Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Biologi Tumbuhan Piladang (Solenostemon scutellarioides (L.)Codd)


2.1.1. Klasifikasi
Tumbuhan Piladang (Solenostemon scutellarioides (L.) Codd) menurut Hidayat

dan Hutapea (1991) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Class : Dicotyledonae

Ordo : Solanales

Family : Lamiaceae atau Labiatae

Genus : Coleus

Spesies : Solenostemon scutellarioides (L). Codd

Sinonim : Coleus scutellarioides (L) Benth

Plectranthus scutellarioides

2.1.2. Nama Daerah

Nama umum tumbuhan ini adalah miana atau mayana. Tumbuhan ini dikenal

masyarakat Indonesia dengan nama daerah yaitu si gresing (Batak), adang-adang

(Palembang), miana dan piladang (Sumbar), jawer kotok (Sunda), iler dan kentangan

(Jawa), ati-ati dan saru-saru (Bugis) dan majana (Madura) (Dalimartha, 2008).

2.1.3. Tempat Tumbuh Piladang (Solenostemon scutellarioides (L.) Codd)

Tumbuhan piladang tumbuh subur didaerah dataran rendah sampai pergunungan

dengan tinggi 1400 meter diatas permukaan laut. Daun piladang banyak tumbuh

dihalaman rumah atau didalam pot bunga. Terkadang tumbuh liar ditanah-tanah tak

5
terawat, tepi ladang atau tepi saluran irigasi. Piladang sangat cocok terhadap sinar

matahari, akan semakin cemerlang warna daunnya (Suhono, 2010).

2.1.4. Morfologi Tumbuhan Piladang(Solenostemon scutellarioides (L.) Codd)

Tumbuhan piladang memiliki batang herba, tegak atau berbaring pada

pangkalnya dan merayap tinggi berkisar 30-150 cm, dan termasuk kategori tumbuhan

basah yang batangnya mudah patah. Daun tunggal, helaian daun berbentuk hati, pangkal

membulat atau melekuk menyerupai bentuk jantung dan setiap tepiannya dihiasi lekuk-

lekuk tipis yang bersambungan dan didukung tangkai daun dengan panjang tangkai 3-4

cm yang mewakili warna beraneka ragam dan ujung meruncing dan tulang daun

menyirip berupa alur. Batang bersegi empat dengan alur yang agak dalam pada masing-

masing sisinya, berambut, percabangan banyak, berwarna ungu kemerahan. Permukaan

daun agak mengkilap dan berambut halus panjang dengan panjang 7-11 cm, lebar 3-6

cm berwarna ungu kecoklatan sampai ungu kehitaman. Bunga berbentuk untaian bunga

bersusun, muncul pada pucuk tangkai batang berwarna putih, merah dan ungu.

Tumbuhan piladang memiliki aroma bau yang khas dan rasa yang agak pahit, serta

sifatnya dingin. Buah keras berbentuk seperti telur dan licin. Jika seluruh bagian

diremas akan mengeluarkan bau yang harum. Untuk memperbanyak tanaman ini

dilakukan dengan cara stek batang dan biji, (Yuniarti,2008).

2.1.5. Kegunaan

Tumbuhan piladang (Solenostemon scutellarioides (L.)Codd) adalah salah satu

flora kekayaan Indonesia yang mempunyai banyak manfaat. Selain sebagai tanaman

hias, piladang juga telah digunakan sebagai obat tradisional. Tumbuhan piladang

bermanfaat untuk menyembuhkan hepatitis, menurunkan demam, batuk dan influenza.

6
Daun tumbuhan piladang ini berkhasiat untuk penetralisir racun (antitoksik),

menghambat pertumbuhan bakteri (antiseptik), mempercepat pematangan bisul,

gangguan pencernaan makanan (dispepsi), radang paru, gigitan ular berbisa dan

serangga (Dalimartha, 2008). Tumbuhan piladang dapat juga menyembuhkan radang

telinga, antelmetik, tetapi dengan catatan ibu hamil dilarang meminum rebusan daun

piladang ini karena dapat menyebabkan keguguran (Yuniarti, 2008). Daun piladang ini

juga dapat mengatasi diabetes mellitus, mengobati wasir, gangguan haid, keputihan.

Selain itu akarnya berkhasiat untuk diare dan mulas (Wijayakusuma, 2004). Dan juga

dapat meredakan rasa nyeri, sebagai antiinflamasi, antioksidan, antimikroba, antibakteri,

dan dapat mempercepat penyembuhan luka (Rahmawati, 2008)

2.2. Tinjauan Kimia

Berdasarkan uji fitokimia yang dilakukan (Manjang, 2001), tumbuhan piladang

mengandung senyawa metabolit sekunder seperti steroid, flavonoid dan triterpenoid.

Selain itu daun piladang juga mengandung saponin, polifenol, zat zat alkaloida, mineral

dan minyak atsiri antara lain karvakrol, eugenol, etil salisilat (Hidayat& Hutapea, 1991).

Adapun Senyawa yang sudah diisolasi dari daun piladang seperti flavonoid (Saragih,

2011).

2.2.1. Flavanoid

a. Monografi

Gambar 1. Struktur Flavonoid

7
Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman

hijau. Flavonoid terdapat dalam semua bagian tumbuhan seperti batang, daun, bunga,

buah dan akar. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom

karbon, yang tersusun dalam konfigurasi C6C3C6. Terdiri dari 2 cincin aromatik yang

dihubungkan oleh tiga buah karbon yang dapat atau tidak membentuk cincin ketiga

(Markham, 1988).

Flavonoid merupakan suatu senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus

hidroksil atau gugus gula, sehingga akan larut dalam pelarut polar seperti methanol,

etanol, butanol dan air. Dengan adanya gula yang terikat pada flavonoid ini, maka

cenderung menyebabkan flavonoid itu lebih mudah larut dalam air, dan demikian

campuran pelarut di atas dengan air merupakan pelarut yang baik untuk glikosidanya

(Harborne, 1987).

b. Identifikasi

Sebanyak ± 4 gram sampel dipotong halus dan didihkan dalam 25 ml etanol,

saring selagi panas. Filtrat yang didapatkan diuapkan sampai setengahnya, kemudian

tambahkan asam klorida pekat 0,1 ml dan sedikit serbuk logam Mg. Adanya flavonoid

ditandai dengan timbulnya warna orange sampai merah (Harborne, 1987).

c. Penetapan Kadar

Ambil ekstrak sebanyak 0,5 mL tambah 1,5 mL metanol, tambah 0,1 mL

aluminium klorida 10%, tambah 0,1 mL potassium asetat 1 M dan tambahkan air suling

2,8 mL, biarkan 10 menit dan ukur panjang gelombang maksimal dengan

spektrofotometer UV-Visible (Pourmorad, 2006).

8
d. Isolasi

Isolasi dapat dilakukan dengan cara menimbang, mencuci, dan mengeringkan

terlebih dahulu, kemudian diekstraksi. Ekstraksi dapat dilakukan dengan cara maserasi,

perkolasi dan sokletasi menggunakan pelarut yang sesuai dengan kepolaran flavonoid,

kemudian pelarut dipekatkan sampai volume yang dibutuhkan dan dibebaskan dari

senyawa-senyawa non polar menggunakan N-hekasan atau kloroform, lalu difraksinasi

dengan pelarut yang cocok dan selanjutnya dilakukan pada tahap kromatografi

(Harborne, 1987).

2.2.2. Steroid

a. Monografi

Gambar 2. Struktur Steroid

Steroid adalah senyawa triterpenoida yang kerangka dasarnya sistem cincin

siklopentanoperhidropenantren. Senyawa ini tersebar luas di alam dan mempunyai

fungsi biologis yang sangat penting misalnya untuk antiinflamasi (Harborne, 1987).

Beberapa jenis senyawa steroid yang digunakan dalam dunia obat-obatan antara

lain estrogen merupakan jenis steroid hormon seks yang digunakan untuk kontrasepsi

sebagai penghambat ovulasi, progestin merupakan steroid sintetik digunakan untuk

mencegah keguguran dan uji kehamilan, glikokortikoid sebagai antiinflamasi, alergi,

9
demam, leukemia, dan hipertensi serta kardenolida merupakan steroid glikosida jantung

digunakan sebagai obat diuretik dan penguat jantung (Doerge, 1982).

b. Identifikasi

Sampel sebanyak ± 1 ml dicampur dengan 3 ml kloroform atau 3 ml etanol 70%

dan ditambah 2 ml asam asetat anhidrat (Reagen Liebermann-Burchard). Perubahan

warna dari ungu ke biru atau hijau menunjukkan adanya steroid (Harborne, 1987).

c. Penetapan Kadar

Ambil ekstrak 0,2 ml diencerkan dengan aquadest sampai 10 ml. kemudian

lakukan pengukuran dengan spektrofotometer UV-Visible pada panjang gelombang 365

nm (Stahl, 1985).

d. Isolasi

Isolasi dapat dilakukan dengan cara menimbang, mencuci, dan mengeringkan

terlebih dahulu, kemudian diekstraksi. Ekstraksi dapat dilakukan dengan cara maserasi,

perkolasi dan sokletasi menggunakan pelarut yang sesuai dengan kepolarannya.

Kemudian pelarut dipekatkan sampai volume yang dibutuhkan dan dibebaskan dari

senyawa-senyawa non polar menggunakan N-heksan atau kloroform, lalu difraksinasi

dengan pelarut yang cocok dan selanjutnya dilakukan pada tahap kromatografi

(Harborne, 1987).

2.2.3. Tannin

a. Monografi

Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yang termasuk ke dalam golongan

polifenol dengan rasa sepat. Senyawa taninini banyak dijumpai pada

tumbuhan.Tanin secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang

10
memiliki berat molekul cukup tinggi (lebih dari 1000) dan dapa tmembentuk

kompleks dengan protein (Harbone, 1987).

b. Identifikasi

Sebanyak 0,5 g ekstrak disari dengan 10 ml air suling lalu dipanaskan, disaring.

Filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 ml

dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%, jika terjd warna biru atau hijau

kehitaman menunjuk kanadanya tannin (Depkes RI, 1979).

c. Penetapan Kadar

Sebanyak 0,5 mL larutan ekstrak dimasukkan dalam vial kemu diantambahkan 5

mL pereaksi Folin Ciolcalteu yang sudah diencerkan dengan aquadest1:10. Kemudian

tambahakan 4 mL larutan natrium karbonat 1 M, kocok sampai homogen, biarkan

selama 15 menit. Diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum dengan

spektrofotometer Uv-Vis (Pourmorad, 1996)

d. Isolasi

Isolasi zat dari bahan alam dimulai dengan metode ekstraksi dan fraksinasi.

Sampel diekstraksi dengan pelarut polar selama beberapa hari dengan cara dimaserasi,

selanjutnya dilakukan pemekatan ekstrak dengan menggunakan rotary evaporator

sehingga didapatkan eksrtak kental. Ekstrak kental tersebut selanjutnya difraksinasi

dengan menggunakan beberapa pelarut. Hasil fraksinasi kemudian dianalisa

menggunakan metode kromatografi (Harborne, 1987).

2.3. Tinjauan Farmakologi

Secara tradisional daun tumbuhan piladang digunakan untuk membantu

menghilangkan rasa nyeri (karena mengandung eugenol), kandungan tymolnya bersifat

11
antelmetik, dan senyawa aktif karvakrol yang terkandung dalam minyak atsiri daun

piladang ini bersifat antibakteri untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri.

Ekstrak daun piladang juga memiliki aktivitas antiinflamasi dengan menekan fase akhir

dari proses inflamasi yaitu dengan menghambat cyclo-oxygenase yang terlihat dalam

pembentukan prostaglandin. Kandungan saponinnya dapat menurunkan kadar glukosa

darah dengan menghambat pengosongan lambung dan mempunyai aktivitas seperti

insulin. Antosianin pada tumbuhan piladang bersifat antioksidan yang dapat digunakan

untuk mengurangi stres oksidatif pada diabetes. Sedangkan akarnya dapat mengatasi

perut mulas dan diare (Dalimartha, 2008).

2.4. Tinjauan Farmasetika.

Dari hasil penelitian tumbuhan piladang telah terbukti kaya akan kandungan

flavonoid. Salah satu bentuk sediaan dari daun piladang adalah Jamu yang diberi nama

sediaan Daun Iler yang dikemas dalam bentuk kapsul mengandung ekstrak Coleus

scutellarioides (L) folium. Obat ini berkhasiat mengatasi terlambat haid, membantu

meredakan wasir (ambeien), mengatasi keputihan, diabetes militus, demam, diare (sakit

perut) dan bisul. Aturan pakai dari obat ini adalah 3x2 kapsul/hari.

2.5. Tinjauan Umum


2.5.1. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan senyawa kimia dari tumbuh-

tumbuhan, hewan dan lain-lain dengan menggunakan pelarut tertentu. Teknik umum

yang digunakan dalam proses ekstraksi adalah dengan cara maserasi, sokletasi,

perkolasi dan perebusan. Sedangkan ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh

dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani dengan menggunakan

pelarut yang cocok, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa

12
atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang

telah ditetapkan (Harborne,1987).

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibedakan atas 2 cara yaitu

(Depkes RI, 2000) :

1. Cara Dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses ekstraksi sederhana dengan cara merendam bahan

alam atau tumbuhan dalam pelarut dan waktu tertentu dengan beberapa kali

pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar. Secara teknologi termasuk

ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan.

Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu. Remaserasi

berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan

penyaringan maserat pertama dan seterusnya. Maserasi ini bertujuan untuk

menarik zat-zat berkhasiat dari simplisia, baik simplisia dengan zat berkhasiat

yang tidak tahan pemanasan maupun yang tahan pemanasan.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah proses ekstraksi dengan cara melewatkan pelarut secara

lambat pada simplisia dalam suatu alat perkolator pada suhu kamar. Proses ini

terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi

sebenarnya (penetasan atau penampungan ekstrak) terus-menerus sampai

diperoleh ekstrak atau perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

13
2. Cara Panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada suhu titik didihnya selama

waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya

pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu

pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu

dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digestasi

Digestasi adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada suhu

yang lebih tinggi dari suhu kamar yaitu secara umum dilakukan pada suhu

40-50oC. Cara ini dilakukan untuk simplisia yang pada suhu kamar tidak

terekstrak dengan baik.

d. Infusa

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan ekstraksi simplisia nabati

dengan air pada suhu 90oC selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekokta

Dekokta adalah suatu proses ekstraksi yang hampir sama dengan infusa,

tetapi dekokta dipanaskan selama 30 menit sampai dengan 90oC. Cara ini

dapat dilakukan untuk simplisia yang tidak mengandung minyak atsiri atau

simplisia yang mengandung bahan yang tahan terhadap pemanasan.

14
Faktor yang berpengaruh pada mutu ekstrak adalah (Depkes RI, 2000):

1. Faktor biologi, mutu ekstrak dipengeruhi dari bahan asal (tumbuhan obat),

dipandang secara khusus dari segi biologi yaitu identitas jenis, lokasi

tumbuhan asal, periode pemenenan, penyimpanan bahan, umur tumbuhan

dan bagian yang digunakan.

2. Faktor kimia, mutu ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan obat),

dipandang secara khusus dari kandungan kimia, yaitu:

a. Faktor internal, seperti jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisis

kualitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif.

b. Faktor eksternal, seperti metode ekstraksi perbandingan ukuran alat

ekstraksi, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam

berat, ukuran kekerasan, dan kekeringan bahan.

2.5.2 Salep
a. Definisi salep
Salep adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit

atau selaput lendir. Dasar salep yang digunakan sebagai pembawa dibagi dalam 4

kelompok: dasar salep senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar salep yang dapat

dicuci dengan air, dasar salep larut dalam air. Setiap salep obat menggunakan salah satu

dasar salep tersebut (Depkes RI, 1995).

Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan sebagai obat luar. Bahan

obat harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok (Depkes RI,1979).

15
b.Penggolongan Salep

1. Menurut Konsistensinya salep dapat dibagi:

a. Unguenta adalah salep yang mempunyai konsistensinya seperti mentega,

tidakmencair pada suhu biasa, tetapi mudah dioleskan tanpa memakai tenaga.

b. Cream (krim) adalah salep yang banyak mengandung air, mudah diserap kulit,

suatu tipe yang dapat dicuci dengan air.

c. Pasta adalah salep yang mengandung lebih dari 50% zat padat (serbuk), suatu

salep tebal karena merupakan penutup atau pelindung bagian kulit yang

diolesi.

d. Cerata adalah salep lemak yang mengandung presentase lilin (wax) yang

tinggi sehingga konsistensinya lebih keras (ceratum labiale).

e. Gelones/spumae/jelly adalah salep yang lebih halus, umumnya cair dan sedikit

mengandung atau tanpa mukosa, sebagai pelicin atau basis, biasanya terdiri

atas campuran sederhana dari minyak dan lemak dengan titik lebur rendah.

Contoh: starch jellies (10% amilum dengan air mendidih).

2. Menurut sifat farmakologi/terapeutik dan penetrasinya, salep dapat dibagi:

a. Salep epidermis digunakan untuk melindungi kulit dan menghasilkan efek

lokal, tidak diabsorpsi, kadang-kadang ditambahkan antiseptik anstrigensia

untuk meredakan rangsangan atau anasteti lokal. Dasar salep yang baik adalah

dasar salep senyawa hidrokarbon.

16
b. Salep endodermis adalah salep yang bahan obatnya menembus ke dalam

kulit, tetapi tidak melalui kulit, terabsorpsi sebagian, digunakan untuk

melunakkan kulit atau selaput lendir. Dasar salep yang terbaik adalah minyak

lemak.

c. Salep diadermis adalah salep yang bahan obatnya menembus ke dalam tubuh

melalui kulit dan mencapai efek yang diinginkan, misalnya salep yang

mengandung senyawa merkuri iodida, beladona.

3. Menurut dasar salepnya. Salep dapat dibagi:

a. Salep hidrofobik yaitu salep yang tidak suka air atau salep dengan dasar salep

berlemak (greasy bases) tidak dapat dicuci dengan air misalnya campuran

lemak-lemak dan minyak lemak.

b. Salep hidrofilik yaitu salep yang suka air atau kuat menarik air, biasanya dasar

tipe M/A (Syamsuni, 2006).

c. Kualitas Dasar Salep

Kualitas dasar salep yang ideal adalah:

a. Satabil selama masih dipakai mengobati. Maka salep harus bebas dari

inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar dan kelembapan yang ada dalam

kamar.

b. Lunak yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak

dan homogen, sebab salep digunakan untuk kulit yang teriritasi, inflamasi dan

ekskoriasi.

17
c. Mudah dipakai, umumnya salep tipe emulsi adalah yang apling mudah dipakai

dan dihilangkan dari kulit

d. Dasar salep yang cocok yaitu dasar salep harus kompatibel secara fisika dan

kimia dengan obat yang dikandungnya. Dasar salep tidak boleh merusak atau

menghambat aksi terapi dari obat yang mampu melepas obatnya pada daerah

yang diobati.

e. Terdistribusi merata, obat harus terdistribusi merata melalui dasar salep padat

atau cair pada pengobatan.

f. Lembut, mudah dioleskan serta mudah melepaskan zat aktif (Anief, 2007).

Pemilihan dasar salep tergantung pada beberapa faktor seperti khasiat yang

diinginkan, sifat obat yang dicampurkan, ketersediaan hayati, stabilitas dan ketahanan

sediaan jadi. Dalam beberapa hal perlu menggunakan dasar salep yang kurang ideal untuk

mendapatkan stabilitas yang diinginkan. Misalnya obat-obat yang terhidrolisis, lebih stabil

dalam dasar salep hidrokarbon dari pada dasar salep yang mengandung air, meskipun obat

tersebut bekerja lebih efektif dalam dasar salep yang mengandung air, meskipun obat

tersebut bekerja lebih efektif dalam dasar salep yang mengandung air (Dirjen POM, 1995).

d. Persyaratan Salep (Syamsuni, 2006).

Berikut ini adalah persyaratan dari salep yang baik:

1. Pemerian: tidak boleh berbau tengik

2. Kadar: kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mengandung obat keras, kadar

bahan obat adalah 10%.

18
3. Dasar salep (ds): kecuali dinyatakan lain, sebagai bahan dasar salep (basis salep)

digunakan vaselin putih (vaselin album). Tergantung dari sifat bahan obat dan tujuan

pemakaian salep.

4. Homogenitas: jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang

cocok, harus menunjukkan susunan yang homogen.

5. Penandaan: pada etiket harus tertera “obat luar” .

2.5.3. Luka
a. Definisi Luka (Karakata dan Bachsinar, 1995)
Luka adalah suatau keadaan kerusakan jaringan dan dapat mengenai struktur

yang lebih dalam dari kulit sererti, syaraf, oto atau membran. Luka, cacat atau

kerusakan kulit dan jaringan di bawahnya dapat disebabkan oleh :

1. Trauma mekanis yang disebabkan oleh terpotong, tergesek, terpukul, terkepit

dan terbentur.

2. Trauma elektris yang disebabkan oleh cedera akibat listrik dan petir

3. Trauma termis yang di sebabkan oleh panas atau dingin

4. Trauma kimia yang di sebabkan oleh zat asam atau basa dan zat iritatif lainnya.

b. Klasifikasi Luka

1. Berdasarkan penyebabnya, klasifikasi luka adalah (Ambarwati, 2009) :

a. Luka disengaja, contoh : luka terkena radiasi atau luka bedah

b. Luka tidak disengaja, dibagi menjadi 2 yaitu :

 Luka tertutup : luka tertutup jika tidak terjadi robekan

19
 Luka terbuka : luka terbuka jika terjadi robekan dan kelihatan seperti luka

abrasi, yaitu luka akibat gesekan, luka puncture, yakni luka akibat tusukan

hautration( luka akibat alat-alat peratalan luka ).

2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka ( Parabakti, 2005):

a. Stadium I : Luka “Superfisial” (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang

terjadi pada lapisan epidermis kulit.

b. Stadium II : Luka “Partikal Thickness” : yaitu hilangnya lapiasan kulit pada

lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis, adanya tanda klinis seperti

lubang yang dangkal.

c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangyan kulit keseluruhan

meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas

sampai bawah tetapi tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Luka

sampai pada lapisan epidermis, dermis, dan fasia tetapi tidak mengenai otot.

Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau

tanpa merusak jaringan sekitarnya.

d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai la[isan otot,

tendon dan tulang dengan adanya kerusakan yang luas.

3. Berdasarkan waktu penyembuhan luka (Prabakti, 2005) :

a. Luka akut : luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep

penyembuhan yang telah disepakati. Kriteria luka akut adalah luka baru,

mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan,

contoh: luka sayat, luka bakar, luka tusuk.

20
b. Luka kronis: luka yang mengalami kegagalan dalam penyembuhan, dapat

terjadi karena faktor endogen dan eksogen. Pada luka kronik gagal sembuh

pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan

punya tendensi timbul kembali, contoh: ulkus dekubitus, ulkus venous dan

lain-lain.

c. Fase Penyembuhan Luka (Syamsudidajat, 2003)

Penyambuhan luka dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu:

1. Fase inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai sekitar hari ke-

5. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan pendarahan dan

tubuh akan berubah menghentikannya dengan vasokontriksi, pengeruitan ujung

pembuluh darah yang putus (retraksi) dan reaksi hemostatis terjadi karena

trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melekat, dan bersama jala

fibrin yang terbentuk, membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah.

Sementera itu, terjadi reaksi inflamasi.

Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamine yang

meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi dan perangsangan

sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan

pembengkakan. Tanda dan gejala klinis reaksi radang menjadu jelas yang berupa

kemerahan katena kapiler melebar (rubor), rasa hanngat (kalor), nyari (donor)

dan pembengkakan (tumor).

Aktifasi seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus

pembuluh darah (diapedesi) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit

21
mengandung enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran

luka. Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut menghancurkan dan

memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase

lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya

dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah.

2. Fase proliferasi

Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasma karena yang menonjol

adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase

inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ke-3. Fibroblas berasal dari sel

mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam

aminoglikosida, prolin yang merupakan bahan dasar serat kolagen yang akan

mempertautkan tepi luka.

Fase ini, serat-serat dibentuk dan di hancurkan kembali untuk

penyesuaian diri dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini,

menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini, kekuatan tegangan luka

mencapai 25% jaringan normal. Nantinya dalam proses penyudahan, kekuatan

serat kolagen bertambah karena ikatan interamolekul dan antarmolekul.

Pada fase fibroflasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast dan

kolagen, membentuk jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri atas sel

basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya

kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses migrasi. Proses migrasi

terjadi kearah yang lebih rendah atau datar. Proses ini baru berhenti setelah

epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan

22
tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan

granulasi juga terhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase penyudahan.

3. Fase penyudahan (maturasi)

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan

kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi dan

akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dapat

berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang

sudah lenyap. Udem dan sel radang diserap, kapiler baru menutrup dan diserap

kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan

rerangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis

dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar dan terlihat pengerutan malsimal

pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan

kira-kira 80% kemampuan kulit normal.

d. Faktor-Faktor Penyembuhan Luka (Suriadi, 2004).

Faktor yang mempengaruhi pada penyembuhan luka dapat di bagi menjadi dua

faktor, yaitu :

1. Faktor sistemik

 Usia

Pada usia lanjut proses penyembuhan luka lebih lama dibandingkan dengan

usia muda, faktor ini karena kemungkinan adanya proses degenerasi, tidak

maksimalnya pemasukan makanan, menurunnya kekebalan dan menurunnya

sirkulasi.

23
 Nutrisi

Faktor nutrisi sangat penting dalam penyembuhan luka. Pada pasien yang

mengalami penurunan tingkat serum albumin, total limfosit dan transferin

adalah menurunkan resiko terhambatnya proses penyembuhan luka. Selain

protein, Vitamin A,E dan C juga mempengaruhi dalam proses penyembuhan

luaka. Kekurangan Vitamin A menyebabkan berkurangnya produksi makrifag

yang konsekuensinya menjadi rentan terhadap infeksi dan sintesis kolagen.

Defisiensi Vitamin E mempengaruhi produksi kolagen. Sedangkan defesiensi

Vitamin C menyebabkan kegagalan fibroblast untuk memproduksi kolagen.

 Insufisiensi vascular

Seringkali pada kasus luka ekstremitas bawah seperti luka diabetik, pembuluh

arteri dan atau vena kemudian decubitus karena faktor tekanan yang

semuanya yang akan berdampak paa penurunan atau gangguan siekulasi

darah

 Obat-obatan

Terutama pada pasien yang menggunakan terapi steroid, kemoterapi dan

imunosupresi.

2. Faktor lokal

 Suplai darah

 Infeksi

Infeksi sistemik atau lokal dapat menghambat penyembuhan luka.

24
 Nekrosis

Luka dengan jaringan yang mengalami nekrosis akan menjadi penghambat

dalam proses penyembuhan luka.

 Adanya benda asing pada luka.

2.5.4. Kulit
a. Definisi Kulit
Kulit merupakan organ yang paling luas permukaannya dan membungkus

seluruh bagian luar tubuh, kulit sebagai pelindung tubuh terhadap bahaya bahan

kimia,cahaya matahari yang mengandung sinar ultraviolet,dan melindungi kulit

terhadap mikroorganisme serta menjaga keseimbangan anatar tubuh dengan lingkungan

(Syaifuddin, 2000).

b. Fungsi Kulit (Syaifuddin, 2000)

Fungsi kulit antara lain :

1. Fungsi proteksi yaitu menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau

mekanis, misalnya terhadap gesekan, tarikan, dan gangguan kimiawi yang dapat

menimbulkan iritasi.

2. Fungsi pembentukan figmen yaitu sel pembentukan figmen (melanosit) terletak

pada lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf.

3. Fungsi kreatinisasi yaitu memberikan perlindungan kulit terhadap infeksi secara

mekanis fisiologis.

4. Fungsi pembentukan vit D, yaitu berlangsung dengan mengubah dihidroksi

kolestrol dengan sinar matahari.

25
5. Fungsi absorbsi, fungsi ekresi yaitu sabum yang diproduksi oleh kulit berguna

untuk melindungi kulit dengan menahan air yang berlebihan sehingga kulit tidak

menjadi kering.

6. Fungsi pengaturan suhu tubuh, yaitu dengan cara mengeluarkan keringat dan

kotraksi otot dengan pembuluh darah kulit.

c. pH kulit (Putro, 1998)

Kulit manusia bersifat asam dan kulit yang rusak bersifat basa. Keasaman kulit ini di

sebabkan adanya lapisan tipis permukaan film tipis teremulsi pada lapiasan tanduk

film pelindung ini mempunyai pH 4,5-6,5 yang di sebut sebagai mantel asam. Mantel

asam kulit terdiri dari nasam amino,asam laktat dan asam lemak yang di sekresikan

dari kelenjar sebaseus. Mantel asam ini akan melindungi tubuh dari serangan

mikroba yang cenderung tumbuh lebih baik pada pH yang tinggi.

d. Anatomi Kulit

Secara mikroskopis struktur kulit manusia terdiri dari : epidermis, dermis dan

subkutis (Baumann et al., 2009). Dua struktur yaitu epidermis dan dermis saling

berhubungan dibatasi dermal epidermal junction.

1. Epidermis

Epidermis merupakan lapisan terluar terutama terdiri dari epitel skuamosa

bertingkat. Sel-sel yang menyusun secara berkesenimbangan dibentuk oleh lapisan

germinal dalam epitel silindris dan mendatar ketika didorong oleh sel-sel baru kearah

permukaan, tempet kulit terkikis, seperti pada permukaan dalam lengan, paha dan lebih

banyak lagi pada permukaan ektensor, lapisan ini terutama tebal pada kaki (Gibson,

2002). Lapisan ini terdiri atas:

26
a. Strarum corneum (Lapisan tanduk)

Terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak memiliki inti, tidak

mengalami proses metabolisme, tidak berwarna dan sangat sedikit

mengandung air. Lapisan ini sebagian besar terdiri atas keratin yaitu jenis

protein yang tidak larut dalam air dan sangat resisten terhadap bahan-bahan

kimia. Hal ini berkaitan dengan fungsi kulit untuk memproteksi tubuh dari

pengaruh luar.

b. Stratum lucidum (lapisan jernih)

Berada tepat dibawah stratum corneum. Merupakan lapisan yang tipis, jernih.

Lapisan ini tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki.

c. Startum granulosum (lapisan berbutir-butir)

Tersusun oleh sel-sel keretinosin yang berbentuk poligonal, berbutir kasar,

berinti mengkerut.

d. Stratum spinosum (lapisan malphigi)

Sel berbentuk kubus dan seperti berduri, intinya besar dan oval. Setiap sel

berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein.

e. Stratum garminativum (lapisan basal)

Adalah lapisan terbawah epidermis. Di lapisan ini juga terdapat sel-sel

melanosit yaitu sel yang membentuk pigmen melanin.

2. Dermis

Dermis adalah lapisan yang terdiri dari kolagen, jaringan fibrosa dan elastin.

Lapisan superfisial menonjol kedalam epidermis berupa sejumlah papila kecil. Lapisan

27
yang lebih dalam terletak pada jaringan subkutan. Lapisan ini mengandung pembuluh

darah, pembuluh limfe dan syaraf (Gibson, 2002).

3. Subkutis

Lapisan subkutis kulit terletak di bawah dermis. Lapisan ini terdiri dari lemak

dan jaringan ikat dan berfungsi sebagai peredam kajut dan insulator panas. Lapisan

subkutis adalah tempat penyimpanan kalori. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf

tepi, pembuluh darah dan saluran getad bening (Wasiatmaja & syarif, 2007)

e. Fisiologi Kulit
1. Proteksi
Kulit merupakan barrier fisik antara jaringan dibawahnya dan lingkungan luar.

Kulit memberikan perlindungan dari abrasi, dehidrasi, radiasi ultraviolet, dan invasi

mikroorganisme(Gunstream, 2000). Sebagian besar mikroorganisme mengalami

kesulitan untuk menembus kulit yang utuh tetapi dapat masuk melalui kilit yang luka

dan lecet. Selain proteksi yang diberikan oleh lapisan tanduk, proteksi tambahan

diberikan oleh keasaman keringat dan adanya asam lemak dalam sebum, yang

menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Gibson, 2002)

2. Sensasi

Kulit terdiri dari ujung saraf dan reseptor yang dapat mendeteksi stimulus yang

berhubungan dengan sentuhan, tekanan, temperatur dan nyeri (Gunstream, 2000).

Sensasi raba, nyeri, perubahan suhu, dan tekanan pada kulit dan jaringan subkutan,

ditransmisikan melalui saraf sensorik menuju medula spinalis dan otak (Gibson, 2002).

28
3. Regulasi suhu

Selama periode kelebihan produksi panas oleh tubuh, sekresi keringat dan

evaporasi melalui permukaan tubuh membantu menurunkan tempertur tubuh

(Gunstream,2000)

4. Penyimpanan

Kulit bekerja sebagai tempat penyimpanan air dan lemak, yang dapat ditarik

berdasarkan kebutuhan (Gibson, 2002).

5. Ekskresi

Produksi keringat oleh kelenjar keringat menghilangkan sisa-sisa metebolisme

dalam jumlah kecil seperti garam, air, dan senyawa organik (Gunstream, 2000).

6. Sintesis vitamin D

Pajannan terhadap radiasi ultraviolet dapat mengkonversi molekul prekursor (7-

dihidroksi kolesterol) dalam kulit menjadi vitamin D. Namun, hal tersebut tidak dapat

menyediakan vitamin D secara keseluruhan bagi tubuh , sehingga pemberian vitamin D

secara sistematik masih diperlukan (Gunstream, 2000; Wasiatmaja & syarif, 2007 ).

2.5.5. Hidroksiprolin

Kadar hidroksiprolin dalam jaringan dapat digunakan sebagai indeks untuk

menggantikan parameter kadar kolagen dalam kulit, karena seperti diketahui bahwa

kolagen yang menjadi indeks terbentuknya jaringan atau regenerasi kulit tersusun atas

dua jenis yakni hidroksilisin dan hidroksiprolin. Semakin tinggi kandungan

hidroksiprolin dapat diindikasikan adanya peningkatan sintesis kolagen yang

berkorelasi dalam kecepatan proses penyembuhan luka (Rismana, 2013).

29
Kolagen mengandung kira-kira 35 persen glisin dan kira-kira 11 persen alanin

persentasi asam amino ini agak luar biasa tinggi. Yang lebih menojol adalah kandungan

prolin dan 4-hidroksiprolin yang tinggi, yaitu asam amino yang jarang ditemukan pada

protein selain pada kolagen dan elastin. Bersama sama, prolin dan hidroksiprolin

mencapaikira-kira 21 persen dari residu asamamino pada kolagen (Lehninger:1993).

Residu hidroksilisin dari tropokolagen memiliki peranan penting dalam

pembentukan serat kolagen. Hal ini disebabkan oleh adanya ikatan hydrogen yang

salingsilang dalam kolagen (Campbell &Shawn: 2003).

Peranan yang penting tersebut dapat dilihat yaitu dengan adanya vitamin C

(asam askorbat) diperlukan dalam pembentukan hidroksilisin. Vitamin C sangat penting

dalam mengaktifkan enzim prolyl hydroksilase yang berfungsi untuk merubah residu

prolin dalam kolagen menjadi hidroxyprolin. Adanya kekurangan vitamin C dapat

memicu terpecah-pecahnya kolagen atau dengan kata lain kolagen yang kurang

sempurna dalam pembentukannya dan hal ini meyebabkan timbulnya gejala penyakit

sariyawan (scurvy) yang ditandai oleh kerusakan pembuluh darah serta struktur kulit.

2.5.6.Kolagen

a. DefinisiKolagen

Kolagen merupakan protein utama yang menyusun komponen matrik

aktraseluler dan merupakan protein terbanyak yang ditemukan dalam tubuh manusia.

Kolagen tersusun atas triple helix dari tiga rantai α polipeptida. Kolagen berperan sangat

penting pada setiap tahap penyembuhan luka (Novriansyah, 2008).

30
b. SintesaKolagen (Novriansyah, 2008)

Sintesis kolagen matur memerlukan prolyl-hydroxylase dan lysil-hydroxilase.

Vitamin C mempunyai peranan penting dalam sintesis kolagen. Tanpa adanya vitamin

C maka kolagen muda yang diekresikan kedaerah luka oleh fibroblas berjumlah sedikit.

Sintesis kolagen dimulai hari ke-3 setelah luka dan berlangsung cepat sekitar minggu ke

2-4.

Rantai molekul kolagen adalah glycosylate dan disekresi melalui golgifibroblast

komplek yang kemudian disebut tropokolagen yang dilepaskan dari sel dalam bentuk

larutan. Agregasi tropokolagen secara ekstra sel berinisiatif melakukan fibrilogenesis,

yaitu suatu proses yang melibatkan hubungan silang (Croos-linking) intra dan ekstra

seluler. Sintesis kolagen dikontrol oleh enzim kolagenase dan faktor-faktor lain yang

mempengaruhi kolagen serta selanjutnya akan dibentuk kolagen baru.

c. Peranankolagendalam proses penyembuhanluka (Novriansyah, 2008)

Penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks dan berkesinambungan.

Hemostatis atau penghentian pendarahan adalah proses pertama dalam penyembuhan

luka. Trombosit dan faktor-faktor pembekuan merupakan faktor hemostatik

intravaskular yang utama. Kolagen merupakan agen hemostatik yang sangat efisien,

sebab trombosit melekat pada kolagen, kolagen akan membengkak dan selanjutnya

melepaskan substansi yang memulai proses hemostatis. Interaksi kolagen-trombosit

tergantung pada tingkat polimerisasi dari maturasi kolagen dan pengaruh positif pada

molekul kolagen.

31
Kolagen dapat membantu agregasi trombosit karena kemampuannya mengikat

fibronektin. Meknisme yang pasti dari interaksi kolagen belum diketahui secara jelas,

akan tetapi data yang pasti menunjukkan bahwa interaksi kolagen dan trombosit

merupakan tahap pertama terjadinya proses penyembuhan yaitu hemostatis, kemudian

diikuti dengan vasokontriksi dan vasodilatasi. Selama vasodilatasi, daerah non trauma

jadi lebih permeabel selanjutnya terjadi pembesaran hormon,protein plasma, elektrolit,

antibodi, cairan, dan leukosit PMN. Kolagen mempunyai kemampuan hemotaksis

terhadap monosit. Monosit seperti makrofag berfungsi melakukan fagositosis kuman

didaerah luka dan membersihkan debris. Menurunnya jumlah makrofag akan

memperlambat pembersihan luka. Makrofag akan menarik fibroblas ke tempat luka dan

mulai sintesis kolagen.

Komponen yang paling banyak pada jaringan granulasi adalah fibroblas. Sintesis

dan deposit kolagen merupakan saat yang penting fase poliferasi dan proses

penyembuhan luka secara umum.proses remodeling kolagen pada fase maturasi

tergantung pada berlangsungnya sintesis kolagen dan adanya degradasi kolagen.

Kolagenase dan metalloproteinase didalam luka akan membuang kelebihan kolagen

sementara sintesis kolagen yang baru tetap berlanjut. Selama remodeling, kolagen

menjadi lebih terorganisasi. Secara bertahap fibronektin akan menghilang, asam

hialuronidase dan glikosaminoglikan diganti tempatnya oleh proteoglikan. Kolagen tipe

III tempatnya digantikan oleh kolagen tipe I, air akan diserap dari jaringan parut. Pada

saat yang sama serat-serat kolagen menutup bersama, menyebabkan kolagen cross-

linking dan akhirnya mengurangi ketebalan jaringan parut. Kolagen intermolekul dan

intramolekul cross-link menghasilkan peningkatan kekuatan luka.

32

Anda mungkin juga menyukai