Anda di halaman 1dari 35

[i]

MAKALAH TUGAS KELOMPOK 6

HUKUM ACARA PIDANA

Disusun oleh:

1. Nurlaela Siska Suryantika (NPM : 195010003)


2. Dina Fadhilah Nurhasanah (NPM : 195010008)
3. Desi Laela Shofiatun Nisa (NPM : 195010009)
4. Andini Rachmawati (NPM : 195010018)
5. Indri Pebrianti (NPM : 195010030)
6. Ardan Fazhariansyah (NPM : 195010033)
7. Defna Nobirianto Putra (NPM : 195010045)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PRODI


PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

UNIVERSITAS PASUNDAN

Page i
[i]

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha pengasih lagi Maha penyayang
Kami panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah memberikan
rahmat dan hidayahnya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Hukum Acara Pidana.

Pembuatan makalah ini merupakan tugas wajib dan sebagai syarat untuk
memenuhi tugas mata kuliah pengatar Ilmu Pengantar Tata Hukum Indonesia.

Makalah yang berisi tentang Asas-Asas Hukum Acara Pidana ini telah kami
susun semaksimal mungkin dan tentunya mendapat bantuan dari berbagai
pihak, sehingga kami mampu menyusun makalah ini dengan tepat waktu.
Dengan itu kami sangat berterimakasih kepada banyak pihak yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini.

Tentunya makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi susunan
bahasa maupun penulisan. Oleh karena itu, kami menerima saran dan kritik dari
pembaca sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini.

Page i
[ii]

DAFTAR ISI

Kata pengantar...................................................................................................i

Daftar isi............................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3 Tujuan Pembuatan........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sistem Peradilan Pidana...............................................................................3

2.2 Pengertian Hukum Acara Pidana..................................................................

2.3 Sejarah Hukum Acara Pidana.......................................................................

2.4 Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana....................................................

2.5 Asas – Asas Hukum Acara Pidana...............................................................

2.6 Pihak – Pihak Yang Terlibat Dalam Hukum Acara Pidana...........................

2.7 Proses Pelaksanaan Acara Pidana..................................................................

2.8 Alat Bukti Perkara Pidana............................................................................

2.9 Sumber – sumber Hukum Acara Pidana....................................................

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan................................................................................................

3.2 Saran..........................................................................................................

3.3 Pengaplikasian..........................................................................................

Page ii
[iii]

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang demokratis,
berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Indonesia membutuhkan sebuah hukum yang hidup
atau berjalan, dengan harapan hukum tersebut dapat membentuk suasana yang tentram dan
teratur bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Agar harapan tersebut terlaksanakan, maka
hukum tersebut juga butuh ditegakkan, demi membela dan melindungi hak-hak setiap warga
Negara Repulik Indonesia.
Hukum Acara Pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana
Negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana
atau membebaskan pidana.
Didalam KUHAP disamping mengatur ketentuan tentang cara proses pidana juga
mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang yang terlibat proses pidana. Proses pidana
yang dimaksud adalah tahap pemeriksaan tersangka (interogasi) pada tingkat penyidikan.

1.2 Rumusan Masalah


Dari penjelasan latar belakang di atas maka dapat ditarik rumusan masalah dari
pembahasan makalah ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan hukum acara pidana?
2. Apakah tujuan dan fungsi dari hukum acara pidana?
3. Jelaskan asas-asas yang ada pada hukum acara pidana?
4. Siapakah pihak-pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana?
5. Bagaimanakah proses pelaksanaan acara pidana?
6. Apa sajakah alat-alat bukti perkara pidana?
7. Bagaimanakah perbedaan antar hukum acara perdata dan hukum acara pidana?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan uraian rumusan masalah diatas, maka dapat ditarik tujuan penulisan dari
makalah ini yaitu:
1. untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hukum acara pidana
2. untuk mengetahui tujuan dan fungsi dari hukum acara pidana.
3. untuk mengetahui asas-asas yang ada pada hukum acara pidana.

Page
iii
[iv]

4. untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana.


5. untuk mengetahui proses pelaksanaan acara pidana
6. untuk mengetahui apasajakah alat-alat bukti perkara pidana
7. untuk mengetahui perbedaan antar hukum acara perdata dan hukum acara pidana.

Page
iv
[v]

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Peradilan Pidana
Frank Remington mengemukakan bahwa sistem peradilan negara atau criminal
justice sytem adalah pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana
sebagai suatu sistem yang merupakan hasil dari interaksi antara peraturan perundang-
undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Mardjono Reksodiputro
menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana sebagai suatu upaya masyarakat untuk
menaggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi disini diartikan sebagai mengendalikan
kejahtaan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.
Sistem peradilan negara pada dasarnya memiliki beberapa tujuan, yaitu:
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang ada
3. Mengusahakan agar pelaku kejahatan tidak mengulangi kejahatnnya lagi.

2.2 Pengertian Hukum Acara Pidana


Hukum acara pidana yaitu keseluruhan peraturan hukum yang mengatur bagaimana
caranya alat-alat penegak hukum melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana.
Pengertian Hukum acara pidana menurut para ahli :
1. Menurut Van Bemellen
Hukum acara pidana yaitu kumpulan ketetapan hukum yang mengatur negara terhadap
adanya dugaan terjadinya pelanggaran pidana, dan untuk mencari kebenaran melalui alat-
alatnya dengan cara diperiksa di persidangan dan diputus oleh hakim dengan menjalankan
putusan tersebut.
2. Menurut Van Apeldoorn
Hukum acara pidana yaitu peraturan yang mengatur cara begaimana pemerintah dapat
menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana materiil.
3. Menurut Bambang Poernomo
Dalam arti sempit, hukum acara pidana yaitu kumpulan peraturan tentang proses
pelaksanaan hukum acara pidana, dan dalam arti luasnya yaitu kumpulan peraturan
pelaksanaan hukum acara pidana ditambah dengan peraturan lain yang berkaitan dengan itu.
Dalam arti sangat luas, ditambah lagi dengan peraturan tentang alternatif jenis pidana.

Page v
[vi]

4. Menurut Simon
Hukum acara pidana bertugas mengatur cara-cara negara dengan alat perlengkapanya
mempergunakan wewenangnya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.
5. Menurut Sudarto
Hukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus
dilakukan oleh pada penegak hukum dan pihak-pihak lain yang terlibat didalamnya apabila
ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar.
6. Menurut Seminar Nasional Pertama Tahun 1963
Hukum acara pidana adalah norma hukum berwujud wewenang yang diberikan kepada
negara untuk bertindak adil, apabila ada prasangka bahwasanya hukum pidana dilanggar.

2.3 Sejarah Hukum Pidana


a. Pengaruh Kerajaan Hindu
1. Sebelum masa colonial
1) Masyarakat secara keseluruhan harus bertanggung jawab jika di daerahnya terjadi
pelanggaran dan tidak di ketahui siapa yang melakukan pelanggaran tersebut.
2) Apabila tidak terdapat cukup bukti untuk menetapkan kesalahan seorang yang di sangka
melakukan perbuatan terlarang maka tersangka harus menjalani suatu perbuatan yang berat
dan berbahaya untuk membuktikan bersalah atau tidaknya.
3) Tidak ada pemisahan antara perkara pidana dan perdata berbagai penelusuran sejarah telah
di lakukan untuk melihat pola badan pengadilan pada masa kerajaan termasuk jenis hukuman.
Dari penelusuran sarjana-sarjana Belanda, terkait badan peradilan sebelum masa kolonial
terpisah menjadi 2 hal, yaitu :
1) Perkara yang menjadi urusan raja disebut pradata yang dimaksud perkara perdata
pada umumnya adalah perkara-perkara yang dapat membahayakan kekuasaan raja.
2) Perkara yang tidak menjadi urusan raja disebut Padu.Padu adalah perkara-perkara
yang berkaitan dengan kepentingan rakyat perseorangan yang tidak dapat di damaikan secara
kekeluargaan oleh hakim perdamaian di masing-masing tempatnya.
b. Pengaruh Kerajaan Islam
Berbeda dengan eksistensi hukum pradata yang mendapat tempat di kalangan masyarakat
atas dan tetap membiarkan perkembangan hukum asli di kalangan rakyat, hukum islam
mencoba memasukan pengaruhnya kedalam seluruh segi kehidupan masyarakat.

Page
vi
[vii]

2. Saat masa colonial


a. Era VOC
Pada tahun 1602 di Belanda didirikan perserikatan dagang untuk timur jauh vereenigde Oost
indische compagnie (VOC) yang di dalam pendiriannya (octrooi) diberikan bermacam hak
dan kekuasaan untuk memperkuat dan menyelamatkan tujuan berniaga.
b. Era Daendels
Daendels melakukan perubahan pertama dalam tata peradilan dengan diantaranya
mengubah nama raad van justitie menjadi hoge raad yang disertai dengan reposisi orang-
orang yang menepati posisi di dalamnya. Deandels menerapkan dualisme kewenangan
mengadili, hoge raad untuk bangsa Eropa, dan orang jawa yang melakukan kejahatan
bersama-sama dengan orang asing dan landraad untuk bumiputra.
c. Era Raffles
Untuk urusan peradilan, tindakan pertama di keluarkan Raffles adalah mengeluarkan
maklumat tanggal 27 Januari 1812 yang menyatakan bahwa semua pengadilan untuk bangsa
Eropa berlaku juga untuk bangsa Indonesia yang tinggal di dalam lingkungan kekuasaan
kehakiman kota-kota (Batavia, Semarang, Surabaya). Raffles mengeluarkan peraturan baru
pada tahun 1814 yang membuat susunan baru dari badan peradilan yang diklasifikasi
menjadi:
1) Division court, yang memiliki kompetensi untuk mengadili pelanggaran kecil dan
perkara sipil.
2) Bupati court, diketuai oleh bupati dan pegawainya sebagai anggota dalam
menjatuhkan putusan.
3) Resident court, terdiri atas residen, bupati, jaksa kepala, penghulu kepala yang
berwenang menjatuhkan putusan adalah residen, bupati hanya berwenang memberi
pertimbangan.
4) Court of circuit, hanya mengadili perkara yang dapat dijatuhi hukuman mati, dipimpin
oleh satu orang hakim dan jury yang tidak lagi berasal dari bangsa Eropa melainkan orang-
orang Indonesia.
d. Era Kependudukan Belanda Kembali
Perubahan yang diwacanakan pada saat itu adalah susunan pengadilan yang berbeda
antara bangsa Indonesia yang tinggal di kota dan tinggal di desa melalui reglement acara
pidana dan perdata. Adapun beberapa perubahan yang dilakukan adalah adanya kemungkinan
meminta banding atas putusan pengadilan districtgerecht kepada regentschapsraad. Tahun
1848 berlaku reglement opde rechterlijke organisatie (reglement tentang susunan pengadilan

Page
vii
[viii]

dan kebijaksanaan kehakiman) yang menentukan 6 macam pengadilan yang pada dasarnya
sama dengan macam pengadilan yang dibentuk oleh commisarissen general.

e. Era Pendudukan Jepang


Pengadilan pada masa Jepang di antaranya :
1) Gun hooin, pengadilan kawedanan, lanjutan districtgerecht pada masa Hindia-
Belanda.
2) Kein hooin, pengadilan kabupaten, lanjutan regentscapsgerecht.
3) Keizai hooin,lanjutan landgerecht, kekuasaannya tetap sama namun meliputi juga
wilayah hakim distrik dan hakim kabupaten.
4) Tihoo hooin, lanjutan landraad, tetapi hanya dengan seoranghakim, tidak lagi
menggunakan majelis, kecuali dalam perkara tertentu.

3.Setelah Kemerdekaan
Pada masa itu masih terdapat beberapa-beberapa bagian dari negara yang masih
berbeda-beda. Dibentuk Undang-Undang No.19 tahun 1948 tentang badan pengadilan dalam
daerah Republik Indonesia yang membentuk pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan
Mahkamah Agung. Aturan ini belum diberlakukan karena adanya upaya invasi kembali oleh
Belanda. Invasi Belanda pada kali ini bertujuan melumpuhkan kekuatan Indonesia dan
mengakibatkan terbentuknya Republik Indonesia Serikat.

4.Setelah UUD Darurat Nomor 1 Tahun 1951


Setelah RIS dibubarkan, atas dasar pertimbangan dibentuk UUD 1 Tahun 1951, UUD
ini menghapuskan badan-badan pengadilan sebelumnya dan mengembalikan tempat
kedudukan pengadilan tinggi yang sempat dipindahkan melalui UU NO.7 Tahun 1947
melalui UU ini badan sipil meliputi:
1. Pengadilan Negeri
Berwenang mengadili perkara perdata dan pidana, kecuali yang menjadi wewenang
Mahkamah Agung yang mengadili dalam tingkat pertama putusan dari pengadilan tinggi
selain putusan bebas.

2. Pengadilan Tinggi
Bertugas untuk memeriksa di tingkat kedua segala perkara perdata dan pidana sepanjang bisa
dimintakan banding.

Page
viii
[ix]

3. Mahkamah Agung
Bertugas untuk melakukan pengawasan tertinggi atas peradilan dibawahnya.

5. Setelah Unsang-Undang Nomor 8 Tahun 1981


1. Sekilas mengenai HIR
HIR menganut sistem campuran atau “the mixed type” yaiitu peranan yang besar kepada
jaksa penuntut umum. Ciri selanjutnya persidangan yang terbuka dengan hindari oleh
terdakwa dan penuntut umum. Terdakwa dan penasihat hukumnya masih dimungkinkan
mempelajari berkas perkara sebelum sidang pengadilan dimulai.
2. Sistem Peradilan Pidana Pasca KUHAP
KUHAP mengedepankan keterpaduan antar kelompok kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan lembaga permasyarakatan untuk mencapai tujuan dari sistem peradilan
pidana. Aparat tersebut dihubungkan dalam mekanisme kerja. Dan KUHAP disebut
bermuatan integrated criminal justice system.
Secara normatif beberapa perubahan yang terdapat pada KUHAP:
1. Penghapusan pengakuan sebagai alat bukti.
2. Memperkuat perlindungan hak-hak tersangka.
3. Pembatasan jangka waktu penahan.
4. Difresiansi Nasional
5. Lembaga praperadilan.

6.Rancangan perubahan kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


Dorongan untuk memperbaiki KUHAP dipengaruhi oleh berbagai faktor, Indonesia
banyak mengesahkan berbagai kovenan internasional yang berkaitan dengan hak asasi
manusia terutama dalam proses peradilan pidana, begitu pula dengan perkembangan global
Negara-negara maju yang melakukan revisi terhadap aturan hukum acara pidana.

Saat i ni KUHAP berubah-ubah dan berkali-kali gagal diselesaikan pembahasannya di tingkat


legislasi, beberapa permasalahan pentingyang muncul/.
Hakim pemeriksa pendahuluan sebagai pengganti lembaga peradilan dalam
pelaksanaannya terbukti kurang efektif melindungi hak tersangka karena sikap pasifnya
menunggu permohonan dari beberapa pihak. Hakim pemeriksa pendahuluan juga diberikan
sebagai kewenangan pengadilan negeri dalam hal memberikan izin terhadap tindakan upaya
paksa.

Page
ix
[x]

Jangka waktu penahanan


Hak asasi manusia dalam penahanan diharuskan dilakukan sesingkat mungkin dan segera
membawa tersangka ke pihak hakim. Toleransi penahanan oleh penyidik menurut Prof.
Dr.Stephan C.Thaman sebatas dua kali dua puluh empat jam, selanjutnya ditambahkan oleh
hakim pemeriksa pendahuluan dan dapat diperpanjang oleh hakim Pengadilan Negeri.
Pola hubungan antara penyidik dan penuntut umum
Pola koordinasi penyidik dan penuntut yang diwadahi dalam mekanisme prapenuntutan
seringkali berujung dengan hilangnya ribuan perkara (sebagai akibat bolak-balik berkas
perkara dari penyidik ke penuntut umum), pola hubungan antara penyidik dan penuntut
umum dalam KUHAP dibuat lebih koordinatif tidak hanya dalam tahap penyidikan,
melainkan dalam tahap persidangan kemungkinan penuntut umum menambah bukti baru
dalam persidangan dengan bantuan dari penyidik.
Sistem penyelesaian perkara diluar pengadilan
Rancangan KUHAP memperkenalkan proses penyelesaian perkara diluar sidang (afdoening
buiten proces) sebagai implementasi dari asas oportunitas dan asas peradilan cepat.
Rancangan merumuskan kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan penyelesaian perkara
diluar sidang seperti tindak pidana yang ringan, tindak pidana yang diancam dengan denda,
tersangka lansia, dan sudah ada ganti kerugian.
Secara garis besar, Rancangan KUHAP membawa sistem peradilan pidana Indonesia ke arah
yang lebih menepatkan hak asasi manusia sebagai fondai utamanya.

2.4 Tujuan, Fungsi dan Asas Hukum Acara Pidana


1. Tujuan hukum acara pidana
Tujuan Hukum Acara Pidana yaitu untuk menemukan kebenaran materiil. Kebenaran
materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk:
a. Mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum.
b. Meminta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu
tindak pidana telah dilakukan, dan apakah orang yang didakwakan dapat dipersalahkan.

2. Fungsi Hukum Acara Pidana

Page x
[xi]

Fungsi hukum acara pidana adalah menegakkan/menjalankan hukum pidana. Hukum


acara pidana beroprasi sejak adanya sangkaan tindak pidana walaupun tanpa adanya
permintaan dari korban kecuali tindakan pidana yang ditentukan lain oleh UU.1[3]
Adapun hukum acara pidana sebagai salah satu instrumen dalam sistem peradilan
pidana pada pokoknya memiliki fungsi utama, yaitu:
a. Mencari dan menemukan kebenaran
b. Pengambilan keputusan oleh hakim, dan
c. Pelaksanaan putusan yang telah diambil

3. Asas-Asas Hukum Acara Pidana


1. Asas persamaan di muka hukum ( Equality Before The Law)
Yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
membedakan perlakuan.
2.Asas perintah tertulis dari yang berwenang penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat berwenang dan dengan
cara yang diatur oleh undang-undang.
3. Asas praduga tak bersalah (presumtion of innocent)
Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan dan atau dihadapkan
dimukasidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan memeperoleh kekuatan hukum tetap.
4. Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah faham dan salah tuntut.
Kepada orang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan UU dan atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan wajib
diberi ganti rugi (hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa
imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan menurut cam yang diatur dalam undang-undang ini) dan rehabilitasi (hak seorang
untuk mendapat pemulihan hanya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena

Page
xi
[xii]

ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini) singkat dan para pejabat penegak hukum yang dengan
sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut,
dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.
5. Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur, dan tidak memihak.
Peradilan yang dilakukan harus cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan
tidak memihak. Harus ditrapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
6. Asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya
Setiap orang yang tersangkut perkara, wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan
hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
7. Asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan
Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan
selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum yang didakwakan kepadanya, juga wajib
diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasehat hukum.
8. Asas hadirnya terdakwa
Pengadilan memeriksa perkara pidana denagn hadimaya terdakwa.
9. Asas pemeriksaan di muka umum
Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang
sudah diatur dalam undang-undang.
10. Asas pengawasan pelaksanaan putusan
Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh
ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.

2.5 Pihak-Pihak Dalam Hukum Acara Pidana


Dalam perkara pidana sebenarnya terlibat beberapa pihak, di antara pihak-pihak yang
saling berhadapan itu terdapat hakim yang tidak memihak kedua pihak. Sistem saling
berhadapan ini disebut sistem pemeriksaan akusator (accusatoir). Dahulu, dipakai sistem
inkisitor (inquisitoir) yang mana terdakwa menjadi objek pemeriksaan, sedangkan hakim dan
penuntut umum berada pada pihak yang sama.2[5]

Page
xii
[xiii]

Dalam sistem saling berhadapan (adversary system) ini, ada pihak terdakwa yang
dibelakangnya terdapat penasihat hukumnya,sedangkan dipihak lain terdapat penuntut umum
yang atas nama negara menuntut pidana. Di belakang penuntut umum ini ada polisi yang
memberi data tentang hasil penyidikan (sebelum pemeriksaan hakim).
Sanksi-sanksi yang diajukan biasanya terbagi tiga.yaitu yang memberatkan terdakwa (a
charge), biasanya di ajukan oleh penuntut umum; yang meringankan terdakwa (a charge),
biasanya diajukan terdakwa atau penasihat hukumnya; dan ada pula saksi yang tidak
memberatkan dan tidak meringankan terdakwa, mestinya saksi golongan ketiga ini ialah saksi
ahli. yang terpenting diantara pihak ini tentulah terdakwa, karena dia yang akan menjadi
fokus pemeriksaan disidang pengadilan.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana yaitu:3[6]
1. Tersangka, yaitu orang yang diduga melakukan tapi sebelum masuk sidang pengadilan. Jika
sudah masuk pengadilan statusnya menjadi terdakwa, dan apabila sudah diputus maka
statusnya sebagai terpidana.
2. Terdakwa, seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di pengadilan.
3. Terpidana, yaitu seorang yang dipidana yang telah menerima kekuatan hukum tetap.
4. Saksi, yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentigan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang pidana yang is dengar, lihat atau alami
sendiri.
5. Saksi ahli, yaitu seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan peradilan.
6. Penyidik, yaitu pejabat polisi negara republik Indonesia yang diberi wewenang menurut UU
untuk melakukan penyidikan.
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) dan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 8 tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan bahwa Penyidik adalah:
a. Pejabat Polisi negara Republik Indonesia;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

7. Penyelidik, yaitu pejabat polisi ncgara republik Indonesia yang diberi wewenang mcnurut
untuk melakukan penyelidikan.

Page
xiii
[xiv]

8. Penyidik pembantu, yaitu pejabat kepolisian negara RI yang karena diberi wewenang tertentu
dapat melakukan tugas penyidikan.
9. Jaksa, yaitu pejabat yang dihcri wewenang olch undang-undang ini untuk bertindak sehagai
penuntut umum serta mclaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
10. Hakim, yaitu pejabat pengadilan yang diberi wewenang oleh UU untuk mengadili.
11. Advokat kuasa hukum, yaitu pihak atau orang yang akan memberikan bantuan hukum
kepada pihak yang terseret dalam suatu kasus. Serta membantu proses berjalannya acara
sidang di pengadilan.
12. Pejabat aparat eksekusi, yaitu pihak yang bertugas melaksanakan UU pelaksanaan pidana.
Misalnya pejabat Lapas (lembaga pemasyarakatan).

2.6 Proses Pelaksanaan Acara Pidana


Proses pelaksanaa acara pidana adalah merupakan suatu proses dan tata cara beracara
atau mengajukan perkara pidana ke muka persidangan. Adapun tahap-tahapannya adalah
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Pendahuluan
Di dalam pemeriksaan pendahuluan, sebelum sampai pada pemeriksaan disidang
pengadilan, akan melalui beberapa proses sebagai berikut:
a. Proses Penyelidikan dan Penyidikan.
Menurut KUHP diartikan bahwa penyelidakan adalah serangkaian tindakan untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidanaguna menentukan
dapat atau tidak nya dilakukannya penyelidikan (pasal 1 butir lima kuhap).
Dengan demikian fungsi penelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan, yang
bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang telah terjadi dan bertugas
membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan
penyidikan.
Sedangkan yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang acara pidana, untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menentukan tersangkanya (pasal 1 butir 2 KUHAP)
Oleh karena itu, secara kongkrit dapat dikatakan bahwa penyidikan dimulai sesudah
terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang
1) Tindak apa yang telah dilakukannya?

Page
xiv
[xv]

2) Kapan tindak pidana itu dilakuakan?


3) Dimana tindak pidana itu dilakukan?
4) Dengan apa tindak pidana itu dilakukan?
5) Bagaimana tindak pidana itu dilakukan?
6) Mengapa tindak pidana itu dilakukan?
7) Siapa pembuatnya?

b. Petugas-Petugas Penyelidik dan Penyidik


Menurut pasal 4 penyidik adalah setiap pejabat polisi Negara republik Indonesia. Di
dalam tugas penyelidikan mereka mempunyai wewenang-wewenang seperti diatur dalam
pasal 5 KUHAP sebagai berikut:
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2) Mencari keterangan dan barang bukti;
3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menayakan serta memeriksa tanda pengenal
diri;
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Sedangkan yang termasuk penyidik adalah:
1) Pejabat polisi Negara Republik Indonesia pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang.
2) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Yang dimaksud dengan penyidik pegawai negeri sipil tertentu, misalnya pejabat bea
dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan, yang melakukan tugas penyidikan sesuai
dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing.
Penyidik sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 6 KUHAP berwenang untuk:
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
2) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.
3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka.
4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
5) Melakukan pemeriksaan dan peryitaan surat.
6) Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalm hubungannya dengan pemeriksaan.
9) Mengadakan penghentian penyidikan.

Page
xv
[xvi]

10) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (pasal 7 KUHAP)

c. Pelaksanaan Penyelidikan dan Penyidikan


Penyelidikan atau penyidikan merupakan tidakan pertama-tama yang dapat dan harus
dilakukan oleh penyelidik atau penyidik jika terjadi atau timbul persangkaan telah terjadi
tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan tindak kejhatan atau pelanggaran
maka harus diusakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan
tindak pidana dan jika is siapakah pembuatnya.
Persangkaan atau pengetahuan telah terjadi tindak pidana ini dapat diperoleh dari
berbagai sumber yang dapt digolongkan sebagai berikut:
1) Kedapatan tertangkap tangan (ontdekkeng op heterdaad)
Adapun yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah:
a). Tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau
b). Dengan segera sesudah beberap saat tindakan pidana itu dilakukan, atau
c). Sesaat kemudian diserukan oleh khalayak rami sebagai orang yang melakukannya, atau
d). Apabila sesat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa is adalah pelakunya atau turut
melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.(pasal 1 butir 19 kuhap)
2) Di luar tertangkap tangan
Sedangkan dalam hal tidak tertangkap , pengetehuan penyelidik atau penyidik tentang
telah terjadinya tindak pidana dapat diperoleh dari:
a). Laporan
b). Pengaduan
c). Pengetahuan sendiri oleh penyelidik atau penyidik
3) Penangkapan dan Penahanan
Yang dimaksud dengan penangkapan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan. Sedangkan penahanan
adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut
umum atau hakim.4[9]

Page
xvi
[xvii]

Jadi, penangkapan dan penahanan adalah merupakan tindakan yang membatasi dan
mengambil kebebasan bergerak seseorang. Mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
melakukan penahanan terdapat dalam pasal 20 dan 21 ayat 1 dan ayat (4).
4) Penangguhan dan Penahanan
Untuk menjaga supaya tersangka atau terdakwa yang ditahan tidak dirugiakn
kepentingannya karena tindakan penahanan itu yang mungkin akan berlangsung untuk
beberapa waktu, diadakan kemungkinan untuk tersangka atau terdakwa mengajukan
permohonan agar penahanannya ditangguhkan, berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam
HIR yang menetapkan bahwa pejabat satu-satunya yang berwenang menangguhakan
penahanan ialah hakim, maka menurut KUHAP yang berhak menentukan apakah suatu
penahanan perlu ditangguhakan atau tidak ialah penyidik atau penuntut umum atau hakim
sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
5) Penggeledahan Badan dan Rumah
Penggeledahan badan dan penggeledahan rumah hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan penyidikan dan dengan surat perintah untuk itu dari yang berwenang. Yang
dimaksud dengan penggeledahn badan ialah tindakan penyidik untuk mengadakan
pemeriksaan badann atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada
badannya atau dibawanya serta untuk disita.
6) Penyitaan
Yang dimaksud dengan penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan, dan pengadilan. Di samping itu, menurut pasal 39 KUHAP ditentukan bahwa
benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a). Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari
tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana
b). Benda yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya
c). Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
d). Benda yang khusus di buat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana
e). Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.
7) Pemeriksaan ditempat kejadian
Pemeriksaan ditempat kejadian pada umumnya dilakukan karena delik yang
mengakibatkan kematian, kejahatan seksual, pencurian dan perampokan. Dalam hal

Page
xvii
[xviii]

terjadinya kematian dan kejahatan seksual, sering dipanggil dokter untuk mengadakan
pemeriksaan ditempat kejadiaan diatur dalam pasal 7 KUHAP.
8) Pemeriksaan tersangka
Sebelum penyidik melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang dilakukan suatu
tindak pidana, maka penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk
mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkara itu wajib didampingi penasehat
hukum (pasal 114 KUHAP)
9) Pemeriksaan saksi dan ahli
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan peradialan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri.
Mengenai hal ini, menurut pasal 224 KUHAP yang berbunyi:
"Barang siapa dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau juru
bahasa dengan sengaja tidak melakukan suatu kewajiban menurut undang-undang, yang ia
sebagai demikian harus melakukan:
a. Dalam perkara pidana dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 9 bulan.
b. Dalam perkara lain, dipidana dengan pidana penjara selam-lamanya 6 bulan.”
10) Penyelesaian dan Penghentian Penyidikan
Menurut Syarifudin Petranase penyidikan itu dianggap selesai ketika dinyatakan
bahwa:
a). Penyidikan dianggap selesai apabila dalam waktu 7 hari,setelah penuntut umum menerima
hasil pendidikan dari penyidik, ada pemberitahuan dari penuntut umum bahwa penyidikan
diaanggap selesai. Pemberitahuan tersebut merupakan keharusan atau kewajiban bagi
penuntut umum seperti yang diatur dalam pasal 138 ayat 1 KUHAP.
b). Penyidikan diaanggap selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak
mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik sebagaimana yang diatur dalam pasal 110
ayat 4 KUHAP.

11) Surat Dakwaan


Surat dakwaan adalah rumusan tindak pidana sebagai dasar dan batas pemeriksaan dan
penuntutan yang dikehendaki UU dalam sidang pengadilan.
1) Syarat-syarat dalam surat dakwaan :
a). syarat formil

Page
xviii
[xix]

Identitas lengkap terdakwa, seperti nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kebangsaan, tempat
tinggal, agama dan pekerjaan.
b). syarat materiil
harus berisi uraian secara cermat jelas dan lengkap mengenai tindakan pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tapi itu dilakukan.

2) Cara merumuskan surat dakwaan


Cara merumuskan surat dakwaan: harus mengandung lukisan dari apa yang senyatanya
terjadi dan mengandung unsur yuridis dari dari tindak pidana yang dilakukan.
3) Pembatalan Surat Dakwaan
a) pembatalan formil: karena tidak memenuhi syarat mutlak yang ditentukan UU (batal demi
hukum).
b) pembatalan hakiki: berdasarkan keputusan penilaian hakim karena kurangnya syarat yang
dianggap esensil (tergantung maksud dan tujuan surat dakwaan). Salah satu cara pembelaan
adalah membuat alibi, yaitu menyatakan tidak ada di tempat pada waktu kejadian yang
disebutkan dalam surat dakwaan.
4) Macam-macam Surat Dakwaan
a. dakwaan tunggal: terdakawa hanya didakwa dengan satu dakwaan saja.
b. dakwaan alternatif: terdakwa didakwa dengan dakwaan. Biasanya karena keraguan jaksa
tentang jenis TP apa yang tepat untuk menjadi dasar dakwaan.
c. dakwaan subsidair: dakwaan dengan mengurutkan dari yang terberat.
d. dakwaan komulatif: dakwaan sekaligus dan masing-masing berdiri sendiri.
e. dakwaan campuran: campuran dari dakwaan alternatif, subsidair, dan komulatif.
5) Syarat penggabungan perkara:
a) beberapa tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang yang sama.
b) sating sangkut-paut antara satu tp dengan tp yang lain.
c) tidak sangkut paut namun masih saling berhubungan dan dianggap perlu dalam proses
pemeriksaan.

2. Pemeriksaan di muka sidang pengadilan


a. Penentuan Hari Sidang Dan Pemanggilan

Page
xix
[xx]

Penentuan hari sidang di tentukan oleh hakim yang di tunjuk oleh ketua pengadilan
untuk menyidangkan perkara (Pasal 152 ayat (1) KUHAP). Dalam hal ini, hakim tersebut
memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan sanksi untuk datang
disidang pengadilan (Pasal 152 ayat (2) KUHAP).
b. Pemeriksaan Perkara Biasa
KUHAP membedakan tiga macam pemeriksaan sidang pengadila. Pertama,
pemeriksaan perkara biasa; kedua, pemeriksaan singkat; ketiga, pemeriksaan cepat.
Pemeriksaan cepat dibagi lagi alas pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara
pelanggaran lalu lintas jalan.
c. Pemeriksaan Singkat
Seperti telah disebut dimuka, ketentuan tentang acara pemeriksaan biasa berlaku juga
bagi pemeriksaan singkat, kecuali ditentukan. Hal ini dapat dibaca dalam pasal 203 ayat (3)
yang mengatakan bahwa dalam acara ini (acara pemeriksaan singkat) berlaku ketentuan
bagian kesatu, Bagian kedua, Bagian ketiga bab ini (XVI), sepanjang peraturan itu tidak
bertentangan dengan ketentuannya.
d. Pemeriksaan Cepat
Istilah yang dipakai HIR ialah perkara rol. Ketentuan tentang acara pemeriksaan biasa
berlaku pula pada pemeriksaan cepat dengan kekecualian tertentu.

3. Putusan hakim pidana


a. Acara pengambilan keputusan
Apabila hakim memandang pemeriksaan sidang sudah selesai, maka ia mempersilahkan
penuntut umum membacakan tuntutannya (requisitoir). Setelah itu giliran terdakwa atau
penasihat hukumnya membacakan pembelaann)a yang dapat dijawab oleh penuntut umum,
dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukumnya mendapat giliran terakhir (Pasal
182 ayat (1) KUHAP).
b. Isi keputusan hakim
Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan, Bentuk-bentuk
putusan pengadilan dalam perkara pidana:
1) Putusan Bebas: jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan dipersidangan,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan.

Page
xx
[xxi]

2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan: Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti , tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
3) Putusan pemidanaan: Jika terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Sebelum membicarakan putusan akhir tersebut, perlu kita ketahui bahwa pada waktu
hakim menerima suatu perkara dari penuntut umum dapat diterima. Putusan mengenai hal ini
bukan merupakan keputusan akhir (vonnis), tetapi merupakan suatu ketetapan.

c. Formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim


Dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan
hakim dan menurut ayat (2) pasal itu kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang
tersebut pada huruf g, putusan batal demi hukum.

d. Subtansi putusan hakim


Surat putusan pemidanaan memuat:
1) Kepala putusan yang dituliskan berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN TUHAN
YANG MAHA ESA".
2) Nama lengkap, tempat lahir, umur, tanggal lahir, jenis kelamin
3) Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan
4) Pertmbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat
pembuktian yang diperoleh di sidang pemeriksaan
5) Tuntutan pidana
6) Pasal aturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan
7) Hari dan tanggal diadakannnya musyawarah majelis hakim
8) Pernyataan kesalahan terdakwa
9) Ketentuaan kepada siap biaya perkara dibebankan
10) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya
kepalsuan itu, jika dianggap ada akta oetentik yang palsu
11) Perintah supaya terdakwa ditahanatau tetap dalam tahanan atu dibebaskan
12) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut, nama hakim yang memutus dan nama panitera.

Page
xxi
[xxii]

4. Upaya hukum
Adapun upaya hukum dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Upaya hukum biasa
KUHAP membedakan upaya hukum biasa dan luar biasa. Upaya hukum biasa
merupakan Bab XVII, sedangkan upaya hukum luar biasa Bab XVIII. Upaya hukum biasa
terdiri dari dua bagian, bagian kesatu tentang pemeriksaan banding dan bagian kedua tentang
pemeriksaan kasasi.
1) Pemeriksaan tingkat banding Pemeriksaan tingkat Banding
a) Hakim terdiri dari hakim majelis ( sekurang -kurangnya 3 orang )
b) Dasar pemeriksaan adalah berkas perkara yang diterima dari PN (yang sudah dikirim dalam
waktu 14 Hari) berkas -berkas yang dikirim adalah:
i. Berita acara penyidikan
ii. Berita acara pemeriksaan sidang
iii. Alat-alat bukti yang ada serta surat -surat tertentu yang timbul
dipengadilan
iv. Putusan pengadilan
c) Dalam pemeriksaan hakim banding adalah berkas -berkas perkara yang dikirim oleeh PN
tetapi jika perlu maka hakim PT dapat memanggil saksi-saksi, terdakwa atu penuntut umum.
Untuk melakukan konfirmasi. Hakim PT juga dapat memerintahkan untuk melakukan
pemeriksaan tambahan kepada PN atau melakukan sendiri.
2) Kasasi
Alasan-alasan dalam pengajuan kasasi:
a) Pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang atau melampaui batas wewenang dalam
memeriksa dan memutus sengketa yang bersangkutan.
b) Pengadilan telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
c) Pengadilan lalai memenuhi syarat -syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Sedangkan tata cara pengajuan Kasasi adalah sebagai berikut:
a) Diajukan dalam waktu empat belas hari sesudah putusan diberitahukan kepada terdakwa.
b) Permintaan tersebut ditulis oleh panitera dan ditandatangani oleh pemohon dan panitera.
c) Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohoan kasasi
dalam waktu 14 hari sejak permohonan kasasi diterirna panitera. Apabila dalam
tenggangwaktu tersebut pemohon terlambat menyerahkan memori kasasi maka hak untuk
mengajukan kasasi gugur.

Page
xxii
[xxiii]

d) Pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung oleh Panitera selambat-lambatnya 14 hari


setelah permohonan kasasi tersebut lengkap.

b. Upaya hukum luar biasa


Upaya hukum luar biasa tercantum didalam Bab XVIII KUHAP, yang terdiri atas dua
bagian, yaitu bagian kesatu pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum dan bagian
kedua peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
1) Kasasi demi kepentingan umum
a) Diajukan oleh Jaksa Agung untuk satu kali
b) putusan yang dapat dilakukan kasasi demi kepentingan hukum adalah semua
putusanpengadilan yang telah mempuyai kekuataan hukum Tetap
c) Tidak boleh merugikan kepentingan para pihak
d) Pengajuan melalui Hakim PN
2) Peninjauan Kembali
Alasan Peninjauan Kembali:
a) Ditemukan /terdapat alat bukti lain yang apabila alat bukti tersebut ada pada saatpemeriksaan
sidang berlangsung akan menyebabkan:
i. Putusan bebas
ii. Putun Lepas dari segala tuntutan hukum
iii. Tuntutan tidak bisa diterima
iv. Memperoleh Pidana yang lebih ringan.
b) Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, tetapi hal
atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakn telah terbukti itu, temyata
bertentanan satu dengan yang lain.
c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu ke khilafan atu suatu kekeliruan
yangnyata. Tata cara pengajuan peninjauan kembali:
d) Diajukan ke Mahkmah Agung melalui Panitera yan mengadili.
e) Permintaan peninjauan kembali tersebut oleh panitera ditulis dalam surat keterangan
yangditandatangani oleh panitera serta pemohon dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan
pada berkas perkara.

5. Pelaksanaan putusan hakim pidana


Tata cara pelaksanaan putusan hakim pidana:
a. Pelaksanaan Putusan pengadilan dilakukan oleh Jaksa (Pasal 270 KUHAP)

Page
xxiii
[xxiv]

b. Pelaksanaan pidana mati tidak dilakukan didepan umum (Pasal 271 KUHAP)
c. Pidana dijalankan secara berturut-turut, jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan
kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum is menjalani pidana yang dijatuhkan
terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan
lebih dahulu (Pasal 272 KUHAP )
d. Jangka waktu pembayaran denda satu bulan dan dapat diperpanjang
e. Barang bukti yang dirampas oleh negara dilelang dan hasilnya dimasukkan ke kas negara
f. Putusan ganti rugi dilaksanakan secara perdata
g. Biaya perkara dan ganti rugi ditanggung berimbang oleh para narapidana
h. Pidana bersyarat diawasi dan diamati sungguh-sungguh.

2.7 Alat-Alat Bukti Perkara Pidana


Kata "bukti" berarti adalah suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk
memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Secara terminologi dalam hukum
pidana bukti adalah hal yang menunjukkan kebenaran, yang diajukan oleh penuntut umum,
atau terdakwa, untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Kata bukti sering digabungkan dengan istilah/kata lain seperti : alat bukti dan barang
bukti. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan,
dimana dengan alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna
menimbulkan keyakinan hakim atas adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh
terdakwa.
Sedangkan barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. penyitaan, dan atau penggeledahan
dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud.
Sehingga keduanya dipergunakan pada waktu pembuktian di persidangan, pembuktian
adalah suatu proses, cara, perbuatan membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya
siterdakwa dalam sidang pengadilan.
Bagaimanapun diubah-ubah, alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian dalam KHUAP
masih tetap sama dengan yang tercantum dalm HIR yang pada dasarnya sama dengan
ketentuan yang ada di Ned. Strafvordering yang mirip pula dengan alat bukti di negara-
negara Eropa Kontinental.

Page
xxiv
[xxv]

Penyusunan alat-alat bukti negara-negara common law seperti Amerika Serikat lain
dari pada yang tercantum dalam KHUAP kita. Alat-alat bukti menurut Criminal Procedure
Law Amerika Serikat yang disebut Forms of evidence terdiri dari:
1. Real evidence (bukti sungguhan)
2. Documentary evidence (bukti dokumenter)
3. Testimonial evidence (bukti kesaksian)
4. Judicial evidence (pengamatan hakim)
Tidak disebut alat bukti kesaksian ahli dan keterangan terdakwa. Kesaksian ahli
digabungkan dengan bukti kesaksian. Yang lain dari pada yang tercantum dalam KHUAP
kita, ialah real evidence yang berupa objek materiil (materil object) yang meliputi tetapi tidak
terbatas atas peluru, pisau, senjata api, perhiasan intan permata, televisi, dan lain-lain. Benda-
benda ini berwujud. Real evidence ini biasa disebut bukti yang berbicara untuk diri sendiri
(speaks for it self). Bukti bentuk ini dipandang paling bernilai dibanding bukti yang lain.
Real evidence ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita (Belanda),
yang biasa disebut "barang bukti". Barang bukti yang berupa objek mareriil ini tidak bernilai
jika tidak di dentifikasi oleh saksi (dan terdakwa). Misalnya saksi mengatakan, peluru ini
saya rampas dari tangan terdakwa, barulah bernilai untuk memperkuat keyakinan hakim yang
timbul dari alat bukti yang ada.
Menurut pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti ialah
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Adapun penjelasan dari alat bukti dalam perkara pidana yaitu:
1. Keterangan saksi; dalam praktek sering disebut dengan kesaksian. Kesaksian adalah wujud
kepastian yang diberikan kepada hakim di muka sidang tentang peristiwa yang disengketakan
dengan cara memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak
dalam sengketa, yang dipanggil secara patut oleh pengadilan.
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuan itu. Di dalam
penggolongannya keterangan saksi ini dikelompokkan dalam dua kelompok, yatu kelompok

Page
xxv
[xxvi]

relatif dapat didengar kesaksiannya. yang secara absolut tidak boleh menjadi saksi dan
kelompok, yaitu:
a. Yang tidak dapat menjadi saksi secara absolut diantaranya anak yang belum berumur 15
tahun dan belum pernah kawin, orang yang sakit jiwa atau kurang ingatan meskipun kadang-
kadang ingatannya baik.
Yang tidak dapat menjadi saksi secara relatif diatur dalam pasal 168 KUHAP, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan
dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
1) keluarga sedarah dalam garis lurus keatas atau kebawah sampi derajat ketiga dari terdakwa
atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
2) saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, ibu atau bapak dan juga
mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa
sampai derajat ketiga.
3) suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercarai (pasal 169 KUHAP).
b. Di samping tidak cakap secara absolut maupun relatif juga terdapat pihak-pihak yang karena
jabatan, pekerjaan, harkat dapat meminta dibebaskan sebagai saksi terhadap hal-hal yang
dipercayakan kepada mereka dan hakim lah yang memutus soh atau tidaknya alasan tersebut
(pasal 170 ayat (1) dan (2) KUHAP)
Dalam memberikan kesaksian,pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak. Dan
bagaiman cara mengucapkan sumpah yang diucapkan dari seorang saksi dapat dilihat dalam
ketentuan pasal 160 ayat (3) KUHAP yakni "sebelum memberikan keterangan, saksi wajib
mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa is akan
memberikan keterangan yang sebenarnya".
3.Keterangan ahli: Pasal 186 KUHAP keterangan ahli adalah apa yang seseorang ahli nyatakan
di sidang pengadilan. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
(pasal 1 ke 28 KUHAP), tidak semua keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti,
melainkan yang dapat memenuhi syarat-syarat kesaksian adalah yang diberikan dimuka
persidangan (pasal 186 KUHAP).
4. Surat; merupakan segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan pikiran dan isi hati seseorang yang ditujukan untuk dirinya dan atau orang lain
yang dapat digunakan untuk alat pembuktian. Pasal 187 KUHAP menyebutkan surat

Page
xxvi
[xxvii]

sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c dibuat atas sumpah jabatan atau
dikutipkan dengan sumpah, adalah :
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas
dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat
mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dari isi alat pembuktian yang lain.
4. Petunjuk; Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik
anttara yang satu dengan yang laiinya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana atau siapa pelakunya tersebut disebut dengan
persangkaan undang-undang.
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik
anatara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana siapa pelakunya (pasal 188 ayat (1) KUHAP)
sebagaimana tersebut dalam (pasal 188 ayat (2) KUHAP) hanya dapat diperoleh : a.
Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa. Hakimlah yang memiliki kewenangan
untuk melakukan pemeriksaan dan penilaian terhadap suatu ptunjuk denagn penuh cermat,
seksama, arif lagi bijaksana, dan berdasarkan hati nurani (pasal 188 ayat (3) KUHAP).
5. Keterangan terdakwa: Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan disidang
pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui atau ia alami sendiri.
Pasal 189 KUHAP menegaskan :
a. keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
b. keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu
menemukan bukti disidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
c. keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
d. keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Page
xxvii
[xxviii]

Adapun barang bukti dapat juga diajukan kedalam persidangan namun hanya berfungsi
sebagai menguatkan keyakinan hakim terhadap benarnya telah terjadi suatu tindak pidana dan
dalam memutuskan perkara yang sedang ditanganinya. Barang bukti bisa berupa alat atau pun
senjata yang dipergunakan pelaku kejahatan, jejak yang ditinggalkan pelaku dan sebagainya.

2.8 Sumber-sumber Hukum Acara Pidana


1. Undang-Undang Dasar 1945
Dalam UUD 1945 terdapat beberapa ketentuan pasal yang mengatur tentang hukum acara
pidana, yaitu: Pasal 24 dan 25 hasil amandemen yang berbunyi :
a. Pasal 24 ayat 1 perubahan ketiga UUD 45 “kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.
b. Pasal 24 ayat 2 Perubahan Ketiga UUD 45 menyebutkan “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, peradilan Militer dan
lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

2.9 Perbedaan Antara Hukum Acara Pidana dengan Hukum Acara Perdata
Hukum acara yang mengatur dan melaksanakan soal-soal peradilan disebut hukum
acara pengadilan, yang terdiri dari hukum acara perdata dan hukum acara pidana.
Hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana
cara-cara mengajukan ke depan pengadilan perkara perkara keperdataan dalam arti luas dan
cara melaksanakan putusan-putusan (Vonnis) hakim juga diambil berdasarkan peraturan-
peraturan tersebut. Dapat juga disebut rangkaian peraturan-peraturan hukum tentang cara-
cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata material.
Adapun lapangan keperdataan itu memuat peraturan-peraturan tentang keadaan hukum
dan perhubungan hukum yang mengenai kepentingan-kepentingan perorangan, misinya: soal
perkawinan, jual bell, sewa menyewa, hak milik, hutang piutang, waris, dan lain-lain.
Lembaga-lembaga hukum yang terdapat dalam lapangan keperdataan yaitu: pengadilan
perdata, kantor catatan sipil, notaris, juru sita, juru lelang dan lain sebagainya.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum acara pidana yaitu rangkaian peraturan
hukum menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan tentang perkara-
perkara kepidanaan dan dan bagaimana cara-cara menjatuhkan hukuman oleh hakim. Adapun

Page
xxviii
[xxix]

lapangan hukum kepidanaan meliputi hal pengusutan, penuntutan, penyeldikan, penahanan,


pemasyarakatan dan lain-lainya.
Sumber-sumber hukum acara pidana indonesia
-ROY R.PANKEY,SH-
1.UUD 1945 dalam pasal 24 ayat(1)”kekuasaan kehakiman dilakukan oeh sebuah

Page
xxix
[xxx]

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pengertian Hukum Acara Pidana
Yang dimaksud hukum acara pidana yaitu keseluruhan peraturan hukum yang mengatur
bagaimana caranya alat-alat penegak hukum melaksanakan dan mempertahankan hukum
pidana.
2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana
Tujuan Hukum Acara Pidana yaitu untuk menemukan kebenaran materiil. Kebenaran
materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum pidana secara jujur dan tepat. Sedangkan Fungsi hukum acara
pidana adalah menegakkan/menjalankan hukum pidana. Hukum acara pidana beroprasi sejak
adanya sangkaan tindak pidana walaupun tanpa adanya permintaan dari korban kecuali
tindakan pidana yang ditentukan lain oleh UU.
3. Asas-asas Hukum Acara Pidana
Adapun asas-asas yang terdapat pada hukum acara pidana yaitu:
a. Asas persamaan di muka hukum ( Equality Before The Law)
b. Asas perintah tertulis dari yang berwenang penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat berwenang dan dengan
cara yang diatur oleh undang-undang.
c. Asas praduga tak bersalah (presumtion of innocent)
d. Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah faham dan salah tuntut.
e. Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur, dan tidak memihak.
f. Asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya
g. Asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan
h. Asas hadirnya terdakwa
i. Asas pemeriksaan di muka umum
j. Asas pengawasan pelaksanaan putusan
4. Pihak-pihak dalam Hukum Acara Pidana
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana yaitu: Tersangka,
Terdakwa, Terpidana, Saksi, Saksi ahli, Penyidik, Penyelidik, Penyidik pembantu, Jaksa,
Hakim, Advokat kuasa hukum dan Pejabat aparat eksekusi.

Page
xxx
[xxxi]

SUMBER – SUMBER HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

~ROY R. PANGKEY , SH~

1. UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (1) “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”. dan
Ayat (2) “Susunan dan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”.
Dalam Pasal 25 menyatakan “Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai
Hakim ditetapkan dengan undang-undang”. dalam penjelasan Pasal Pasal 24 dan 25
dijelaskan “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari
Pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan
dalam undang-undang kedudukannya para hakim”. Dalam Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 “Segala Lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk
melaksanakan UUD dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar
ini”.
2. Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Atau Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Peraturan yang menjadi dasar sebelum
belakunya Undang-Undang ini adalah Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau
Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) (Staadsblad Tahun 1941 Nomor 44)
yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
Dengan berlakunya KUHAP maka untuk pertama kalinya di Indonesia di adakan
kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam ini meliputi seluruh proses pidana dari
awal (mencari kebenaran) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai
(herziening).
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 /1986 Tentang Peradilan
Umum jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Atas
UU No. 2/1986 Tentang Peradilan Umum.
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo. Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung jo. Perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahum 2009.
5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, pada saat
Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advocat yang mulai berlaku sejak
diundang tanggal 5 April 2003.
7. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
8. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Pokok Perbangkan, khususnya
Pasal37 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Page
xxxi
[xxxii]

10. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi. Undang-Undang ini mengatur acara pidana khusus untuk delik korupsi.
Kaitannya dengan KUHAP ialah dalam Pasal 284 KUHAP. Undang-Undang tersebut
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
11. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian
terhadap anggota MPRS dan DPR Gotong Royong. Undang-Undang ini masih
berlaku dan kata MPRS seharusnya dibaca MPR, sedangkan DPR seharusnya tanpa
Gotong Royong.
12. Undang-Undang Nomor 5 (PNPS) Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa
Agung/Jaksa Tentara Agung dan memperberat ancaman hukuman terhadap tindak
pidana tertentu.
13. Undang-Undang Nomor 7 (drt) Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP.
15. Beberapa Keputusan Presiden yang mengatur tentang acara pidana yaitu :
a.) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1967 Tentang
Pemberian Wewenang Kepala Jaksa Agung Melakukan Pengusutan, Pemeriksaan
PendahuluanTerhadap Mereka Yang Melakukan Tindakan Penyeludupan;
b.) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228 Tahun 1967 Tentang
Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi;
c.) Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1974 Tentang Tata Cara
Tindakan Kepolisian terhadap Pimpinan/Anggota DPRD Tingkat II dan II;
d.) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Organisasi
Polri;
e.) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1991 Tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
f.) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1983 Tentang
Tunjangan Hakim;
g.) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1983 Tentang
Tunjangan Jaksa;

Page
xxxii
[xxxiii]

B. Saran
Inilah yang diwacanakan pada penulisan ini, meskipun penulisan ini jauh dari kata
sempurna, minimal kita bisa mengimplementasikan tulisan ini. Mungkin masih banyak
kesalahan dari penulisan makalah ini, karena kami adalah manusia yang tempatnya salah dan
doss: dalam hadits "al insanu minal khotto' wannisa', dan kami juga butuh saran/ kritikan agar
bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik dari masa sebelumnya.

Page
xxxiii
[xxxiv]

DAFTAR PUSTAKA
http://ilmuhukumuin-suka.blogspot.com/2013/05/sistem-peradilan-pidanak-di-indonesia.html
http://leesyailendranism.blogspot.com/2016/03/makalah-hukum-acara-pidana.html
https://ilmukita683.wordpress.com/2016/11/20/istilah-tersangka-terdakwa-dan-terpidana/
Abdussalam, H. R. 2006. Prospek Hukum Pidana Indonesia dalam mewujudkan Rasa Keadilan
Masyarakat. Jakarta: Restu Agung.
Hamzah, Andi. 1984. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Hamzah, Andi. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kansil, C.T.S. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Pangaribuan, Luhut M.P. 2013. Hukum Acara Pidana. cet. Ke-1. Jakarta: Djambatan.
Pangaribuan, Luhut M.P. 2014. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.
Petranse, Syarifudin H.Ap dan Sabuan Ansori. 2000. Hukum Acara Pidana. Indralaya:
Universitas Sriwijaya.
Salam, Faisal. 2012. Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia. Jakarta: Mandar Maju.
Waluyadi. 1999. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Yudowidagdo, Hendraswanto. 1987. Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta:
Bina Aksara.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Page
xxxiv

Anda mungkin juga menyukai