Anda di halaman 1dari 5

http://jurnal.fk.unand.ac.

id 75

Tinjauan Pustaka

Epistaksis dan Hipertensi : Adakah Hubungannya?


Bestari J Budiman, Al Hafiz

Abstrak
Latar Belakang: Epistaksis merupakan suatu kondisi klinis yang sering ditemui dan dapat terjadi pada
semua umur dengan banyak variasi penyebabnya. Salah satu faktor risiko yang diduga ikut berperan dalam
terjadinya epistaksis adalah hipertensi. Tujuan: Menjelaskan hubungan antara epistaksis dengan hipertensi.
Tinjauan Pustaka: Hipertensi diduga tidak menyebabkan epistaksis secara langsung, tapi memperberat episode
epistaksis. Mengendalikan tekanan darah sebagai salah satu faktor risiko, akan menurunkan insiden terjadinya
epistaksis. Di ruang gawat darurat, pemberian obat anti hipertensi diberikan sebelum atau bersamaan dengan
manajemen epistaksis itu sendiri. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara epistaksis dengan hipertensi yang
berlangsung lama dan adanya hipertrofi ventrikel kiri.
Kata kunci : Hipertensi, kegawatdaruratan, penatalaksanaan epistaksis.
Abstract
Background: Epistaxis is a common clinical problem in all age groups with varied etiological factors.
Hypertension has been suggested as a risk factor in epistaxis case. Purpose: To explain relationship between
epistaxis and hypertension. Review: It has been suggested that hypertension does not cause epistaxis directly,
but hypertension prolongs the episode of epistaxis when it does occur. The controlling for blood pressure as a risk
factor will be decreased the incidencies of epistaxis. In emergency rooms, high blood pressure is usually treated
before or in parallel with the management of epistaxis. Conclusion: There was an association between epistaxis
and long duration of hypertension in adult and left ventricle hypertrophy.
Key words : Hypertension, emergency case, management of epistaxis.

Alamat Korespondensi: Al Hafiz, Bagian THT Bedah


Kepala dan Leher RSUP Dr. M. Djamil, Jln. Perintis
Kemerdekaan Padang. E-mail:
dr_hafizdjosan@yahoo.com

Pendahuluan
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani
epistazo yang berarti hidung berdarah. Penanganan
epistaksis dengan menekan ala nasi telah
diperkenalkan sejak zaman Hipokrates. Cave Michael
(1871), James Little (1879) dan Wilhelm Kiesselbach
merupakan ahli-ahli yang pertama kali mengidentifikasi
cabang-cabang pembuluh darah yang berada di bagian
1
anterior septum nasi sebagai sumber epistaksis.
Dikutip dari Dewar, Mitchell menemukan 4,5% 5
dari 374 orang yang dirawat dengan hipertensi, Gambar 1. Pembuluh darah di daerah septum nasi.
2
memiliki riwayat epistaksis.
Sedangkan Herkner dkk melaporkan dari 213
orang pasien yang datang ke unit gawat darurat
dengan epistaksis, ditemukan 33 orang pasien (15,5%)
3
dengan peningkatan tekanan darah.

Anatomi dan Pendarahan Rongga Hidung


Pembuluh darah utama di hidung berasal dari
4
arteri karotis interna (AKI) dan karotis eksterna (AKE).

5
Gambar 2. Pembuluh darah di dinding lateral hidung.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 76

Menurut JNC-7 diuretik tiazid (DT) merupakan


Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari pilihan awal pengobatan hipertensi stadium 1 tanpa
AKI, bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis anterior indikasi memaksa (compelling indications).
dan posterior. Cabang anterior lebih besar dibanding Penggunaan obat antihipertensi golongan angiotensin
cabang posterior dan pada bagian medial akan converting enzyme inhibor inhibitors (ACE-i),
melintasi atap rongga hidung, untuk mendarahi bagian angiotensin receptor II blockers (ARB), beta blokers
superior dari septum nasi dan dinding lateral hidung. (BB), atau calcium channel blocker (CCB) dapat
AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri dipertimbangkan sebagai obat tunggal atau kombinasi.
maksilaris interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian Hipertensi stadium 2 membutuhkan kombinasi DT
4 8,9
anterior hidung melalui arteri labialis superior. dengan obat antihipertensi yang lain.
Arteri maksilaris interna di fossa Gagal jantung, pasca infark miokard, risiko
pterigopalatina bercabang menjadi arteri sfenopalatina, tinggi penyakit jantung koroner, diabetes melitus,
arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri penyakit ginjal kronik, dan kemungkinan stroke
sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian berulang merupakan indikasi untuk memilih obat
8,9
posterior konka media, memperdarahi daerah septum antihipertensi tertentu.
4
dan sebagian dinding lateral hidung.
Pada bagian anterior septum, anastomosis
dari arteri sfenopalatina, palatina mayor, ethmoidalis
anterior dan labialis superior (cabang dari arteri
fasialis), membentuk plexus Kiesselbach atau Little’s
4,6,7
area.
Pada posterior dinding lateral hidung, bagian
akhir dari konka media terdapat plexus Woodruff yang
merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina,
4,6,7
nasalis posterior dan faringeal asendens.
Epistaksis anterior sering mengenai daerah
plexus Kiesselbach. Epistaksis anterior lebih mudah
terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah diatasi
dibandingkan epistaksis posterior. Batas yang
membagi antara epistaksis anterior dan epistaksis
4,6,7
posterior adalah ostium sinus maksilaris.

Hipertensi
Dalam rekomendasi penatalaksanaan
th
hipertensi yang dikeluarkan oleh the 7 of Joint
National Committe on Prevention, Detection, 9
Gambar 4. Penatalaksanaan awal pasien hipertensi.
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC-7) 2003, World Health Organization/ International
Society of Hypertension (WHO-ISH) 1999 dinyatakan
bahwa definisi hipertensi sama untuk semua golongan
umur di atas 18 tahun. Pengobatan juga bukan
berdasarkan penggolongan umur, melainkan
berdasarkan tingkat tekanan darah dan adanya risiko
8
kardiovaskuler pada pasien.
Berikut klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC-
8
7:
o Normal : Sistolik <120 mmHg, Diastolik dan <80
mmHg.
o Prehipertensi : Sistolik 120-139 mmHg, Diastolik
atau 80-90 mmHg.
o Hipertensi stadium 1 : Sistolik 140-159 mmHg,
Diastolik atau 90-99 mmHg.
o Hipertensi stadium 2 : Sistolik ≥ 160 mmHg,
Diastolik atau ≥ 100 mmHg.
o Isolated Systolic Hypertension : Sistolik ≥ 140
mmHg, Diastolik dan < 90 mmHg.
Berdasarkan pedoman dari European Society
of Hypertension (ESH) & European Society of
Cardiology (ESC)-2003 membagi hipertensi dalam 3
tingkatan sedangkan JNC-7 membagi dalam 2 stadium.
Menurut ESH & ESC-2003 dan JNC-7 pengobatan
farmakologik dimulai pada hipertensi tingkat 1 atau TD Gambar 5. Penatalaksanaan pasien hipertensi setelah
140-159/90-99 mmHg, sedangkan menurut British pemberian obat antihipertensi.
9

Society of Hypertension (BSH-IV 2004) memulai pada


tekanan darah ≥ 160/100 mmHg. Pengobatan Pengaruh Hipertensi Pada Sistem Vaskularisasi
farmakologik dapat diberikan pada tekanan darah 140- Lebih dari setengah abad yang lalu, penelitian
159/90-99 mmHg bila terdapat kerusakan organ target, hipertensi telah membentuk paradigma yang fokus
penyakit kardiovaskuler, diabetes melitus, atau risiko pada regulasi sistem neuroendokrin vasoaktif sistemik
8
kardiovaskuler dalam 10 tahun mencapai ≥20%. yang mengatur tonus vaskuler dan hemostasis cairan

Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 77

dan elektrolit pada ginjal. Hal ini menunjukkan bahwa a. Faktor Lokal
hipertensi disebabkan oleh gangguan hemostasis Beberapa faktor lokal yang dapat
pengaturan level hormon di sirkulasi dan aktivitas menyebabkan terjadinya epistaksis antara lain:
sistem saraf simpatis. Dalam hal ini secara konseptual,  Trauma nasal.
pembuluh darah sebagai sistem penerima pasif aksi  Obat semprot hidung (nasal spray). Penggunaan
9,10
sistemik faktor neuroendokrin. obat semprot hidung secara terus menerus,
Sebuah konsep yang telah berkembang dalam terutama golongan kortikosteroid, dapat
patofisiologi hipertensi adalah kontribusi perubahan menyebabkan epistaksis intermitten. Terdapat
struktur vaskuler (remodelling vaskuler). Sekarang kerusakan epitel pada septum nasi. Epitel ini akan
telah diketahui tonus dapat berubah melalui proses mudah berdarah jika krusta terlepas. Pemakaian
akut dan pembuluh darah dapat merubah strukturnya fluticasone semprot hidung selama 4-6 bulan,
melalui proses kronik sebagai respon terhadap kondisi belum menimbulkan efek samping pada
9,10 12
tertentu. mukosa.
Remodelling vaskuler adalah suatu proses  Kelainan anatomi: adanya spina, krista dan
adaptif sebagai respon terhadap perubahan kronik deviasi septum.
pada kondisi hemodinamik atau faktor hormonal.  Tumor intranasal atau sinonasal. Sering ditandai
Substansi vasoaktif dapat meregulasi homeostasis dengan adanya riwayat epistaksis yang berulang.
vaskuler melalui efek jangka pendek pada tonus  Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika.
vaskuler dan efek jangka panjang pada struktur Seperti dekongestan topikal dan kokain.
12
vaskuler. Ketidakseimbangan kedua hal inilah yang  Iritasi karena pemakaian oksigen: Continuous
menimbulkan vasokonstriksi dan hipertrofi vaskuler Positive Airway Pressure (CPAP).
9,10
sehingga timbul hipertensi.  Kelainan vaskuler. Seperti kelainan yang dikenal
Perubahan dalam migrasi sel dan proliferasi, dengan Wagener’s granulomatosis (kelainan yang
perubahan matriks adalah kunci terjadinya remodelling didapat).
12
vaskuler. Pada hipertensi, perubahan struktur b. Faktor Sistemik
pembuluh darah adalah yang mungkin bertanggung Hipertensi tidak berhubungan secara langsung
jawab atas peningkatan tekanan dan aliran darah, dengan epistaksis. Arteriosklerosis pada pasien
ketidakseimbangan substansi vasoaktif dan disfungsi hipertensi membuat terjadinya penurunan kemampuan
9,10
endotel. hemostasis dan kekakuan pembuluh darah.
1
Pada tahap awal hipertensi primer curah Penyebab epistaksis yang bersifat sistemik
jantung meningkat dan tekanan perifer normal, hal ini antara lain:
disebabkan oleh peningkatan aktifitas saraf simpatik.
 Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary
Tahap selanjutnya curah jantung dan tekanan perifer
hemorrhagic telangectasia) merupakan kelainan
meningkat karena efek antiregulasi (mekanisme tubuh
bawaan yang diturunkan secara autosom
untuk mempertahankan keadaan hemodinamik yang
11 dominan. Trauma ringan pada mukosa hidung
normal).
akan menyebabkan perdarahan yang hebat. Hal
Pada hipertensi terjadi perubahan struktur
ini disebabkan oleh melemahnya gerakan
pembuluh darah, sebagai tanggapan terhadap
kontraktilitas pembuluh darah serta terdapatnya
peningkatan tekanan arterial. Dengan perubahan 1
fistula arteriovenous.
struktur pembuluh darah demikian maka perbandingan
 Efek sistemik obat-obatan golongan
lebar lumen meningkat baik karena peningkatan massa
antikoagulansia (heparin, warfarin) dan
otot atau karena pengaturan unsur-unsur seluler dan 12
antiplatelets (aspirin, clopidogrel).
bukan seluler. Kerusakan vaskuler akibat hipertensi
terlihat pada seluruh pembuluh darah perifer.
11  Kegagalan fungsi organ seperti uremia dan sirosis
12
Contoh-contoh klinis bentuk remodelling hepatis.

12
vaskuler meliputi:
11 Atheroslerosis, hipertensi dan alkohol.
1) Pelebaran pembuluh darah yang berkaitan dengan  Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormon
kecepatan aliran darah yang tinggi. Dapat terbentuk adrenokortikosteroid atau hormon
fistula arteriovena. mineralokortikoid, pheochromocytoma,
2) Hilangnya sel atau proteolisis matriks pembuluh hyperthyroidism atau hypothyroidism, kelebihan
11
darah akibat pembentukan aneurisma. hormon pertumbuhan dan hyperparathyroidism.
3) Pengurangan massa dan ukuran pembuluh darah
terjadi karena pengurangan aliran darah jangka Hubungan Epistaksis Dengan Hipertensi
panjang. Menurut Herkner dkk, ada dua hipotesis yang
4) Mikrosirkulasi yang jarang atau hilangnya area menerangkan kenapa epistaksis dapat terjadi pada
kapiler yang menyebabkan meningkatnya kejadian pasien-pasien dengan hipertensi.
3

hipertensi dan iskemia jaringan. 1. Pasien dengan hipertensi yang lama memiliki
5) Arsitektur dinding pembuluh darah juga berubah kerusakan pembuluh darah yang kronis. Hal ini
yang meliputi trombosis, migrasi dan proliferasi sel- berisiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan
sel vaskuler, produksi matriks dan infiltrasi sel-sel tekanan darah yang abnormal.
inflamasi. 2. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung
mengalami perdarahan berulang pada bagian
Faktor-Faktor Etiologi Epistaksis hidung yang kaya dengan persarafan autonom
Pada banyak kasus, tidak mudah untuk yaitu bagian pertengahan posterior dan bagian
mencari penyebab terjadinya epistaksis. Etiologi diantara konka media dan konka inferior.
epistaksis dapat dari banyak faktor. Secara garis besar Hubungan antara hipertensi dengan kejadian
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor lokal epistaksis masih merupakan suatu yang kontroversial.
dan faktor sistemik.
4,6,7,12 Adanya kecendrungan peningkatan kejadian epistaksis
pada pasien dengan hipertensi yang lama dan hipertrofi

Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 78

ventrikel kiri. Tetapi sebagian penulis menemukan


sebaliknya. Lubianca dkk (1999), menyatakan tidak Penatalaksanaan Epistaksis Dengan
ditemukan hubungan yang bermakna antara Hipertensi
peningkatan tekanan darah dengan kejadian 20
13 Charles dan Corrigan melakukan penelitian
epistaksis.
Padgham dkk, dikutip dari Temmel, terhadap pasien epistaksis dengan hipertensi.
menemukan adanya hubungan antara hipertensi Didapatkan dua puluh enam orang pasien yang dirawat
dengan epitaksis terutama epitaksis yang berasal dari karena hipertensi semuanya mempunyai gejala
meatus medius, tapi tidak ditemukan hubungan dengan epistaksis.
21
beratnya epistaksis. Sedangkan Beran dkk melaporkan Dari Shaheen , melakukan penelitian
common cold, stres, dan kelelahan dilaporkan sering terhadap arteri ukuran sedang dan kecil pada pasien
14 usia pertengahan dan tua, ia mendapatkan telah terjadi
mendahului terjadinya epistaksis.
Ibrashi dkk mengatakan bahwa lesi lokal di perubahan lapisan otot pada tunika media menjadi
hidung yang menyebabkan stagnan aliran pembuluh lapisan kolagen. Perubahan bervariasi mulai hanya
darah seperti infeksi, atau penyebab lainnya yang berupa intertitial fibrosis sampai pergantian yang
21
menghancurkan dinding pembuluh darah atau komplit lapisan otot dengan jaringan kolagen.
mukoperiostealnya yang dapat menjadi pemicu Angka kejadian epistaksis tertinggi terjadi
terjadinya epistaksis, maka hipertensi dan pada tekanan darah diastolik 100 mmHg yaitu 10 orang
21
aterosklerosis baru akan memainkan peranannya dari 72 orang pasien (13,9%). Sedangkan Herkner
15 22
dalam memperberat epistaksis. Dari Lubianca dkk , mendapatkan ada 33 pasien dari 213 kunjungan
mengatakan ada tiga faktor lain yang dapat membuat ke unit gawat darurat yang mengalami epistaksis
22
samar diagnosis epistaksis yang disebabkan oleh disertai dengan peningkatan tekanan darahnya.
23
hipertensi yaitu: 1) kelainan anatomi hidung, 2) bukti Massick , membuktikan bahwa tidak terdapat
adanya kerusakan organ target lain dan 3) kelainan hubungan yang jelas antara epistaksis dengan
13 hipertensi (unproven relationship).
hemostasis.
Hedges (1969), seperti dikutip dari Ibrashi, Menurut Massick, penatalaksanaan epistaksis
membandingkan pengaruh hipertensi pada aliran darah dengan hipertensi secara umum sama dengan kasus
di retina dengan aliran darah di hidung. Hasilnya epistaksis lainnya. Penilaian pertama yang harus
didapatkan pada aliran darah dalam retina didukung dilakukan adalah menilai stabilitas hemodinamik
oleh tekanan dari intraokuler. Sebaliknya, aliran darah pasien. Kehilangan darah yang banyak serta
23
di hidung, tidak ada tekanan pendukung dari diperhatikan tanda-tanda terjadinya syok hipovelemik.
mukoperikondrium dan mukoperiostium. Inilah yang Salah satu manifestasi klinis yang tersering
mungkin menjelaskan pada pasien hipertensi dengan adalah epistaksis yang berulang hingga memerlukan
gejala epistaksis, tapi tidak ada gejala perdarahan transfusi darah. Bila perlu dengan pemasangan suatu
retina dan eksudat pada kelompok yang diperiksa. tampon hidung anterior atau posterior dan transfusi
Perdarahan di retina berhubungan dengan penyebab plasma kriopresipitat, faktor VIII atau faktor pembekuan
7,23
sistemik seperti diabetes melitus, atau penyebab lokal lain.
15 Menurut Schwartzbauer dkk (2003), ligasi
seperti tekanan intraokuler yang rendah.
Herkner mendapatkan dari 213 orang pasien terhadap arteri sfenopalatina dan nasalis posterior
yang datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis, dengan menggunakan metode endoskopi berhasil
24
mempunyai tekanan darah sistolik 161 (157-165) menghentikan epistaksis yang berulang.
mmHg dan tekanan darah diastolik 84 (82-86) Herkner dkk mengatakan hal yang tidak kalah
mmHg serta pada hipertensi stadium 3 (≥180/≥110 pentingnya dalam penanganan epistaksis dengan
3 hipertensi ini adalah penanganan lanjutan untuk
mmHg).
Padgham melaporkan pada hipertensi ringan hipertensinya setelah mereka mendapatkan
dan sedang, terbukti mempunyai hubungan dengan pengobatan di unit gawat darurat. Herkner
kejadian epistaksis di meatus medius, tapi tidak di mendapatkan lebih sepertiga pasien epistaksis dengan
bagian hidung yang lain. Tidak terbukti ada hubungan hipertensi yang berobat di unit gawat darurat tidak
kejadian epistaksis dengan konsumsi aspirin, obat mendapatkan pengobatan yang adekuat untuk
3
antiinflamasi non steroid, tingkat keparahan dan bagian hipertensinya selama di rumah.
16 Dikutip dari hasil penelitian yang dilakukan
hidung yang mengalami perdarahan.
Knopfholz dkk mengatakan hipertensi tidak oleh Secchi (2009), epistaksis dengan hipertensi
berhubungan dengan beratnya epistaksis yang terjadi. ditemukan pada 22 kasus (36%) dari total kasus
Tetapi hipertensi terbukti dapat membuat kerusakan epistaksis. Penelitian lain mendapatkan prevalensi 24-
yang berat pada pembuluh darah di hidung (terjadi 64%. Dari 22 kasus ini penanganan yang diberikan
proses degenerasi perubahan jaringan fibrous di tunika berupa pemasangan tampon anteroposterior dan
media) yang dalam jangka waktu yang lama kontrol tekanan darah sebanyak 18 kasus. Sedangkan
17 25
merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis. 4 kasus lagi dilakukan ligasi arteri sfenoid.
Epistaksis bukanlah termasuk gejala kasus Sebagai ringkasan, dapat dikemukakan
hipertensi emergensi. Kesimpulan ini didapatkan oleh prinsip penatalaksanaan epistaksis dengan hipertensi
Lima Jr dkk dalam penelitian tentang hubungan secara umum sama dengan kasus epistaksis lainnya.
18 Penanganan epistaksis dimulai dengan melakukan
epistaksis dengan kasus hipertensi emergensi.
Fakta baru yang ditemukan oleh Herkner dkk anamnesis yang ringkas dan tepat, serta pemeriksaan
(2002) bahwa angka kejadian epistaksis pasca operasi fisik, bersamaan dengan persiapan untuk
mengalami peningkatan pada pasien dengan riwayat menghentikan epistaksis. Hubungan hipertensi dengan
hipertensi yang lama. Tidak ditemukan hubungan terjadinya epistaksis masih belum jelas. Perubahan
19 endotel pembuluh darah arteri pada kasus hipertensi
dengan beratnya derajat hipertensi.
menjadi dasar adanya hubungan antara epistaksis
dengan hipertensi. Terdapat bukti sementara bahwa

Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 79

ada hubungan antara hipertrofi ventrikel kiri dan Patients With Hypertension? Laryngoscope 1999;
epistaksis dengan hipertensi yang berlangsung lama. 109: 1111-5.
Daftar Pustaka 14. Temmel AFP, Quint C, Toth J. Debate about
Blood Pressure and Epistaxis Will Continou.
1. Nwaorgu OGB. Epistaxis: An Overview. Annals of British Medical Journal 2001; 322(7295): 1181.
Ibadan Postgraduate Medicine 2004; 1(2): 32-7. 15. Ibrashi F, Sabri N, Eldawi M, Belal A. Effect of
2. Dewar HA. Epistaxis in Hypertension. British Atherosclerosis and Hypertension on Arterial
Medical Journal 1959; 5115: 169-70. Epistaxis. J Laryngol Otol 1978; 877-81.
3. Herkner H, Laggner AN, Muller M, Formanek M, 16. Padgham N. Epistaxis: Anatomical and Clinical
Bur A et al. Hypertension in Patients Presenting Correlates. J Laryngol Otol 1990; 104: 308-11.
With Epistaxis. Annals of Emergency Medicine 17. Knopfholz J, Lima JE, Neto DP, Faria NJR.
2000; 35(2): 126-30. Association between Epistaxis and Hypertension:
4. Kanowitz SJ, Citardi MJ, Batra PS. Contemporary A one year Follow-up After an Index Episode of
Management Strategies for Epistaxis. In: Stucker Nasal Bleeding in Hypertension Patients.
FJ, de Souza C, Kenyon GS et al editors. International Journal of Cardiology 2009; 134:
Rhinology and Facial Plastic Surgery. Berlin: 107-9.
Springer; 2009. p. 139-49. 18. Lima Jr, Knopfholz J. Relationship Between
5. Schlosser RJ. Epistaxis. N Engl J Med 2009; 784- Epistaxis and Arterial Pressoric Blood Levels: is
9. the Epistaxis a Hypertensive Emergency? Am J
6. Dhingra PL. Epistaxis. In: Disease of Ear, Nose Hypertensions 2000; 13(4):220.
th
and Throat, 4 Edition. Noida: Elsivier; 2009. p. 19. Herkner H, Havel C, Mullner M, Gamper G, Bur A
166-70. et al. Active Epistaxis at ED Presentation is
7. Wormald PJ. Epistaxis. In: Bailey BJ, Johnson JT Associated with Arterial Hypertension. American
et al editors. Otolaryngology Head and Neck Journal of Emergency Medicine 2009; 20(2): 92-5.
th
Surgery, 4 Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott 20. Charles R, Corrigan E. Epistaxis and
Williams & Wilkins; 2006. p. 506-14. Hypertension. Posgrad Med J 1977; 53: 260-1.
8. Prodjosudjadi W. The Update Evidences on 21. Shaheen OH. Epistaxis. In: Ballantyne J, Groves J
Hypertension Management. In: Suhardjono, et al editors. Scott’s Brown’s Diseases of the Ear,
rd
Mayza A, Soenarta AA dkk editors. The 3 Nose & Throat, 4th ed vol 3. London : 1984. 147-
Scientific Meeting on Hypertension. Indonesian 62.
Society of Hypertension. Jakarta; 2009: p. 2-6. 22. Herkner H, Laggner AN, Muller M et al.
9. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS et al. Hypertension in Patients Presenting with
th
Hypertension. Harrison’s Manual of Medicine, 16 Epistaxis. Annals of Emergency Medicine 2000;
edition. New York : McGraw-Hill, 2005. 616-21. 35(2): 126-30.
10. Sargowo D. Hypertension and Vascular Molecular 23. Massick D, Tobin EJ. Epistaxis. In: Cummings
Biology Research Review on Biomolecular CW, Flint DW, Harker LA et al editors. Cumming’s
th
Mechanism. In: Suhardjono, Mayza A, Soenarta Otolaryngology Head & Neck Surgery, 4 Ed Vol
AA dkk editors. The 3rd Scientific Meeting on 2. Philadelphia : Elsevier Mosby, 2005. 942-61.
Hypertension. Indonesian Society of 24. Schwartzbauer HR, Shete M, Tami TA.
Hypertension. Jakarta: InaSH; 2009. p. 1-23. Endoscopic Anatomy of the Sphenopalatine and
11. Idham I, Sanjaya W. Angiotensin-II dan Posterior Nasal Arteries: Implications for the
Remodelling Vaskuler. Cermin Dunia Kedokteran Endoscopic Management of Epistaxis. American
2005; 147: 16-20. Journal of Rhinology 2003; 17(1): 63-6.
12. Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: An Update on 25. Secchi MMD, Indolfo MLP, Rabesquine MM, de
Current Management. Postgrad Med J 2005; 81: Castro FB. Epistaxis: Prevailing Factors and
309-14. Treatment. Intl Arch Otorhinolaryngol Sao Paolo
13. Lubianca JF, Fuchs FD, Facco Sr et al. Is Brazil 2009; 13(4): 381-5.
Epistaxis Evidence of End Organ Damage in

Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2)

Anda mungkin juga menyukai