Disusun Oleh:
Kharin Agustiani
H1C015024
1. Bapak Sukirman dan Ibu Unu Hanurawati selaku orangtua penulis yang
selalu memberikan dukungan dalam doa, dan semangat kepada penulis
selama melaksanakan PKL.
2. Bapak Fadlin S.T.,M.Eng selaku dosen pembimbing lapangan yang telah
membimbing dari awal pembuatan proposal hingga proposal ini selesai.
3. Bapak Sachrul Iswahyudi S.T., M.T. selaku dosen pembimbing akademik
yang memberikan saran dalam akademik.
4. Dosen Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman yang telah mengajar
dan memberi ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis.
5. Keluarga Besar MAGMA ( Teknik Geologi UNSOED Angkatan 2015)
yang selalu memberi semangat dan turut membantu penulis sehingga cepat
terselesaikan Laporan Praktek Kerja Lapangan ini dengan baik.
6. Pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Laporan yang dibuat ini jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. v
DAFTAR TABEL....................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2. Maksud dan Tujuan .......................................................................... 2
1.3. Lokasi Penelitian .............................................................................. 2
1.4. Batasan Masalah ............................................................................... 3
1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................... 4
1.6.Penelitian Terdahulu.......................................................................... 4
BAB II GEOLOGI REGIONAL................................................................. 6
2.1. Fisigrafi Regional Jawa Tengah ...................................................... 6
2.2. Stratigrafi Regional ......................................................................... 8
2.3. Struktur Geologi Regional............................................................... 13
2.4. Dasar Teori ...................................................................................... 14
2.4.1. Geomorfologi ........................................................................ 14
2.4.1.1. Morfografi ................................................................. 15
2.4.1.2. Morfometri ................................................................ 18
2.4.1.3. Morfogenetik............................................................. 20
2.4.2. Analisis Stratigrafi ................................................................ 22
10. 2.4.3. Analisis Data Biostratigrafi................................................... 23
3.1. Metode Penelitian............................................................................ 31
3.2. Tahap Penelitian .............................................................................. 32
3.2.1. Studi Literatur ....................................................................... 32
3.2.2 Penelitian Lapangan .............................................................. 32
3.2.3. Tahap Analisis dan Pengolahan Data.................................... 34
3.2.4 Tahap Penulisan Laporan ...................................................... 34
3.3. Diagram Alir Penelitian................................................................... 35
BAB IV RENCANA KEGIATAN ............................................................. 36
4.1. Jadwal Kegiatan Penelitian ............................................................ 36
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 37
LAMPIRAN ................................................................................................ 38
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.4 Pola struktur Pulau Jawa yang terdiri dari Pola Meratus, Pola Sunda
dan Pulau Jawa (Pulunggono dan Martodjodjo, 1994).
a. Pola Meratus
Pola Sunda berarah utara-selatan yang terbentuk pada 53-32 juta
tahun yang lalu (Eosen Awal-Oligosen Awal). Pola Sunda dihasilkan
oleh tektonik regangan disebabkan oleh penurunan kecepatan tumbukan
Benua India dan Eurasia yang menimbulkan rollback berumur Eosen-
Oligosen Akhir. Pola ini ditandai oleh sesar utara-selatan baik sesar
mendatar maupun sesar turun, umumnya terdapat di bagian barat Pulau
Jawa.
c. Pola Jawa
Pola Jawa berarah barat-timur merupakan pola termuda yang
terbentuk pada Neogen mengaktifkan pola sebelumnya dan
mengakibatkan Pulau Jawa mengalami pola kompresi dengan tegasan
berarah utara-selatan. Pola ini diwakili oleh Sesar Baribis.
Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa Pola Meratus
merupakan pola tertua dalam pembentukan Pulau Jawa. Sesar-sesar yang
termasuk dalam pola ini berumur Kapur hingga Paleosen dan tersebar
dalam jalur Tinggian Karimun Jawa menerus melewati Karangsambung,
Jawa Tengah hingga Cimandiri, Jawa Barat. Sesar yang terbentuk dari
Pola Meratus ini teraktifkan kembali oleh aktifitas tektonik yang lebih
muda di Pulau Jawa yakni Pola Sunda. Jika melihat dari data seismik,
Pola Sunda telah mengaktifkan kembali sesar-sesar Pola Meratus pada
Eosen Akhir hingga Oligosn Akhir. Selain itu, Pola Jawa yang menjadi
pola termuda di Pulau Jawa telah mengaktifkan kembali seluruh pola
yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994).
Dimana,
n = jumlah kontur yang memotong diagonal
jaring
Ci= interval kontur (meter)
D = diagonal grid, Skala 1 : 25.000
Tabel 2.3. Pembagian kemiringan lereng berdasarkan klasifikasi USSSM dan USLE
Simbol warna
Kelas Lereng Proses, Karakteristik dan Kondisi lahan
yang disarankan
00 - 20 Datar atau hampi datar, tidak ada erosi
(0 - 2 %) yang besar, dapat diolah dengan mudah Hijau tua
dalam kondisi kering.
20 - 40 Lahan memiliki kemiringan lereng
(2 - 7 %) landai, bila terjadi longsor bergerak
dengan kecepatan rendah, pengikisan dan Hijau Muda
erosi akan meninggalkan bekas yang
sangat dalam.
40 - 80 Lahan memiliki kemiringan lereng landai
(7 - 15 %) sampai curam, bila terjadi longsor
160 - 350 Lahan memiliki kemiringan lereng yang
(30 - 70 %) curam sampai terjal, sering terjadi erosi
dan gerakan tanah dengan kecepatan Merah Muda
yang perlahan - lahan. Daerah rawan
erosi dan longsor
350 - 550 Lahan memiliki kemiringan lereng yang
(70 - 140 %) terjal, sering ditemukan singkapan Merah Tua
batuan, rawan terhadap erosi.
> 550 Lahan memiliki kemiringan lereng yang
( > 140% ) terjal, singkapan batuan muncul di Ungu Tua
permukaan, rawan tergadap longsor
batuan.
2.4.1.3 Morfogenetik
Morfogenetik, adalah proses / asal usul terbentuknya permukaan
bumi, seperti bentuklahan perbukitan /pegunungan, bentuk lahan lembah atau
bentuk lahan pedataran. Proses yang berkembang terhadap pembentukan
permukaan bumi tersebut yaitu proses eksogen dan proses endogen. Proses
eksogen merupakan proses yang dipengaruhi oleh iklim dikenal sebagai
proses fisika dan proses kimia, sedangkan proses yang dipengaruhi oleh
biologi biasanya terjadi akibat dari lebatnya vegetasi, seperti hutan atau
semak belukar.
Secara garis besar proses eksogen diawali dengan pelapukan batuan,
kemudian hasil pelapukan batuan menjadi tanah dan tanah terkikis
(degradasional), terhanyutkan dan pada akhirnya diendapkan
(agradasional).
intrusi dan gunungapi. Sehingga morfogenesa sangat mempengaruhi dalam
penamaan satuan geomorfologi yang dapat menjelaskan proses-proses
yang berkembang di suatu daerah. Apakah suatu daerah lebih berkembang
struktur-struktur yang diakibatkan kegiatan endogen yang berasal dari
dalam bumi atau proses eksogen yang dicirikan dengan adanya pelapukan,
erosi yang justru mampu merubah morfologi satu daerah yang didasarkan
pada keresistenan batuan. Hal itu berpengaruh pada bentang alam yang
akan terbentuk berdasarkan dua hal yaitu proses endogenik atau proses
eksogenik.
Dilihat dari genesis kontrol utama pembentukannya (Tabel 3.3),
bentuk lahan dapat di bedakan menjadi bentuk asal struktural, vulkanik,
fluvial, marine, karst, aeolian, dan denudasi (Van Zuidam, 1983).
Pembagian lembah dan bukit adalah batas atau titik belok dari bentuk
gelombang sinusoidal ideal. Di alam, batas lembah dicirikan oleh tekuk
lereng yang umumnya merupakan titik-titik tertinggi endapan koluvial
dan/atau aluvial.
Tabel 2.4. Warna yang direkomendasikan untuk dijadikan simbol satuan geomorfologi
berdasarkan aspek genetik (Van Zuidam, 1983)
diamati dilapangan, meliputi jenis batuan, keseragaman gejala litologi dan posisi
stratigrafinya (Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia 1996, pasal 15).
Sedangkan penentuan batas penyebaran satuannya harus memenuhi
persyaratan Sandi Stratigrafi Indonesia 1996 : pasal 17, yaitu :
1. Batas satuan litostratigrafi adalah sentuhan antara dua satuan yang
berlainan ciri litologinya yang dijadikan dasar pembeda kedua satuan
tersebut.
2. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan litologinya
atau dalam hal perubahan tersebut tidak nyata, batasnya merupakan
bidang yang diperkirakan kedudukannya.
3. Satuan-satuan yang berangsur berubah atau menjemari peralihannya
dapat dipisahkan sebagai satuan tersendiri apabila memenuhi persyaratan
sandi.
4. Penyebaran suatu satuan litostratigrafi semata-mata ditentukan oleh
kelanjutan ciri ciri litologi yang menjadi ciri penentunya.
5. Dari segi praktis, penyebaran suatu satuan litostratigrafi dibatasi oleh
batasan cekungan pengendapan atau aspek geologi lain.
6. Batas-batas daerah hukum (geografi) tidak boleh dipergunakan sebagai
alasan berakhirnya penyebaran lateral suatu satuan. Berdasarkan pasal
tersebut, kontak antar satuan batuan atau sentuh stratigrafi dapat bersifat
tajam ataupun berangsur. Ada tiga macam sentuh stratigrafi, yaitu :
a. Selaras, yaitu sedimentasi berlangsung menerus tanpa gangguan dari
satuan stratigrafi yang berada di bawah lapisan tersebut.
b. Tidak selaras, yaitu siklus sedimentasi tidak menerus, disebabkan oleh
pengangkatan.
c. Diasterm, yaitu siklus sedimentasi tidak menerus, disebabkan oleh erosi
2.4.3 Analisis Data Biostratigrafi
Menurut Bolli (1985) foraminifera memberikan data umur relatif batuan
sedimen laut. Ada beberapa alasan bahwa fosil foraminifera adalah mikrofosil
yang sangat berharga khususnya untuk menentukan umur relatif lapisan-lapisan
batuan sedimen laut. Data penelitian menunjukkan foraminifera ada di
bumi sejak jaman Kambrium, lebih dari 500 juta tahun yang lalu. Foraminifera
mengalami perkembangan secara terus-menerus, dengan demikian spesies yang
berbeda diketemukan pada waktu (umur) yang berbeda-beda. Foraminifera
mempunyai populasi yang melimpah dan penyebaran horizontal yang luas,
sehingga diketemukan di semua lingkungan laut.
Analisis biostratigrafi dilakukan untuk mengetahui umur dan
lingkungan pengendapan batupasir dan batulempung daerah penelitian.
Penentuan umur relatif batuan sedimen daerah penelitian dilakukan dengan
menggunakan zona selang, dimana kehadiran organisme penunjuk digunakan
sebagai batas kisaran umur relatif sebagaimana yang tercantum dalam Sandi
Stratigrafi Indonesia (1996, Pasal 38):
1. Zona Selang ialah selang stratigrafi antara pemunculan awal/akhir dari dua
takson penciri.
2. Kegunaan Zona Selang pada umumnya ialah untuk korelasi tubuh satuan
batuan.
3. Batas atas atau bawah suatu Zona Selang ditentukan oleh pemunculan awal
atau akhir dari takson takson penciri.
Nama Zona Selang diambil dari nama-nama takson penciri yang
merupakan batas atas dan bawah zona tersebut. Kemudian untuk menentukan
lingkungan pengendapan menggunakan zonasi Blow (1966), sedangkan
penentuan umur berdasarkan zonasi Bolli (1985).
ITB.
Data petrografi ini diambil dari data batuan pada tempat tertentu yang
mewakili batuan tersebut yang kemudian dijadikan sayatan tipis sehingga
lebih mudah diamati di bawah mikroskop.
Hal ini dilakukan untuk batuan yang padu kemudian diteliti di bawah
mikroskop polarisasi di Laboratorium Teknik Geologi Purbalingga untuk
mengetahui komposisi dan jenis mineral dari setiap batuan sehingga dapat
ditentukan jenis batuannya. Adapun klasifikasi batuan yang digunakan
dapat dilihat pada gambar 2.6.. serta penamaan ilmiah batuan secara petrografi
menurut Pettijohn (1975).
2.4.5.2 Sesar
Untuk mengamati keberadaan arah dan jenis sesar di lapangan dapat
diperkirakan dengan melihat indikasi yang ada seperti adanya dragfold
(lipatan seret), offset litologi, kekar-kekar, cermin sesar, slicken side,
breksiasi, zona-zona hancuran, kelurusan mata air panas dan air terjun.
Klasifikasi sesar telah banyak dikemukakan oleh para ahli terdahulu,
mengingat struktur sesar adalah rekahan kekar di dalam bumi yang
ditimbulkan karena pergeseran sehingga untuk membuat analisis strukturnya
diusahakan untuk dapat mengetahui arah dan besarnya pergeseran tersebut.
1. Sesar normal, dimana a1 vertikal dan a2 serta a3 horizontal. Besarnya
sudut kemiringan (dip) bidang sesar mendekati 60º.
2. Sesar mendatar, dimana a2 vertikal dan a1 serta a3 horizontal.
3. Sesar naik, dimana a3 vertikal dan a1 dan a2 horizontal. Kemiringan
bidang sesar mendekati 30º . Dalam hal ini, bidang sesar vertikal dan
bergerak secara horizontal.
Gambar 2.9. Hubungan antara pola tegasan dengan jenis sesar yang
terbentuk (Anderson, 1951 dalam Haryanto, 2003)
Untuk klasifikasi Struktur Sesar, menggukan klasifikasi Rickard,1972
dalam Haryanto, 2003 yang mengkombinasikan besar kemiringan bidang
sesar dengan besar sudut pitch . Berdasarkan kombinasi tersebut yang
kemudian di plot pada diagram, menghasilkan penamaan sesar dengan
ketentuan sebagai berikut:
Apabila pitch kurang atau sama dengan 10°, maka sesar dinamakan sesar
dinamakan Lag Normal Fault (Low Angel Normal Fault) atau sesar
normal bersudut kecil dan untuk sesar naik dinamakan Thrust Fault atau
sesar anjak.
Apabila pitch pada sesar mendatar lebih besar daripada 10° dan kurang
atau sama dengan 45°, maka sesar merupakan sesar mendatar yang
memiliki pergerakan naik atau turun. Dalam penamaan, pergerakan naik
atau turun menjadi keterangan pergerakan sesar mendata tersebut,
misalnya sesar mendatar mengiri (sinistral) normal dengan ciri pitch lebih
besar dari 10° dan kurang dari 45° serta kemiringan bidang sesar 50° maka
dinamakan Normal left Slip Fault. Apabila kemiringan sesar kurang dari
45° dengan pergerakan yang sama, maka disebut dengan Lag Left Slip
Fault. Hal tersebut juga berlaku untuk pergerakan naik.
Apabila Pitch lebih dari 45°dan kurang dari 80°, dengan pergerakan turun
atau naik, maka sesar tersebut juga memiliki kinematika pergeseran
mendatar (menganan atau mengiri). Apabila bidang lebih dari 45°, maka
dapat dinamakan Right Slip Normal Fault, Right Slip Reverse Fault, Left
Slip Normal Fault atau Left Slip Reverse Fault. Hal tersebut juga berlaku
untuk Lag Fault dan Reverse Fault.
Gambar 2.10. Klasifikasi Sesar menurut Rickard, 1972 (dalam
Haryanto, 2003)
Penentuan Basecamp
Orientasi Lapangan
Djuri dkk. 1996. Peta Geologi Lembar Purwokerto - Tegal Skala 1 : 100.000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi : Bandung.
Kertanegara, L., Uneputty, H., dan Asikin, S., 1987. Tatanan Stratigrafi dan Posisi
Tektonik Cekungan Jawa Tengah Utara Selama Jaman Tersier. Proceeding
Ikatan Ahli Geologi Indonesia XVI, 1987, Bandung.
Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan Ahli
Geologi Indonesia : Indonesia.
Pettijohn, F.J. 1975. Sedimentary Rock.Third Edition. Harper & Row Publishers,
New York-Evanston-San Fransisco-London.