Pengolahan Air Limbah Industri Bioetanol
Pengolahan Air Limbah Industri Bioetanol
Pengolahan Air Limbah Industri Bioetanol
Bioetanol merupakan salah satu biofuel yang paling banyak digunakan di seluruh
dunia karena kontribusinya yang signifikan dalam mengurangi konsumsi minyak bumi dan
kebutuhan sumber energi terbarukan dan harga minyak bumi yang tidak stabil. Produksi
bioetanol global tahun 2016 adalah sebesar 100,2 miliar liter, dan diprediksi akan naik
sampai hampir 134,5 miliar liter di tahun 2024. Bioetanol digunakan dalam bahan bakar
sebagai campuran bensin atau peningkat bilangan oktan (ETBE, etil tersier butil eter,
mengandung etanol 45% volume). Bioetanol dicampur dengan bensin dalam konsentrasi
5, 10, sampai 85% (E5-E85). E5 dan E10 dapat digunakan pada kendaraan biasa,
sedangkan E85 hanya bisa digunakan oleh flexible fuel vehicles (FFV).
Biomassa bahan baku bioetanol dapat dibagi menjadi tiga kelompok: bahan baku
gula (tebu, bit gula, whey, sorgum), bahan baku pati (biji-bijian seperti jagung, gandum,
singkong), dan lignoselulosa (jerami, limbah pertanian, residu kayu). Produksi bioetanol
dengan bahan baku lignoselulosa diminati karena tidak berkompetisi dengan bahan
makanan seperti bahan baku gula dan pati. Selain itu, harganya juga biasanya lebih
rendah. Contoh bahan baku lignoselulosa antara lain sisa panen (bagas tebu dan sorgum,
brangkasan jagung, jerami), kayu keras (aspen, poplar) atau lunak (pinus, spruce), limbah
Tahap utama pembuatan etanol dari bahan baku lignoselulosa adalah pretreatment
atau perlakuan awal selulosa dan hemiselulosa agar bisa difermentasi oleh mikroba.
Pretreatment secara kimia dapat menggunakan asam (asam sulfat, klorida, fosfat,
atau nitrat), basa (natrium atau kalium hidroksida, amonia, atau amonium sulfit), gas
(klorin dioksida, nitrogen dioksida, sulfur dioksida), oksidator (oksigen, hidrogen
peroksida), ataupun pelarut organik (aseton, gliserol, etilena glikol). Selain itu,
dan microwave, atau metode biologis seperti penggunaan jamur lapuk coklat dan putih
untuk mendegradasi lignin dan hemiselulosa; atau penggunaan enzim mangan
glukosa. Metode biologis dianggap lebih ramah lingkungan dan hemat energi.
Biomassa yang sudah diubah menjadi gula sederhana kemudian difermentasi oleh
biokatalis berupa mikroba, yang paling banyak digunakan adalah ragi Saccharomyces
heksosa (glukosa, fruktosa, maltose, sukrosa), tetapi tidak pentosa (xilosa, arabinosa).
Agar memiliki kemampuan memetabolisme pentosa, misalnya arabinosa, dapat dilakukan
rekayasa genetika terhadap S. cerevisiae dengan memasukkan gen rekombinan dari
fermentasi. Reaksi fermentasi gula menjadi etanol terjadi pada bioreaktor utama. Kondisi
operasi yang digunakan biasanya adalah tekanan 1 atm, suhu 28-32°C, kondisi anaerobik
(tanpa oksigen), dan dengan pengadukan agar fermentasi berlangsung secara merata.
Proses sakarifikasi (pengubahan bahan baku menjadi gula sederhana) dan fermentasi juga
dapat dilakukan dalam reaktor yang sama dengan suhu 38°C, dikenal dengan proses SSF
dijual. Proses pemisahan campuran azeotrop etanol-air memerlukan dua tahap yang
memerlukan energi. Tahap pertama adalah distilasi biasa dengan produk berupa etanol
dengan konsentrasi 92,4-94% massa (konsentrasi azeotrop etanol-air). Tahap kedua
adalah dehidrasi etanol untuk mendapatkan etanol anhidrat (di atas konsentrasi
azeotropnya, sekitar 95,63% massa). Beberapa metode dehidrasi etanol yang dapat
digunakan adalah distilasi pressure-swing, distilasi ekstraktif (dengan pelarut cair, larutan
atau lelehan ionik, atau polimer bercabang banyak), distilasi azeotrop, ataupun gabungan
dari beberapa metode tersebut. Residu dari proses distilasi ini disebut dengan vinase.
membran, metode ekstraksi cair-cair juga dapat digunakan. Dalam ekstraksi, etanol
berdifusi dari air ke pelarut yang digunakan, kemudian didistilasi atau direekstraksi dari
pelarut tersebut. Pelarut yang banyak digunakan adalah senyawa keton, ester, dan β-
alkohol. Metode pemisahan lain yang dapat digunakan di antaranya gas stripping dan
adsorpsi.
II. Karakteristik Air Limbah Industri Bioetanol
Proses rektifikasi dan distilasi etanol menghasilkan limbah cair yang dinamakan
vinase, yang keluar dari kolom distilasi dengan suhu 85-90°C. Vinase adalah cairan efluen
berupa suspensi yang asam (pH sekitar 3,5-5,0), kaya akan sulfur, berwarna cokelat gelap
(karena keberadaan senyawa melanoid), dan berbau tidak sedap. Kandungan dissolved
solid vinase tinggi, berupa gula pereduksi, senyawa fenolik dan polifenolik, serta garam-
garam mineral. Vinase memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi (kalium,
nitrogen, fosfor) sehingga memiliki nilai COD (chemical oxygen demand) yang tinggi.
Vinase dapat dihasilkan sebanyak 8-15 liter untuk setiap 1 liter produk etanol. Komposisi
vinase limbah produksi etanol dari tebu generasi pertama dan kedua ditunjukkan pada
Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3.
Vinase merupakan efluen yang korosif bagi lingkungan dan bersifat recalcitrant,
yaitu sulit diolah secara biologis (slowly biodegradable). Pelepasan langsung vinase tanpa
pengolahan lebih lanjut dapat menyebabkan dampak buruk bagi badan air, udara, dan
tanah, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Dampak lingkungan vinase tanpa pengolahan terhadap air, udara, dan tanah
Nilai BOD (biological oxygen demand) dan COD (chemical oxygen demand) vinase
yang tinggi menyebabkan jumlah oksigen terlarut dalam badan air yang menjadi tujuan
dalam air digunakan oleh bakteri untuk menguraikan kandungan senyawa organik dalam
vinase. Jika kadar oksigen terlarut terlalu rendah, ikan dan berbagai makhluk hidup air
lainnya dapat mati. Badan air dapat mengalami anoksia (konsentrasi oksigen terlarut turun
fosfor dalam vinase dapat menyebabkan tumbuhnya cyanobacteria (ganggang biru), alga,
ataupun tumbuhan lain yang tumbuh secara berlebihan sehingga mengurangi kadar
oksigen dalam air. Ketika alga/tumbuhan tersebut mati, dibutuhkan oksigen tambahan
untuk mendegradasinya sehingga dapat menaikkan angka BOD dan COD, dan lebih lanjut
sinar matahari ke dalam air yang dapat mengurangi aktivitas fotosintesis dalam air dan
membahayakan organisme di dalam air. Bau dari vinase juga dapat mengganggu
lahan tebu, tetapi dampak penggunaannya terhadap lingkungan, khususnya air tanah,
belum pernah diuji. Akibatnya, pada tahun 2018 sumur di sekitar kebun tebu tersebut
tercemar menjadi berwarna kecoklatan dan berbau sehingga tidak dapat digunakan untuk
sistem irigasi untuk menyuburkan tanaman (sebagai fertilizer, pupuk). Kandungan nutrisi
yang masih terdapat di dalam vinase, terutama kalium, nitrogen, dan fosfor digunakan
sebagai penyubur tanaman tebu. Fertirigasi menyuplai nutrisi sekaligus air pada tebu,
tambahan air. Dosis yang diberikan kira-kira 100-150 m3 vinase per hektar tebu.
Penggunaan vinase di atas dosis tersebut dapat menyebabkan kontaminasi air tanah.
Fertirigasi diketahui dapat menyebabkan eutrofikasi dan masalah perairan, tetapi karena
belum adanya peraturan yang melarang, fertirigasi tetap digunakan sebagai metode
media 75% vinase diketahui dapat mengurangi nilai COD vinase sampai 80%. Trametes
versicolor (jamur lapuk putih) juga digunakan untuk mengurangi kandungan senyawa
fenol dan kromofor dalam vinase, menghasilkan pengurangan nilai COD sampai 60%,
pengurangan total senyawa fenol sampai 80%, dan pengurangan warna sampai 20%.
Treatment dengan alga hijau Desmodesmus sp. menghasilkan kenaikan pH, penurunan
52,1% nitrogen, dan penurunan 36,2% COD. Vinase juga dapat digunakan sebagai
medium bagi jamur Neurospora intermedia dan Aspergillus oryzae untuk memproduksi
etanol tambahan.
Metode AOP (Advanced Oxidation Processes) dapat digunakan untuk mengoksidasi
senyawa recalcitrant dalam vinase. AOP menggunakan reagen berbasis ozon (O3, O3/UV,
dan O3/UV/H2O2) untuk mengurangi kandungan zat berbahaya dan zat warna pada
dalam vinase.
besar. Reaktor ini dapat mengonversi kandungan COD vinase menjadi biogas, khususnya
metana, yang merupakan sumber energi terbarukan. Perolehan metana terbesar dapat
mencapai 0,344 m3 metana per kilogram COD yang dikonversi. Metabolisme ini dilakukan
oleh konsorsium (kultur campuran) bakteri dan archaea dari filum Firmicutes,
Tabel 4 Karakterisasi influen dan efluen UASB pada organic loading rate optimum.
sampai 7,22; mengurangi COD sampai 69%, dan menghilangkan ion sulfat dari vinase.
Sulfat dikonversi menjadi sulfida oleh archaea metanogen seperti Methanobacteriales dan
anaerobiknya. Organic loading rate optimum untuk reaktor UASB adalah sebesar 17,05 kg
COD/m3.hari dengan perolehan metana sebesar 0,263 m3 metana per kilogram COD yang
dikonversi.
Daftar Pustaka
Budianto, Enggran Eko. 2018. “Ironis, Dampak Pupuk Diduga Cemari Sumur Belum Dikaji ke
Air Tanah”. https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4300027/ironis-dampak-
pupuk-diduga-cemari-sumur-belum-dikaji-ke-air-tanah. Diakses 13 Oktober 2019.
Bušić, A.; dkk. 2018. “Bioethanol Production from Renewable Raw Materials and Its Separation
and Purification: A Review”. Food Technology & Biotechnology. 56(3): 289–311. doi:
10.17113/ftb.56.03.18.5546.
España-Gamboa, E.; dkk. 2012. “Vinasses: Characterization and treatments”. Biotechnology for
Biofuels. 5(82): 1-9.
Rabelo, S. C.; A. C. da Costa, dan C. E. Vaz Rossel. 2015. “Industrial Waste Recovery”. Sugarcane
Ch. 17. 365-381.
Ramos-Vaquerizo, F.; dkk. 2018. “Anaerobic Treatment of Vinasse from Sugarcane Ethanol
Production in Expanded Granular Sludge Bed Bioreactor”. Journal of Chemical
Engineering & Process Technology. 9(1): 1-8. doi: 10.4172/2157-7048.1000375.
Rodrigues Reis, C. E. dan Bo Hu. 2017. “Vinasse from Sugarcane Ethanol Production: Better
Treatment or Better Utilization?”. Frontiers in Energy Research. 5(7): 1-7. doi:
10.3389/fenrg.2017.00007.
Venture Capital News Network. 2017. “Bioethanol Industry & Process Oil Market Rising Current
Demand in Energy & Environment To Observe Strong Development CAGR by 2022”.
https://www.reuters.com/brandfeatures/venture-capital/article?id=17743. Diakses 5
Oktober 2019.
Yasuda, K. dan N. Ban. 2012. “Wastewater Treatment for Bioethanol Production System by
Using Ozone Microbubbles”. Journal of Chemical Engineering of Japan. 1-6.