Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di dunia demikian juga
tuberkulosis pada kehamilan. Insidens tuberkulosis pada kehamilan makin
meningkat. Tuberkulosis pada kehamilan mempunyai gejala klinis yang
serupa dengan tuberkulosis pada wanita tidak hamil. Diagnosis mungkin
ditegakkan terlambat karena gejala awal yang tidak khas. Tuberkulosis tidak
mempengaruhi kehamilan dan kehamilan tidak mempengaruhi manifestasi
klinis dan progesivitas penyakit bila diterapi dengan regimen kemoterapi yang
tepat dan adekuat.
Kewaspadaan transmisi merupakan suatu cara penanganan baru untuk
meminimalkan penularan penyakit dari semua pasien, tanpa memperdulikan
status infeksi. Kewaspadaan transmisi hendaknya dipatuhi oleh tenaga
kesehatan karena merupakan panduan mengenai pengendalian infeksi yang
dikembangkan untuk melindungi para pekerja di bidang kesehatan dan para
pasiennya sehingga dapat terhindar dari berbagai penyakit yang disebarkan
melalui kontak, droplet, dan udara. Penerapan Kewaspadaan transnisi
diharapkan dapat menurunkan risiko penularan patogen dari sumber yang
diketahui maupun yang tidak diketahui. Penerapan ini merupakan
pencegahan dan pengendalian infeksi yang harus rutin dilaksanakan terhadap
semua pasien dan di semua fasilitas pelayanan kesehatan.
Pengaruh TBC pada kehamilan tergantung dari beberapa faktor antara
lain: lokasi penyakit (intra atau ekstrapulmonal), usia kehamilan, status gizi ibu
dan ada tidaknya penyakit penyerta.(6) Beberapa studi menyatakan terdapat
hubungan antara TBC dan meningkatnya risiko berat badan lahir rendah,
kelahiran preterm, kehidupan perinatal sampai pada kematian bayi.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksut dari kewaspadaaan transmisi udara ?
b. Apa yang dimaksut penyakit tuberculosis ?
c. Bagaimana kewaspadaan transmisi udara terhadap penyakit tuberculosis ?

1.3 Tujuan
Dapat memahami kewaspadaan penularan penyakit TB pada ibu hamil
melalui transmisi udara.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kewaspadaan Transmisi Melalui Udara (Air-Borne Precautions)

Transmisi melalui udara secara epidemiologi dapat terjadi bila seseorang


menghirup percikan partikel nuklei yang berdiameter 1-5 µm (2 m dari sumber,
dapat terhirup oleh individu rentan di ruang yang sama atau yang jauh dari
sumber mikroba. Penting mengupayakan pertukaran udara >12 x/jam (12 Air
Changes per Hour/ACH).
Pertukaran udara alamiah (natural ventilation) dapat dikombinasikan
dengan pertukaran udara mekanis yang menggunakan kipas angin dan ekshaust
fanuntuk mengatur udara di dalam suatu ruangan agar
menghindari/meminimalkan terjadinya penularan. Hal ini selaras dengan
rekomendasi dari WHO. Langkahlangkah penerapan kewaspadaan transmisi
melalui udara antara lain:
1. Pengaturan penempatan posisi pemeriksa, pasien dan ventilasi mekanis
di dalam suatu ruangan dengan memperhatikan arah suplai udara bersih
yang masuk dan keluar.
2. Penempatan pasien TB yang belum pernah mendapatkan terapi OAT,
harus dipisahkan dari pasien lain, sedangkan pasien TB yang telah
mendapat terapi OAT secara efektif berdasarkan analisis resiko tidak
berpotensi menularkan TB baru dapat dikumpulkan dengan pasien lain.
3. Peringatan tentang cara transmisi infeksi dan penggunaan APD pada
pasien, petugas dan pengunjung penting dicantumkan di pintu ruangan
rawat pasien sesuai kewaspadaan transmisinya.
4. Ruang rawat pasien TB/MDR TB sebaiknya menggunakan ruangan
bertekanan negatif. Untuk RS yang belum mampu menyediakan ruang
tersebut, harus memiliki ruang dengan ventilasi yang memadai, minimal
terjadi pertukaran udara 12x/jam (diukur dengan alat Vaneometer).
Jenis transmisi airborne ini dapat terjadi pada kasus antara lain tuberkulosis,
measles/campak, SARS. Transmisi juga terjadi pada Tuberkulosis, untuk
pencegahan dan pengendaliannya dilakukan strategi TEMPO. Strategi TEMPO
merupakan strategi yang mengutamakan pada komponen administratif
pengendalian infeksi TB. Kunci utama dari strategi TEMPO adalah menjaring,
mendiagnosis dan mengobati TB segera dan tepat sehingga dapat mengurangi
penularan TB secara efektif. Penerapannya mudah dan tidak membutuhkan
biaya besar, dan ideal untuk diterapkan oleh layanan kesehatan primer dengan
keterbatasan sumber daya yang belum dapat menjalankan komponen PPI
lainnya secara lengkap. Dengan menggunakan strategi TEMPO akan
mengurangi risiko penularan kasus TB dan TB Resistan Obat yang belum
teridentifikasi. Penelitian menunjukkan bahwa melalui cara aktif untuk
menemukan pasien TB yang sebelumnya tidak terduga TB, dapat dilakukan
melalui surveilans batuk secara terorganisasi di faslilitas pelayanan primer. Untuk
mencegah adanya kasus TB dan TB Resistan Obat yang tidak terdiagnosis,
dilaksanakan strategi TemPO dengan skrining bagi semua pasien dengan gejala
batuk. Pada strategi TEMPO, ditugaskan seseorang sebagai petugas surveilans
batuk (Surveyor), yang melakukan triase, yaitu menemukan secara aktif pasien
batuk. Surveyor batuk harus bekerja sama dengan petugas laboratorium secara
baik, sehingga pasien yang dirujuk ke laboratorium untuk pemeriksaan dapat
memperoleh hasil pemeriksaan BTA positif dalam 1-2 hari, khusus bagi pasien
terduga TB Resistan Obat segera dirujuk ke pusat rujukan TB Resistan Obat.
1. kewaspadaan trans misi udara
a. penempatan pasien
1) tempatkan di ruang rawat terpisah atau cohorting atau dipertimbangkan
bersama tim PPI
2) tempat idur dengan jarak ≥1 meter
3) ruang bertekanan negatif atau ruang dengan pertukaran
b. transport pasien; batasi gerak bila di perlukan
c. APD
1) kebersihan tangan sebelum menggunakan APD
2) masker bidah untuk pasien dan respirator partikular untuk petugas saat
masuk ke ruang pasien
3) orang yang rentan tidak boleh masuk ke ruang pasien yang di ketahui
atau supek campak, cacar air
4) bila pasien masuk atau melakukan tinakan dengan emungkian timbul
aerosol, maka petugas harus menggunakan resprator partikular
d. peralatan untuk perawatan pasien dan lingkungan
1) terminal dekontaminasi dilakukan secara dekontaminasi permukaan
menggunakan H2O2 0,5- 1,4% dengan lama kontak 30 detik – 1 menit
2) (Baktericidal,virusidal) atau lama kontak 5 menit bila dengan tujuan
mikobakterisidal atau dry mist dengan H2O2 5% dikombinasi dengan Ag
dengan lama kontak 55 menit luas ruangan 0,135 m3.

2.2 Penyakit tuberculosis


a. pegertian
mycobacterium tuberculosis ialah Kuman yang berbentuk batang,
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan.
Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil tahan Asam(BTA). Kuman
TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh
kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa hari (Putra,
2011).
Penularan biasanya melalui udara, yaitu secara inhalasi “droplet
nucleus“ yang mengandung basil TB. Droplet dengan ukuran 1 – 5 mikron
yang dapat melewati atau menembus sistem mukosilier saluran nafas
kemudian mencapai dan bersarang di bronkiolus dan alveolus. Beberapa
penelitian menyebutkan 25 % - 50 % angka terjadinya infeksi pada kontak
tertutup. Karena di dalam tubuh pejamu belum ada kekebalan awal, hal
ini memungkinkan basil TB tersebut berkembang biak dan menyebar
melalui saluran limfe dan aliran darah (Fatimah, 2008).

b. Gejala TB
Terdapat 2 gejala TB paru yaitu gejala umum dan gejala khusus (Manulu,
2010).
1. Gejala Umum
Gejala umum secara klinis mempunyai gejala sbb : (1) batuk selama
lebih dari 3 minggu, (2) demam, (3) berat badan menurun tanpa sebab,
(4) berkeringat pada waktu malam, (5) mudah lelah, (6) hilangnya
nafsu makan.
2. Gejala Khusus
Sedangkan gejala khusus dapat digambarkan sbb :
a) tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi
sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)
akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar.
b) akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang
disertai sesak, kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-
paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
c) bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang
yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara
pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
d) pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak
dan disebut sebagai menginitis/radang selaput otak), gejala adalah
demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

c. Penularan
Ketika seseorang yang mengidap TB paru aktif batuk, bersin, bicara,
menyanyi, atau meludah, mereka sedang menyemprotkan titis-titis
aerosol infeksius dengan diameter 0.5 hingga 5 µm. Bersin dapat
melepaskan partikel kecil-kecil hingga 40,000 titis. Tiap titis bisa
menularkan penyakit Tuberkulosis karena dosis infeksius penyakit ini
sangat rendah. (Seseorang yang menghirup kurang dari 10 bakteri saja
bisa langsung terinfeksi). Orang-orang yang melakukan kontak dalam
waktu lama, dalam frekuensi sering, atau selalu berdekatan dengan
penderita TB, beresiko tinggi ikut terinfeksi, dengan perkiraan angka
infeksi sekitar 22%. Seseorang dengan Tuberkulosis aktif dan tidak
mendapatkan perawatan dapat menginfeksi 10-15 (atau lebih) orang lain
setiap tahun. Kemungkinan penyakit ini menular dari satu orang ke orang
lain tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain:
(1) jumlah titis infeksius yang disemprotkan oleh pembawa, (2) efektifitas
ventilasi lingkungan tempat tinggal, (3) jangka waktu paparan, (4) tingkat
virulen sistrain M. tuberculosis, dan (5) tingkat kekebalan tubuh orang
yang tidak terinfeksi.
Untuk mencegah penyebaran berlapis dari satu orang ke orang
lainnya, pisahkan orang-orang dengan TB aktif ("nyata") dan masukkan
mereka dalam rejimen obat anti-TB. Setelah kira-kira dua minggu
perawatan efektif, orang-orang dengan infeksi aktif yang non-resisten
biasanya sudah tidak menularkan penyakitnya ke orang lain. Bila ternyata
kemudian ada yang terinfeksi, biasanya perlu waktu tiga sampai empat
minggu hingga orang yang baru terinfeksi itu menjadi cukup infeksius
untuk menularkan penyakit tersebut ke orang lain.Penularan penyakit
TBC melalui dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru
tersebut. Pada waktu penderita batuk, butir-butir air ludah beterbangan di
udara yang mengandung basil TBC dan terhisap oleh orang yang sehat
dan masuk ke dalam paru yang kemudian menyebabkan penyakit
tuberkulosis paru. Kejadian kasus tuberkulosis paru ini paling banyak
terjadi pada kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi lemah
(Manalu, 2010).

d. Penanganan
Pengobatan TB menggunakan antibiotik untuk membunuh
bakterinya. Pengobatan TB yang efektif ternyata sulit karena struktur dan
komposisi kimia dinding sel mikobakteri yang tidak biasa. Dinding sel
menahan obat masuk sehingga menyebabkan antibiotik tidak efektif.Dua
jenis antibiotik yang umum digunakan adalah isoniazid danrifampicin, dan
pengobatan dapat berlangsung berbulan-bulan. Pengobatan TB laten
biasanya menggunakan antibiotik tunggal. Penyakit TB aktif sebaiknya
diobati dengan kombinasi beberapa antibiotik untuk menurunkan resiko
berkembangnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Pasien dengan
infeksi laten juga diobati untuk mencegah munculnya TB aktif di
kehidupan selanjutnya. WHO merekomendasikan directly observed
therapy atau terapi pengawasan langsung, dimana seorang pengawas
kesehatan mengawasi penderita meminum obatnya. Tujuannya adalah
untuk mengurangi jumlah penderita yang tidak meminum obat
antibiotiknya dengan benar. Bukti yang mendukung terapi pengawasan
langsung secara independen kurang baik. Namun, metode dengan cara
mengingatkan penderita bahwa pengobatan itu penting ternyata
efektif.Upaya penanggulangan penyakit TB sudah dilakukan melalui
berbagai program kesehatan di tingkat Puskesmas, berupa
pengembangan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai
strategi DOTS (directly observed treatment, Short course = pengawasan
langsung menelan obat jangka pendek), yang telah terbukti dapat
menekan penularan, juga mencegah perkembangannya MDR (multi drugs
resistance = kekebalan ganda terhadap obat)-TB, tetapi hasilnya masih
dirasakan belum sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu
diharapkan adanya perhatian dari pihak-pihak terkait dalam upaya
meningkatkan keterlibatan peran pelayanan penanganan TB paru
selanjutnya (Manalu, 2010).

1. Penatalaksanaan penderita (pemeriksaan, pengobatan,


perawatan, isolasi penderita, dan tindakan karantina).
Penatalaksanaan penderita meliputi penemuan penderita,
pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan serta upaya
pencegahan penularan penyakit. Upaya pencegahan penularan
penyakit dilakukan dengan pengobatan dini, tindakan isolasi,
evakuasi dan karantina sesuai dengan jenis penyakitnya.
Penatalaksanaan penderita dilaksanakan di fasilitas pelayanan
kesehatan atau tempat lain yang sesuai untuk kebutuhan
pelayanan kesehatan penyakit menular tertentu.Penatalaksanaan
penderita dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan, baik di
rumah sakit, puskesmas, pos pelayanan kesehatan atau tempat
lain yang sesuai untuk penatalaksanaan penderita. Secara umum,
penatalaksanaan penderita setidak-tidaknya meliputi kegiatan
sebagai berikut :
a. Mendekatkan sarana pelayanan kesehatan sedekat
mungkin dengan tempat tinggal penduduk di daerah
wabah, sehingga penderita dapat berobat setiap saat.
b. Melengkapi sarana kesehatan tersebut dengan tenaga
dan peralatan untuk pemeriksaan, pengobatan dan
perawatan, pengambilan spesimen dan sarana
pencatatan penderita berobat serta rujukan penderita.
c. Mengatur tata ruang dan mekanisme kegiatan di sarana
kesehatan agar tidak terjadi penularan penyakit, baik
penularan langsung maupun penularan tidak langsung.
Penularan tidak langsung dapat terjadi karena adanya
pencemaran lingkungan oleh bibit/kuman penyakit atau
penularan melalui hewan penular penyakit.
d. Penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan
kewaspadaan dan berperan aktif dalam penemuan dan
penatalaksanaan penderita di masyarakat.
e. Menggalang kerja sama pimpinan daerah dan tokoh
masyarakat serta lembaga swadaya masyarakat untuk
melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Transmisi melalui udara secara epidemiologi dapat terjadi bila
seseorang menghirup percikan partikel nuklei yang berdiameter 1-5 µm (2
m dari sumber, dapat terhirup oleh individu rentan di ruang yang sama
atau yang jauh dari sumber mikroba. Penting mengupayakan pertukaran
udara >12 x/jam (12 Air Changes per Hour/ACH).
mycobacterium tuberculosis ialah Kuman yang berbentuk batang
yaitu sejenis basil aerobik kecil yang non-motil. Berbagai karakter klinis
unik patogen ini disebabkan oleh tingginya kandungan lemak/lipid yang
dimilikinya., mempunyai sifat khusus lain yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil tahan Asam
(BTA).
Diagnosis mungkin terlambat ditegakkan karena manifestasi klinis
yang tidak khas, tertutup oleh gejala-gejala pada kehamilan. Untuk itu
semua pasien dapat di curigai sebagai pasien resiko agar dapat
mewaspadai penularan penyakit melalui transmisi terutama transmisi
udara. Deteksi TBC pada ibu merupakan hal penting untuk pemberian
pengobatan adekuat sehingga risiko serius yang terjadi pada janin dan
bayi baru lahir dapat dikurangi.

3.2 Saran
Dari makalah di atas disarankan kepada bidan dan pembaca agar ;
a. Meningkatkan keterampilan PPI selama melakukan pelayanan
kesehatan
b. Lebih mewaspadai penularan penyakit melalui transmisi udara pada
saat melakukan pelayanan kesehatan
c. Lebih mewaspadai bahaya tbc pada kehamilan

DAFTAR PUSTAKA

Permenkes no 27 tahun 2017 tentang pencegahan infeksi pada fasilitas pelayan


kesehatan
www.okezone.com/resiko_membayangi_kehamilan_tb

Anda mungkin juga menyukai