Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

SUMBER HUKUM MATERIL DAN FORMIL PERADILAN AGAMA

Untuk Memenuhi Tugas Peradilan Agama di Indonesia

Dosen Pengampu : EKO ARIEF CAHYONO, M.EK

Disusun oleh:

1. Alfin Nadhiroh [2018.5502.04.0735]


2. M. Zainul Mudzakir [2018.5502.04.0758]
3. Siska Robiatul Isnaini [2019.5502.04.00846]
4. Sri Wahyuni [2018.5502.04.0770]

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM SUNAN GIRI BOJONEGORO
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “SUMBER HUKUM MATERIL
DAN SUMBER HUKUM FORMIL PERADILAN AGAMA” ini dengan baik.
Dalam penyusunan makalah ini, dengan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak, kami
telah berusaha untuk dapat memberikan yang terbaik dan sesuai dengan harapan, walaupun
didalam pembuatannya kami menghadapi kesulitan, karena keterbasan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang kami miliki.
Oleh karena itu pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak
EKO ARIEF CAHYONO,M.EK selaku Dosen Pembimbing Sejarah Peradaban Islam. Dan juga
kepada teman –teman yang telah memberikan dukungan dan dorongan kepada kami. Kami
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan,oleh karena itu saran
dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan agar dapat menyempurnakannya di masa yang
akan datang. Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman
dan pihak yang berkepentingan.
Akhir kata kami sampaikan Terima Kasih kepada semua pihak. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhoi segala usaha kita semua, Aamiin....

Bojonegoro, 13 November 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................


DAFTAR ISI ...................................................................................................
I. PENDAHULUAN ....................................................................................
A. Latar Belakang .................................................................................
B. Rumusan Masalah ............................................................................
C. Tujuan ..............................................................................................
II. PEMBAHASAN ......................................................................................
A. Sumber Hukum Materil ...................................................................
B. Pengembangan Hukum Materil Peradilan Agama
C. Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang
Perkawinan dari Maqosid Syariah ke Fikih Indonesia
D. Sumber Hukum Formil Peradilan Agama
E. Asas-Asas Hukum Formil
III. PENUTUP ................................................................................................
A. Kesimpulan ......................................................................................
B. Saran ................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan agama di Indonesia sejak berlakunya sistem satu atap (one roof system) dibawah
naungan Mahkamah Agung mempunyai peranan penting untuk mengatasi permasalahan antar
umat Islam diIndonesi. Permasalahan itu tidak hanya di bidang Ahwal Al-syakhsiyah, namun juga
dengan peraturan baru yakni Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Artinya, Peradilan Agama juga berhak menangani sengketa ekonomi syariah.
Sumber Hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai
kekuatan mengikat dan bersifat memaksa, yaitu, aturan-aturan yang kalau dilanggar mendapatkan
sanksi yang tegas bagi seseorang yang melanggarnya. Dalam dunia Peradilan termasuk lingkungan
Peradilan Agama di Indonesia, Sumber Hukum yang dipakai atau dirujuk dalam memeriksa,
memutuskan dan menyelesaikan perkara secara garis besar terbagi dua, pertama, sumber Hukum
materil. Kedua, sumber hukum formil yang sering disebut hukum acara. Perlu diketahui sekilas
bahwa Hukum materiil adalah materi hukum yang terkait dengan teori hukum yang terdapat dalam
kitab fiqh serta yang berhubungan dengan perundang-undangan, misalnya Kompilasi Hukum
Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan hukum formil menyangkut
langsung tentang hal-hal yang berhubungan dengan kompetensi Peradilan. Kedua hukum ini saling
mempunyai keterkaitan, hal ini dikarenakan hukum formil mempunyai tujuan untuk menegakkan
hukum materiil dalam Sidang Peradilan. Oleh karena itu keduanya hukum tersebut harus dikuasai
dengan baik dan benar.
Pada kesempatan ini Penulis mendeskribsikan yang terkait dengan Hukum Materiil
Peradilan di Indonesia dan Peradilan Tentang Sumber Hukum Formil Peradilan Agama di
Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa sumber hukum materil di indonesia?
2. Apa sumber hukum formil di Indonesia?

C. Tujuan
1. Mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat di Indonesia.
2. Untuk mengetahui adanya ketertiban dalam pergaulan manusia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sumber Hukum Materiil Peradilan Agama


Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (Hukum Positif) dan
masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap ulama fuqoha penulis kitab-kitab fiqh
tersebut berlatar sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang
masalah yang sama, maka untuk mengeliminasi perbedaan tersebut dan menjamin kepastian hukum,
maka hukum-hukum materiil tersebut dijadikan hukum positif yang tertulis dalam peraturan perundang-
undangan1.
Berikut adalah hukum materil yang digunakan dalam Peradilan Agama, disajikan secara
kronologis berdasar tahun pengesahannya:
A. Undang-undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-undang No. 23 Tahun 1954 yang
mengatur tentang hukum perkawinan, talak dan rujuk.
B. Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tangal 18 februari 1968 yang merupakan
pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa
dan Madura.
Sebagai kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung didalamnya bukan merupakan hukum tertulis
sebagaimana perundang-undangan yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif. Bagi yang
berpendapat bahwa hukum positif adalah hukum yang tertulis, hukum-hukum menjadi pedoman
PA masih dianggap sebagai hukum yang secara riil berlaku dalam masyarakat adalah hukum
positif. hal ini di legalisasi dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman bahwa seorang hakim mengadili,
memahami, dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

1 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 147
B. Pengembangan Hukum Materil Peradilan Agama
Hukum material yang hendak dikembangakan diperadilan agama dalam
pembangunan jangka panjang kedua adalah hukum perdata islam mengenai
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, waqaf dan shodaqoh sesuai dengan wewenang
yang diberikan oleh UUD No 7 tahun 1989 kepada peradilan agama untuk memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara perkara di bidang tersebut. Hukum ini telah
dihimpun dalam kompilasi hukum islam di Indonesia dan telah pula disebar luaskan
sesuai dengan instruksi presiden No 1 tahun 1991 melalui keputusan mentri Agama
Republik Indonesia No 154 tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991.

Cara yang ideal untuk mengembangkan hukum materil peradilan agama adalah melalui
peraturan per undang undangan. Akan tetapi, melihat susunan dan kondisi lembaga
legeslatif sekarang dan pengalaman undang-undang perkawinan dan peradilan agama di
masa yang lalu, pada pendapat penulis, masih sulit menempuh jalan ideal ini. Oleh karena
itu pengembangan hukum materil peradilan agama “ dari dalam” saja dahulu melengkapi
apa yang telah ada. Untuk itu peningkatan mutu dan wawasan hakim hakim peradilan
agama harus ditingkatkan.

C. Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang


Perkawinan dari Maqosid Syariah ke Fikih Indonesia
Misalnya doskumentsi buku tertulis. Tanpa KUA, sebagai pihak yang berwenang
mendokumentasi. Pernikahan bisa saja dilakukan namun, demikian kehadiran KUA
dengan berbagai perlegkapnya justru akan lebih menjamin hak dan kewajiban para pihak
khususnya ketika terjadi sengketa akta nikah yang akan dijadikan sebagai bukti tertulis bisa
di perindah sesuai dengan niat, bakat kemampuan setempat.
Agar dapat mengikat umat islam Indonesia maka hukum ini harus diputuskan melalui
ijtihad jama’ I, dalam pengertian”Legeslasi baik berdasarkan quran sunnah melalui
konsultasi dengan perintah agama”.
D. Sumber Hukum Formil Peradilan Agama

Dalam buku Pengantar Ilmu Hukum yang ditulis oleh Prof. Dr. Mr. L.J. van
Apeldoorn2 dijelaskan bahwa hokum perdata Formil mengatur cara mempertahankan
hokum perdata materiil. Itu dijalankan dengan acara, karena itu hokum perdata formil
disebut juga dengan Hukum Acara Perdata.
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya menjelaskan bahwa
hokum acara perdata/hokum formil adalah peraturan hokum yang mengatur
bagaimana cara menjamin ditaatinya hokum perdata materiil dengan perantaraan
hakim. Hokum acara perdata mengatur tentang bagaimana cara mengajukan tuntutan
hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusan tersebut.3
Dari pendapat beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa hokum formil atau
hokum acara perdata ialah hokum yang mengatur tentang tata cara seseorang
berproses di peradilan agama.
Ketentuan mengenai hukum formil yang berlaku di peradilan agama baru ada
sejak lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP No. 9
tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaannya. Berikut beberapa peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada peradilan agama :
 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam UU memuat beberapa ketentuan tentang hukum acara perdata
dalam praktek peradilan di Indonesia.
 Undang-Undang nomor 2 tahun 1986 tentang peradilan umum yang
diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004. Dalam UU ini diatur tentang
susunan dan kekuasaan peradilan di lingkungan peradilan umum serta
prosedur beracara di lingkungan peradilan umum tersebut.
 Undang –Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP nomor
9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana UU perkawinan tersebut.
 Undang-Undang nomor 7 Tahun 1989 jo UU nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, pada pasal 54 dikemukakan bahwa hukum acara yang
berlaku di Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang
berlaku di peradilan umum, kecuali yang diatur khusus dalam UU ini.

E. Asas-Asas Pokok Hukum Formil4


1) Hakim bersifat menunggu
Hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya, kalau
tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka tidak ada hakim. (pasal 118 HIR)
2) Hakim Pasif

2 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2009), hal. 249
3 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2009), hal. 2
4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2009), hal. 10-18
Ruang lingkup atau asas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk
di periksa pada asasnya di tentukan oleh para pihak yang berperkara dan
bukan oleh hakim
3) Sifat terbukanya persidangan
Hal ini bertujuan memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang
peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang adil (pasal 19
ayat 1 dan 20 UU no. 4 tahun 2004)
4) Mendengar kedua belah pihak
Pada hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama di perhatikan,
berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus di beri
kesempatan untuk memberikan pendapatnya.
5) Putusan harus disertai alasan-alasan
6) Beracara dikenakan biaya
Biaya ini meliputi biaya kepaniteraan, biaya untuk pengadilan, pemberitahuan
para pihakn serta biaya materai.
7) Tidak ada keharusan mewakilkan
Tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga
pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang
langsung berkepentingan.
Hukum formil yang berlaku di pengadilan agama adalah hukum acara perdata yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali tentang hal-hal yang secara
khusus telah diatur dalam Undang-Undang peradilan agama, mengenai: cerai talak, cerai gugat,
dan cerai karena alasan zina.5

5
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2005) hal. 289
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai