Anda di halaman 1dari 13

2.

1 Pendidikan dan SDM


Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek
kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama
meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan
tersebut peranan pendidikan amatlah strategis. Pendidikan mampu menciptakan sumber daya
manusia yang berkualitas. Untuk itu peningkatan kualitas sumber daya manusia mutlak harus
dilakukan. Karena dengan kualitas sumber daya manusia yang berkualitas dapat memberikan
multiplier efect terhadap pembangunan perekonomian.

2.1.1 Pendidikan sebagai Investasi bagi Pembangunan Nasional


Isu mengenai sumber daya manusia (human capital) sebagai input pembangunan ekonomi
mencoba menjelaskan hubungan antara pendidikan dengan pembangunan ekonomi untuk
mencapai kesejahteraan. Teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai
investasi sumber daya manusia yang memberi banyak manfaat, antara lain: diperolehnya kondisi
kerja yang lebih baik, efisiensi produksi, peningkatan kesejahteraan dan tambahan pendapatan
seseorang apabila mampu menyelesaikan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pendapatan lulusan pendidikan di bawahnya.

Pendidikan merupakan investasi penting dalam menghadapi masa depan dunia secara global.
Untuk itu, pendidikan harus dapat menyiapkan generasi muda abad ke-21 yang unggul, berdaya
saing tinggi dan mampu bekerjasama guna mencapai kemakmuran bagi setiap negara dan dunia.
Namun, Pembangunan tidak akan bisa tumbuh dengan baik walaupun peningkatan mutu
pendidikan atau mutu sumber daya manusia dilakukan, jika tidak ada program yang jelas tentang
peningkatan mutu pendidikan dan program ekonomi yang jelas.

Mengingat pentingnya peran pendidikan tersebut, maka investasi modal manusia melalui
pendidikan di negara berkembang sangat diperlukan walaupun investasi di bidang pendidikan
merupakan investasi jangka panjang secara makro, manfaat dari investasi ini baru dapat dirasakan
setelah puluhan tahun. Keterbatasan dana mengharuskan adanya penetapan prioritas dari berbagai
pilihan kegiatan investasi di bidang pendidikan yang sesuai, dalam jangka panjang akan
mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Investasi yang menguntungkan adalah investasi modal
manusia untuk mempersiapkan kreativitas, produktivitas dan jiwa kompetitif dalam
masyarakatnya..

2.1.2 Sistem Pendidikan dan Pembangunan Ekonomi

Pemerintah memilik peranan penting dalam meningkatkan kualitas dari sumber daya manusia
(SDM) sehingga memiliki karakter, pengetahuan, values, attitudes dan skills yang dapat ditunjang
melalui lembaga pendidikan, program pendidikan 9 tahun, hal ini juga menjadi landasan dalam
mensukseskan visi Indonesia Emas 2045, dengan menggunakan SDM yang berkualitas akan
mendorong Indonesia menjadi 7 negara dengan perekonomian yang baik. Beberapa faktor yang
menyebabkan perlunya mengembangkan tingkat pendidikan di dalam usaha untuk membangun
suatu perekonomian, adalah :

1. Pendidikan yang lebih tinggi memperluas pengetahuan masyarakat dan mempertinggi


rasionalitas pemikiran mereka. Hal ini memungkinkan masyarakat mengambil langkah yang
lebih rasional dalam bertindak atau mengambil keputusan.
2. Pendidikan memungkinkan masyarakat mempelajari pengetahuan-pengetahuan teknis yang
diperlukan untuk memimpin dan menjalankan perusahaan-perusahaan modern dan kegiatan-
kegiatan modern lainnya.
3. Pengetahuan yang lebih baik yang diperoleh dari pendidikan menjadi perangsang untuk
menciptakan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang teknik, ekonomi dan dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat lainnya.

2.1.3 Hakekat Pembangunan Manusia

Pengembangan sumber daya manusia sebagai upaya untuk memberikan kesempatan


seluas-luasnya pada penduduk untuk terlibat secara aktif dalam proses pembangunan. Pada
hakekatnya sumber daya manusia tidak hanya penting diperhatikan masalah keahlian sebagai mana
yang telah umum dipahami dan diterima, tetapi juga penting diperhatikan masalah etika atau
akhlak dan keimanan-keimanan pribadi-pribadi yang bersangkutan. Jadi, sebagaimana benar
bahwa SDM yang bermutu ialah yang mempunyai tingkat keahlian tinggi, juga yang tak kurang
benarnya adalah bahwa SDM tidak akan mencapai tingkat yang diharapkan jika tidak memiliki
pandangan dan tingkah laku etis dan moral yang tinggi berdasarkan keimanan yang teguh.

2.1.4 Keputusan Berinvestasl (Analisis Biaya Manfaat)

Telah diketahui bahwa peningkatan mutu modal manusia tidak dapat dilakukan dalam
tempo yang singkat, namun memerlukan waktu yang panjang. Investasi modal manusia sebenamya
sama dengan investasi faktor produksi lainnya. Dalam hal ini juga diperhitungkan rate of
return (manfaatnya) dari investasi pada modal manusia. Bila seseorang akan melakukan investasi,
maka ia harus melakukan analisa biaya manfaat (cost benefit analysis). Biayanya adalah berupa
biaya yang dikeluarkan untuk bersekolah dan opportunity cost dari bersekolah adalah penghasilan
yang diterimanya bila ia tidak bersekolah. Sedangkan manfaatnya adalah penghasilan (return)
yang akan diterima di masa depan setelah masa sekolah selesai. Diharapkan dari investasi ini
manfaat yang diperoleh jauh lebih besar daripada biayanya.

Biaya sosial adalah opportunity cost yang harus ditanggung oleh masyarakat seluruhnya
sebagai akibat dari adanya keinginan atau kesediaan masyarakat tersebut untuk membiayai
perluasan pendidikan tinggi yang mahal dengan dana yang mungkin akan menjadi lebih produktif
apabila digunakan pada sektor-sektor ekonomi yang lain. Antara biaya sosial dan biaya individual
akan terdapat kesenjangan, sehingga akan lebih memacu tingkat permintaan atas pendidikan yang
lebih tinggi. Tetapi, penciptaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi akan
mengakibatkan lonjakan biaya sosial yang ditanggung oleh masyarakat. Masyarakat juga harus
menanggung biaya Sosial yang berupa semakin memburuknya alokasi sumber daya yang pada
akhirnya akan menyusutkan persediaan dana dan kesempatan untuk menciptakan kesempatan
kerja langsung atau untuk menjalankan program pembangunan lainnya. Sedikit demi sedikit
pendidikan tinggi bukan lagi menjadi alat, melainkan menjadi tujuan itu sendiri (Michael.P.
Todaro, 2000).

2.2 Pendidikan di Negara Berkembang

2.2.1 Masalah Umum Pendidikan di Negara Berkembang


Menurut Kadir dan Umar (1982) Beberapa masalah dan kesulitan dalam uraian pokok
secara garis besar adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya guru yang kualifaid. Beberapa Negara terbelakang sangat sedikit orang-orang
yang memiliki pendidikan cukise social up menjadi guru yang kompeten, karena mereka
menempati jabatan-jabatan diluar bidang pengajaran dengan gaji dan prestise social yang
tinggi. Sejak negara-negara terbelakang melakukan ekspansi pendidikan, maka harus
berusaha mendapatkan guru-guru dari Negara maju. Walaupun hal itu bertentangan dengan
watak nasionalistis,namun tampaknya itu merupakan satu-satunya jalan keluar.
2. Kegagalan sekolah dalam memelihara siswa sebenarnya sekolah-sekolah dasar kurang
efektif dalam menunjang gerak pembangunan, jika impaknya tidak tebukti dalam periode
waktu yang pantas. Cita-cita sekolah pada mulanya sukar meresap dan beberapa factor
kerja menghalanginya. Anak mungkin merupakan suat keuntungan ekonomi bagi orang
tua, dan sekolah. Rupa-rupanya dianggap sebagai suatu ancaman terhadap kenyataan
keuntungan ini:natau orang tua kuatis, bahwa ilmu pengetahuan dan ide-ide baru itu bias
mengasingkan anak dari kebiasaan-kebiasaan tradisional keluarga. Agar efektif sekolah-
sekolah itu dihadiri secara teratur dan bersemangat, sekolah itu harus menjadi tempat yang
menyenangkan dan menguntungkan hal ini merupakan suatu kondisi yang tidak biasa
ditemui dinegara miskin.
3. Keadaan kurikulum yang tidak sesuai permasalahn dasar kurikulum pada jenjang pra-
universitas meliputi sekitar perluasan penyesuaian budaya, pendaherahan(loklisasi), dan
penjuruhan (vokasionalisasi) kurikulum.
4. Ketimpangan kemajuan desa dan kota. Didunia terbelakang terapat jurang perbedaan yang
lebar, yaitu kesenangan, kekayaan, kegembiraan, dan tebaran kelayakan terdapat di
beberapa puasat kota dan didesa atau tribal areas keterbelakangan meluas. Perbedaan yang
kontras antara gedung-gedung modern, jalan-jalan raya, transportasi dan aktivitas budaya
disebagian kota besar dan desa itu mengundang gaya tarik wisatawan yang mengunjungi
Negara yang kurang maju itu.

Menurut Tilaar (2002) Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas
pendidikan di dunia berkembang secara umum, yaitu:

1. Efektifitas Pendidikan

Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat
belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan.
Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat
meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.

Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi
formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil
pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang
yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang
menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai
kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat
dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.

Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang
sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang
lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan
bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya
masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di
Negara berkembang.

2. Efisiensi Pengajaran Di Negara Berkembang

Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih
‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk
memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang
kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya
bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.

Beberapa masalah efisiensi pengajaran adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan
dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya
proses pendidikan. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia yang lebih
baik.

Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah,
training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga
berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang
ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal
dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat
menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan
efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara
fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika
ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.

3. Standardisasi Pendidikan

Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan, kita juga berbicara tentang standardisasi
pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang
akan diambil. Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan
formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas
pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga
dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti
Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

Penyebab rendahnya mutu pendidikan juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas.
Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat
kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita
mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan sehingga jadi kebih
baik lagi.

4. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya
rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap.
Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan
sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

5. Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39
UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan
melakukan pengabdian masyarakat. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan
tidak layak mengajar. Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi,
sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan
yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh
masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

5. Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas


pendidikan Indonesia.

6. Rendahnya Prestasi Siswa

Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru)
pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika
dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.

7. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Sementara itu
layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya
tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.

8. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan

Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan
kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta
didik memasuki dunia kerja.

9. Mahalnya Biaya Pendidikan


Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya
yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat
miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang
menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan
Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.

Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite
Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus
dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya,
Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya
menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan
rakyatnya

2.2.2 Tingkat Pendidikan di Negara Berkembang Menghambat Pembangunan


Pertumbuhan jumlah sarjana yang rendah di Indonesia menurunkan minat para
investor asing mengembangkan usaha di Tanah Air. Berdasarkan data resmi dari hasil sensus
penduduk tahun 2010 didapat bahwa ternyata di Indonesia dengan jumlah penduduk yang berada
di atas 200 juta ternyata hanya memiliki sarjana kurang dari empat persen, padahal idealnya dalam
suatu negara jumlah sarjana harus mencapai minimum 15 hingga 20 persen dari jumlah pendidik.
Suatu bangsa dapat mewujudkan kemajuan teknologi, termasuk ilmu pengetahuan dan
manajemen, serta modal fisik seperti bangunan dan peralatan mesin-mesin hanya jika negara
tersebut memiliki modal manusia yang kuat dan berkualitas. Situasi tersebut memang tidak bisa
dipisahkan dari kebutuhan pemerintah terhadap tenaga terdidik untuk mengoperasikan skill dan
keahliannya dalam rangka industrialisasi dan modernisasi pembangunan negara. Disini, peran
sarjana amat dibutuhkan karena sarjana merupakan orang yang telah dididik dan dianggap
memiliki kapabilitas dalam melakukan suatu pekerjaan. Sarjana merupakan agent of change yang
akan membawa pembangunan ke arah yang lebih baik. Namun dengan persentase sarjana yang
masih jauh dari semestinya juga akan mempengaruhi proses pembangunan itu sendiri.
Sebagai contoh, jika di suatu negara berpenduduk seratus juta jiwa dengan persentase
sarjananya sekitar dua persen, maka jumlah sarjananya adalah sekitar dua juta jiwa. Dengan
keadaan yang demikian, berarti orang-orang yang dianggap memiliki kapabilitas untuk
melakukan suatu perubahan berbanding sangat besar dengan orang-orang yang sulit untuk
memberikan sumbangsihnya dikarenakan beberapa faktor seperti buta huruf, putus sekolah dan
sebagainya. Perbandingan keduanya adalah 1:49. Dimana hanya ada satu sarjana diantara 49
orang.
Tampak jelas bahwa sumber daya manusia merupakan faktor yang paling menentukan
karakter dan kecepatan pembangunan bangsa. Modal fisik ataupun sumber daya material hanyalah
faktor pendukung. Manusialah yang merupakan agen-agen aktif yang akan mengumpulkan
modal, mengeksploitasikan sumber-sumber daya alam, membangun berbagai macam organisasi
sosial, ekonomi dan politik, serta melaksanakan pembangunan nasional.
Selain persentase sarjana, hal lain yang mempengaruhi pembangunan di suatu daerah
adalah persentase melek hurufnya. Tingkat melek huruf dan angka partisipasi pendidikan menjadi
basis perubahan dalam meningkatkan pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi.
Melek huruf merupakan sebuah konsep berkebalikan dari buta huruf, dimana buta huruf diartikan
sebagai ketidakmampuan untuk menggunakan bahasa dan menggunakannya untuk mengerti
sebuah bacaan, mendengarkan perkataan, mengungkapkannya dalam bentuk tulisan, dan
berbicara. Buta huruf bukan sekadar tidak mampu membaca dan menulis, melainkan
berpotensi menimbulkan serangkaian dampak yang sangat luas. Kesuksesan penuntasan
buta huruf bisa meningkatkan indeks atau kualitas pembangunan manusia. Dan sebaliknya,
kegagalan penuntasan buta huruf akan berdampak negatif, tidak cuma pada penurunan indeks
pembangunan manusia, tapi juga menjadi penghambat pembangunan pada sektor lainnya

2.2.3 Kebijaksanaan Pendidikan di Negara Berkembang

Kebijakasanaan pendidikan di negara-negara berkembang umumnya berasal dari warisan


kebijakasanaan pendidikan kaum kolonial. Dikatakan demikian oleh karena negara-negara
berkembang pada saat baru pertama kali merdeka belum semat membangun kebijaksanaan
pendidikannya sendiri berdasarkan kebutuhan realistik rakyatnya. Kemerdekaan yang telah
tercapai di bidang politik tidak dengan sendirinya diikuti oleh kemerdekaan di bidang lainnya,
lebih-lebih di bidang pendidikan.
Dalam pelaksanaannya pun dapat dipastikan bahwa seluruh kebijaksanaan pendidikan di
negara berkembang yang merupakan negara yang masih mencari bentuk serta pola kebijaksaannya
sendiri tentunya selalu belajar terhadap negara-negara kolonial utamanya yang telah sangat maju
dibandingkan negaranya sendiri. Hal ini telah menunjukan bahwa negara berkembang tidak serta
merta meninggalkan begitu saja bentuk-bentuk kebijaksanaan yang dibawa oleh negara-negara
kolonial, melainkan masih mungkin dipakai dan di terapkan dalam mengatur kebijakasaan
pendidikan di negaranya.

2.2.4 Ciri-ciri Kebijaksanaan Pendidikan di Negara Berkembang

Kebijaksanaan yang meruapakan warisan dari kaum kolonial yaitu:

Pertama, sifatnya yang elastis, atau lebih banyak memberikan kesempatan kepada sekecil
masyarakat dan tidak lebih banyak memberikan kesempatan kepada sebagian besar masyarakat.
Realitas demikian tampak mula-mula pada awal-awal kemerdekaan terutama dalam hal
kesempatan mendapatkan layanan pendidikan, meskipun pengejawantahannya akhirnya lebih
bersentuhan dengan persoalan mutu pendidikan. Tampak sekali, bahwa layanan pendidikan yang
bermutu, tetap dinikamati oleh kalangan terbatas, sementara kalangan kebanyakan sekadar
mendapatkan layanan pendidikan yang dari segi kualita sangat memperihatinkan. Keluhan
mengenai mutu pendidikan yang akhir-akhir ini pernah mencuat ke permukaan, agaknya dapat
dilihat dari sudut pandang ini.

Kedua, berorientasi sosio-ekonomik. Orientasi sosio-ekonomik demikian, berkaitan erat


dengan jaringan ekonomi inetrnasional di mana negara-negara maju berposisi sebagai sentranya
sementara negara-negara berkembang sekadar sebagai periferalnya. Dalam kedudukan sebagai
periferalnya, negara berkembang umumnya secara ekonomik masih tinggi tingkat dependensinya
terhadap negara maju. Bantuan-bantuan yang diberikan dalam bentuk pinjaman bagi pelaksanaan
pendidikan di negara-negata berkembang, umumnya justru memperkukuh dpendensi tersebut. Jika
secara ekonomik hal demikian masih bergantung dan belum mandiri, maka dalam hal strategi
pencapaian tujuan pendidikannya pun juga masih tetap bergantung. Tidak jarang, pembaruan-
pembaruan di bidang pendidikan, umumnya dimulai dari negara maju; dan begitu di negara maju
sudah ditinggalkan, baru dimulai dan di galakkan di negara-negara berkembang. Negara-negara
berkembang seolah-olah terombang-ambing oleh pasanga surutnya, naik turunnya dan jaya
hancurnya konsep-konsep mengenai pendidikan di negara-negara maju.
Ketiga, liberal, rasional, individual, achievement oriented dan sosial alienated. Ciri-ciri
pendidikan demikian, umumnya berbeda dan bahkan berlawanan dengan ciri-ciri masyarakat dan
nilai-nilai yang berkembang di negara-nnegara berkembang. Pendidikannya liberal, padahal
masyarakatnya menjunjung tinggi nilai-nilai kolektifisme; pendidikannya menanamkan
rasionalitas, padahal masyarakat negara-negara berkembang banyak juga mempunyai budaya-
budaya yang tidak saja mengembangkan rasionalitas melainkan juga segi-segi emosional dan
batiniah; pendidikannya individual padahal masyarakatnya menjunjung tinggi kesetiakawanan
sosial dan gotong royong; pendidikannya achievement oriented secara sempit sekadar prestasi
akademik di kelas; pendidikannya sosial alienated padahal masyarakatnya menginginkan
sosialisasi siswa dengan lingkungannya.

Keempat, tidak berakar pada tradisi dan budaya setempat. Hal demikian sangat
memperihatinkan, oleh karena pendidikan pada dasarnya adalah pewarisan budaya dari generasi
sebelumnya kepada generasi sesudahnya atau penerusnya. Oleh karena tidak berakar pada tradisi
dan budaya setempat, maka para siswanya bisa mengalami keterasingan budaya.

Kelima, berorientasi pada masyarakat kota. Ini juga sangat memprihatinkan mengingat
sebagian besar wilayah negara-negara berkembang justru terdiri dari pedesaan. Orientasi ke kota
demikian, lambat atau cepat, langsung maupun tidak langsung, bisa menjadikan penyebab lulusan-
lulusan pendidikan lebih tertarik dengan kehidupan kota ketimbang bangga membangun desanya.
Tingginya angka perpindahan penduduk ke kota-kota besar, yang lazim menimbulkan efek-efek
sampingan sosial, agaknya juga dapat dilihat dari sudut pandang ini.

Berkenaan dengan kenyataan-kenyataan demikian inilah, Winarno Surachmad, melalui


majalah Prisma (1986) pernah menggugat, apakah sudah tiba waktunya kita membangun sistem
pendidikan yang dirancang dari, oleh dan untuk dunia ketiga, atau negara-negara berkembang.
Sebab, tidak hanya kontroversi-kontroversi yang dikemukakan oleh Mas Achmad Icksan diatas
mewarnai pendidikan di negara-negara berkembang, melainkan yang juga tidak kalah penting
adalah, bahwa persoalan negara dan bahkan kependidikan negara-negara barat dan maju, sudah
tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan ilmu kependidikan mereka sendiri.

Responsi atas kenyataan demikian, tak ada cara lain kecuali negara berkembang itu sendiri,
mempunyai tekat dan keberanian serta mewujudkan tekad dan keberanian tersebut secara nyata
untuk membangun sistem dan kebjaksanaan pendidikannya sendiri berdasarkan kebutuhan
objektif rakyatnya. Apapun sistem yang dibangun, jika didasarkan atas kebutuhan riil rakyatnya,
tentu relatif kebutuhan realistis bangsa lain; apalagi hanya sekedar mengadopsi sistem bangsa lain
yang cara membangunnya juga berdasarkan kebutuhan realistis bangsa lain tersebut.

Harusnya disadari oleh negara berkembang sendiri, bahwa mengeksporan sistem


pendidikan yang dilakukan oleh negara maju, tentu tak semata secara murni ingin membebaskan
negara berkembang dari keterbatasan; melainkan ada misi lain, misal didapatkannya nilai tambah
mengenai beberapa hal untuk negara maju sendiri. Persyaratan-persyaratan yang dikenakan
negara-negara maju atas negara-negara berkembang atas bantuan-bantuan pendidikannya,
seringkali menempatkan negara berkembang pada posisi tak untung sementara negara maju sendiri
masih tetap berada diatas angin. Karena itu, pembangunan sistem pendidikan yang didasarkan atas
budaya, kemampuan, kebutuhan objektif negara berkembang sendiri adalah suatu kebutuhan
mendasar yang akan memberikan kejayaan kepada negara berkembang sendiri di masa depan.

Beberapa kendala yang berkenaan dengan ini pernah juga dikemukakan oleh penulis (1986)
ialah terutama berkenaan dengan para perancangnya. Sebab, mereka yang ahli dalam perancangan
sistem pendidikan, umumnya juga produk pendidikan dari negara maju yang cara berfikirnya sama
dengan guru dan dosennya di negara maju sana. Sedikit ataupun banyak, apa yang akan mereka
lakukan, pastilah akan berpengaruh pada kerja mereka.

2.3 Kesenjangan Pendidikan antara Gender Wanita dalam Pembangunan


DAFTAR PUSTAKA
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, diakses dari
: http://www.menkokesra.go.id/content/menko-kesra-pendidikan-adalah-investasi-pada-
pembangunan-manusia, pada tanggal 13 April 2019.
Hastarini Dwi Atmanti, Diakses dari
http://eprints.undip.ac.id/16864/1/Investasi_Sumber_Daya_Manusia_Melalui_Pendidikan....by_
Hastarini_Dwi_Atmanti_(OK).pdf, pada tanggal 13 April 2019.
Imron, Ali. 2008. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia (Proses, Produk dan Masa
Depannya). Jakarta: Bumi Aksara.
Maharani. 2011. Kebijakan Pendidikan di Negara Berkembang.
http://maharanihasan.blogspot.com/2011/04/kebijakan-pendidikan-di-negara.html . diakses
tanggal 13 April 2019.
Dokumen Tips. Permasalah Pendidikan di Negara Berkembang.
https://dokumen.tips/documents/permasalahan-pendidikan-di-negara-berkembang.html. Diakses
pada 13 April 2019.
Kompasiana. Perkembangan Pendidikan di Indonesia.
https://www.kompasiana.com/aswinbimos13/54f983bfa33311f1068b52ba/perkembangan-
pendidikan-indonesia. Diakses pada 13 April 2019.

Anda mungkin juga menyukai