Anda di halaman 1dari 34

1

A. KASUS FARMAKOLOGI 5.1

IDENTITAS
Nama : Ny. TN
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 55 tahun
Alamat : Cirebon
Tanggal MRS : 25 September 2019
Jaminan : BPJS

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Luka dan nyei pada pergelangan tangan
Keluhan Tambahan : Lemas, nafsu makan menurun, dan pusing
Riwayat Penyakit Dahulu : DM tipe II sejak 3 tahun lalu
Riwayat Obat : Metformin 500 mg, dan Gllimepirid 4 mg.
Alergi Obat : Tidak ada
Alergi Makanan : Ada
Riwayat Penyakit Sekarang :
Ny. TN masuk Rumah Sakit pada 25 September 2019 pada pukul
20.00 WIB dengan keluhan nyeri pada pergelangan tangannya, disertai lemas
dan pusing. Paien mengatakan bahwa nyeri hilang timbul dan nyeri pada saat
tangan digerakan. Pasien tampak merintih kesakitan jika nyeri tiba.
Pasien mengatakan 2 minggu sebelum masuk Rumah Sakit pasien
terkena luka di pergeangan tangannya amun pasien tidak mengetahui
penyebabnya. Kemudian 1 minggu sebelum masuk Rumah Sakt keluhan pada
pergelangan tangan pasien semakin bertambah.
Luka semakin lebar, membengkak dan menghitam sehingga akhirnya
dibawa ke Rumah Sakit oleh keluarganya karena merasa tidak kuat menahan
nyeri pada pergelangan tangannya. pasien mengatakan 2 tahun yang lalu
ibunya meninggal karena diabetes dan stroke.
2

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital
Tanda-tanda vital 25-09-2019 26-09-2019
Tekanan darah 118/56 mmHg 92/56 mmHg
Nadi 72 x/menit 65 x/menit
Respirasi 16 x/menit 22 x/menit
Suhu 36,3 C 36,2 C

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan 25-9-2019 26-9-2019
Hemmoglobulin 8,6
Leukosit 19.500
- basofil 0,8
Hematologi
-eosinofil 0,1
Rutin
-neutrofil 86,2
-limfosit 9,3
-monosit 3,6

Ureum 309,1
Faal Ginjal
Kreatinin 5,82

Natrium 136,8 136,8


Kalium 3,9 3,9
Elektrolit
Klorida 104,8 104,8
Kalsium 8,96 8,96

Glukosa Darah GDS 630 mg/dL 710 mg/dL


3

B. DASAR TEORI
1. PATOFISIOLOGI
DIABETES MELITUS TIPE II

Gambar 1,

Patogenesis DM tipe II. 3


Dua defek metabolik yang menjadi ciri diabetes tipe II adalah penurunan
kemampuan jaringan perifer untuk berespons terhadap insulin (resistensi
insulin) dan disfungsi sel beta yang bermanifestasi sebagai sekresi insulin
inadekuat pada keadaan resistensi insulin dan hiperglikemia. Resistensi
insulin mendahului berkembangnya hiperglikemia dan biasanya diikuti oleh
hiperfungsi kompensatorik sel beta dan hiperinsulinemia pada tahap awal
terjadinya diabetes.3
1) Resistensi Insulin
Resistensi insulin didefinisikan sebagai gagalnya jaringan sasaran
untuk berespons secara normal terhadap insulin. Hal ini menyebabkan
berkurangnya uptake glukosa di otot, berkurangnya glikolisis dan
oksidasi asam lemak di hati, dan ketidakmampuan untuk menekan
glukoneogenesis hepatik.3
Bermacam-macam defek fungsional telah dilaporkan pada jalur
pengisyaratan insulin pada keadaan resistensi insulin (contoh,
4

berkurangnya aktivasi reseptor insulin yang tergantung fosforilasi dan


komponen di bawahnya), yang melemahkan transduksi isyarat. Hanya
beberapa faktor yang berperan penting dalam timbulnya resistensi insulin
seperti obesitas.3
2) Disfungsi Sel Beta
Disfungsi sel beta pada diabetes tipe 2 mencerminkan tidak
mampunya sel ini untuk beradaptasi terhadap tuntutan resistensi insulin
perifer jangka panjang dan peningkatan sekresi insulin. Pada keadaan
resistensi insulin, awalnya sekresi insulin lebih tinggi untuk setiap kadar
glukosa dibanding kontrol.3

Gambar 2. Urutan Gangguan Metabolik DM.3


5

Keadaan hiperinsulinemik ini merupakan kompensasi untuk


resistensi perifer dan sering dapat mempertahankan kadar glukosa plasma
agar normal selama bertahun-tahun. Namun, akhirnya kompensasi sel
beta menjadi tidak cukup dan timbul progresi menjadi hiperglikemia,
yang diikuti oleh hilangnya massa sel beta secara absolut.3
Mekanisme molekuler yang mendasari disfungsi sel beta pada
diabetes tipe 2 bersifat multifaktorial dan pada banyak kasus, tumpang
tindih dengan faktor yang berimplikasi pada resistensi insulin. Oleh
karena itu, nutrien yang berlebihan seperti ALB dan glukosa dapat
meningkatkan sekresi sitokin proinflamasi oleh sel beta, yang
menimbulkan rekruitmen sel mononukleus (makrofag dan sel T) ke
dalam sel pulau Langerhans, menyebabkan produksi sitokin yang lebih
bersifat lokal. Akibat dari lingkungan mikro inflamasi yang abnormal ini
adalah disfungsi sel beta dan akhirnya kematian sel beta.3

ULKUS DIABETIK
Kelainan metabolik pada defisiensi insulin relatif atau absolut yang tidak
diatasi dalam beberapa tahun atau puluh tahun, akan menyebabkan perubahan
ireversibel yang luas.2
Hipoksia jaringan merangsang pembentukan VEGF (vascular endotelial
growth factor), diikuti oleh angiogenesis. Mikroangiopati di retina akhirnya
dapat menyebabkan kebutaan atau retinopati dan pada bagian ekstremitas
dapat menyebabkan ulkus atau gangrenarea kecil gangren. Sel-sel yang tidak
menyerap glukosa dalam jumlah memadai jika terus berlanjut akanmengalami
perubahan ukuran menjadi menciut akibat hiperosmolaritas ekstrasel.2
Hiperglikemia pun mendorong pembentukan protein-protein plasma yang
mengandung gula, misalnya fibrinogen, haptoglobin, dan alfa 2
makroglobulin serta faktor pembekuan V-VIII. Dengan cara ini,
kecenderungann pembekuan dan kekentalan darah mungkin meningkat
sehingga meningkatkan resiko thrombosis dengan oklusi pembuluh darah
besar sehingga dapat terjadi iskemia jaringan dan terjadi gangren yang luas.2
6

Gambar 5. Bagaimana lesi kaki pada Diabetes menyebabkan kaki cenderung


diamputasi.2

GAGAL GINJAL KRONIK ET CAUSA DM TIPE II


Mikroangiopati diabetik, merupakan salah satu gambaran morfologik
yang paling konsisten pada diabetes adalah adanya penebalan difus
membrane basal. Penebalan paling jelas terjadi di kapiler kulit, otot rangka,
retina, glomerulus ginjal, dan medulla ginjal. Namun, penebalan ini juga
dapat ditemukan pada struktur nonvascular, seperti tubulus ginjal, kapsula
bowman, saraf perifer, dan plasenta. Dengan mikroskop cahaya dan elektron,
lamina basal yang memisahkan parenkim atau sel endotel dari jaringan
7

disekitarnya tampak sangat menebal oleh lapisan konsentrik bahan hialin


yang terutama terdiri dari kolagen tipe IV.2
Pada nefropati diabetik ginjal adalah sasaran utama diabetes, yang
merupakan penyebab kematian kedua setelah infark miokardium. Dijumpai
tiga lesi:2
1) Lesi Glomerulus
Lesi terpenting adalah penebalan membran basal kapiler, sclerosis
mesangium difus, dan glomerulosklerosis nodular. Sclerosis mesangium
difus berupa peningkatan difus matriks mesangium dan selalu
menyebabkan penebalan membrane basal. Kelainan ini ditemukan pada
sebagian besar pasien yang telah mengidap diabetes lebih dari 10 tahun.
Jika glomerulosklerosis menjadi semakin nyata, pasien dapat mengalami
sindrom nefrotik. Glomerulosklerosis nodular adalah lesi glomerulus
yang ditandai dengan adanya endapan bentuk bola matriks berlapis yang
terletak di perifer glomerulus. Nodus-nodus ini positif pada pewarnaan
PAS dan biasnaya mengandung sel mesangium. Perubahan khas ini
disebut sebagai lesi Kimmelstiel-Wilson.Baik glomerulosklerosis nodular
ataupun difus jika menimbulkan iskemia jaringan, dapat menyebabkan
pembentukan jaringan parut halus di seluruh ginjal yang ditandai oleh
permukaan korteks yang bergranula halus.2
2) Lesi Vascular
Aterosklerosis dan arteriosclerosis ginjal meurpakan bagian dari
penyakit makrovaskular pada pengidap diabetes. Arteriolosclerosis hialin
mengenai tidak saja arteriol aferen, tetapi juga eferen.2
3) Pielonefritis
Merupakan peradangan akut atau kronik ginjal yang biasanya dimulai
di jaringan interstisium dan kemudian menyebar untuk mengenai tubulus.
Baik bentuk akut maupun kronik dari penyakit ini lebih sering terjadi
pada pengidap diabetes dibandingkan dengan populasi umum, dan jika
telah terkena, pengidap diabetes cenderung mengalami penyakit yang
8

parah. Salah satu pola khusus pielonefritis akut, papillitis nekrotikans atau
nekrosis papilar.2

Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain kerusakan ginjal (renal


failure) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan LFG, dengan manifestasi kelainan
patologis, dan terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah dan urin atau kelainan dalam tes pencitraan atau imaging
tests kemudian laju filtasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2
selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. 4
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG
sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit
ginjal kronik. Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu
atas dasar derajat atau stage penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi
atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan
menggunakan rumus: 4

(140 − 𝑈) 𝑥 𝐵𝐵
𝑳𝑭𝑮 = 𝑥 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑡𝑎
75 𝑥 𝐶𝑟

Keterangan:
U : Umur dalam tahun
BB : Berat badan dalam kilogram
Cr : Nilai kreatinin serum (darah) dalam mg/dL
Konstanta: Laki-laki = 1
Perempuan = 0,85

Faktor-faktor etiologis timbulnya nefropati diabetic adalah: 4


a. Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa >140-160 mg/dL
(7,7-8,8 mmol/l), AIC >7-8%
b. Genetik
9

c. Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi


glomerulus, peningkatan tekanan intraglomerulus)
d. Hipertensi sistemik
e. Sindrom resistensi insulin (sindrom metabolik)
f. Peradangan
g. Perubahan permeabilitas pembuluh darah
h. Asupan protein berlebih dan
i. Gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol, pembentukan advance
glycation end product, peningkatan produksi sitokin. 4

Gambar 4, Patogenesis nefropati diabetik. 4


10

Berikut tahapan-tahapan nefropati diabetik: 4


1) Tahap I
Pada tahap ini LGF meningkat sampai dengan 40% di atas normal
yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan
tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversibel dan
berlangsung 0-5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe 2 ditegakkan. Dengan
pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya kelainan fungsi maupun
struktur ginjal akan normal kembali.
2) Tahap II
Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubahan
struktur ginjal berlanjut, dan LGF masih tetap meningkat. Albuminuria
hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stres atau kendali
metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya
sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas biasanya
terkait dengan memburuknya kendali metabolik. Tahap ini disebut sebagai
tahap sepi (silent stage).
3) Tahap III
Ini adalah tahap awal nefropati atau insipient diabetic nephropathy
saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun
diagnosis DM tegak. Secara histopatologis, juga telah jelas penebalan
membran basalis glomerulus. LGF masih tetap ada dan mulai meningkat.
Keadaan ini dapat bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih
mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang kuat.
4) Tahap IV
Ini merupakan tahapan saat dimana Nefropati Diabetic bermanifestasi
secara klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa,
tekanan darah sering meningkat tajam dan LGF menurun di bawah normal.
Ini terjadi setelah 15-20 tahun DM tegak. Penyulit diabetes lainnya sudah
pula dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati, gangguan profil lemak
dan gangguan vascular umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya
11

dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah dan


tekanan darah. 4
5) Tahap V
Ini adalah tahap akhir gagal ginjal, saat LGF sudah sedemikian rendah
sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan
memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun
cangkok ginjal. 4

Secara histopatologik pada nefropati diabetic meliputi perubahan pada


glomerulus yang mengenai kapiler glomerulus membrana basalis dan kapsul,
perubahan pada vaskuler ginjal yaitu terjadi arteriosklerosis, perubahan pada
tubulus dan intestial yang dapat berupa endapan hialin pada tubulus
proksimal, deposit glikogen pada tubulus proksimal, atropi tubulus dan
fibrosis interstisial.4
12

ANEMIA PENYAKIT KRONIK


Anemia akibat penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada
penyakit kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme besi,
yaitu adanya hipoferemia sehingga menyebabkan berkurangya penyediaan
besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum
tulang masih cukup. 1
Patogenesis anemia akibat penyakit kronik memiliki beberapa teori: 1
1) Adanya gangguan pelepasan besi dari RES (sel makrofag) ke plama
2) Adanya pemendekan masa hidup eritrosit
3) Pembentukan eritropoetin tidak adekuat
4) Respon sumsum tulang terhadap eritropoetin tak adekuat. 1
Semua perubahan diatas dapat disebabkan oleh adanya pengaruh sitokin
proinflamasi, IL-1, dan TNF- terhadap eritropoesis. Gangguan pelepasan
besi ke plasma menyebabkan berkurangnya penyediaan Fe untuk eritropoesis
yang berakibat pada gangguan pembentukan hemoglobin sehingga terjadi
anemia hipokromik mikrositer. 1

Gambar 3, Penegakan diagnosis anemia akibat penyakit kronik. 1


13

Anemia pada penyakit ginjal kronik dikaitkan dengan konsekuensi


patofisiologik yang merugikan, termasuk berkurangnya transfer oksigen ke
jaringan dan penggunaannya. Ketika terjadi gangguan pada glomerulus maka
fungsi ginjal pun terganggu, termasuk salah satu dari fungsi endokrinnya
yaitu pengaturan produksi eritrosit. 1
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor
lain yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon
eritropoesis mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu.
Alasan yang paling utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi
eritropoetin pada pasien dengan penyakit ginjal yang berat. hal ini
dikarenakan sel-sel peritubular yang menghasilkan eritropoetin rusak
sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas penyakit ginjalnya.
Sehingga masa hidup eritrosit pada pasien gagal ginjal hanya sekitar separuh
dari masa hidup eritrosit normal. 1
Peningkatan hemolisis eritrosit ini tampaknya disebabkan oleh kelainan
lingkungan kimia plasma dan bukan karena cacat pada sel darah itu sendiri.
Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt ini mengurangi ketersediaan dari
glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit
menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisis. Kerusakan ini menjadi
semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai
obat-obatan. 1
Mekanisme lain yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang
akhirnya dapat mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan
fosfat intraselulernya sendiri (hipofosfatemia) akibat pengobatan yang
berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan penurunan intracellular
adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat
timbul akibat kompliksai dari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi
dan kelainan eritrosit. 1
14

2. GUIDELINE

Guaideline Terapi/Algoritma Terapi

Bagan 1. Algoritma Terapi.1

Penjelasan untuk algoritme Pengelolaan DM Tipe-2 :


a) Daftar obat dalam algoritme bukan menunjukkan urutan pilihan.
Pilihan obat tetap harus mempertimbangkan tentang keamanan,
efektifitas, penerimaan pasien, ketersediaan dan harga. Dengan
demikian pemilihan harus didasarkan pada kebutuhan/kepentingan
penyandang DM secara perseorangan (individualisasi).1
b) Untuk penderita DM Tipe -2 dengan HbA1C <7.5% maka pengobatan
non farmakologis dengan modifikasi gaya hidup sehat dengan evaluasi
HbA1C 3 bulan, bila HbA1C tidak mencapa target < 7% maka
dilanjutkan dengan monoterapi oral.1
15

c) Untuk penderita DM Tipe-2 dengan HbA1C 7.5%-<9.0% diberikan


modifikasi gaya hidup sehat ditambah monoterapi oral. Dalam
memilih obat perlu dipertimbangkan keamanan (hipoglikemi,
pengaruh terhadap jantung), efektivitas, , ketersediaan, toleransi pasien
dan harga. Dalam algoritme disebutkan obat monoterapi
dikelompokkan menjadi;
 Obat dengan efek samping minimal atau keuntungan lebih banyak:
- Metformin
- Alfa glukosidase inhibitor
- Dipeptidil Peptidase 4- inhibitor
- Agonis Glucagon Like Peptide-1
 Obat yang harus digunakan dengan hati-hati
- Sulfonilurea
- Glinid
- Tiazolidinedione
- Sodium Glucose coTransporter 2 inhibitors (SGLT-2 i).1
d) Bila obat monoterapi tidak bisa mencapai target HbA1C<7% dalam
waktu 3 bulan maka terapi ditingkatkan menjadi kombinasi 2 macam
obat, yang terdiri dari obat yang diberikan pada lini pertama di tambah
dengan obat lain yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda.1
e) Bila HbA1C sejak awal ≥ 9% maka bisa langsung diberikan kombinasi
2 macam obat seperti tersebut diatas.1
f) Bila dengan kombinasi 2 macam obat tidak mencapai target kendali,
maka diberikan kombinasi 3 macam obat dengan pilihan sebagai
berikut:
 Metformin + SU + TZD atau
+ DPP-4 i atau
+ SGLT-2 i atau
+ GLP-1 RA atau
+ Insulin basal
16

 Metformin + TZD + SU atau


+ DPP-4 i atau
+ SGLT-2 i atau
+ GLP-1 RA atau
+ Insulin basal
 Metformin + DPP-4 i + SU atau
+ TZD atau
+ SGLT-2 i atau
+ Insulin basal
 Metformin + SGLT-2 i + SU atau
+ TZD atau
+ DPP-4 i atau
+ Insulin basal
 Metformin + GLP-1 RA + SU atau
+ TZD atau
+ Insulin basal
 Metformin + Insulin basal + TZD atau
+ DPP-4 i atau
+ SGLT-2 i atau
+ GLP-1 RA.1
g) Bila dengan kombinasi 3 macam obat masih belum mencapai target
maka langkah berikutnya adalah pengobatan Insulin basal plus/bolus
atau premix.1
h) Bila penderita datang dalam keadaan awal HbA1C ≥10.0% atau
Glukosa darah sewaktu ≥ 300 mg/dl dengan gejala metabolik, maka
pengobatan langsung dengan.
a. metformin + insulin basal  insulin prandial atau
b. metformin + insulin basal + GLP-1 RA.1
17

Keterangan mengenai obat :


a. SGLT-2 dan Kolesevalam belum tersedia di Indonesia.
b. Bromokriptin QR umumnya digunakan pada terapi tumor hipofisis.
Data di Indonesia masih sangat terbatas terkait penggunaan
bromokriptin sebagai anti diabetes
c. Pilihan obat tetap harus memperhatikan individualisasi serta
efektivitas obat, risiko hipoglikemia, efek peningkatan berat badan,
efek samping obat, harga dan ketersediaan obat sesuai dengan
kebijakan dan kearifan lokal.1
18

C. SOAP
19

D. Penatalaksanaan dan Pembahasan


1.. Tatalaksana Anemia et causa gagal ginjal kronik
Epoetin Alfa
a. Indikasi Obat
Pengurangan kebutuhan transfusi sel darah merah (RBC) pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis (CKD) pada dialisis dan bukan pada dialisis
Pasien dengan CKD pada dialisis
 Mulai pengobatan saat kadar Hb <10 g / dL
 Jika kadar Hb mendekati atau > 11 g / dL, kurangi atau hentikan dosis
 Awalnya 50-100 unit / kg IV / SC 3 kali seminggu.1
Pasien dengan CKD tidak menggunakan dialisis
 Memulai pengobatan hanya ketika kadar Hb <10 g / dL dan berikut ini:
 Tingkat penurunan Hb menunjukkan kemungkinan membutuhkan
transfusi sel darah merah
 Mengurangi risiko alloimunisasi dan / atau risiko terkait transfusi sel darah
merah lainnya adalah tujuan
 Jika kadar Hgb> 10 g / dL, kurangi atau hentikan dosis, dan gunakan dosis
terendah epoetin alfa yang cukup untuk mengurangi kebutuhan transfusi
sel darah merah.
 Awalnya 50-100 unit / kg IV 3 kali seminggu.1
b. Dosis Obat
 2000 units/mL (Epogen, Procrit, Retacrit)
 3000 units/mL (Epogen, Procrit, Retacrit)
 4000 units/mL (Epogen, Procrit, Retacrit)
 10,000 units/mL (Epogen, Procrit, Retacrit)
 20,000 units/mL (Epogen, Procrit)
 40,000 units/mL (Retacrit).1
c. Hubungan Pengobatan dengan data laboratorium
Pedoman Kidney Disease: Improving Global Outcome merekomendasikan hal
berikut: Untuk pasien dengan penyakit ginjal kronis yang tidak menjalani dialisis,
20

terapi ESA tidak boleh dimulai jika tingkat hemoglobin lebih tinggi dari 10 g / dL.
Jika kadar hemoglobin lebih rendah dari 10 g / dL, terapi ESA dapat dimulai,
tetapi keputusan perlu disesuaikan berdasarkan tingkat penurunan konsentrasi
hemoglobin, sebelum respons terhadap terapi zat besi, risiko memerlukan
transfusi, risiko terkait dengan terapi ESA, dan adanya gejala yang disebabkan
anemia. Untuk pasien yang menjalani dialisis, terapi ESA harus digunakan ketika
kadar hemoglobin antara 9 dan 10 g / dL untuk menghindari hemoglobin jatuh di
bawah 9 g / dL. Pada semua pasien dewasa, ESA tidak boleh digunakan untuk
secara sengaja meningkatkan kadar hemoglobin di atas 13 g / dL tetapi untuk
mempertahankan kadar tidak lebih tinggi dari 11,5 g / dL. Target ini didasarkan
pada pengamatan bahwa hasil buruk dikaitkan dengan penggunaan ESA dengan
target hemoglobin lebih tinggi dari 13 g / dL.2
d. Aturan Pakai Obat
 Dalam uji coba terkontrol, pasien CKD berada pada risiko kematian yang
lebih besar, reaksi kardiovaskular merugikan yang serius, dan stroke
ketika menerima terapi ESA untuk menargetkan tingkat hemoglobin> 11 g
/ dL
 Gunakan dosis terendah yang cukup untuk mengurangi kebutuhan
transfusi sel darah merah.1
e. Efek Samping Obat
> 10%
Pyrexia (10-42%)
Mual (11-35%)
Hipertensi (14-27%)
Batuk (4-26%)
Muntah (12-28%)
Pruritus (12-21%)
Ruam (2-19%)
Sakit kepala (5-18%)
Arthralgia (10-16%).1
f. Interaksi Obat
21

Tidak ada interaksi obat Epoetin Alfa dengan obat lain yang kelompok kami
gunakan.1
g. Mekanisme Kerja Obat
ADME
Absorption
 Onset: Beberapa hari
 Efek puncak: 2-6 minggu
 Waktu serum puncak: 5-24 jam (SC)
Distribution
 Vd: 9L
 Ketersediaan hayati: 21-31% (SC); 3% (intraperitoneal)
Mechanism
Erythropoietin manusia rekombinan; merangsang erythropoiesis melalui
pembelahan dan diferensiasi sel-sel progenitor dalam sumsum tulang
Elimination
 Waktu paruh, CKD: 4-13 jam (IV)
 Jarak bebas: 14 mL / menit
 Ekskresi: Tinja (mayoritas); urin (jumlah kecil).1

Tatalaksana non Farmakologi Anemia


Pasien Anemia hendaknya melakukan terapi non farmakologi untuk
membantu penyembuhan, yaitu dengan cara mengkonsumsi makanan yang
mengandung zat besi seperti sayuran, daging, ikan dan unggas. Dapat
digunakan suplemen multi-vitamin yang mengandung vitamin B12 dan asam
folat sebagai terapi profilaksis maupun memperbaiki defisiensi vitamin
B12 ataupun asam folat. Memakan beraneka ragam makanan yang memiliki
zat gizi saling melengkapi termasuk vitamin yang dapat meningkatkan
penyerapan zat besi, seperti vitamin C. Peningkatan konsumsi vitamin C
sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat meningkatkan penyerapan zat besi
sebesar 2, 3, 4 dan 5 kali. Buah-buahan segar dan sayuran sumber vitamin C,
namun dalam proses pemasakan 50 - 80 % vitamin C akan rusak. Mengurangi
22

konsumsi makanan yang bisa menghambat penyerapan zat besi seperti fitat,
fosfat, tannin. b. Suplementasi zat besi Pemberian suplemen besi
menguntungkan karena dapat memperbaiki status hemoglobin dalam waktu
yang relatif singkat. Di Indonesia pil besi yang umum digunakan dalam
suplementasi zat besi adalah fero sulfat.

Penatalaksanaan gagal ginjal kronik

Dikonsulkan dan dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam untuk


mendapatkan penatalaksanaan lebih lanjut.

2.. Tatalaksana Diabetes Mellitus


Terapi Cairan

Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume


intravascular dan extravascular dan mempertahankan perfusi ginjal. Terapi cairan
juga akan menurunkan kadar glukosa darah tanpa bergantung pada insulin, dan
menurunkan kadar hormon kontra insulin (dengan demikian memperbaiki
sensitivitas terhadap insulin). Pada keadaan tanpa kelainan jantung, NaCl 0.9%
diberikan sebanyak 15–20 ml/kg berat badan/jam atau lebih besar pada jam
pertama ( 1–1.5 l untuk rata-rata orang dewasa).

Pilihan yang berikut untuk mengganti cairan tergantung pada status


hidrasi, kadar elektrolit darah, dan banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45%
diberikan sebanyak 4–14 ml/kg/jam jika sodium serum meningkat atau normal;
NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang sama jika Na serum rendah. Selama
fungsi ginjal diyakinkini baik, maka perlu ditambahkan 20–30 mEq/l kalium ( 2/3
KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral.
Keberhasilan penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik
(perbaikan dalam tekanan darah), pengukuran input/output cairan, dan
pemeriksaan fisik. Penggantian cairan diharapkan dapat mengkoreksi defisit
dalam 24 jam pertama. Perbaikan osmolaritas serum mestinya tidak melebihi 3
mOsm· kg-1 H2O· h-1 ( 14–20,22). Pada pasien dengan gangguan ginjal atau
23

jantung, pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung, ginjal, dan status
mental harus sering dilakukan selama pemberian cairan untuk menghindari
overload yang iatrogenic.

Tatalaksana non farmakologi Diabetes Melitus Type 2


1. PENATALAKSANAAN NON-FARMAKOLOGI PADA DM
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis
dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan / atau suntikan. Obat anti
hiperglikemi oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi.1
A. Edukasi
Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah memenuhi
anjuran:
- Mengikuti pola makan sehat.
- Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
- Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara
aman dan teratur.
- Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan
pengobatan.
- Melakukan perawatan kaki secara berkala
- Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit
akut dengan tepat.
- Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan
mau bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta
mengajak keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang DM.
- Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.1
B. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2
secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang
24

lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM
sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM .
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang
dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama
pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin
atau terapi insulin itu sendiri.
A. Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:
1) Karbohidrat
a. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
b. Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
c. Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang
diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
d. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
e. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal
tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily
Intake/ADI).
f. Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.
2) Lemak
a. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan
tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
b. Komposisi yang dianjurkan:
i. Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
ii. lemak tidak jenuh ganda < 10 %
iii. selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
25

c. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak


mengandung lemak jenuh dan lemak trans seperti daging berlemak
dan susu fullcream.
d. Konsumsi kolesterol dianjurkan 200 mg/hari.

3) Protein
a. Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.
b. Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu dan tempe.
c. Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan
protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan
energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi.
d. Kecuali pada penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis
asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari.
4) Natrium
a. Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang
sehat yaitu <2300 mg perhari
b. Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan
pengurangan natrium secara individual
c. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan
bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
5) Serat
a. Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari
kacangkacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat.
b. Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari
berbagai sumber bahan makanan.
B. Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan
26

kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal. Jumlah


kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa
faktor
yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Beberapa
cara perhitungan
berat badan ideal adalah sebagai berikut:
a. Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca
yang dimodifikasi:
b. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
c. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di
bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi:
d. Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg. BB
Normal: BB ideal •} 10 % Kurus: kurang dari BBI - 10 % Gemuk:
lebih dari BBI + 10 %
e. Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh
(IMT). Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus IMT =
BB(kg)/TB(m2) Klasifikasi IMT:
i. BB Kurang <18,5
ii. BB Normal 18,5-22,9
iii. BB Lebih ≥23,0
 Dengan risiko 23,0-24,9
 Obes I 25,0-29,9
 Obes II ≥30
C. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-
hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali
perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu.
Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila
kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat
27

terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan
jasmani. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas seharihari bukan termasuk
dalam latihan jasmani meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaranjuga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan
berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-
70% denyut jantung maksimal) seperti:
a. jalan cepat
b. bersepeda santai
c. jogging
d. berenang
Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi angka 220
dengan usia pasien. Pada penderita DM tanpa kontraindikasi contoh:
osteoartritis, hipertensi yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan
juga melakukan resistance training (latihan beban) 2-3 kali/perminggu sesuai
dengan petunjuk dokter. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur
dan status kesegaran jasmani. Intensitas latihan jasmani pada penyandang DM
yang relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang
disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan
masing-masing individu.

2. Farmakologi pada DM
A. Insulin
28

Gambar 1. Skema penggunaan insulin pada pasie DM tipe II dengan gangguan


ginjal.2
a. Indikasi:
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis hiperglikemia
- Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard, stroke)
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dana tau alergi terhadap OHO.1
b. Kontraindikasi
Pasien dengan gangguan hepar dan ginjal memiliki resiko tinggi
mengalami hipoglikemia, sehingga memerlukan penyesuaian dosis
yang lebih sering dengan pemantauan kadar glukosa darah lebih
sering.1
c. Hubungan pengobatan dengan data klinik dan laboratorium
Pada data klinik pasien didapatkan keluhan berupa lemas dan pusing,
lemas yang merupakan gejala klasik yang sering dijumpai pada pasien
diabetes melitus. pada data laboratorium didapatkan hasil glukosa
darah sewaktu 630 mg/dL pada hari pertama dan 710 mg/dL pada hari
kedua di Rumah Sakit. Pada pemeriksaan labolatorium faal ginjal
didapatkan hasil ureum 309,1 , kreatinin 5,82 sehingga bisa dikatakan
pasien mengalami gagal ginjal kronik oleh karena itu pasien
29

menggunakan terapi insulin yang tidak memiliki efek samping pada


progresifitas gagal ginjal yang diderita pasien.1,3
d. Hubungan pengobatan dengan riwayat, penyakit dan riwayat
pengobatan
Pada riwayat keluarga pasien didapatkan ibu pasien menderita
penyakit yang sama dengan dengan pasien yaitu Diabetes Melitus tipe
2, pasien pun telah terdiagnosa menderita diabetes melitus tipe 2
sekitar 3 tahun yang lalu dan pasien pernah mendapatkan pengobatan
berupa metformin 500 mg dan Glimepirid 4 mg. Namun jika dlihat
berdasakan data laboratorium memiliki kadar GDS yang sangat tinggi
dan faal ginjal menurun dan jika dihubungkan dengan algoritma
terapi, pasien ini dapat menggunakan insulin untuk menurunkan kadar
glukosa darahnya dengan cepat. Tanpa penggunaan obat
antihiperglikemi oral yang dapat memperparah kerusakan ginjal1
e. Dosis dan aturan pemakaian obat
-
aprida merupakan salah satu insulin rapid acting yang paling
banyak digunakan dengan dosis 0,5-1 unit/kg/hari dan dapat
digunakan 15 menit sebelum makan. Penggunaan insulin Apidra
di indikasikan untuk pasien DM dengan gangguan ginjal yang
memiliki nilai gula darah sewaktu (GDS) diatas 200 mg/dL
tujuannya adalah untuk menurunkan gula darah dengan segera.2
- terapi insulin long acting digunakan dengan tujuan untuk
mempertahankan insulin basal yang konstan. Insulin yang
termasuk dalam kelompok ini adalah insulin Detemir (Levemir).
digunakan dengan dosis ,5 – 1 unit/kg/hari. Insulin long acting
mulai berkerja 1-2 jam. Puncak efek obat hampir tidak ada atau
merata selama 24 jam, dan efek obat akan berakhir sampai lebih
dari 24 jam. Keuntungan insulin ini antara lain dapat digunakan
sekali untuk 24 jam (1x1 hari pada malam hari) karena insulin ini
hampir tidak ada puncak efek obat dan kemungkinan
hipoglikemik pada malam hari bisa dikurangi.
30

f. Interaksi pengobatan dengan obat yang lain


Kontraindikasi dengan pramlintide harus dikelola secara terpisah.
hindari ethanol karena alkohol dapat meningktakna atau menurunkan
efek penurun glukosa darah dari insulin. Alkohol dapat menurunkan
produksi glukosa endogen (meningkatkan resiko hipoglikemia) atau
memperburuk kontrol glikemik dengan menambahkan kalori. lalu
obat-obat seperti acarbose, aspirin, captopril, dan glipizide perlu
dilakukan monitor.1
g. Efek samping obat
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
- Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin yaitu
timbul urtikaria lokal atau sistemik akibat pelepasan histamin dari sel
mas jaringan yang tersensitisasi oleh antibodi IgE anti-insulin.1,4
h. Mekanisme kerja obat
Mengatur metabolisme glukosa dengan cara menstiulasi pengambilan
glukosa perifer terutama oleh otot rangka dan lemak, dan dengan
menghambat produksi glukosa di hepar, insulin pun aka
memnghambat lipolisis dan proteolisis. Selain itu, dapat
meningkatkan sintesis protein. tergetnya termasuk otot rangka, hepar,
dan jaringan adiposa. 4
i. ADME
- Absobsi
Bioavabilitas subcutan diabsopsi dengan baik (2-3 kali lebih cepat
dari insulin reguler). onsetnya 0,2-0,3 jam dan 1-3 jam saat efek
puncaknya. durasi aksinya 3-5 jam. puncak di plasma 40-50
menit. 4
- Distribusi
Ikatan protein <10%, mirip dengan insulin biasa(tidak terikat
dengan protein pengikat serum, tetapi hadir sebagai monomer
plasma).4
- Metabolisme
31

Obat insulin dengan aksi kerja cepat ini 50% dimetabolisme di


hepar, 30% di renal, dan sekitar 20% di metabolisme di jaringan
adiposa dan otot.4
- Ekskresi
Obat ini diekskresikan melalui urin .4
3. Tatalaksana ulkus Diabetikum
Tatalaksana non farmakologi Ulkus Diabetikum
1) Debridemen
Debridemen merupakan upaya untuk membersihkan semua
jaringan nekrotik, karena luka tidak akan sembuh bila masih terdapat
jaringan nonviable, debris dan fis-tula. Tindakan debridemen juga dapat
menghilangkan koloni bakteri pada lu-ka.Saat ini terdapat beberapa jenis
de-bridemen yaitu autolitik, enzimatik, meka-nik, biologik dan tajam.
Debridemen dilakukan terhadap semua jaringan lunak dan tulang yang
nonviable. Tujuan debridemen yaitu untuk mengeva-kuasi jaringan yang
terkontaminasi bakteri, mengangkat jaringan nekrotik sehingga da-pat
mempercepat penyembuhan, menghilangkan jaringan kalus serta
mengurangi risiko infeksi lokal. Debridemen yang teratur dan dilakukan
secara terjadwal akan memelihara ulkus tetap bersih dan merang-sang
terbentuknya jaringan granulasi sehat sehingga dapat mempercepat proses
pe-nyembuhan ulkus.
2) Perawatan luka
Prinsip perawatan luka yaitu mencipta-kan lingkungan moist
wound healing atau menjaga agar luka senantiasa dalam keada-an
lembab.6,10,11 Bila ulkus memroduksi se-kret banyak maka untuk
pembalut (dress-ing) digunakan yang bersifat absorben. Se-baliknya bila
ulkus kering maka digunakan pembalut yang mampu melembabkan ul-
kus. Bila ulkus cukup lembab, maka dipilih pembalut ulkus yang dapat
mempertahan-kan kelembaban.Disamping bertujuan untuk menjaga
kelembaban, penggunaan pembalut juga se-layaknya mempertimbangkan
ukuran, ke-dalaman dan lokasi ulkus.15 Untuk pemba-lut ulkus dapat
32

digunakan pembalut kon-vensional yaitu kasa steril yang dilembab-kan


dengan NaCl 0,9% maupun pembalut modern yang tersedia saat ini.
Beberapa jenis pembalut modern yang sering dipakai. dalam perawatan
luka, seperti: hydrocol-loid, hydrogel, calcium alginate, foam dan
sebagainya. Pemilihan pembalut yang akan digunakan hendaknya
senantiasa memper-timbangkan cost effective dan kemampuan ekonomi
pasien.

Ulkus superfisial dengan infeksi jaringan lunak (ringan) terbatas:

1. Bersihkan, debride semua jaringan nekrotik dan kalus di sekitarnya


2. Mulai terapi antibiotik oral empiris yang ditargetkan pada Staphylococcus
aureus dan streptococci (kecuali ada alasan untuk mempertimbangkan
patogen lain yang mungkin ditambahkan).
3. Infeksi yang dalam atau luas (berpotensi mengancam anggota tubuh)
(infeksi sedang atau parah):
 Segera mengevaluasi perlunya intervensi bedah untuk mengangkat
jaringan nekrotik, termasuk yang terinfeksi tulang, lepaskan
tekanan kompartemen atau drain abses
 Menilai untuk PAD; jika ada pertimbangkan pengobatan segera,
termasuk revaskularisasi
 Memulai terapi antibiotik empiris, parenteral, spektrum luas, yang
ditujukan untuk bakteri gram positif dan gram negatif umum,
termasuk anaerob obligat :
a. Vancomycin 1 g/200 mL secara IV
b. Metronidazole 500mg/ 100 mL infusion solution
 Menyesuaikan (membatasi dan menargetkan, jika mungkin)
rejimen antibiotik berdasarkan respons klinis terhadap terapi
empiris dan hasil kultur serta sensitivitas.
 Kontrol metabolik dan pengobatan komorbiditas
 Optimalkan kontrol glikemik, jika perlu dengan insulin
33

 Obati edema atau malnutrisi, jika ada


Mekanisme kerja obat ulkus diabetikum:

A. Vancomycine
1. mekanisme kerja
Vankomisin menghambat pembentukan dinding sel dengan mengikat
secara kuat ujung akhir D-Ala-D-Ala pentapeptida peptidoglikan Hal
ini menghambat transglikosilase, mencegah peman- jangan lebih lanJut
peptidoglikan dan pembentukan ikatan-silang. Karena itu
peptidoglikan melemah, dan sel menjadi rentan terhadap lisis.
Membran sel juga rusak yang ikut berperan dalam efek antibakteri.
Resistensi terhadap vankomisin pada enterokokus adalah modifikasi
tempat pengikatan D-Ala-D-Ala peptidoglikan, dengan D-Ala terminal
diganti oleh D-laktat. Hal ini menyebabkan hilangnya ikatan hidrogen
penting yang mempermudah pengikatan vankomisin ke sasarannya dan
hilangnya aktivitas. Mekanisme ini juga terdapat pada galur-galur S.
aureus resisten vankomisin (KHM ≥16 mcg/mL), yang memperoleh
determinan resistensi enterokokus. Mekanisme yang mendasari
berkurangnya kerentanan galur-galur S. aureus intermediat-vanko-
misin terhadap vankomisin (KHM=4-8 mcg/mL) belum sepenuhnya
dipahami. Namun, galur-galur ini memperlihatkan perubahan
metabolisme dinding sel yang menyebabkan penebalan dinding sel
disertai peningkatan residu D-Ala-D-Ala, yang berfungsi sebagai
tempat pengikatan buntu untuk vankomisin. Vankomisin dimasuk- kan
ke dalam dinding sel oleh sasaran semu ini dan mungkin tidak dapat
mencapai tempat pengikatannya.
2. Farmakokinetik
Vankomisin kurang diserap dari saluran cerna dan diberikan per oral
hanya untuk mengobati kolitis terkait-antibiotik yang disebab- kan
oleh C. difficile. Dosis parenteral harus diberikan secara intra- vena.
Infos intravena 1g selama 1 jam menghasilkan kadar darah 15-30
34

mcg/mL selama 1-2 jam. Obat ini tersebar luas di tubuh. Kadar di
cairan serebrospinal sebesar 7-30% dari konsentrasi serum pada saat
yang sama dapat dicapai jika terjadi peradangan meningen. Sebanyak
90% dari obat diekskresikan oleh filtrasi glomerulus. Jika terdapat
insufisiensi ginjal, dapat terjadi penimbu- nan yang mencolok (Tabel
43-2). Pada pasien yang secara fungsional anefrik, waktu-paruh
vankomisin adalah 6-10 hari. Cukup banyak (sekitar 50%) vankomisin
yang dikeluarkan selama hemo- dialisis standar jika digunakan
membran modern berfluks-tinggi.
3. Absorpsi
Oral : Diserap dengan buruk. Setelah 250 mg kapsul PO q8hr selama 7
dosis, konsentrasi feses vancomycin pada sukarelawan melebihi
100 mcg / g pada sebagian besar sampel
IV : Waktu serum puncak, segera setelah infus selesai
4. Distribusi
Didistribusi di jaringan tubuh dan cairan, kecuali cairan cerebrospinal
(CSF)
5. Metabolisme
Tidak ada metabolism vancomycine yang jelas
6. Eliminasi
Half life (IV) : 4-6 jam (normal fungsi ginjal)
Ekskresi : urine

Anda mungkin juga menyukai