Anda di halaman 1dari 64

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum

Bendung Cipero merupakan bendung tetap (fixed weir) yang dibangun pada tahun 1888-
1890 oleh pemerintah Belanda yang melayani Daerah Irigasi (D.I.). Rambut. D.I Rambut
merupakan Daerah Irigasi dengan luas areal pelayanan sebesar 7.634 ha. Secara topografi
Daerah Irigasi Rambut (Bendung Cipero) merupakan daerah dataran yang cukup luas dengan
elevasi sawah tertinggi +24,921 dan elevasi sawah terendah +1,788, dimana elevasi mercu
Bendung Cipero +25,755 dengan elevasi dekzerk bendung +30,055.
Kondisi di daerah hulu dari Sungai Rambut terjadi proses degradasi lingkungan
(termasuk daerah lahan kritis) yang seharusnya dihutankan, akan tetapi banyak yang dibuka
akibat penggundulan atau untuk lahan/kebun, yang nantinya akan mengakibatkan tingkat
erosinya cukup besar. Hal ini akan meningkatkan jumlah sedimen yang mengalir di sungai,
dan sedimen tersebut dapat mengurangi kemampuan pelayanan Bendung Cipero.
Peningkatan kebutuhan akan pengambilan air di Bendung Cipero mengakibatkan aliran
Bendung Cipero sudah tidak mampu untuk memenuhi 100% kebutuhan air irigasi. Akibat
beberapa hal tersebut ditambah usia Bendung yang sudah cukup tua maka kemampuan
pelayanan Bendung Cipero terhadap Daerah Irigasi Rambut saat ini mengalami penurunan
dan sering kali pada saat bulan- bulan tertentu Bendung Cipero hanya mampu memiliki debit
pemenuhan kebutuhan 19,80% - 30,06% pada Bulan Juli – September (BPSDA Tegal, 2013).
Debit pemenuhan kebutuhan adalah debit minimum sungai dengan kemungkinan debit
terpenuhi dalam prosentase tertentu, misalnya 90%, 80% atau nilai prosentase lainnya
(Soewarno, 1995).
Untuk memenuhi kekurangan air dan keandalan tersebut dapat dilakukan dengan
beberapa pilihan diantaranya sebagai berikut:

a) Mengurangi luas Daerah Irigasi dan mengubah pola tanam

b) Mensuplesi dari bendung lain

c) Meningkatan kemampuan layanan bendung dengan long storage

12
Dalam hal ini akan dibuat tampungan memanjang long storage untuk mengatasi
masalah defisit air di DAS Rambut tersebut. Pengertian long storage akan dibahas lebih
lanjut sebagai berikut:

2.2. Pengertian Long Storage


Long storage merupakan tampungan air memanjang di sungai. Bangunan ini biasanya
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan irigasi atau air baku. Sistem long storage adalah
suatu cara untuk mengumpulkan atau membendung aliran air pada suatu sungai, dimana
tujuannya adalah untuk menampung volume aliran permukaan sehingga selain dapat
digunakan untuk memenuhi kekurangan air di musim kemarau, dapat juga untuk mengurangi
kecepatan aliran permukaan sehingga erosi dan sedimentasi yang terjadi sepanjang sungai
dapat dikurangi (Soemarto, 1999).
Pertimbangan dalam pemilihan system long storage didasarkan atas beberapa
keunggulannya di bandingkan dengan teknologi sejenis seperti embung. Keunggulan itu
antara lain:
a) Dapat menampung air sesuai volume yang dibutuhkan dalam skala mikro.
b) Tidak menggunakan banyak lahan yang produktif.
c) Dapat mengairi lahan yang cukup luas jika dibangun berseri di seluruh DAS.
Untuk merencanakan long storage dibutuhkan analisis hidrologi yang digunakan untuk
menentukan besarnya volume tampungan long storage yang diperlukan. Penjelasan analisis
hidrologi dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.3 Analisis Hidrologi


Analisis hidrologi merupakan salah satu analisis awal dalam perancangan bangunan-
bangunan hidraulik dimana informasi dan besaran-besaran yang diperoleh dalam analisis
hidrologi merupakan masukan penting dalam analisis selanjutnya. Data hidrologi adalah
kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena hidrologi (hydrologic phenomena).
Keterangan atau fakta mengenai fenomena hidrologi dapat dikumpulkan, dihitung, disajikan
dan ditafsirkan dengan menggunakan prosedur tertentu, metode statistik dapat digunakan
untuk melaksanakan penggunaan prosedur tersebut (Soewarno, 1995).

13
Adapun langkah-langkah dalam analisis hidrologi adalah sebagai berikut:

a) Menentukan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan hujan kawasan.

b) Menganalisis distribusi curah hujan dengan periode ulang T tahun.

c) Menganalisis frekuensi curah hujan.

d) Mengukur dispersi.

e) Pemilihan jenis sebaran

f) Pengujian kecocokan sebaran

g) Menentukan intensitas curah hujan rencana

h) Analisis debit banjir rencana

i) Menganalisis kebutuhan air

j) Analisis debit andalan

k) Menganalisis neraca air

l) Penelusuran banjir (flood routing)

m) Menentukan volume tampungan long storage

Dari hasil analisis debit andalan dan debit banjir rencana ini akan diketahui besarnya
volume tampungan yang dibutuhkan. Langkah pertama untuk analisis hidrologi adalah
dengan menentukan besarnya hujan daerah atau daerah tangkapan air. Penjelasan mengenai
hujan daerah akan dijelaskan berikut ini:

2.3.1 Hujan Daerah (Daerah Tangkapan Air)

Daerah Tangkapan Air (DTA) adalah daerah yang dibatasi bentuk topografi, dimana
seluruh hujan yang jatuh di area itu mengalir ke satu sungai (Soewarno, 1995).

Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang terjadi hanya
pada satu tempat atau satu titik saja (point rainfall). Mengingat hujan sangat bervariasi
terhadap tempat (space), maka untuk kawasan yang luas, satu alat penakar hujan belum tentu
dapat menggambarkan hujan wilayah tersebut. Dalam hal ini diperlukan hujan kawasan yang
diperoleh dari harga rata-rata curah hujan beberapa stasiun penakar hujan yang ada di dalam
atau di sekitar kawasan tersebut.

14
Ada tiga macam cara yang umum dipakai dalam menghitung hujan rata-rata kawasan
yaitu: Rata-rata aljabar, Poligon Thiessen, dan Metode Isohyet. Ada 3 faktor yang menjadi
acuan dalam menentukan cara yang akan digunakan yaitu:

1) Jaring-jaring pos penakar hujan dalam DAS.

2) Luas DAS.

3) Topografi DAS.

Penjelasan mengenai metode tersebut dijelaskan berikut ini:

1) Jaring-jaring pos penakar hujan

Tabel 2.1 Penggunaan metode berdasarkan jaring-jaring pos penakar hujan

Persyaratan Metode yang digunakan

Jumlah pos penakar hujan cukup Metode Isohyet, Thiessen atau Rata-rata
Aljabar dapat dipakai.

Jumlah pos penakar hujan terbatas Metode Rata-rata Aljabar atau Thiessen.

Pos penakar hujan tunggal Metode hujan titik.

(Sumber: KP-02, 1986)

2) Luas DAS

Tabel 2.2 Penggunaan metode berdasarkan luas DAS

Persyaratan Metode yang digunakan

DAS besar (> 5.000 km2) Metode Isohyet

DAS sedang (500 s/d 5.000 km2) Metode Thiessen

DAS kecil (<500 km2) Metode Rata-rata Aljabar

(Sumber: KP-02, 1986)

15
3) Topografi DAS

Tabel 2.3 Penggunaan metode berdasarkan topografi DAS

Persyaratan Metode yang digunakan

Pegunungan Metode Thiessen

Dataran Metode Aljabar

Berbukit dan tidak beraturan Metode Isohyet

(Sumber: KP-02, 1986)

2.3.1.1 Metode Poligon Thiessen

Metode ini dikenal juga sebagai metode rata-rata timbang (weighted mean). Cara ini
memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk mengakomodasi
ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan menggambarkan garis-garis
sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos penakar terdekat (Gambar 2.1).
Diasumsikan bahwa variasi hujan antara pos yang satu dengan lainnya adalah linear dan
bahwa sembarang pos dapat mewakili kawasan terdekat.

Hasil Metode Poligon Thiessen lebih akurat dibandingkan dengan metode Rata-rata
Aljabar. Cara ini cocok untuk daerah datar dengan luas 500-5.000 km2.

Prosedur penerapan metode ini meliputi langkah-langkah senagai berikut:

1) Lokasi pos penakar hujan diplot pada peta DAS. Antar pos penakar dibuat garis
penghubung.

2) Tarik garis tegak lurus di tengah-tengah tiap garis penghubung sedemikian rupa,
sehingga membentuk Poligon Thiessen (Gambar 2.1). Semua titik dalam satu poligon
akan mempunyai jarak terdekat dengan pos penakar yang ada di dalamnya
dibandingkan dengan jarak terhadap pos lainnya. Selanjutnya, curah hujan pada pos
tersebut dianggap representasi hujan pada kawasan dalam poligon yang bersangkutan.

3) Luas areal pada tiap-tiap poligon dapat diukur dengan planimeter dan luas total DAS,
A, dapat diketahui dengan menjumlahkan semua luasan potongan.

4) Hujan rata-rata DAS dapat dihitung dengan persamaan berikut:

16
Di mana P1, P2, ..., Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1,2, ..., n. A1,
A2, ..., An adalah luas areal poligon 1, 2, ..., n. n adalah banyaknya pos penakar hujan.

Batas DAS

Stasiun Pengamatan Curah Hujan

Gambar 2.1 Metode Poligon Thiessen (Sumber: Kensaku Takeda, 2003)

Rumus persamaan Metode Polygon Thiessen :


R1 A 1  R 2 A 2  R 3 A 3  .....  R n A n
R 
A1  A 2  A 3  .....  A n

R 1 A 1  R 2 A 2  R 3 A 3  .....  R n A n
R  (Soemarto, 1999)
A total

dengan :
R = curah hujan daerah pengamatan
R1, R2, … Rn = curah hujan di tiap titik pengamatan
n = bagian titik pengamatan
A1, A2, … An = luas bagian daerah yang mewakili tiap titik pengamatan

2.3.1.2 Metode Rata-rata Aljabar


Metode rata-rata Aljabar dihitung dengan mengambil nilai rata-rata hitung
(arthmatic mean) pengukuran curah hujan di stasiun hujan di dalam area yang ditinjau.
Metode tersebut akan memberikan hasil yang dapat dipercaya jika stasiun hujan banyak dan
tersebar secara merata serta hasil penakaran masing-masing stasiun hujan tidak menyimpang
jauh dari nilai rata-rata seluruh stasiun sistem hujan disuatu area.
Rumus :

̅ (Soemarto, 1999)

17
dimana:
̅ = Curah hujan rata-rata DAS (mm).
R R , Rn = Curah hujan pada setiap stasiun hujan (mm).
n = Banyaknya stasiun hujan.

2.3.1.3 Metode Isohyet


Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan yang
sama. Pada metode tersebut diasumsikan bahwa hujan pada suatu daerah yang terletak
diantara 2 garis Isohyet memiliki nilai rata-rata dari kedua garis Isohyet tersebut.

Metode Isohyet merupakan metode yang paling akurat untuk menentukan hujan rata-
rata, namun diperlukan tenaga ahli dan pengalaman. Metode Isohyet memperhitungkan secara
aktual pengaruh tiap-tiap pos penakar hujan, dengan kata lain asumsi Metode Thiessen yang
menganggap bahwa tiap-tiap pos penakar mencatat kedalaman yang sama untuk daerah
sekitarnya dapat dikoreksi. Hujan kawasan rata-rata dengan Metode Isohyet dapat dihitung
dengan persamaan di bawah ini :

Rumus :

(Soemarto, 1999)

dimana :

P1,P2, …,Pn = Curah hujan pada garis satu Isohyet 1, 2,…n.

A1,A2,…,An = Luas areal antara garis Isohyet satu dan garis Isohyet dua, dan
seterusnya.

18
Gambar 2.2 Metode Isohyet (Sumber: Soemarto, 1999)

Metode Isohyet adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan daerah rata-
rata, tetapi memerlukan jaringan pos penakar yang relatif lebih padat. Pada gambar garis-
garis Isohyet sebaiknya juga memperhatikan pengaruh bukit atau gunung terhadap distribusi
hujan.

Setelah mendapatkan metode yang sesuai untuk mengukur besarnya hujan kawasan,
selanjutnya dilakukan uji pola sebaran data yang sesuai. Uji pola sebaran ini dikenal dengan
pengukuran dispersi. Dari hasil pengukuran dispersi ini nantinya akan diketahui jenis
distribusi frekuensi yang akan digunakan. Tinjauan umum mengenai pengukuran dispersi
dijelaskan berikut ini:

2.3.2 Pengukuran Pola Sebaran (Uji Dispersi)

Setelah mendapatkan curah hujan rata-rata dari beberapa stasiun yang berpengaruh di
daerah aliran sungai, selanjutnya dianalisis secara statistik untuk mendapatkan pola sebaran
yang sesuai dengan sebaran curah hujan rata-rata yang ada. Pada kenyataannya bahwa tidak
semua varian dari suatu variabel hidrologi terletak atau sama dengan nilai rata-ratanya.
Variasi atau dispersi menggambarkan derajat bagaimana berpencarnya data kuantitatif yaitu
besarnya derajat atau besaran varian di sekitar nilai rata-ratanya. Cara mengukur besarnya
dispersi disebut pengukuran dispersi. Adapun cara pengukuran dispersi antara lain
(Soewarno, 1995):

a. Standar Deviasi (S)

b. Koefisien Skewness (Cs)

19
c. Pengukuran Kurtosis (Ck)

d. Koefisien Variasi (Cv)

Berikut penjelasan cara pengukuran dispersi tersebut:

a) Standar Deviasi ( S )

Ukuran sebaran yang paling banyak digunakan adalah deviasi standar. Apabila
penyebaran sangat besar terhadap nilai rata-rata maka nilai Sx akan besar, akan tetapi apabila
penyebaran data sangat kecil terhadap nilai rata-rata maka nilai Sx akan kecil. Jika
dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagai berikut:

̅̅̅
√∑ (Soewarno, 1995)

dimana :

S = Standar deviasi

Xi = Curah hujan minimum (mm/hari)

X = Curah hujan rata-rata (mm/hari)

n = Lamanya pengamatan

b) Koefisien Skewness

Kemencengan (skewness) adalah ukuran asimetri atau penyimpangan kesimetrian


suatu distribusi. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalahsebagai berikut

∑ ̅̅̅
(Soewarno, 1995)

dimana:

CS = Koefisien kemencengan

Xi = Nilai variable

X = Nilai rata-rata

n = Jumlah data

Sx = Standar deviasi

20
c) Koefisien Kurtosis ( Ck )

Kurtosis merupakan kepuncakan (peakedness) distribusi. Biasanya hal ini


dibandingkan dengan distribusi normal yang mempunyai Ck = 3 dinamakan mesokurtik, Ck
< 3 berpuncak tajam dinamakan leptokurtik, sedangkan Ck > 3 berpuncak datar dinamakan
platikurtik.

Gambar 2.3 Koefisien Kurtosis (Sumber: Soewarno, 1995)

Rumus koefisien kurtosis adalah:

∑ ̅̅̅
(Soewarno, 1995)

dimana:

Ck = Koefisien kurtosis

Xi = Nilai variable

X = Nilai rata-rata

n = Jumlah data

Sx = Standar deviasi

d) Koefisien Variasi (Cv)

Koefisien variasi adalah nilai perbandingan antara deviasi standar dengan nilai rata-
rata hitung dari suatu distribusi. Koefisien variasi dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:

̅̅̅
(Soewarno, 1995)

21
dimana :

Cv = Koefisien variasi

S = Standar deviasi

X = Nilai rata-rata

Dari nilai-nilai yang diketahui di atas, kemudian dilakukan pemilihan jenis sebaran
yaitu dengan membandingkan koefisien distribusi dari metode yang akan digunakan.
Pemilihan jenis sebaran yang sesuai akan dijelaskan sebagai berikut:

2.3.3 Pemilihan Jenis Sebaran

Sistem hidrologi kadang-kadang dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang luar biasa


(ekstrim), seperti hujan lebat, banjir, dan kekeringan. Besaran peristiwa ekstrim berbanding
terbalik dengan frekuensi kejadiannya, peristiwa yang luar biasa ekstrim kejadiannya sangat
langka.

Tujuan analisis frekuensi data hidrologi adalah berkaitan dengan besaran peristiwa-
peristiwa ekstrim yang berkaitan dengan frekuensi kejadiannya melalui penerapan distribusi
kemungkinan. Data hidrologi yang dianalisis diasumsikan tidak bergantung (independent)
dan terdistribusi secara acak dan bersifat stokastik.

Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan disamai atau
dilampaui. Sebaliknya, kala ulang (return periode) adalah waktu hipotetik di mana hujan
dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui. Dalam hal ini tidak terkandung
pengertian bahwa kejadian tersebut akan berulang secara teratur setiap akal ulang tersebut.
Misalnya, hujan dengan kala ulang 10 tahunan, tidak berarti akan terjadi sekali setiap 10
tahun akan tetapi ada kemungkinan dalam hangka 1000 tahun akan terjadi 100 kali kejadian
hujan 10 tahunan. Ada kemungkinan selama kurun waktu 10 tahun terjadi hujan 10 tahunan
lebih dari satu kali, atau sebaliknya tidak terjadi sama sekali.

Analisis frekuensi diperlukan seri data hujan yang diperoleh dari pos penakar hujan,
baik yang manual maupun yang otomatis. Analisis frekuensi ini didasarkan pada sifat statistik
data kejadian yang telah lalu untuk memperoleh probabilitas besaran hujan di masa yang akan
datang. Dengan anggapan bahwa sifat statistik kejadian hujan yang akan datang masih sama
dengan sifat statistik kejadian hujan masa lalu.

22
Ada dua macam seri data yang dipergunakan dalam analisis frekuensi, yaitu:

1) Data maksimum tahunan

Tiap tahun hanya diambil hanya satu besaran maksimum yang dianggap berpengaruh
pada analisis selanjutnya. Seri data seperti ini dikenal dengan seri data maksimum
(maximum annual series). Jumlah data dalam seri akan sama dengan panjang data yang
tersedia. Dalam cara ini, besaran data maksimum kedua dalam suatu tahun yang mungkin
lebih besar dari besaran data maksimum dalam tahun yang lain tidak diperhitungkan
pengaruhnya dalam analisis. Hal ini oleh beberapa pihak dianggap kurang realistis,
apalagi jika diingat bahwa perhitungan permulaan tahun hidrologi tidak selalu seragam,
ada yang berdasar musim ada pula yang mengikuti kalender masehi. Oleh karena itu,
beberapa ahli menyarankan menggunakan cara seri parsial.

2) Seri Parsial

Dengan menetapkan suatu besaran tertentu sebagai batas bawah, selanjutnya semua
besaran data yang lebih besar dari batas bawah tersebut diambil dan dijadikan bagian seri
data untuk kemudian dianalisis seperti biasa. Pengambilan batas bawah dapat dilakukan
dengan sistem peringkat, di mana semua besaran data yang cukup besar diambil,
kemudian diurutkan dari besar ke kecil. Data yang diambil untuk analisis selanjutnya
adalah sesuai dengan panjang data dan diambil dari besaran data yang paling besar.
Dalam hal ini dimungkinkan dalam satu tahun data yang diambil lebih dari satu data,
sementara tahun yang lain tidak ada data yang diambil.

Dalam analisis frekuensi, hasil yang diperoleh tergantung pada kualitas dan panjang
data. Makin pendek data yang tersedia, makin besar penyimpangan yang terjadi. Dalam
ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan empat jenis distribusi
yang banyak dalam bidang hidrologi adalah:

a) Disitribusi Normal,

b) Distribusi Log Normal,

c) Distribusi Log Pearson III, dan

d) Distribusi Gumbel

23
Beberapa parameter yang berkaitan dengan analisis data tersebut meliputi rata-rata,
simpangan baku, koefisien variasi, dan koefisien skewness (kecondongan atau kemencengan).
Penjelasan mengenai analisis distribusi frekuensi sebagai berikut:

2.3.3.1 Distribusi Normal

Dalam analisis hidrologi distribusi normal banyak digunakan untuk menganalisis


frekuensi curah hujan, analisis statistik dari distribusi curah hujan tahunan, debit rata-rata
tahunan. Distribusi normal atau kurva normal disebut pula Distribusi Gauss. Nilai peluang
untuk distribusi normal P(X) dapat ditentukan dengan rumus berikut:

* +
. (Soewarno, 1995)

dimana :
P(X)= Fungsi densitas peluang normal
X = Variabel acak kontinu.
= Rata-rata nilai X.
= Standar deviasi.
= 2,71828.

Untuk analisis kurva normal cukup menggunakan parameter statistik μ dan σ. Bentuk
kurvanya simetris terhadap X=μ, dan grafiknya selalu diatas sumbu datar X, serta mendekati
(berasimut) sumbu datar X, dimulai dari X=μ+3σ dan X-3σ. Untuk menentukan periode
ulangnya dapat digunakan persamaan umum:
XT = ̅ + k.S (Soewarno, 1995)

dimana:
XT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T tahun
̅ = Nilai rata-rata debit
S = Standar deviasi debit
k = Nilai standar variabel tergantung periode ulang (Tabel 2.4)
2.3.3.2 Distribusi Log Normal

Aplikasi distribusi log normal merupakan hasil transformasi dari distribusi normal,
yaitu dengan mengubah nilai variat X menjadi nilai logaritmik variat X. Secara sistematis
nilai peluang dari distribusi log normal ditulis sebagai berikut:

24
̅̅̅̅̅
{ ( ) }
P(X) = (√ )
(Soewarno, 1995)

dimana :
P(X) = Peluang log normal
= 3,14156
e = 2,71828
̅ = Nilai rata-rata dari logaritmik variat X, umumnya dihitung dari rata-rata
geometriknya.
S = Standar deviasi dari logaritmik nilai variat X
Apabila nilai P(X) digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan merupakan
persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dengan
persamaan:

YT = ̅ (Soewarno, 1995)

dimana:
YT = Nilai logaritmik nilai Y
̅ = Rata-rata hitung
S = Standar deviasi
k = Nilai standar variabel log normal (Tabel 2.4)

25
Tabel 2.4 Nilai standar variabel log normal

T Kt T Kt T Kt
1 -18,6 20 1,89 96 3,34
2 -0,22 25 2,1 100 3,45
3 0,17 30 2,27 110 3,53
4 0,44 35 2,41 120 3,62
5 0,64 40 2,54 130 3,7
6 0,81 45 2,65 140 3,77
7 0,95 50 2,75 150 3,84
8 1,06 55 2,86 160 3,91
9 1,17 60 2,93 170 3,97
10 1,26 65 3,02 180 4,03
11 1,35 70 3,08 190 5,09
12 1,43 75 3,6 200 4,14
13 1,5 80 3,21 220 4,24
14 1,57 85 3,28 240 4,33
15 1,63 90 3,33 260 4,42
(Sumber : Sri Harto,1997)

2.3.3.3 Log Pearson III

Distribusi Log Pearson III banyak digunakan dalam analisis hidrologi, terutama dalam
analisis data maksimum (banjir) dan minimum (debit minimum) dengan nilai ekstrem.
Persamaan fungsi peluang P(X) dari distribusi Log Pearson III adalah:

* +
P(X) = * + (Soewarno, 1995)

dimana :
P(X) = Peluang dari variat X
X = Nilai variat X
a,b,c = Parameter
Г = Fungsi gama
Bentuk komulatif distribusi Log Pearson III dengan nilai variatnya X apabila
digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan merupakan model matematik persamaan
garis lurus, persamaannya adalah:

26
Y = ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅
̅ (Soewarno, 1995)

dimana:
Y = Nilai logaritmik
̅ = Nilai rata-rata
S = Standar Deviasi
k = Karakteristik dari distribusi Log Pearson III
Langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai berikut:

a) Mengubah data curah hujan sebanyak n buah X , X , ...Xn menjadi log (X ), log
(X ),...., log (Xn).
b) Menghitung harga rata-ratanya dengan rumus :

Log ̅̅̅̅̅

dimana :
Log ̅̅̅̅̅ = Harga rata-rata logaritmik.
n = Jumlah data.
Xi = Nilai curah hujan tiap-tiap tahun (R24 maks).
c) Menghitung harga standar deviasinya dengan rumus berikut :
̅̅̅̅̅
√∑

d) Menghitung koefisien skewness (Cs) dengan rumus :


∑ ̅

e) Menghitung koefisien kurtosis (Ck) dengan rumus :


∑ ̅̅̅̅̅

f) Menghitung logaritma hujan rencana dengan periode ulang T tahun dengan rumus :
Log XT = ̅̅̅̅̅̅̅̅̅ +K.S

dimana :
XT = Curah hujan rencana periode ulang T tahun.
K = Harga yang diperoleh berdasarkan nilai Cs.
S = Standar deviasi.

27
Distribusi Log Pearson III digunakan jika nilai parameter statistik CS dan Ck tidak
memenuhi syarat Distribusi Normal, Distribusi Log Normal maupun Distribusi Gumbel.
Setelah pemilihan jenis sebaran dilakukan maka prosedur selanjutnya yaitu mencari
curah hujan rencana periode ulang 2, 5, 10, 25, 50, dan 100 tahun.

Tabel 2.5 Faktor k untuk sebaran Log Pearson III.

G = Cs (Koefisien Skewness)
0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
0,5000 0,00000 -0,01662 -0,03325 -0,04993 -0,06651 -0,08302 -0,09945
0,4296 0,17733 0,16111 0,14472 0,12820 0,11154 0,09478 0,07791
0,4000 0,25335 0,23763 0,22168 0,20552 0,18916 0,17261 0,15589
0,3000 0,52440 0,51207 0,49927 0,48600 0,47228 0,45812 0,44352
0,2000 0,84162 0,83639 0,83044 0,82377 0,81638 0,80829 0,79950
0,1000 1,28155 1,29178 1,30105 1,30936 1,31671 1,32309 1,32850
0,0500 1,64485 1,67279 1,69971 1,72562 1,75048 1,77428 1,79701
0,0400 1,75069 1,78462 1,81756 1,84949 1,88039 1,91022 1,93896
0,0250 1,95996 2,00688 2,05290 2,09795 2,14202 2,18505 2,22702
0,0200 2,05375 2,10697 2,15935 2,21081 2,26133 2,31084 2,35931
0,0100 2,32635 2,39961 2,47226 2,54421 2,61539 2,68572 2,75514
0,0050 2,57583 2,66965 2,76321 2,85636 2,94900 3,04102 3,13232
0,0020 2,87816 2,99978 3,12169 3,24371 3,36566 3,48737 3,60872
0,0010 3,09023 3,23322 3,37703 3,52139 3,66608 3,81090 3,95567
0,0005 3,29053 3,45513 3,62113 3,78820 3,95605 4,12443 4,29331
0,0001 3,71902 3,93453 4,15301 4,37394 4,59687 4,82141 5,04718
(Sumber: Hubert, 1999)

2.3.3.4 Distribusi Gumbel

Distribusi Gumbel banyak digunakan untuk analisis data maksimum hujan maupun
debit dari hasil pengukuran data historis untuk mengestimasi harga ekstrim yang akan datang.
Distribusi Gumbel memiliki koefisien kemencengan Cs = 1,14
Rumus :

dan (Soewarno, 1995)

28
dimana:

= Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan kala ulang T-tahunan,

Sn = Reduced standard deviation yang tergantung pada jumlah sampel/data n

Yn = Reduced mean yang tergantung pada jumlah sampel/data n,

= Reduced variate , -

Tabel 2.6 Reduced Variate (Yt).


Periode
Yt
Ulang
2 0.3065
5 1.4990
10 2.2504
20 2.9702
25 3.1255
50 3.9019
100 4.6001
(Sumber: Hubert, 1999)

Tabel 2.7 Reduced mean (Yn) dan Reduced Standart Deviation (Sn).
n Sn Yn n Sn Yn
10 0,9497 0,4952 60 11,747 0.5521
15 10,206 0,5128 70 11,854 0.5548
20 10,628 0,5236 80 11,938 0.5567
25 10,915 0,5309 90 12,007 0.5586
30 11,124 0,5362 100 12,065 0.5600
35 12,850 0,5403 200 12,360 0.5672
40 11,413 0,5436 500 12,588 0.5724
45 11,518 0,5463 1000 12,685 0.5745
50 11,607 0.5485
(Sumber: Hubert, 1999)

29
2.3.4 Pengujian Kecocokan Sebaran

Untuk menentukan kecocokan (the goodness of fit test) distribusi frekuensi dari sampel
data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau
mewakili distribusi frekuensi tersebut diperlukan pengujian parameter. Pengujian parameter
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu Chi-Kuadrat ataupun dengan Smirnov-Kolmogorov.
Umumnya pengujian dilaksanakan dengan cara mengambarkan data pada kertas peluang dan
menentukan apakah data tersebut merupakan garis lurus, atau dengan membandingkan kurva
frekuensi dari data pengamatan terhadap kurva frekuensi teoritisnya (Soewarno, 1995).
2.3.4.1 Uji Chi-Kuadrat

Untuk uji Chi-Kuadrat digunakan rumus sebagai berikut:

∑ (Soewarno, 1995)

dimana:

ƴ2 = Harga Chi-Kuadrat.

Ofi = Jumlah data yang teramati pada sub kelompok ke – i.

Efi = Jumlah data secara teoritis pada sub kelompok ke – i.

Dari hasil pengamatan yang didapat, dicari pengamatannya dengan Chi-Kuadrat kritis
paling kecil. Untuk suatu nilai nyata tertentu (level of significant) yang sering diambil adalah
5%. Derajat kebebasan ini secara umum dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Dk = n − 3

dimana :

Dk = Derajat kebebasan.

n = Banyaknya data.

2.3.4.2 Uji Smirnov-Kolmogorov

Uji ini digunakan untuk menguji simpangan secara horisontal. Dari grafik ploting data
curah hujan diperoleh perbedaan maksimum antara distribusi teoritis dan empiris (  maks).

Maks = [Pe – Pt] (Soewarno, 1995)

30
dimana:

maks = Selisih data probabilitas teoritis dan empiris

Pt = Peluang teoritis

Pe = Peluang empiris

Kemudian dibandingkan antara maks dan cr dari tabel. Apabila maks <cr, maka
pemilihan motode frekuensi tersebut dapat diterapkan untuk data yang ada.

Dalam Metode Smirnov-Kolmogorov dilakukan pengeplotan data pada kertas probabilitas


dan garis durasi yang sesuai, yang langkahnya adalah sebagai berikut:

1) Data curah hujan maksimum harian rerata tiap tahun disusun dari kecil ke besar.

2) Probabilitas dihitung dengan cara Weibull yaitu:

P = Probabilitas (%)

m = Nomor urut data seri yang telah disusun

n = Banyaknya data

3) Plot data hujan Xi

4) Plot persamaan analisa frekwensi yang sesuai

Setelah uji kecocokan didapat, selanjutnya menentukan besarnya nilai curah hujan
rencana. Adapun cara menentukan curah hujan rencana dijelaskan sebagai berikut:

2.3.5 Intensitas Curah Hujan Rencana

Intensitas curah hujan adalah rata-rata dari curah hujan yang lamanya sama dengan
lama waktu konsentrasi (tc) suatu wilayah dalam masa ulang tertentu. Dengan kata lain,
intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan dalam suatu kurun waktu tertentu
dimana air tersebut berkonsentrasi. Waktu konsentrasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh
aliran dari titik terjauh sampai titik keluaran. Intensitas curah hujan sering digunakan sebagai
salah satu elemen perencanaan teknis suatu bangunan air. Umumnya pada saat awal
perencanaan bangunan air, hal yang harus diketahui terlebih dahulu adalah debit banjir, dan
dengan adanya intensitas curah hujan debit banjir suatu daerah aliran sungai dapat diketahui.
31
Sifat umum hujan adalah apabila semakin lama hujan terjadi maka semakin kecil
intensitas suatu curah hujan, dan apabila semakin besar periode ulang suatu curah hujan,
maka semakin besar pula intensitas suatu curah hujan. Untuk menentukan curah hujan
rencana dapat dilakukan dengan cara berikut:

2.3.5.1 Metode Mononobe


Rumus yang digunakan:

(Soemarto, 1999)

dimana :
i = Intensitas curah hujan (mm/jam).
t = Lamanya curah hujan (jam).
Ru = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm).

2.3.5.2 Metode Talbot


Rumus yang digunakan:
i=
∑ ∑ ∑ ∑
a=
∑ *∑ +

∑ ∑ ∑
b= (Soemarto, 1999 )
∑ *∑ +

dimana:
i = Intensitas hujan (mm/s)
a,b = Konstanta
t = Lama waktu atau durasi hujan (s)
n = Banyaknya pasangan data i dan t
2.3.5.3 Metode Sherman
Rumus yang digunakan adalah:
i =
∑ ∑ ∑ ∑
log (a) =
∑ *∑ +

∑ ∑ ∑
b=
∑ *∑ +

(Soemarto, 1999)

32
dimana:
i = Intensitas hujan (mm/detik)
a,b = Konstanta
t = Lama waktu atau durasi hujan (detik)
n = Banyaknya pasangan data (i) dan (t)
2.3.5.4 Metode Ishiguro
Rumus yang digunakan adalah:
i=

∑ ( √ )∑ ∑ ( √ )∑
a=
∑ *∑ +

∑ ∑ ( √) ∑ ( √)
b=
∑ *∑ +

(Soemarto, 1999)
dimana:
i = Intensitas hujan (mm/detik)
a,b = Konstanta
t = Lama waktu atau durasi hujan (detik)
n = Banyaknya pasangan data i dan t
Nilai dari intensitas curah hujan tersebut selanjutnya digunakan dalam menentukan
debit bajir rencana. Penentuan debit banjir rencana dijelaskan sebagai berikut:

2.4 Analisis Debit Banjir Rencana


Pemilihan debit banjir rencana untuk bangunan air adalah suatu masalah yang sangat
tergantung pada analisis statistik dari urutan kejadian banjir baik berupa debit air sungai
maupun hujan. Dalam pemilihan suatu teknik analisis penentuan banjir rencana tergantung
dari data-data yang tersedia dan macam dari bengunan air yang akan dibangun.
Metode yang digunakan untuk menghitung debit banjir rencana sebagai dasar
perencanaan konstruksi bendung diantaranya adalah Metode Rasional, Metode Haspers
dan Metode FSR Jawa Sumatra.

33
2.4.1 Metode Rasional
Perhitungan metode rasional menggunakan rumus sebagai berikut:

(Soemarto, 1999)
dimana :
Q = Debit banjir rencana (m3/det).
C = Koefisien pengaliran.
I = Intensitas hujan pada waktu konsentrasi (tc) (mm/jam).
A = Luas DAS (km2).
T = Waktu konsentrasi ( ) (jam)

V= (km/jam).

L = jarak dari ujung daerah hulu sampai titik yang ditinjau (km).
H = Beda tinggi ujung hulu dengan titik yang ditinjau.

Koefisien pengaliran (f) tergantung tergantung dari beberapa faktor, antara


lain jenis tanah, kemiringan, luas dan bentuk pengaliran sungai, sedangkan
besarnya nilai koefisien pengaliran dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.8 Koefisien pengaliran


Kondisi Daerah Pengaliaran Koefisien Pengaliran (f)
Daerah pegunungan berlereng terjal 0,75 - 0,90
Daerah perbukitan 0,70 - 0,80
Tanah bergelombang dan bersemak-semak 0,50 - 0,75
Tanah dataran yang digarap 0,45 - 0,65
Persawahan irigasi 0,70 - 0,80
Sungai didaerah pegunungan 0,75 - 0,85
Sungai kecil didataran 0,45 - 0,75
Sungai yang besar dengan wilayah pengaliran lebih
0,50 - 0,75
dari seperduanya terdiri dari dataran
(Sumber: Loebis, 1987)

2.4.2 Metode Haspers


Untuk menghitung besarnya debit banjir rencana dengan metode Haspers
digunakan persamaan sebagai berikut :

(Loebis, 1987)

34
dimana:

Qt = Debit banjir rencana (m3/det)..

α = Koefisien pengaliran =

β = Koefisien reduksi

A = Luas DAS (km2).

Kemudian setelah didapatkan nilai t, kemudian menentukan nilai curah hujan


maksimum (Rn) dengan menggunakan persamaan berikut (Loebis, 1987):

 Untuk t < 2 jam

 Untuk 2 jam ≤ t ≤ 19 jam

 Untuk 19 jam ≤ t ≤ 30 jam



Setelah nilai Rn didapatkan, nilai debit persatuan luas (qn) dapat ditentukan
berdasarkan persamaan berikut:

Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menghitung debit puncak


dengan menggunakan Metode Haspers adalah sebagai berikut:
1. Menentukan besarnya curah hujan sehari (Rh rencana) untuk periode ulang
rencana yang dipilih
2. Menentukan koefisien run off (a) untuk daerah aliran sungai.
3. Menghitung A (luas area) untuk daerah aliran sungai.
4. Menghitung nilai t (waktu konsentrasi)
5. Menghitung 0, Rt, qn dan Qt = a R qn A

35
2.4.3 Metode FSR Jawa Sumatera
Untuk menghitung debit banjir rencana dengan menggunakan metode FSR Jawa
Sumatera digunakan:
Q = GF x MAF (Loebis, 1987)

dimana :
GF = Growth Factor (Tabel 2.9)
MAF = Debit maksimum rata-rata tahunan (m³/det).
= 8.106 x AREAV x APBAR2,445 x SIMS0,117 x (1+LAKE)-0,85
Langkah-langkah perhitungan debit banjir metode FSR Jawa Sumatera adalah
sebagai berikut :
1. AREA = Luas DAS (km2).
2. V = 1,02 – 0,0275 Log (AREA) (m/det).
3. APBAR = PBAR x ARF
PBAR = Data curah hujan maksimum tahunan terbesar.
ARF = Faktor reduksi (Tabel 2.10)
4. SIMS = index kemiringan.
SIMS = H/MSL
H = ∆H = Perbedaan Elevasi di bagian hulu dan bagian hilir.
MSL = Panjang sungai sampai titik pengamatan (km)
MSL = 0,90 x L
5. LAKE = .

Tabel 2.9 Growth Factor (GF)

Return Period Luas catchment area (km2)


(T) <180 300 600 900 1200 >1500
5 1,28 1,27 1,24 1,22 1,19 1,17
10 1,56 1,54 1,48 1,49 1,47 1,37
20 1,88 1,84 1,75 1,7 1,64 1,59
.550 2,35 2,3 2,18 2,1 2,03 1,95
100 2,78 2,72 2,57 2,47 2,37 2,27
(Sumber: Loebis, 1987)

36
Tabel 2.10 Faktor Reduksi Areal (ARF)

DAS (km2) ARF


1 - 10 0,99
10– -1030 0,97
30 – 3000 1,52 – 0,0123 log A
(Sumber: Loebis, 1987)

2.4.4 Metode Hidrograf Satuan Sintetik Gama I


Hidrograf Satuan Sintetik Gama I dibentuk tiga komponen dasar yaitu waktu naik
(TR), debit puncak (Qp) dan waktu dasar (TB). Kurva naik merupakan garis lurus, sedangkan
kurva turun dibentuk oleh persamaan berikut:
( )
Qt = Qp x
(Soemarto, 1999)
dimana:
Qt = Debit yang diukur dalam jam ke-t sesudah debit puncak (m3/detik)
Qp = Debit puncak (m3/detik)
t = Waktu yang diukur ketika debit puncak (jam)
k = Koefisien tampungan tiap jam

Gambar 2.4 Gambaran kurva hidrograf Satuan Sintetik Gama I


(Sumber: Soemarto, 1999)

37
Perhitungan waktu naik (TR) dapat ditentukan dengan rumus:

TR = 0,43( ) + 1,0665 SIM + 1,2775

(Soemarto, 1999)
dimana:
TR = Waktu naik (jam)
L = Panjang sungai (km)
SF = Faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai tingkat I dengan
panjang semua tingkat
SIM = Faktor simetri ditetapkan sebagai hasil kali antara faktor lebar /width factor (WF)
dengan luas relatif DAS sebelah hulu (RUA)
WF = Faktor lebar adalah perbandingan antara lebar DAS yang diukur dari titik di sungai
yang berjarak 0.75L dan lebar DAS yang diukur dari titik yang berjarak 0.25L dari
tempat pengukuran.
Perhitungan debit puncak (Qp) dapat ditentukan:
Qp = 0.1836 A0.5886 JN0.2381 TR-0.4008
(Soemarto, 1999)
dimana:
Qp = Debit puncak (m3/dtk)
JN = Jumlah pertemuan sungai yaitu jumlah seluruh pertemuan sungai di dalam DAS.
TR = Waktu naik (jam)
A = Luas DAS (km2)
Perhitungan waktu dasar (TB) dapat ditentukan sebagai berikut:
TB = 27.4132 TR0.1457 S-0.0956 SN0.7344 RUA0.2574
(Soemarto, 1999)
dimana:
TB = Waktu dasar (jam)
TR = Waktu naik (jam)
S = Landai sungai rata-rata
SN = Nilai sumber adalah perbandingan antara jumlah segmen sungai-sungai tingkat 1
dengan jumlah sungai semua tingkat untuk penetapan tingkat sungai.
RUA = Luas DAS sebelah hulu (km2), yaitu perbandingan antara luas DAS yang
diukur di hulu garis yang ditarik tegak lurus garis hubung antara stasiun hidrometri
dengan titik yang paling dekat dengan titik berat DAS (Au), dengan luas seluruh DAS.

38
Gambar 2.5 Gambaran sketsa penetapan WF (Sumber: Soemarto, 1999)

AU

Gambar 2.6 Gambaran sketsa penetapan RUA (Sumber: Soemarto, 1999)

Dari gambar nilai SIM = WF x RUA


Perhitungan hujan efektif dapat dilakukan dengan menghitung nilai indeks ɸ yang
dipengaruhi terhadap luas daerah tangkapan dapat ditentukan:
ɸ = 10.4903 – 3.589.10-6 A2 + 1.6985.10-13 (A/SN)4
(Soemarto, 1999)
dimana:
ɸ = Indeks infiltrasi
A = Luas DAS (km2)

39
SN = Nilai sumber adalah perbandingan antara jumlah segmen sungai-sungai tingkat 1
dengan jumlah sungai semua tingkat untuk penetapan tingkat sungai.
Aliran dasar dapat didekati sebagai fungsi luas daerah tangkapan air dan kerapatan jaringan
sungai yang diperhitungkan sebagai berikut:

QB = 0.4751 A0.6444 D0.9430 (Soemarto, 1999)

dimana:
QB = Aliran dasar (m3/detik)
A = Luas DAS (km2)
D = Kerapatan jaringan sungai (km/km2) yaitu perbandingan jumlah panjang sungai semua
tingkat dibagi dengan luas DAS.
Waktu konsentrasi atau lama hujan terpusat diperhitungkan sebagai berikut:
t = 0.1 L0.9 I-0.3 (Soemarto, 1999)
dimana:
t = Lama konsentrasi hujan terpusat (jam)
L = Panjang sungai (km)
I = Kemiringan sungai rata-rata
Faktor tampungan (k) dapat diperhitungkan sebagai berikut:

k = 0.5617A0.1798 S-0.1446 SF-1.0897 D0.0452 (Soemarto, 1999)

dimana:
k = Koefisien tampungan
A = Luas DAS (km2)
S = Kemiringan sungai rata-rata
SF = Faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai tingkat I dengan
panjang semua tingkat
D = Kerapatan jaringan sungai (km/km2) yaitu perbandingan jumlah panjang sungai semua
tingkat dibagi dengan luas DAS.
2.4.5 Metode Passing Capacity
Metode Passing Capacity adalah perhitungan debit banjir rencana dengan
memperhatikan keadaan sungai juga ketinggian muka air maksimum yang pernah terjadi dan

40
menggunakan data penampang sungai yang ada. Metode ini digunakan sebagai kontrol
terhadap perhitungan debit banjir rencana dengan metode lain.

Rumus yang digunakan yaitu :


Q= AxV
A
R
P
1
V * R 2 / 3 * i1 / 2 (Soedibyo, 1993)
n
dimana:
V = Kecepatan rencana (m/det)
n = Koefisien kekasaran Manning (Tabel 2.11)
R = Jari-jari hidrolis (m)
i = Kemiringan saluran
A = Luas penampang basah (m2)
P = Keliling basah (m)

Tabel 2.11 Harga koefisien Manning

Material dinding dan dasar saluran Koefisien Manning


Saluran beton 0,013
Pasangan batu disemen 0,015
Saluran tanah bersih 0,025
Saluran tanah 0,022
Saluran dengan dasar batu dan tebing
0,03
rumput
Saluran yang digali pada batu padas 0,04

Sumber: KP-02,1986

2.5 Perhitungan Kebutuhan Air


Perhitungan debit kebutuhan air dapat dilakukan berdasarkan data jumlah penduduk
serta data-data yang terkait dengan kebutuhan, seperti contoh kebutuhan air untuk pertanian
dibutuhkan data luas lahan yang ada. Kebutuhan air banyak ragamnya. Untuk itu perlu
ditentukan jenis kebutuhannya saat perencanaan.

41
2.5.1 Kebutuhan Air Irigasi
Kebutuhan air irigasi adalah sejumlah air irigasi yang diperlukan untuk mencukupi
keperluan bercocok tanam pada petak sawah ditambah dengan kehilangan air pada jaringan
irigasi.

Untuk menghitung kebutuhan air irigasi menurut rencana pola tata tanam, ada
beberapa faktor yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. Pola tanam yang direncanakan


2. Luas areal yang akan ditanami
3. Kebutuhan air pada petak sawah
4. Efisiensi irigasi
Kebutuhan air untuk irigasi meliputi beberapa tahap yaitu:
2.5.1.1 Kebutuhan Air di Sawah

Kebutuhan air di sawah (crop water requirement) ialah kebutuhan air yang diperlukan
pada petakan sawah yang terdiri dari:

a) Kebutuhan air untuk pengolahan lahan


b) Kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman (consumptive use)
c) Kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air pada petakan-petakan sawah.
Banyaknya air yang diperlukan oleh tanaman pada suatu petak sawah dinyatakan dalam
persamaan berikut:
NFR = ETc + P + WLR – Re (KP-02, 1986)

dimana:

NFR = Kebutuhan air di sawah (mm/hari)

ETc = Kebutuhan air tanaman (consumptive use) (mm/hari)

WLR = Penggantian lapisan air (mm/hari)

P = Perkolasi (mm/hari)

Re = Curah hujan efektif (mm)

2.5.1.2 Kebutuhan Air Untuk Penyiapan Lahan

Air yang dibutuhkan selama masa penyiapan lahan untuk menggenangi sawah hingga
mengalami kejenuhan sebelum transplantasi dan pembibitan. Kebutuhan air untuk penyiapan

42
lahan termasuk pembibitan adalah 250 mm, 200 mm digunakan untuk penjenuhan 200 mm
dan pada awal transplantasi akan ditambah 50 mm untuk padi, untuk tanaman ladang
disarankan 50-100 mm. Waktu yang diperlukan pada masa penyiapan lahan dipengaruhi oleh
jumlah tenaga kerja, hewan penghela dan peralatan yang digunakan serta faktor sosial
setempat.

Kebutuhan air selama jangka waktu penyiapan lahan dihitung berdasarkan rumus V.D
Goor-Ziljstra (1968). Metode tersebut didasarkan pada air konstan dalam lt/det selama
periode penyiapan lahan yang dihitung dengan rumus:

M xek
IR  (KP-02,1986)
ek  1

dimana:

IR = Kebutuhan air irigasi di sawah (mm/hari)

M = Kebutuhan air untuk mengganti kehilangan akibat evaporasi dan perkolasi di


sawah yang sudah dijenuhkan.

Eo = Evaporasi air terbuka diambil 1,1 ETo selama masa penyiapan lahan (mm/hari)

P = Perkolasi (mm/hari)

k =

T = Lamanya penyiapan lahan

S = Air yang dibutuhkan untuk penjenuhan ditambah dengan 50 mm.

Dari rumus diatas didapatkan kebutuhan air irigasi selama masa penyiapan lahan seperti
pada tabel berikut ini:

43
Tabel 2.12 Kebutuhan air irigasi selama masa penyiapan lahan
Eo + P T = 30 hari T = 45 hari
mm/hari S=250 mm S=300 mm S=250 mm S=300 mm
5,0 11,1 12,7 8,4 9,5
5,5 11,4 13,0 8,8 9,8
6,0 11,7 13,3 9,1 10,1
6,5 12,0 13,6 9,4 10,4
7,0 12,3 13,9 9,8 10,8
7,5 12,6 14,2 10,1 11,0
8,0 13,0 14,5 10,5 11,4
8,5 13,3 14,8 10,8 11,8
9,0 13,6 15,2 11,2 12,1
9,5 14,0 15,5 11,6 12,5
10,0 14,3 15,8 12,0 12,9
10,5 14,7 16,2 12,4 13,2
11,0 15,0 16,5 12,8 13,6

(Sumber: BPSDA, 2010)


2.5.1.3 Kebutuhan Air Tanaman
Kebutuhan air tanaman adalah sejumlah air yang dibutuhkan untuk mengganti air
yang hilang akibat penguapan. Besarnya kebutuhan air tanaman (consumptive use) dihitung
berdasarkan rumus sebagai berikut :

ETc = Kc x ETo (KP-02, 1986)

dimana:

ETc = Evapotranspirasi tanaman (mm/hari)

ETo = Evapotranspirasi tanaman acuan (mm/hari)

Kc = Koefisien tanaman

Harga koefisien tanaman padi dapat dilihat pada (Tabel 2.13) dan untuk tanaman
non padi dapat dilihat pada (Tabel 2.14)

44
Tabel 2.13 Harga-harga koefisien tanaman padi

Nedeco/Prosida FAO
2) 3)
Bulan Varietas Varietas Varietas Varietas
Biasa Unggul Biasa Unggul
0,5 1,20 1,20 1,10 1,10
1,0 1,20 1,27 1,10 1,10
1,5 1,32 1,33 1,10 1,05
2,0 1,40 1,30 1,10 1,05
2,5 1,35 1,30 1,10 0,95
3,0 1,24 0,00 1,09 0,00
3,5 1,12 0,95

(Sumber: BPSDA, 2010)

Tabel 2.14 Harga-harga koefisien perhitungan evapotranspirasi

Tanaman Jangka 1/2


Tumbuh bulan
hari No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kedelai 85 0,5 0,75 1,0 1 0,82 0,45
Jagung 80 0,5 0,59 0,96 1,05 1,02 0,95
Kacang Tanah 130 0,5 0,51 0,66 0,85 0,95 0,95 1 0,55 0..55
Bawang 70 0,5 0,51 0,69 0,9 0,95
Buncis 75 0,5 0,64 0,89 0,95 0,88
Kapas 195 0,5 0,5 0,58 0,75 0,91 1,04 1,1 1,05 1,1 0,8 0,7 0,65 0,65
(Sumber: BPSDA, 2010)

45
Tabel 2.15 Effective Rainfall Factors

NO MONTH 1 GOL 2 GOL 3 GOL 4 GOL 5 GOL 6 GOL


1 ½ 0,36 0,18 0,12 0,09 0,07 0,06
2 1 0,70 0,53 0,35 0,26 0,21 0,18
3 1½ 0,40 0,55 0,48 0,36 0,29 0,24
4 2 0,40 0,40 0,50 0,46 0,37 0,31
5 2½ 0,40 0,40 0,40 0,48 0,45 0,37
6 3 0,40 0,40 0,40 0,40 0,46 0,44
7 3½ 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,45
8 4 0,20 0,20 0,27 0,30 0,32 0,33
9 4½ 0,13 0,20 0,24 0,27
10 5 0,10 0,16 0,20
11 5½ 0,08 0,13
12 6 0,07

(Sumber: BPSDA, 2010)

2.5.1.3.1 Pergantian Lapisan Air


Pergantian lapisan air dilakukan sebanyak dua kali masing-masing 50 mm (atau
3,3 mm/hari selama ½ bulan) selama sebulan dan dua bulan setelah transplatasi.

2.5.1.3.2 Perkolasi
Perkolasi adalah gerakan air ke bawah dari daerah tidak jenuh ke dalam daerah
jenuh. Laju perkolasi lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

 Tekstur tanah
 Permeabilitas tanah
Laju perkolasi normal sesudah dilakukan penggenangan berkisar antara 1-3 mm/hari. Untuk
perhitungan kebutuhan air laju perkolasi diambil harga standar 2 mm/hari.

Selain debit andalan dan besarnya kebutuhan air, dihitung juga besarnya debit banjir
rencana. Hal ini agar bendung mampu menampung air disaat sungai sedang banjir. Adapun
debit banjir rencana dapat dijelaskan sebagai berikut:

46
2.6 Analisis Debit Andalan
Penghitungan debit andalan dapat dilakukan berdasarkan data debit hasil pencatatan
pos duga muka air dan atau penghitungan data curah hujan. Apabila tersedia data debit secara
lengkap baik dalam satuan waktu harian maupun satuan waktu bulanan yang tercatat selama
setidaknya 10 tahun, maka dapat langsung dilakukan analisis.
Debit andalan adalah debit minimum sungai dengan kemungkinan debit terpenuhi
dalam prosentase tertentu, misalnya 90%, 80% atau nilai prosentase lainnya. Debit andalan
pada umumnya dianalisis sebagai debit rata-rata untuk periode 10 hari, setengah bulanan atau
bulanan. Kemungkinan tak terpenuhi dapat ditetapkan 20%, 30% atau nilai lainnya untuk
menilai tersedianya air berkenaan dengan kebutuhan (Soewarno, 1995).
2.6.1 Debit Andalan Berdasarkan Data Curah Hujan
Dalam perencanaan proyek-proyek di bidang teknik sumber daya air biasanya terlebih
dahulu harus dicari debit andalan (depeneable discharge). Debit andalan ini diantaranya
digunakan sebagai debit perencanaan yang diharapkan tersedia untuk mengatur distribusi air
minum dan memperkirakan luas daerah irigasi. Namun pengumpulan data debit seringkali
bermasalah karena kondisi lokasi yang tidak memungkinkan sehingga menyebabkan tidak
kontinunya data debit. Dengan menggunakan Metode Mock diharapkan dapat memprediksi
debit yang tidak kontinu tersebut sehingga memadai untuk menentukan debit andalan .
Perhitungan debit andalan meliputi:
a. Data curah hujan
Data curah hujan yang dipakai adalah data curah hujan bulanan (Rs) dan data jumlah
hari hujan (n).
b. Evapotranspirasi
Perhitungan evapotranspirasi menggunakan metode Pennman, persamaan yang
digunakan antara lain:
dE/Eto = (m / 20) x (18-n)
dE = (m / 20) x (18-n) x Eto
Etl = Eto – dE (Soemarto, 1999)
dimana:
dE = Selisih Eto dan Etl (mm/hari)
Eto = Evapotranspirasi potensial (mm/hari)
Etl = Evapotranspirasi terbatas (mm/hari)
m = Prosentase tutupan lahan
n = Jumlah hari hujan (hari)
47
c. Keseimbangan air pada permukaan tanah
Persamaan mengenai air hujan yang mencapai permukaan tanah adalah:
S = Rs - Etl
SMC(n) = SMC(n-1) + IS(n)
WS = S – IS (Soemarto, 1999)
dimana:
S = Kandungan air tanah (mm)
Rs = Curah hujan bulanan (mm)
Etl = Evapotranspirasi terbatas (mm/hari)
IS = Tampungan awal (soil storage)
IS(n) = Tampungan awal (soil storage) bulan ke-n (mm)
SMC = Kelembaban tanah (soil storage moisture) (mmHg)
SMC(n) = Kelembaban tanah (soil storage moisture) bulan ke-n (mmHg)
SMC(n-1) = Kelembaban tanah (soil storage moisture) bulan ke-(n-1) (mmHg)
WS = Water surplus/ volume air berlebih (mm)

d. Limpasan (run off) dan tampungan air tanah


V(n) = k. V(n-1) +0,5.(1+k).I(n)
dV(n) = V(n) - V(n-1) (Soemarto, 1999)

dimana:
V(n) = Volume air tanah bulan ke-n (mm)
V(n-1) = Volume air tanah bulan ke-(n-1) (mm)
k = Faktor resesi aliran air tanah
I = Koefisien infiltrasi
e. Aliran sungai
Aliran dasar = Infiltrasi – perubahan volume air dalam tanah
B(n) = I – dV(n)
Aliran permukaan = Volume air berlebih – Infiltrasi
D(ro) = WS - I
Aliran Sungai = aliran permukaan + aliran dasar
Run off = D(ro) + B(n)

Debit =

48
2.6.2 Debit Andalan Berdasarkan Data Debit
Catatan debit atau hasil analisis empiris akan dianalisis kembali untuk mendapatkan
peluang keandalan yang diperlukan yang dapat dipilih keandalan lebih besar dari prosentase
tertentu yang telah ditetapkan, misalnya 90%, 80% atau nilai lainnya. Tahap ini dapat
menggunakan beberapa metode untuk menentukan seberapa besar keandalan aliran. Hasil dari
tahap ini digunakan nilai terkecil yang memungkinkan sehingga didapat julat aman debit
keandalan. Probabilitas dapat diterapkan dengan persamaan sebagai berikut:
a. Metode Basic Year
Dependable flow metode ini didapat dengan cara menyusun data dari nilai terbesar
hingga terkecil kemudian debit yang dimaksud terdapat pada urutan yang dihitung dengan
persamaan:
Q80 =

(Soemarto, 1999)
b. Metode Flow Characteristic Probability
Metode analisis frekuensi dilakukan dengan cara menyusun data dari besar ke kecil.
kemudian menghitung probabilitasnya dengan persamaan:
Weibul:
P= x 100%

California:
P= x 100%

Bernard–Bos Levenbach dan Chegodayev:

P= x 100% (Soemarto, 1999)

dimana:
p = probabiltas kejadian (%)
m = nomor urut data
n = jumlah data dalam analisis
c. Metode Distribusi Normal
Perhitungan metode ini menggunakan persamaan:
Q80 = X – (0,842.σ) (Soemarto, 1999)
dimana:
x = rata-rata
σ = standar deviasi

49
2.7 Neraca Air
Neraca air (water balance) merupakan neraca masukan dan keluaran air disuatu tempat
pada periode tertentu sehingga dapat untuk mengetahui air tersebut kelebihan (surplus)
ataupun kekurangan (deficit) (KP-01, 2003). Dari neraca air ini dapat diketahui tentang
ketersediaan air (water available) maupun jumlah kebutuhan air (water requirement).
2.8 Penelusuran Banjir (Flood Routing)
Penelusuran banjir atau flood routing digunakan untuk mengetahui karakteristik banjir,
misalnya perkiraan terhadap perilaku sungai setelah terjadi perubahan dalam palung sungai
semisal karena adanya pembangunan bendungan atau pembuatan tanggul (Soemarto, 1999).
Penelusuran banjir disini dilakukan dengan penelusuran banjir lewat waduk untuk
mengetahui perubahan inflow dan outflow akibat adanya tampungan (storage). Perhitungan
inflow (I) dan outflow (O) pada bendungan dapat dirumuskan.

* +x Δt - * +x Δt = (Soemarto, 1999).

dimana:
I = Inflow (m3/detik)
O = Outflow (m3/detik)
Δt = Periode penelusuran (jam)
S = Tampungan bendungan (m3)
Untuk perhitungan debit banjir yang keluar dari pelimpah (spillway) dapat dihitung
dengan persamaan:

Q = x Cd x Be x √ x He 3/2 (Soemarto, 1999).

dimana:
Q = Debit yang melewati spillway (m3/detik)
Cd = Koefisien debit limpasan
Be = Lebar efektif spillway (m)
g = Percepatan gravitasi (9,81 m2/detik)
He = Tinggi energi (m)
Langkah-langkah yang diperlukan untuk analisis flood routing adalah:
a. Menentukan hidrograf inflow sesuai skala perencanaan.
b. Menyiapkan data hubungan elevasi terhadap luas genangan dan volume tampungan
bendungan.

50
c. Menentukan atau menghitung debit limpasan spillway bendungan pada setiap ketinggian
diatas spillway dan dibuat dalam grafik.
d. Ditentukan kondisi awal waduk (muka air waduk) pada saat di mulai routing, kondisi
paling bahaya.
Jika analisis data telah dilakukan selanjutnya dilakukan perencanaan untuk proses
perencanaan bendung dan perencanaan tampungan long storage. Proses perencanaan
dijelaskan sebagai berikut:

2.9 Perencanaan Bendung dan Tampungan Long Storage

2.9.1 Lebar Bendung

Lebar bendung adalah jarak antara pangkal-pangkalnya (abutment) dan sebaiknya


sama dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil. Pada bagian ruas bawah sungai,
lebar rata-rata tersebut dapat diambil pada debit penuh (bankfull discharge), sedangkan pada
bagian atas sungai sulit untuk menentukan debit penuh. Lebar maksimum bendung sebaiknya
tidak lebih dari 1,2 kali rata-rata lebar sungai pada alur yang stabil.
Lebar total bendung tidak seluruhnya dimanfaatkan untuk melewatkan debit air karena
adanya pilar dan bangunan penguras, jadi lebar bendung yang bermanfaat untuk
melewatkan debit disebut lebar efektif (Be), yang dipengaruhi oleh tebal pilar dan koefisien
kontraksi pilar dan pangkal bendung. Dalam menentukan lebar efektif perlu diketahui
mengenai eksploitasi bendung, di mana pada saat air banjir datang pintu penguras dan
pintu pengambilan harus ditutup.Hal ini dimaksudkan untuk mencegah masuknya benda
yang terangkut oleh banjir yang dapat menyumbat pintu penguras bila pintu terbuka dan air
banjir masuk ke saluran induk.

Rumus:

Be = B – 2(n.Kp + Ka)H1 (KP-02, 1986)


dimana :

Be = Lebar efektif bendung (m) → (Be1+Be2+Be3).


B = Lebar mercu sebenarnya (m) → (B1+B2+B3).
Kp = Koefisien kontraksi pilar (Tabel 2.16)
Ka = Koefisien kontraksi pangkal (Tabel 2.17)
n = Jumlah pilar.
H1 = Tinggi energi (m).

51
Gambar 2.7 Sketsa lebar efektif bendung (Sumber: KP-02, 1986)

Tabel 2.16 Harga-harga Koefisien Kontraksi Pilar (Kp)


No Keterangan Kp
1
No Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut-sudut yang 0,02
pada
bulat jari jari yang hampir sama dengan 0,1 dari tebal pilar
2 Untuk pilar berujung bulat 0,01

3 Untuk pilar berujung runcing 0,00

(Sumber: KP-02, 1986)

Tabel 2.17 Harga-harga Koefisien Kontraksi Pangkal Bendung (Ka)


No Keterangan Ka
1 Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu pada 900 ke arah 0,2
aliran
Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada 900 ke arah aliran
2 0,1
dengan 0,5 Hl> r > 0,15 Hl
Untuk pangkal tembok bulat di mana r > 0,5 Hl dan tembok hulu tidak lebih
3 0
dari 450 ke arah aliran

(Sumber: KP-02, 1986)

52
2.9.2 Menentukan Tipe Mercu Bendung
Untuk tipe mercu bendung di Indonesia pada umumnya digunakan dua tipe mercu,
yaitu tipe Ogee dan tipe bulat. Kedua bentuk mercu tersebut dapat dipakai untuk konstruksi
beton maupun pasangan batu atau bentuk kombinasi dari keduanya.
2.9.2.1 Mercu Bulat
Bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan koefisien bendung ambang lebar. Mercu bulat akan banyak
memberikan keuntungan pada sungai yang akan dibendung karena mercu dengan tipe bulat
akan mengurangi tinggi muka air di hulu selama banjir.

Gambar 2.8 Bendung dengan mercu bulat (Sumber: KP-02, 1986)

Tekanan pada mercu adalah fungsi perbandingan antara H1 dan r (H1/ r). Untuk
bendung dengan dua jari-jari (R2), jari -jari hilir akan digunakan untuk menemukan harga
koefisien debit.
Untuk menghindari bahaya kavitasi lokal, tekanan minimum pada mercu bendung
harus dibatasi sampai –4 m tekanan air jika mercu tersebut dari beton.Untuk pasangan batu
tekanan subatmosfer sebaiknya dibatasi sampai –1 m tekanan air. Persamaan energi dan
debit untuk bendung ambang pendek dengan pengontrol segiempat adalah sebagai berikut:

√ (KP-02, 1986)

53
dimana :
Q = Debit (m 3 /dt).
Cd = Koefisien debit (Cd = C0.C1.C2).
G = Percepatan gravitasi (9,81 m/dt2).
b = Panjang mercu (m).
H1 = Tinggi di atas mercu (m).
C0 = Fungsi H1/r (Gambar 2.10)
C1 = Fungsi p/H1 (Gambar 2.11)
C2 = Fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung (Gambar 2.12)
C0 mempunyai harga maksimum 1,49 jika H1/r lebih dari 5,0

Gambar 2.9 Tekanan pada mercu bendung bulat fungsi perbandingan H1/r.
(Sumber: KP-02, 1986)

54
Gambar 2.10 Harga-harga koefisien C0 untuk bendung ambang bulat
(Sumber: KP-02, 1986)

Gambar 2.11 Koefisien C 1 sebagai fungsi perbandingan p/H 1


(Sumber: KP-02, 1986)

55
Gambar 2.12 Harga-harga koefisien C2 untuk bendung mercu ogee dengan muka hulu
melengkung (Sumber: KP-02, 1986).

Gambar 2.13 Faktor pengurangan aliran tenggelam sebagai fungsi H2/H1


(Sumber: KP-02, 1986)

2.9.2.2 Mercu Ogee


Mercu Ogee berbentuk tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam aerasi. Oleh
karena itu mercu tidak akan memberikan tekanan subatmosfer pada permukaan mercu
sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana. Untuk debit yang lebih rendah, air
akan memberikan tekanan ke bawah pada mercu.

56
Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir U.S Army Corps of
Engineers mengembangkan persamaan :
(Loebis, 1987)

dimana :
X dan Y = koordinator-koordinator permukaan hilir.
Hd = tinggi rencana di atas mercu (mm).
k dan n = koefisien kemiringan permukaan hilir.

Tabel 2.18 Harga – harga K.

Kemiringan permukaan K N
Vertikal 2 1,85
hilir
3:01 1,936 1,836
3:02 1,939 1,81
1:01 1,873 1,776
(Sumber: KP-02, 1986)

Bangunan hulu mercu bervariasi disesuaikan dengan kemiringan permukaan


hilir. Persamaan antara tinggi energi dan debit untuk bendung Ogee adalah :

√ (Loebis, 1987)

dimana :
Q = Debit (m 3 /dt)
Cd = Koefisien debit (Cd = C0.C1.C2)
G = Percepatan gravitasi (9,81 m/dt2).
b = Lebar mercu (m).
H = Tinggi energi di atas mercu (m).
C0 = Konstanta = 1,30.
C = Fungsi p/hd dan H /hd.
C = Fungsi koreksi untuk permukaan hulu.

Faktor koreksi C1 disajikan dalam Gambar 2.15 dan sebaiknya dipakai untuk
berbagai tinggi bendung di atas dasar sungai.

57
Gambar 2.14 Tipe mercu Ogee (Sumber: Loebis, 1987)

Gambar 2.15 Faktor koreksi untuk selain tinggi energi rencana pada bendung mercu

58
Ogee (Sumber: Loebis, 1987)
2.9.3 Tinggi Air Banjir di Hilir Bendung
Perhitungan dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

A = (b+m.h).h

(Loebis, 1987)

Perhitungan h dengan cara trial and error.


Elevasi muka air di hilir bendung = elevasi dasar hulu + h.

Gambar 2.16 Potongan melintang sungai di hilir bendung (Sumber: Loebis, 1987)

2.9.4 Tinggi Air Banjir di atas Mercu

√ (Loebis, 1987)

dimana :
Q = Debit (m3/det).
Cd = Koefisien debit.
g = Percepatan gravitasi (m/det2).
Be = Lebar efektif bendung (m).
H1 = Tinggi energi di atas mercu (m).

59
Gambar 2.17 Elevasi air di hulu dan hilir Bendung (Sumber: Loebis, 1987)

2.9.5 Kolam Olak


Kolam olak adalah suatu bangunan berupa olak di hilir bendung yang berfungsi untuk
meredam energi yang timbul di dalam aliran air superkritis yang melewati pelimpah.
Faktor pemilhan tipe kolam olak :
 Tinggi bendung.
 Keadaan geoteknik tanah dasar misalnya jenis batuan, lapisan, kekerasan tekan,
diameter butir dsb.
 Jenis angkutan sedimen yang terbawa aliran sungai.
 Keadaan aliran yang terjadi dibangunan peredam energy seperti aliran tidak sempurna
/tenggelam, loncatan air lebih rendah atau lebih tinggi.
Tipe kolam olak :
a. Berdasarkan bilangan Froude, kolam olak dikelompokkan sebagai berikut :
1. Untuk Fr ≤ 1,7 tidak diperlukan kolam olak. Pada saluran tanah bagian hilir harus
dilindungi dari bahaya erosi.
2. Bila 1,7< Fr ≤ 2,5 maka kolam olak diperlukan untuk meredam energi secara
efektif. Kolam olak dengan ambang ujung mampu bekerja dengan baik.
3. Jika 2,5< Fr ≤ 4,5 maka loncatan air tidak terbentuk dan menimbulkan gelombang
sampai jarak yang jauh di saluran. Kolam olak yang digunakan untuk
menimbulkan turbulensi (olakan) yakni tipe USBR tipe IV.
4. Untuk Fr ≥ 4,5 merupakan kolam olak yang paling ekonomis, karena kolam ini
pendek. Kolam olak yang sesuai adalah kolam USBR tipe III.

60
b. Kolam Olak Tipe Bak Tenggelam.
Jika kedalaman konjungsi hilir dari loncat air terlalu tinggi dibanding kedalaman air
normal hilir, atau kalau diperkirakan akan terjadi kerusakan pada lantai kolam yang
panjang akibat batu-batu besar yang terangkut lewat atas bendung, maka dapat dipakai
peredam energi yang relatif pendek tetapi dalam.
Kolam olak tipe bak tenggelam telah digunakan pada bendung-bendung rendah dan
untuk bilangan-bilangan Froude rendah. Bahan ini diolah oleh Institut Teknik
Hidrolika di Bandung untuk menghasilkan serangkaian perencanaan untuk kolam
dengan tinggi energi rendah ini. Dapat dihitung dengan rumus:

√ (Loebis, 1987)

dimana :
Hc = Kedalaman air kritis (m).
q = Debit per lebar satuan (m³/det.m).
g = Percepatan gravitasi (9,81 m.det).

Gambar 2.18 Kolam olak tipe bak tenggelam (Sumber: Loebis, 1987)
c. Kolam Vlugter.
Kolam Vlugter dikembangkan untuk bangunan terjun di saluran irigasi.Batas-batas
yang diberikan untuk Z/hc 0,5; 2,0; 15,0 dihubungkan dengan bilangan Froude.
Bilangan Froude itu diambil dalam Z di bawah tinggi energi hulu. Kolam Vlugter bisa
dipakai sampai beda tinggi energi Z tidak lebih dari 4,50 m.

61
Gambar 2.19 Kolam Vlugter (Sumber: Loebis, 1987)

jika 0,5 < ≤ 2,0 i = 2,4 hc + 0,4z

jika 2,0 < ≤ 15,0 i = 2.4 hc + 0.1z

a = 0,28hc √

D = R = L (ukuran dalam m)

d. Kolam Olak USBR Tipe IV.


Kolam olak tipe USBR digunakan untuk bilangan froude 2,5< Fr ≤ 4,5. Panjang
kolam olak,

Tinggi blok muka / chute block = 2*Y .


Tebal blok muka / chute block = 2 * Y (minimum).
Lebar blok muka / chute block W = Y .
Jarak antar blok muka = 2,5 * W.
Untuk end sill pada tipe kolam olak USBR IV dibuat menerus.

62
Tinggi end sill Hs = 0,2 * d2 (di mana d2 = Y ).
Lebar atas end sill = 0,2 * Hs.
Kemiringan end sill = 2 : 1.
Kedalaman lantai kolam olak H , digunakan rumus kecepatan akibat tinggi jatuh:
V = 2*g*H.

Gambar 2.20 Kolam olak tipe USBR IV (Sumber: Loebis, 1987)


2.9.6 Panjang Lantai Muka
Perencanaan panjang lantai muka bendung menggunakan garis kemiringan hidrolik.
Garis Gradien Hidrolik ini digambarkan di hilir ke arah hulu dengan titik ujung hilir bendung
sebagai permukaan dengan tekanan sebesar nol. Kemiringan garis hidrolik gradien disesuaikan
dengan kemiringan yang diijinkan untuk suatu tanah dasar tertentu, yaitu menggunakan
Creep Ratio (Cr). Untuk mencari panjang lantai depan hulu yang menentukan adalah beda
tinggi energi terbesar di mana terjadi pada saat muka banjir di hulu dan kosong di hilir. Garis
gradien hidrolik akan membentuk sudut dengan bidang horisontal sebesar α, sehingga
akan memotong muka air banjir di hulu. Proyeksi titik perpotongan tersebut ke arah
horisontal (lantai hulu bendung) adalah titik ujung dari panjang lantai depan minimum.
∑ ∑
dimana :
Lw = Panjang garis rembesan (m).
∑ = Panjang creep line vertical (m).
∑ = Panjang creep line horizontal (m).
Faktor Rembesan /creep ratio (Cw) = Σ Lw / ΔHw di mana, Cw > CL (aman).

63
Tabel 2.19 Harga-harga minimum angka rembesan Lane (CL)
Jenis Material CL
Pasir sangat halus / lanau 8.5
Pasir halus 7.0
Pasir sedang 6.0
Pasir kasar 5.0
Kerikil halus 4.0
Kerikil sedang 3.5
Kerikil kasar termasuk berangkal 3.0
Bongkah dengan kerikil 2.5
Lempung lunak 3.0
Lempung sedang 2.0
Lempung keras 1.8
Lempung sangat keras 1.6
(Sumber: KP-02, 1986)

2.9.7 Tebal Lantai Kolam Olak


Untuk menentukan tebal lantai kolam olak harus ditinjau pada dua kondisi yaitu pada
kondisi air mandi dan kondisi air banjir.

[ * +]

(Loebis, 1987)

dimana :
Px = Uplift Pressure (t.m³).
Hx = tinggi muka air di hulu bendung diukur dari titik x (m).
Lx = panjang creep line sampai titik x (m).
L = panjang creep line total (m).
ΔH = perbedaan tinggi tekan di hulu dan di hilir bendung (m).
γw = berat jenis air (1 t/m3).
t min = tebal minimum lantai kolam (m).
s = faktor keamanan untuk :
1,5 = untuk kondisi air normal.
1,25= untuk kondisi air banjir.
Wx = kedalaman.
γbatu = berat jenis pasangan batu (2,2 t/m³).

64
Gambar 2.21 Gaya angkat pada pondasi bendung (Sumber: Loebis, 1987)

2.9.8 Tinjauan Gerusan di Hilir Bendung


Tinjauan terhadap gerusan bendung digunakan untuk menentukan kedalaman
gerusan di hilir bendung. Untuk menghitung kedalaman gerusan digunakan metode Lacey
sebagai berikut :
(Loebis, 1987)

dimana :
R = kedalaman gerusan di bawah permukaan air banjir (m).
Dm = diameter rata-rata material dasar sungai (mm).
Q = debit yang melimpah di atas mercu (m3/det).
f = faktor lumpur Lacey.

65
Menurut Lacey, kedalaman gerusan bersifat empiris, maka dalam
penggunaannya dikalikan dengan angka keamanan sebesar 1,5.
2.9.9 Perencanaan Tampungan Long Storage
2.9.9.1 Perencanaan Tanggul
Tanggul merupakan salah satu bangunan yang paling utama dan paling penting dalam
usaha melindungi kehidupan dan harta benda masyarakat terhadap genangan-genangan yang
disebabkan oleh banjir dan badai (gelombang pasang).

Pembuatan tanggul dalam perencanaan long storage dibuat pada bagian hulu bendung.
Tanggul ini dibuat pada kedua sisi sungai. Panjang tanggul sesuai dengan kebutuhan volume
tampungan sesuai dengan hasil perhitungan.

Dalam perencanaan tempat kedudukan tanggul atau yang sering disebut dengan trase
tanggul, terutama dalam pembuatan bendung perlu diperhatikan area yang akan dialiri air
sungai, diusahakan lokasi tanggul yang kedap air agar mengurangi rembesan.

Gambar 2.22 Bagian-bagian tanggul (Sumber: Braja, 1995)

Dalam perencanaan dimensi tanggul perlu diperhatikan mengenai tinggi jagaan, yaitu
tambahan tinggi pada tanggul untuk menampung loncatan air dari permukaan air sungai atau
laut yang mengalir atau pasang. Selain tinggi jagaan harus direncanakan juga lebar mercu
tanggul dan kemiringan lereng tanggul.

Tinggi jagaan merupakan bagian penampang saluran di atas muka air tinggi. Ruang ini
berfungsi untuk menghindari terjadinya luapan akibat adanya gelombang oleh hembusan
angin, penutupan pintu air mendadak, atau faktor lain yang menyebabkan muka air melebihi
tinggi muka air rencana. Besarnya tinggi jagaan ditentukan sebagai berikut:

66
Tabel 2.20 Tinggi jagaan tanggul

Debit Banjir
No Jagaan (m)
Rencana (m³/dtk)
1 < 200 0,4
2 200 - 500 0,8
3 500 - 2000 1
4 2000 - 5000 1,2
5 5000 - 10000 1,5
6 > 10000 2

(Sumber: KP-02, 1986)

2.10 Analisis Struktur Bendung


Stabilitas bendung dianalisis pada tiga macam kondisi yaitu pada saat sungai
kosong, normal dan pada saat sungai banjir. Tinjauan stabilitas yang diperhitungkan dalam
perencanaan suatu bendung meliputi:

2.10.1 Analisis Gaya-gaya Vertikal


2.10.1.1 Gaya Akibat Berat Sendiri Bendung
Rumus:
G=V*γ
(Soedibyo, 1996)
dimana :
V = Volume (m3).
γ = Berat jenis bahan, pasangan batu = 2,2 T/m3.

2.10.1.2 Gaya Angkat (Uplift Pressure)


Rumus:
Px = Hx – H

(Soedibyo, 1996)

67
dimana :
Ux = gaya angkat pada titik x (t/m2)
Hx = tinggi vertikal muka air hulu sampai dengan titik x (m)
Lx = jarak ke titik x (m)
ΔH = beda tinggi antara muka air hulu dengan muka air hilir (m)
ΣL = panjang rembesan (m)

2.10.1.3 Gaya Hidrostatis


Rumus:
(Soedibyo, 1996)

dimana :
C = Proposan luas tekanan hidrostatis bekerja (c = 1 untuk tipe pondasi)
γx= Berat jenis lumpur (kg/m³) = 1600 kg/m³ =1,6 t/m³
h2 = Kedalaman air hilir (m)
h1 = Kedalaman air hulu (m)
δ = Proporsi tekanan diberikan pada tabel 2.14 (m)
Wu = Gaya tekanan ke atas resultan (ton)

Tabel 2.21 Harga-harga δ


Tipe Pondasi Batuan Proporsi Tekanan
Berlapis horisontal 1
Sedang, pejal (massive) 0.67
Baik, pejal 0.50

(Sumber: KP-02, 1986)

2.10.2 Analisis Gaya-gaya Horizontal


2.10.2.1 Gaya Akibat Tekanan Tanah Aktif dan Pasif

a) Tekanan tanah aktif dihitung dengan rumus sebagai berikut :

dimana γw = 1 t/m3
=

68
b) Tekanan tanah pasif dihitung dengan rumus sebagai berikut:

dimana γw = 1 t/m3
=
dimana :
Pa = Tekanan tanah aktif (t/m3)
Pp = Tekanan tanah pasif (t/m3)
= Sudut geser dalam (0)
g = Gravitasi bumi = 9,81 m/det2
h = Kedalaman tanah aktif dan pasif (m)
γsub = Berat jenis submerged/ tanah dalam keadaan terendam (t/m3)
γsat = Berat jenis submerged/ tanah dalam keadaan jenuh (t/m3)
γw = Berat jenis air = 1,0 T/m3
Gs = Specific Gravity
e = Void Ratio
2.10.2.2 Gaya Gempa

Rumus:

(Soedibyo, 1996)

dimana:
αd = Percepatan gemoa rencana (cm/det2).
n, m = Koefisien untuk masing-masing jenis tanah.
αc = Percepatan kejut dasar (cm/det2).
z = Faktor yang tergantung dari letak geografis
E = Koefisien gempa.
g = Percepatan gravitasi = 9,81 m/det2.

69
Dari koefisien gempa diatas, kemudian dicari besarnya gaya gempa dan momen akibat
gaya gempa dengan rumus gaya gempa:
K = E x G.
dimana :
E = Koefisien gempa.
K = Gaya gempa.
G = Berat bangunan (ton).
Momen M = K x jarak (m).

Setelah menganalisis gaya-gaya tersebut, kemudian diperiksa stabilitas bendung


terhadap guling, geser, pecahnya struktur, erosi bawah tanah (piping) dan daya dukung tanah.

2.11 Analisis Stabilitas Bendung


2.11.1 Stabilitas Terhadap Guling
Rumus:


(Soedibyo, 1996)

d mana :
SF = Faktor keamanan.
∑ = Jumlah momen tahan (ton meter).
∑ = Jumlah momen guling (ton meter).

2.11.2 Stabilitas Terhadap Geser


Rumus:


(Soedibyo, 1996)

dimana :
SF = Faktor keamanan.
∑ = Jumlah momen tahan (ton meter).
∑ = Jumlah momen guling (ton meter).
f = Koefisien geser = (0,6-0,75).

2.11.3 Stabilitas Terhadap Daya Dukung Tanah


Dari data tanah di lokasi bendung, diperoleh :
γ = Berat jenis tanah (T/m3).
C = Kohesi.

70
θ = Sudut geser dalam.
Df = Kedalaman pondasi (m).
Nc, Nq, dan N didapat dari grafik Terzaghi (Gambar 2.23)
Rumus daya dukung tanah Terzaghi :

(Braja, 1998)

Gambar 2.23 Nilai Nc, Nq dan Nγ (Sumber: Braja, 1998)

71
Tabel 2.22 Faktor kapasitas dukung tanah Terzaghi
Keruntuhan geser umum Keruntuhan geser lokal
ϕ
Nc Nq Nϒ Nc' Nq' Nϒ'
0 5,7 1 0 5,7 1 0
5 7,3 1,6 0,5 6,7 1,4 0,2
10 9,6 2,7 1,2 8 1,9 0,5
15 12,9 4,4 2,5 9,7 2,7 0,9
20 17,7 7,4 4,4 11,8 3,9 1,7
25 25,1 12,7 7,4 14,8 5,6 3,2
30 37,2 22,5 12,7 19 8,3 5,7
34 52,6 36,5 22,5 23,7 11,7 9
35 57,8 41,4 36,5 25,2 12,6 10,1
40 95,7 81,3 100,4 34,9 20,5 18,8
45 172,3 173,3 297,5 51,2 35,1 37,7
48 258,3 287,9 780,1 66,8 50,5 60,4
50 347,6 415,1 1153,2 81,3 65,6 87,1
(Sumber: Braja, 1998)
Kontrol :

* +

* + (Braja, 1998)

dimana :
SF = Safety factor.
RV = Gaya vertical (ton).
B = Panjang tubuh bendung (m).
σ = Tegangan yang timbul (t/m3).
α = Tegangan ijin (t/m3).

2.11.4 Stabilitas Terhadap Erosi Bawah Tanah (piping)


Keamanan bendung terhadap erosi bawah bendung dihitung dengan rumus:

(Soedibyo, 1996)

72
dimana :
SF = Safety factor.
s = Kedalaman tanah (m).
a = Tebal lapisan pelindung (m)
= Tekanan air pada kedalaman s (kg/m2)
2.11.5 Stabilitas Terhadap Lereng
Salah satu elemen penting dalam setiap pembuatan tanggul adalah kestabilan dinding
kolam.Tujuan dari menganalisis stabilitas lereng adalah untuk menentukan angka
keamanan terhadap kekuatan tanah, dengan ketentuan aman apabila fs ≥ 1

Analisis stabilitas lereng yang digunakan dalam tugas akhir ini menggunakan analisis
stabilitas metode irisan. Pada gambar 2.22 dapat dilihat tentang penjelasan terperinci
bagaimana cara menggunakan metode irisan. Langkah pertama yang dilakukan adalah
tanah yang berada di atas bodang longsor dibagi menjadi beberapa irisan tegak, lebar
dari tiap irisan tidak harus sama. Gaya-gaya yang bekerja pada irisan tertentu (irisan no
n) ditunjukkan dalam gambar 2.23 Wn adalah berat irisan. Gaya-gaya Nr dan Tr adalah
komponen tegak dan sejajar dari reaksi R. Pn dan Pn+1 adalah gaya normal yang bekerja
pada sisi-sisi irisan.

Demikian juga gaya geser yang bekerja pada sisi irisan adalah Tn dan Tn+1. Untuk
memudahkan, tegangan air pori dianggap = 0. Gaya Pn, Pn+1, Tn, dan Tn+1 adalah sulit
ditentukan. Tetapi, kita dapat membuat asumsi perkiraan bahwa resultan Pn dan Tn
adalah sama besar dengan resultan Pn+1 dan Tn+1, dan juga garis-garis kerjanya segaris.

Untuk Pengamatan keseimbangan,

Nr = Wn cos (

Gaya geser perlawanan dapat dinyatakan sebagai berikut :

Tegangan normal dalam persamaan diatas sama dengan :

73
Sebagai keseimbangan blok percobaan ABC, momen gaya dorong terhadap titik O
adalah sama dengan momen gaya perlawanan terhadap titik O, atau

∑ ∑

atau,



(Braja, 1995)

Gambar 2.24 Percobaan metode irisan pada suatu bidang (Sumber: Braja, 1995)

74
Gambar 2.25 Gaya-gaya yang bekerja pada irisan (Sumber: Braja, 1995)

75

Anda mungkin juga menyukai