Anda di halaman 1dari 2

“Aku Adalah Binatang Itu”

Oleh: Baqi Maulana Rizqi

(Makhluk lemah yang berusaha bahagia)

“Aku adalah binatang peliharaanmu, kau membeliku di pasar gelap. Kau miliki ku tanpa sertifikasi,
karena kau hanya mengikuti Trend, tak jadi soal jika kepemilikan terhadapku ilegal. Aku terlatih
untuk menjadi penjilat, karena kau ajari aku untuk menjilati apa saja yang kau inginkan. Aku terlatih
untuk bertanding di arena yang kau siapkan bersama kawan-kawan seiramamu, jika aku menang
kau akan mengelus-elus kepalaku. Tapi jika aku kalah dengan binantang yang lainnya, menghardik
serta menyiksaku bukan barang langka. Bahkan jika aku sudah tidak menuruti segala nafsumu,
nyawaku pun bisa terrengut juga. Kenapa kau bisa seperti itu terhadapku?, yah. Jelas karena kau
terlebih dahulu menempatkanku serta memperlakukanku seperti binatang peliharaan, oleh sikap
dan pola pikirmu”. Sajak puisi dari penulis, dibuat di pelosok negri. Dusun yang baru-baru ini semakin
terisolir karena akses jembatan rusak tak terganti, sebab banjir bandang melanda tanpa ampun
penduduk meminta. Sedangkan Kepala Desa hanya bisa geleng-gelengkan kepala. Minggu
27/01/2019.

Dari Epistemologi kita bisa belajar bagaimana cara untuk mendapatkan suatu pengetahuan dengan
kerangka yang jelas, tidak lain untuk mendapatkan kesimpulan serta jawaban yang sesuai tentu
untuk mendapatkan kebenaran. Mengutip didalam buku Epitemologi Islam, ada kalimat pernyataan
seperti ini, “Dalam kehidupan masyarakat tidak jarang terjadi sikap saling menyalahkan pemikiran
seseorang, padahal mereka belum pernah melacak proses terjadinya pemikiran itu”. Apa sebetulnya
maksud dari kalimat tersebut, tidak lain adalah menggambarkan begitu banyaknya sebagian dari kita
yang terlalu/ejakulasi dini menyimpulkan sesuatu. Kalau boleh penulis sebut yakni, ‘terlau mudah
menyimpulkan’.

Apakah permusuhan serta konflik yang sering kita temui tidak terlepas dari gagal paham atau salah
mengambil kesimpulan?. Sangat berpeluang, semua keriuhan, kerusuhan serta permasalahan yang
ada disebabkan karena manusianya yang mengidap ejakulasi dini dalam mengambil kesimpulan.
Kalau sudah seperti ini, apakah masih pantas disebut sebagai pembeda dari makhluk-makhluk yang
lain, jika konflik yang terjadi masih pada pokok persoalan jasmani. Kalau boleh penulis tandaskan
ulang, bahwa menurut dari dua buku sebetulnya kita tidak begitu berbeda dengan binatang/hewan.

Buku pertama, karyanya H. Endang Saifudin Anshari, M.A. yang berjudul Kuliah Al-Islam,
Pendidkan Agama Islam di Peguruan Tinggi.

Menjelaskan tentang Hakikat Manusia, Makhuk Pencari Kebenaran. Perbedaan asasi antara manusia
dengan hewan. Apakah perbedaan asasi antara manusia dengan hewan?, terhadap pertanyaan ini
telah banyak dikemukakan pelbagai jawaban oleh pelbagai orang-pemikir dari zaman ke zaman.
Antara lain kita bertemu dengan para pemikir (untuk sekedar menyebut bebrpa nama), seperti:
Aristoteles, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, di Eropah akhir-akhir ini kita jumpai Haeckel, Langeveld, Verkuyl
dan Beerling, dan di Indonesia kita bersua dengan S. Takdir Alisjahbana dan N. Drijarkara
umpamanya.

Dalam kesempatan yang sesempit ini tidak memungkinkan kita memperbincangkan pandangan-
pandangan para pemikir termaksud itu tentang masalah ini satu demi satu. Dalam kesempatan ini
penulis mengaja pembaca untuk menempuh jalan melintas. Dari uraian-uraian para pemikir yang
namanya penulis singgung di atas, dapatlah agaknya ditarik kesimpulan antara lain sebagai berikut:

Manusia adalah sejenis hewan juga, manusia mempunyai perbedaan tertentu dibandingkan hewan
lainnya, ditinjau dari segi jasmaniyah, perbedaan antara manusia denga hewan adalah gradual, tidak
fundamental, ditinjau dari segi ruhaniah, perbedaan antara manusia dengan hewan adalah prinsipil,
asasi, keistimewaan ruhaniah manusia dibandingkan dengan hewan terlihat dalam kenyataan,
bahwa manusia itu makhluk yang berpikir, berpolitik, mempunyai kebebasan/kemedekaan memilih,
sadar diri, mempunyai norma, tukang bertanya, tegasnya: manusia itu berkebudayaan.

Buku kedua, karya H. Syukriadi Sambas, M.Si. Dengan judul, Mantik, Kaidah Berpikir Islami.

Menjelaskan tentang Ulul-Albab Sebagi Insan Natiq, secara etimologis, Ulul-Albab adalah golongan
manusia yang menggunakan akal pikiran dan ketundukan hatinya (ashhab al-‘ukul), sedangkan Insan
al-Nathiq adalah manusia yang berpikir.

Untuk dapat memahami makna Ulul-Albab dan Insan al-Nathiq, dapat ditelusuri melalui penjelasan
pencipta insan, yaitu Allah SWT dalam firman-firman-Nya. Pemahaman ini akan menyadarkan
manusia akan hakikat dan jati dirinya, bagimana hubungan dirinya dengan penggunaan potensi nalar
(akal) dalam memikirkan dirinya sendiri dan segala sesuatu di luar dirinya, serta bagaimana fungsi
kehadirannya di persada bumi ini.

Dalam Al-Qur’an, Ulul-Albab disebutkan sebnayak 16 kali, yaitu dalam surat-surat berikut: surat Al-
Baqarah, 2:179; surat Al-Baqarah, 2:197; surat Al-Baqarah, 2:169; surat Ali ‘Imran, 3:7; surat Ali
‘Imran, 3:190; surat Al-Ma-idah, 5:100; surat Yusuf, 12:111; surat Ar-Ra’du, 13:19; surat Ibrahim,
14:52; surat Shad, 38:29; surat Shad, 38:29; surat Az-zumar, 39:9; surat Az-Zumar, 39:18; surat Az-
Zumar, 39:21; surat Al-Mu’minun, 40:54; dan surat Ath-Thalaq, 65:10;.

Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa Ulul-Albab mempunyai 16 ciri sesuai dengan urutan
penyebutannya dalam surat. Keenam belas ciri Ulul-Albab tersebut adalah sebgai berikut: bertakwa
dan menegakkan hak asasi manusia; menjalankan ibadah haji dan menyiapkan bekal takwa dalam
kehidupannya; mengambil pelajaran dan hikmah (pemikiran filosofis) dalam mencari kebaikan yang
banyak; mengimani Al-qur’an dan memahami ayat-ayatnya, baik yang muhkamat maupun yang
mutasyabihat; memiliki pengetahuan tentang ruang angkasa, geografi, meteorologi, dan geofisika;
dapat membedakan antara kebenaran dan keburukan, tidak tergoda oleh keburukan, dan selalu
bertakwa dalam mencari keberuntungan; mengimani dan mengambil pelajaran dari kisah para nabi
dan rasul Allah; memahami kebenaran mutlak yang datang dari Allah; meyakini keesaan Allah SWT
dan memberi peringatan kepada umat manusia dengan dasar Al-Qur’an; mendalami kandungan Al-
Qur’an untuk mengambil nilai kebaikan yang banyak (berkah); mengambil pelajaran dari kisah Nabi
Zakaria a.s dan Nabi yusuf a.s (mengkaji sejarah); mensyukuri ilmunya dengan sujud atau salat pada
waktu malam dalam upaya mendapatkan rahmat Allah serta merasa takut terhadap azab-Nya;
menyeleksi informasi terbaik dengan tolak ukur hidayah dan norma agama Allah; memiliki
pengetahuan tentang flora dan fauna (zoologi dan botani); mengambil pelajaran dari kitab taurat
yang dibawa oleh nabi musa a.s yang diwariskan kepada orang israil (Yahudi); serta beriman dan
bertakwa kepada Allah, memiliki kesadaran tinggi serta takut terhadap siksaan-Nya yang dahsyat;.

Anda mungkin juga menyukai