dalam waktu singkat jika tidak dilakukan tindakan yang cepat dan tepat.
ILEUS Definisi Gangguan pasase makanan di dalam usus yang menyebabkan makanan tidak
dapat bergerak di dalam usus. Macam Ileus 1. Gangguan Mekanis : Ileus Mekanik
Disebabkan karena gangguan mekanik berupa sumbatan sehingga terjadi obstruksi. Ada
3 stadium : - Partial Ileus : obstruksi terjadi sebagian sehingga makanan masih
bisa lewat, dapat flatus/ defekasi sedikit. - Simple Ileus : terjadi sumbatan total
tapi belum terjadi gangguan vaskularisasi dinding usus. - Ileus Strangulasi : ileus
disertai distensi usus dibagian proksimal sumbatan dan vaskularisasi dinding usus
terjepit (strangulasi) 2. Gangguan Persyarafan : Ileus Neurogenik Gangguan pada
saraf parasimpatis S2-S4. ada 2 ; - Adinamik/Ileus paralitik (proses radang
kelelahan)
- Dinamik/Ileus Spastika : karena kontraksi yang terlalu kuat dan terjadi secara
bersamaan. Penyebabnya : rangsangan saraf yang berlebihan, keracunan, neurasteni,
histeri 3. Gangguan Vaskularisasi : Ileus Vaskuler Ileus ini berhubungan dengan
penyakit jantung sehingga vaskularisasi dari jantung menurun dan didaerah arteri
mesenterica superior ada sumbatan sehingga bagian distal arteri mesenterika
tersebut terjadi iskemik. Karena adanya thrombus/embolus pada vasa sehingga timbul
iskemik, gangrene, nekrosis, bisa juga perforasi.
Ileus Mekanik / Ileus Obstruktif Disebabkan karena gangguan mekanik berupa sumbatan
sehingga terjadi obstruksi. Causa 1. Hernia Incaserata 2. Non Hernia Incaserata :
a. Penyempitan lumen usus Scibala, fekalith, keganasan, radang, tumor mesenterium
b. Adhesi Radang, trauma, post laparatomi c. Invaginasi Hiperperistaltik usus yang
menyebabkan bagian oral lebih mobil sehingga masuk ke yang anal. Bagian anal
berkontraksi sehingga terjadi oedema kemudian perlengketan dan kahirnya terjadi
invaginasi. Ciri kahasnya : ada lendir darah peranus Causanya : hiperperistaltik
akibat obat-obatan, lesi organ (polipoid tumor Ca colon), factor mobilitas (bagian
proximal mobil dan distal terfixir). Gejalanya : perut kembung, flatus (-),
defekasi (-), muntah-muntah, lendir darah, pada RT teraba portio Geruis. d.
Volvulus Faktor terjadinya : segmen usus yang bergerak leluasa dan ada titik
fiksasi pada segmen usus sebagai focus volvulus. Causa : alat penggantung usus
terlalu panjang, terlalu banyak divertikulum, peradangan / trauma, makanan tinggi
selulose, orang tua dengan retardasi mental. e. Malformasi usus Pada waktu
perputaran usus (minggu ke 10) terjadi pemuntiran sehingga terjadi penjepitan yang
akan menyebabkan terjadinya ileus mekanik. Diagnosis 1. Anamnesa Keluhan : flatus
(-), BAB (-), perut kembung, muntah-muntah, sakit perut intermitten.
Bila ada keluhan benjolan di lipat paha curiga hernia incaserata Keluhan BAB dengan
lendir darah curiga invaginasi Bila timbul tak mendadak : streng ileus, radang,
adhesi Timbul mendadak : invaginasi, volvulus 2. Inspeksi Kondisi umum : lemah,
dehidrasi Meteorismus : distensi usus proksimal Ileus letak tinggi : sumbatan di
suodenum sehingga yang kembung bagian proksimalnya Ileus letak tengah : sumbatan di
ileum Ileus letak rendah : sumbatan di colon Darm contour Darm steifung 3.
Auskultasi Suara usus hiperperistalti Borborygmi Suara metalik 4. Palpasi Distensi
perut Tak sakit tekan (kecuali saat hiperperistaltik) Tak ada defans muscular
(kecuali pada peritonitis) 5. Perkusi Timpani di seluruh perut terutama di sub
diafragma 6. Rectal toucher Untuk menduga causa selain hernia, contohnya
invaginasi. 7. Rontgen Foto Foto polos abdomen 3 posisi : terlihat udara bebas sub
difragma (ladder symptom) 8. Pemeriksaan laboratorium Darah : Hb dan Hmt relative
meningkat karena dehidrasi, AL meningkat. Kimia : elektrolir menurun, Na, K, Cl
menurun Penanganan konservatif lakukan rehidrasi untuk mengoreksi dehidrasii atasi
masalah asidosis, alkalosis, uremiai oksigenasii dekompresi untuk mengatasi
distensi usus. Tujuan dekompresi :i - menurunkan tegangan dinding usus -
memperbaiki sirkulasi dinding usus - memperbaiki peristaltic - memperbaiki
reabsorbsi Macam dekompresi konservatif : - oral : NGT - anal : lavement i lakukan
desinvaginasi untuk kasus invaginasi dengan memompa Barium in loop melalui anus
sampai caecum untuk mencoba melepaskan intususeptum yang belum lama (belum ada
perlekatan) konservatif terhadapi volvulus : dengan memasukkan salin 5% dengan BA
in loop pada sigmoid, dengan proctotube yang demasukkan dari anus.
Bila tindakan konservatif gagal segera lakukan laparatomi untuk mengatasi causanya
sehingga keadaan menjadi lebih baik.i
adalah infeksi bacterial pada apendiks vermiformis. Apendisitis akut adalah keadaan
akut abdomen yang memerlukan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih
buruk
Jika telah terjadi perforasi, maka komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis
umum, terjadinya abses, dan komplikasi pascaoperasi seperti fistula dan infeksi
luka operasi. Di Amerika Serikat ada penurunan jumlah kasus dari 100 kasus menjadi
52 kasus setiap 100 ribu penduduk dari tahun 1975 ± 1991. Terdapat 15 ± 30 persen
(30 ± 45 persen pada wanita) gambaran histopatologi yang normal pada hasil
apendektomi. Keadaan ini menambah komplikasi pascaoperasi, seperti adhesi,
konsekuensi beban sosial-ekonomi, kehilangan jumlah hari kerja, dan produktivitas.
Tingkat akurasi diagnosis apendisitis akut berkisar 76 ± 92 persen. Pemakaian
laparoskopi, ultrasonografi, dan Computed Tomography Scanning (CT-scan), adalah
dalam usaha meningkatkan akurasi diagnosis apendisitis akut. Beberapa pemeriksaan
laboratorium dasar masih banyak digunakan dalam diagnosis penunjang apendisitis
akut. C-rective protein (CRP), jumlah sel leukosit, dan hitung jenis se neutrofil
(differential count) adalah petanda yang sensitif proses inflamasi. Pemeriksaan ini
sangat mudah, cepat, dan murah untuk Rumah Sakit di daerah. CRP adalah salah satu
komponen protein fase akut yang akan meningkat 4 ± 6 jam setelah terjadinya proses
inflamasi, yang dapat dilihat dengan melalui proses elektroforesis serum protein.
Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80 ± 90% dan lebih dari 90%.
Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap Rumah Sakit didaerah, tidak memerlukan waktu
yang lama (5 -10 menit), dan murah. Nyeri abdomen akut di luar sebab trauma
memberikan banyak kemungkinan diagnosis. Untuk menetapkan diagnosisnya kadangkala
sangat sulit sehingga berdampak pada morbiditas penderita. Dombal (1990)
mengemukakan bahwa akurasi diagnosis pada nyeri abdomen akut hanyalah 4565%.
Penderita abdomen akut umumnya terlambat masuk ke Rumah Sakit, sehingga biasanya
sudah disertai macam-macam penyulit yang perlu diatasi lebih dahulu dan memerlukan
penanganan yang lebih kompleks. Keterlambatan dapat disebabkan oleh ketidaktahuan
atau penderita tidak mengerti, atau keterlambatan disebabkan oleh dokter yang tidak
melakukan diagnosis atau bahkan membuat diagnosis yang salah, atau keterlambatan
disebabkan oleh penanggulangan yang terlambat di Rumah Sakit Nyeri abdomen pada
anak disebabkan oleh kecerobohan diet atau infeksi saluran pencernaan, namun dokter
harus selalu mempertimbangkan adanya apendisitis akut karena hal tersebut merupakan
kasus abdomen akut yang paling penting dan paling banyak pada anak Apendisitis akut
dapat terjadi pada semua umur. Pada anak sering terjadi sekitar umur 6-10 tahun.
Diagnosis apendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan
gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak, orang tua dan
dokter. Sebagian besar anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang dialami,
suatu hal yang relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka
apendektomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30% (Ramachandran,
1996). Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah
membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan
insidensi apendektomi negatif,
salah satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem
skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif .
Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala ,
tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan
praoperasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis (Alvarado, 1986; Rice,
1999). Instrumen lain yang sering dipakai pada apendisitis akut anak adalah
klasifikasi klinikopatologi dari Cloud. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan
gejala klinis dan temuan durante operasi (Cloud, 1993). Morbiditas dan mortalitas
apendisitis akut anak masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan keterlambatan
diagnosis dan penanganan pembedahan, pembedahan yang terlambat mungkin tetap
berhubungan dengan perforasi. Sebagian besar penderita dengan risiko apendisitis
perforasi mempunyai skor Alvarado yang tinggi Epidemiologi Sejarah apendisitis
dimulai pada tahun 1827 oleh Melier yang pertama kali menyebutkan proses inflamasi
di sekum dengan typhlitis atau perityphlitis. Sebelumnya pada tahun 1735, Claudius
Amyant melakukan apendektomi pertama kali pada saat operasi hernia inguinal.
Kemudian Reginald H dan Fitz adalah orang pertama yang memeriksa apendiks secara
histopatologi dari hasil operasi. Sejarah modern apendisitis dimulai dari tulisan
klasik Charles McBurney tahun 1889, yang dipublikasikan dalam New York Surgical
Society on Nov 13,1889. McBurney mendiskripsikan inflamasi akut di kuadran kanan
bawah biasanya disebabkan oleh apendisitis, yang sebelumnya disebut oleh Melier
dengan typhlitis atau perityphlitis Angka mortalitas yang tinggi dari apendisitis
akut mengalami penurunan dalam beberapa dekade. Hawk et al, membandingkan kasus
apendisitis akut pada periode 1933 ± 1937 dengan 1943 ± 1948. Angka mortalitas
pasien apendisitis akut dengan peritonitis local menurun dari 5% menjadi 0%. Angka
mortalitas pasien apendisitis akut dengan peritonitis umum menurun dari 40,6%
menjadi 7,5%. Pada tahun 1930, 15 kasus meninggal karena apendisitis dari 100 ribu
populasi, sedangkan 30 tahun kemudian hanya 1 kasus meninggal dari 100 ribu
polpulasi. Pada tahun 1977, mortalitas pasien dengan apendisitis akut tanpa
perforasi 0,1% ± 0,6% dan dengan perforasi 5% Apendiks Vermiformis Apendiks sebagai
bagian dari sistem pencernaan mulai diterangkan secara tersendiri pada awal abad
16. Adalah seorang pelukis Italia terkenal yang bernama Leonardo da Vinci yang
pertamakali menggambarkan apendiks sebagai organ tersendiri. Pada waktu itu
disebutnya orecchio yang berarti telinga. Sebelumnya apendisitis hanya dapat
dibuktikan dengan dilakukannya bedah jenasah. Pada tahun 1736 oleh Amyand, seorang
dokter bedah Inggris, berhasil dilakukan operasi pengangkatan apendiks pada saat
melakukan operasi hernia pada anak laki-laki. Dialah yang dikenal sebagai orang
yang pertamakali melakukan operasi apendektomi . Istilah apendisitis pertamakali
digunakan oleh Reginal Fitz, 1886, seorang profesor patologi anatomi dari Harvard,
untuk menyebut proses peradangan yang biasanya disertai ulserasi dan perforasi pada
apendiks. Tiga tahun kemudian (1889), Charles Mc Burney seorang profesor bedah dari
universitas Columbia menemukan titik nyeri tekan maksimal dengan melakukan
penekanan pada satu jari yaitu tepat di 1,5-2 inchi dari spina iliaca anterior
superior (SIAS) yang ditarik garis lurus dari SIAS tersebut ke umbilikus. Titik
tersebut kemudian dikenal sebagai titik Mc Burney Anatomi dan Embriologi Sistem
digestif yang secara embriologi berasal dari midgut meliputi duodenum distal muara
duktus koledukus, usus halus, sekum dan apendiks, kolon asendens, dan ½ sampai ¾
bagian oral kolon transversum. Premordium sekum dan apendiks Vermiformis (cecal
diverticulum) mulai tumbuh pada umur 6 minggu kehamilan, yaitu penonjolan dari tepi
antimesenterium lengkung midgut bagian kaudal. Selama perkembangan antenatal dan
postnatal, kecepatan pertumbuhan sekum melebihi kecepatan pertumbuhan apendiks,
sehingga menggeser apendiks ke arah medial di depan katup ileosekal. Apendiks
mengalami pertumbuhan memanjang dari distal sekum selama kehamilan. Selama masa
pertumbuhan bayi, terjadi juga pertumbuhan bagian kanandepan sekum, akibatnya
apendiks mengalami rotasi kearah postero-medial dan menetap pada posisi tersebut
yaitu 2,5 cm dibawah katup ileosekal, sehingga pangkal apendiks di sisi medial.
Organ ini merupakan organ yang tidak mempunyai kedudukan yang menetap didalam
rongga abdomen. Hubungan pangkal apendiks ke sekum relatif konstan, sedangkan ujung
dari apendiks bisa ditemukan pada posisi retrosekal, pelvikal, subsekal, preileal
atau parakolika kanan. Posisi apendiks retrosekal paling banyak ditemukan yaitu 64%
kasus. Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar
submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan
pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina
serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks.
Bila letak apendiks retrosekal maka tidak tertutup oleh peritoneum viscerale
(Soybel, 2001). Menurut Wakeley (1997) lokasi apendiks adalah sebagai berikut:
retrosekal (65,28%), pelvikal (31,01%), subsekal (2,26%), preileal (1%) dan
postileal serta parakolika kanan (0,4%) (Schwartz, 1990). Pada 65% kasus apendiks
terletak intraperitoneal. Kedudukan apendiks memungkinkan bergerak dalam ruang
geraknya tergantung pada panjangnya mesoapendiks. Pada kasus selebihnya apendiks
terletak retroperitoneal yaitu di belakang sekum, dibelakang kolon askenden atau
tepi lateral kolon askenden. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak dari
apendiks. Pada posisi retrosekal, kadang-kadang appendiks menjulang kekranial ke
arah ren dekster, sehingga keluhan penderita adalah nyeri di regio flank kanan. Dan
kadang diperlukan palpasi yang agak dalam pada keadaan tertentu karena appendiks
yang mengalami inflamasi ini secara kebetulan terlindungi oleh sekum yang biasanya
mengalami sedikit dilatasi Letak appendik mungkin juga bisa di regio kiri bawah hal
ini dipakai untuk penanda kemungkinan adanya dekstrokardia. Kadang pula panjang
appendiks sampai melintasi linea mediana abdomen, sehingga bila organ ini meradang
mengakibatkan nyeri perut kiri bawah. Juga pada kasus-kasus malrotasi usus kadang
appendiks bisa sampai diregio epigastrum, berdekatan dengan gaster atau hepar lobus
kanan. Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya bervariasi berkisar
antara 2-22 cm. Letak basis apendiks berada pada posteromedial sekum pada pertemuan
ketiga taenia koli, kirakira 1-2 cm di bawah ileum. Dari ketiga taenia tersebut
terutama taenia anterior yang digunakan
sebagai penanda untuk mencari basis apendiks. Basis apendiks terletak di fossa
iliaka kanan, bila diproyeksikan ke dinding abdomen terletak di kuadran kanan bawah
yang disebut dengan titik Mc Burney. Kira-kira 5% penderita mempunyai apendiks yang
melingkar ke belakang sekum dan naik (ke arah kranial) pada posisi retroperitoneal
di belakang kolon askenden. Apabila sekum gagal mengalami rotasi normal mungkin
apendiks bisa terletak di mana saja di dalam kavum abdomen. Pada anak-anak apendiks
lebih panjang dan lebih tipis daripada dewasa oleh karena itu pada peradangan akan
lebih mudah mengalami perforasi. Sampai umur kurang lebih 10 tahun, omentum mayus
masih tipis, pendek dan lembut serta belum mampu membentuk pertahanan atau
pendindingan (walling off) pada perforasi, sehingga peritonitis umum karena
apendisitis akut lebih umum terjadi pada anak-anak daripada dewasa (Raffensperger.
Apendiks kekurangan sakulasi dan mempunyai lapisan otot longitudinal, mukosanya
diinfiltrasi jaringan limfoid. Pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit ke arah ujung. Keadaan ini memungkinkan menjadi sebab
rendahnya kasus apendisitis pada umur tersebut , 1990). Apendiks mempunyai lumen
yang sempit, bentuknya seperti cacing, dan apeksnya menempel pada sekum. Apendiks
pada bayi berbentuk konikal. Panjang apendiks bervariasi dari 2 ± 20 cm dengan
panjang rata-rata 6 ± 9 cm. Diameter masuk lumen apendiks antara 0,5 ± 15 mm.
Lapisan epitel lumen apendiks seperti pada epitel kolon tetapi kelenjar
intestinalnya lebih kecil daripada kolon. Apendiks mempunyai lapisan muskulus dua
lapis. Lapisan dalam berbentuk sirkuler yang merupakan kelanjutan dari lapisan
muskulus sekum, sedangkan lapisan luar berbentuk muskulus longitudinal yang
dibentuk oleh fusi dari 3 tenia koli diperbatasan antara sekum dan apendiks. Pada
masa bayi folikel kelenjar limfe submukosa masih ada. Folikel ini jumlahnya terus
meningkat sampai puncaknya berjumlah sekitar 200 pada usia 12 ± 20 tahun. Setelah
usia 30 tahun ada pengurangan jumlah folikel sampai setengahnya, dan berangsur
menghilang pada usia 60 tahun. Mesoapendiks terletak dibelakang ileum terminal yang
bergabung dengan mesenterium intestinal. Vaskularisasi appendiks mendapatkan darah
dari cabang a. ileokolika berupa appendiksularis yang merupakan satu-satunya
feeding arteri untuk appendiks, sehingga apabila terjadi trombus pada appendiksitis
akuta akan berakibat berbentuk gangren, dan bahkan perforasi dari appendiks
tersebut. Arteri apendikuler adalah cabang terminal dari arteri ileokolika dan
berjalan pada ujung bebas mesoapendiks. Kadang-kadang pada mesenterium yang
inkomplet, arteri ini terletak panda dinding sekum. Pada mesoapendiks yang pendek
dapat berakibat apendiks yang terfiksir (immobile). Kadang-kadang arteri
apendikularis berjumlah dua. . Namun demikian pangkal appendik ternyata mendapatkan
vaskularisasi tambahan dari cabang-cabang kecil arteri sekalis anterior dan
posterior . Vena appendiks bermuara di vena ileokalika yang melanjutkan diri ke
vena mesenterika superior. Sedangkan sistim limfatiknya mengalir ke lymfonodi
ileosekal Pembuluh limfe mengalirkan cairan limfe ke satu atau dua noduli limfatisi
yang terletak pada mesoapendiks. Dari sini cairan limfe berjalan melalui sejumlah
noduli limfatisi mesenterika untuk mencapai noduli limfatisi mesenterika superior.
Syaraf apendiks berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari
pleksus mesenterika superior. Serabut syaraf aferen yang menghantarkan
rasa nyeri visceral dari apendiks berjalan bersama saraf simpatis dan masuk ke
medulla spinalis setinggi segmen torakal X karena itu nyeri visceral pada apendiks
bermula disekitar umbilikus. Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir
itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dicurahkan ke sekum
Menurut Tranggono (1989) mempelajari posisi anatomi apendiks vermiformis meliputi
pembahasan secara topografi yaitu : 1. Holotopi Holotopi adalah posisi yang
sebenarnya dari suatu organ pada tubuh manusia. Apendiks vermiformis terletak di
kwadran kanan bawah dan di region iliaka kanan. 2.Skeletopi Skeletopi adalah posisi
organ manusia menunjuk pada kerangka atau tulang. Pangkal apendiks vermiformis
terletak pada perpotongan garis interspinal dengan garis lateral vertikal dari
titik pertengahan ligamentum inguinale dan ventral fossa iliaka kanan 3. Sintopi.
Sintopi adalah posisi organ terhadap organ-organ disekitarnya, Apendiks vermiformis
di sebelah bawah sekum di ventral ureter kanan, a. testikularis kanan, bisa di
depan ileum atau dibelakang ileum. Malrotasi atau maldesesnsus dari sekum akan
mengakibatkan kelainan letak dari apendiks sehingga mungkin saja terletak
disepanjang daerah fossa iliaka kanan dan area infrasplenik kiri. Dalam hal
terdapat transposisi dari visera maka apendiks dapat terletak di kwadran kiri
bawah. Mengingat akan kemungkinan-kemungkinan kelainan posisi atau letak sekum ini
sangat penting, karena hal ini sering mendatangkan kesulitan dalam menegakkan
diagnosis bila terjadi peradangan pada apendiks tersebut. Suatu anomaly yang sangat
jarang terjadi adalah duplikasi apendiks seperti dikemukakan oleh Green. Sementara
menurut Waugh duplikasi apendiks ini tidak ada hubungannya dengan duplikasi sekum.
Kedua apendiks mungkin terbungkus dalam sarung fibrous dan dikelilingi oleh satu
lapisan otot dan rongganya mungkin berhubungan sebagian atau seluruhnya atau
mungkin berasal secara terpisah dari sekum. Ada yang berpendapat bahwa apendiks
yang kedua merupakan suatu divertikel sekum yang kongenital. Karena apendiks
merupakan suatu kantong yang buntu dengan lumen yang sempit dan seperti traktus
intestinalis lainnya secara normal berisi bakteri, resiko stagnasi dari isi
apendiks yang terinfeksi selalu ada. Resiko ini akan bertambah hebat dengan adanya
suatu mekanisme valvula pada pangkal apendiks yang dikenal dengan valvula Gerlach .
Dengan adanya benda-benda asing yang terperangkap dalam lumen apendiks, posisinya
yang mobil, dan adanya kinking, bands, adhesi dan lain-lain keadaan yang
menyebabkan angulasi dari apendiks, maka keadaan akan semakin diperburuk. Banyaknya
jaringan limfoid pada dindingnya juga akan mempermudah terjadinya infeksi pada
apendiks.
Organ lain di luar apendiks yang mempunyai peranan besar apabila terjadi peradangan
apendiks adalah omentum. Ini merupakan salah satu alat pertahanan tubuh apabila
terjadi suatu proses intraabdominal termasuk apendiks. Pada umur dibawah 10 tahun
pertumbuhan omentum ini pada umumnya belum sempurna, masih tipis dan pendek,
sehingga belum dapat mencapai apensdiks apabila terjadi peradangan apendiks. Hal
inilah yang merupakan salah satu sebab lebih mudah terjadi perforasi dan
peritonitis umum pada apendisitis anak. Appendiks vermiformis (umbai cacing)
terletak pada puncak caecum , pada pertemuan ke-3 tinea coli yaitu :
y y y
1. Hiperplasi kelenjar getah bening 2. Fecolith (35%) , masa feces yang 3. Corpus
alienum (4%) , biji ± 4. Striktur lumen (1%), kinking , karena mesoappendiks
pendek, adesi
y
Infeksi
Biasanya secara hematogen dari tempat lain, misal : pneumonia, tonsilitis dsb.
Antara lain jenis kuman : E. Coli, Streptococcus Ada 4 faktor yang mempengaruhi
terjadinya appendisitis : 1. 2. 3. 4. Adanya isi lumen Derajat sumbatan yang terus
menerus Sekresi mukus yang terus menerus Sifat inelastis / tak lentur dari mukosa
appendik
Ini terjadi bila proses berjalan lambat, ileum terminale, caecum dan omentum akan
membentuk barier dalam bentuk infiltrat. Pada anak-anak dimana omentum pendek dan
orang tua dengan daya tahan tubuh yang menurun sulit terbentuk infiltrat, sehingga
kemungkinan terjadi perforasi lebih besar. Sampai saat ini masih menjadi perdebatan
dan spekulasi umum di kalangan para ahli mengenai penyebab pasti dari apendisitis.
Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah
serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intra sekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah
timbulnya apendisitis. Ada beberapa teori yang sudah diajukan, seperti teori
sumbatan, teori infeksi, teori konstipasi dan teori hygiene ,namun hal ini juga
belum jelas benar. Diperkirakan pula bahwa pada penderita tua obstipasi merupakan
factor resiko yang utama,sedangkan pada umur muda adalah adanya pembengkakan sistim
limfatik apendiks akibat infeksi virus. Disebut pula adanya perubahan konsentrasi
flora usus dan spasme sekum mempunyai peranan yang besar. Pada teori sumbatan
dikatakan bahwa terjadinya apendisitis diawali adanya sumbatan dari lumen apendiks.
Hal ini disokong dari hasil pemeriksaan histologis pascaoperasi dan eksperimen pada
binatang percobaan. Seperti yang di dapat oleh Collins yang dikutip oleh
Arnbjornsson pada 3400 kasus, 50% nya telah terbukti apendisitis dan ditemukan
adanya factor obstruksi ini. Condon menyebutkan bahwa apendisitis adalah akibat
dari obtruksi yang diikuti infeksi. Disebutkan bahwa 60% kasus berhubungan dengan
obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa dan 35% karena
stasis fekal atau fekalit sementara 4% karena benda asing lainnya dan 1% karena
striktur atau hal-hal lainnya yang menyebabkan penyempitan dari lumen
apendiks.Teori ini juga didukung oleh penemuan Wangensteen dan Brower (1939) yang
mengatakan bahwa pada 75% apendisitis akut terdapat obstruksi dari lumen apendiks,
dan pada apendisitis gangrenosa seluruhnya terdapat obstruksi. Selanjutnya
apendisitis yang berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan hyperplasia jaringan
limfoid submukosa disebutkan lebih banyak lagi terjadi pada anak-anak, sementara
obstruksi karena fekalit atau benda asing lebih banyak ditemukan sebagai penyebab
apendisitis pada orang dewasa. Adanya fekalit dihubungkan oleh para ahli dengan
hebatnya perjalanan penyakitnya Bila terdapat fekalit (apendikolit) pada pasien-
pasien dengan gejala akut kemungkinan apendiks telah mengalami komplikasi yaitu
gangren 77%, sedang bila tidak ditemukan apendikolit dan hanya gangren 42%.Satu
seri lain menyebutkan bahwa apendisitis akut dengan apendikolit terdapat
kemungkinan gangren atau perforasi sebanyak 50% . Selain fekalit dan hyperplasia
kel limfoid kita hendak tidak boleh melupakan sebab obstruksi yang lain ,apalagi
untuk negara kita
Indonesia dan negara-negara Asia khususnya yaitu penyumbatan yang disebabkan oleh
cacing dan parasit lainnya. Bila terjadi infeksi, bakteri enteral memegang peranan
yang penting. Pada penderita muda yang memiliki jaringan limfoid yang banyak, maka
akan terjadi reaksi radang dan selanjutnya jaringan limfoid akan berproliferasi
akibat selanjutnya akan mengakibatkan penyumbatan pada lumen apendiks. Hal inilah
yang menjadi alasan mengapa ada yang beranggapan bahwa obstruksi yang terjadi
merupakan adalah proses lanjutan dari inflamasi yang terjadi sebagai akibat adanya
infeksi. Kalaupun obstruksi berperan hanyalah pada proses awalnya saja.19
Selanjutnya dipercaya juga bahwa infeksi bakteri enterogen merupakan factor
patogenetik primer pada proses apendisitis. Diyakini bahwa adanya fekalit didalam
lumen apendiks yang sebelumnya telah terinfeksi hanya memperburuk dan memperberat
infeksi karena terjadinya peningkatan tekanan intraluminar apendiks. Ada
kemungkinan lain yang menyokong teori infeksi enterogen ini adalah kemungkinan
tertelannya bakteri dari suatu focus di hidung atau tenggorokan sehingga dapat
menyebabkan proses peradangan pada apendiks. Secara hematogen dikatakan mungkin
saja dapat terjadi karena dianggap apendiks adalah ³tonsil´ abdomen. Pada teori
konstipasi dapat dikatakan bahwa konstipasi sebagai penyebab dan mungkin pula
sebagai akibat dari apendisitis. Tapi hal ini masih perlu dipertanyakan lagi,
sebenarnya apakah konstipasi ini benar berperan dalam terjadinya apendisitis.
Banyak pasien-pasien konstipasi kronis yang tidak pernah menderita apendisitis dan
sebaliknya orang ±orang yang tidak pernah mengeluh konstipasi mendapatkan
apendisitis. Penggunaan yang berlebihan dan terus menerus dari laksatif pada kasus
konstipasi akan memberikan kerugian karena hal tersebut akan merubah suasana flora
usus dan akan menyebabkan terjadinya keadaan hyperemia usus yang merupakan
permulaan dari proses inflamasi. Bila kebetulan sakit perut yang dialami disebabkan
apendisitis maka pemberiaan purgative akan merangsang peristaltic yang merupakan
predisposisi untuk terjadinya perforasi dan peritonitis. Radang appendix biasanya
disebabkan karena obstruksi lumen yang disertai dengan infeksi. Appendicitis
diklasifikasikan sebagai berikut: (Ellis, 1989) 1. Acute appendicitis tanpa
komplikasi. (cataral appendicitis) Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub
mucosa saja. Appendix kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila
appendix tersebut dibuka, maka akan tampak mukosa yang menebal, oedema dan
kemerahan. Kondisi ini disebabkan invasi bakteri dari jaringan limpoid ke dalam
dinding appendix. Karena lumen appendix tak tersumbat. Maka hal ini hanya
menyebabkan peradangan biasa. Bila jaringan limpoid di dinding appendix mengalami
oedema, maka akam mengakibatkan obstruksi lumen appendix, yang akan mempengaruhi
feeding sehingga appendix menjadi gangrena, seterusnya timbul infark. Atau hanya
mengalami perforasi (mikroskopis), dalam hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi
eksudat fibrin Post appendicitis acute, kadang-kadnag terbentuk adesi yang
mengakibatkan kinking, dan kejadian ini bisa membentuk sumbatan pula
2.
b. Signa. Tanda vital tidak berubah banyak. Peninggian temperature jarang lebih
dari 1°C, frekuensi nadi normal atau sedikit meninggi. Adanya perubahan atau
peninggian yang besar berarti telah terjadi komplikasi atau diagnosis lain perlu
diperhatikan. Pasien biasanya lebih menyukai posisi supine dengan paha kanan
ditarik ke atas, karena suatu gerakan akan meningkatkan nyeri. Nyeri kuadran kanan
bawah secara klasik ada bila apendiks yang meradang terletak di anterior. Nyeri
tekan sering maksimal pada atau dekat titik yang oleh McBurney dinyatakan sebagai
terletak secara pasti antara 1,5 ± 2 inchi dari spina iliaca anterior pada garis
lurus yang ditarik dari spina ini ke umbilicus. Adanya iritasi peritoneal
ditunjukkan oleh adanya nyeri lepas tekan dan Rovsing¶s sign. Adanya hiperestesi
pada daerah yang diinervasi oleh n. spinalis T10, T11, T12 , meskipun bukan
penyerta yang konstan adalah sering pada apendisitis akut. Tahan muskuler terhadap
palpasi abdomen sejajar dengan derajat proses peradangan, yang pada awalnya terjadi
secara volunteer seiring dengan peningkatan iritasi peritoneal terjadi peningkatan
spamus otot, sehingga kemudian terjadi secara involunter. Iritasi muskuler
ditunjukkan oleh adanya psoas sign dan obturator sign. PENYULIT Menjadi penyulit
untuk mendiagnosis appendisitis adalah posisi dari appendik dalam perut dapat
bervariasi. Kebanyakan appendik terdapat di perut kanan bawah. Appendik seperti
bagian lain dari usus, memiliki mesenterium. Mesenterium ini adalah suatu membran
seperti kertas yang melekatkan appendik pada struktur lain di dalam abdomen. Jika
mesenterium lebar, memungkinkan appendik untuk bergerak. Sebagai tambahan, appendik
dapat lebih panjang dari normal. Kombinasi dari mesenterium yang lebar dan appendik
yang panjang memungkinkan appendik untuk bergerak ke bawah ke dalam pelvis
(diantara organ-organ pelvis pada wanita). Ini juga memungkinkan appendik untuk
berpindah ke belakang kolon (disebut appendik retrokolika). Pada kasus lain,
inflamasi pada appendik dapat tampak sebagai inflamasi pada organ lain, sebagai
contoh, organ-organ pelvis pada wanita.
y y y y
Tipe prosedure bedah.Pembedahan pada mata mempunyai resiko infeksi yang paling
rendah. Angka infeksi yang tinggi terjadi pada pembedahan toraks, bedah umum dan
kandungan. Angka infeksi pasca bedah paling tinggi didapatkan pada pembedahan perut
yang menembus organ berongga. Lama pembedahan.Pembedahan yang berlangsung 2 jam
atau lebih berhubungan dengan kejadian infeksi pasca bedah yang tinggi. Pembedahan
emergencyDibanding dengan pembedahan elektif, pembedahan emergency mempunyai angka
infeksi pasca bedah yang lebih tinggi. Faktor lokalFaktor lokal yang meningkatkan
terjadinya infeksi termasuk adanya jaringan nekrotik, rongga mati, penurunan
perfusi lokal, hematoma dan adanya benda asing. Derajat pencemaran luka selama
pembedahanInfeksi luka merupakan penyebab tersering terjadinya infeksi pasca bedah,
dan merupakan tipe terbanyak dari infeksi nosokomial setelah infeksi traktus
urinarius. Terjadinya infeksi pasca operasi sangat ditentukan oleh derajat
pencemaran oleh mikroorganisme, dan derajat tersebut berhubungan langsung dengan
prosedur yang dilakukan.
2) Luka Bersih terkontaminasi (klas II) Yang termasuk luka bersih terkontaminasi
adalah luka operasi yang menembus traktus digestivus traktur respiratorius tetapi
tidak terjadi pencemaran yang berarti. Prosedure tersebut termasuk menembus
orofaring, vagina, traktus urinarius dan traktus billiaris yang tidak terinfeksi.
Pelanggaran kecil terhadapap teknik aseptik juga diklasifikasikan sebagai luka
bersih terkontaminasi. Pada luka jenis ini terjadi tambahan pencemaran dari bakteri
endogen, dan angka infeksi mencapai 5-15 %. Prosedure operasi yang damasukkan dalam
kategori ini antara lain : koleksistektomi, appendektomi subtotal gastrektomi, dan
partial kolektomi. 3) Luka Kontaminasi (klass III)
Prosedure yang termasuk kelas ini adalah prosedure yang disertai pencemaran yang
nyata dari isi organ berongga, adnya inflamasi akut tanpa terdapatnya pus. Luka
trauma yang baru , dan luka operasi yang disertai pelanggaran besar terhadap teknik
aseptik dimasukkan ke dalam kategori ini. Angka kejaian infeksi pasca bedah adalah
15-40%. 4) Luka Kotor (klasIV) Luka operasi kotor adalah luka operasi yang
tercemari oleh pus atau terdapat perforasi fiscus. Luka traumatik yang lama juga
termasuk dalam kategori luka kotor. Angka infeksi pasca operasi adalah 40% atau
lebih. II. Faktor Resiko Dari penderita Faktor resiko dari penderita dapat bersifat
umum dan dapat bersifat organ spesifik atau lokal. Yang termasuk faktor-faktor umum
adalah sebagai berikut : 1. Malnutrisi.Penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50%
penderita yang dipondokkan mungkin mengalami gangguan nutrisi. Gangguan nutrisi
yang berat akan menyebabkan insidensi pasca operasi yang tinggi khususnya infeksi
luka operasi. 2. Umur diatas 65 tahunPenelitian menunjukkan bahwa angka infeksi
pasca operasi meningkat sesuai dengan peningkatan umur. Angka infeksi tersebut
mencapai 8-13% lebih tinggi pada penderita yang berumur 65 tahun atau lebih. 3.
Diabetes melitus à Penderita sangat rentan terhadap infeksi. 4. Tumor ganasTumor
ganas yang solid pada traktus digestivus dapat menimbulkan obstruksi, ulserasi dan
perforasi yang dapat merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi. 5. Pemondokan
yang lama sebelum pembedahan. Diluar kasus-kasus emergency, angka infeksi pasca
operasi didapatkan lebih tinggi jika pemondokan preoperasi lebih lama. 6.
Penggunaan anti biotika sebelumnyaPenggunaan anti biotika terhadap infeksi yang
sedang berlangsung atau infeksi sebelumnya akan menimbulkan perubahan flora
mikrobial yang normal dan bahkan dapat menimbulkan pseudomembranous colitis. 7.
Terapi dengan imunosupresif 8. Terdapatnya infeksi pada tempat lainAngka infeksi
pasca bedah pada penderita yang mengalami infksi sebelum pembedahan, didapatkan 3-4
kali lebih besar dibandingkan dengan penderita yang tidak mengalami infeksi. 9.
Tipe rumah sakitInfeksi pasca bedah didapatkan lebih tinggi pada rumah sakit
pendidikan dibandingkan dengan rumah sakit yang bukan tempat pendidikan.
Antibiotika Profilaksis dan Pembedahan Menurut Al Ibrahim et al (1990), tujuan
pemberian antibiotika profilaksis pada pembedahan adalah untuk mencegah infeksi.
Namun demikian perlu ditekankan disini bahwa untuk mencegah infeksi pasca bedah
perlu memperhatikan empat hal yaitu : 1) taktik pembedahan,
2) Teknik pembedahan, 3) perawatan pre dan pasca operasi, 4) pemberian antibiotika
(Geroulanos et al, 1989). Menurut Al Ibrahim et al, (1990), masih didapatkan
beberapa kontroversi dalam hal pemberian anti biotika profilaksis, baik dalam hal
diberi atau tidak, cara pemberian maupun jenis antibiotika yang dipergunakan. Untuk
beberapa macam prosedur pembedahan yang mempunyai resiko infeksi yang rendah
pemberian antibiotika profilaksis adalah tidak pada tempatnya. Menurut Alexander et
al (1991), kontroversi yang berkepanjangan tersebut disebabkan oleh karena
kurangnya pengertian mengenai prinsip-prinsip dasar mengenai anti biotika dan
infeksi bedah. Keputusan pemberian anti biotika profilaksis haruslah didasarkan
kepada besarnya manfaat yang didapat, dibandingkan dengan besarnya efek yang
merugikan. Prinsip-prinsip pemberian antibiotika profilaksis dijelaskan sebagai
berikut (Jones, 1988 ; Al Ibrahim et al 1990).
y Antibiotika profilaksis dan tipe luka
Bakteri yang paling banyak menimbulakn infeksi pada luka bersih adalah stapilokokus
dan stretokokus. Dilain pihak pada luka bersih terkontaminasi atau luka
kontaminasi, bakteri yang menimbulkan infeksi biasanya bersumser dari daln seperti
dari traktus digestivus atau traktus urinarius. Bakteri yang sering menimbulkan
infeksi tersebut sebaiknya diidentifikasi, dan antibiotika yang dipilih haruslah
cocok dengan mikroorganisme tersebut.
y Timing dan konsentrasi dari antibiotika
Dengan beberapa perkecualian seperti contoh anti biotika yang terarbsobsi pada
pembedahan kolorektal antibiotika sebaiknya telah sampai pada tempat operasi,
dengan konsentrasi yang cukup pada saat melakukan irisan, dan konsentrasi tersebut
dipertahankan selama pembedahan.
y Efek samping dan pembiayaan
Antibiotika yang dipilih sebaiknya yang menimbulkan efek samping yang paling
minimal, dan kalau mungkin yang mempunyai harga yang paling murah.
y Lama penggunaan antibiotika
Penggunaan antibiotika profilaksis sebaiknya dalm waktu pendek, misalnya selama
operasi. Penggunaan yang lama tampaknya tidak memberikan hasil yang lebih baik.
Dilain pihak penderita akan dirugikan oleh biaya yang seharusnya tidak perlu dan
resiko efek samping yang mungkin terjadi. Pemberian antibiotika pada Apendisitis
Luka operasi pada pembedahan appendisitis pada umumnya termasuk katagori luka
bersih terkontaminasi, kecuali terjadi gangren atau perforasi dari appendik (Al
Ibrahim et al 1990 ; Condon et al 1991 ). Dikatakan pemberian anti biotika
profilaktis pada appendisitis masih merupakan kontroversi. Penelitian kontrol-trial
yang membandingkan pemberian antibiotika dan plasebo, secara konsisiten
menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang efektif terhadap kuman anaerob, baik
terhadap pemberian tersendiri maupun pemberian kombinasi terbukti terbukti efektif
dalam menurunkan infeksi luka pasca operasi. Sedangkan pemberian antibiotika yang
terutama aktif terhadap kuman aerob tidak konsisten efektif. Dikatakan hal ini
adalah merupakan penemuan yang aneh, sebab kebanyakan kuman yang berhasil diisolasi
dari luka adalah escherichia coli (Alexander et al 1991). Meskipun eschericia coli
adalah kuman aerob, pemberian anti anaerob tampaknya sangat esensial. Antibiotika
mungkin mempunyai peranan yang kecil kecuali appendik dalam keadaan gangren atau
perforasi. Al Ibrahim et al (1990), menggunakan cefoxitim 2 gr perioperatif dan
ditambah 1 gr lagi 6 jam berikiutnya untuk appendisitis yang tidak perforasi.
Apabila penderita alergi terhadap safalospirin atau penicilin, digunakan bagi yang
tidak perforasi metronidazole 500 mg preoperatif dan gentamisin 1,5 mg /kg iv.
Menurut Alexander et al (1991), telah dapat dibuktikan dengan jelas bahwa pemberian
anti biotik yang maksimal akan tercapai bila pemberiannya akan dilakukan
preoperatif.