Anda di halaman 1dari 28

Antropologi Cerita Rakyat Kudus dan Sekitarnya

Tema : Milenial Berbahasa

Disusun oleh
XII-MIPA 3

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS

DINAS PENDIDIKAN DAN OLAHRAGA

SMA NEGERI 2 KUDUS

Jalan Ganesha Purwosari (0291)431630 Kudus 59316


Email : sma02_kudus@yahoo.co.id

Nama : Sekar Ayuning Rinjani

Kelas : XII A 3

No. : 34

Asal Usul Desa Tanjung Karang

Ada dua sumber yang menjelaskan bagaimana asal usul Desa Tanjung Karang. Sumber
pertama mengatakan, sebelum di sahkan sebagai desa, Tanjung Karang dulunya bernama
Tanjung Kudorang. Nama tersebut diambil dari adanya masyarakat yang melihat kuda secara
tiba-tiba menyebrang disungai, padahal waktu itu kuda belum ada disana. Tanjung kudorang
dulunya merupakan kebun pertanian masyarakat yang berasal dari salah satu desa di Kecamatan
Kampar Kiri Hulu yang bernama desa Ludai.

Pada tahun 1978 desa Tanjung Kudorang disahkan menjadi desa. Setelah disahkan sebagai
desa maka nama desa Tanjung Kudorang diganti dengan desa Tanjung Karang sampai sekarang.
Dengan disahkannya sebagai desa maka masyarakat yang dulunya hanya pergi berkebun
menjadi menetap dan membangun desa Tanjung Karang sampai sekarang dan mengalami
kemajuan yang begitu baik.

Tetapi, ada sumber lain yang mengatakan bahwa Desa Tanjung Karang dulunya merupakan
sebuah pesisir. Sebagian besar mata pencaharian penduduknya saat itu adalah nelayan. Di
daerah ini juga terdapat sebuah klenteng tertua di Kudus, yang menjadi bukti bahwa daerah ini
mulanya adalah pesisir. Karena, mayoritas klenteng didirikan di daerah pesisir. Selain itu, kondisi
tanah di Tanjung Karang agak berpasir. Karena itulah, desa ini disebut Desa Tanjung Karang.
Nama : Hendri Frastianto

Kelas : XII MIPA 3

No. Absen : 17

ASAL USUL DESA KARANGROWO

Terbentuknya Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, tidak dapat dilepaskan
dari kisah pergolakan antara Kerajaan Pajang dan Mataram Islam. Desa tersebut yang dahulunya
merupakan kawasan Selat Muria merupakan daerah strategis bagi jalur transportasi laut, masa itu.
Pembuka ingatan. Sepeninggalnya Sultan Trenggana, Kerajaan Pajang dipimpin oleh Sunan Prawoto. Pada
saat itu terjadi sebuah pembunuhan Raja Pajang yang dilakukan oleh Arya Penangsang, karena ia merasa
lebih pantas untuk menggantikan Sultan Trenggana dibandingkan Sunan Prawoto.

Setelah berhasil membunuh Sunan Prawoto, Arya Penangsang tidak serta merta diangkat
menjadi Raja Kerajaan Pajang. Tahta Kerajaan waktu, justru jatuh ditangan Sultan Hadiwijaya atau Joko
Tingkir, yang merupakan menantu dari Sultan Trenggana. Penobatan Sultan Hadiwijaya sebagai Raja,
karena istrinya, Ratu Kalinyamat merupakan anak pertama dari Sultan Trenggana. Melihat Hadiwijaya
diangkat menjadi Raja Kerajaan Pajang. Arya Penagsang kemudian menuntut haknya sebagai Raja
Kerajaan Pajang, dengan menyusun strategi untuk membunuh Hadiwijaya dan melakukan sejumlah
perlawanan kepada Kerajaan Pajang. Kemudian Sultan Hadiwijaya melakukan sebuah sayembara untuk
membunuh Arya Penangsang. Dalam sayembara tersebut, ia akan menghadiahkan tanah mentarok.

Sayembaratersebut akhirnya dimenangkan oleh Ki Ageng Pamanahan. Setelah berhasil


mengalahkan Arya Penangsang dan memindahkan pusat Kerajaannya dari Demak ke Pajang. Sultan
Hadiwijoyo memenuhi janjinya dengan memberikan tanah mentarok kepada Ki Ageng Pamanahan,”
ungkap Plt Sekertaris Desa Karangrowo, Nur Hadi, Rabu (28/03/2018). Karena tanah tersebut masih
berupa hutan belantara, Ki Ageng pamanahan harus bekerja ekstra melakukan babat alas di daerah
tersebut. Bersama Sang Putra, Danang Sutowijoyo, mereka lakukan babat alas dan membangun
pemukiman, hingga terbentuklah sebuah daerah yang bernama Mataram. Oleh Sultan Hadiwijaya, Ki
Ageng Pamanahan diangkat sebagai Adipati Mataram, yang merupakan daerah kekuasaan Kerajaan
Pajang. Setelah Ki Ageng Pamanahan wafat, tapuk pemerintahan Mataram dilimpahkan kepada Danang
Sutowijoyo selaku anaknya.

“Di tangan Danang Sutowijoyo, mataram berkembang pesat dan berhasil menguasai daerah di
sekitarnya. Kemajuan mataram ini, sebagian petinggi Kerajaan Pajang menganggap Danang Sutowijoyo
mangkir dari Kerajaan Pajang dan dicurigai membangun sebuah kerajaan baru. Untuk mengetahui hal
tersebut, Sultan Hadiwijaya menyuruh Ki Ageng Gedhe Wotan ke Kudus dan Ki Ageng Semampir ke Pati
untuk menyelidiki mataram,” katanya. Perjalanan untuk mengintai mataram dimulai, dengan membawa
keluarganya mereka menjalankan misi tersebut. “Dari sini perjalanan Mbah Buyut Sipah atau Raden
Syifauddin atau Ki Ageng Gedhe Wotan dan keluarganya dimulai. Menuju Kudus, ia dan keluarganya
menaiki sebuah getek menyusuri Selat Muria. Namun nasib nahas menimpa mereka, tepatnya di daerah
Prawoto, mereka terpisah,” ungkap Nur Hadi.

Ki Ageng Gedhe Wotan dan anaknya harus terpisah dengan Sang Istri. Meskipun demikian,
mereka tetap melanjutkan perjalanan tersebut. Ditengat perjalanan, anak Ki Ageng Gedhe Wotan digoda
oleh demit, karena ketakutan anak tersebut menangis keras. Ki Ageng Gedhe Wotan lalu
menenangkannya dengan membacakan doa-doa. Setelah anaknya berhenti menangis, dirinya bersabda
jika nantinya daerah tersebut diberi nama Banglong Gadangan. Ki Ageng Gedhe Wotan dan anaknya
lantas meneruskan perjalanan ke Selatan. Lama dan jauhnya perjalanan membuat anaknya lapar. Di
tepikan geteknya dan dibuatkannya sebuah makanan untuk Sang Anak. Karena makanan tersebut
dimasak menggunakan kereweng (peralatan masak dari tanah liat), maka daerah tersebut diberi nama
Banglong Kreweng.

Dilanjutnya perjalanan tersebut hingga sampai pada sebuah daerah yang sempit hingga
menyebabkan geteknya tidak dapat melaju, lantaran tercepit oleh rapatnya pepohonan. Daerah tersebut
kemudian diberi nama Banglong Cepit. Lalu ia dan anaknya memutuskan untuk berjalan menyusuri
sebuah rawa dan menghantarkan mereka pada sebuah daerah yang bernama Wonosari (nama sebelum
karangrowo -red).Di sana, ia melihat banyak sekali burung betet yang bertengger di pepohonan,
sehingga daerah tersebut diberi nama Betetan. Akhirnya di sana ia dan anaknya memutuskan untuk
bermukim. Suatu ketika, di daerah Betetan terjadi sebuah pagebluk (wabah penyakit yang menyebabkan
banyak orang meninggal dalam waktu singkat).

Akan tetapi dengan kehendak Tuhan, Ki Ageng Gedhe Wotan dan anaknya berhasil selamat.
Setelah itu, mereka memutuskan untuk berpindah ke sebelah utara dekat dengan sungai. Dari sana lah
berkembang keturunan Ki Ageng Gedhe Wotan hingga menjelma sebagai sebuah Desa yang diberi nama
Karangrowo. “Nama Karangrowo diambil dari kata Karang yang berarti tempat dan Rowo yang berarti
rawa. Nama ini dipilih lantaran pada zaman itu daerah ini berupa rawa yang membentang luas.”
pungkasnya.
Nama : Hilmi Yazid (18)

Asal Nama Desa Gondangmanis

Desa Gondangmanis berasal dari nama sebuah pohon yang tumbuh di desa Gondangmanis yang
bernama pohon Gondang. Pada umumnya buah gondang berasa pahit, namun dengan karomah
Simbah Buyut Leginah buah gondang terasa manis dalam bahasa lain legi.

Desa Gondangmanis semula bernama Gondanglegi yang dalam pergeseran nama legi berarti
manis maka desa Gondanglegi berubah menjadi Gondangmanis. Disamping nama Gondanglegi
di ambil dari rasa Buah Gondang yang terasa legi/manis, juga di dasarkan pada nama cikal bakal
desa yang hidup pada saat bernama simbah Buyut Leginah.

Keberadaan SImbah Buyut Leginah masih menjadi tanda tanya karena tidak ada sumber yang
jelas yang menjelaskan.cerita Simbah Buyut Leginah diceritakan dari mulut ke mulut namun
antar satu dan yang lain terkadang beda cerita. tidak ada peninggalan yang jelas termasuk
keberadaan makam simbah buyut Leginah. Makam simbah buyut Leginah sampai saat ini belum
di ketahui keberadaannya, sehingga menimbulkan beberapa pendapat , yakni:
Pendapat Pertama

Simbah buyut Leginah adalah orang yang pertama kali berada di Desa Gondangmanis. beliau
bukan merupakan pendatang/pengembara yang selalu berpindah-pindah guna melaksanakan
pengembaraan untuk sebuah nilai dakwah. dalam perjlanan menemukan desa Gondangmanis
untuk menunggu pendatang baru yang akan menjadi penerus di desa Gondangmanis.

kemudian datanglah seorang yang bernama Datuk Singo proyo yang kemudian diserahi desa
Gondangmanis tersebut. lalu Simbah Buyut Leginah Melanjutkan perjalanan untuk
melaksanakan tugasnyal berdakwah. sehingga makam beliau tidak berada di Desa
Gondangmanis.
Pendapat Kedua

setelah berada di Desa Gondangmanis dan di serahkan kepada Simbah Datuk Singoproyo, maka
Simbah Buyut Leginah ngadeg pandito ratu sehingga tidak mengurusi urusan duniawi untuk
melaksanakan ibadah ritual pribadi sampai wafatnya dan di makamkan di Desa Gondangmanis.
hal ini tidak ada kejelasan sehingga di akhirnya menimbulkan perbedaan pendapat letak Makam
Simbah buyut Leginah.

Ada yang berpendapat makam simbah buyut Leginah berada di Makam Sido Luhur. Ada yang
berpendapat makam simbah buyut Leginah berada di samping Masjid Al Mujahidin. Ada juga
yang berpendapat di sendang depan Masjid Al Mujahidin yang sekarang telah tergerus di oleh
longsor.

Nama : Maria Angela Venta Kurnia

Kelas : XII A3
Absen : 21

Asal Usul Desa Purwosari

Dahulu pada tahun 1942, Kelurahan Purwosari merupakan sebuah daerah yang bernama Desa
Pengkol di Kabupaten Kudus, dengan kepala desa pertama yang bernama Saryo. Nama Pengkol diambil
lantaran gambar peta wilayah desa tersebut berbentuk mengkal-mengkol atau tidak lurus dan berbentuk
menyerupai wayang. Dari bentuknya yang mengkal-mengkol tersebut, kemudian oleh masyarakat sekitar
disebut Pengkol. Menurut Teguh Widodo Lurah Purwosari pada saat itu, ditemui oleh media,
mengatakan bahwa, dahulu pada masa pemerintahan Kepala Desa pertama yaitu Saryo pada tahun
1942-1965, mata pencaharian penduduk Desa Pengkol didominasi oleh profesi yang kurang baik,
misalnya banyak terdapat tempat hiburan di sana. Hal tersebut kemudian menjadikan nama Desa
Pengkol dipandang kurang baik. .

Dengan berjalannya waktu dan kepemimpinan, pada tahun 1965-1972 Desa Pengkol memiliki
kepala desa yang baru bernama Maswan. Dengan kepala desa yang baru, Desa Pengkol mengalami
sejumlah perubahan yang signifikan. Salah satu perubahannya yaitu pembersihan citra Desa Pengkol
yang dianggap kurang baik, sehingga terpaksa untuk mengganti nama desa tersebut. Pada masa
pemerintahan Maswan, Desa Pengkol dibersihkan namanya, sehingga menjadi desa yang baik dan
terhormat. Adapun proses pembersihan nama desa tersebut, dilakukan dengan merangkul sejumlah
ulama dan sesepuh desa, untuk menghiasi Desa Pengkol dengan kajian agama. Tak hanya itu, Maswan
juga melakukan perubahan nama Desa Pengkol menjadi Desa Purwosari.

Pada tahun 1979, Desa Purwosari berubah lagi menjadi Kelurahan Purwosari. Nama Purwosari
terdiri dari kata Purwo yang berarti awalan atau permulaan dan Sari yang berarti titisan dari nilai yang
baik. Secara keseluruhan diartikan sebagai kawitane titisan sing apik atau awalan dari sesuatu yang baik.
Dengan pemberian nama Purwosari diharapkan mampu menjadi suatu awal yang baik bagi masyarakat.
Setelah penggantian nama tersebut, Kelurahan Purwosari mulai dihiasi banyak pondok pesantren dan
melahirkan citra baru sebagai kawasan yang baik dan terhormat, seperti yang masyarakat kenal saat ini.

Nama : Eva Ari Lestari

No. Absen : 15
Sejarah Desa Pasuruhan Lor

Sejarah asal usul Desa Pasuruhan Lor Jati Kudus oleh Abu Nayya Menurut cerita lisan dari para orang
tua dahulu, asal nama Desa Pasuruhan Lor diambil dari sebuah nama daerah di Jawa Timur bernama
PASURUAN. Hal ini lantaran leluhur atau cikal bakal yang telah diyakini sejak dahulu dari para orang tua
hingga turun temurun sampai sekarang, bahwa Mbah Surgi Murang Joyo adalah pepunden desa yang
aslinya berasal dari Pasuruan Jawa Timur.Konon, dahulu Sunan Kudus mempunyai anak yang berguru
pada seseorang di daerah Pasuruan Jawa Timur. Melihat anaknya yang jauh-jauh mencari ilmu dan
berguru sampai daerah Jawa Timur, Sunan Kudus meminta kepada anaknya agar mengajak gurunya ke
Kudus untuk mengajarkan ilmunya di Kudus. Atas permintaan Sunan Kudus, kemudian guru anak Sunan
Kudus bersedia datang ke Kudus.

Guru anak Sunan Kudus tersebut berjalan ke Kudus dengan menggendong anak Sunan Kudus.
Setelah menempuh perjalanan jauh akhirnya sampailah di Kudus. Saat melewati pintu kembar Menara
Kudus, guru anak Sunan Kudus lemas dan terjatuh di daerah sekitar Jember sebelah barat Menara
Kudus. Melihat kondisi gurunya yang lemas, anak Sunan Kudus kemudian menyuruh anaknya kembali
menemui gurunya agar membaca syahadat. Setelah menjalani apa yang di perintahkan oleh Sunan
Kudus, yaitu membaca Syahadat, maka guru anak Sunan Kudus dapat berdiri kembali dan minta agar
dipertemukan kepada Sunan Kudus. Singkat cerita, kemudian guru anak Sunan Kudus malah menjadi
murid Sunan Kudus. Guru anak Sunan Kudus yang menjadi murid Sunan Kudus, tak lain adalah MURANG
JOYO. Setelah sekian lama menjadi muridnya, kemudian oleh Sunan Kudus, Murang Joyo diberikan suatu
tempat untuk menetap di sebelah barat daya. Murang Joyo kemudian berjalan menuju ke barat daya,
sampai pada suatu tempat di persimpangan yang sekarang dikenal dengan nama Tugu Telon (yang
merupakan perbatasan tiga desa Pasuruhan Lor, Prambatan dan Purwosari). Di tempat tersebut, Murang
Joyo kebingungan mencari tempat yang di maksudkan oleh Sunan Kudus.

Hingga Akhirnya Murang Joyo melihat ke selatan. Ada kilatan cahaya yang menunjuk sebuah
pohon Gandri dan dianggap sebagai pertanda sebagai tempat yang ditunjukkan oleh Sunan Kudus.
Selanjutnya, Murang Joyo berjalan keselatan menuju arah pohon Gandri. Dalam cerita, Murang Joyo
diberikan wasiat berupa Kembang Putih (bahasa jawa : Sekar Petak) yang kemudian di kenal menjadi
nama sebuah pedukuhan ”Sekar Petak”. Setelah sekian lama menetap dan mempunyai banyak pengikut,
kemudian oleh pengikutnya pedukuhan ini penjadi sebuah desa dan di beri nama PASURUHAN, merujuk
dari asal nama daerah Mbah Murang Joyo. Dalam perkembangannya, karena semakin banyaknya
masyarakat kemudian Pasuruhan di bagi manjadi 2 bagian yaitu wilayah selatan dan wilayah utara. Untuk
wilayah selatan menjadi Desa tersendiri yaitu Pasuruhan Judul dan wilayah utara juga menjadi desa
sendiri yaitu Pasuruhan Lor.

Nama : Devi Puspitasari

No.abs : 09
Kelas : XII Mipa 3

Asal Mula Desa Payaman

Desa Payaman adalah salah satu desa yang masuk dalam kecamatan Mejobo kabupaten Kudus.
secara geografis, desa ini di sebelah timur berbatasan dengan desa Kirig, sebelah selatan berbatasan
dengan desa Karangrowo kecamatan Undaan, bagian barat berbatasan dengan desa Gulang, serta bagian
utara berbatasan dengan desa Jepang kecamatan Mejobo.

Pada zaman dahulu, sekitar abad 15 Sunan Muria berdakwah menyebarkan agama Islam di
daerah Kudus dan sekitarnya. dalam perjalanan dakwahnya, beliau beristirahat di suatu kampung pojok
yang dihuni sekelompok masyarakat yang saat itu belum begitu banyak. Di tempat tersebut, Sunan Muria
memelihara seekor Ayam Jago.

Konon, suatu ketika terdapat sekelompok masyarakat yang mengajak Sunan Muria untuk
bertarung Ayam Jago. Di situlah akhirnya Sunan Muria beradu Ayam Jago dengan masyarakat sekitar.
Dalam pertarungannya, Ayam Jago milik warga kewalahan menghadapi Ayam Jago milik Sunan Muria.
Melihat hal itu, Sunan Muria berkata “Payah Men” dan secara tidak sengaja Ayam Jago milik warga
tersebut terpental hingga ke pegunungan atau bukit Pati Ayam dan meninggal di sana. Maka, sampai
sekarang kapung tersebut dikenal dengan nama desa Payaman.

Nama : Zhafarina harin widyawati

No : 36
ASAL- USUL DESA NGEMPLAK UNDAAN

Desa Ngemplak, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, dulunya merupakan sebuah lautan yang
membentang luas. Pada masa itu, Ngemplak merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal dari berbagai
macam daerah.

Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa daerah tersebut dahulu merupakan sebuah laut, yaitu dengan
berdirinya sebuah Klenteng Hok Tik Bio yang ada di Desa Tanjungkarang, Kecamatan Jati, Kabupaten
Kudus. "Sebagian besar masyarakat Tionghoa membangun Klenteng di daerah pesisir pantai, karena
pantai merupakan tempat yang strategis di masa itu,"

Tak hanya itu, bukti lain yang menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan bekas lautan adalah
dengan ditemukannya sejumlah pasir dan karang di daerah tersebut. Ada yang menceritakan, jika pernah
ada seorang warga yang menggebur atau membuat sumur hingga kedalaman 90 meter. Di kedalaman
tersebut, ditemukan sejumlah pasir dan kerang yang menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan
bekas lautan.

Lautan yang luas tersebut kemudian surut dan digunakan sebagai pemukiman yang diberi nama Desa
Ngemplak pada tahun 1947. "Nama tersebut diambil dari awal mula daerah tersebut yang berupa lautan
yang ngemplak-ngemplak (membentang luas tidak ada yang menghalangi ),"

Adapun cikal bakal dari Desa Ngemplak adalah Syekh Abdurrahman, yang hingga kini belum diketahui
bagaimana sejarah perjalanan dan dimana makamnya. Meskipun seperti itu, masyarakat Ngemplak tetap
menghormati Syekh Abdurrahman sebagai tokoh cikal bakal pendiri daerah tersebut.

"Kami hanya mendapatkan kabar dari sejumlah ulama' dan leluhur, jika Syekh Abdurrahman merupakan
cikal bakal dari daerah ini. Hingga kini masyarakat Ngemplak masih mencari tahu dimana makam dari
Syekh Abdurrahman dan bagaimana kiprahnya di desa ngemplak"

Nama : Tafrihatush Shifa


Asal-Usul Sumur Tulak

Awal mula adanya sumur ini tak bisa dilepaskan dari sebuah perjalanan sejarah
Kota Kudus. Dari sebuah daerah yang dipenuhi umat Hindu menjadi sebuah daerah yang
penuh nuansa ke-Islaman. Sebuah daerah yang bercorak Qur’ani, hingga kota ini juga
dijuluki kota santri dan berani mentasbihkan diri sebagai pusatnya Al Qur’an. Hal ini,
ditandai dengan berdirinya Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an.

Sementara transformasi religi ini tak lepas dari peran tokoh besar, Syekh Ja’far As-
Shadiq atau lebih dikenal Sunan Kudus, yang datang membawa ajaran-ajaran Islam.
Ajaran Islam yang dibawanya disebarkan secara halus, damai dan melalui diplomasi yang
cantik. Sementara Te Ling Sing, seorang tokoh yang menjadi panutan pada zaman itu,
sampai terkagum-kagum akan keindahan cara Sunan Kudus menyebarkan ajaran Islam.

Pesatnya pertumbuhan agama Islam (1600 M) di Kudus membuat Raja Majapahit


gerah. Ia khawatir akan daerah yang dulu dihuni ummat Hindu sekarang telah beralih
menjadi hunian ummat Islam. Dan lagi, semakin banyak pengikutnya beralih dengan
memeluk agama Islam.

Raja Brawijaya pun geram. Ribuan bala tentara kerajaan Majapahit dikerahkan
untuk menggempur kerajaan Islam di Kudus. Sunan Kudus sebagai orang yang waskita,
ngerti sak durunge winarah (tahu sebelum datang peristiwa), juga memberi kepercayaan
kepada punggawa yang bernama Sayyid Abdurrahman bin Muhammad untuk menjaga
rayon utara kerajaan Islam Kudus.

Namun karena mulai dihinggapi letih, sang punggawa pun terkantuk dan tertidur
dengan menancapkan tongkat sesaat sebelumnya. Aneh bin ajaib ribuan pasukan
Majapahit hanya bengong manakala melihat pelangi yang indah (dari tongkat Sayyid
Abdurrahaman) sesampainya di rayon bagian utara di mana sang punggawa tertidur.

Mengetahui hal itu, Sunan Kudus membuatkan masakan (nasi putih, janganan,
sambal, dan ikan bethik dan lele goreng) untuk menjamu ribuan pasukan Majapahit.
Karena makan sambal, pasukan-pasukan itu kepedesan. Oleh Sunan Kudus, tongkat yang
tadinya tertancap, dimasukkan lebih dalam lagi ke tanah. Sehingga dari situ keluar air
putih, pasukan-pasukan itu baru bisa meneguk minum. Anehnya lagi, tulang dari ikan tadi
berubah lagi menjadi ikan dan hidup.

Ketakjuban pasukan-pasukan Majapahit kian menjadi-jadi. Hingga mereka berebut


air yang menurut anggapan mereka ajaib itu. "Aina Sayyid Abdurrahman, ‘ajjillana,"
teriak Sunan Kudus membangunkan Sayyid Abdurrahman. "Jogo jo nganti leno," tutur
beliau. Jo leno yang kemudian dijadikan sebagai nama Jawa, Sayyid Abdurrahman. Jo
leno juga dijadikan peribahasa Jawa penuh makna.

Karena takjub, pasukan-pasukan itu lalu digiring ke masjid dan dibujuk Sunan
Kudus untuk menganut ajaran agama Islam. Lalu kemana Sayyid Abdurrahman? Konon
seusai pasukan-pasukan Majapahit itu digiring ke masjid, Sayyid Abdurrahman atau lebih
dikenal Mbah Joleno ini pulang melalui sumur tadi ke Hadramaut Yaman memenuhi
panggilan Sang Ayah yang sedang sakit keras.

Hingga kini air Sumur Tulak itu masih diperebutkan oleh banyak orang-orang yang
ngelak (haus) seperti pada zamannya diperebutkan tentara-tentara Majapahit. Sebab,
tulak, akronimnya adalah tombo ngelak.

Sumur Tulak, tak hanya menjadi kekayaan budaya semata. Namun babad cerita
yang disampaikan secara getok tular (mulut ke mulut, red) ini juga sarat dengan nilai-
nilai yang dapat di petik dan dimanifestasikan pada kehidupan sekarang ini yang bias
nilai.

Nama : Nurul Hanifah

Kelas : XII MIPA 3

No. Absen : 29
ASAL-USULDESA PASURUHAN LOR

Asal nama Desa Pasuruhan Lor diambil dari sebuah nama daerah di Jawa Timur bernama
‘’Pasuruan’’. Hal tersebut terjadi lantaran leluhur yang telah di yakini sejak dahulu dari para orang tua
hingga turun temurun sampai sekarang menyebutkan bahwa Mbah Surgi Murang Joyo adalah pepunden
desa yang aslinya berasal dari Pasuruan Jawa Timur.

Konon, diketahui bahwa Sunan Kudus mempunyai anak yang berguru pada seseorang di daerah
Pasuruan Jawa Timur. Melihat anaknya yang jauh-jauh mencari ilmu dan berguru sampai daerah Jawa
Timur, Sunan Kudus meminta kepada anaknya agar mengajak gurunya ke Kudus untuk mengajarkan
ilmunya di Kudus. Atas permintaan Sunan Kudus, kemudian guru anak Sunan Kudus bersedia datang ke
Kudus.

Guru anak Sunan Kudus berjalan ke Kudus dengan menggendong anak Sunan Kudus. Setelah
menempuh perjalanan jauh akhirnya beliau sampai di Kudus. Saat melewati pintu kembar Menara Kudus,
guru anak Sunan Kudus lemas dan terjatuh di daerah sekitar Jember sebelah barat Menara Kudus. Melihat
kondisi gurunya yang lemas, Sunan Kudus kemudian menyuruh anaknya kembali menemui gurunya agar
membaca kalimat syahadat. Setelah menjalani apa yang di perintahkan oleh Sunan Kudus, yaitu membaca
kalimat syahadat, kemudian guru anak Sunan Kudus tersebut dapat berdiri kembali dan memiinta agar
dipertemukan dengan Sunan Kudus.

Setelah adanya peristiwa tersebut, kemudian guru anak Sunan Kudus menjadi murid Sunan
Kudus. Guru tersebut adalah Murang Joyo. Setelah sekian lama menjadi muridnya, kemudian oleh Sunan
Kudus, Murang Joyo diberikan suatu tempat untuk menetap di sebelah barat daya. Murang Joyo
kemudian berjalan menuju ke barat daya, sampai pada suatu tempat di persimpangan yang sekarang
dikenal dengan nama ‘’Tugu Telon’’(yang merupakan perbatasan tiga desa Pasuruhan Lor, Prambatan dan
Purwosari). Di tempat tersebut, Murang Joyo kebingungan mencari tempat yang di maksudkan oleh
Sunan Kudus. Hingga pada akhirnya Murang Joyo melihat ke selatan. Ada kilatan cahaya yang menunjuk
sebuah Pohon Gandri dan dianggap sebagai pertanda sebagai tempat yang ditunjukkan oleh Sunan Kudus.
Selanjutnya, Murang Joyo berjalan keselatan menuju arah pohon Gandri. Dalam cerita, Murang Joyo
diberikan wasiat berupa Kembang Putih (bahasa jawa : Sekar Petak) yang kemudian di kenal menjadi
nama sebuah pedukuhan ”Sekar Petak”. Setelah sekian lama menetap dan mempunyai banyak pengikut,
kemudian oleh pengikutnya pedukuhan ini penjadi sebuah desa dan di beri nama ‘’Pasuruhan’’, merujuk
dari asal nama daerah Mbah Murang Joyo. Dalam perkembangannya, karena semakin banyaknya
masyarakat kemudian Pasuruhan di bagi manjadi 2 bagian yaitu wilayah selatan dan wilayah utara. Untuk
wilayah selatan menjadi Desa tersendiri yaitu Pasuruhan Kidul dan wilayah utara juga menjadi desa
sendiri yaitu Pasuruhan Lor.

Nama : Afif Gandhi Akmal Fauzi

DESA BULUNG
Asal usul desa Bulung yaitu dahulu Kyai Anteng merupakan seorang santri Sunan Muria yang
menyebarkan agama Islam di wilayah timur Kota Kudus, tepatnya di Desa Bulung Kulon,
Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus.
Diceritakan, Dahulu Raden Umar Said atau yang dikenal sebagai Sunan Muria memiliki sebuah
pondok pesantren yang berlokasi di lereng Gunung Muria. Santri Sunan Muria banyak yang
berasal dari Kerajaan Mataram, salah satunya Kyai Anteng.

Dari sekian banyak santri yang belajar ilmu agama kepada Sunan Muria, terdapat seorang santri
yang sangat pandai dan begitu istiqomah dalam menuntut ilmu. Santri tersebut bernama Kyai
Anteng.

“Sunan Muria melihat keistiqomahan Kyai Anteng dalam mempelajari agama Islam, sehingga ia
menikahkan putrinya tercinta kepada Kyai Anteng. Setelah menjadi menantu Sunan Muria, Kyai
Anteng didaulat untuk menjadi Badal (orang yang menggantikan posisi Sunan Muria ketika
pergi, seperti menjamu tamu yang datang, menjadi imam sholat dan mengajar di Pondok
Pesantren –Red)..

Karena Sunan Muria merasa ilmu yang dimiliki oleh Kyai Anteng sudah cukup. Akhirnya Sunan
Muria mengutus Kyai Anteng dan istrinya untuk menyiarkan agama Islam di selatan Gunung
Muria. Sunan Muria juga mengutus Kyai Selentang (santri Sunan Muria yang berubah menjadi
macam, karena sabda Sam Po Kong –Red) untuk mengamankan perjalanan dakwah Kyai Anteng
dan Istrinya.

“Saat itu Sunan Muria berpesan kepada Kyai Anteng bahwa jangan menghentikan perjalanan
hingga menemukan pohon rembulung yang berbunga putih,” ujar juru kunci makam Kyai
Anteng tersebut.
Bersama istrinya dan Kyai Selentang, Kyai Anteng memulai perjalanan dakwahnya. Setelah
berjalan sangat jauh, Kyai Anteng terdampar di sebuah rawa yang luas. Di rawa tersebut ia
melihat pohon rembulung dengan bunga yang berwarna putih.

Setelah menemukan pohon tersebut, Kyai Anteng menghentikan perjalanannya dan mendirikan
rumah di rawa tersebut. Di daerah tersebut, Kyai Anteng mensyiarkan agama Islam kepada
masyarakat sekitar sebagaimana amanat dari Sunan Muria.

Kepandaian dan keistiqomahan Kyai Anteng dalam berdakwah menjadikannya begitu di hormati
oleh masyarakat. Sebagai wujud penghormatan terhadap Kyai Anteng, daerah tersebut
dinamakan Desa Bulung, sebagaimana nama pohon rembulung yang menghantarkan Kyai
Anteng untuk berdakwah di daerah tersebut.

Nama : Noor Luthfiani Sofia P

ASAL USUL DESA JATI WETAN


Desa Jati Wetan merupakan desa yang terletak di Kecamatan Jati, Kudus, dengan luas
wilayah sekitar 262,14 Ha atau sebesar 9,97 persen luas Kecamatan Jati. Berdasarkan jenis
penggunaan lahan, luas lahan yang digunakan untuk pesawahan seluas 127,52 Ha dan yang
bukan lahan sawah penggunaannya seluas 134,62 Ha.

Penduduk Desa Jati Wetan berjumlah 8.618 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 4.140 orang dan
perempuan sebanyak 4.440 orang.

Bagaimana asal-usulnya sampai bisa dinamai Desa Jati Wetan. Menurut Kepala Desa Jati Wetan,
Suyitno saat dihubungi isknews.com, Kamis (15-02-2018). Sejarah Desa Jati Wetan, tidak
terlepas dari tokoh yang dipercaya sebagai pendiri Desa Jati Wetan, yakni Mbah Surgidjati.

Masjid Baitul Muttaqin di Desa Jati Wetan, dipercaya sebagai peninggalan Mbah Surgidjati,
cikal bakal Desa Jati Wetan dan Jati Kulon. (Darmanto Nugroho/ISKNEWS.COM)

“Sebagai tokoh yang sangat dihormati oleh warga masyarakat Desa Jati Wetan. Setelah wafat,
beliau dimakamkan di Desa Jati Kulon,” jelasnya.

Kenapa makamnya ada di luar desa, Suyitno menuturkan, dahulu Desa Jati Kulon dan Jati Wetan
tergabung menjadi satu desa, namanya Desa Jati. Pada saat Pemerintah Belanda berkuasa di
Indonesia, muncul kebijakan untuk memecah atau membagi satu desa menjadi beberapa desa.
Alasannya untuk membatasi wilayah kekuasaan seorang kepala desa, agar tidak terlalu luas
sehingga lebih memudahkan tugasnya.

“Saat itu, di antara desa yang dipecah adalah Desa Jati, menjadi Desa Jati Wetan dan Jati Kulon,”
papar Kades.

Berkah apakah yang hingga kini dirasakan oleh warga masyarakat Desa Jati Wetan, sepeninggal
beliau? Masih kata Suyitno, Mbah Surgidjati selain seorang ulama ahli agama Islam, juga
mumpuni di bidang pertanian.

Dengan kepiawaiannya, hamparan lahan yang semula tidak bisa ditanami di Desa Jati, diolah
menjadi sawah yang subur dan menghasilkan padi yang melimpah. “Sampai sekarang, warga
masyarakat Desa Jati Wetan, masih merasakan berkah dari Mbah Surgidjati itu. Sawah yang
subur dan hasil panennya selain bagus juga banyak.”

Mengenai peninggalan Mbah Surgidjati di Desa Jati Wetan yang hingga kini masih bisa dilihat,
adalah Masjid Baitul Muttaqin. Masjid yang terletak di Gang Abiyoso, Desa Jati Wetan RT
03/RW 02 itu, kalau dilihat sekilas terlihat seperti Masjid-masjid biasa pada umumnya.
Namun jika diperhatikan lebih dalam, pada bagian depan Masjid tersebut ada sebuah gapura
yang belum sempurna bentuknya. Karena itulah, gapura ini disebut Gapura Protol.

Gapura yang masuk dalam daftar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten
Kudus, sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) itu, konon merupakan peninggalan Mbah
Surgijati dan Mbah Wadat.

Menurut cerita, ketika membangun gapura tersebut Mbah Surgijati kemanungsan (ketahuan oleh
manusia -red) yang kala itu orang tersebut sedang mengambil daun di sekitar areal itu.

“Selain Gapura Protol, bangunan yang masih asli peninggalam Mbah Surgidjati adalah Mustaka,
Kayu Jati Mustaka, Jemblok (imbangan -red) dan Bencet (jam matahari -red),” kata Kades yang
sudah dua periode menjadi orang nomer satu di desanya itu.

Untuk mustaka, sampai sekarang masih bisa di lihat di bagian paling atas Masjid Baitul
Muttaqin. Konon, mustaka tersebut merupakan hadiah dari Sultan Agung Hanyakrakusuma,
Yogyakarta. Juga kayu jati mustaka, terbuat dari kayu jati kuno yang kokoh terdapat angka tahun
1414 M.

Sedangkan untuk Jimbangan yang mempunyai garis tengah sekitar 1 meter, kini difungsikan
sebagai bak air tempat berwudlu. Juga Bencet sebagai penunjuk waktu salat, sudah tidak
difungsikan lagi karena tergeser oleh perkembangan teknologi.

Menurut penuturan para sesepuh berdasarkan cerita turun-temurun, dari mulut awal mulanya
Mbah Surgijati berasal dari Cirebon. Beliau adalah seorang utusan dari Sunan Gunung Jati yang
diperintahkan untuk melakukan perjalanan ke Provinsi Jawa Tengah.

“Sesampainya di Kudus beliau berdakwah di daerah Jati, setelah sebelumnya belajar agama
terlebih dahulu kepada Sunan Kudus,” pungkas Suyitno.

Nama : Marchelario Chandra P

Desa Panjang
Panjang adalah desa di kecamatan Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Desa panjang
sebelah utara berbatasan dengan purworejo,sebelah timur berbatasan dengan desa bacin,sebelah
selatan berbatasan dengan desa kaliputu(kec.kota),sebelah barat berbatasan dengan desa
singocandi(kec.kota). Desa Panjang kecamatan Bae kabupaten Kudus, terletak di sebelah barat
desa Bacin. Desa ini berbatasan dengan desa Kaliputu dan desa Singocandi di sebelah selatan,
pada bagian barat berbatasan dengan desa Peganjaran dan Singocandi, serta desa Purworejo di
bagian utara.

Menurut keterangan dari Bapak Subiyanto, pada zaman Sunan Kudus ada seorang yang
tinggal di daerah ini, bernama Mbah Sowijoyo. Beliau merupakan pendatang, dan dikenal
sebagai orang yang murah hati dan suka menolong.

Hampir setiap hari, selalu ada orang yang meminta pertolongan beliau. Seperti misalnya,
memohon kesembuhan kepada Allah melalui perantara Mbah Sowijoyo. Hasilnya, orang-orang
tersebut dapat sembuh seperti sediakala dan memiliki umur panjang yang barokah.Dari
keseringan tersebut, orang-orang mulai mengenal desa ini dengan nama Panjang, karena
masyarakatnya memiliki umur panjang yang barokah.

Pada satu hari, ada seorang pelarian dari tanah Mataram (dalam cerita lain disebutkan
berasal dari Demak). Orang tersebut diketahui bernama Raden Ayu Kuning. Menurut cerita dari
Bapak Subiyanto, Raden Ayu Kuning ini membawa sesuatu yang diinginkan banyak orang,
karena itulah beliau dikejar-kejar hingga sampai ke tanah Kretek (dulu belum ada julukan
Kretek), tepatnya di daerah yang sekarang bernama Panjang.

Sesampainya di sana, Raden Ayu Kuning ditolong oleh Mbah Sowijoyo, dan diangkat
sebagai puterinya. Bapak Subiyanto juga mengatakan bahwa di daerah Yogyakarta juga ada
makamnya, akan tetapi di sana dikenal dengan nama Nyai Kuning.

Sepeninggal keduanya, Raden Ayu Kuning dan Mbah Sowijoyo dimakamkan di


pemakaman desa setempat. Khaul Raden Ayu Kuning sendiri diperingati setiap malam 17 bulan
Sura (Muharrom).Desa panjang pernah menjadi duta Kab.Kudus untuk menjadi desa siaga yang
diselenggarakan tingkat Provinsi Jawa Tengah dan berhasil menjadi juara 1 dalam ajang tersebut.

Nama : Alamsyah Putra Rahardi (03)


Sejarah Asal-Usul Nama Desa Yang Dilalui Oleh Sultan Hadirin Saat Perang

Asal usul nama Pringtulis adalah sunan kudus dianggap ikut terlibat dalam kasus itu. Hal
ini dikarenakan di temukannya keris kiai Setan Kober dalam peristiwa pembunuhan itu, di
namakan keris kiai Setan Kober tidak lain adalah millik kanjeng sunan Kudus. mendapatkan
penjelasan yang mengecewakan dari kanjeng sunan Kudus akhirnya raden Ayu Retno Kencono
bersama sang suami pergi meninggalkan padepokan Kudus pulang kembali ke Kalinyamat. Di
tengah perjalanan rombongan raden Ayu Retno Kencono di cegat oleh utusan-utusan pangeran
Haryo Penangsang.

Pertarungan pun tak dapat dihindari. Di karenakan jumlah yang tidak sepadan akhirnya
banyak jatuh korban di pihak Raden Ayu Retno Kencono termasuk sang suami sendiri yaitu
sultan Hadirin. Sultan Hadirin terluka parah namun berhasil meloloskan diri dari kejaran para
pengikut pangeran Haryo Penangsang. Dengan di bantu oleh istrinya Sultan Hadirin terus berlari
menuju Jepara. Peristiwa inilah yang konon kemudian menjadi nama-nama desa di sepanjang
rute yang di lalui oleh Sultan Hadirin, yaitu mulai dari desa Damaran Kudus. Konon saat terluka
itu penduduk sekitar sedang menghidupkan damar/lampu teplok karena waktu sudah sore
sehingga daerah tersebut dinamakan Damaran. Kemudian desa prambatan Kudus di sebelah
baratnya, konon karena saking parahnya luka yang di derita oleh Sultan Hadirin sampai-sampai
harus merambat atau merangkak untuk berjalan, sehingga daerah tersebut dinamakan Prambatan.
Kemudian di sebelah barat desa Prambatan ada desa bernama Kaliwungu Kudus, konon di
tempat itu Sultan Hadirin membasuh luka di sebuah sungai atau kali dan air sungai berubah
menjadi ungu atau wungu sehingga daerah tersebut dinamakan Kaliwungu.

Disebelah barat desa Kaliwungu terdapat desa bernama desa Pringtulis Jepara, konon di
daerah tersebut Sultan Hadirin menulis tentang apa yang di alaminya itu pada sebatang bamboo
atau pring, sehingga daerah tersebut dinamakan Pringtulis. Disebelah barat desa Pringtulis
terdapat desa Mayong Jepara, konon pada waktu sampai di daerah ini Sultan Hadirin tidak kuat
menahan tubuhnya sehingga jalannya sempoyongan atau moyang-moyong sehingga daerah ini
dinamakan Mayong. Disebelah barat desa Mayong terdapat desa Purwogondo, konon didaerah
tersebut Sultan Hadirin menghembuskan nafas terakhir, dari jasadnya mengeluarkan bau atau
gondowangi sehingga derah tersebut kemudian dinamakan Purwogondo. Disebelah utara desa
Purwogondo terdapat desa Krasak, konon saat jasad Sultan Hadirin hendak dibawa ke Mantingan
atau pesanggrahan Sultan Hadirin, jasad Sultan Hadirin terjatuh disebuah sungai dan
menyangkut disebuah jembatan bambu yang menimbulkan bunyi krasak-krasak sehingga daerah
tersebut dinamakan desa Krasak, kemudian jasad Sultan Hadirin di kebumikan di desa
Mantingan Jepara.

Nama : Eka Samsiati Putri


Asal Muasal Desa Jati Wetan

Desa Jati Wetan merupakan desa yang terletak di Kecamatan Jati, Kudus, dengan luas wilayah
sekitar 262,14 Ha atau sebesar 9,97 persen luas Kecamatan Jati. Yang mana terbagi berdasarkan
jenis penggunaan lahannya, yang digunakan untuk persawahan seluas 127,52 Ha dan yang bukan
lahan sawah seluas 134,62 Ha. Tercatat penduduk yang mendiami wilayah bukan sawah di desa
Jati Wetan berjumlah 8.618 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 4.140 orang dan perempuan
sebanyak 4.440 orang.

Lalu, bagaimana dengan sejarah berdirinya desa ini? Menurut Kepala Desa Jatiwetan Bapakn
Suyitno, sejarah desa Jati Wetan, tidak terlepas dari tokoh yang dipercaya sebagai pendiri Desa
Jati Wetan, yakni Mbah Surgidjati. “Sebagai tokoh yang sangat dihormati oleh warga
masyarakat Desa Jati Wetan. Setelah wafat, beliau dimakamkan di Desa Jati Kulon,” jelasnya.
Kenapa makamnya ada di luar desa, Suyitno menuturkan, dahulu Desa Jati Kulon dan Jati Wetan
tergabung menjadi satu desa, namanya Desa Jati. Pada saat Pemerintah Belanda berkuasa di
Indonesia, muncul kebijakan untuk memecah atau membagi satu desa menjadi beberapa desa.
Alasannya untuk membatasi wilayah kekuasaan seorang kepala desa, agar tidak terlalu luas
sehingga lebih memudahkan tugasnya. “Saat itu, di antara desa yang dipecah adalah Desa Jati,
menjadi Desa Jati Wetan dan Jati Kulon,” papar Kades.

Berkah apakah yang hingga kini dirasakan oleh warga masyarakat Desa Jati Wetan, sepeninggal
beliau? Masih kata Suyitno, Mbah Surgidjati selain seorang ulama ahli agama Islam, juga
mumpuni di bidang pertanian. Dengan kepiawaiannya, hamparan lahan yang semula tidak bisa
ditanami di Desa Jati, diolah menjadi sawah yang subur dan menghasilkan padi yang melimpah.
“Sampai sekarang, warga masyarakat Desa Jati Wetan, masih merasakan berkah dari Mbah
Surgidjati itu. Sawah yang subur dan hasil panennya selain bagus juga banyak.”

Mengenai peninggalan Mbah Surgidjati di Desa Jati Wetan yang hingga kini masih bisa dilihat,
adalah Masjid Baitul Muttaqin. Masjid yang terletak di Gang Abiyoso, Desa Jati Wetan RT
03/RW 02 itu, kalau dilihat sekilas terlihat seperti Masjid-masjid biasa pada umumnya. Namun
jika diperhatikan lebih dalam, pada bagian depan Masjid tersebut ada sebuah gapura yang belum
sempurna bentuknya. Karena itulah, gapura ini disebut Gapura Protol. Gapura yang masuk dalam
daftar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Kudus, sebagai Bangunan
Cagar Budaya (BCB) itu, konon merupakan peninggalan Mbah Surgijati dan Mbah Wadat.
Menurut cerita, ketika membangun gapura tersebut Mbah Surgijati kemanungsan (ketahuan oleh
manusia -red) yang kala itu orang tersebut sedang mengambil daun di sekitar areal itu. “Selain
Gapura Protol, bangunan yang masih asli peninggalam Mbah Surgidjati adalah Mustaka, Kayu
Jati Mustaka, Jemblok (imbangan -red) dan Bencet (jam matahari -red),” kata Kades yang sudah
dua periode menjadi orang nomer satu di desanya itu.
Untuk mustaka, sampai sekarang masih bisa di lihat di bagian paling atas Masjid Baitul
Muttaqin. Konon, mustaka tersebut merupakan hadiah dari Sultan Agung Hanyakrakusuma,
Yogyakarta. Juga kayu jati mustaka, terbuat dari kayu jati kuno yang kokoh terdapat angka tahun
1414 M. Sedangkan untuk Jimbangan yang mempunyai garis tengah sekitar 1 meter, kini
difungsikan sebagai bak air tempat berwudlu. Juga Bencet sebagai penunjuk waktu salat, sudah
tidak difungsikan lagi karena tergeser oleh perkembangan teknologi.

Nama : Enesty Herdiyanti ( 13 )


Kelas : XII A3
ASAL USUL DESA GARUNG LOR

Pada zaman para wali ( Walisongo ) di wilayah Kudus dipimpin oleh Sunan Kudus dan
Sunan Muria di Gunung Muria. Penyebaran Agama Islam dilakukan oleh kedua tokoh besar
tersebut. Ajaran kedua tokoh ini bisa diterima dan dianut oleh sebagian masyarakat melalui
pendekatan budaya, seni serta mengutamakan adat istiadat yang berlaku di masyarakat. Dengan
cara ini, masyarakat mudah menerima ajaran Islam.
Sunan Kudus dan Sunan Muria terus menerus berdakwah dan beberapa santri diminta
untuk membantu penyebaran ajaran agama di pelosok-pelosok desa sekitar kawasan Kudus.
Murid dari Sunan Kudus yang diutus adalah Muhammad Jailaniy yang dikenal masyarakat
sebagai Mbah jelan. Dari Sunan Muria adalah Abdulloh yang dikenal dengan Mbah Dul
Mufakattan dengan sifat mengedepankan asas musyawarah untuk mencari mufakat dalam
berbagai urusan. Dan Raden Jolodoro adalah cucu Sunan Muria. Mereka bertiga di perintahkan
untuk mengembangkan dan menyebarkan Agama Islam di daerah yang masih gersang dan
membabat hutan untuk dijadikan pemukiman serta sarana dakwah.
Mereka bertiga diperintahkan ke arah barat dari pusat Kudus dan akhirnya perjalanan pun
dihentikan untuk beristirahat di sebuah hutan yang cukup lebat. Kyai Abdulloh meminta kepada
seluruh santri dan masyarakat yang ikut dalam rombongan perjalanan segera beristirahat untuk
melepaskan lelah dan menjalankan kewajiban sholat. Ketiga pemimpin rombongan pun berusaha
untuk mencari tempat untuk ibadah dan memohon petunjuk dari Allah. Kemudian, Allah
memberikan petunjuk kepada mereka bertiga kalau di hutan tersebut mereka harus bermukim
dan membabat hutan untuk dijadikan pemukiman dan lahan pertanian.
Keesokan harinya mereka bertiga mengadakan pertemuan untuk membahas petunjuk
yang telah diterima. Setelah adanya mufakat pada hari yang telah disepakati, pembabatan hutan
pun dimulai. Kyai Jailaniy diminta memimpin para santri untuk membabat hutan. Kyai Abdulloh
dan Raden Jolodoro pun ikut membantu dengan giat dan bergotong royong. Tidak lama
kemudian, hutan yang tadinya lebat telah dibabat dan diatur untuk pemukiman ataupun lahan
pertanian. Terdapat satu pohon yang begitu wangi serta diketahui pohon tersebut adalah pohon
Garu. Kemudian, pemukiman baru tersebut dinamakan Garung ( asal muasal dari kata Garung ).
Kyai Abdulloh sebagai pimpinan pun segera memanggil dua temannya untuk membahas
rencana ke depan pemukiman baru tersebut. Mereka bertiga berdiskusi tentang perintah dari
Kanjeng Sunan Kudus dan Kanjeng Sunan Muria yang harus segera dilakukan yaitu
pengembangan Ilmu Agama Islam. Di bangunlah sebuah masjid di pemukiman baru sebagai
sarana dakwah dan pengajaran ilmu keagamaan untuk para penduduk.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun dan perkampungan baru semakin ramai. Kyai
Jailaniy meminta pada Kyai Abdulloh untuk mendirikan pasar sebagai pusat perekonomian dan
sebagai sarana agar bisa berhubungan dengan Kadipaten Kudus. Dan Kyai Abdulloh pun diminta
untuk sowan ke Kudus mengabarkan tentang berdirinya pemukiman atas restu dan dawuh
Kanjeng Sunan yang telah di jalani oleh mereka. Kyai Abdulloh pun menyetujui apa yang dicita-
citakan oleh Kyai Jailaniy.
Kyai Abdulloh pun segera berangkat di ikuti beberapa warga untuk menghadap Kanjeng
Sunan Kudus. Sesampainya di Kudus, Kyai Abdulloh pun segera menghadap dan melaporkan
seluruh hal yang terjadi dari awal sampai akhir. Dan Kanjeng Sunan Kudus pun memerintahkan
putra beliau, Panembahan Kudus untuk turut serta melihat Desa Garung yang telah ramai.
Setelah beberapa kemudian, tempat tersebut pun maju dengan adanya pasar dan pengakuan dari
Kudus. Kegiatan warga pun semakin terarah dengan bertani dan berdagang berdasarkan ilmu
pengetahuan yang di ajarkan ketiga pimpinan mereka. Masyarakat hidup rukun damai dan
sejahtera. Kehidupan beragama dan saling bertoleransi dengan umat lain pun digalakkan.
Makam beliau bertiga berada di desa garung lor Kec Kaliwungu Kudus dan masih
dikeramatkan oleh warga sekitar. Bahkan di makam beliau-beliau setiap tahunnya diadakan
upacara ganti Luwur. Jasa Beliau bertiga sangatlah besar dalam perkembangan Islam untuk
membantu perjuangan Kanjeng Sunan Kudus dan Kanjeng Sunan Muria. Terutama dalam sejarah
terbentuknya Desa Garung.
Desa Garung sekarang telah dibagi menjadi dua desa yaitu Desa Garung Lor dan Desa
Garung Kidul. Terdiri dari beberapa padukuhan. Di Garung Lor sendiri terbagi menjadi 2 dukuh
yaitu Dukuh Krajan dan Dukuh Tersono.

NAMA : MUHAMMAD RISTO ABRAR


KELAS : XII MIPA 3

NO. ABSEN : 25

Legenda daerah Jember

Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan
Kudus. tamu tersebut mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak
lah langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya dengan
mengendarai tampah serta berputar - putar diangkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus,
maka beliau murka sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan
kesaktianya. Sesudah di sabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang
ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs.
Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember

Nama : Putri Dinda Muliana


No.Absen. : 31

Kelas. : Xll MIPA 3

Asal Usul Nama Desa Loram Wetan

Desa Loram adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan Jati Kabupaten Kudus. pada
zaman Sunan Kudus, sekitar abad ke XV di desa ini ada sebuah pohon tinggi besar yang tak
seperti pohon-pohon yang lainnya, dan tumbuhnya condong ke timur. Nama pohon ini adalah
pohon Elo. Dibawah pohon ini terdapat sebuah sendang dengan mata air jernih yang biasa
digunakan untuk keperluan masyarakat sekitar. Namanya sendang Sibodang. Karena tidak seperti
pohon biasanya, dan membuat seorang wali heran, maka desa ini disebut Loram. Yang berasal
dari kata Elo (pohon) dan Eram (heran). Asal usul desa Loram Wetan ini berbeda dengan desa
Loram Kulon, sehingga di sana memiliki cerita yang berbeda.

Loram Wetan tahun1970-2011 Pada suatu hari, ada seorang wali yang berkunjung ke
daerah tersebut membuang ikan yang tinggal tulang belulang itu ke dalam sendang. Atas izin
Allah, ikan tersebut dapat hidup kembali namun dengan kerangkanya saja tanpa daging. Wali
tersebut terheran-heran lagi, dan bermaksud membuat gapura untuk menandai peristiwa tersebut.
Namun karena ada halangan, maka yang ada hanyalah tumpukan batu bata. “Wali yang hendak
membangun gapura tapi tidak jadi itu bernama Ahmad Rihati. Sampai saat ini masih bisa
disaksikan keberadaannya di sebelah timur Musholla Tanwirul Afkar RT 04 RW II Loram Wetan
Jati Kudus. Sekilas terlihat seperti tumpukan batu bata biasa, karena banyak susunannya yang
telah rusak. Warga sekitar merawatnya secara swadaya, dengan mengganti batu bata yang telah
rusak oleh batu bata yang baru.

Nama : Nova bayu ramadina


Kelas : XII MIPA 3/28

Asal Usul Desa Sunggingan

The Ling Sing atau yang lebih dikenal sebagai Kyai Telingsing, merupakan seorang
mubaligh terkemuka asal Tiongkok yang mensyiarkan agama Islam di Kabupaten Kudus. Selain
menjadi seorang mubaligh, Kyai Telingsing dikenal sebagai pemahat yang sakti.Kehebatanya
sebagai seorang pemahat, menjadikan seni ukir Kyai Telingsing dikenal oleh masyarakat sebagai
aliran Sun Ging. Inilah kisah lengkap sosok dibalik aliran ukir Sungging.

Dikisahkan, Kanjeng Sunan Sungging merupakan seorang mubaligh keturunan Arab yang
menyebarkan ajaran agama Islam di Tiongkok. Lama hidup di Tiongkok, Kanjeng Sunan
Sungging menikah dengan seorang wanita Tiongkok, kemudian melahirkan seorang anak yang
diberi nama The Ling Sing atau Kyai Telingsing.

Setelah Kyai Telingsing dewasa, ia mendapatkan wasiat dari ayahnya untuk pergi ke
Nusantara. “Apabila engkau ingin menjadi orang yang mulia di dunia dan akhirat. Pergilah kamu
ke negeri Nusantara, disanalah aku pernah berdiam,” pesan Ayah Telingsing pada
anaknya.Wasiat tersebut menghantarkan Kyai Telingsing ke Negeri Nusantara, tepatnya pada
sebuah daerah di Tanah Jawa yang kini dikenal dengan Kota Kudus. Masyarakat Kudus saat itu
masih beragama Hindu.

Di daerah tersebut, Kyai Telingsing menjalankan wasiat dari Kanjeng Sunan Sungging untuk
meneruskan jejak Sang Ayah sebagai mubaligh di Negeri Nusantara. Dimulailah perjalanan
dakwahnya, hingga mempertemukannya kepada Ja’far Shoddiq atau Sunan Kudus.“Perjalanan
dakwah mempertemukan Kyai Telingsing dengan Syekh Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus. Dari
pertemuan tersebut, membuat keduanya bekerjasama dalam mesyiarkan agama Islam di Kudus,”

Dilanjutkannya, “Salah satu bentuk strategi dakwah yang dilakukan keduanya, yang masih
dijalankan oleh sebagian masyarakat Kudus sampai saat ini, adalah larangan menyembelih sapi.
Larangan ini sebagai wujud toleransi beragama pada masyarakat Kudus yang masih menyembah
sapi.”Kedekatan keduanya terlihat saat Syekh Ja’far Shodiq kedatangan tamu dari Tiongkok,
kemudian meminta Kyai Telingsing untuk membuatkan sebuah cinderamata yang akan diberikan
pada tamunya tersebut.

Perintah itu, dilaksanakn oleh Kyai Telingsing dengan membuatkan sebuah kendi dengan
ukiran indah. Dan diperlihatkannya Kendi tersebut kepada Sunan Kudus, hingga membuat Sang
Sunan tercengang. Penampilan kendi tersebut yang terkesan biasa saja, dirasa tidak pantas
diberikan sebagai cinderamata untuk tamunya. Lalu Sunan Kudus melemparnya hingga pecah
berkeping-keping,” kata juru kunci Makam Kyai Telingsing tersebut.
Dari pecahan kendi tersebut, terlihat sebuah ukiran indah pada bagian dalam kendi yang
bertuliskan kalimah syahadat. Melihat hal tersebut Sunan Kudus terkagum-kagum dengan
kesaktian yang dimiliki Kyai Telingsing.

“Keahlian memahat yang dimiliki Kyai Telingsing dikenal sebagai aliran Sun Ging, yang
begitu populer di masyarakat Kudus pada masa itu. Popularitas tersebut menjadikan nama daerah
tempat Kyai Telingsing di makamkan diberinama Kelurahan Sunggingan, yang diambil dari
nama aliran ukir Kyai Telingsing,”

Nama : Mayang Aulia Wijayanti

Kelas : XII MIPA 3


No. Absen : 22

Asal-usul Desa Ploso

Dahulu, Sunan Kudus memiliki santri kesayangan yang bernama Mbah Seniyah. Selain
belajar ilmu agama, Mbah Seniyah bertugas untuk merawat Den Ayu Melati yang merupakan
istri dari Sunan Kudus.

Pada saat itu, Den Ayu Melati sedang sakit dan Mbah Saniyah ditugaskan untuk
mendampinginya mencari obat dari penyakitnya. Den Ayu Melati dan Mbah Seniyah memulai
perjalanannya dari Menara Kudus ke Selatan, hingga sampai di sebuah perkampungan yang
terletak di tepi Sungai Gelis.

Di perkampungan itu, Mbah Saniyah melihat masyarakat kampung mayoritas bekerja


sebagai jagal kerbau. Banyaknya kerbau yang disembelih, sehingga banyak kulit kerbau atau
lulang yang dihasilkan di kampung tersebut. Karena kampung itu belum memiliki nama, maka
Mbah Seniyah memberi nama Kampung Tambak Lulang.

Dari Kampung Tambak Lulang, Mbah Seniyah dan Den Ayu Melati melanjutkan perjalanan
ke arah Timur dan menyeberangi Sungai Gelis, hingga memasuki sebuah kampung lagi. Di
kampung tersebut, mereka memutuskan untuk berhenti sejenak, guna merawat Den Ayu Melati
yang tengah sakit.

Dikisahkan, Mbah Saniyah dan Den Ayu Melati saat itu bertemu dengan Nawang Wulan
yang sedang membawa lesung. Melihat kondisi Den Ayu Melati yang tengah sakit, Mbah
Seniyah meminta lesung itu untuk digunakan sebagai tempat persembunyian oleh Den Ayu
Melati.

Ikhtiar yang Mbah Saniyah lakukan untuk merawat Den Ayu Melati yang tengah sakit,
menghantarkannya pada sebuah daun yang bernama daun Kloso. Aroma daun Kloso yang harum,
memikat Mbah Saniyah untuk mengambil dan menggosokkan daun tersebut ke dahi Den Ayu
Melati.

Tak disangka, berkat daun Kloso tersebut penyakit dari Den Ayu Melati dapat sembuh.
Khasiat dari daun Kloso tersebut, membuat Mbah Saniyah menjuluki Kampung tersebut dengan
nama Kloso. Yang kini dikenal sebagai Desa Ploso.

Anda mungkin juga menyukai