan oleh sheath PCNL yang menimbulkan efek tamponade. Setelah
tindakan PCNL selesai, selang nefrostomi ukuran besar dapat menghentikan perdarahan.
Bila perdarahan masih berlangsung, perlu dilakukan pemasangan selang nefrostomi
balon kateter ukuran besar yang dapat dikembangkan, atau bila gagal dengan teknik
embolisasi. Adapun tindakan yang dapat mengurangi perdarahan antara lain penggunaan
dilator balon dan miniperc.
2. Trauma pada pelvis renalis
Perforasi pada pelvis renalis biasanya terdiagnosis intraoperatif. Penyebab perforasi
yang paling sering adalah dilatasi yang terlalu agresif serta tindakan percutaneus
lithotripsy. Lithotripsy dengan menggunakan alat mekanik seperti ultrasound rigid atau
probe pneumatic dapat juga menimbulkan perforasi pelvis. Adanya infeksi dan inflamasi
dapat membuat pelvis renalis menjadi lebih rapuh dan mudah mengalami perforasi,
adanya kinking dan angulasi pada polebawah ginjal juga meningkatkan risiko perforasi.
Bila terjadi perforasi maka irigasi diperlambat, cairan irigasi diubah menjadi normal
saline, serta dilakukan evaluasi apakah prosedur dapat diteruskan atau tidak. Bila
prosedur dihentikan perlu dipasang stent ureter dan selang nefrostomi. Antegrade
nefrostogram hendaknya dikerjakan sebelum PCNL sekunder dilakukan atau sebelum
pencabutan nefrostomi atau stent ureter.
3. Trauma rongga pleura
Risiko terjadinya trauma paru atau rongga pleura meningkat dengan dilakukannya
pungsi superior. Pungsi yang dilakukan saat akhir inspirasi meningkatkan risiko
komplikasi intratoraks. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: pneumotoraks (0-4%)
dan efusi pleura (0-8%). Postoperatif sebaiknya dilakukan rontgen toraks di ruang
pemulihan untuk menyingkirkan hidrotoraks atau pneumotoraks pada pasien-pasien yang

16
menjalani pungsi interkostal. Bila terjadi komplikasi pleura maka dapat diatasi dengan
pemasangan chest tube.2
4. Perforasi usus
Perforasi kolon adalah komplikasi PCNL yang jarang terjadi, kurang dari 1%. Hadar
dan Gadoth tahun 1984 melaporkan penemuan retrorenal kolon sebanyak 0.6% kasus.
Retrorenal kolon sering terdapat pada pasien wanita yang kurus. Pasien dengan kelainan
anatomi ginjal dan pasien pasien yang pernah menjalani operasi usus memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk terjadinya perforasi kolon jika dilakukan PCNL. Penggunaan CT
guided nefrostomi atau pemeriksaan CT preoperatif dapat digunakan sebagai guide pada
kasus-kasus di atas. Diagnosis perforasi kolon dipertimbangkan apabila terdapat
hematoschezia intraoperatif, peritonitis, sepsis, atau drainase berupa gas atau feses dari
selang nefrostomi. Perforasi kolon seringkali asimtomatik dan baru bergejala pasca
operasi yang dapat ditegakkan dengan nefrostografi pascaoperasi. Perforasi
esktraperitoneal dapat ditatalaksana secara konservatif dengan pemasangan DJ stent dan
pencabutan nefrostomi, pemberian antibiotik spektrum luas, serta kolonografi 7-10 hari
kemudian.Eksplorasi bedah dilakukan pada kasus perforasi intraperitoneal atau jika
terdapat tanda-tanda peritonitis dan sepsis.Perforasi duodenum dapat juga terjadi pada
tindakan PCNL kanan dan biasanya diterapi secara konservatif dengan pemasangan
selang nefrostomi dan NGT.
5. Trauma Hepar dan limfa
Trauma hepar dan limpa biasanya terjadi pada kasus splenomegali atau hepatomegali.
Penggunaan CT-guide dapat mengurangi risiko trauma pada kasus di atas. Pada kasus
trauma limpa seringkali membutuhkan tatalaksana eksplorasi, sedangkan pada kasus
trauma hepar tatalaksana adalah secara konservatif dan jarang diperlukan eksplorasi
Bedah
6. Sepsis
Disarankan semua pasien sebelum menjalani prosedur PCNL memiliki hasil kultur
urin dan diberikan antibiotik sesuaikultur agar urin steril. Sepsis pasca PCNL dilaporkan
sebanyak 0,25-1,5%.

17
.

DAFTAR PUSTAKA

18
American Urological Association. (2005). AUA Guideline on the Management of Staghorn
Calculi: Diagnosis and Treatment Recommendations.
Dhinakar. (2007). A Retrospective Study of Ureteroscopy Performed at the Sultan Qaboos
Hospital, Salalah from August 2001 –August 2006 vol. 22. Oman Medical Journal.

Michael Grasso III, MD Professor and Vice Chairman.2014 Extracoporeal Shock Wave
Litotripsi Department of Urology, New York Medical College; Director, Living Related
Kidney Transplantation, Westchester Medical Center; Director of Endourology, Lenox
Hill Hospital Available from http://emedicine.medscape.com/article/444554-overview

Satar. (1998). Flexible Ureterorenoscopy For The Treatment Of Refractory Upper Urinary Tract
Stones. BJU International.

Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah Ed. 3th. ECC : Jakarta

Basuki, P., (2011). Dasar-dasar Urology. Ed. 3th. Sagung Seto : Malang

Subhani et, al. (2007). Role Of Ureterorenoscopy In Bypassing The Ureter Obstruction vol.1.
Departement of Urologi and Renal Transplant Allied Hospital, Punjab Medical Collage
Faisalabad.

Tanagho, A. Emil & Mc.Anich, W. Jack. (2008). Smith General Urology 17th Edition. The
McGraw-Hill Companies : United States.

Taufique dan Bagely. (2005). Effect Of Tamsulosin On The Number And Intensity Of Ureteral
Colic In Patients With Lower Ureteral Calculus. International J Urology.

Tiselius HG et al. (2001). Guidelines of urolithiasis. European Association of Urology (EAU).


Walsh, C. Patrick, (2002), Study Guide Campbell Urology Second Edition. W. B. Saunders :
Philadelphia.

Wein, J. Alan, (2012), Campbell-Walsh Urology Tenth Edition Volume Two. Elsevier :
Philadelphia.

Yahya, F, (2012, 9 Mei), Uretrorenoskopi, di akses dari :


http://www.rspkujogja.com/beritaartikel/berita/159-ureterorenoscopy-urs (Akses tanggal
12 November 2013)

19
20

Anda mungkin juga menyukai