Anda di halaman 1dari 5

1. Dampak polihidroamnion pada ibu?

Jawab:
Pada pemeriksaan, dampak polihidromnion adalah uterus tampak lebih besar
untuk usia kehamilan atau menunjukkan pertumbuhan interval besar, dan terdapat
kesulitan palpasi bagian-bagian janin atau mendengarkan DJJ. Kesulitan bernafas
pada ibu, edema ekstremitas bawah dan vulva, mual dan muntah, dan kompresi uterus
yang menyebabkan oliguria dapat terjadi pada polihidramnion berat. Akumulasi cepat
cairan (polihidromnion akut) terjadi lebih dini pada kehamilan dan sulit bagi wanita
hamil untuk menoleransi. Polihidromnion kronis adalah akumulasi lambat, biasanya
terjadi kemudian pada gestasi dan ditoleransi tanpa kesulitan. Pelahiran kurang bulan,
malpresentasi, abrupsio plasenta selama uterus dikosongkan, disfungsi uterus, prolaps
tali pusat, peningkatan risiko untuk pelahiran sesar, dan pendarahan pascapartum
merupakan komplikasi potensial (Moore, 2013).

Sumber:
Moore, K.L., Persaud, T.V.N. and Torchia, A.G. 2013. The Developing Human.
Canada: Eksevier.

2. Klasifikasi atresia esofagus?


Jawab:
Rujukan yang paling sering digunakan untuk klasifikasi fistula
trakeoesophagus dibedakan menjadi tipe I hingga II, tipe IIIA, IIIB, dan IIIC. Tipe I
atresia esophagus murni dengan tidak ada hubungan sama sekali dengan trakea terjadi
sebanyak 8% dari kasus, tipe II dikenal dengan tipe “H” terjadi 4% kasus. Tipe IIIA
yaitu atresia esophagus dan fistula yang berhubungan dengan proksimal esophagus
dengan trakea, terjadi hanya 1%. Tipe IIIB adalah atresia esophagus dan fistula distal
esophagus ke trakea terjadi 75%-80%, merupakan tipe yang paling sering terjadi. Tipe
IIIC yaitu terjadi 2 fistula yang terjadi pada proksimal dan distal esophagus pada
trakea, terjadi 2% kasus (Lubis, 2014).

(Lubis, 2014)
Salah satu klasifikasi yang banyak dipakai dan praktis secara klinis adalah
sistem klasifikasi oleh Gross dan Vogt yang membedakan atresiaesofagus menjadi 5
tipe sebagai berikut:
1. Tipe A: atresia esofagus terisolasi. Angka kejadiannya sekitar 8% darisemua
kasus;
2. Tipe B: atresia esofagus distal dengan fistula yang menghubungkan bagian
proksimal esofagus dengan trakea (fistula trakeoesofagus proksimal) dengan
angka kejadian 0,8%;
3. Tipe C: merupakan tipe yang paling sering terjadi yaitu sekitar 88,5%-90%
dimana terdapat proksimal atresia esofagus disertai fistula trakeoesofagus di
bagian distal;
4. Tipe D : atresia esofagus dengan double fistula trakeoesofagus yaitu dibagian
proksimal dan distal esofagus dengan angka kejadian 1,4%;
5. Tipe E: disebut juga tipe-H dimana tidak terdapat atresia esophagus namun
terdapat fistula trakeoesofagus dengan angka kejadian sekitar 4% dari semua
kasus;
6. Tipe F: Stenosis esophagus (Hanggorowati, 2018).

(Hanggorowati, 2018).

Sumber:
Hanggorowati, A.D., Wiryana, M., Sinardja, K., Kurniyanta, P. 2018.
Penatalaksanaan Anestesi pada Koreksi Atresia Esofagus. MEDICINA. Vol
49(2). Viewed on 21 November 2019. From: https://pdfs.semanticscholar.org
Lubis, F.A., dan Arifin, H. 2014. Penatalaksanaan Anestesi pada Koreksi Atresia
Esophagus dan Atresia esofagus. Jurnal Anestesiologi Indonesia. Vol 5(3).
Viewed on 21 November 2019. From: https://ejournal.undip.ac.id/index.php/
janesti/article/view/6312/14940

3. Kelainan kongenital gastrointestinal pada anak?


Jawab:
1. Atresia Ani. Atresia Ani merupakan kelainan berupa tiadanya anus atau lubang
dubur pada seorang bayi yang baru lahir. Tertutupnya anus secara abnormal ini
terjadi karena faktor-faktor yang banyak, yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan (multifaktorial) yang bekerja dan menyebabkan putusnya saluran
pencernaan dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.
Kegagalan pembentukan anus ini terjadi pada periode pertumbuhan janin dalam
kandungan usia tiga bulan;
2. Hirschsprung. Hirschsprung adalah kelainan cacat bawaan bayi, di mana usus
besar si jabang bayi tidak memiliki saraf motorik untuk gerakan peristaltik usus
besar, sehingga usus besar tersebut tidak mampu mengadakan kontraksi otot untuk
gerakan peristaltik di bagian pangkal usus besarnya. Akibatnya terjadi
penyumbatan usus besar yang terjadi akibat lemahnya pergerakan usus besar
untuk mengeluarkan faeces. Faktor genetik yang bekerja terhadap Hischsprung
bersifat multifaktorial dan berinteraksi dengan faktor lingkungan, diantaranya
asupan multivitamin, atau gangguan kimiawi yang berakibat pada terhambatnya
kerja multivitamin selama kehamilan;
3. Gastroschisis. Gastroschisis adalah suatu cacat bawaan bayi yang disebabkan
karena adanya ketidaksempurnaan penutupan dinding perut atau dinding abdomen
pada bagian depan perut. Gastroschisis lebih banyak disebabkan oleh faktor
lingkungan yang berpaut dengan status sosial ekonomi, dan pengetahuan si ibu,
kehidupan yang tidak stabil secara ekonomi, dan kehamilan oleh ibu berusia muda
(Muslim, 2016).

Sumber:
Muslim, C., Marnis, M., Nadya, Herryharyanto, Karyadi, B., and Ruyani, A. 2016.
Beberapa Kejadian Cacat Bawaan Bayi Lahir di Rumah Sakit M. Yunus
Bengkulu Dalam Satu Dekade Terakhir. Prosiding Seminar Nasional From
basic Science to Comprehensive Education. Vol 1(3). Viewed on 21
November 2019. From: www.journal.uin-alauddin.ac.id

4. Komplikasi dari atresia esofagus?


Jawab:
Neonatus dengan usia saat operasi yang mempunyai postconceptional age
(PCA) kurang dari 50 minggu, jika dilakukan tindakan anestesi umum akan terjadi
komplikasi berupa periode apnea pascaoperasi sehingga keadaan ini ikut menambah
risiko mortalitas dan morbiditas. Begitu juga neonatus yang lahir prematur
mempunyai masalah berupa sistem organ tubuh yang belum matang. Komplikasi yang
sering terjadi adalah pada sistem pernapasan seperti hyalin membran disease dan
bronkopulmonar displasia. Komplikasi lain akibat produksi surfaktan paru masih
sedikit yang akan berakibat respiratory distress syndrom (RDS) (Sunarya, 2017).
Seorang yang meninggal disebabkan oleh komplikasi pascaoperasi berupa
leakage, pneumonia, dan sepsis. Sepsis neonatorum berhubungan dengan faktor
perinatal (misalnya ruptur membran prematur), maternal, faktor neonatus (misalnya
gangguan imunologi), atau keterlambatan diagnosis. Sepsis juga dapat merupakan
komplikasi pneumonia akibat aspirasi pada pasien TEF. Sepsis preoperatif
menyebabkan penundaan tindakan operasi dan berhubungan dengan mortalitas. Pada
pneumonia terjadi gangguan proses pertukaran oksigen di paru sehingga oksigen yang
sampai ke jaringan berkurang akibatnya terjadi hipoksia sehingga mengganggu fungsi
tubuh secara normal. Berdasar atas klasifikasi Montreal, risiko mortalitas
pascaoperasi semakin tinggi apabila terdapat kelainan kongenital lain dan kebutuhan
ventilator mekanik preoperatif. Sedangkan leakage merupakan komplikasi akibat
pembedahan yang disebabkan oleh tekanan pada persambungan luka operasi yang
tinggi, dan aliran darah pada luka operasi berkurang sehingga terjadi kerusakan
jaringan. Penyulit pascaoperasi dapat terjadi hanya satu ataupun lebih dari satu
penyulit. Semakin banyak penyulit pascaoperasi maka mortalitasnya semakin
meningkat (Sunarya, 2017).

Sumber:
Sunarya, U., Oktaliansah, E., and Sitanggang, R.H. 2017. Angka Mortalitas dan
Faktor yang Memengaruhi pada Pasien Trakeoesofageal Fistula (TEF) yang
Menjalani Operasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2010-2015.
Jurnal Anestesi Perioperatif. Vol 5(2). Viewed on 21 November 2019. From:
www.journal.fk.untad.ac.id

5. Penatalaksanaan atresia esofagus?


Jawab:
Bayi dengan atresia esofagus memerlukan resusitasi awal. Jika terjadi
gangguan pernafasan, maka bayi membutuhkan ventilator. Bayi yang menggunakan
ventilator harus segera di operasi karena terdapat risiko memburuknya gangguan
pernafasan dan perforasi lambung. Operasi dilakukan kurang dari 8 jam setelah
pemakaian ventilator (Hanggorowati, 2018).
Hal yang paling penting pada bayi dengan atresia esofagus tanpa ventilator
adalah pencegahan aspirasi sekresi faring dan refluks isi lambung melalui fistula.
Yang pertama diperlukan adalah pengisapan secara berkala atau aspirasi dari kantong
proksimal esofagus menggunakan kateter double lumen bertekanan rendah. Bayi
diletakkan dengan kepala lebih tinggi untuk meminimalkan refluks lambung
(Hanggorowati, 2018).
Repair pembedahahan merupakan terapi definitif untuk atresia esofagus dan
TEF. Pembedahan umumnya dikerjakan dalam 24-72 jam pada neonatus dengan
kondisi yang baik. Penundaan pembedahan meningkatkan risiko aspirasi saliva akibat
penumpukan saliva dalam kantong buntu esofagus bagian distal dan fistula
trakeoesofagus dapat menyebabkan pneumonitis. Repair primer meliputi tindakan
isolasi dan ligasi fistula diikuti dengan anastomosis primer esofagus. Repair bertahap
merupakan teknik alternatif pembedahan bagi neonatus yang tidak dapat mentolerir
pembedahan satu tahap terkait dengan alasan adanya pneumonia dan atau kelainan
kongenital lainnya (Hanggorowati, 2018).
Sebelum operasi dilakukan tes darah seperti hitung darah lengkap, elektrolit,
glukosa darah, pembekuan darah dan cross match. Jika kelainan yang berhubungan
telah teridentifikasi, kemudian dinilai tingkat keparahan sebelum operasi dilakukan.
Bedah dilakukan dengan anastesi umum dengan pemasangan pipa endotrakeal.
Tujuan prosedur bedah yaitu untuk memisahkan fistula dan menutupnya pada sisi
trakea serta menyambung ujung- ujung segmen esofagus (Hanggorowati, 2018).
Sumber:
Hanggorowati, A.D., Wiryana, M., Sinardja, K., Kurniyanta, P. 2018.
Penatalaksanaan Anestesi pada Koreksi Atresia Esofagus. MEDICINA. Vol
49(2). Viewed on 21 November 2019. From: https://pdfs.semanticscholar.org

Anda mungkin juga menyukai