Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KEPERAWATAN KRITIS PADA GAGAL NAFAS


A. Konsep Dasar Teori
1. Pengertian
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida
(PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau
perfusi (Susan, 2007).
Gagal nafas adalah ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan
tekanan parsial normal O2 dan atau CO2 didalam darah. Gagal nafas adalah
suatu kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen dan
karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak mampu memenuhi
metabolisme tubuh. Gagal nafas adalah suatu kegawatan yang disebabkan oleh
gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida, sehingga sistem pernafasan
tidak mampu memenuhi metabolisme tubuh. Kegagalan pernafasan adalah
pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia
(peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan asidosis. Ventilator
adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh
proses ventilasi untuk mempetahankan oksigenasi. Gagal nafas adalah
kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dan
karbondioksida yang dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS
Jantung “Harapan Kita”, 2009).
Gagal napas adalah sindroma dimana sistem respirasi gagal untuk
melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen, dan pengeluaran
karbondioksida. Keadekuatan tersebut dapat dilihat dari kemampuan jaringan
untuk memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Indikasi gagal
napas adalah PaO2 < 60mmHg atau PaCO2 > 45mmHg, dan atau keduanya.
(Bruner and Suddart 2002)
Gagal nafas terjadi apabila paru tidak lagi dapat memenuhi fungsi
primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteria dan
pembuangan karbondioksida (price& Wilson, 2005).
Gagal napas adalah ventilasi tidak adekuat disebabkan oleh
ketidakmampuan paru mempertahankan oksigenasi arterial atau membuang
karbon dioksida secara adekuat(kapita selekta penyakit, 2011)
2. Etiologi
Menurut Kowalak dkk (2011), penyebab dari gagal nafas yaitu:
a. Depresi Sistem saraf pusat : Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi
tidak adekuat. Pusat pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak
dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan
dangkal.
b. Gangguan ventilasi : Gangguan ventilasi disebabkan oleh kelainan
intrapulmonal maupun ekstrapulmonal. Kelainan intrapulmonal meliputi
kelainan pada saluran napas bawah, sirkulasi pulmonal, jaringan, dan
daerah kapiler alveolar. Kelainan ekstrapulmonal disebabkan oleh
obstruksi akut maupun obstruksi kronik. Obstruksi akut disebabkan oleh
fleksi leher pada pasien tidak sadar, spasme larink, atau oedema larink,
epiglotis akut, dan tumor pada trakhea. Obstruksi kronik, misalnya pada
emfisema, bronkhitis kronik, asma, COPD, cystic fibrosis, bronkhiektasis
terutama yang disertai dengan sepsis.
c. Gangguan kesetimbangan ventilasi perfusi (V/Q Missmatch) : Peningkatan
deadspace (ruang rugi), seperti pada tromboemboli, emfisema, dan
bronkhiektasis.
d. Trauma : Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab
gagal nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala,
ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah
pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks,
pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin
meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah
pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang
mendasar
e. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks : Merupakan kondisi yang
mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini
biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau
trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
f. Penyakit akut paru : Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus.
Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang
mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial,
atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain
yang menyababkan gagal nafas.
3. Klasifikasi
a. Klasifikasi gagal napas berdasarkan hasil analisa gas darah:
1) Gagal napas hiperkapneu
Hasil analisa gas darah pada gagal napas hiperkapneu menunjukkkan
kadar PCO2 arteri (PaCO2) yang tinggi, yaitu PaCO2>50mmHg. Hal
ini disebabkan karena kadar CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2
yang tersisih di alveolar dan PaO2 arterial menurun. Oleh karena itu
biasanya diperoleh hiperkapneu dan hipoksemia secara bersama-sama,
kecuali udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Sedangkan nilai pH
tergantung pada level dari bikarbonat dan juga lamanya kondisi
hiperkapneu.
2) Gagal napas hipoksemia
Pada gagal napas hipoksemia, nilai PO2 arterial yang rendah tetapi
nilai PaCO2 normal atau rendah. Kadar PaCO2 tersebut yang
membedakannya dengan gagal napas hiperkapneu, yang masalah
utamanya pada hipoventilasi alveolar. Gagal napas hipoksemia lebih
sering dijumpai daripada gagal napas hiperkapneu.
b. Klasifikasi gagal napas berdasarkan lama terjadinya :
1) Gagal napas akut
Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang
ditandai dengan perubahan hasil analisa gas darah yang mengancam
jiwa. Terjadi peningkatan kadar PaCO2. Gagal napas akut timbul pada
pasien yang keadaan parunya normal secara struktural maupun
fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
2) Gagal napas kronik
Gagal napas kronik terjadi dalam beberapa hari. Biasanya terjadi pada
pasien dengan penyakit paru kronik, seperti bronkhitis kronik dan
emfisema. Pasien akan mengalami toleransi terhadap hipoksia dan
hiperkapneu yang memburuk secara bertahap.
c. Klasifikasi gagal napas berdasarkan penyebab organ :
1) Kardiak
Gagal napas dapat terjadi karena penurunan PaO2 dan peningkatan
PaCO2 akibat menjauhnya jarak difusi akibat oedema paru. Oedema
paru ini terjadi akibat kegagalan jantung untuk melakukan fungsinya
sehingga terjadi peningkatan perpindahan aliran dari vaskuler ke
interstisial dan alveoli paru. Terdapat beberapa penyakit
kardiovaskuler yang mendorong terjadinya disfungsi miokard dan
peningkatan left ventricel end diastolic volume (LVEDV) dan left
ventricel end diastolic pressure (LVEDP) yang menyebabkan
mekanisme backward-forward failure. Penyakit yang menyebabkan
disfungsi miokard :
a) Infark miokard
b) Kardiomiopati
c) Miokarditis
d) Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP :
e) Meningkatkan beban tekanan : aorta stenosis, hipertensi, dan
coartasio aorta
f) Meningkatkan beban volume : mitral insufisiensi, aorta
insufisiensi
g) Hambatan pengisian ventrikel : mitral stenosis dan trikuspid
insufisiensi.
2) Non cardiac
Terjadi gangguan di bagian saluran pernapasan atas dan bawah
maupun di pusat pernapasan, serta proses difusi. Hal ini dapat
disebabkan oleh obstruksi, emfisema, atelektasis, pneumothorak, dan
ARDS
4. Tanda dan Gejala
Menurut kapita selekta panyakit (2011), tanda dan gejala gagal nafas,yaitu:
a. Pernapasan cepat
b. Gelisah
c. Ansietas
d. Bingung
e. Kehilangan konsentrasi
f. Takikardi
5. Pathway
6. Patofisiologi
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas
akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara
struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan
gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik
seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit
penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan
hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya
paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru
alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital,
frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan
yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi
tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi
(normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak
adekuatdimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang
mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla).
Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak,
ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan
menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal.
Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat
karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau
dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan
penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
7. Komplikasi
a. Hipoksia jaringan
b. Asidosis respiratorik kronis : kondisi medis dimana paru-paru tidak dapat
mengeluarkan semua karbondioksida yang dihasilkan dalam tubuh. Hal ini
mengakibatkan gangguan keseimbangan asam-basa dan membuat cairan
tubuh lebih asam, terutama darah.
c. Henti napas
d. henti jantung
8. Penatalaksanaan
a. Non Farmakologi
1) Bernafas dalam dengan bibir di kerutkan ke depan jika tidak di
lakukan intubasi dan ventilasi mekanis, cara ini di lakukan untuk
membantu memelihara patensi jalan napas.
2) Aktifitas sesuai kemampuan.
3) Pembatasan cairan pada gagal jantung.
b. Farmakologi
1) Terapi oksigen untuk meningkatkan oksigenasi dan menaikan PaO2.
2) Ventilasi mekanis dengan pemasangan pipa endotrakea atau trakeostomi
jika perlu untuk memberikan oksigenasi yang adekuat dan membalikkan
keadaan asidosis.
3) Ventilasi frekuensi tinggi jika kondisi pasien tidak nereaksi terhadap terapi
yang di berikan;tindakan ini di lakukan untuk memaksa jalan nafas
terbuka, meningkatkan oksigenasi, dan mencegah kolaps alveoli paru.
4) Pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi.
5) Pemberian bronkodilator untuk mempertahankan patensi jalan nafas.
6) Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi.
7) Pembatasan cairan pada kor pulmonaleuntuk mengurangi volume dan
beban kerja jantung.
8) Pemberian preparat inotropik positif untuk meningkatkan curah jantung.
9) Pemberian vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah.
10) Pemberian diuretik untuk mengurangi edema dan kelebihan muatan cairan.
9. Pemeriksaan Penunjang
Menurut kowalak jenifer (2011), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
gagal nfas, yaitu:
a. Pemerikasan gas-gas darah arteri
Hipoksemia Ringan : PaO2 < 80 mmHg
Hipoksemia Sedang : PaO2 < 60 mmHg
Hipoksemia Berat : PaO2 < 40 mmHg
b. Oksimetri nadi dapat menunjukkan penurunan saturasi oksigen arterial.
c. Kadar hemoglobin serum dan hematokrit menunjukkan penurunan
kapasitas mengangkut oksigen.
d. Elektrolit menunjukkan hipokalemia dan hipokloremia
Hipokalemia dapat terjadi karena hiperventilasi kompensasiyang
merupakan upaya tubuh untuk mengoreksi asidosis. Hipokloremia
biasanya terjadi alkalosis metabolik. Pemeriksaan kultur darah dapat
menemukan kuman patogen.
e. Kateterisasi arteri pulmonalis membantu membedakan penyebab pulmoner
atau kardiovaskuler pasa gagal nafas akut dan memantau tekanan
hemodinamika.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering muncul adalah gejala sesak nafas atau
peningkatan frekuensi nafas. Secara umum perlu dikaji tentang gambaran
secara menyeluruh apakah klien tampak takut, mengalami sianosis, dan
apakah tampak mengalami kesukaran bernafas.
c. Riwayat kesehatan Sekarang
Apakah diantara keluarga klien yang mengalami penyakit yang sama
dengan penyakit yang dialami klien
d. Riwayat Kesehatan Terdahulu
Apakah ada riwayat gagal nafas terdahulu, kecelakaan/trauma,
mengkonsumsi obat berlebihan.
e. Dasar Data Pengkajian
1) Aktivitas/ Istirahat
Gejala :kekurangan energi/ kelelahan, insomnia
2) Sirkulasi
Gejala: riwayat adanya bedah jantung- paru ,fenomena
embolik(darah,udara,lemak).
Tanda: tekanan darah dapat normal atau meningkat pada awal
(berlanjut menjadi hipoksia) ;hipotensi terjadi pada tahap lanjut
(syok) atau terdapat faktor pencetus seperti pada eklampsi
Frekuensi jantung: takikardi biasanya ada
Bunyi jantung: normal pada tahap dini; S3 mungkin terjadi .distritmia
dapat terjadi, tetapi EKG sering normal.
Kulit dan membran mukosa : pucat, dingin. Sianosis biasanya terjadi
(tahap lanjut).
3) Integritas Ego
Gejala : Ketakutan, ancaman perasaan takut
Tanda : Gelisah, agitasi, gemetar, mudah terangsang, perubahan
mental.
4) Makanan /Cairan
Gejala : Kehilangan selera makan, mual.
Tanda : Edema/ perubahan berat badan. Hilang / berkurangnya bunyi
usus.
5) Neurosensori
Gejala/Tanda : Adanya trauma kepala, mental lamban,disfungsi
motorik.
6) Pernapasan
Gejala : Adanya aspirasi/tenggelam, inhalasi asap/gas, infeksi difus
paru, timbulnya tiba-tiba atau bertahap, kesulitan napas, lapar udara
Tanda :
a) Pernafasan : Cepat, mendengkur, dangkal
b) Peningkatan kerja napas : Penggunaan otot aksesori pernafasan,
contoh retraksi interkostal atau substernal, pelebaran nasal,
memerlukan oksigen konsentrasi tinggi.
c) Bunyi napas : Pada awal normal, krekels, ronkhi, dan dapat
terjadi bunyi napas bronkial.
d) Perkusi dada : Bunyi pekak di atas area konsolidasi
e) Ekspansi dada menurun atau tidak sama, peningkatan fremitus
(getar vibrasi pada dinding dada dengan palpitasi), sputum
sedikit, berbusa, pucat atau sianosis, penurunan mental , bingung.
7) Keamanan
Gejala : Riwayat trauma ortopedik/fraktur,sepsis,tranfusi
darah,episode anafilaktik.
8) Seksualitas
Gejala/Tanda : Kehamilan dengan adanya komplikasi eklampsia
9) Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Makan/kelebihan dosis obat
f. Pemariksaan Fisik
1) Keadaan umum: kaji tentang kesadara klien, kecemasan, kegelisahan,
kelemahan suara bicara. Denyut nadi, frekuensi nafas yang meingkat,
penggunaan otot-otot bantu pernafasan, sianosis.
2) B1 (Breathing)
a) Inspeksi
Kesulitan bernafas tampak dalam perubahan irama dan frekuensi
pernafasan. Keadaan normal frekuensi pernafasan 16-20x/menit
dengan amplitude yang cukup besar. Jika seseorang bernafas
lambat dan dangkal, itu menunjukan adanya depresi pusat
pernafasan. Penyakit akut paru sering menunjukan frekuensi
pernafasan > 20x/menit atau karena penyakit sistemik seperti
sepsis, perdarahan, syok, dan gangguan metabolic seperti diabetes
militus.
b) Palpasi
Perawat harus memerhatikan pelebaran ICS dan penurunan taktil
fremitus yang menjadi penyebab utama gagal nafas.
c) Perkusi
Perkusi yang dilakukan dengan saksama dan cermat dapat
ditemukan daerah redup- sampai daerah dengan daerah nafas
melemah yang disebabkkan oleh peneballan pleura, efusi pleura
yang cukup banyak, dan hipersonor, bila ditemukan
pneumothoraks atau emfisema paru.
d) Auskultasi
Auskultasi untuk menilai apakah ada bunyi nafas tambahan
seperti wheezing dan ronki serta untuk menentukan dengan tepat
lokasi yang didapat dari kelainan yang ada.
3) B2 (Blood)
Monitor dampak gagal nafas pada status kardovaskuler meliputi
keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah dan CRT.
4) B3 (Brain)
Pengkajian perubahan status mental penting dilakukan perawat karena
merupakan gejala sekunder yang terjadi akibat gangguan pertukaran
gas. Diperlukanan pemeriksaan GCS unruk menentukan tiingkat
kesadaran.
5) B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urin perlu dilakukan karena berkaitan
dengan intake cairan. Oleh karena itu, perlu memonitor adanya
oliguria, karena hal tersebut merupaka tanda awal dari syok.
6) B5 (Bowel)
Pengkajian terhadap status nutrisi klien meliputi jumlah, frekuensi dan
kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhanya. Pada klien sesak
nafas potensial terjadi kekurangan pemenuhan nutrisi, hal ini karena
terjadi dipnea saat makan, laju metabolism, serta kecemasan yang
dialami klien.
7) B6 (Bone)
Dikaji adanya edema ekstermitas, tremor, tanda-tanda infeksi pada
ekstermitas, turgon kulit, kelembaban, pengelupasan atau bersik pada
dermis/ integument.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d. penumpukan sekret.
b. Pola napas tidak efektif b.d. bradipnea.
c. Gangguan pertukaran gas b.d Edema paru.
d. Penurunan perfusi jaringan b.d Suplai O2 ke jaringan tidak adekuat
3. Rencana Keperawatan
DX 1: Bersihan jalan napas tidak efektif b.d. penumpukan sekret.
a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatam selama 3X24 jam jalan
nafas pasien bersih/jelas.
b. Kriteria Hasil :
1) Suara nafas bersih,tidak ada suara snoring atau suara tambahan yang
lain
2) Irama nafas regular
3) frekuensi nafas dalam rentang normal.
c. Intervensi
1) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
Rasional: suara tambahan seperti snoring dan crackels
mengindikasikan penumpukan sekret
2) Informasikan pada keluarga tentang tindakan suction yang dilakukan
pada klien.
Rasional: meminimalkan kecemasan keluarga.
3) Berikan O2 melalui ventilator untuk memfasilitasi prosedur suction.
Rasional: untuk mencegah terjadinya kekurangan oksigen (hipoksia)
4) Monitor status oksigenasi klien.
Rasional: adanya dispnea menunjukkan peningkatan kebutuhan
oksigen
5) Posisikan klien pada posisi semi fowler.
Rasional: untuk memaksimalkan ventilasi agar O2 masuk secara
optimal.
6) Lakukan suction sesuai kebutuhan
Rasional: untuk mengurangi produksi lendir pada jalan nafas
DX 2 : Pola napas tidak efektif b.d. bradipnea.
a. Tujuan : Setelah dilakukantindakan keperawatanselama 3x24 jam
polanapas menjadi efektif
b. Kriteria hasil :
1) Sesak berkurang atau hilang
2) RR 16 – 24 x/menit
3) Klien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuesi dan kedalaman
dalam rentang normal dan paru jelas/bersih
4) Pernapasan klien normal (16 – 20 x/menit) tanpa ada penggunaan otot
bantu napas.
5) Bunyi napas normal
6) Pergerakan dinding dada normal
c. Intervensi :
1) Kaji tanda dan gejala ketidakefektifan pernapasan: dispnea,
penggunaan otot-otot pernapasan.
Rasional: adanya dispnea dan perubahan kedalaman pernapasan
menandakan adanya distress pernapasan.
2) Pantau tanda- tanda vital dan gas- gas dalam arteri.
Rasional: perubahan tanda-tanda vital dan nilai gas darah merupakan
indicator ketidakefektifan pernapasan.
3) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
Rasional: posisi semi fowler untuk memaksimalkan ekspansi dada
4) Berikan terapi oksigen sesuai kebutuhan
Rasional: memaksimalkan napas dan menurunkan kerja otot
pernapasan.
DX 3 Gangguan pertukaran gas b.d Edema paru.
a. Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan dalam waktu 1x24 jam
pertukaran gas membaik.
b. Kriteria evaluasi :
1) Frekuensi napas 18-20/menit
2) Frekuensi nadi 75-100/menit
3) Warna kulit normal, tidak ada dipnea
4) Dapat mendemonstrasikan batuk efektif
5) Hasil analisa gas darah normal :
PH (7,35 – 7,45)
PO2 (80 – 100 mmHg)
PCO2 ( 35 – 45 mmHg)
c. Intervensi
1) Pantau status pernapasan tiap 4 jam, hasil GDA, intake, dan output.
Rasional: untuk mengidentifikasi indikasi ke arah kemajuan atau
penyimpangan dari hasil klien.
2) Tempatkan klien pada posisi semifowler.
Rasional: posisi tegak memungkinkan ekspansi paru lebih baik.
3) Berikan terapi intravena sesuai anjuran.
Rasional: untuk memungkinkan rehidrasi yang cepat dan dapat
mengkaji keadaan vaskuler untuk pemberian obat-obat darurat.
4) Berikan oksigen melalui kanula nasal 4 L/menit selanjutnya sesuaikan
dengan hasil PaO2.
Rasional: pemberian oksigen mengurangi beban otot-otot pernapasan.
5) Kolaborasi dengan tim medis dalam memberikan pengobatan yang
telah tepat serta amati bila ada tanda-tanda toksisitas.
Rasional: Pengobatan untuk mengembalikan kondisi bronkhus seperti
kondisi sebelumnya.

DX 4 Penurunan perfusi jaringan b.d Suplai O2 ke jaringan tidak


adekuat
a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
menunjukkan peningkatan perfusi jaringan.
b. Kriteria Hasil
1) Irama jantung/frekuensi dan nadi periferdalam batas normal
2) Tidak ada sianosis perifer
3) Kulit tidak kering
4) CRT <2 detik
c. Intervensi
1) Observasi perubahan status mental.
Rasional: gelisah, bingung, disorientasi, dan/atau perubahan
sensori/motorik dapat menunjukkan gangguan aliran darah , hipoksia
atau cedera vaskuler serebral sebagai akibat emboli sistemik.
2) Observasi warna dan suhu kulit/membrane mukosa.
Rasional: kulit pucat atausianosis, kuku, membrane mukosa
menunjukkan vasokontriksi perifer atau gangguan aliran darah
sisemik.
3) Evaluasi ektremitas untuk adanya/tidak ada kualitas nadi. Catat nyeru
tekan betis/pembengkakan.
Rasional: EP sering dicetuskan oleh trombus yang naik dari vena
profunda (pelvis atau kaki). Tanda gejala mungkin tidak tampak.
4) Tinggikan kaki/telapak kaki saat tidur. Dorong pasien untuk latihan
kaki dengan fleksi/ekstensi kaki pada pergelangan kaki. Hindari
penyilangan kaki dan duduk atau berdiri terlalu lama.
Rasional: tindakan ini dilakukan untuk menurunkan stasis vena dikaki
dan pengumpulan darah pada vena pelvis untuk menurunkan risiko
pembentukan thrombus.
5) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian agen trombolitik mis.
Streptokinase.
Rasional: diindikasikan pada obstruksi paru berat bila pasien secara
serius hemodinamik terancam.

Anda mungkin juga menyukai