Peran Konseling Dalam Keperawatan PDF
Peran Konseling Dalam Keperawatan PDF
DEFINISI KONSELING
Konseling adalah suatu bantuan yang diberikan seorang pebimbing yang terlatih dan
berpengalaman, terhadap individu-individu yang membutuhkannya. Agar individu tersebut
berkembang potensinya secara optimal, mampu mengatasi masalah dan mampu
menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang selalu berubah.
Konseling lebih menekan pada pengembangan potensi individu yang terkandung
dalam dirinya, baik dari aspek intelektual, afektif, sosial, emosional dan religius. Sehingga
individu akan lebih berkembang dengan nuansa yang lebih bermakna, harmonis, sosial, dan
bermanfaat.
Secara Etimologi Konseling berasal dari bahasa Latin consilium artinya „dengan‟
atau „bersam‟a yang dirangkai dengan menerima atau memahami. Sedangkan dalam Bahasa
Anglo Saxon istilah konseling berasal dari sellan yang berarti menyerahkan atau
menyampaikan.
1
3. Menurut Pietrofesa, Leonard dan Hoose (1978) yang dikutip oleh Mappiare (2004)
Konseling merupakan suatu proses dengan adanya seseorang yang dipersiapkan
secara profesional untuk membantu orang lain dalam pemahaman diri pembuatan
keputusan dan pemecahan masalah dari hati kehati antar manusia dan hasilnya
tergantung pada kualitas hubungan.
4. Menurut Palmer dan McMahon (2000) yang dikutip oleh Mc leod (2004)
Konseling bukan hanya proses pembelajaran individu akan tetapi juga merupakan
aktifitas sosial yang memiliki makna sosial. Orang sering kali menggunakan jasa
konseling ketika berada di titik transisi, seperti dari anak menjadi orang dewasa,
menikah ke perceraian, keinginan untuk berobat dan lain-lain. Konseling juga
merupakan persetujuan kultural dalam artian cara untuk menumbuhkan kemampuan
beradaptasi dengan institusi sosial.
2
7. Jones (Insano, 2004 : 11)
Konseling merupakan suatu hubungan profesional antara seorang konselor yang
terlatih dengan klien. Hubungan ini biasanya bersifat individual atau seorang-
seorang, meskipun kadang-kadang melibatkan lebih dari dua orang dan dirancang
untuk membantu klien memahami dan memperjelas pandangan terhadap ruang
lingkup hidupnya, sehingga dapat membuat pilihan yang bermakna bagi dirinya.
9. Winkel (2005:34)
Konseling sebagai serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingandalam usaha
membantukonseli/klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien dapat
mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagaipersoalan atau masalah khusus.
12. Menurut Edwin C. Lewis ( 1970 ) dalam Abimanyu dan Manrihu ( 1996:9 )
Konseling adalah suatu proses dimana orang yang bermasalah ( klien ) dibantu
secara pribadi untuk merasa dan berperilaku yang lebih memuaskan melalui
3
interaksi dengan seseorang yang tidak terlibat ( konselor ) yang menyediakan
informasi dan reaksi-reaksi yang merangsang klien untuk mengembangkan perilaku-
perilaku yangmemungkinkannya berhubungan secara lebih efektif dengan dirinya
dan lingkungannya.
4
tidak beralasan, dan pergantian perilaku maladaptif dengan pembelajaran perilaku
adaptif.
5
IC. FUNGSI KONSELING
Konseling memiliki fungsi tersendiri bagi satiap aspek kehidupan seseoarang,
diantaranya adalah :
1. Fungsi Pencegahan
Konseling dilakukan untuk mencegah kembali timbulnya masalah atau gangguan –
gangguan psikologis pada diri klien.
2. Fungsi Penyesuaian
Diadakaannya sutu konseling berfungsi untuk membantu seseoang dalam
menyeseukain diri terhadap perubahan lingkungannya yang disebabkan oleh :
perubahan biologis klien, perubahan psikologis klien, dan perubahan sosial yang
terjadi pada diri klien.
3. Fungsi Perbaikan
Konseling yang dilakukan seseorang berfungsi untuk memperbaiki perilaku-perilaku
klien yang menyimpang dan merugikan dirinya sendiri dan orang di sekitarnya.
4. Fungsi Pengembangan
Konseling berfungsi untuk membantu klien dalam mengembangkan pengetahuan
dan kemampuan klien dalam menghadapi dan mengatasi masalah.
6
4. Mengembirakan klien 5. Klien sering tertutup
5. Dialog konselor menyentuh klien; 6. Dialog menekan perasaan klien
klien terbuka 7. Klien sebagai objek
6. Bersifat humanistik – religius
7. Klien sebagai subjek memegang
peranan, memutusakan tentang
dirinya
8. Konselor hanya membantu dan
memberi alternatif – alternatif
7
C. Syarat Seorang Konselor
E. Peran perawat :
8
III. PERBEDAAN ANTARA KONSELING, PENDIDIKAN KESEHATAN DAN
PSIKOTERAPI
B. Perbedaan
Konseling lebih fokus pada konseren, ihwal, masalah, pengembangan, pendidikan dan
pencegahan. Sedangkan psikoterapi lebih memfokuskan pada konseren atau masalah
penyembuhan, penyesuaian dan pengobatan.
Konseling dan psikoterpai berbeda tujuan, bahwa tujuan psikoterapi adalah mengatasi
kelemahan-kelemahan tertentu melalui beberapa cara praktis, mencakup pembedahan psikis
(psycho-surgery) dan pembedahan otak. Sedangkan konseling dilakukan untuk membantu
klien menjadi sesorang yang berfungsi secara sempurna, fully functioning person.
9
IIIB. Perbedaan Konseling dan Pendidikan Kesehatan
1. Definisi Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha atau kegiatan untuk membantu
individu, keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuannya untuk
mencapai kesehatan secara optimal (Notoatmodjo, 1993). Semua petugas
kesehatan mengakui bahwa pendidikan kesehatan penting untuk menunjang
program kesehatan lainnya. Stuart (1968) dalam defenisi yang dikemukakan,
dikutip oleh staf jurusan PK-IP FKMUI (1984) mengatakan bahwa pendidikan
kesehatan adalah komponen program kesehatan dan kedokteran yang terdiri atas
upaya terencana untuk mengubah perilaku individu, keluarga dan masyarkat yang
merupakan cara perubahan berfikir, bersikap dan berbuat dengan tujuan
membantu pengobatan, rehabilitasi, pencegahan penyakit dan promosi hidup
sehat (Suhila, 2002).
Menurut Grout pendidikan kesehatan adalah upaya menterjemahkan sesuatu
yang telah diketahui tentang kesehatan kedalam perilaku yang diinginkan dari
perseorangan ataupun masyarakat melalui proses pendidikan, sedangkan menurut
Nyswander pendidikan kesehatan adalah suatu proses perubahan pada diri
manusia yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan kesehatan
perseorangan dan masyarakat. Bila dilihat dari defenisi-defenisi pendidikan
kesehatan tersebut tidak jauh berbeda dan keduanya menekankan pada aspek
perubahan perilaku individu dan masyarakat dalam bidang kesehatan (Effendy,
1995).
2. Tujuan Pendidikan Kesehatan
Secara umum tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku
individu dan masyarakat di bidang kesehatan (Notoatmodjo, 1997). Menurut
Effendi (1995), tujuan pendidikan kesehatan yang paling pokok adalah
tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat dalam
memelihara perilaku sehat serta berperan aktif dalam mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal. Banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam
keberhasilan pendidikan kesehatan, antara lain tingkat pendidikan, tingkat sosial
10
ekonomi, adat istiadat, kepercayaan masyarakat, dan ketersediaan waktu dari
masyarakat.
Materi yang disampaikan hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan
kesehatan mulai dari individu, keluarga, dan masyarakat sehingga dapat langsung
dirasakan manfaatnya. Sebaiknya saat memberikan pendidikan kesehatan
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dalam bahasa kesehariaannya dan
menggunakan alat peraga untuk mempermudah pemahaman serta menarik
perhatian sasaran (Walgino, 1995).
Metoda yang dipakai dalam pendidikan kesehatan hendaknya dapat
mengembangkan komunikasi dua arah antara yang memberikan pendidikan
kesehatan terhadap sasaran, sehingga diharapkan pesan yang disampaikan akan
lebih jelas dan mudah dipahami. Metoda yang dipakai antara lain: curah
pendapat, diskusi, demonstrasi, simulasi dan bermain peran.
11
bagian-bagian kepribadian yang terpecah dan tak diketahui. Tugas utama terapis
adalah membantu klien agar mengalami sepenuhnya keberadaannya disini dan
sekarang dengan menyadarkannya atas tindakannya mencegah diri sendiri merasakan
dan mengalami saat sekarang. Oleh karena itu terapi Gestalt pada dasarnya non
interpratatif dan sedapat mungkin, klien menyelenggarakan terapi sendiri.
12
IVE. TEORI BEHAVIORISTIK ARNOLD LAZARUZ
Konselor behavioral membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara
pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu
kepedulian utama dari para konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan
konseling. Manusia menurut pandangan ini bukan hasil dari dorongan tidak sadar
seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Dalam konsep bahvioral, perilaku
manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan
mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling merupakan
suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah
perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya.
Thoresen (Shertzer & Stone, 1980) sebagaimana dikutip oleh Surya (1988),
memberi ciri-ciri konseling behavioral sebagai berikut:
1. Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat dirubah.
2. Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individual dapat membantu
dalam merubah perilaku-perilaku yang relevan; prosedurprosedur konseling
berusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku klien
dengan merubah lingkungan.
3. Prinsip-prinsip belajar sosial, seperti misalnya “reinforcement” dan “social
modeling”, dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-prosedur
konseling.
4. Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-perubahan
dalam perilaku-perilaku khusus klien diluar wawancara konseling.
5. Prosedur-prosedur konseling tidak statik, tetap, atau ditentukan sebelumnya,
tetapi dapat secara khusus didisain untuk membantu klien dalam memecahkan
masalah khusus.
Jadi hakikatnya tugas konselor terhadap klien dalam teori behavioral ini
adalah mengaplikasikan prinsip dari mempelajari manusia untuk memberi fasilitas
pada penggantian perilaku maladaptif dengan perilaku yang lebih adaptif. Yaitu
menyediakan sarana untuk mencapai sasaran klien, dengan membebaskan seseorang
dari perilaku yang mengganggu kehidupan yang efektif sesuai dengan nilai
13
demokrasi tentang hak individu untuk bebas mengejar sasaran yang dikehendaki
sepanjang sasaran itu sesuai dengan kebaikan masyarakat secara umum. (Corey,
1995)
14
IVG. TEORI CLIENT CENTERED THERAPY (ROGERS)
Carl Ransom Rogers (1902-1987) pada awal tahun 1940 (Corey 1986:100; Corey
1995: 291-294) pada awal tahun 1940 mengembangkan teori yang disebut non-
directive counseling (konseling non-direktif) sebagai reaksi atas pendekatan yang
direktif dan pendekatan psikoanalitik. Teorinya adalah sebagai reaksi atas
pendekatan yang direktif dan pendekatan psikoanalitik. Rogers menentang asumsi
dasar bahwa “konselor tahu apa yang terbaik“. Dia juga menentang kesahihan dari
prosedur terapeutik yang telah secara umum bisa diterima seperti nasehat, saran,
himbauan, pemberian pengajaran, diagnosis, dan tafsiran. Didasarkan pada
keyakinannya bahwa konsep dan prosedur diagnostik kurang memadai,
berprasangka, dan sering kali disalahgunakan, maka pendekatannya tidak dengan
menggunakan cara tersebut. Konselor non-direktif menghindar dari usaha untuk
melibatkan dirinya dengan urusan klien, dan sebagai gantinya mereka memfokuskan
terutama pada merefleksi dan komunikasi verbal dan non-verbal dari klien. Asumsi
dasarnya adalah bahwa orang itu secara esensial bisa dipercaya, memiliki potensi
yang besar untuk memahami dirinya dan menyelesaikan masalah mereka tanpa
intervensi langsung dari pihak terapis, dan bahwa mereka ada kemampuan untuk
tumbuh sesuai dengan arahan mereka sendiri apabila mereka terlibat dalam hubungan
terapeutik. Sejak semula ia menekankan kepada sikap dan karakteristik pribadi
terapis dan kualitas hubungan klien sebagai penentu utama dalam prosedur
terapeutik. Secara konsisten ia mengarahkan kepada posisi yang sekunder seperti
pengetahuan terapis tentang teori dan teknik.
15
4. Pengembangan resistensi untuk pemahaman diri
5. Pengembangan hubungan transferensi klien dengan konselor.
Transferensi adalah apabila klien menceritakan kembali pengalaman dan konflik
masa lalu sehubungan dengan cinta , seksualitas, kebencian, kecemasan. Biasanya
klien bisa membenci atau mencintai konselor.
6. Melanjutkan hal-hal yang resistensi
7. Menutup wawancara konseling.
VB. WAWANCARA
J. Rich sebagaimana dikutip oleh Barker (1990;11) mengklasifikasikan wawancara
konseling ke dalam beberapa fungsi utama yang berkaitan terhadap wawancara terhadap
anak dan remaja, yaitu :
1. Wawancara penelusuran fakta (fact-finding interviews). Wawancara ini didisain
untuk menemukan informasi-informasi yang sangat dibutuhkan. Dalam setting klinis
wawancara ini mencari data -data historis yang berkaitan dengan keadaan individu,
keadaan keluarga (family history), dan informasi kondisi-kondisi spesifik anak dan
situasi sosial yang melingkupinya. Pewawancara dapat juga mencari fakta - fakta
berupa keadaan emosional individu, proses - proses kognitif, dan keadaan stabilitas
mental yang bersangkutan
2. Wawancara pemberianfakta (fact-giving information).
Bentuk wawancara ini adalah suatu proses dimana pewawancara memberi informasi
kepada klien yang diwawancarai. Namun fungsi wawancara ini tidak akan dibahas
lebih lanjut dalam makalah ini. Karena umumnya tidak digunakan dalam
kepentingan klinis. Hanya saja kaitannya dengan kepentingan konseling, pemberian
fakta dapat berupa pewawancara menginformasikan kepada klien tentang hasil
assessmen, hasil tes psikologis, hasil-hasil diagnostik, dan mendiskusikan pilihan-
pilihan dalam mengatur situasi masalah.
3. Wawancara terapi (treatment interviews).
Dalam psikoterapi, wawancara ini kerapkali digunakan untuk memberikan prosedur
prosuder terapi yang berfungsi untuk megatasi atau menyembuhkan klien dari situasi
nerotis dan psikotis yang dialaminya.
16
Pewawancara harus berusaha semaksimal mungkin untuk menerima pola pikir sang klien, pendapat
dan situas- situasi emosional dari klien yang diwawancarA
1. Tahap pertama berupa fase perkenalan; bertujuan membuat diri si konselor dan klien atau
pihak keluarga lainnya yang terlibat saling mengetahui satu sama lain. Selama tahapan
wawancara ini, konselor sebagai pewawancara harus menanyakan tentang usia klien, tanggal
kelahiran, kehadiran di sekolah, tingkat pendidikan, dan lain-lain. Menurut pengalaman
Barker (1990) bahwa ia sering mengatakan kepada individu yang menjadi kliennya banyak
hal tentang dirinya sendiri; memperkenalkan dirinya sendiri jika klien tidak siap atau ragu-
ragu untuk memulainya terlebih dahulu. Bagian yang paling krusial untuk dilakukan adalah
,sebagaimana yang disebutkan terdahulu, membangun rapport. Pada tahap yang pertama,
bagian ini menjadi proses primer yang tak bisa diabaikan begitu saja.
2. Pada tahap yang kedua atau tahapan inti, proses yang terjadi dalam wawancara adalah
proses pertukaran informasi (exchange of information). Dalam wawancara klinis pencarian
informasi menjadi fokus utama, tetapi kadang-kadang yang juga tak kalah pentingnya adalah
pemberianinformasi-informasi tertentu kepada klien yang diwawancarai. Dalam tahapan inti
inilah konsleor akan dapat memahami individu beserta dimensi persoalan-persoalan yang
melingkupinya. Konselor dapat memahami bagaimana keadaan emosionalnya, interaksi
dengan keluarga, hubungan sosial dengan orang lain, dan data-data penting lainnya. Proses
pertukaran informasi ini hanya dimungkinkan terjadi dengan prasyarat telah terbangunnya
rapport. Jika tidak, maka besar kemungkinan dalam tahapan inti ini akan muncul kesulitan-
kesulitan yang akan menghambat keputusan-keputusan konselor dan klien.
3. Tahap yang terakhir berupa termination phase didahului oleh sinyal-sinyal tertentu yang
datangnya dari konselor. Kirakira 5 –10 menit, konselor sudah mempersiapkan diri untuk
menutup proses wawancara. Satu hal yang penting adalah melakukan klarifikasi kepada
klien tentang-tentang kemungkinan-kemungkinan prognosis atau perkembangan kasus yang
dihadapinya untuk waktu mendatang. Kira-kira prospek masalah yang akan datang apakah
bersifat positif ataukah negatif.
17
VC. TEKNIK KONSELING PSIKOANALISA
Ada lima teknik dasar dari konseling psikoanalisa, yaitu :
1. Asioasi bebas
Yaitu klien diupayakan untuk menjernihkan atau mengikis alam pikirannya
dari alam pengalaman dan pemikiran sehari-hari sekarang ini, sehingga klien mudah
mengungkapkan pengalaman masa lalunya.
Tujuan teknik ini adalah untuk mengunkapkan pengalaman masa lalu dan
menghentikan emosi-emosi yang berhubungan dengan pengalaman traumatik masa
lalu. Hal ini disebut katartis.
2. Interpretasi
Adalah teknik yang digunakan oleh konselor untuk menganalisis asioasi
bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi klien. Konselor menetapkan, menjelaskan
bahkan mengajar klien tentang makna perilaku yang termanifestasi dalam mimpi,
asioasi bebas, resistensi dan transferensi klien. Tujuannya adalah agar ego klien
dapat mencerna materi baru dan mempercepat proses penyadaran.
3. Analisis mimpi
Yaitu suatu teknik untuk membuka hal-hal yang tak disadari dan memberi
kesempatan klien untuk memilih masalah-masalah yang belum terpecahkan. Proses
terjadinya mimpi adalah karena diwaktu tidur pertahanan ego menjadi lemah dan
kompleks yang terdesakpun muncul ke permukaan. Oleh Freud mimpi ditafsirkan
sebagai jalan raya terhadap keinginan-keinginan dan kecemasan yang tak disadari
yang di ekspresikan.
4. Analisis Resistensi
Analisis resistensi ditunjukan untuk menyadarkan klein terhadap alasan-
alasan terjadinya resistensinya, konselor meminta perhatian klien untuk menafsirkan
resistensi.
5. Analisis transferensi
Konselor mengusahakan agar klien mengembangkan transferensinya agar
terungkap neurosisnya terutama pada usia selama lima tahun pertama hidupnya.
Konselor menggunakan sifat-sifat netral, abjektif, anonim, dan pasif agar terungkap
tranferensu tersebut.
18
DAFTAR PUSTAKA
19