A. Konsep Dasar Teori 1. Pengertian Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan, 2007). Gagal nafas adalah ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan tekanan parsial normal O2 dan atau CO2 didalam darah. Gagal nafas adalah suatu kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak mampu memenuhi metabolisme tubuh. Gagal nafas adalah suatu kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak mampu memenuhi metabolisme tubuh. Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan asidosis. Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempetahankan oksigenasi. Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dan karbondioksida yang dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2009). Gagal napas adalah sindroma dimana sistem respirasi gagal untuk melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen, dan pengeluaran karbondioksida. Keadekuatan tersebut dapat dilihat dari kemampuan jaringan untuk memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Indikasi gagal napas adalah PaO2 < 60mmHg atau PaCO2 > 45mmHg, dan atau keduanya. (Bruner and Suddart 2002) Gagal nafas terjadi apabila paru tidak lagi dapat memenuhi fungsi primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteria dan pembuangan karbondioksida (price& Wilson, 2005). Gagal napas adalah ventilasi tidak adekuat disebabkan oleh ketidakmampuan paru mempertahankan oksigenasi arterial atau membuang karbon dioksida secara adekuat(kapita selekta penyakit, 2011) 2. Etiologi Menurut Kowalak dkk (2011), penyebab dari gagal nafas yaitu: a. Depresi Sistem saraf pusat : Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal. b. Gangguan ventilasi : Gangguan ventilasi disebabkan oleh kelainan intrapulmonal maupun ekstrapulmonal. Kelainan intrapulmonal meliputi kelainan pada saluran napas bawah, sirkulasi pulmonal, jaringan, dan daerah kapiler alveolar. Kelainan ekstrapulmonal disebabkan oleh obstruksi akut maupun obstruksi kronik. Obstruksi akut disebabkan oleh fleksi leher pada pasien tidak sadar, spasme larink, atau oedema larink, epiglotis akut, dan tumor pada trakhea. Obstruksi kronik, misalnya pada emfisema, bronkhitis kronik, asma, COPD, cystic fibrosis, bronkhiektasis terutama yang disertai dengan sepsis. c. Gangguan kesetimbangan ventilasi perfusi (V/Q Missmatch) : Peningkatan deadspace (ruang rugi), seperti pada tromboemboli, emfisema, dan bronkhiektasis. d. Trauma : Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar e. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks : Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas. f. Penyakit akut paru : Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas. 3. Klasifikasi a. Klasifikasi gagal napas berdasarkan hasil analisa gas darah: 1) Gagal napas hiperkapneu Hasil analisa gas darah pada gagal napas hiperkapneu menunjukkkan kadar PCO2 arteri (PaCO2) yang tinggi, yaitu PaCO2>50mmHg. Hal ini disebabkan karena kadar CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2 yang tersisih di alveolar dan PaO2 arterial menurun. Oleh karena itu biasanya diperoleh hiperkapneu dan hipoksemia secara bersama-sama, kecuali udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Sedangkan nilai pH tergantung pada level dari bikarbonat dan juga lamanya kondisi hiperkapneu. 2) Gagal napas hipoksemia Pada gagal napas hipoksemia, nilai PO2 arterial yang rendah tetapi nilai PaCO2 normal atau rendah. Kadar PaCO2 tersebut yang membedakannya dengan gagal napas hiperkapneu, yang masalah utamanya pada hipoventilasi alveolar. Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas hiperkapneu. b. Klasifikasi gagal napas berdasarkan lama terjadinya : 1) Gagal napas akut Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang ditandai dengan perubahan hasil analisa gas darah yang mengancam jiwa. Terjadi peningkatan kadar PaCO2. Gagal napas akut timbul pada pasien yang keadaan parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. 2) Gagal napas kronik Gagal napas kronik terjadi dalam beberapa hari. Biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik, seperti bronkhitis kronik dan emfisema. Pasien akan mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapneu yang memburuk secara bertahap. c. Klasifikasi gagal napas berdasarkan penyebab organ : 1) Kardiak Gagal napas dapat terjadi karena penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2 akibat menjauhnya jarak difusi akibat oedema paru. Oedema paru ini terjadi akibat kegagalan jantung untuk melakukan fungsinya sehingga terjadi peningkatan perpindahan aliran dari vaskuler ke interstisial dan alveoli paru. Terdapat beberapa penyakit kardiovaskuler yang mendorong terjadinya disfungsi miokard dan peningkatan left ventricel end diastolic volume (LVEDV) dan left ventricel end diastolic pressure (LVEDP) yang menyebabkan mekanisme backward-forward failure. Penyakit yang menyebabkan disfungsi miokard : a) Infark miokard b) Kardiomiopati c) Miokarditis d) Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP : e) Meningkatkan beban tekanan : aorta stenosis, hipertensi, dan coartasio aorta f) Meningkatkan beban volume : mitral insufisiensi, aorta insufisiensi g) Hambatan pengisian ventrikel : mitral stenosis dan trikuspid insufisiensi. 2) Non cardiac Terjadi gangguan di bagian saluran pernapasan atas dan bawah maupun di pusat pernapasan, serta proses difusi. Hal ini dapat disebabkan oleh obstruksi, emfisema, atelektasis, pneumothorak, dan ARDS 4. Tanda dan Gejala Menurut kapita selekta panyakit (2011), tanda dan gejala gagal nafas,yaitu: a. Pernapasan cepat b. Gelisah c. Ansietas d. Bingung e. Kehilangan konsentrasi f. Takikardi 5. Pathway 6. Patofisiologi Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel. Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg). Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut. 7. Komplikasi a. Hipoksia jaringan b. Asidosis respiratorik kronis : kondisi medis dimana paru-paru tidak dapat mengeluarkan semua karbondioksida yang dihasilkan dalam tubuh. Hal ini mengakibatkan gangguan keseimbangan asam-basa dan membuat cairan tubuh lebih asam, terutama darah. c. Henti napas d. henti jantung 8. Penatalaksanaan a. Non Farmakologi 1) Bernafas dalam dengan bibir di kerutkan ke depan jika tidak di lakukan intubasi dan ventilasi mekanis, cara ini di lakukan untuk membantu memelihara patensi jalan napas. 2) Aktifitas sesuai kemampuan. 3) Pembatasan cairan pada gagal jantung. b. Farmakologi 1) Terapi oksigen untuk meningkatkan oksigenasi dan menaikan PaO2. 2) Ventilasi mekanis dengan pemasangan pipa endotrakea atau trakeostomi jika perlu untuk memberikan oksigenasi yang adekuat dan membalikkan keadaan asidosis. 3) Ventilasi frekuensi tinggi jika kondisi pasien tidak nereaksi terhadap terapi yang di berikan;tindakan ini di lakukan untuk memaksa jalan nafas terbuka, meningkatkan oksigenasi, dan mencegah kolaps alveoli paru. 4) Pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi. 5) Pemberian bronkodilator untuk mempertahankan patensi jalan nafas. 6) Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi. 7) Pembatasan cairan pada kor pulmonaleuntuk mengurangi volume dan beban kerja jantung. 8) Pemberian preparat inotropik positif untuk meningkatkan curah jantung. 9) Pemberian vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah. 10) Pemberian diuretik untuk mengurangi edema dan kelebihan muatan cairan. 9. Pemeriksaan Penunjang Menurut kowalak jenifer (2011), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada gagal nfas, yaitu: a. Pemerikasan gas-gas darah arteri Hipoksemia Ringan : PaO2 < 80 mmHg Hipoksemia Sedang : PaO2 < 60 mmHg Hipoksemia Berat : PaO2 < 40 mmHg b. Oksimetri nadi dapat menunjukkan penurunan saturasi oksigen arterial. c. Kadar hemoglobin serum dan hematokrit menunjukkan penurunan kapasitas mengangkut oksigen. d. Elektrolit menunjukkan hipokalemia dan hipokloremia Hipokalemia dapat terjadi karena hiperventilasi kompensasiyang merupakan upaya tubuh untuk mengoreksi asidosis. Hipokloremia biasanya terjadi alkalosis metabolik. Pemeriksaan kultur darah dapat menemukan kuman patogen. e. Kateterisasi arteri pulmonalis membantu membedakan penyebab pulmoner atau kardiovaskuler pasa gagal nafas akut dan memantau tekanan hemodinamika. B. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Identitas Klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa. b. Keluhan utama Keluhan utama yang sering muncul adalah gejala sesak nafas atau peningkatan frekuensi nafas. Secara umum perlu dikaji tentang gambaran secara menyeluruh apakah klien tampak takut, mengalami sianosis, dan apakah tampak mengalami kesukaran bernafas. c. Riwayat kesehatan Sekarang Apakah diantara keluarga klien yang mengalami penyakit yang sama dengan penyakit yang dialami klien d. Riwayat Kesehatan Terdahulu Apakah ada riwayat gagal nafas terdahulu, kecelakaan/trauma, mengkonsumsi obat berlebihan. e. Dasar Data Pengkajian 1) Aktivitas/ Istirahat Gejala :kekurangan energi/ kelelahan, insomnia 2) Sirkulasi Gejala: riwayat adanya bedah jantung- paru ,fenomena embolik(darah,udara,lemak). Tanda: tekanan darah dapat normal atau meningkat pada awal (berlanjut menjadi hipoksia) ;hipotensi terjadi pada tahap lanjut (syok) atau terdapat faktor pencetus seperti pada eklampsi Frekuensi jantung: takikardi biasanya ada Bunyi jantung: normal pada tahap dini; S3 mungkin terjadi .distritmia dapat terjadi, tetapi EKG sering normal. Kulit dan membran mukosa : pucat, dingin. Sianosis biasanya terjadi (tahap lanjut). 3) Integritas Ego Gejala : Ketakutan, ancaman perasaan takut Tanda : Gelisah, agitasi, gemetar, mudah terangsang, perubahan mental. 4) Makanan /Cairan Gejala : Kehilangan selera makan, mual. Tanda : Edema/ perubahan berat badan. Hilang / berkurangnya bunyi usus. 5) Neurosensori Gejala/Tanda : Adanya trauma kepala, mental lamban,disfungsi motorik. 6) Pernapasan Gejala : Adanya aspirasi/tenggelam, inhalasi asap/gas, infeksi difus paru, timbulnya tiba-tiba atau bertahap, kesulitan napas, lapar udara Tanda : a) Pernafasan : Cepat, mendengkur, dangkal b) Peningkatan kerja napas : Penggunaan otot aksesori pernafasan, contoh retraksi interkostal atau substernal, pelebaran nasal, memerlukan oksigen konsentrasi tinggi. c) Bunyi napas : Pada awal normal, krekels, ronkhi, dan dapat terjadi bunyi napas bronkial. d) Perkusi dada : Bunyi pekak di atas area konsolidasi e) Ekspansi dada menurun atau tidak sama, peningkatan fremitus (getar vibrasi pada dinding dada dengan palpitasi), sputum sedikit, berbusa, pucat atau sianosis, penurunan mental , bingung. 7) Keamanan Gejala : Riwayat trauma ortopedik/fraktur,sepsis,tranfusi darah,episode anafilaktik. 8) Seksualitas Gejala/Tanda : Kehamilan dengan adanya komplikasi eklampsia 9) Penyuluhan/Pembelajaran Gejala : Makan/kelebihan dosis obat f. Pemariksaan Fisik 1) Keadaan umum: kaji tentang kesadara klien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara bicara. Denyut nadi, frekuensi nafas yang meingkat, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, sianosis. 2) B1 (Breathing) a) Inspeksi Kesulitan bernafas tampak dalam perubahan irama dan frekuensi pernafasan. Keadaan normal frekuensi pernafasan 16-20x/menit dengan amplitude yang cukup besar. Jika seseorang bernafas lambat dan dangkal, itu menunjukan adanya depresi pusat pernafasan. Penyakit akut paru sering menunjukan frekuensi pernafasan > 20x/menit atau karena penyakit sistemik seperti sepsis, perdarahan, syok, dan gangguan metabolic seperti diabetes militus. b) Palpasi Perawat harus memerhatikan pelebaran ICS dan penurunan taktil fremitus yang menjadi penyebab utama gagal nafas. c) Perkusi Perkusi yang dilakukan dengan saksama dan cermat dapat ditemukan daerah redup- sampai daerah dengan daerah nafas melemah yang disebabkkan oleh peneballan pleura, efusi pleura yang cukup banyak, dan hipersonor, bila ditemukan pneumothoraks atau emfisema paru. d) Auskultasi Auskultasi untuk menilai apakah ada bunyi nafas tambahan seperti wheezing dan ronki serta untuk menentukan dengan tepat lokasi yang didapat dari kelainan yang ada. 3) B2 (Blood) Monitor dampak gagal nafas pada status kardovaskuler meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah dan CRT. 4) B3 (Brain) Pengkajian perubahan status mental penting dilakukan perawat karena merupakan gejala sekunder yang terjadi akibat gangguan pertukaran gas. Diperlukanan pemeriksaan GCS unruk menentukan tiingkat kesadaran. 5) B4 (Bladder) Pengukuran volume output urin perlu dilakukan karena berkaitan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perlu memonitor adanya oliguria, karena hal tersebut merupaka tanda awal dari syok. 6) B5 (Bowel) Pengkajian terhadap status nutrisi klien meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhanya. Pada klien sesak nafas potensial terjadi kekurangan pemenuhan nutrisi, hal ini karena terjadi dipnea saat makan, laju metabolism, serta kecemasan yang dialami klien. 7) B6 (Bone) Dikaji adanya edema ekstermitas, tremor, tanda-tanda infeksi pada ekstermitas, turgon kulit, kelembaban, pengelupasan atau bersik pada dermis/ integument. 2. Diagnosa Keperawatan a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d. penumpukan sekret. b. Pola napas tidak efektif b.d. bradipnea. c. Gangguan pertukaran gas b.d Edema paru. d. Penurunan perfusi jaringan b.d Suplai O2 ke jaringan tidak adekuat 3. Rencana Keperawatan DX 1: Bersihan jalan napas tidak efektif b.d. penumpukan sekret. a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatam selama 3X24 jam jalan nafas pasien bersih/jelas. b. Kriteria Hasil : 1) Suara nafas bersih,tidak ada suara snoring atau suara tambahan yang lain 2) Irama nafas regular 3) frekuensi nafas dalam rentang normal. c. Intervensi 1) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan Rasional: suara tambahan seperti snoring dan crackels mengindikasikan penumpukan sekret 2) Informasikan pada keluarga tentang tindakan suction yang dilakukan pada klien. Rasional: meminimalkan kecemasan keluarga. 3) Berikan O2 melalui ventilator untuk memfasilitasi prosedur suction. Rasional: untuk mencegah terjadinya kekurangan oksigen (hipoksia) 4) Monitor status oksigenasi klien. Rasional: adanya dispnea menunjukkan peningkatan kebutuhan oksigen 5) Posisikan klien pada posisi semi fowler. Rasional: untuk memaksimalkan ventilasi agar O2 masuk secara optimal. 6) Lakukan suction sesuai kebutuhan Rasional: untuk mengurangi produksi lendir pada jalan nafas DX 2 : Pola napas tidak efektif b.d. bradipnea. a. Tujuan : Setelah dilakukantindakan keperawatanselama 3x24 jam polanapas menjadi efektif b. Kriteria hasil : 1) Sesak berkurang atau hilang 2) RR 16 – 24 x/menit 3) Klien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuesi dan kedalaman dalam rentang normal dan paru jelas/bersih 4) Pernapasan klien normal (16 – 20 x/menit) tanpa ada penggunaan otot bantu napas. 5) Bunyi napas normal 6) Pergerakan dinding dada normal c. Intervensi : 1) Kaji tanda dan gejala ketidakefektifan pernapasan: dispnea, penggunaan otot-otot pernapasan. Rasional: adanya dispnea dan perubahan kedalaman pernapasan menandakan adanya distress pernapasan. 2) Pantau tanda- tanda vital dan gas- gas dalam arteri. Rasional: perubahan tanda-tanda vital dan nilai gas darah merupakan indicator ketidakefektifan pernapasan. 3) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler. Rasional: posisi semi fowler untuk memaksimalkan ekspansi dada 4) Berikan terapi oksigen sesuai kebutuhan Rasional: memaksimalkan napas dan menurunkan kerja otot pernapasan. DX 3 Gangguan pertukaran gas b.d Edema paru. a. Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan dalam waktu 1x24 jam pertukaran gas membaik. b. Kriteria evaluasi : 1) Frekuensi napas 18-20/menit 2) Frekuensi nadi 75-100/menit 3) Warna kulit normal, tidak ada dipnea 4) Dapat mendemonstrasikan batuk efektif 5) Hasil analisa gas darah normal : PH (7,35 – 7,45) PO2 (80 – 100 mmHg) PCO2 ( 35 – 45 mmHg) c. Intervensi 1) Pantau status pernapasan tiap 4 jam, hasil GDA, intake, dan output. Rasional: untuk mengidentifikasi indikasi ke arah kemajuan atau penyimpangan dari hasil klien. 2) Tempatkan klien pada posisi semifowler. Rasional: posisi tegak memungkinkan ekspansi paru lebih baik. 3) Berikan terapi intravena sesuai anjuran. Rasional: untuk memungkinkan rehidrasi yang cepat dan dapat mengkaji keadaan vaskuler untuk pemberian obat-obat darurat. 4) Berikan oksigen melalui kanula nasal 4 L/menit selanjutnya sesuaikan dengan hasil PaO2. Rasional: pemberian oksigen mengurangi beban otot-otot pernapasan. 5) Kolaborasi dengan tim medis dalam memberikan pengobatan yang telah tepat serta amati bila ada tanda-tanda toksisitas. Rasional: Pengobatan untuk mengembalikan kondisi bronkhus seperti kondisi sebelumnya.
DX 4 Penurunan perfusi jaringan b.d Suplai O2 ke jaringan tidak
adekuat a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam menunjukkan peningkatan perfusi jaringan. b. Kriteria Hasil 1) Irama jantung/frekuensi dan nadi periferdalam batas normal 2) Tidak ada sianosis perifer 3) Kulit tidak kering 4) CRT <2 detik c. Intervensi 1) Observasi perubahan status mental. Rasional: gelisah, bingung, disorientasi, dan/atau perubahan sensori/motorik dapat menunjukkan gangguan aliran darah , hipoksia atau cedera vaskuler serebral sebagai akibat emboli sistemik. 2) Observasi warna dan suhu kulit/membrane mukosa. Rasional: kulit pucat atausianosis, kuku, membrane mukosa menunjukkan vasokontriksi perifer atau gangguan aliran darah sisemik. 3) Evaluasi ektremitas untuk adanya/tidak ada kualitas nadi. Catat nyeru tekan betis/pembengkakan. Rasional: EP sering dicetuskan oleh trombus yang naik dari vena profunda (pelvis atau kaki). Tanda gejala mungkin tidak tampak. 4) Tinggikan kaki/telapak kaki saat tidur. Dorong pasien untuk latihan kaki dengan fleksi/ekstensi kaki pada pergelangan kaki. Hindari penyilangan kaki dan duduk atau berdiri terlalu lama. Rasional: tindakan ini dilakukan untuk menurunkan stasis vena dikaki dan pengumpulan darah pada vena pelvis untuk menurunkan risiko pembentukan thrombus. 5) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian agen trombolitik mis. Streptokinase. Rasional: diindikasikan pada obstruksi paru berat bila pasien secara serius hemodinamik terancam.