Anda di halaman 1dari 57

TUGAS MAKALAH

SEMINAR MANAJEMEN PAJAK

“Manajemen Perpajakan Atas Pengelolaan PPh Pemotongan dan


Pemungutan: PPh Pasal 22, 23 dan 4 Ayat (2)”

Oleh :

KELOMPOK 3

Dya Putri Pratiwi (1710536033)


Sri Nia Putri (1710536047)
Gina Alviyory Sabila (1710536056)

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI INTAKE D3


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Ditjen Pajak) untuk memungut pajak adalah
dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan pemungutan dan pemotongan atas pajaknya,
dari pihak lain (pihak ketiga), sesuai dengan kewajiban pajak untuk melakukan pemotongan atau
pemungutan pajak, dan selanjutnya menyetorkan dan melaporkannya ke kantor pajak setiap
bulan berdasarkan ketentuan perpajakan. Cara seperti ini dikenal dengan nama sistem
withholding tax. Dengan cara ini, pemerintah akan lebih mudah dan hemat mengumpulkan pajak
tanpa upaya dan biaya besar. Tugas pemerintah cukup mengawasi saja, dan bila ada wajib pajak
yang tidak menjalankan withholding tax dengan benar, Ditjen Pajak tinggal menerapkan sanksi
administrasi, yang akan menambah pemasukan atau penerimaan negara. Berbeda dengan self
assessment, yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung,
membayar, dan melaporkan kewajiban perpajaknnya sendiri.
Dalam praktiknya, masih saja kita temukan banyak wajib pajak yang tidak memiliki
informasi lengkap mengenai pajak apa saja yang harus dipotong atau dipungut. Sehingga ketika
wajib pajak melaksanakan transaksi pembayaran dan tidak melakukan pemotongan atau
pemungutan PPh, maka konsekuensi yang harus dihadapinya adalah, wajib pajak tersebut akan
dikenai tagihan atas pajak yang tidak/kurang dipungut/dipotong, ditambah dengan sanksi
administrasi. Terkesan kurang adil perlakuan pengenaan sanksi perpajakan terterhadap wajib
pajak pemungut dan pemotong pajak karena mereka dibebani kewajiban untuk memungut pajak
pihak lain (pihak ketiga) yang seharusnya bukan tanggung jawab mereka untuk memungut dan
mengadministrasikannya, melainkan tanggung jawab pemerintah (dalam hal ini adalah Ditjen
Pajak), tetapi ketika wajib pajak pemungut dan pemotong pajak tersebut luput
memotong/memungut pajak yang seharusnya mereka potong/pungut, maka kepada mereka akan
dikenai sanksi perpajakan, tanpa ada kompensasi apa pun atas jumlah pajak yang berhasil
mereka potong/pungut, padahal wajib pajak pemotong/pemungut juga telah mengeluarkan
macam-macam biaya overhead (biaya pegawai, cetakan, dan biaya umum dan administrasi
lainnya) untuk penyelenggaraan administrasinya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

Tax Management Pemotongan dan Pemungutan


Pajak penghasilan pasal 22 diatur dalam KMK-245/KMK.03/2001 sebagaimana diubah
dengan PMK No. 08/PMK.03/2008, menyangkut tentang PPh Pasal 22 impor, PPh Pasal 22
Bendaharawan dan BUMN/BUMD atas pembayaran untuk pembelian dan penyerahan barang
yang dibebankan ke APBN/APBN, PPh Pasal 22 atas kegiatan usaha lain (hasil penjualan
produksi Pertamina, produksi rokok, semen, ototmotif, baja, kertas dan lain-lain), PPh Pasal 22
atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah (PMK No. 253/PMK.03/2008).
PPh Pasal 22 impor menyangkut pemungutan pajak disektor impor, yang berhubungan
dengan penyerahan dan pembayaran barang serta pemasukan barang dari luar daerah pabean ke
dalam daerah pabean. Jika suatu perusahaan mengimpor barang, perusahaan tersebut harus
membayar PPh Pasal 22 Impor pada saat pembayaran bea masuk, dan yang memungut adalah
Ditjen Bea Cukai atau Bank Devisa. PPh Pasal 22 Impor merupakan kredit pajak yang dapat
dikurangkan dari PPh yang terutang diakhir tahun pajak.
Dalam hal impor, tari PPh Pasal 22 ini bervariasi, tergantung pada perusahaannya apakah
mempunyai angka pengenal impor (API) atau tidak, dan kalau tidak dikuasai berarti barang tidak
bertuan. Jika suatu perusahaan memiliki API tarifnya 2,5 % dari nilai impor dan jika tidak
tarifnya 7,5% , dan untuk barang tidak dikuasi dikenakan 7,5% dari harga lelang. Persetase
dihitung dari harga barang atau nilai CIF + BM (Cost Insurance & Freight + Bea Masuk + Bea
Masuk Tambahan, jika ada). Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning. Bagi tax
planner mereka akan mencari tarif terendah dari pajaknya, sehingga dalam melakukan impor, tax
planner yang baik akan merekomendasikan impor dengan API.
Rate yang berbeda akan mendorong orang untuk menggunakan API. Bagaimana mungkin
improtir yang mempunyai API mau menerima permintaan pemilik barang yang kurang atau tidak
dikenalnya untuk menggunakan fasilitas API nya, dikarenakan risikonya yang cukup tinggi.
Apabila si pemilik barang tersebut tidak jujur (barang yang dikeluarkan adalah barang
selundupan) atau barang optik yang harganya sangat mahal tetapi dalam Pemberitahuan lmpor
Barang (PIB) dan dokumen imporya dilaporkan sebarai baraing pecah belah). Bila kasus ini
terlacak oleh Ditjen Bea Cukai begitu juga pemilik barang. Sanksinya sangat berat karena ini
kasus manipulasi import, yang termasuk tindak pidana.
Memfasilitasi penggunaan (“peminjaman”) API yang digunakan oleh unit-unit bisnis
dalam grup perusahaan atau konglomerat yang satu dengan lainnya yang berada dalam payung
kepemilikan perusahaan yang sama, malah itu mungkin menjadi suatu kebijakan bisnis grup-nya
yang harus dijalankan dan dipatuhi. Jika kebijakan ini diimplementasikan, tax planner bisa
berhasil menekan beban PPh Pasal 22 menjadi sebesar 5%, dari yang tadinya 7,5% menjadi
2,5%. Sehingga dapat menghemat cash flow perusahaan selama masa tertentu, walaupun pada
akhirnya PPh Pasal 22 ini akan menjadi kredit pajak dari PPh Badan yang terutang dalam SPT
Tahunan PPh Badan (bila perusahaan dapat profit).
Dalam dunia shipping ( laut dan udara), yang dikenal dengan handling fee, yakni jumlah
fee yang harus dibayar berdasarkan perjanjian handling fee antara impotir yang mempunyai API
dengan pemilik barang atas jasa yang diberikan. Atas pengenaan handling fee tersebut, dipotong
PPh Pasal 23. Cara ini mungkin bisa dipakai oleh orang atau perusahaan yang tidak punya API
dengan “meminjam” bendera perusahaan yang mempunyai API untuk mengeluarkan barang
imporya dengan kompensasi pemberian “handling fee”. Apabila benefitnya (5%) lebih besar dari
cost of handling fee yang dikeluarkan (misalnya 1,5% - 2%), maka si pemilik barang masih bisa
memperoleh tax saving dalam PPh Pasal 22 sebesar 3% - 3,5% dari harga barang import tadi
(yaitu dari cost insurance & freight + bea masuk). Sedangkan bagi perusahaan yang masih rugi,
cara ini akan bisa manghemat cash flow untuk masa tertentu, karena kredit pajak dari PPh Pasal
22 tersebut hanya akan menyebabkan lebih bayar. Jika perusahaan ingin merestitusi Pajak
Penghasilannya terlebih dahulu SPT PPh Badan perusahaan harus diperiksa oleh fiskus atau
pemeriksa pajak.
Ketentuan untuk barang yang tidak dikuasai, atau barang tidak bertuan, adalah membayar
dengan rate yang sama dengan dikenakan pada non API. Bagi tax planner, banyak hal yang bisa
dimanfaatkan dalam hal barang yang tidak dikuasai ini. Memang barang tak bertuan ini, tidak
(mau) diketahui siapa pengimpomya. Biasanya dari importir kemudian ke pemilik barang atau
produsen. Bagi pemerintah, yang dituntut adalah transparansi, siapa yang memiliki barang impor
tersebut, dan mebayar PPh Pasal 22. Suatu barang menjadi barang tak bertuan, atau bukan
barang terlarang, dikarenakan dokumen imporrnya atau shipping documentsnya tidak lengkap,
sehingga sewaktu proses customs clearance di Ditjen Bea Cukai mengalami kendala untuk
mengeluarkan barang tersebut dari pelabuhan atau bandara. Akibatnya, lama kelamaan biaya
penumpukan (storage) di gudang pelabuhan atau airport semakin membengkak dan menjadi
sangat mahal dan importirnya tidak mempunyai API. Dalam kasus semacam itu, apabila importir
atau pemilik barang (consignee) ingin menebus semua biaya penumpukan serta biaya impor (bea
masuk, PPh Pasal 22 dan PPN impor) &customs clearance, maka mungkin total pengeluaran
yang harus dibayarkannya sama atau lebih besar dari nilai jual barang tersebut. Dalam keadaan
sepeti ini, importir atau pemilik barang akan berpikir untuk tidak menebus barang tersebut,
mengikhlaskan saja untuk pemerintah buat dilelang, karena bagi mereka tidak ada lagi nilai
tambah (cost>benefit), bahkan justru akan menambah kerugian. Kerugian tersebut bisa dihindari
atau paling tidak diminimalisasi bila sejak awal sudah diantisipasi kekurangan dokumen
impornya, dengan mengurus kelengkapan dokumen secepatnya (dokumen pembelian dan
pengiriman dari pabrik, bill of lading, dan sebagainya). Kemudian diusahakan untuk meminjam
bendera perusahaan yang mempunyai API untuk mengeluarkan barang tersebut dari pelabuhan
atau airport. Bila semuanya masih menemui jalan buntu, perusahaan masih memiliki waktu
untuk rnenjual barang tersebut kepada importir/pabrikan/trader lain secara win-win solution
daripada mendapatkan total loss.
Tetapi perusahaan yang meminjamkan benderanya juga harus berhati-hati, karena
masalah transaksi peminjaman bendera ini selain dapat menimbulkan masalah pajak, juga dapat
menimbulkan masalah hukum dalam kasus di mana transaksi tersebut dimanfaatkan untuk hal-
hal negatif atau melanggar hukum. Bila hal ini terjadi, maka pihak yang harus bertanggung
jawab adalah pihak perusahaan yang meminjamkan benderanya itu. Berbeda dengan pajak,
masalah pajak dalam suatu aktivitas bisnis lebih melihat kepada apakah ada objek pajak atau
tidak dan apakah kewajiban perpajakannya telah dilaksanakan secara benar sesuai ketentuan
perpajakan, serta syarat formal dan material pembukuannya terpenuhi dalam arti semua transaksi
harus mempunyai bukti pendukung yang sah dan valid serta dapat dibuktikan legalitas
transaksinya. Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal, seperti
tidak melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal (reasonable), serta didukung
oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (kontrak, invoice, dan sebagainya). Oleh sebab itu
untuk meminimalisasi koreksi fiskal pihak fiskus terhadap hal-hal tersebut, solusinya adalah
dengan membuat kontrak yang jelas dan secara transparan mencantumkan hak dan kewajiban
perpajakan masing-masing pihak.
Perusahaan yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22 yang tidak
bersifat final. Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final tidak dapat dikreditkan dalam
SPT Tahunan PPh.

Pemungut PPh Pasal 22


Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.011/2012 tentang perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang
Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain, Pemungut PPh Pasal 22 adalah:
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
2. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah
danlembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang;
3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme
pembayaran langsung (LS);
5. Badan Usaha Milik Negara yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan, yang meliputi:
 PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan
Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk.,
PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama
Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero); dan
 Bank-bank Badan Usaha Milik Negara
 Berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan
untuk keperluan kegiatan usahanya.
6. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada
distributor di dalam negeri;
7. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir
umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
8. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
9. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja adalah industri baja yang
merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara
dan industri hilir.
10. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan
usahanya:mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan; danmenjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang
bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2015, pemerintah
menambahkan pemungut PPh Pasal 22 dengan wajib pajak badan yang melakukan
penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Pengecualian-Pengecualian (Tax Exemption) PPh Pasal 22


Pengecualian-pengecualian pajak yang harus diperhatikan oleh tax planner, untuk impor
barang yang bebas bea masuk yang juga dikecualikan dari PPh impor, begitu juga barang untuk
keperluan pameran, atau keperluan lain yang bersifat sementara. Tax planner akan selalu
memanfaatkan beban pajak yang minimal.
Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, adalah (a) Impor barang dan
atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak
terutang Pajak Penghasilan; (b) Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan
atau Pajak Pertambahan Nilai; sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan No.
254/KMK.03/2001 yang telah diubah dengan KMK No. 392/KMK.03/2001 dan
236/KMK.02/2003 dan 154/ PMK.02/2007 dan terakhir diubah dengan PMK No.
08/PMK.03/2008.

Dikecualikan dari Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22


1. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan
Nilai;
3. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor
kembali;
4. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian
diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk
keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
5. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak berkenaan dengan:
 pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (Bendahara Pemerintah dan
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), bendahara pengeluaran, KPA atau pejabat
penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA)), yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta
rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
 pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (BUMN tertentu dan Bank
BUMN) yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
 pembayaran untuk:
- pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos;
- pemakaian air dan listrik.
6. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas
untuk tujuan ekspor;
7. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS).
Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang impor
sebagaimana dimaksud pada point 2 di atas, tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut
dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen).
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada point 1 dan 6 dinyatakan dengan Surat
Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada point 4, 5, dan 7 di atas dilakukan tanpa Surat
Keterangan Bebas (SKB).
Ketentuan Pengecualian pengenaan PPh Pasal 22 atas kegiatan Impor barang yang
dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau PPN, atas impor sementara dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tata caranya diatur oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai
dan/atau Direktur Jenderal Pajak.

Pengajuan SKB PPh Pasal 22


Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat mengajukan
permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain
kepada Direktur jenderal Pajak karena:
a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang
Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiscal
b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian flskal sepanjang kerugian tersebut
jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan.
c. Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan
terutang.
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan permohonan Surat
Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria, seperti yang dimaksud
dalam keputusan Dirjen Pajak di atas, dan tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan
momentum kapan permohonan SKB PPh Pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih bayar
pajak penghasilan.
Ketentuan Pasal 22 UU No. 36 Tahun 2008, menyatakan bahwa menteri keuangan dapat
menetapkan bendahara pemerintah untuk memungut pajak, sehubungan dengan pembayaran atas
penyerahan barang, badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari wajib pajak yang
melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, dan wajib pajak badan
tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat
mewah.
Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak,
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Ketentuan Menteri Keuangan mengenai pengenaan
PPh Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.O3/2001 sebagai mana telah diubah terakhir dengan
PMK No.08/PMK.O3/2008. Secara garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat 3 kelompok,
yaitu:
1. PPh Pasal 22 lmpor
Besarnya PPh Pasal 22 Impor adalah:
a. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API):
 Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir, dikenai tarif
sebesar O,5% dari nilai impor.
 Selain impor gandum dan tepung terigu oleh importir yang memiliki API tetap
dikenai 2,55% dari nilai impor.
b. Yang tidak menggunakan API sebesar 7, 5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor.
c. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5 % (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
Catatan:
- Nilai impor: Harga Patokan Impor (nila1 CIF) + Bea Masuk + Bea masuk
tambahan (jika ada)
- Kurs yang digunakan untuk menghitung nilai impor adalah kurs berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan
PPh Pasal 22 impor tersebut di atas dipungut oleh Ditjen Bea dan Cukai atau bank
devisa pada saat pembayaran bea masuk. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak
yang dapat dikurangkan dari PPh terutang di akhir tahun pajak.

Impor barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh Final


 Atas impor barang yang. digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas
imbalannya semata-mata dikenakan PPh flnal, tidak dikenai IPPh Pasal 22 impor.
 WP dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang bersangkutan.
 Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidak digunakan untuk
kegiatan yang tidak dikenakan PPh final, maka PPh Pasal 22 yang terutang akan
ditagih beserta dengan sanksi bunganya.

2. PPh Pasal 22 Bendaharawan. dan BUMN/BUMD


Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan ke
APBN/D, besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah sebesar 1,5% dari harga
beli yang dipungut pada saat pembayaran. Pemungutan dilakukan oleh Ditjen Anggaran,
Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau BUMN/D yang dananya berasal
dari APBN/D.
PPh Pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus
disetor oleh pemungut dengan menggunakan SSP atas nama Wajib Pajak yang dipungut
(penjual).

3. PPh Pasal 22 atas Keglatan Usaha Lain


Rincian besarnya PPh Pasal 22 untuk kegiatan usaha lain yang harus dipungut oleh wajib
pajak pemungut di nama tarifnya sangat bervariasi tergantung pada jenis usahanya:
a. Atas impor:
 barang-barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013, sebesar 7,5% (tujuh setengah
persen) dari nilai impor
 yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;
 non-API = 7,5% x nilai impor;
 yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
b. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)
c. Atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP) oleh
bendahara pengeluaran dan pembelian barang, sebesar 1,5% (satu setengah persen)
dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
d. Berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang
dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS) oleh Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi
oleh Kuasa Pengguna yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
e. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak, yaitu:
 Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
 Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
 Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
 Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
 Obat = 0,3 % x DPP PPN (Tidak Final)
f. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir
bahan bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
 bahan bakar minyak sebesar:
- 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian
bahan bakar umum Pertamina;
- 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan
bakar umum bukan Pertamina;
- 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada pihak-pihak selain di atas;
 bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai;
 pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen
bersifat tidak final
g. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
h. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan
API = 0,5% x nilai impor.
i. Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang
Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan
bermotor sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai.
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk
yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan
lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
kepabeanan di bidang impor.
Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud di atas yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus
persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan
Nomor Pokok Wajib Pajak. Ketentuan ini berlaku untuk pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 yang bersifat tidak final.

4. PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah


Sesuai dengan PMK No. 253/PMK.O3/2OO8 sebagaimana telah dirubah menjadi PMK
No. 90/PMK.03/2015 tentang Wajib pajak badan tertentu sebagai pemungut PPh dari
pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah, pemungut pajak adalah
Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah yang
diwajibkan memungut Pajak Penghasilan pada saat melakukan penjualan barang yang
tergolong sangat mewah.
Besarnya Pajak Penghasilan adalah sebesar 5% (lima persen) dari harga jual, tidak termasuk
PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Barang yang tergolong sangat mewah
sebagaimana dimaksud adalah:
 Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-
 Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
 Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp
10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
 Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih
dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
 Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan
dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak
termasuk PPN dan PPnBM

Saat Terutang dan Pembayaran


 PPh Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan dan
tidak termasuk dalam pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22, Pasal 22 terutang dan
dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas impor.
 PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah dan KPA, bendahara
pengeluaran dan pejabat penerbit Surat Perintah Membayar, dan pembelian barang
dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh BUMN tertentu dan Bank
BUMN, terutang dan dipungut pada saat pembayaran.
 PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi Badan usaha yang bergerak dalam bidang
usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi
dan atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh ATPM,
APM dan importir umum kendaraan bermotor terutang dan dipungut pada saat penjualan.
 PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas terutang
dan dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang (delivery order).

Pembayaran PPh Pasal 22


PPh Pasal 22 adalah cicilan PPh pada tahun berjalan. Pada akhir tahun, cicilan ini akan
diperhitungkan menjadi kredit pajak PPh badan atau PPh orang pribadi. PPh Pasal 22 yang
berbentuk SSE, artinya PPh Pasal 22 tersebut dibayar langsung ke bank persepsi oleh wajib
pajak yang bersangkutan pada saat transaksi. Transaksi yang wajib dibayar langsung adalah
transaksi yang berkaitan dengan impor dan bendahara.
Cara Penyetoran
1. Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh
importir yang bersangkutan atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ke kas negara melalui
Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Penyetoran
dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah dan KPA,
bendahara pengeluaran dan pejabat penerbit Surat Perintah Membayar, wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama
rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.
3. Surat Setoran Pajak tersebut berlaku juga sebagai Bukti Pemungutan Pajak. Pemungutan
PPh Pasal 22 oleh pemungut pajak selain , wajib disetor oleh pemungut ke kas negara
melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak.
4. Pemungut wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22.

Kewajiban Pelaporan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pemungut pajak wajib melaporkan hasil
pemungutannya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan Pajak.
Semua Pemungutan PPh Pasal 22 bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai
pembayaran PPh dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut, kecuali atas penjualan
bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh Produsen atau importir bahan bakar
minyak, bahan bakar gas, dan pelumas kepada penyalur/agen.
B. PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) adalah pajak yang dikenakan pada
penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21.

Pajak adalah pungutan. Suka atau tidak, itu adalah suatu pemaksaan yang dilegalisasi
melalui undang-undang. Undang-undang ini tujuannya untuk memberi kesan bahwa pungutan itu
tidak sama dengan perampasan. Bagaimanapun juga, itu adalah suatu pengeluaran yang tidak asa
direct benefit-nya. Oleh karena itu sepanjang tidak ada aturannya, sah saja kalau tidak dibayar.
Kalau ada pemotongan dan pungutan, masyarakat cenderung untuk shifting dari objek-objek
yang kena pemotongan atau pemungutan, melakukan shifting hingga menjadi tidak kena pajak
atau shifting dari tarif yang besar ke tarif yang kecil. Mereka akan bermain dengan kata-kata atau
terminologi, hingga muncul istilah yang aneh-aneh. Setiap ada terminologi yang kena pajak,
mereka akan mencari terminologi lain yang tidak tercakup dalam ketentuan.

Tidak jarang terjadi dispute dalam bisnis tentang kewajiban memungut PPh pasal 23, di
mana perusahaan pemilik proyek atau penerima jasa mengharuskan adanya pemungutan atau
pemotongan PPh pasal 23 dari pihak ketiga, sedangkan pihak pemberi jasa (kontrakor) tidak
bersedia dipotong pajaknya karena tidak ada pasal pemotongannya dalam kontrak perjanjian.
Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh pasal 23, dan transaksi ini ditemukan
oleh fiskus pada saat dilakukan pemerikasaan pajak, maka perusahaan pemilik proyek akan
dikenai kewajiban untuk membayar PPH pasal 23 (withholding tax) yang terutang ditambah
denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.

Umumnya penghasilan jenis ini terjadi saat adanya transaksi antara pihak yang menerima
penghasilan (penjual atau pemberi jasa) dan pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan
(pembeli atau penerima jasa) akan memotong dan melaporkan PPh pasal 23 tersebut kepada
kantor pajak.pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan
dengan pembayaran berupa dividen, bunga, royalti, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam
negeri, dan BUT. WP badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23, sedangkan WP orang
pribadi tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23. Demikian sebaliknya, apabila WP
menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan pemberi
penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 23, maka atas penghasilan
yang diterima akan dipotong PPh Pasal 23 oleh si pihak pemotong tersebut.

Pengajuan SKB PPh Pasal 23


Seperti pengajuan SKB PPh Pasal 22 yang telah dibahas di atas, ketentuan yang sama
berlaku juga pada PPh Pasal 23 dengan dasar peraturan pelaksanaan yang sama, yakni sesuai
dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, di mana wajib pajak dapat mengajukan
permohonan pembebasan pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 23 oleh pihak lain kepada
Direktur Jenderal Pajak dengan kriteria seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen Pajak.
Tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum pengajuan permohonan SKB PPh
Pasal 23 tersebut agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.
PPh Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak
dalam negeri dan BUT (bentuk usaha tetap) yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau
penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Sampai akhir tahun 2008, ketentuan mengenai jenis jasa yang dipotong PPh Pasal 23,
sesuai dengan ketentuan PER-70/P]./2007 yang mulai berlaku sejak 9 April 2007 sebagai
pengganti PER-178/PJ./2006 (yang mencabut. KEP-170/PJ./2002). Muiai tahun 2009, ketentuan
lebih lanjut mengenai jasa lain diatur dalam PMK No.244/PMK.03/2008. Sebagaimana telah
diubah dengan PMK No. 141/PMK.03/2015. Yang mana Objek PPh Pasal 23 telah ditambahkan
oleh pemerintah hingga menjadi 62 jenis jasa lainnya.

Pemotong PPh pasal 23

1. Badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong PPh 23, yaitu:
a. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali
PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan
bebas;
b. Orang Pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan sebagai
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri tertentu
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak. Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri tertentu wajib
memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa.

Subjek Pajak PPh Pasal 23


1. Wajib Pajak (WP) dalam negeri, baik orang pribadi atau badan
2. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Objek Pajak PPh Pasal 23


1. Dividen.
2. Bunga.
3. Royalti.
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain kepada Orang Pribadi.
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah
dan/atau bangunan.
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Penghasilan yang dikecualikan PPh Pasal 23


PPh Pasal 23 juga mengatur beberapa penghasilan yang tidak dikenakan pajak dengan rincian
daftar sebagai berikut:
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi;
3. Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f (dividen atau bagian laba
yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,
koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia) dan
dividen yang diterima oleh Orang Pribadi, dengan syarat
a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
b. Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMD, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor;

Dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimkasud dalam Pasal 17 ayat
(2c) UU PPh, tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividend yang dibagikan
kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen) dan bersifat final.

4. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
6. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan, yaitu:
a. Perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga
keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin
usaha dan menteri keuangan
b. BUMN atau BUMD yang khusus didirikan untuk memberikan sarana pembiayaan
bagi usaha mikro, menengah, dan koperasi, termasuk PT (Persero) Permodalam
Madani
7. Imbalan sehubungan dengan jasa/keuangan yang telah dipotong PPh pasal 21
8. Imbalan sehubungan dengan jasa lain sesuai PMK-141telah dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri.

Hak dan Kewajiban Pemotong PPh 23

1. Memotong PPh pasal 23 yang terutang sesuai ketentuan yang berlaku,


2. Menyetorkan PPh pasal 23 yang telah dipotong ke Kas Negara (paling lambat tgl 10
bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir),
3. Membuat bukti potong PPh Pasal 23,
4. Melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23 (paling lambat tgl 20 bulan berikutnya setelah
masa pajak berakhir)
5. Menyerahkan bukti potong PPh Pasal 23 kepada penerima penghasilan (pihak yang
dipotong PPh pasal 23),

Hak dan Kewajiban Penerima penghasilan yang dipotong PPh 23 :

1. Meminta bukti potong PPh pasal 23 kepada pemotong pajak,


2. Mengkreditkan PPh pasal 23 yang telah dipotong dan melaporkannya dalam SPT
Tahunan sesuai dengan tahun pajak dilakukannya pemotongan

Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 23

Tarif PPh 23 adalah tarif yang dikenakan atas penghasilan yang berasal dari modal, hadiah &
penghargaan serta penyerahan jasa selain yang telah dipotong PPh 21.

Seperti yang termuat dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, PPh 21
diberlakukan untuk Penghasilan Kena Pajak yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan wajib pajak. Sumber penghasilan yang dimaksud dalam hal ini di antaranya adalah
upah, honorarium, gaji, tunjangan, dana pensiun dan imbalan lain.

Subjek pajak yang dikenai tarif PPh 23 adalah wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan
bentuk usaha tetap. Sementara itu, pemotong PPh Pasal 23 adalah badan pemerintah, subjek
pajak dalam negeri, bentuk usaha tetap, penyelenggara kegiatan, perwakilan perusahaan luar
negeri, dan orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.

Berdasarkan aturan yang berlaku dan tercantum dalam UU PPh, tarif PPh 23 dibedakan atas dua
jenis. Berikut ini ulasannya:

1. Tarif PPh 23 sebesar 15%


Wajib pajak diharuskan membayar PPh sebesar 15% dari jumlah bruto atas dividen,
bunga, royalti, dan hadiah, penghargaan, bonus, atau sejenisnya, selain yang belum
dipotong oleh PPh Pasal 21.
Seperti yang tercantum di dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36 Tahun 2008 tentang PPh, dividen
yang dimaksud termasuk dividen yang diterima oleh pemegang polis dari perusahaan
asuransi serta pembagian sisa hasil usaha koperasi. Bunga adalah diskonto, premium, dan
imbalan karena jaminan pengembalian utang. Sementara yang dimaksud dengan royalti
adalah imbalan atas penggunaan hak.
2. Tarif PPh 23 sebesar 2%
Wajib pajak diharuskan membayar PPh sebesar 2% dari jumlah bruto atas sewa dan
penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan harta. Sewa dan penghasilan lain
yang berasal dari penggunaan tanah dan bangunan dikecualikan dari pajak ini Dasar
hukumnya dapat kita temukan pada pasal 4 ayat (2) bagian d.
Tarif ini juga berlaku untuk jumlah bruto dari imbalan jasa teknik, jasa konstruksi, jasa
manajemen, dan jasa konsultan. Selain itu, ada beberapa jenis jasa lain yang dikenakan
tarif PPh 23 2%, yaitu jasa penilai, jasa akuntansi, jasa hukum, jasa perancang, jasa
pengolahan limbah, jasa penerbitan/percetakan, jasa penerjemahan, jasa sertifikasi, dan
lain sebagainya seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Dividen

15% dari jumlah bruto atas :

A. Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis
asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan
dalam bentuk apapun;
2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus
yang berasal dari kapitalisasi agio saham; Kecuali apabila pemberian saham bonus
yang dilakukan tanpa penyetoran berasal dari:
a. kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal atau
membelisaham di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang
dimilikinya setelah pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal;
dan
b. kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap.
4. pembagian laba dalam bentuk saham.
5. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang
bersangkutan;
7. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika
dalam tahuntahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran
kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan
secara sah;
8. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai
penebusan tandatanda laba tersebut;
9. bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11. pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan
sebagai biaya perusahaan.

Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung,
misalnyadalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan
pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal
yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku
di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut
tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.

Pembagian laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba
termasuk saldo laba berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali
bagian laba yang bukan objek pajak.
B. Saat terutang adalah saat disediakan untuk dibayarkan Yang dimaksud dengan “saat
disediakan untuk dibayarkan” adalah :
 untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang
dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan
membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan Pasal
23 UndangUndang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau
ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran
Dasar perseroan yang bersangkutan.
 Untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan
pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan
lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen baru dapat dilakukan setelah
parapemegang saham yang berhak “menerima atau memperoleh” dividen tersebut
diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.

Bunga

A. Yaitu bunga pinjaman dari Wajib Pajak Badan ke Wajib Pajak Badan dan/atau dari Wajib
Pajak Orang Pribadi ke Wajib Pajak Orang Pribadi serta denda keterlambatan
pembayaran. Dalam pengertian bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena
jaminan pengembalian utang.
B. Saat terutangnya Pajak adalah pada saat pembayaran, dan saat jatuh tempo pembayaran
yaitu saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan,
baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.
Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk
perseroan terbatas diperkenankan apabila:
1. pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan
berasal dari pihak lain;
2. modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor
seluruhnya;
3. pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
4. perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk
kelangsungan usahanya.

Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari
pemegang sahamnya tidak memenuhi ketentuan ini,maka atas pinjamantersebut terutang bunga
dengan tingkat suku bunga wajar.

Royalti

A. Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan
apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau
karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek
dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/ perlengkapan industrial, komersial,
atau ilmiah;
3. Pemberian pengetahuan atau informasi dibidang ilmiah, teknikal, industrial, atau
komersial;
4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau
hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak
menggunakan peralatan/ perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian
pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
 penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa;
 penggunaan atau hak menggunakan rekamangambar atau rekaman suara atau
keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/ dipancarkan melalui
satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
 penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio
komunikasi;
5. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film
atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau
pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana
tersebut diatas.
B. Saat terutangnya adalah pada saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau
faktur.
Saat Pemotongan untuk Dividen, Bunga, dan Royalti
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 dilakukan pada akhir bulan dibayarkannya
penghasilan, disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau jatuh temponya
pembayaran penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih
dahulu.

Hadiah, Penghargaan, Bonus, dan Sejenisnya

Dikenakan PPh Pasal 23 jika hadiah atau penghargaan perlombaan, penghargaan, dan hadiah
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya diterima oleh WP Badan termasuk
BUT.

Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan Penggunaan Harta

A. Merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan


untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan
perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan
oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati.
B. Saat terutangnya adalah pada saat pembayaran dan jatuh tempo.

Imbalan Sehubungan dengan Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Jasa Konstruksi, Jasa
Konsultan, dan Jasa Lain

A. Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang
berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan
yang dapat meliputi :
1. pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan
dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik;
2. pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian
informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan
dan sebagainya; atau
3. pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen,
seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi
yang telah ditentukan oleh pengguna jasa.
B. Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam
pelaksanaan ataupengelolaan manajemen.
C. Jasa konsultan merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat)
profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh
tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan
langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.
D. Jenis jasa lain terdiri dari:
1. Jasa penilai (appraisal);
2. Jasa aktuaris;

3. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;

4. Jasa hukum;

5. Jasa arsitektur;

6. Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;

7. Jasa perancang (design);

8. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas),
kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;

9. Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas
bumi (migas);

10. Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas bumi dan
penambangan minyak dan gas bumi (migas);

11. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;

12. Jasa penebangan hutan;

13. Jasa pengolahan limbah;


14. Jasa penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);

15. Jasa perantara dan/atau keagenan;

16. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh
Bursa Efek, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan
Efek Indonesia (KPEI);

17. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh Kustodian


Sentral Efek Indonesia (KSEI);

18. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;

19. Jasa mixing film;

20. Jasa pembuatan saranan promosi film, iklan, poster, photo, slide,
klise, banner, pamphlet, baliho dan folder;

21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;

22. Jasa pembuatan dan/atau pengelolaan website;

23. Jasa internet termasuk sambungannya;

24. Jasa penyimpanan, pengolahan, dan/atau penyaluran data, informasi, dan/ a tau
program;

25. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau
TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di
bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;

26. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas,


AC, TV kabel, dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan inempunyai izin dan/atau sertifikasi
sebagai pengusaha konstruksi;

27. Jasa perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat, laut dan udara;

28. Jasa maklon ;


Jasa maklon adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu
barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa
(disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau
bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya
disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada
pengguna jasa. (Pasal 2 ayat (4) PMK-141/PMK.03/2015)

29. Jasa penyelidikan dan keamanan;

30. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;

Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer adalah kegiatan usaha yang
dilakukan oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan meliputi antara lain
penyelenggaraan pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar, peluncuran
produk, konferensi pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa
penyelenggara kegiatan. (Pasal 2 ayat (5) PMK-141/PMK.03/2015)

31. Jasa penyediaan tempat. dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau
media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;

32. Jasa pembasmian hama;

33. Jasa kebersihan atau cleaning service;

34. Jasa sedot septic tank;

35. Jasa pemeliharaan kolam;

36. Jasa katering atau tata boga;

37. Jasa freight forwarding;

Jasa freight forwarding adalah kegiatan usaha yang ditujukan untuk mewakili
kepentingan pemilik untuk mengurus semua/sebagian kegiatan yang diperlukan
bagi terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang melalui transportasi darat,
laut, dan/atau udara, yang dapat mencakup kegiatan penerimaan, penyimpanan,
sortasi, pengepakan, penandaan, pengukuran, penimbangan, pengurusan
penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen angkutan, perhitungan biaya
angkutan, klaim, asuransi atas pengiriman barang serta penyelesaian tagihan dan
biaya-biaya lainnya berkenaan dengan pengiriman barang-barang tersebut sampai
dengan diterimanya barang oleh yang berhak menerimanya. (Pasal 2 ayat
(6 PMK-141/PMK.03/2015)

38. Jasa logistik;

39. Jasa pengurusan dokumen;

40. Jasa pengepakan;

41. Jasa loading dan unloading;

42. Jasa laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau
institusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;

43. Jasa pengelolaan parkir;

44. Jasa penyondiran tanah;

45. Jasa penyiapan dan/atau pengolahan lahan;

46. Jasa pembibitan dan/atau penanaman bibit;

47. Jasa pemeliharaan tanaman;

48. Jasa pemanenan;

49. Jasa pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan/atau


perhutanan

50. Jasa dekorasi;

51. Jasa pencetakan/penerbitan;

52. Jasa penerjemahan;

53. Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-
Undang Pajak Penghasilan;

54. Jasa pelayanan kepelabuhanan;

55. Jasa pengangkutan melalui jalur pipa;

56. Jasa pengelolaan penitipan anak;

57. Jasa pelatihan dan/atau kursus;

58. Jasa pengiriman dan pengisian uang ke ATM;

59. Jasa sertifikasi;


60. Jasa survey;

61. Jasa tester, dan

62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.

E. Bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP akan dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh
Pasal 23.

F. Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas) berupa:

1. Jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur semen


secara tepat di antara p1pa selubung dan lubang sumur;
2. Jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen
untuk maksud-maksud:
a. Penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;
b. Penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;
c. Perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal; dan
d. Penutupan sumur.
3. Jasa pengontrolan pasir (sand contron, yaitu jasa ·yang menJamm bahwa bagian-
bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam
rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa.
4. Jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya
tembus formasi dan menaikan produktivitas dengan jalan menghilangkan material
penyumbat yang tidak diinginkan;
5. Jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal
cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai
daya tembus sangat kecil;
6. Jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang
dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru
yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi
dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen yang telah
dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur;
7. Jasa uji kandung lapisan (drill steam testing), penyelesaian sementara suatu sumur
baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi;
8. Jasa reparasi pompa reda (reda repair);
9. Jasa pemasangan instalasi dan perawatan;
10. Jasa penggantian peralatan/material;
11. Jasa mud fogging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur;
12. Jasa mud engineering;
13. Jasa well logging dan perforating;
14. Jasa stimulasi dan secondary decovery;
15. Jasa well testing dan wire line service;
16. Jasa alat control navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;
17. Jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling;
18. Jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling;
19. Jasa directional drilling dan surveys;
20. Jasa exploratory drilling;
21. Jasa location stacking/ positioning;
22. Jasa penelitian pendahuluan;
23. Jasa pembebasan lahan;
24. Jasa penyiapan lahan pengeboran seperti pembukaan lahan, pembuatan sumur air,
penggalian lubang cadangan, dan lain-lain;
25. Jasa pemasangan peralatan rig;
26. Jasa pembuatan lubang utama dan pembukaan lubang rig;
27. Jasa pengeboran lubang utama dengan mesin bor kecil;
28. Jasa penggalian lubang tambahan;
29. Jasa penanganan penempatan sumur dan akses transportasi;
30. Jasa penanganan arus pelayanan (service line) dan komunikasi;
31. Jasa pengelolaan air (water system};
32. Jasa penanganan rigging up dan/ atau rigging down;
33. Jasa pengadaan sumber daya manusia dan sumber daya lain seperti peralatan
(tools), perlengkapan (equipment) dan kelengkapan lain;
34. Jasa penyelaman dan/atau pengelasan;
35. Jasa proses completion untuk membuat sumur siap digunakan;
36. Jasa pump fees;
37. Jasa pencabutan peralatan bor;
38. Jasa pengujian kadar minyak;
39. Jasa pengurusan legalitas usaha;
40. Jasa sehubungan dengan lelang;
41. Jasa seismic reflection studies;
42. Jasa survey geomagnetic, gravity, dan survey lainnya; dan
43. Jasa lainnya yang sejenis yang terkait di bidang pengeboran, produksi dan/atau
penutupan pertambangan minyak dan gas bumi (migas).
G. Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas bumi dan
penambangan minyak dan gas bumi (migas) adalah semua jasa penambangan dan jasa
penunjang di bidang pertambangan umum berupa:
1. Jasa pengeborah;
2. Jasa penebasan;
3. Jasa pengupasan dan pengeboran;
4. Jasa penambangan;
5. Jasa pengangkutan/ sistem transportasi, kecuali Jasa angkutan umum;
6. Jasa pengolahan bahan galian;
7. Jasa reklamasi tambang;
8. Jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi, dan
penggalian/pemindahan tanah;
9. Jasa mobilisasi dan/ atau demobilisasi;
10. Jasa pengurusan legalitas usaha;
11. Jasa peminjaman dana;
12. Jasa pembebasan lahan;
13. Jasa stockpiling; dan
14. Jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum.
H. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara berupa:
1. Bidang aeronautika, termasuk:
a. Jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara, dan jasa lain
sehubungan . dengan pendaratan pesawat udara;
b. Jasa penggunaan jembatan pintu (avio bridge);
c. Jasa pelayanan penerbangan;
d. Jasa ground handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses
pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan
pesawat udara, baik yang berangkat maupun yang datang, selama pesawat
udara di darat; dan
e. Jasa penunjang lain di bidang aeronautika.
2. Bidang non-aeronautika, termasuk:
a. Jasa katering di pesawat dan jasa pembersihan pantry pesawat; dan
b. Jasa penunjang lain di bidang non-aeronautika.
I. Atas Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain ini dipotong Pajak Penghasilan oleh pihak yang wajib
membayarkan sebesar 2% dari jumlah bruto tidaktermasuk Pajak Pertambahan Nilai.
Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.
Jumlah bruto sebagaimana dimaksud pada PMK-141/PMK.03/2015:
1. untuk jasa katering adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dan
2. untuk jasa selain jasa katering adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
usaha tetap, tidak termasuk:
a. pembayaran gajl, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak
penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan,
berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
b. pembayaran kepada penyedia jasa atas pengadaan/pembelian barang atau
material yang terkait dengan jasa yang diberikan;
c. pembayaran kepada pihak ketiga yang dibayarkan melalui penyedia jasa,
terkait Jasa yang diberikan oleh penyedia jasa; dan/ atau
d. pembayaran kepada penyedia Jasa yang merupakan penggantian
(reimbursement) atas biaya yang telah dibayarkan penyedia jasa kepada pihak
ketiga dalam rangka pemberian jasa bersangkutan.
J. Pembayaran sebagaimana dimaksud diatas tidak termasuk dalam jumlah bruto sebagai
dasar pemotongan Pajak Penghasilan sepanjang dapat dibuktikan dengan:
1. kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
2. faktur pembelian atas pengadaan/pembelian barang atau material
3. faktur tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis
4. faktur tagihan dan/ atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh penyedia
jasa kepada pihak ketiga.
K. Dalam hal tidak terdapat bukti, jumlah bruto sebagai dasar pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 23 adalah sebesar keseluruhan pembayaran kepada penyedia jasa, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

Pembayaran PPh Pasal 23

Pembayaran dilakukan oleh pihak pemotong dengan membuat kode/ID billing terlebih dahulu,
lalu membayar melalui Bank Persepsi (ATM, teller bank, fitur bayar pajak online di aplikasi
pajak, dll) yang telah disetujui oleh Kementerian Keuangan. Jatuh tempo pembayaran adalah
tanggal 10, sebulan setelah bulan terutang pajak penghasilan 23.

Tempat Pemotongan

1. Atas transaksi-transaksi yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang


pembayarannya dilakukan oleh kantor pusat, maka PPh Pasal 23 dipotong, disetor, dan
dilaporkan oleh kantor pusat.
2. Atas transaksi-transaksi yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang
pembayarannya dilakukan oleh kantor cabang, misalnya pembayaran sewa mesin oleh
kantor cabang, PPh Pasal 23 dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh kantor cabang yang
bersangkutan.
3. Ketentuan tentang pemusatan pelaksanaan pemotongan, penyetoran, pelaporan PPh Pasal
23 tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan

Bukti Potong PPh Pasal 23

Tanda bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong. Pihak pemotong harus memberikan bukti potong
(rangkap ke-1) yang sudah dilengkapi kepada pihak yang dipotong pajak dan bukti potong
(rangkap ke-2) kepada Kantor Pelayanan Pajak pada saat melakukan e-Filing pajak PPh 23.

Pelaporan PPh Pasal 23

Pelaporan dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi SPT Masa PPh Pasal 23, lalu
bisa melaporkannya melalui fitur lapor pajak online. Jatuh tempo pelaporan adalah tanggal 20,
sebulan setelah bulan terutang pajak penghasilan 23.

Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 adalah :

1. Undang-Undang PPh Pasal 23

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008

3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2011.
Penggunaan Metode Gross Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 26/21/23 Yang
Ditanggung Oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja
(Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 Tahun 2000)
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap termasuk Pajak
Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali:
a. Pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1). UU PPh tetapi
tidak termasuk dividen.
b. Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghi tungan dasar untuk
pemotongah pajak.
Pajak Penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 dapat
ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi kerja, dengan perlakuan perpajakan sebagai
berikut:
 Dalam hal PPh 21 ditanggung oleh pemberi Ipenghasilan, sesuai dengan ketentuan
perpajakan, pajak tersebut diperlakukan sama seperti kenikmatan, yaitu sebagai bukan
biaya pemberi kerja dan bukan penghasilan pegawal yang menerimanya.
 Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (l) kecuali dividen yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, dapat dibebankan
sebagai biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan (gross up) pada penghasilan yang
dipakai sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut.
Contoh:
PT ABC membayar bunga pinjaman kepada bank di luar negeri sebesar Rp 100.000.000 yang
sesuai dengan perjanjian, Pajak Penghasilannya ditanggung oleh badan tersebut. Tarif
pemotongan PPh Pasal 26 yang berlaku adalah 20%.
Dasar Pengenaan PPh Pasal 26 =
100/80 x Rp 100.000.000 = Rp 125.000.000
PPh Pasal 26 yang terutang =
20% x Rp 125.000.000 = Rp 25.000.000
Jumlah biaya bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT ABC
adalah Rp 125.000.000 (=Rp 100.000.000 + Rp 25.000000).
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 23 pada SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa
PPh Pasal 23
Ekualisasi pajak adalah mencocokan data di SPT (pencocokannya disajikan terperinci per
transaksi) dengan pos-pos yang terdapat di buku-buku pengeluaran/pembelian/penjualan yang
memiliki hubungan dalam pembukuan dan atau laporan jenis pajak yang lain (baik sebagian
maupun keseluruhan).
Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasa123, jumlah penghasilan bruto dalam SPT
Masa PPh Pasal 23 dicocokan dengan pos pengeIuaran yang menjadi objek pemotongan PPh
Pasal 23 seperti biaya sewa, bunga pinjaman, royalty dan biaya sehubungan dengan
jasa Lampiran 2 SPT PPh Badan dan pada laporan keuangan.
Ekualisasi PPh Pasal 23/26 dan PPh Pasal 4 ayat 2/ PPh pasal 15 didasarkan pada
pengakuan jumlah biaya pada laporan laba/rugidan telah dilaporkan dalam formulir 1771 -II
form 1771-IV SPT Tahunan PPh Badan.
Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 23
yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga manyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar
dari hasil pemeriksaan tersebut.
Hal ini disebabkan karena:
1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 23 yang belum dilakukan
pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja
2. Jumlah PPh Pasal 23 yang disetorkan ke kas negara tidak cocok atau lebih rendah dari
jumlah yang dipotong oleh wajib pajak
3. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak cocok
dengan SPT PPh Masa PPh Pasal 23.
4. Keterlambatan pemotongan (perbedaan tahun pemotongan)
5. Selisih kurs pecatatan pada pembukuan dan pemotongan PPh pasal 23/26

Contoh:
Berikut ini adalah rekapitulasi dari ekualisasi PPh Pasal 23:
- Jumlah PPh Pasal 23 menurut tax review, bardasarkan
penjumlahan transaksi dari keseluruhan objek PPh Pasal 23 Rp 400.000.000
- Jumlah PPh Pasal 23 menurut SPT Masa PPh Pasal 23 Rp 200.000.000
Kekurangan bayar atau setor: PPh Pasal 23 Rp 200.000.000

Hasil ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar atau setor
PPh Pasal 23 sebesar Rp 200.000.000 yang harus dilakukan pengecekan lebih lanjut oleh wajib
pajak terhadap bukti-bukti pendukung dan transaksi-transaksi apa saja yang dimuat dalam
kontrak perjanjian yang sudah disetujui. Tentu saja kelalaian atau keterlambatan dalam
penyelesaian kurang bayar atau setor PPh Pasal 23 tersebut hanya akan menambah beban
tambahan bagi wajib pajak dari pengenaan bunga pajak @ 2% setiap bulannya maksimum 24
bulan (Pasal 13 ayat 2 UU KUP
Jika terjadi keterlambatan pelaporan dan pembayaran pajak, perlu dijelaskan dengan
melampirkan SPT yang dimaksud untuk menghindari pengenaan pajak yang tidak
semestinya sehinnga hanya dikenakan bunga keterlambatan.
Contoh kertas kerja ekualisasi PPh Pasal 23/26
C. PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT (2) FINAL

Pengertian PPh Pasal 4 Ayat (2)

PPh Pasal 4 Ayat (2) adalah pajak penghasilan atas jenis penghasilan-penghasilan tertentu yang
bersifat final dan tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan terutang.Istilah final di sini
berarti bahwa pemotongan pajaknya hanya sekali dalam sebuah masa pajak dengan
pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat waktu dan
pertimbangan lainnya. Karakteristik PPh Final Pasal 4 ayat 2:

 Pengenaannya diatur khusus dengan peraturan pemerintah


 Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabung dengan penghasilan lainnya
(dianggap selesai/rampung)
 Jumlah pph final baik yang telah dipotong sendiri atau dipotong oleh pihak lain tidak
dapat dikreditkan.
 Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan yang dikenai PPh final
tidak dapat dikurangkan.

Subjek dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)

Subjek pajak yang karena ketentuan dari Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan
menjadi Wajib Pajak adalah semua subjek pajak yang memperoleh penghasilan berupa bunga
deposito dan tabungan-tabungan lainnya; penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya
di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan dan penghasilan
tertentu lainnya. Sedangkan objek pajaknya adalah penghasilan yang berupa:

1. Diskonto/bunga obligasi dan surat utang negara


2. Penghasilan dari transaksi penjualan saham, obligasi dan sekuritas lainnya yang
diperdagangkan di Bursa Efek
3. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI
4. Penghasilan berupa hadiah atas undian
5. Penghasilan atas sewa tanah dan atau bangunan
6. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
7. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
8. Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri
9. Diskonto Surat Pembendaharaan Negara
10. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi
11. Pajak Penghasilan atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan
Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal Pada Perusahaan Pasangan Usahanya
12. Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu.

Penghasilan-penghasilan tersebut merupakan objek pajak. Berdasarkan pertimbangan-


pertimbangan antara lain:

 Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat;
 Kesederhanaan dalam pemungutan pajak;-berkurangnya beban administrasi baik bagi
Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;
 Pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan-memerhatikan perkembangan ekonomi dan
moneter, atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri
dalam pengenaan pajaknya.

Pertimbangan tersebut juga mendasari perlunya pemberian perlakuan tersendiri terhadap


pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara
pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut
diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

1. Diskonto atau Bunga Obligasi yang Diperdagangkan dan atau Dilaporkan


Perdagangannya di Bursa Efek (PP No 16 Th 2009)
Objek Pajak
a. Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih dari 12
(dua belas) bulan.
b. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang baik dalam
mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya
oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, yang terdiri atas Surat
Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara.
c. Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegang Obligasi
dalam bentuk bunga dan/atau diskonto. Atas penghasilan yang diterima dan/atau
diperoleh Wajib Pajak berupa Bunga Obligasi dikenai pemotongan Pajak Penghasilan
yang bersifat final.

Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak
berupa Bunga Obligasi adalah:
a. Bunga dari Obligasi dengan Kupon sebesar:
 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan
persetujuan penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap, dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi;
b. Diskonto dari Obligasi dengan Kupon sebesar:
 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan
persetujuan penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap, dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan
Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan;
c. Diskonto dari Obligasi tanpa Bunga sebesar:
 0,25% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan
persetujuan penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap, dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan
Obligasi; dan
d. Bunga dan/atau Diskonto dari Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak
Reksadana yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sebesar:
 5% (lima persen) untuk tahun 2014 sampai dengan tahun 2020; dan
 10% (sepuluh persen) untuk tahun 2021 dan seterusnya.

Pemotong Pajak
a. Penerbit Obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas bunga
dan/atau diskonto yang diterima pemegang Obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo
Bunga Obligasi, dan diskonto yang diterima pemegang Obligasi tanpa bunga pada saat
jatuh tempo Obligasi; dan/atau
b. Perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau pembeli, atas
bunga dan diskonto yang diterima penjual Obligasi pada saat transaksi.

Pengecualian
Berikut ini adalah pihak-pihak yang tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan bersifat
final:
a. Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4
ayat (3) huruf h Undang-Undang PPh; dan
b. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
c. Wajib Pajak reksadana yang terdaftar pada Bapepam selama 5 tahun pertama sejak
pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
Atas bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh WP oran pribadi dalam negeri, yang
seluruh penghasilannya termasuk penghasilan bunga dan diskonto obligasi dalam satu tahun
pajak tidak melebihi jumlah PTKP, dipotong PPh yang tidak bersifat final. Jadi apabila
bunga dan diskonto yang diperolehnya lebih kecil daripada PTKP dalam satu tahun pajak,
maka WP yang bersangkutan dapat mengajukan restitusi atas PPh yang dipotong tersebut ke
KPP.

2. Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek (PP 41/1994 jo. PP
14/1997)
Objek Pajak
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi
penjualan saham di bursa efek dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Tarif
a. Besarnya Pajak Penghasilan adalah 0,1% (satu per seribu) dari jumlah bruto nilai
transaksi penjualan
b. Bagi pemilik saham pendiri dikenakan PPh sebesar:
 0,1% x Nilai Transaksi + 0,5% dari nilai saham pada 30 Desember 1996, dalam hal
saham tersebut telah diperdagangkan di bursa efek sebelum tanggal 31 Desember
1996; dan
 0,1% x Nilai Transaksi + 0,5% dari nilai saham saat IPO (Initial Public Offering),
Dalam hal saham tersebut diperdagangkan di bursa efek pada atau setelah tanggal 1
Januari 1997.
Pemotong Pajak
Penyelenggara bursa efek wajib memungut Pajak Penghasilan setiap transaksi penjualan
saham di bursa efek.

Pengecualian
Pemotongan PPh atas transaksi saham di bursa efek dikecualikan terhadap:
a. Pembagian dividen dalam bentuk saham setelah IPO
b. Pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih dahulu, warrant, obligasi konversi dan efek
konversi lainnya setelah IPO
c. Perusahaan reksadana
d. Berupa saham bonus dari kapitalisasi agio setelah IPO yang telah dilunasi tambahan
PPh sebesar 0,5% atas saham pendirinya oleh pemegang saham pendiri.

3. Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI (PP 131/2000 jo. KMK No
51/KMK.04/2001)
Objek Pajak
Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank
Indonesia dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final. Termasuk dalam pengertian bunga
adalah bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di
luar negeri melalui bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang
bank luar negeri di Indonesia. Ketentuan di atas tidak berlaku terhadap orang pribadi Subjek
Pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam 1 (satu) tahun Pajak termasuk bunga
dan diskonto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Tarif
Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat
Bank lndonesia adalah sebagai berikut:
a. Dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib
Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
b. Dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan
tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib
Pajak luar negeri.

Pengecualian
Pemotongan pajak atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto
Sertifikat Bank Indonesia tidak dilakukan terhadap:
a. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, sepanjang jumlah
deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank lndonesia tersebut tidak melebihi
Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah;
b. Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia;
c. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun;
d. Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah
sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan
sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
untuk dihuni sendiri.

4. Penghasilan Berupa Hadiah atas Undian (PP 132/2000 Jo. KEP-395/PJ.43/2001)


Objek Pajak
Atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong atau
dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan berupa
hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun adalah 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah bruto hadiah undian.
Pemotong Pajak
Penyelenggara undian wajib memotong atau memungut PPh Final atas Hadiah Undian.

5. Penghasilan atas Sewa Tanah dan atau Bangunan (PP 29/1996 Jo. PP 5/2002)
Objek Pajak
Penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun,
apartemen, kondominium, gedung perkantoran, gedung pertokoan, atau gedung pertemuan
termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri,
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Jumlah bruto nilai persewaan adalah semua
jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa, termasuk biaya
perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanaan dan service charge baik yang perjanjiannya
dibuat secara terpisah maupun yang disatukan dengan perjanjian persewaan yang
bersangkutan.

Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi maupun Wajib
Pajak badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan atau
bangunan sebagaimana dimaksud di atas adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai
persewaan tanah dan atau bangunan.

Pemotong
Pemotongan dilakukan oleh penyewa dalam hal penyewa adalah Badan Pemerintah, Subjek
Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi,
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak. Dalam penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak, selain yang
tersebut di atas, PPh disetor sendiri oleh yang menyewakan. Orang pribadi yang ditunjuk
sebagai pemotong Pajak Penghasilan adalah yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam
negeri, seperti:
a. Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT
tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
6. Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
Ketentuan mengenai usaha jasa konstruksi di tahun 2009 diatur dengan PP No. 51 Tahun
2008 yang diterbitkan tanggal 20 Juli 2008 jo PP No. 40 Tahun 2009.
Objek Pajak
Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Tarif
Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi usaha kecil;
b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa
yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi usaha menengah atau besar;
d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan tersebut tidak
termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang
bersifat final. Besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri adalah:
a. Jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak
Penghasilan di atas; atau
b. Jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan taril
Pajak Penghasilan di atas dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia
Jasa.
Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran di atas merupakan bagian dari
Nilai Kontrak Jasa Konstruksi.

Pemotong
Pajak Penghasilan yang bersifat final di atas:
a. Dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa
merupakan pemotong pajak; atau
b. Disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong
pajak.

7. Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan


Dasar hukum dalam pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan
bangunan adalah PP No 79 Tahun 1999 jo KMK-566/KMK.04/1999.
Objek Pajak
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yaitu:
a. Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak,
lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;
b. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati
dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk
kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;
c. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada
pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
persyaratan khusus.
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan sebagaimana diatas, baik dalam kegiatan usahanya maupun
diluar kegiatan usahanya, dikenakan PPh final.

Tarif
PPh yang dikenakan atas :
a. Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak,
lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah; dan
b. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati
dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk
kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;
adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan. Sedangkan pengalihan atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah
Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu
persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut.

Pemotong
a. Untuk transaksi penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain
pemerintah, PPh terutang wajib dibayar sendiri oleh pribadi atau badan yang
bersangkutan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) pada bank persepsi atau
Kantor Pos dan Giro, sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang
ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang.
b. Untuk penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang
disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan
untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus PPh terutang
dipungut oleh bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang
menyetujui tukar menukar.

Pengecualian
Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan di atas adalah:
a. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto
pengalihannya kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
c. Orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d. Badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan koperasi atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan,sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan; atau
e. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
f. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan yang tidak termasuk subjek pajak.

8. Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PP
19/2009)
Objek Pajak
Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Tarif
Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto.

Pemotong
Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen.

9. Diskonto Surat Pembendaharaan Negara


Dasar Hukum: PP Nomor 27 Tahun 2008 jo PMK-630/PMK.03/2008 jo. PER-
18/PJ/2008.Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN adalah Surat Utang
Negara yang berjangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga
secara diskonto.
Objek Pajak
Atas penghasilan tertentu dari Wajib Pajak berupa Diskonto SPN dikenakan pemotongan
Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa Diskonto SPN adalah :
a. 20% (dua puluh persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT);
dan
b. 20% (dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang berlaku bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri,
dari Diskonto SPN.

Pemotong Pajak
Pemotongan Pajak dilakukan oleh :
a. Penerbit SPN (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayar, atas
Diskonto SPN yang diterima pemegang SPN saat jatuh tempo; atau
b. Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara maupun selaku pembeli,
atas Diskonto SPN yang diterima di Pasar Sekunder.

Pengecualian
Pemotongan pajak tidak dilakukan atas Diskonto SPN yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak:
a. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
b. Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
c. Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan,
selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.

10. Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang
Pribadi (PP Nomor 15 Tahun 2009)
Objek Pajak
Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di
Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final.

Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan atas Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi yang didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi adalah:
a. 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp240.000,00
(dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan; atau
b. 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan
lebih dari Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan.

Pemotong Pajak
Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang
pribadi, wajib memotong Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut.

11. Pajak Penghasilan atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi
Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal Pada Perusahaan Pasangan
Usahanya(PP Nomor 4 Tahun 1995 jo KMK-250/KMK.04/1995 JO SE-33/PJ.4/1995)
Objek Pajak
Atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final. Perusahaan Pasangan Usaha tersebut adalah perusahaan yang memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang melakukan kegiatan dalam sektor-
sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan perusahaan modal ventura di atas adalah 0,1%
(satu perseribu) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal. Dalam hal transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal tersebut
dilakukan melalui bursa efek, maka pengenaan Pajak Penghasilannya dilakukan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.

Pengecualian
Atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha yang tidak memenuhi ketentuan di atas
dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Pajak
Penghasilan. Mengingat perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan dalam Peraturan
Pemerintah ini berbeda dengan perlakuan atas penghasilan lainnya, maka kepada perusahaan
modal ventura diwajibkan untuk melakukan pembukuan yang terpisah atas penghasilan
maupun biaya yang berkaitan dengan penghasilan dari transaksi penjualan saham ini.

12. Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Badan atau WPOP
yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 46/2013)
Objek Pajak
Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah wajib pajak yang memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. Wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000 dalam
1 (satu) tahun pajak.

Tarif
Besarnya tariff pajak penghasilan yang bersifat final adalah 1% (satu persen). Pengenaan
pajak penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari
tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan.

Pengecualian
a. Tidak termasuk wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan
dan atau jasa yang dalam usahanya, yakni menggunakan sarana atau prasarana yang
dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap dan menggunakan
sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi
tempat usaha atau berjualan.
b. Tidak termasuk wajib pajak badan adalah wajib pajak badan yang belum beroperasi
secara komersial atau wajib pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah
beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.800.000.000,00.

Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 4 Ayat (2) Final pada SPT Tahunan PPh Badan
dengan SPT Massa PPh Pasal 4 Ayat (2) Final
Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 4 Ayat (2), jumlah penghasilan bruto
dalam SPT Massa PPh Pasal 4 Ayat (2) dicocokkan (pencocokannya disajikan terperinci per
transaksi) dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2).
Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2)
Final yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya SKP Kurang
Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan karena:
1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 4 Ayat (2) Final yang belum
dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 4 Ayat (2) Final yang disetorkan ke kas negara tidak cocok atau lebih
rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 4 Ayat (2) Final yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan
tidak cocok dengan SPT PPh Massa Pasal 4 Ayat (2) Final.
Ekualisasi harus dibuat secara rinci dari seluruh pos dan akun pengeluaran biaya yang ada di
laporan keuangan/ buku besar/ ledger yang seharusnya terkena pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2)
dibandingkan dengan jumlah yang telah dipotong menurut SPT Massa PPh Pasal 4 Ayat (2).
Contoh:
Rekapitulasi dari hasil ekualisasi:
- Jumlah PPh Pasal 4 Ayat (2) Final menurut tax review, berdasarkan penjumlahan transaksi
dari keseluruhan objek PPh Pasal 4 Ayat (2) Final Rp 900.000.000
- Penjumlahan menurut SPT Massa PPh Pasal 4 Ayat (2) Final Rp 500.000.000
Kekurangan bayar/setor PPh Pasal 4 Ayat (2) Final Rp 400.000.000
Hasil ekualisasi mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar atau setor PPh Pasal 4 Ayat
(2) Final sebesar Rp 400.000.000 yang harus dilakukan pengecekan lebih lanjut oleh wajib pajak
terhadap bukti-bukti pendukung dan transaksi-transaksi apa saja yang dimuat dalam kontrak
perjanjian yang sudah disetujui.
Tentu saja kelalaian atau keterlambatan penyelesaian kurang bayar atau setor PPh Pasal 4 Ayat
(2) Final tersebut hanya akan menambah beban tambahan bagi wajib pajak dari pengenaan bunga
pajak @ 2% setiap bulannya maksimum 24 bulan (Pasal 13 Ayat 2 UU KUP)
BAB III

PENUTUP

Sistem PPh pemotongan & pemungutan (withholding income taxes system) di Indonesia
dapat dibilang cukup kompleks karena begitu banyak pasal dalam UU PPh yang berlaku yang
mengatur masalah pemotongan dan pemungutan pajak ini. Pasal-pasal yang berkenaan dengan
masalah PPh pot-put ini antara lain adalah: Pasal 4 Ayat (2), Pasal 15, Pasal 21/26, Pasal 22,
Pasal 23/26 dan Pasal 24. Belum lagi sebagian yang teknis pelaksanaannya diatur menurut
peraturan pemerintah, peraturan menteri keuangan, dan peraturan direktur jenderal pajak.
Kompleksitas juga ditunjukkan dengan beragamnya obyek dan tariff PPh pot-put, sifat
pemotongannya yang final dan tidak final, juga dasar pengenaannya ada yang berbasiskan
jumlah bruto (gross amount) sebelum PPN dan ada pula yang dikenakan dari nilai perkiraan neto
(net estimated income). Demikian pula halnya dengan saat terutangnya yang variatif, mulai saat
dibayar, tersedia untuk dibayar, sampai saat jatuh tempo. Untungnya, sebagian besar PPh
pemotongan tersebut memiliki jatuh tempo pembayaran dan pelaporan yang hampir sama, yaitu
pada tanggal 10 dan 20 masa pajak berikutnya, kecuali PPh pemungutan Pasal 22.
Withholding System sering disebut dengan sistem pemotongan dan pemungutan.Pada
sistem ini, pihak ketiga yang dekat dengan wajib pajak, seperti pemberi kerja, yang wajib
menghitung, menetapkan, menyetorkan dan melaporkan pajak.Kelebihan dari sistem ini adalah
menghasilkan penerimaan pajak lebih dini ke kas negara.Negara, dalam hal ini diwakili oleh
fiskus, tidak perlu melakukan pemungutan pajak para wajib pajak, karena telah melimpahkan
kewajiban memungut pajak kepada pihak yang memberikan penghasilan dan menyetorkannya ke
kas negara.Sama halnya dengan self assessment system, fungsi fiskus adalah mengawasi
pelaksanaan kewajiban pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut.Melalui withholding
system, Undang-Undang PPh menunjuk pihak-pihak selaku sumber penghasilan untuk
memotong atau memungut pajak dari pihak yang menerima penghasilan.
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Chairil Anwar Pohan, M. S., MBA. 2013. MANAJEMEN PERPAJAKAN Strategi
Perencanaan Pajak dan Bisnis. Edisi Revisi ed. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Santoso, I., dan N. Rahayu. 2019. Corporate Tax Management (Mengulas upaya pengelolaan
pajak perusahaan secara konseptual-praktikal). Jakarta: Observation & Research of
Taxation (ortax).
Barata, Atep dan Djuhadiat, Jajat. 2006. Pot-Put & Kepalu: Pemotongan-Pemungutan Pajak
Penghasilan dan Kredit pajak Luar Negeri. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Wisanggeni, Irwan dan Suharli Michell. 2017. Manajemen Perpajakan: Taat Pajak Dengan
Efisien. Jakarta: Mitra Wacana Media.
https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/buku%20pph%20upload.pdf
https://klikpajak.id/blog/lapor-pajak/pph-23-pembayaran-bukti-potong-dan-pelaporan-
pajak/
http://kppnmetro.org/pph-pasal-23/
https://www.pajak.go.id/id/pph-pasal-2326
https://klikpajak.id/blog/bayar-pajak/pajak-pasal-23/
https://www.lppm.itb.ac.id/wp-content/uploads/sites/55/2017/06/141pmk-032015per.pdf
https://triyani.wordpress.com/2015/08/07/belajarpajak-pph-pasal-23-update-agustus-2015/
https://www.online-pajak.com/pph-pajak-penghasilan-pasal-23
https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2008/36TAHUN2008UU.htm
https://www.pajak.go.id/id/pemotongan-pajak-penghasilan-pasal-23

Anda mungkin juga menyukai