Pengolahan Air Limbah Industri Bioetanol

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 11

TK3105 – Pengendalian Lingkungan Industri Kimia

Tugas 4: Pengolahan Air Limbah Industri Bioetanol


Christophorus Stanley Setiobudi / 13017007

I. Deskripsi Proses Industri Bioetanol

Bioetanol merupakan salah satu biofuel yang paling banyak digunakan di seluruh
dunia karena kontribusinya yang signifikan dalam mengurangi konsumsi minyak bumi dan

polusi lingkungan. Popularitas bioetanol disebabkan antara lain oleh meningkatnya

kebutuhan sumber energi terbarukan dan harga minyak bumi yang tidak stabil. Produksi

bioetanol global tahun 2016 adalah sebesar 100,2 miliar liter, dan diprediksi akan naik
sampai hampir 134,5 miliar liter di tahun 2024. Bioetanol digunakan dalam bahan bakar

sebagai campuran bensin atau peningkat bilangan oktan (ETBE, etil tersier butil eter,

mengandung etanol 45% volume). Bioetanol dicampur dengan bensin dalam konsentrasi

5, 10, sampai 85% (E5-E85). E5 dan E10 dapat digunakan pada kendaraan biasa,
sedangkan E85 hanya bisa digunakan oleh flexible fuel vehicles (FFV).

Biomassa bahan baku bioetanol dapat dibagi menjadi tiga kelompok: bahan baku

gula (tebu, bit gula, whey, sorgum), bahan baku pati (biji-bijian seperti jagung, gandum,
singkong), dan lignoselulosa (jerami, limbah pertanian, residu kayu). Produksi bioetanol

dengan bahan baku lignoselulosa diminati karena tidak berkompetisi dengan bahan

makanan seperti bahan baku gula dan pati. Selain itu, harganya juga biasanya lebih

rendah. Contoh bahan baku lignoselulosa antara lain sisa panen (bagas tebu dan sorgum,
brangkasan jagung, jerami), kayu keras (aspen, poplar) atau lunak (pinus, spruce), limbah

selulosa (sampah kertas), rumput-rumputan, dan limbah rumah tangga. Kandungan


biomassa lignoselulosa rata-rata adalah 43% selulosa, 27% lignin, 20% hemiselulosa, dan

10% komponen lain.


Gambar 1 Skema produksi bioetanol dari bahan baku lignoselulosa. 1: milling, 2:
pretreatment, 3: sakarifikasi, 4: penukar panas, 5: propagator, 6: bioreaktor, 7: kolom

rectifying, 8: kolom stripping, 9: sieve molekular.

Tahap utama pembuatan etanol dari bahan baku lignoselulosa adalah pretreatment
atau perlakuan awal selulosa dan hemiselulosa agar bisa difermentasi oleh mikroba.

Pretreatment bertujuan untuk mengurangi ukuran dan kristalinitas partikel lignoselulosa

yang digunakan, sehingga meningkatkan luas permukaan dan menurunkan derajat


polimerisasinya. Milling (penggilingan) merupakan bentuk pretreatment fisik (mekanik),

dapat menggunakan metode two-roll, ball and hammer, ataupun vibroenergi.

Pretreatment secara kimia dapat menggunakan asam (asam sulfat, klorida, fosfat,

atau nitrat), basa (natrium atau kalium hidroksida, amonia, atau amonium sulfit), gas
(klorin dioksida, nitrogen dioksida, sulfur dioksida), oksidator (oksigen, hidrogen

peroksida), ataupun pelarut organik (aseton, gliserol, etilena glikol). Selain itu,

pretreatment juga dapat menggunakan metode physicochemical seperti ledakan steam

dan microwave, atau metode biologis seperti penggunaan jamur lapuk coklat dan putih
untuk mendegradasi lignin dan hemiselulosa; atau penggunaan enzim mangan

peroksidase, lakase, endoglukanase, eksoglukanase, dan glucosidase untuk menghasilkan

glukosa. Metode biologis dianggap lebih ramah lingkungan dan hemat energi.
Biomassa yang sudah diubah menjadi gula sederhana kemudian difermentasi oleh

biokatalis berupa mikroba, yang paling banyak digunakan adalah ragi Saccharomyces

cerevisiae. S. cerevisiae mampu memetabolisme gula disakarida dan monosakarida

heksosa (glukosa, fruktosa, maltose, sukrosa), tetapi tidak pentosa (xilosa, arabinosa).
Agar memiliki kemampuan memetabolisme pentosa, misalnya arabinosa, dapat dilakukan
rekayasa genetika terhadap S. cerevisiae dengan memasukkan gen rekombinan dari

Candida aurigiensis, Candida shehatae, Pichia stipitis, dan mikroba lainnya.


Biokatalis dikultivasi terlebih dahulu dalam tangki propagasi (pengembangan

inokulum) untuk memperbanyak dan mengadaptasikannya dengan substrat untuk

fermentasi. Reaksi fermentasi gula menjadi etanol terjadi pada bioreaktor utama. Kondisi

operasi yang digunakan biasanya adalah tekanan 1 atm, suhu 28-32°C, kondisi anaerobik
(tanpa oksigen), dan dengan pengadukan agar fermentasi berlangsung secara merata.

Proses sakarifikasi (pengubahan bahan baku menjadi gula sederhana) dan fermentasi juga

dapat dilakukan dalam reaktor yang sama dengan suhu 38°C, dikenal dengan proses SSF

(simultaneous saccharification & fermentation). Fermentasi skala pabrik dijalankan selama


kira-kira seminggu sampai konsentrasi etanol yang dihasilkan sekitar 10%.
Etanol yang didapat dari proses fermentasi kemudian dimurnikan sebelum dapat

dijual. Proses pemisahan campuran azeotrop etanol-air memerlukan dua tahap yang

memerlukan energi. Tahap pertama adalah distilasi biasa dengan produk berupa etanol
dengan konsentrasi 92,4-94% massa (konsentrasi azeotrop etanol-air). Tahap kedua

adalah dehidrasi etanol untuk mendapatkan etanol anhidrat (di atas konsentrasi

azeotropnya, sekitar 95,63% massa). Beberapa metode dehidrasi etanol yang dapat
digunakan adalah distilasi pressure-swing, distilasi ekstraktif (dengan pelarut cair, larutan

atau lelehan ionik, atau polimer bercabang banyak), distilasi azeotrop, ataupun gabungan

dari beberapa metode tersebut. Residu dari proses distilasi ini disebut dengan vinase.

Produksi 1 liter bioetanol menghasilkan residu sekitar 15 liter vinase.


Untuk mengurangi konsumsi energi dari distilasi, berbagai teknik pemisahan etanol
lain telah dikembangkan, salah satunya dengan membran. Metode membran yang sering
digunakan adalah pervaporasi karena sederhana, hemat energi, dan hemat biaya. Teknik

ini menggunakan membran non-porous yang memisahkan campuran berdasarkan ikatan


antarmolekul. Membran polimer yang digunakan untuk pemisahan etanol antara lain

polidimetilsiloxan, poli-1-(trimetilsilil)-1-propuna, dan politetrafluoroetilena (PTFE). Selain

membran, metode ekstraksi cair-cair juga dapat digunakan. Dalam ekstraksi, etanol
berdifusi dari air ke pelarut yang digunakan, kemudian didistilasi atau direekstraksi dari

pelarut tersebut. Pelarut yang banyak digunakan adalah senyawa keton, ester, dan β-

alkohol. Metode pemisahan lain yang dapat digunakan di antaranya gas stripping dan

adsorpsi.
II. Karakteristik Air Limbah Industri Bioetanol

Proses rektifikasi dan distilasi etanol menghasilkan limbah cair yang dinamakan
vinase, yang keluar dari kolom distilasi dengan suhu 85-90°C. Vinase adalah cairan efluen

berupa suspensi yang asam (pH sekitar 3,5-5,0), kaya akan sulfur, berwarna cokelat gelap

(karena keberadaan senyawa melanoid), dan berbau tidak sedap. Kandungan dissolved

solid vinase tinggi, berupa gula pereduksi, senyawa fenolik dan polifenolik, serta garam-
garam mineral. Vinase memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi (kalium,

nitrogen, fosfor) sehingga memiliki nilai COD (chemical oxygen demand) yang tinggi.

Vinase dapat dihasilkan sebanyak 8-15 liter untuk setiap 1 liter produk etanol. Komposisi

vinase limbah produksi etanol dari tebu generasi pertama dan kedua ditunjukkan pada
Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3.

Tabel 1 Analisis kandungan mineral dalam vinase


Tabel 2 Analisi sifat fisik dan kimia vinase

Tabel 3 Analisis kandungan senyawa organik vinase


III. Dampak Air Limbah Industri Bioetanol bagi Lingkungan

Vinase merupakan efluen yang korosif bagi lingkungan dan bersifat recalcitrant,

yaitu sulit diolah secara biologis (slowly biodegradable). Pelepasan langsung vinase tanpa

pengolahan lebih lanjut dapat menyebabkan dampak buruk bagi badan air, udara, dan
tanah, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Dampak lingkungan vinase tanpa pengolahan terhadap air, udara, dan tanah

Nilai BOD (biological oxygen demand) dan COD (chemical oxygen demand) vinase

yang tinggi menyebabkan jumlah oksigen terlarut dalam badan air yang menjadi tujuan

pembuangannya menurun. Turunnya kadar oksigen terlarut disebabkan karena oksigen

dalam air digunakan oleh bakteri untuk menguraikan kandungan senyawa organik dalam
vinase. Jika kadar oksigen terlarut terlalu rendah, ikan dan berbagai makhluk hidup air

lainnya dapat mati. Badan air dapat mengalami anoksia (konsentrasi oksigen terlarut turun

sampai kurang dari 0,5 ppm).


Masalah lain yang mungkin terjadi adalah eutrofikasi. Kandungan nitrogen dan

fosfor dalam vinase dapat menyebabkan tumbuhnya cyanobacteria (ganggang biru), alga,
ataupun tumbuhan lain yang tumbuh secara berlebihan sehingga mengurangi kadar

oksigen dalam air. Ketika alga/tumbuhan tersebut mati, dibutuhkan oksigen tambahan

untuk mendegradasinya sehingga dapat menaikkan angka BOD dan COD, dan lebih lanjut

menyebabkan anoksia pada badan air.


Warna vinase yang pekat dapat menaikkan turbiditas air, mengurangi penetrasi

sinar matahari ke dalam air yang dapat mengurangi aktivitas fotosintesis dalam air dan

membahayakan organisme di dalam air. Bau dari vinase juga dapat mengganggu

masyarakat sekitar tempat pembuangan vinase.


Pemanfaatan vinase sebagai bahan baku pupuk pun harus melalui serangkaian uji
terhadap dampak lingkungan. Pupuk Hayati Enero (PHE) berbahan baku vinase hasil

produksi PT Enero di Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia digunakan untuk menyuburkan

lahan tebu, tetapi dampak penggunaannya terhadap lingkungan, khususnya air tanah,
belum pernah diuji. Akibatnya, pada tahun 2018 sumur di sekitar kebun tebu tersebut

tercemar menjadi berwarna kecoklatan dan berbau sehingga tidak dapat digunakan untuk

minum, masak, mandi, dan aktivitas masyarakat lainnya.

IV. Instalasi Pengolahan Air Limbah untuk Industri Bioetanol

Beberapa metode telah digunakan untuk memanfaatkan air limbah yang

mengandung vinase, di antaranya fertirigasi, metabolisme anaerobik oleh mikroba, AOP


(Advanced Oxidation Processes), dan treatment dengan alga dan fungi. Skema manajemen
limbah vinase ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Skema manajemen vinase limbah produksi bioetanol


Metode pertama yang digunakan yaitu fertirigasi, yaitu injeksi vinase ke dalam

sistem irigasi untuk menyuburkan tanaman (sebagai fertilizer, pupuk). Kandungan nutrisi
yang masih terdapat di dalam vinase, terutama kalium, nitrogen, dan fosfor digunakan

sebagai penyubur tanaman tebu. Fertirigasi menyuplai nutrisi sekaligus air pada tebu,

karena musim panen berlangsung selama musim kemarau sehingga memerlukan

tambahan air. Dosis yang diberikan kira-kira 100-150 m3 vinase per hektar tebu.
Penggunaan vinase di atas dosis tersebut dapat menyebabkan kontaminasi air tanah.

Fertirigasi diketahui dapat menyebabkan eutrofikasi dan masalah perairan, tetapi karena

belum adanya peraturan yang melarang, fertirigasi tetap digunakan sebagai metode

pembuangan vinase. Diperlukan pengolahan vinase lebih lanjut untuk meminimalisasi


dampak negatif fertirigasi.
Salah satu metode pengolahan vinase adalah treatment vinase secara biologis

menggunakan mikroorganisme. Jamur Rhizopus oligosporus yang ditumbuhkan dalam

media 75% vinase diketahui dapat mengurangi nilai COD vinase sampai 80%. Trametes
versicolor (jamur lapuk putih) juga digunakan untuk mengurangi kandungan senyawa

fenol dan kromofor dalam vinase, menghasilkan pengurangan nilai COD sampai 60%,

pengurangan total senyawa fenol sampai 80%, dan pengurangan warna sampai 20%.
Treatment dengan alga hijau Desmodesmus sp. menghasilkan kenaikan pH, penurunan

52,1% nitrogen, dan penurunan 36,2% COD. Vinase juga dapat digunakan sebagai

medium bagi jamur Neurospora intermedia dan Aspergillus oryzae untuk memproduksi

etanol tambahan.
Metode AOP (Advanced Oxidation Processes) dapat digunakan untuk mengoksidasi
senyawa recalcitrant dalam vinase. AOP menggunakan reagen berbasis ozon (O3, O3/UV,
dan O3/UV/H2O2) untuk mengurangi kandungan zat berbahaya dan zat warna pada

vinase. Teknologi ozone microbubble juga dikembangkan untuk mendekomposisi


senyawa melanoidin pada vinase, mengurangi kandungan TOC (total organic carbon)

dalam vinase.

Metode metabolisme anaerobik terhadap vinase yang banyak digunakan adalah


menggunakan reaktor UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket) yang memiliki kapasitas

besar. Reaktor ini dapat mengonversi kandungan COD vinase menjadi biogas, khususnya

metana, yang merupakan sumber energi terbarukan. Perolehan metana terbesar dapat

mencapai 0,344 m3 metana per kilogram COD yang dikonversi. Metabolisme ini dilakukan
oleh konsorsium (kultur campuran) bakteri dan archaea dari filum Firmicutes,

Bacteroidetes, Methanococcales, Methanobacteriales, Methanomicrobiales, dan


Methanosarcinales. Data karakterisasi kandungan vinase sebelum memasuki reaktor UASB

(influen) dan sesudah memasuki reaktor (efluen) disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Karakterisasi influen dan efluen UASB pada organic loading rate optimum.

Semua satuan selain pH dinyatakan dalam mg/L.

Gambar 4 Skema reaktor UASB yang telah dimodifikasi


Berdasarkan data, metode metabolisme anaerobik ini dapat menaikkan pH vinase

sampai 7,22; mengurangi COD sampai 69%, dan menghilangkan ion sulfat dari vinase.
Sulfat dikonversi menjadi sulfida oleh archaea metanogen seperti Methanobacteriales dan

Methanosarcinales, yang menggunakannya untuk akseptor elektron dalam respirasi

anaerobiknya. Organic loading rate optimum untuk reaktor UASB adalah sebesar 17,05 kg

COD/m3.hari dengan perolehan metana sebesar 0,263 m3 metana per kilogram COD yang
dikonversi.
Daftar Pustaka

Budianto, Enggran Eko. 2018. “Ironis, Dampak Pupuk Diduga Cemari Sumur Belum Dikaji ke
Air Tanah”. https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4300027/ironis-dampak-
pupuk-diduga-cemari-sumur-belum-dikaji-ke-air-tanah. Diakses 13 Oktober 2019.

Bušić, A.; dkk. 2018. “Bioethanol Production from Renewable Raw Materials and Its Separation
and Purification: A Review”. Food Technology & Biotechnology. 56(3): 289–311. doi:
10.17113/ftb.56.03.18.5546.

España-Gamboa, E.; dkk. 2012. “Vinasses: Characterization and treatments”. Biotechnology for
Biofuels. 5(82): 1-9.

Rabelo, S. C.; A. C. da Costa, dan C. E. Vaz Rossel. 2015. “Industrial Waste Recovery”. Sugarcane
Ch. 17. 365-381.

Ramos-Vaquerizo, F.; dkk. 2018. “Anaerobic Treatment of Vinasse from Sugarcane Ethanol
Production in Expanded Granular Sludge Bed Bioreactor”. Journal of Chemical
Engineering & Process Technology. 9(1): 1-8. doi: 10.4172/2157-7048.1000375.

Rodrigues Reis, C. E. dan Bo Hu. 2017. “Vinasse from Sugarcane Ethanol Production: Better
Treatment or Better Utilization?”. Frontiers in Energy Research. 5(7): 1-7. doi:
10.3389/fenrg.2017.00007.

Venture Capital News Network. 2017. “Bioethanol Industry & Process Oil Market Rising Current
Demand in Energy & Environment To Observe Strong Development CAGR by 2022”.
https://www.reuters.com/brandfeatures/venture-capital/article?id=17743. Diakses 5
Oktober 2019.

Yasuda, K. dan N. Ban. 2012. “Wastewater Treatment for Bioethanol Production System by
Using Ozone Microbubbles”. Journal of Chemical Engineering of Japan. 1-6.

Anda mungkin juga menyukai