Anda di halaman 1dari 3

PERAN KELUARGA BERENCANA DALAM MENURUNKAN ANGKA

KEMATIAN IBU

Kematian Maternal adalah kematian yang berlangsung selama kehamilan, pada


saat persalinan dan setelah persalinan sampai batas waktu 42 hari (postpartum) tetapi
bukan karena kecelakaan. Di Indonesia kematian ibu melahirkan masih merupakan
masalah utama dalam bidang kesehatan. Sampai saat ini Angka Kematian Ibu (AKI) di
Indonesia menempati teratas di Negara-negara ASEAN, yaitu 228 per 100.000
kelahiran hidup.
Program KB memiliki peranan dalam menurunkan resiko kematian ibu melalui
pencegahan kehamilan, penundaan usia kehamilan serta menjarangkan kehamilan
dengan sasaran utama adalah Pasangan Usia Subur (PUS). Sesuai dengan tuntutan
perkembangan program, maka program KB telah berkembang menjadi gerakan
Keluarga Berencana Nasional yang mencakup gerakan masyarakat. Gerakan Keluarga
Berencana Nasional disiapkan untuk membangun keluarga sejahtera dalam rangka
membangun sumber daya manusia yang optimal, dengan ciri semakin meningkatnya
peran serta masyarakat dalam memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan pelayanan KB,
(BKKBN,2005).
Salah satu strategi dari pelaksanaan program KB sendiri seperti tercantum dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 adalah
meningkatnya penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKPJ) seperti IUD
(Intra Uterine Device), implant (susuk) dan sterilisasi. IUD merupakan salah satu jenis
alat kontrasepsi non hormonal dan termasuk alat kontrasepsi jangka panjang yang ideal
dalam upaya menjarangkan kehamilan. Keuntungan pemakaian IUD yakni memerlukan
satu kali pemasangan untuk jangka waktu yang lama dengan biaya yang relatif murah,
aman karena tidak mempunyai pengaruh sistemik yang beredar ke seluruh tubuh, tidak
memengaruhi produksi ASI dan kesuburan cepat kembali setelah IUD dilepas.
Pada Riskesdas 2010, PUS usia 15-49 tahun berstatus kawin dan memakai alat
KB tahun 2009 sebanyak (75,7%). Propinsi dengan persentase peserta KB aktif
tertinggi adalah Bengkulu (85,5%), Bali (85,1%), dan DKI Jakarta (82%). Sedangkan
persentase peserta KB aktif terendah adalah Papua (33,9%), Maluku Utara (59,5%),
dan Kepulauan Riau (64,3%). Persentase peserta KB aktif menurut metode kontrasepsi
yang sedang digunakan adalah KB suntik dan KB pil yang masih banyak diminati
sebagai alat KB oleh pasangan usia subur yaitu masing-masing sebesar
(50,2%) dan (28,3%). Sebaliknya Metode Operasi Pria (MOP) dan Metode
Operasi Wanita (MOW) merupakan metode kontrasepsi yang terendah diminati oleh
Akseptor KB. Berdasarkan metode kontrasepsi menurut propinsi, alat kontrasepsi
dalam rahim (AKDR/IUD) banyak digunakan di Propinsi Bali (47,88%) dan DI
Yogyakarta (25,44%) dengan persentase jauh di atas propinsi yang lain. Persentase
terendah pemakaian IUD di Kalimantan Selatan (1,78%) dari persentase nasional
(4,3%). Begitu pula untuk metode MOW kedua propinsi tersebut relatif lebih tinggi
dibandingkan propinsi lainnya yaitu Bali (3,79%) dan DI Yogyakarta (5,1%).
Kaitan antara AKB dan AKI dengan Keluarga Berencana adalah pada isu status
reproduksi seperti dinyatakan pada diagram kerangka konsep. Beberapa kajian
menunjukkan keadaan “4 Terlalu” yaitu: keadaan ibu yang terlalu muda (untuk
menikah, hamil, dan punya anak), usia terlalu tua tetapi masih produktif, kehamilan
terlalu sering, dan jarak kehamilan terlampau dekat. Kondisi ini erat terkait dengan
tingginya tingkat kesakitan dan kematian ibu dan anak.
Terkait AKB, satu faktor penting adalah umur ibu dibawah 20 tahun
meningkatkan resiko kematia neonatal, serta usia ibu di atas 35 tahun meningkatkan
resiko kematian perinatal.Odds Ratio AKB dari ibu usia di bawah 20 tahun sebesar 1,4
kali lebih tinggi dari AKB pada ibu usia 20-35 tahun.

Untuk mencegah semakin parahnya “4T” tersebut, dilaksanakan program KB di


daerah-daerah. Kesertaan KB umumnya sudah tinggi. Persentase kesertaan KB
umumnya pada kisaran 60-70%. Alat kontrasepsi yang paling popular umumnya adalah
pil dan suntik.

Namun studi kualitatif menunjukkan bahwa ketika daya beli alat kontrasepsi
sebagian masyarakat rendah, menyebabkan ketidakmampuan ibu-ibu mengatur jarak
dan jumlah kelahiran anaknya. Khusus di pedesaan, keinginan mengatur jumlah anak
sudah ada, tetapi sebagian besar masih pada tingkat keinginan dan belum dalam
praktek. Penyebabnya, karena terbatasnya akses mereka terhadap pelayanan KB,
rendahnya kemampuan ekonomi, atau kurangnya independensi ibu (pada banyak kasus,
menjadi akseptor KB adalah berdasarkan keputusan suami). Kendala akses pada
pelayanan KB akan meningkatkan pula kejadian Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)
dan bahkan aborsi illegal
Terdapat 3 syarat kondisi upaya kesehatan yang harus dipenuhi, yaitu:
manajemen kesehatan, pelayanan kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat. Dari sisi
manajemen, perencanaan program harus kontinu, bukan berbasis proyek yang hanya
jangka pendek dan tidak sustained. Akurasi data menjadi kunci penting bagi
perencanaan. Priority setting adalah keahlian yang harus dimiliki para perencana. Tidak
ketinggalan, fungsi manajemen (sampai monitoring evaluasi) harus dijalankan dengan
cermat dan tepat.

Terkait pelayanan kesehatan, ketersediaan tenaga, sarana, prasarana (contohnya


alat kontrasepsi) menjadi syarat penting. Program juga harus didukung mekanisme
yang memadai dan efektif mencapai lapisan terbawah.

Yang ketiga, pemberdayaan masyarakat, partisipasi masayarakat harus


digalakkan kembali. Pemanfaatan Posyandu oleh balita menurun drastis sejak krismon
tahun 1997 (Depkes, 2004:83). Peran swasta, LSM, dan organisasi kemasyarakatan
dalam menurunkan AKI dan AKB harus digalang, diorganisir dengan baik, dan
dimobilisasi secara efektif.

Ketiga syarat tersebut dapat diupayakan melalui pemantapan kebijakan nasional. Kebijakan
yang sudah ada dan bersifat makro, menjadi payung untuk kebijakan teknis di bawahnya.
Kebijakan yang tersosialisasi dengan baik, akan menumbuhkan komitmen yang tinggi dari
para stakeholders, baik dari segi program maupun pendanaan. Dan semua itu memerlukan
strategi advokasi yang sesuai.

Anda mungkin juga menyukai