Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
makalah Peralihan Hak Atas Tanah
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
dari penulisan makalah ini adalah:
1. Bagaimana mengenai pertanahan pada umumnya ?
2. Apa yang menjadi syarat formil dan materil dalam peralihan hak atas
tanah ?
3. Apa yang menjadi persoalan dalam peralihan hak atas tanah tanpa
sertifikat karena jual-beli ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan
makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana mengenai pertanahan pada umumnya.
2. Untuk mengetahui apa yang menjadi syarat formil dan materil dalam
peralihan hak atas tanah.
3. Untuk mengetahui apa yang menjadi persoalan dalam peralihan hak atas
tanah tanpa sertifikat karena jual-beli.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Tanah
Berdasarkan Ensiklopedi Indonesia, Tanah adalah campuran bagian-bagian
batuan dengan material serta bahan organik yang merupakan sisa kehidupan yang
timbul pada permukaan bumi akibat erosi dan pelapukan karena proses waktu.
Menurut Pendekatan Ahli Geologi, Ahli geologi akhir abad XIX
mendefinisikan tanah sebagai lapisan permukaan bumi yang berasal dari bebatuan
yang telah mengalami serangkaian pelapukan oleh gaya-gaya alam, sehingga
membentuk regolit yaitu lapisan partikel halus.
Menurut Darmawijaya (1990), Tanah sebagai akumulasi tubuh alam bebas,
menduduki sebagain besar permukaan planet bumi, yang mampu menumbuhkan
tanaman, dan memiliki sifat sebagai akibat pengaruh iklim dan jasad hidup yang
bertindak terhadap bahan induk dalam keadaan relief tertentu selama jangka
waktu tertentu pula.
Menurut Soil Survey Staff (1999), Tanah merupakan suatu benda alam yang
tersusun dari padatan (bahan mineral dan bahan organik), cairan dan gas, yang
menempati permukaan daratan, menempati ruang, dan dicirikan oleh salah satu
atau kedua berikut: horison-horison, atau lapisan-lapisan, yang dapat dibedakan
dari bahan asalnya sebagai hasil dari suatu proses penambahan, kehilangan,
pemindahan dan transformasi energi dan materi, atau berkemampuan mendukung
tanaman berakar di dalam suatu lingkungan alam.
Menurut Jooffe dan Marbut (1949), dua orang ahli Ilmu Tanah dari Amerika
Serikat menjelaskan bahwa tanah adalah tubuh alam yang terbentuk dan
berkembang sebagai akibat bekerjanya gaya-gaya alam terhadap bahan-bahan
alam dipermukaan bumi. Tubuh alam ini dapat berdiferensiasi membentuk
horizon-horizon mieneral maupun organik yang kedalamannya beragam dan
berbeda-beda sifat-sifatnya dengan bahan induk yang terletak dibawahnya dalam
hal morfologi, komposisi kimia, sifat-sifat fisik maupun kehidupan biologinya.
Tanah adalah tubuh alamiah yang terdiri dari lapisan (horison tanah) dari unsur
mineral ketebalan variabel, yang berbeda dari bahan induk dalam morfologi, fisik,
kimia, dan karakteristik mineralogi.
Tanah terdiri dari partikel pecahan batuan yang telah diubah oleh proses
kimia dan lingkungan yang meliputi pelapukan dan erosi. Tanah berbeda dari
batuan induknya karena interaksi antara, hidrosfer atmosfer litosfer, dan biosfer .
Ini adalah campuran dari konstituen mineral dan organik yang dalam keadaan
padat, gas dan air.
Pengertian tanah yang dikemukakan di atas adalah secara umum bukan
berdasarkan pandangan hukum Dalam pandangan hukum (UUPA) tanah menurut
Budi Harsono, sebagai berikut: “ Adapun permukaan bumi itu disebut tanah.
Dalam penggunaannya tanah meliputi juga tubuh bumi dan air serta ruang
angkasa yang ada di atasnya sekedar hal itu diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah tersebut (Pasal 4 ayat
2). Dengan demikian, maka pengertian tanah dalam penggunaannya berarti ruang
”
Tanah sama dengan permukaan bumi (Pasal 1 ayat 2 Jo Pasal 4 ayat 1
UUPA), diartikan sama dengan ruang pada saat menggunakannya karena termasuk
juga tubuh bumi dan air di bawahnya dan ruang angkasa di atasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi.
Kepastian hukum yang dimaksud dari Pasal 3 dan 4 tersebut meliputi 2 hal, yaitu:
a. Kepastian hukum mengenai objek (data fisik), yaitu keterangan mengenai letak,
batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk
keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya.
b. Kepastian hukum mengenai subjek (data yuridis), yaitu keterangan mengenai
status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang
haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.
Dilaksanakannya pendaftaran tanah juga bertujuan untuk menyediakan
informasi kepada para pihak yang berkepentingan. Dengan tersedianya informasi
ini, maka akan memudahkan berbagai pihak yang ingin mengetahui segala sesuatu
yang berhubungan dengan bidang-bidang tanah atau satuan rumah susun yang
sudah terdaftar tanpa harus mengecek langsung ke lokasi di mana bidang tanah
yang dimaksud berada.
Penyajian data tersebut dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Nasional
Kabupaten/ Kota khususnya Seksi Tata Usaha Pendaftaran Tanah. Informasi yang
dimaksud adalah keterangan atau dokumen yang terdapat dalam daftar umum.
Disebut sebagai daftar umum karena daftar dan peta-peta di dalamnya terbuka
untuk umum. Oleh karena itu para pihak berhak untuk mengetahui data yang
tersimpan di dalamnya sebelum melakukan perbuatan hukum mengenai suatu
bidang tanah atau satuan rumah susun.
Data yang tercantum dalam daftar nama tidak terbuka untuk umum. Hanya
diperuntukkan bagi instansi pemerintah tertentu untuk keperluan pelaksanaan
tugasnya. Dalam penjelasan Pasal 34 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997
dipaparkan bahwa daftar nama sebenarnya tidak memuat keterangan mengenai
tanah, melainkan hanya memuat keterangan mengenai orang perseorangan atau
badan hukum dalam hubungannya dengan tanah yang dimilikinya.
Dalam Pasal 30 dan 31 PP Nomor 24 Tahun 1997 diuraikan bahwa tujuan
pendaftaran tanah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap
mengenai bidang-bidang tanah dipertegas dengan dimungkinkannya pembukuan
bidang-bidang tanah yang data fisik dan/ atau data yuridisnya belum lengkap atau
masih disengketakan, walaupun untuk tanah-tanah demikian belum dikeluarkan
sertifikat sebagai tanda bukti haknya.
4. Sertifikat Tanah
Sertifikat tanah adalah produk final dari manajemen pertanahan yang
berfungsi sebagai alat bukti pemilikan sekaligus sebagai sarana pengendali bidang
tanah menuju tanah untuk kemakmuran dan keadilan serta menjamin
kelangsungan pembangunan berkelanjutan bagi seluruh rakyat NKRI. Oleh
karenanya maka penerbitan sertifikat tanah hanya dapat dikelola dalam satu
sistem terpusat.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 20 PP No. 24 Tahun 1997, sertifikat adalah
surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c
UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan
rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam
buku tanah yang bersangkutan.
Selanjutnya, dalam Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
tahun 1997 menjelaskan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis
yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
C. PEMBAHASAN
1. Peraturan Perundang-Undangan
Adapun yang menjadi peraturan perundang-undangan mengenai peralihan
hak atas tanah yaitu:
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria;
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 Tentang
Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah;
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak
Guna Usaha (“HGU”), Hak Guna Bangunan (“HGB”) Dan Hak Pakai Atas Tanah
Negara (“HP“);
- Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP
No.40/1997“);
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1996 Tentang
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Orang Asing (“PP No.41/1996“);
dan
- Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2
Tahun 1999 Tentang Percepatan Pelayanan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah
(“InMenAg No.2 Tahun 1999″);
Mengenai hak pakai ada pembatasan seperti diatur dalam pasal 43:
(1) Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai
hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang
(2) Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian yang betsangkutan.
b. Peralihan Hak Atas Tanah karena Pewarisan.
Hak-hak atas tanah mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan
manusia ini, karena semakin maju masyarakat, semakin padat penduduknya, maka
akan menambah lagi pentingnya kedudukan hak-hak atas tanah. Di dalam UUPA
telah ditentukan bahwa tanah-tanah di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia
harus didaftarkan, hal ini sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang berbunyi:
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadkan Pendaftaran Tanah,
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Selain itu juga diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUPA yang
berbunyi sebagai berikut:
“Hak milik, demikian juga setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan
hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksudnya
dalam Pasal 19”
Sedangkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dala Pasal 19
ayat (1) UUPA adalah Peraturan Pemerintah Noor 10 Tahun 1961 yang sekarang
telah disempurnakan dengn Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Menurut Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 disebutkan:
(1) Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah
susun diadftar dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat data
yuridis dan adat fiisk bidang tanah yang bersangkutan , dan sepanjang ada surat
ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut.
(2) Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya dalam surat ukur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti bahwa hak yang
bersangkutan beserta pemegang haknya dan boidang tananhya yang diuraikan
dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut Peraturan Pemerintah ini.
(3) Pembukuan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 23 dan berita acara pengesahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28”
Dengan sistem buku tanah berarti bahwa setiap hak atas tanah yang wajib
didaftarkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 harus dibuat
salinan dari buku tanah untuk diterbitkannya sertifikat.
Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan diwajibkan dalam rangka
memberikan perindungan hukum kepada para ahli waris dan demi ketertiban tata
usaha pendaftaran tanah, agar data yang tersimpan dan disajikan selalu
menunjukkan keadaan yang mutakhir. Proses pewarisan itu terjadi disebabkan
oleh meninggalnya seseorang dengan meninggalnya sejumlah harta kekayaan,
baik yang materiil maupun immateriil dengan tidak dibedakan antara barang
bergerak dan barang tidak bergerak.
Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli
warisnya yang dinamakan pewarisan terjadi hanya karena kematian, oleh karena
itu pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persayaratan yaitu:
1. Ada seseorang yang meninggal dunia
2. Ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh
warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
3. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.
Jika di antara harta peninggalan itu terdapat tanah hak milik maka hak atas
tanah itupun beralih kepada apara ahli waris tersebut. Peralihan hak tidak lagi
dibuat di hadapan Kepala Desa atau secara di bawah tangan, tetapi harus dibuat di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diangkat oleh Menteri Dalam Negeri
cq. Direktorat Jenderal Agraris, satu orang untuk tiap satu atau lebih daerah
Kecamatan. Sedangkan untuk suatu daerah Kecamatan yang belum diangkat
seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka Camat yang mengepalaia Kecamatan
tersebut untuk sementara ditunjuk karena jabatannya sebagai Pejabat Pembuat
Akta Tanah.
Untuk setiap perjanjian yang bermaksud mengalihkan hak atas tanah harus
dibuatkan suatu akta yang dibuat oleh Pejabat yang berwenang yaitu Pejabat
Pebuat Akta Tanah. Menuruut Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 menyebutkan bahwa:
“Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh
PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
tertentu menurut Peraturan Peerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan”.
Sebelum Pejabat membuat akta peralihan hak atas tanah harus
diperlihatkan lebih dahuku sertifikat tanah yang bersangkutan, bila tanah itu telah
didaftarkan atau dibukukan dalam bentuk tanah pada Kantor Agraria Seksis
Pendaftaran Tanah. Bila tanah itu belum didaftarkan atau dibukukan dalam buku
tanah maka sebagai pengganti sertifikat tanah harus diserahkan surat keterangan
pendaftaran tanah dari Kantor Agraria Seksi Pendaftaran Tanah setempat, bahwa
tanah itu belum mempunyai sertifikat atau sertifikat sementara.
Menurut ketentuan, akta harus ditandatangani oleh semua pihak, oleh
PPAT dan para saksi. Dan pada umumnya dibuat dalam rangkap empat, yaitu:
1. Satu helai (yang asli) bermaterai Rp. 6.000,- untuk disimpan dalam protokol
pejabat.
2. Satu helai bermaterai Rp. 6000.,- untuk keperluan Kantor Pertanahan.
3. Satu helai untuk keperluan lampiran permohonan izin (apabila diperlukan izin)
4. Satu helai untuk yang berkepentingan
Untuk semua akta peralihan hak, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan
Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 dan Surat Keputusan Menteri Dalam
Negeri tanggal 6 Agustus 1977 Nomor SK.104/DJA/1977 harus dipergunakan
formulir-formulir yang tercetak di kantor Pos.
Menurut UUPA tidak cukup dibuatkan akta saja tetapi harus melakukan
proses balik nama untuk membuat sertifikat, untuk balik nama atau perubahan
nama dari pemilik lama kepada rekomendasi dari Pejabat Pebuat Akta Tanah.
Tetapi dengan adanya akta sudah cukup untuk memperoleh hak milik, karena
haknya sudah beralih, hanya saja belum memiliki kepastian hukum di kemudian
hari. Karena untuk menjamin kepastian hukum harus dibuktikan dengan sertifikat
bukan oleh akta. Akta hanya berfungsi sebagai tanda bukti hak. Adapun syarat
balik nama adalah:
1. Ada akta pejabat (akta peralihan hak)
2. Bukti pelunasan yang menjadi kewajiban untuk peralihan hak tersebut.
3. Rekomendasi atau surat pengantar balik nama dari PPAT.
Pasal 11 PP Nomor 24 Tahun 1997 mengatur kegiatan pelaksanaan
Pendaftaran Tanah, bahwa “Pelaksanaan Pendaftaran Tanah meliputi kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah”.
Selanjutnya untuk pendaftaran peralihan hak milik atas tanah karena
pewarisan yang wajib dilakukan oleh pihak yang memperoleh tanah hak milik
sebagai warisan diatur dalam Pasal 42 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut:
“Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak
yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang
diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36, wajib
diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah
susun yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai
pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris”.
Dari ketentuan di atas, apabila seseorang pemilik tanah meninggal dunia,
maka orang yang menerima warisan itu dalam waktu 6 (enam) bulan harus
mendaftarkan tanah warisannya tersebut ke Badan Pertanahan Nasional, waktu 6
(enam) bulan itu dapat diperpanjang oleh Badan Pertanahan Nasional.
Menurut ketentuan pasal 61 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 :
“Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu 6
(enam) bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya
pendaftaran”.
Sesuai dengan pasal tersebut di atas, bahwa penerima warisan (ahli waris)
harus mendaftarakan tanahnya ke Kantor Pertanahan. Tetapi harus diperhatikan
terlebih dahulu apakah tanahnya tersebut sudah dibukukan atau belum. Apabila
tanahnya belum dibukukan sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (2) PP No. 24
tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut:
“jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar, wajib diserahkan juga
dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (1) huruf b”
Dokumen yang membuktikan adanya hak atas tanah pada yang
mewariskan diperlukan setelah pendaftaran untuk pertama kali hak yang
bersangkutan atas nama yang mewariskan. Hal tersebut dijelaskan dalam
Penjelasan Pasal 42 ayat (2) PP Nomor 24 tahun 1997.
Dari ketentuan Psal 42 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 di atas maka:
1. Ahli waris harus memperlihatkan surat bukti hak berupa bukti-bukti tertulis,
keterngan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebanarannya
oleh panitia Ajudikasi atau Kepala kantor Pertanahan dianggap cukup untuk
mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
2. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan
belum bersertifikat dari kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di
daerah yang jauh dari kedudukan kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang
bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
3. Berdasarkan data butir 1 dan 2 di atas kemudian dibuatkan akta waris oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Kemudian pemohon (ahli waris) mendaftarkan ke kantor Badan
Pertanahan Nasional dengan persyaratan sebagai berikut:
1. Mengisi formulir permohonan
2. Bukti identitas ahli waris
3. Surat Kuasa dan photo copy KTP penerima kuasa bila dikuasakan.
4. Sertifikat Hak Atas Tanah yang diwariskan.
5. Surat Kematian atas nama pemegang hak
6. Surat Tanda Bukti sebagai Ahli Waris:
o Wasiat dari pewaris; atau
o Putusan pengadilan; atau
o Surat Keterangan ahili Waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan
oleh 2 (dua orang saksi dan dikuatkan oleh Lurah atau Camat.
o Akta Pembagian hak Bersama (apabila langsung dibagi waris)
o Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir.
c. Peralihan hak atas tanah karena jual-beli
Di dalam UUPA tidak terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud
dengan pengertian jual beli itu. Menurut hukum barat yang pengaturannya
terdapat dalam pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan (hak
miliknya) suatu benda dan pihak yang lain (pembeli) untuk membayar harga yang
telah dijanjikan. Menurut pasal 1458 jual beli itu dianggap telah mencapai kata
sepakat mengenai benda yang diperjualbelikan itu seta harganya, biarpun benda
tersebut belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
Tetapi dengan adanya jual beli saja, hak milik atas benda yang diperjual
belikan, belumlah beralih kepada pembeli, walaupun harganya sudah dibayar,
sebab hak milik atas tanah tersebut baru beralih kepada pemiliknya apabila telah
dilakukan apa yang disebut penyerahan yuridis ( juridische levering), yang wajib
diselenggarakan dengan pembuatan akta tanah dimuka dan oleh Kepala Kantor
Pendaftaran tanah selaku overschrijvings ambtenaar menurut Overschrijvings
Ordonnanties 1934 No. 27 dan pasal 1459 KUHPerdata.
Beralihnya hak milik atas tanah hanya dapat di buktikan dengan
akta.Perbuatan hukum itu lazim disebut
( overschrijying ) aktanya disebut “akta balik nama
”, sedang pejabatnya disebut “ Pejabat balik nama” ; Sebelum dilakukan
penyerahan yuridis, melainkan penjual yang masih merupakan pemilik atas tanah
yang bersangkutan biarpun tanah yang diperjual belikan tersebut sudah di kuasai
oleh pembeli.
Menurut hukum adat, jual beli tanah bukan merupakan perjanjian seperti
pasal 1457 KUHPerdata, tetapi suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan
tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada
saat yang mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Dengan
dilakukan jual beli tersebut, maka hak milik atas tanah itu beralih kepada
pembeli. Walaupun misalnya baru dianggap telah dibayar penuh. Jual beli tanah
menurut hukum adat bersifat contant atau tunai. Dengan dilakukannya jual beli itu
dihadapan Kepala Desa/Adat, maka jual beli itu menjadi “terang”, dan bukan
merupakan perbuatan hukum yang gelap. Jadi, walaupun tanpa sertifikat
kepemilikan, asal dilakukan di hadapan Kepala Desa/Adat, maka tanah tersebut
dapat beralih kepemilikannya. Oleh karena itu pembeli mendapat pengakuan dari
masyarakat sebagai pemilik yang baru dan akan mendapat perlindungan hukum
apabila di kemudian hari ada gugatan terhadapnya.
3. Contoh kasus peralihan hak atas tanah tanpa sertifikat karena jual-beli
Pipil adalah surat pajak hasil Bumi / Verponding / Petuk pajak sebelum
berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diakui oleh masyarakat
sebagai bukti kepemilikan tanah. Namun, setelah berlakunya UUPA, pipil sudah
bukan sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah, melainkan sertifikat hak atas
tanah sebagai bukti kepemilikan yang sah.
Pada kenyataan di lapangan masih sering kali terjadi jual beli tanah yang
belum bersertifikat yakni hanya didasarkan pada pipil / Petuk pajak. Sebagai
contoh jual beli tanah yang belum memiliki sertifikat yang pernah terjadi di Kota
Denpasar, yaitu jual beli tanah dengan pipil Nomor 236, persil Nomor 15 klas II
seluas 3.750 m yang terletak di Desa Sanur Kauh, Denpasar Selatan antara I Gusti
Ngurah Bagus (penjual) dengan I Gusti Bagus Oka (pembeli). Dimana jual beli
tanah ini telah menimbulkan sengketa kepemilikan hak atas tanah. Karena
kekuatan hukum pelaksanaan jual beli tanah ini dianggap sangat lemah yang
sering kali memicu sengketa kepemilikan hak atas tanah.
Berdasarkan contoh kasus di atas, bahwa peralihan hak atas tanah melalui
jual beli dimana obyek jual belinya berupa tanah yang belum bersertifikat, pada
pelaksanaannya harus didahului dengan pendaftaran atau penegasan hak
(konversi) terhadap tanah tersebut hingga terbitnya suatu sertifikat hak milik atas
tanah, lalu dapat dilakukan proses jual beli atas tanah dan pembuatan akta jual beli
yang dilakukan dihadapan dan oleh PPAT. Selanjutnya oleh Kantor Pertanahan
Kota Denpasar, diterbitkan sertifikat hak milik yang baru atas nama pemilik yang
baru (pembeli). Sebab, jika tidak begitu maka akan menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum dari jual beli tanah yang belum bersertifikat berupa penyerahan
obyek jual beli yaitu berupa tanah kepada pembeli serta penyerahan pembayaran
harga jual beli kepada penjual.
D. KESIMPULAN
Adapun yang menjadi kesimpulan berdasarkan pembahasan di atas yaitu :
1. Peralihan hak atas tanah karena adanya pewarisan pada dasarnya memerlukan
sertifikat sebagai bukti kepemilikan. Namun, peralihan hak atas tanah ini,
sekalipun belum ada sertifikat tetap dapat terjadi, dengan syarat ahli waris sebagai
pemohonharus menyerahkan surat keterangan pendaftaran tanah dari Kantor
Agraria Seksi Pendaftaran Tanah setempat, bahwa tanah itu belum mempunyai
sertifikat atau sertifikat sementara. Hal ini dilakukan sebagai pengganti sertifikat
bila tanah itu belum didaftarkan atau dibukukan dalam buku tanah.
2. Peralihan hak atas tanah karena jual beli hanya dapat terjadi bila dibuktikan
dengan akta kepemilikan (sertifikat). Namun menurut hukum adat, peralihan hak
atas tanah ini tetap dapat terjadi sekalipun tidak ada sertifikat, asal dilakukan di
hadapan Kepala Desa/Adat, maka tanah tersebut dapat beralih kepemilikannya.
3. Untuk terjadinya peralihan hak atas tanah karena jual beli, membutuhkan
adanya sertifikat, namun pada kenyataan yang terjadi, masih banyak peralihan hak
atas tanah dengan cara jual beli tanah yang belum bersertifikat yakni hanya
didasarkan pada pipil / Petuk pajak seperti yang terjadi di Kota Denpasar.
Sehingga hal ini menimbulkan adanya sengketa kepemilikan atas tanah.