Anda di halaman 1dari 88

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

( UTS )

Dosen :
Putu Rika Veryanti, M.Farm-Klin., Apt.
Ainun Wulandari, M.Sc., Apt.
Sister Sianturi, M.Si.

Disusun oleh :

RATNA MADYANINGSIH (15.33.4085)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, kami panjatkan puja dan puji
syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Farmakologi dengan baik.

Laporan praktikum ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktikum
Farmakologi di Institut Sains dan Teknologi Nasional. Laporan ini berisi keterangan
dan hasil pengamatan pada praktikum. Dalam penyusunan laporan ini, kami
sampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Ibu Putu Rika veryanti, M.Farm-Klin., Apt.


2. Ibu Ainun Wulandari, M.Sc., Apt.
3. Ibu Sister Sianturi, M.Si.

selaku dosen yang membimbing kami saat melakukan Praktikum Farmakologi, serta
rekan-rekan praktikum dan kakak-kakak asisten laboratorium.

Kami menyadari bahwa laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu
kami meminta maaf bila ada kesalahan dalam kata-kata maupun penulisan.

Jakarta, Agustus 2018

Penulis,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

PENGENALAN KARAKTERISTIK DAN PENANGANAN HEWAN COBA

PENGARUH RUTE PEMBERIAN OBAT TERHADAP OBAT SEDATIF

VARIASI BIOLOGI DAN VARIASI KELAMIN

UJI ANALGESIK AKIBAT INDUKSI DENGAN METODE GELIAT

METODE ANASTESI

EFEK DIURETIK
MINGGU PERTAMA
BAB I

PENDAHULUAN

PENGENALAN KARAKTERISTIK DAN PENANGANAN HEWAN COBA

PERHITUNGAN DOSIS OBAT PADA HEWAN COBA

1. Latar Belakang

Percobaan pada praktikum Farmakologi dilakukan terhadap hewan hidup,


oleh karena itu hewan coba harus diperlakukan dengan bijaksana. Perlakuan yang
tidak wajar terhadap hewan coba dapat menimbulkan hasil pengamatan yang
menyimpang sehingga tujuan pegamatan tidak tercapai.

Beberapa hewan coba yang dapat digunakan untuk mengamati efek


farmakologi obat diantaranya adalah mencit, tikus, marmot dan kelinci. Hewan
coba tersebut mempunyai krakteristik yang berbeda-beda. Untuk dapat menangani
hewan coba dengan baik dan benar pertu dipahami karakteristik masing-masing
hewan coba.

2. Tujuan Percobaan

a. Mengetahui karakteristik hewan percobaan yang dipakai dan dapat menangani


hewan percobaan dengan baik

b. Terampil bekerja dengan beberapa hewan percobaan

c. Untuk memperoleh efek farmakologis yang sama dari suatu obat pada setiap
spesies hewan percobaan, diperlukan data mengenai aplikasi dosis dan volue
kuantitatif
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Dasar Teori
Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa
terhadap sel hidup, lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Obat
didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati,
mendiagnosis penyakit/gangguan atau menimbulkan suatu kondisi tertentu
misalnya membuat seorang infertile, atau melumpuhkan otot rangka selama
pembedahan.
Obat merupakan zat yang digunakan untuk mendiagnosis, mengurangi rasa
sakit, serta mengobati ataupun mencegah penyakit pada manusia dan hewan.
Sedangkan menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 193/Kab/B.VII/71, obat
merupakan suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk
digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan,
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, atau kelainan badaniah dan
rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah
badan atau bagian badan manusia.Mayoritas obat bekerja secara spesifik terhadap
suatu penyakit. Namun tidak jarang juga obat yang bekerjanya secara menyeluruh.

A. PENGENALAN KARAKTERISTIK HEWAN COBA


Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja
dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model, dan juga
unruk mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam
skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Anima model atau hewan model
adalah objek hewan sebagai imitasi manusia atau spesies lain, yang digunakan
untuk menyelidiki fenomena biologis atau patologis.

Klasifikasi Animal Model


 Explotarory ( penyelidikan ) : untuk memahami mekanisme biologis,
apakah termasuk mekanisme dasar yang normal atau mekanisme yang
berhubungan dengan fungsi biologis yang abnormal
 Explanatory ( penjelasan ) : untuk memahami lebih banyak masalah
biologis yang kompleks.
 Predictive ( perkiraan ) : untuk menentukan dan megukur akibat dari
perlakuan , apakah sebagai cara untuk pengobatan penyakit atau untuk
memperkirakan toksisitas suatu senyawa yang diberikan.

Syarat Hewan Coba


 Sedapat mungkin hewan percobaan yang akan digunakan bebas dari
mikrorganisme pathogen, karena sangat mengganggu jalannya reaksi pada
pemeriksaan penelitian, sehingga dari segi ilmiah hasilnya kurang dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya, berdasarkan tingkatan
kontaminasi mikroorganisme pathogen, hewan percobaan digolongkan
menjadi hewan percobaan konvensional, specified patoogen free (SPF)
dan gnotobiotic.
 Mempunyai kemampuan dalam memberikan reaksi imunitas yang baik.
Hal ini ada hubungannya dengan persyaratan pertama.
 Kepekaan terhadap suatu penyakit. Hal ini menunjukkan tingkat
suseptibilitas hewan terhadap penyakit.
 Performa atau prestasi hewan percobaan yang dikaitkan dengan difat
genetiknya

Hewan Coba
1. Mencit
Mencit (Mus, musculus) adalah hewan coba yang mudah ditangani.
Ia bersifat penakut, fotofobia cenderung berkumpul sesamanya, serta lebih
aktif di malam hari dari pada siang hari. Aktivitas mencit dapat terganggu
dengan keberadaan manusia. Suhu tubuh normal 37,4°C dan laju respirasi
normal 163 kali per menit.
2. Tikus
Tikus (Rattus norvegicus) tidak begitu bersifat fotofobik
dibandingkan dengan mencit dan kecenderungan untuk berkumpul
sesamanya sangat kurang. Salain itu tikus merupakan hewan yang cerdas,
mudah ditangani dan relatif resisten terhadap infeksi. Aktivitasnya tidak
begitu terganggu dengan adanya manusia di sekitarnya. Bila diperlakukan
kasar dan atau makanan kurang, tikus menjadi galak/ liar dan sering
menyerang si pemegang. Suhu tubuh normal 37,5-38,0°C dan laju
respirasi normal 210 kali per menit.
3. Kelinci
Kelinci (Cuniculus forma domestica) jarung bersuara, hanya dalam
keadaan nyeri luar biasanya akan bersuara dan pada umumnya cenderung
untuk berontak apabila merasa keamanannya terganggu. Suhu rektal
kelinci sehat adalah antara 38,5-40°C, pada umumnya 39.5°C. Suhu rektal
ini berubah apabila hewan tersebut tereksitasi, ataupun karena gangguan
lingkungan. Laju respirasi kelinci dewasa normal adalah 38-65 kali per
menit, pada umumnya 50 kali per menit (pada kelinci muda, laju ini
dipercepat, dan pada kelinci bayi bisa mencapai l00 per menit).

B. PERHITUNGAN DOSIS PADA HEWAN COBA


Untuk dapat memperoleh efek farmakologis yang sama dari suatu obat
pada setiap spesies hewan percobaan, diperlukan data mengenai aplikasi dosis
secara kuantitatif. Perhitungan konversi tersebut akan lebih diperlukan bila
obat akan dipakai pada manusia dan pendekatan terbaik adalah dengan
mengunakan perbandingan luas permukaan tubuh. Beberapa spesies hewan
percobaan yang sering digunakan, dipolakan perbandingan luas permukaan
tubuhnya. Sebagai tambahan ditentukan pola perbandingan terhadap luas
permukaan tubuh manusia.
Tabel konversi dosis berdasarkan perbandingan luas permukaan tubuh:
Mencit Tikus Marm Kelinci Kucing Kera Anjing Manus
Hewan 20g 200g ot 400g 1,5kg 2,0kg 4,0kg 12,0kg ia 70kg
Mencit 20g 1.0 7.0 12.25 27.8 29.7 64.1 124.2 387.9
Tikus 200g 0.14 1.0 1.74 3.9 4.2 9.2 17.8 56.0
Marmot 400g 0.08 0.57 1.0 2.25 2.4 5.2 10.2 31.5
Kelinci 1,5kg 0.04 0.25 0.44 1.0 1.08 2.4 4.5 14.2
Kucing 2,0kg 0.03 0.23 0.41 0.92 1.0 2.2 4.1 13.0
Kera 4,0kg 0.016 0.11 0.19 0.42 0.45 1.0 1.9 6.1
Anjing 12,0kg 0.008 0.06 0.10 0.22 0.24 0.52 1.0 3.1
Manusia 70kg 0.0026 0.018 0.031 0.07 0.076 0.16 0.32 1.0
D.R. Laurence & A.L. Bacharach, Evaluation of Drug Activities : Pharmacometrics, 1964
C. PERHITUNGAN VOLUME OBAT PADA HEWAN COBA
Volume cairan yang diberikan pada hewan percobaan harus
diperhatikan tidak melebihi jumlah tertentu. Senyawa yang tidak larut dibuat
dalam bentuk suspense dalam gom dan diberikan dengan rute per oral.
Untuk menghitung volume obat pada hewan coba perlu diketahui :
1. Perhitungan dosis obat yang diberikan
2. Jenis sediaan obat yang tersedia di laboratorium
3. Ukuran jarum suntik yang tersedia di laboratorium
Batas maksimal volume untuk tiap rute pemberian pada hewan coba :
Hewan Batas maksimal (ml) untuk tiap rute pemberian
Percobaan IV IM IP SK PO
Mencit 20-30g 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0 1,0
Tikus 200g 1,0 0,1 2-5,0 2-5,0 5,0
Hamster 50g - 0,1 1-2,0 2,5 2,5
Marmot 250g - 0,25 2-5,0 5,0 10,0
Merpati 300g 2,0 0,5 2,0 2,0 10,0
Kelinci 1,5kg 5-10,0 0,5 10-20,0 5-10,0 20,0
Kucing 3kg 5-10,0 1,0 10-20,0 5-10,0 50,0
Anjing 5kg 10-20,0 5,0 20-50,0 10,0 100,0
M. Bourchard, et al, Pharmacodynamic, Guide de travaux pratiques, 1981-1982
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

1. Bahan dan Alat

Bahan :

 Aquadest

 Mencit (Mus musculus)

 Kelinci (Oryctolagus cuniculus)

 Tikus ( Rattus novergieus)

Alat :

 Alas kasar/kawat

 Sonde Oral

 Disposable spuit 1ml

2. Prosedur Kerja

Penanganan Hewan Coba

1. Mencit
Cara Memperlakukan Mencit
a. Mencit diangkat dengan memegangnya pada ujung ekornya menggunakan
tangan kanan (3-4 cm dari ujung), letakkan pada suatu tempat yang
permukaannya tidak licin, misanya kasa dan ram kawat, sehingga ketika
dibiarkan mencit dapat menjangkau mencengkram kawat dengan kaki
depannya.
b. Jika diletakkan pada tempat yang rata seperti meja, sebisa mungkin jangan
menarik ekor mencit dengan paksa dan terlalu kuat, ikuti gerakan mencit
dan tarik ketika tahanan mencit tidak terlalu kuat.
c. Untuk memegang mencit, telunjuk dan ibu jari tangan kiri menjepit kulit
tengkuknya, sedangkan tangan kanan masih memegang ekornya, setelah
itu tubuh mencit dapat diangkat, dibalikkan sehingga permukaan perut
menghadap praktikan
d. Untuk memudahkan pemberian obat, ekor mencit yang dipegang oleh
tangan kanan dipindhakan dan dijepitkan di antara jari manis dan jari
kelingking tangan kiri, ssehingga mencit cukup erat dipegang.

Urutan tata cara mengambil mencit dari kandang (A) sampai


memegangnya untuk siap diberi perlakuan (B, C, D, E)
Cara Pemberian Obat Pada Mencit

1) Oral
Cairan diberikan dengan menggunakan sonde oral. Sonde oral ditempelkan
pada langit-langit mulut atas mencit kemudian perlahan dimasukkan
sampai esophagus dan cairan obat dimasukkan.
2) Subkutan
Kulit di daerah tengkuk diangkat dan ke bagian bawah kulit dimasukkan
obat dengan menggunakan alat suntik 1ml dan jarum ukuran 27G (0,4
mm).
3) Intravena
Mencit dimasukkan ke kandang restriksi mencit dengan ekornya menjulur
ke luar. Ekornya dicelupkan ke dalam air hangat (28-30 °C) selama
beberapa menit agar pemnuluh vena ekor mengalami dilatasi, sehingga
memudahkan pemberian obat ke dalam pembuluh vena. Pemberian obat
dilakukan dengan menggunakan jarum suntik no. 24.
4) Intramuscular
Obat disuntikkan pada paha posterior dengan jarum suntik no. 24.
5) Intraperitonial
Pada saat penyuntikan, posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Jarum
disuntikkan dengan sudut sekita 100° dari abdomen pada daerah yang
sedikit menepi dari garis tengah, agar jarum tidak mengenai kandung
kemih. Penyuntikkan tidak di daerah yang terlalu tinggi untuk menghidari
terjadi penyuntikkan pada hati.

Cara Mengorbankan Mencit


Hewan dikorbankan bila terjadi rasa sakit yang hebat atau lama akibat
suatu eksperimen. Hewan dikorbankan denfan cara euthanasia ( kematian
tanpa rasa sakit ).
Beberapa cara mengorbankan mencit, yaitu :
1) Dengan menggunakan karbon dioksida dalam wadah khusus
2) Penyuntikan Pentobarbital natrium tiga kali dosis
3) Cara fisik yaitu dengan dislokasi leher, merupakan cara yang paing cepat,
mudah dan berperikehewanan. Hewan dipegang ekornya kemudian
ditempatkan pada permukaan yang bisa dijangkaunya, sehingga mencit
akan meregangkan badannya. Di tengkuknya diletakkan suatu penahan
yang dipegang dengan satu tangan, tangan lainnya menarik ekornya
dengan keras sehingga lehernya akan terdislokasi dna mencit akan
terbunuh.

2. Tikus
Cara Memperlakukan Tikus
1) Tikus dipegang sebaiknya pada bagian pangka ekor.
2) Diangkat dengan memegang perutnya atau diangkat dari kandang dengan
memegang tubuhnya atau ekornya dari belakang, kemudian diletakkan di
atas permukaan kasar.
3) Tikus dipegang dengan tangan kiri dengan cara menjepit leher pada bagian
tengkuk dengan jari tengah dan telunjuk, dan ibu jari diselipkan ke depan
untuk menjepit kakikanan depan tikus, sedangkan jari manis dan
kelingking menjepit kaki kiri depan tikus. Tangan kanan tetap memegang
ekor tikus.
4) Tikus tidak mengelak bila dipegang dari atas, tapi bila dipojokkan ke sudut
akan menjadi panic dan menggigit.

Urutan tata cara mengambil tikus, (A, menangkap bagian pada bahu), (B,
kepala dan bahu sedikit bebas)
Memegang tikus untuk pemberian obat secara oral (A) dan secara
intramuscular atau intraperitoneal (B)

Cara Pemberian Obat pada Tikus

1) Oral
Cairan diberikan dengan menggunakan sonde oral. Sonde oral ditempelkan
pada langit-langit mulut atas tikus kemudian perlahan dimasukkan sampai
esophagus dan cairan obat dimasukkan.
2) Subkutan
Kulit di daerah tengkuk diangkat dan ke bagian bawah kulit dimasukkan
obat dengan menggunakan alat suntik 1ml dan jarum ukuran 27G(0,4mm).
Dapat pula dilakukan di bawah kulit abdomen.
3) Intravena
Tikus dimasukkan ke kandang restriksi dengan ekornya menjulur ke luar.
Ekornya dicelupkan ke dalam air hangat (28-30 °C) selama beberapa menit
agar pemnuluh vena ekor mengalami dilatasi, sehingga memudahkan
pemberian obat ke dalam pembuluh vena. Pemberian obat dilakukan
dengan menggunakan jarum suntik no. 24.
4) Intramuscular
Obat disuntikkan pada paha posterior dengan jarum suntik no. 24. Untuk
melakukan pemberian obat secara IP atau IM, tikus dipeganng pada bagian
belakang badannya.
5) Intraperitonial
Pada saat penyuntikan, posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Jarum
disuntikkan dengan sudut sekita 100° dari abdomen pada daerah yang
sedikit menepi dari garis tengah, agar jarum tidak mengenai kandung
kemih. Penyuntikkan tidak di daerah yang terlalu tinggi untuk menghidari
terjadi penyuntikkan pada hati.

Cara Mengorbankan Tikus


1) Cara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan gas CO2 , eter dan
pentobarbital dengan dosis yang sesuai.
2) Cara fisik dapat dilakukan dengan meletakkan tikus di atas sehelai kain,
kemudian badan tikus termasuk kedua kaki depannya dibungkus. Lalu
tikus dibunuh dengan sah satu cara berikut :
 Belakang telinganya dipukul dengan tongkat.
 Pegang tikus dengan perutnya menghadap ke atas, kemudian
pukulkan belakang kepalanya ke permukaan yang keras seperti
meja atau logam dengan keras.

Kelinci
Cara Memperlakukan Kelinci
Kelinci harus diperlakukan dengan halus namun sigap karena
cenderung untuk berontak. Menangkap atau memperlakukan kelinci jangan
dengan mengangkatnya pada telinga karena dapar mengganggu pembuluh
darah dan syaraf. Kulit pada leher kelinci dipegang dengan tangan kiri dan
bagian belakangnya diangkat dengan tangan kanan) lalu badannya didekapkan
ke dekat tubuh.

Cara mendekap (A) dan menggendong kelinci (B)


Cara Pemberian Obat pada Kelinci
1) Oral
Umunya rute ini dihindari, tetapi bila harus dipakai digunakan alat
penahan rahang (mouth block) berupa pipa kayu atau plastic berlubang,
panjang 12cm, diameter 3cm, dan diameter lubang 7cm. Mouth block
diletakkan diantara gigi depan dengan cara menahan rahang dengan ibu
jari dan telunjuk. Masukkan kateter melalui lubang pada mouth block
sekitar 20-25cm. Untuk memeriksa apakah benar masuk ke esophagus
bukan trakea, celupkan ujung luar kateter masuk ke trakea.
2) Subkutan
Dilakukan pada sisi sebelah pinggang atau tengkuk dengan cara kulit
diangkat dan jarum 25-26 G ditusukkan dengan arah anterior. Volume
pemberian maksimal 1% BB.
3) Intravena
Penyuntikkan di vena marginalis dan dilakukan pada daerah dekat ujung
telinga. Sebelumnya telingan dibasahi dengan air hangat selama beberapa
menit. Jangan menggunakan akohol atau bahan antiseptic lain karena akan
menyebabkan vasokontriksi pada vena.

4) Intramuscular
Dilakukan pada otot kaki belakang. Hindari otot posterior femur karena
resiko kerusakan syaraf siatik. Gunakan jarum ukuran 25 G dan volume
pemberian tidak lebih dari 0,5-1,0 ml tiap tempat penyuntikan.
5) Intraperitonial
Penyuntikkan dilakukan pada garis tengah di muka kandung kencing,
dengan posisi kepala kelinci lebih rendah daripada perutnya.
Cara Mengorbankan Kelinci
1) Dengan menggunakan gas CO2
2) Dengan injeksi pentobarbital natrium 350mg secara IV
3) Dengan dislokasi leher
 Pegang kaki belakang kelinci dengan tangan kiri sehingga bada dan
kepalanya tergantung ke bawah, menghadap ke kiri. Dengan jari-
jari tangan kanan dikeraskan, pukulkan sisi telapak tangan dengan
keras pada tengkuk kelinci. Dapat juga digunakan tongkat
 Tempatkan kelincin di sebuah meja dengan tangan kiri, angkat
badannya pada telinga hingga kaki depannya tepat tergantung di
atas meja. Lalu pukulkan tongkat dengan keras di belakang
telinganya.

Perhitungan Dosis Pada Hewan Coba

Contoh Soal
Diketahui : Dosis Fenobarbital pada manusia 70kg = 100mg
Ditanya : Dosis Fenobarital pada anjing 12kg ?
Jawab : Faktor konversi manusia 70kg vs anjing 12kg = 0,32 ( dari tabel )
Maka dosis fenobarbital pada anjing 12kg = 0,32 x 100mg = 32mg
Jadi dapat diramalkan efek farmakologi 100mg fenobarbital pada manusia
bobot 70kg sama dengan 32mg fenobarbital pada anjing dengan bobot 12kg.

Perhitungan Volume Obat Pada Hewan Coba


Contoh Soal
Diketahui : Dosis Fenobarbital pada manusia 70kg = 100mg
Sediaan fenobarbital yang tersedia di laboratorium adalah Sibital® 200mg/2ml
Ditanya : volume pemberian Sibital® pada anjing 12kg ?
Jawab : Faktor konversi manusia 70kg vs anjing 12kg = 0,32 ( dari tabel )
Maka : -dosis fenobarbital pada anjing 12kg = 0,32 x 100mg = 32mg
32𝑚𝑔
-volume pemberian Sibital® pada anjing 12 kg = 𝑥2𝑚𝑙
200

= 0,32ml
Pemberian menggunakan jarum suntik ukuran 1ml
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam praktikum ini hewan percobaan yang digunakan adalah mencit, tikus
dan kelinci. Dari segi penanganan ketiganya berbeda-beda disesuaikan dengan
karakteristiknya masing-masing. Mencit sebagai hewan percobaan yang banyak
digunakan karena mencit memiliki struktur organ dalam yang hampir sama dengan
manusia sehingga mudah mengetahui pendistribusian obat dalam tubuh dan efek yang
terjadi. Sebelum mencit diberi obat terlebih dahulu dierlakukan secara khusus yaitu
mencit dipuasakan selama 8 jam hal ini dilakukan untuk mengosongkan lambung
mencit karena efek obat berlawanan terhadap adanya makanan, satu minggu
setelahpemberian obat mencit tidak boleh digunakan kembali karena dikhawatirkan
masih ada pengaruh obat dalam tubuhnya.

Cara memegang mencit harus sesuai dengan prosedur yaitu dengan cara
memegang ujung ekornya dengan tangan kanan biarkan menjangkau alas yang kasar
kemudian tangan kiri diluncurkan dengan ibu jari dan jari telnujuk menjepit
tengkuknya seerat mungkin kemudian ekor dipindahkan ke tangan kanan dijepit
antara jari manis dan kelingking, jika tidak sesuai maka mencit akan buang air besar
dan kecil hal ini dilakukan mencit karena merasa ketakutan stress. Sedangkan cara
memegang tikus hampir sama dengan mencit hanya saja yang kita pegang bukan kulit
tegkuk melainkan tengkuknya supaya tikus tersebut tidak dapat menoleh ke kiri atau
ke kanan agar tidak dapat menggigit si pemegang. Kemudian untuk cara memgang
kelinci agak sedikit berbeda yaitu dengan cara kulit leher dipegang dengan tangan kiri
kemudian pantatnya diangkat dengan tangan kanan.

Selain cara memegang juga berbeda-beda cara pemberian sediaan juga berbeda pada
setiap hewan. Cara pemberian ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
respon obat, bentuk sediaan yang akan digunakan perlu disesuaikan dengan cara
pemberian yang dipilih disamping juga sifat obat yang akan digunakan.

Percobaan pengaruh obat, terhadap jenis kelamin yang berbeda ternyata tidak
menunjukkan efek yang berbeda. Efek yang ditimbulkan obat adalah tidur tidak
bereaksi.Perbedaan cara pemberian obat ke dalam tubuh akan mempengaruhi onset
dan durasi dariobat. Dengan kata lain, perbedaan cara pemberian obat akan
memberikan efek yang yang berbeda-beda. Pada pemberian secara oral, akan
memberikan onset paling lambat karenamelalui saluran cerna dan lambat di absorbsi
oleh tubuh. Selain itu banyak faktor yangdapat mempengaruhi bioavaibilitas obat
sehingga mempengaruhi efek yang ditimbulkan.Pemberian secara intravena
seharusnya menunjukkan onset paling cepat karena kadar obat langsung terdistribusi
dan dibawa oleh darah dalam pembuluh.

Kesalahan hasil percobaan ini dikarenakan antara lain :

1. Mekanisme injeksi yang kurang benar. Hal ini dikarenakan setiap hewan uji
diperlakukan oleh praktikan yang berbeda-beda dengan skill

2. Injeksi yang salah dapat mengakibatkan obat terakumulasi dalam jaringan yang
salah sehingga absorbsi dan distribusi obat menjadi berbeda dari
yangseharusnya. Injeksi yang salah juga bisa mengakibatkan dosis obat yang
masuk tidak sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan obat tidak masuk ke
sirkualsi sistemik.

3. Tingkat resistensi dari hewan percobaan yang berbeda-beda. Hewan percobaan


yang lebih resisten tentu mengakibatkan onset dan durasi obat menjadi
lebihcepat dari pada seharusnya atau tidak timbul efek pada hewan percobaan
walaupundiberikan injeksi sesuai dosis yang telah ditentukan.

4. Kondisi hewan coba

Dalam penggunaan hewan coba harus diperhatikan bahwa hewan percobaan


merupakan makhluk perasa sehingga kita perlu memperlakukannya dengan sebaik
mungkin agar efek yang ditimbulkan benar serta untuk mengurangi rasa sakit yang
dideritanya. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan hewan
percobaan yaitu kesejahteraan hewan percobaan yang dikenal dengan Five
Freedom yang merupakan konsep dari world society for protection of animal
(WSPA), ketentuan ini mewajibkan semua hewan yang dipelihara memiliki
kebebasan dari rasa lapar dan haus, luka penyakit dan sakit, rasa takut dan
penderitaan, dan bebas mengekspresikan perilaku normal dan alami).
Penanganan hewan percobaan yang baik itu meliputi ruang hewan laboratorium sebab
kondisi kandang yang tidak baik akan menimbulkan stres fisik dan emosi yang berat
sehingga nantinya akan memicu respon hormonal yang pada akhirnya mengganggu
metabolisme obat dan berpengaruh pada hasil yang didapat. Persyaratann ruang
hewan percobaan yaitu terbuat dari logam tahan karat, logam divalganasi, atau plastik
berbentuk segiempat siku-siku dengan luas± 20 m2 dengan tinggi 2.5-3.0 meter,
ruang ini memberi kemudahan dalam hal pemeliharan lingkungan, pengawasan
hewan, dan tidak menggangu hewan yang dipiara didalamnya. Ruang hewan
dillengkapi dengan alas tidur yang lunak, tidak tajam, murah, mudah diganti, dapat
digunakan untuk sarang, serta yang dapat menyerap kebasahan dan bau dengan baik
dan bebas dari bahan kimia pencemar tetapi tidak boleh sampai menimbulkan
dehidrasi terutama pada anak mencit dan tikus. Didalam kandang tersebut harus
tersedia pakan, pakan ini bervariasi tergantung jenis hewannya ( hewan briding,
hewan muda, hewan tua) pakan berbentuk pelet biasanya sering digunakan daripada
tepung untuk mengurangi komposisi dan diperlukan untuk membentuk aus gigi
kemudian air minum harus tersedia tanpa dibatasi dan diberikan dalam bentuk botol
dengan pipa yang dilengkapi ”klep” peluru bulat yang terletak diujung pipa untuk
mencegah pertumbuhan kuman air minum dapat diasamkan atau dikkhlorisasi.
Kandang, rak kandang, botol san alat lain harus dibersihkan paling sedikit sekali
seminggu menggunakan Na hipokchlorid 0.1% atau etanol 25% dan alas tidurnya
diganti dua minggu sekali. Selain kondisi kandang perlu diperhatikan pula faktor
lingkungan seperti suhu, kelembapan, ventilasi ruang yang mampu mengalirkan
udara.

Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan ialah faktor


internal dan faktor eksternal, adapun faktor internal yang dapat mempengaruhi hasil
percobaan meliputi variasi biologik (usia, jenis kelamin) pada usia hewan semakin
muda maka semakin cepat reaksi yang ditimbulkan, ras dan sifat genetic, status
kesehatan dan nutrisi, bobot tubuh, luas permukaan tubuh.
Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan meliputi suplai
oksigen, pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang, suasana asing atau
baru, pengalaman hewan dalam penerimaan obat keadaan ruangan tempat hidup
seperti suhu, kelembaban, ventilaasi, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan),
pemeliharaan keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan atau organ untuk
percobaan.
BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai
berikut :

2. Saran
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh., 2000, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press, hal.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi,IV, Depkes RI, Jakarta, hal.
Ansel, Howard.C., 1989 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Universitas Indonesia
Press, Jakarta,hal.
BAB I

PENDAHULUAN

EKSPERIMAN DASAR

PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERIIADAP OBAT SEDATIF HIPNOTIK

1. Latar Belakang

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang kesehatan,


berbagai produk kesehatan mulai di buat sedemikian rupa sehingga dapat
memaksimalkan fungsi dan perannya dalam kesehatan. Hal ini juga berdampak
pada perkembangan obat dan cara penggunaan obat. Sebagai seorang farmasis,
sudah seharusnya mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan obat, baik dari segi
farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan juga dari segi farmakologi.
Namun hal lain yang tidak kalah penting adalah rute pemberian obat, hal ini
dimaksudkan untuk memaksimalkan efek obat yang akan digunakan. Selain itu
dengan memahami rute pemberian obat seorang farmasis dapat menentukan cara
tebaik yang dapat di gunakan untuk pemberian obat dengan mempertimbangkan
kondisi pasien apakah menggunakan obat peroral, parenteral, tropical, vaginal
atau dengan cara lain yang dianggap dapat memberikan hasil maksimal.

2. Tujuan Praktikum
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat :
 Melakukan cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat pada
mencit
 Mengamati pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang timbul
 Mengetahui respon sedasi pada menci
 Memahami awal mula kerja dan durasi efek sedasi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Teori Dasar
Rute pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis
anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh
karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim
dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal
ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam
waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat (Katzug, B.G,
1989).
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya
serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah
seperti berikut:
a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik
b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-
macam rute.
g. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan
besarnya obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula
kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat
secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh
tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja
setempat misalnya salep (Anief, 1990).
Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:
a. Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal
b. Parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan subkutan
c. Inhalasi langsung ke dalam paru-paru.
Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:
a. Intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung, telinga
b. Intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru
c. Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran
kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada keringat badan
atau larut dalam cairan badan
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal
(dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular,
subkutan, dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-
beda. Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri,
intraspinal dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung
masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara
pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui
kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas
farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan
akan memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan (
Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah
saluran cerna (mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara
pemberian obat yang berbeda-beda melibatkan proses absorbsi obat yang berbeda-
beda pula. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorbsi akan
mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat
per oral, karena mudah, aman, dan murah . Dengan cara ini tempat absorpsi utama
adalah usus halus, karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni
200m2. Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan
didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu harus mengalami absorbsi pada
saluran cerna.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada saluran
cerna antara lain:
1. Bentuk Sediaan
Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak
langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk
sediaan yang berbeda, maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang
berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.
2. Sifat Kimia dan Fisika Obat
Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal
atau polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga
mempengaruhi proses absorpsi. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam
bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak.
3. Faktor Biologis
Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran
cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta
banyaknya pembuluh darah pada tempat absorpsi.
4. Faktor Lain-lain
Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan
adanya penyakit tertentu.

Pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam
lemak, karena luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan
diabsorpsi dengan sangat cepat, misalnya nitrogliserin. Karena darah dari mulut
langsung ke vena kava superior dan tidak melalui vena porta, maka obat yang
diberikan melalui sublingual ini tidak mengalami metabolisme lintas pertama oleh
hati.

Kerugian pemberian per oral adalah banyak faktor dapat mempengaruhi


bioavaibilitas obat. Karena ada obat-obat yang tidak semua yang diabsorpsi dari
tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme
oleh enzim di dinding usus dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui
organ-organ tersebut (metabolisme atau eliminasi lintas pertama). Eliminasi lintas
pertama obat dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral,
sublingual, rektal, atau memberikannya bersama makanan.

Selain itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain adalah ada obat yang
dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita, dan tidak
bisa dilakukan saat pasien koma.
Cara/bentuk sediaan parenteral
1. Intravena
Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena,
“onset of action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang
menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus
kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek).
Intravena (i.v), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Larutan dalam
volume kecil (di bawah 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidris, sedangkan
volume besar (infuse) harus isotonis dan isohidris.
 Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of
action segera.
 Obat bekerja paling efisien, bioavilabilitas 100%
 Obat harus berada dalam larutan air, bila emulsi lemak partikel minyak
tidak boleh lebih besar dari ukuran partikel eritrosit, sediaan suspensi tidak
banyak terpengaruh
 Larutan hipertonis disuntikkan secara lambat, sehingga sel-sel darah tidak
banyak berpengaruh.
 Zat aktif tidak boleh merangsang pembuluh darah, sehingga menyebabkan
hemolisa seperti saponin, nitrit, dan nitrobenzol.
 Sediaan yang diberikan umumnya sediaan sejati.
 Adanya partikel dapat menyebabkan emboli.
 Pada pemberian dengan volume 10 ml atau lebih, sekali suntik harus bebas
pirogen.
Keuntungan rute ini adalah:
 Jenis-jenis cairan yang disuntikkan lebih banyak dan bahkan bahan
tambahan banyak digunakan IV daripada melalui SC
 Cairan volume besar dapat disuntikkan relatif lebih cepat
 Efek sistemik dapat segera dicapai
 Level darah dari obat yang terus-menerus disiapkan
 Kebangkitan secara langsung untuk membuka vena untuk pemberian obat
rutin dan menggunakan dalam situasi darurat disiapkan.
Kerugiannya adalah meliputi:
˗ Gangguan kardiovaskuler dan pulmonar dari peningkatan volume cairan
dalam sistem sirkulasi mengikuti pemberian cepat volume cairan dalam
jumlah besar
˗ Perkembangan potensial thrombophlebitis
˗ Kemungkinan infeksi lokal atau sistemik dari kontaminasi larutan atau
teknik injeksi septik, dan
˗ Pembatasan cairan berair.

2. Intramuskular
Onset kerja bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat
diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam
sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat
tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil
partikel, semakin cepat proses absorpsi.
 Intramuskular (i.m), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot,
umumnya di otot pantat atau paha.
 Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada
susupensi pembawa air untuk minyak.
 Larutan sebaiknya isotonis
 Onset bervariasi tergantung besar kecilnya partikel
 Sediaan dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi.
 Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta mudah terakumulasi,
sehingga dapat menimbulkan keracunan
 Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml dapat disuntikkan
kedalam otot dada, sedangkan volume yang lebih kecil disuntikkan ke
dalam otot-otot lain.

3. Subkutan
Onset kerja lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari
kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan,
menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat
tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan
hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks
jaringan
Subkutan atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh
melalui bagian yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah
kulit; volume yang diberikan tidak lebih dari 1 ml.
 Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris
 Larutan yang sangat menyimpang isotonisnya dapt menimbulkan rasa
nyeri atau nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal.
 Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih cepat dari pada
sediaan suspense
 Determinan kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan tempat
terjadinya penyerapan.
 Bila ada infeksi, maka bahayanya lebih besar dari pada penyuntikkan
ke dalam pembuluh darah karena pada pemberian subkutan mikroba
menetap di jaringan dan membentuk abses.
 Zat aktif bekerja lebih lambat dari pada secara i.v
 Pemberian s.c dalam jumlah besar dikenal dengan nama
Hipodermoklise.

4. Intraperitonial
Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya. Disini
obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang dihasilkan lebih
cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di metabolisme
serempak sehingga durasinya agak cepat.
Intinya absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa
diantaranya dapat diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan,
sedangkan yang lainnya tidak (Ansel, 1989).

Hipnotik dan sedative merupakan golongan obat pendepresi Sususan


Syaraf Pusat. Efeknya bergantung pada dosis, mulai yang ringan yaitu
menyebbakan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu hilangnya
kesadara, keadaan anestesi, koma dan mati.
Pada dosis terapi, obat sedative menekan aktivitas mental, menurunkan
respons terhadap rangsangan emosi sehinga menenangkan. Obat hipnotik
menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mepertahankan tidur yang
menyerupai tidur fisiologis.
Diazepam adalah turunan dari benzodiazepine dengan rumus molekul 7-
kloro-1,3-dihidro-1-metil-5-fenil-2H-1,4-benzodiazepin-2-on. Merupakan
senyawa Kristal tidak berwarna atau agak kekuningan yang tidak larut dalam air.
Diazepam termasuk golongan benzodiazepine yang long acting dengan waktu
paruh lebih dari 24 jam.
Diazepam di samping khasiatnya sebagai anksiolitis, relaksasi otot,
hipnotik dan sedativa juga berdaya sebagai antikonvulsi. Berdasarakan khasiat
antikonvulsi ini diazepam digunakan dalam bentuk injeksi i.v terhadap status
epilepticus. Pada penggunaan oral dan dalam klisma (rectiole) , resorpsinya baik
dan cepat tetapi dalam bentuk suppositoria lambat dan tidak sempurna. K.I. 97-
99% diikat pada protein plasma.
Didalam hati diazepam di biotransformasi menjadi antara lain N-
desmethyldiazepam yang juga aktif dengan plasma-t ½ panjang, antara 42-120
jam. Plasma-t ½ diazepam sendiri berkisar antara 20-54 jam. Toleransi dapat
terjadi terhadap efek antikonvulsinya, sama terhadap efek hipnotiknya.
Efek sampingnya yang lazim bagi kelompok benzodiazepin, yakni
mengantuk, termenung-menung, pusing dan kelemahan otot.

Righting reflex adaloh refleks mencit yang apabila tubuhnyo dibalik dan
berada pada posisi terlentang, maka akan kembali tertelungkup.

Onset kerja adalah mula kerja obat (diamati waktu antara pemberian obat
sampai hilangnya righting reflex hingga tidur)

Durasi lrerja adalah lama kerja obat (diamati waktu antara hilangnya
righting reflex hingga tidur, sampai kembalinya efek tersebut).
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

1. Hewan Coba
Mencit putih jantan jumlah 5 ekor

2. Alat
 Disposable spuit injeksi 1ml 5 buah
 Jarum sonde oral
 Bejana untuk pengamatan
 Timbangan hewan
 Stopwatch
 Kandang restriksi

3. Bahan Obat
Diazepam 5mg/70kg BB manusia

4. Prosedur Kerja
1) Siapkan mencit, masing-masing mencit ditimbang bobotnya pada timbangan
hewan.
2) Amati kelakuan normal masing-masing mencit selama 10 menit
3) Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing
mencit
PERHITUNGAN DOSIS
 Faktor konversi dosis berdasarkan luas permukaan tubuh antara manusia
70kg dan mencit 20g adalah = 0,0026
 Volume maksimal pemberian obat pada mencit :
IV = 0,5ml ; IM = 0,05ml ; IP = 1ml ; SC = 0,5-1ml ; PO = 1ml
 Sediaan Diazepam di laboratorium = 0,25mg/ml (pengenceran 20X)
Tabel Perhitungan Dosis
Bobot Rute
Mencit Dosis obat (mg) Volume obat (ml)
mencit (g) pemberian
35 0,02275
𝑔 𝑥 0,0026 𝑥 5𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑥 1𝑚𝑙
35 PO 20 0,25
1
= 0,02275 = 0,091  0,09
36 0,0234
𝑔 𝑥 0,0026 𝑥 5𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑥 1𝑚𝑙
36 SC 20 0,25
2
= 0,0234 = 0,0936 0,09
33 0,02145
𝑔 𝑥 0,0026 𝑥 5𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑥 1𝑚𝑙
33 IV 20 0,25
3
= 0,02145 = 0,0858  0,08
43 0,02795
𝑔 𝑥 0,0026 𝑥 5𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑥 1𝑚𝑙
43 IP 20 0,25
4
= 0,02795 = 0,1118  0,1
30 0,0195
𝑔 𝑥 0,0026 𝑥 5𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑥 1𝑚𝑙
30 IM 20 0,25
5
= 0,0195 = 0,078  0,05

4) Berikan larutan diazepam 5mg/70kg BB manusia secara PO, IV, IM, IP dan
SC.
 Rute pemberian obat secara oral
Penyuntikan dilakukan di bawah kulit pada daerah leher.
Pegang mencit pada bagian tengkuknya,jarum oral yang telah diisi
dimasukkan ke mulut mencit melalui langit-langit masuk esofagus
Dorong larutan tersebut ke dalam esofagus.
 Rute pemberian secara intra vena
Penyuntikan dilakukan pada vena ekor. Letakkan hewan pada wadah
tertutup sedemikian rupa sehingga mencit tidak leluasa untuk bergerak-
gerak dengan ekor menjulur keluar. Pijat-pijat ekor mencit agar pembuluh
darahnya melebar. Pegang ujung ekor dengan tangan satu dan suntik
dengan tangan yang lain.
 Rute pemberian obat secara intra peritoneal
Penyuntikkan dilakukan pada perut sebelah kanan garis tengah, jangan
terlalu tinggi agar tidak mengenai hati dan kandung kemih. Hewan
dipegang pada punggung sehingga kulit abdomen menjadi tegang. Pada
saat penyuntikan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Suntikan jarum
menembus kulit dan otot masuk ke rongga peritoneal.
 Rute pemberian obat secara intra muscular
Penyuntikan dilakukan pada otot gluteus maximus atau bisep femoris atau
semi tendinosus paha belakang.
 Rute pemberian obat secara subcutan
Penyuntikan dilakukan di bawah kulit tengkuk atau abdomen; seluruh
jarum disuntikkan langsung ke bawah kulit dan larutan obat didesak keluar
dari alat suntik.
5) Catat waktu pemberian obat, kemudian tempatkan mencit pada bejana untuk
pengamatan.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil pengamatan
Tabel hasil pengamatan
Pengamatan
Onset Durasi
Waktu Waktu
Mencit Rute Waktu Kerja Kerja
Obat Hilang Kembali
Jantan Pemberian Obat Obat
Righting Righting
Obat (Menit) (Menit)
Reflex Reflex
Diazepam
1 5mg/70kg PO 09.05 09.59 11.20 54
BB manusia
Diazepam
2 5mg/70kg SC 09.23 10.00 11.20 37
BB manusia
Diazepam
3 5mg/70kg IV 09.20 09.58 11.20 28
BB manusia
Diazepam
4 5mg/70kg IP 09.25 09.55 11.20 30
BB manusia
Diazepam
5 5mg/70kg IM 09.13 09.55 11.20 32
BB manusia

Mencit yang mengantuk akan tampak diam (umumnya di sudut ruang) dan
tampak lunglai. Mencit dikatakan tidur atau mengalami efek sedasi, apabila
tubuhnya dibalik dan berada pada posisi terlentang maka tidak akan kembali
tertelungkup. Jadi, untuk melihat kapan tepatnya terjadi respon awal sedasi maka
harus sering membalikkan badan mencit pada posisi terlentang.

2. Pembahasan
Pada cara pemberian obat secara Oral mulai mengamati pada jam 09:05,
terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam12:16 dan selesai efek perubahan
aktivitas pada jam12:30, durasi pada efek perubahan aktivitas selama 14 menit.
Sedangkan terjadinya perubahan efek sedativ pada jam 12:30 dan selesai efek
sedativ pada jam 12:50, durasi pada efek sedativ selama 20 menit dan tikus 1 yang
diberikan obat secara Oral kembali aktif pada jam 12:50.
Pada cara pemberian obat secara Intravena mulai mengamati pada jam
12:24, terjadinya perubahan aktivitas pada jam 12:27 dan selesai efek perubahan
aktivitas pada 12:30, durasi pada efek perubahan aktivitas selama 3 menit.
Sedangkan terjadinya perubahan efek sedatif pada jam 12:30 dan selesai efek
sedativ pada jam 12:43, durasi pada efek sedativ selama 13 menit. Pada tikus 2,
obat yang diberikan secara Intravena kembali aktif pada jam 12:43.
Pada tikus ke-3 cara pemberian obatnya secara Intrarektal mulai
mengatinya pada jam 12:27, terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam 12:33
dan selesai efek perubahan aktivitas pada jam 12:37, durasi obat yang diberikan
selama 4 menit. Sedangkan terjadinya efek sedativ pada jam 12:37 dan selsai efek
sedativ pada jam 12:49, durasi obat yang diberikan selma 12 menit. Pada tikus ke-
3 mulai aktif kembali pada jam 12:49.
Pada cara pemberian obat secara Intraperitoneal mulai mengamati pada
jam 12:29. Terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam 12:32 dan selesai efek
perubahan aktivitas pada jam 12:39, durasi pada efek perubahan aktivitas selama
7 menit. Sedangkan terjadinya efek sedativ pada jam 12:39 dan selesai efek
sedativ pada jam 13:02, durasi terjadinya efek sedativ selama 23 menit dan pada
tikus ke-4 kembali aktif pada jam 13:02
Pada tikus ke-5 cara pemeberian obatnya yaitu secara Intramuskular, mulai
mengamati pada jam 12:31. Terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam 12:35
dan selesai efek perubahan aktivitas pada jam 12:44, durasi efek pada perubahan
aktivitas selama 9 menit. Sedangkan terjadinya efek sedativ pada jam 12:44 dan
selesai efek sedativ pada jam 12:48, durasi pada efek tersebut selama 4 menit.
Pada tikus ke-5 aktif kembali pada jam 12:48.
Pada tikus ke-6 cara pemberian obatnya secara Subkutan, mulai
mengamati pada jam 12:34. Terjadinya perubahan aktifitas pada jam 12:38,
selesai efek pada jam 12:41 dan durasi pada efek perubahan aktivitas selama 3
menit. Sedangkan pada efek sedativ mulai terjadinya efek pada jam 12:41,
selesai efek pada jam 12:57 dan durasi pada efek sedativ selama 16 menit. Pada
tikus ke-6 terjadinya juga efek hipnotik, mulai terjadinya efek pada jam 12:52 dan
selesai efek pada jam 12:57, durasi pada efek hipnotik selama 5 menit saja. Tikus
ke-6 kembali aktif pada jam 12:57.
Pada percobaan cara pemberian obat, pengamatan yang di dapat
diketauhi bahwa efek sedativ pada pemberian obat Fenobarbital yaitu Oral,
Intravena (IV), Intrarektal (IR), Intra peritoneal (IP), dan Subkutan memiliki efek
yang lebih lambat. Tetapi pada pemberian obat secara Intramuskular (IM)
memiliki efek sedativ yang lebih cepat. Sedangkan pada efek hipnotik hanya
terjadi pada tikus ke-6 yang diberikan obat Fenobarbital secara Subkutan.
BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan
2. Saran

Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai
berikut :
 Data menunjukkan bahwa pemberian obat dengan cara IM memiliki efek
sedatif lebih cepat daripada cara-cara lainnya.
 Sedangkan pada efek hipnotik hanya terjadi pada tikus ke-6 yang diberikan
obat Diazepam 5mg/Kg BB secara Subkutan.
 Peningkatan dosis dapat mempengaruhi onset dan durasi yang dihasilkan
dari pada dosis awal yang diberikan.
 Berat badan dapat mempengaruhi onset dan durasi yang dihasilkan.

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK-UI. (2007). ” Farmakologi Dan Terapi


”. Edisi 5.Gaya Baru; Jakarta, Hal 886, 894-895
Gan, S. (1980). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi 2, Penerbit buku Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. Halaman 120-122
Hitner, H., and Nagle, B. (1999). ”Basic Pharmacology”. Fourth Edition. Mc Graw
Hill ; USA. Pages 231 – 232.
Katzung, B.G. (2002). “Farmakologi Dasar dan Klinik”. Edisi VIII. Penerbit Buku
Salemba Medika ; Jakarta. Halaman 44-46.
Mary, K., and Keogh, J. (2005). ”Pharmacology Demistified”. Mc Graw Hill ; New
Jersey. Pages 42-44
Maksum Radji. (2005). ”Pendekatan Farmakogenomik Dalam Pengembangan Obat
Baru”
BAB I

PENDAHULUAN
EKSPERIMEN DASAR
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEK FARMAKOLOGI
(VARIASI BIOLOGI DAN VARIASI KELAMIN)

1. Latar Belakang
Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok
untuk sebagian besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini bisa terlalu
besar sehingga menimbulkan efek toksik atau terlalu kecil sehingga tidak efektif.
Tanpa adanya kesalahan medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat
yang diminum. Pada pemberian per oral, jumlah obat yang diserap ditentukan oleh
bioavailabilitas obat tersebut, dan bioavailabilitas ditentukan dengan mutu obat
tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat yang
diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya.
Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologik yang
ditimbulkan oleh kadar obat di sekitar tempat reseptor tersebut.
Untuk kebanyakan obat, keragaman respons pasien terhadap obat terutama
disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor
farmakokinetik; kecepatan biotransformasi suatu obat menunjukkan variasi yang
terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan dalam faktor-faktor farmakodinamik
merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman respon pasien. Variasi
dalam berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari
perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik,
interaksi obat dan toleransi. (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI,
2007)
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi
dan enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit
ditentukan oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan pada proses
metabolisme. Kecepatan metabolisme dapat menentukan intensitas dan
memperpanjang kerja obat. Kecepatan metabolisme ini kemungkinan berbeda-
beda pada masing-masing individu. Penurunan kecepatan metabolisme akan
meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat, dan kemungkinan
meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan
intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak efektif
pada dosis normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara
lain faktor genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis
kelamin, perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim
metabolisme dan faktor-faktor lain.
2. Tujuan Praktikum
 Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis kelamin terhadap dosis obat yang
diberikan kepada hewan percobaan
 Mampu membedakan terjadinya efek antara hewan coba yang berkelamin
berbeda antara hewan jantan dan betina sebagai dasar pertimbangan
percobaan dengan memakai hewan coba

3. Prinsip Percobaan
Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif
berbeda-beda pada tiap-tiap individu disebabkan karena adanya variasi
kelamin yang mempengaruhi respons tubuh terhadap obat.
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi dosis, salah satunya yaitu
variasi biologi. Variasi biologi dapat diuji dengan perbandingan tikus dengan
berat badan yang berbeda, perbandingan tikus dengan perbedaan kondisi
tubuh, dan dari perbedaan jenis kelamin jantan dan betina.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Teori Dasar
Banyak faktor yang berpengaruh pada efek obat yang diberikan. Dalam
eksperimen rute pemberian obat, telah ditelaah faktor ini pada efek obat. Kalau
dikatakan bahwa berbagai faktor mempengaruhi dosis obat, maka hal ini
hendaknya dilihat dalam kaitan pengaruh faktor ini terhadap efek obat, sehingga
dengan demikian dosis obat perlu disesuaikan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efek obat dapat dikelompokkan dalam
dua kelompok besar yaitu (1) faktor-faktor lingkungan luar tubuh penerima obat
dan (2) faktor-faktor internal pada penerimaan obat. Kedua faktor ini pada
dasarnya saling berkaitan.Faktor-faktor lingkungan luar tubuh penerima obat
dapat membawa perubahan fundamental dalam diri penerima obat, yang kemudian
memiliki perubahan yang petmanen sebagai ciri khasnya, atau memperoleh
perubahan sementara yang reversible.
Faktor-faktor pada penerima obat yang dapat mempengaruhi efek obat
antata lain usia, status fungsional dan stmkhrral (kondisi patologis dari penerima
obat yang dapat memodifikasi fungsi dan/atau struktur sel, jaringan, organ
maupun sistem tubuhnya dan faklor genetiknya), jenis kelamin, bobot tubuh dan
luas permukaan, suasana kejiwaan penerima obat dan kondisi mikroflora saluran
pencernaan.
Pada umumnya faktor-faktor yang sama antara penerima obat (misalnya
usia, jenis kelamin, bobot tubuh, Iuas permukaan tubuh dan ras) pada pemberian
obat yang sama, dengan dosis sama dan rute pemberian sama masih dapat diamati
efek farmakologi secara kuantitatif berbeda, meskipun status fungsional dan
struktural penerima obat adalah sama. Oleh karena itu diambil kesimpulan bahwa
yang menyebabkan perbedaan ini adalah variasi biologik antara penerima obat-
Sebagai makhluk hidup yang dinamis, selalu ada perbedaan sesaat atau tetap
antara sesamanya, karena pengalaman yang berbeda maupun yang ditanggapi
secara berbeda.
Jenis kelamin dapat mengakibatkan perbedaan yang kualitatif dalam efek
farmakologi obat. Perbedaan yang kadang kala fundamental dalam pola fisiologi
dan biokimia antara jenis jantan dan betina menyebabkan hal ini.
Variasi-variasi metabolisme obat yang tergantung pada jenis kelamin telah
dikenal baik pada hewan tikus tetapi tidak ditemukan pada binatang pengerat
lainnya. Tikus-tikus jantan muda dewasa menunjukkan metabolisme obat yang
jauh lebih cepat daripada tikus-tikus betina muda dewasa atau tikus jantan
pubertas. Perbedaan ini disebabkan oleh hormon androgenik. Beberapa laporan
klinik menyarankan bahwa perbedaan metabolisme yang sex dependent ini terjadi
juga pada obat-obat seperti etanol, propanolol, benzodiazepin, estrogen, dan
salisilat. wanita cenderung memiliki persentase dari lemak tubuh yang lebih tinggi
dan memiliki persentase cairan tubuh yang lebih rendah dari pada pria pada berat
badan yang sama. (Mary K. and Jim K., 2005)

Pengaruh Variasi Biologis Hewan Percobaan


Variasi biologis berarti tidak ada dua akan memberikan atau lebih sediaan
uji yang diharapkan akan memberikan hasil yang identic dan sediaan yang sama
pada saat yang sama diharapkan menimbulkan reaksi yang berbeda.

Ada 4 hal dilihat dalam menentukan hewan coba :


1. Umur
Bayi atau hewan yang baru lahir memiliki respon yang berbeda dengan hewan
yang telah dewasa. Disebabkan oleh pendewasaan organisme. Misalkan tikus,
hamster, dan mencit. Hewan tersebut terlahir dengan sawar otak yang secara
fungsional tidak matang dan kadar amino tak lebih rendah dari hewan
dewasannya. Indikasi lain untuk membedakan hewan yang lebih muda dan
lebih tua dengan memberikan reseprin pada bayi tikus dan terjadi
penggosongan katekolamin otak, hal tersebut disebabkan oleh dosis resperin
jauh lebih intensif pada hewan muda dibandingkan dengan hewan yang lebih
tua.
2. Spesies
Pemilihan spesies akan sangat berpengaruh pada tingkat keberhasilan
penelitian. Percobaan dilakukan ada yang menggunakan spesies yang relative
kecil dan ada juga spesies yang karasteristik yang unit yang memberikan
keuntungan bagi peneliti obat spesifik. Sebagai contoh monyet memiliki
system respirasi dan thoraks yang sama dengan manusia. Setiap hewan
berbeda –beda responnya, disebabkan oleh injeksi SC. Sebagai contoh respon
obat pada kelinci dan tikus. Pada kelinci darahnya yang membuat relative
resistensi terhadap blockade atropine sedangkan pada tikus terjadi reflex
muntah.
3. Strain
Strain hewan yang memiliki aplikasi spesifik di dalam penelitian analog
penyakit manusia, termaksuk mencit yang gemuk secara genetis yang kurang
peka terhadap ambilan diafragmatik dan jaringan adipose terhadap glukosa
radioaktif selama pembentukan glikogen. Aktivitas strain mencit secara
konsisten lebih rendah dari pada mencit jantan dansetiap strain yang
diwariskan.
Strain tikus dapat diketahui dengan perbedaan konsentrasi sel darah putih yang
beredar di dalam darahnya.
4. Jenis Kelamin
Penelitian untuk menentukan perbedaan aktivitas biologis antara hewan jantan
dan betina. Betina memiliki siklus yang berhubungan dengan ovulasi misalnya
siklus estrus begitu pula dengan sebaliknya. Sebagai contoh pada tikus
dianastesi dengan disuntikkan oksitosin. Selama fase diestrus dan anestrus
bersifat vasodilator. Namaun pada fase estrusoksitosin menyebabkan
vasokontrikisi dan menyebabkan kenaikan tekanan darah. Pada tikus jantang
diketahui memiliki aktivitas enzim yang lebih besar, seperti enzim aminopirin
N-demitilasi dan disaat berumur 7 minggu mengalami ulkus lambung yang
diinduksi oleh respire lebih nyata dibandingkan dengan tikus betina pada umur
yang sama.

Righting reflex adalah refleks mencit yang apabila tubuhnya dibalik dan
berada pada posisi terlentang, maka akan kembali tertelungkup.

Onset kerja adalah mula kerja obat (diamati waktu antara pemberian obat
sampai timbulnya efek hilangnya refleks balik badan jika ditelentangkan selama
30 detik hingga tidur).

Durasi kerja adalah lama kerja obat (diamati waktu antara timbulnya efek
hilangnya reflex balik badan jika ditelentangkan selama 30 detik hingga tidur,
sampai hilangnya efek tersebut).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

1) Hewan Coba
 Mencit putih jantan jumlah 2 ekor
 Mencit putih betina jumlah 2 ekor
Usia mencit 2 bulan dengan bobot tubuh antara 20-34g

2) Alat
 Disposable spuit injeksi 1ml 4 buah
 Bejana untuk pengamatan
 Timbangan hewan
 Stopwatch

3) Bahan Obat
Diazepam 5mg/70kg BB manusia

4) Prosedur Kerja
1) Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing-
masing mencit selama 10 menit.
2) Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-rnasing
mencit.
PERHITUNGAN DOSIS
 Faktor konversi dosis berdasarkan luas permukaan tubuh antara manusia
70kg dan mencit 20g adalah = 0,0026
 Volume maksimal pemberian obat pada mencit :
IV = 0,5ml ; IM = 0,05ml ; IP = 1ml ; SC = 0,5-1ml ; PO = 1ml
 Sediaan Diazepam di laboratorium = 0,25mg/ml (pengenceran 20X)
Tabel Perhitungan Dosis
Bobot
Rute
Mencit mencit Dosis obat (mg) Volume obat (ml)
pemberian
(g)
28 0,0182
𝑔 𝑥 0,0026 𝑥 5𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑥 1𝑚𝑙
28 IP 20 0,25
Betina 1
= 0,0182 = 0.0728 0.07
29 0.01885
𝑔 𝑥 0,0026 𝑥 5𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑥 1𝑚𝑙
29 IP 20 0,25
Betina 2
= 0,01885 = 0,0754 0,07
32 0,0208
𝑔 𝑥 0,0026 𝑥 5𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑥 1𝑚𝑙
32 IP 20 0,25
Jantan 1
= 0,0208 = 0.0832  0,08
35 0,02275
𝑔 𝑥 0,0026 𝑥 5𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑥 1𝑚𝑙
35 IP 20 0,25
Jantan 2
= 0,02275 = 0,091  0,09

3) Berikan larutan diazepam 5mg/70kg BB manusia secara IP


Penyuntikkan dilakukan pada perut sebelah kanan garis tengah, jangan terlalu
tinggi agar tidak mengenai hati dan kandung kemih. Hewan dipegang pada
punggung sehingga kulit abdomen menjadi tegang. Pada saat penyuntikan
posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Suntikan jarum menembus kulit dan
otot masuk ke rongga peritoneal.
4) Catat waktu pemberian obat, kemudian tempatkan mencit pada bejana untuk
pengamatan.
5) Amati selama 45 menit.
6) Catat dan tabelkan pengamatan masing-masing kelompok. Bandingkan
hasilnya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Pengamatan
Tabel Hasil Pengamatan
Pengamatan
Waktu Waktu Onset Durasi
Waktu
Hilang Kembali Kerja Kerja
Mencit Obat Rute Pemberian
Righting Righting Obat Obat
Obat
Reflex Reflex (menit) (menit)
(menit)
(menit) (menit)
Diazepam 5 mg/ 70
Jantan 1 IP 09.23 09.55 11.00 32
kgBB manusia
Diazepam 5 mg/ 70
Jantan 2 IP 09.21 09.52 11.00 31
kgBB manusia
Diazepam 5 mg/ 70
Betina 1 IP 09.20 10.03 11.00 43
kgBB manusia
Diazepam 5 mg/ 70
Betina 2 IP 09.15 10.01 11.00 46
kgBB manusia

Mencit yang mengantuk akan tampak diam (umumnya di sudut ruang) dan tampak
lunglai. Mencit dikatakan tidur atau mengalami efek sedasi, apabila tubuhnya dibalik
dan berada pada posisi terlentang maka tidak akan kembali tertelungkup. Jadi, untuk
melihat kapan tepatnya terjadi respon awal sedasi maka harus sering membalikkan
badan mencit pada posisi terlentang.

2. Pembahasan
Pada mencit betina 1, awalnya aktivitasnya normal, setelah disuntik pada
menit ke 2 : 57 mencit mengalami perubahan aktifitas. Untuk mengalami sedative,
membutuhkan waktu yang lama yaitu pada menit ke 13 : 23 mencit mulai tenang.
Pada menit ke 18 : 43 mencit mengalami keadaan hipnotik yang membuat mencit
tidur. Setelah itu mencit terbangun kembali dan tidak mengalami anastesi.
Pada awalnya betina, awalnya aktivitasnya normal, setelah disuntik pada
menit ke 9:56 mencit mengalami perubahan aktifitas. Untuk mengalami sedative
dalam waktu yang lama yaitu pada menit ke 17:17 mencit mulai tenang. Setelah
itu mencit sadar dan dalam keadaan normal kembali sampai 17 : 20 dan kemudian,
mencit pun masuk kedalam fase hipnotik hingga menit ke 37 : 25 yang membuat
mencit tidur. Setelah itu mencit terbangun kembali dan tidak mengalami anastesi.
Pada mencit betina ke 2 dalam keadaan normal (sebelum disuntik), lalu
diamati setelah disuntik, mencit mengalami perubahan aktivitas pada menit ke
03.45, kemudian mencit mulai mengalami efek sedativ pada menit ke 10:13,
setelah diamati kembali mencit mulai memasuki fase hipnotik pada menit ke
15:05, hingga pada menit ke 20:04 mencit kembali normal, tanpa mengalami
anastesi.
Pada mencit betina ke 3 diamati dalam keadaan normal (sebelum disuntik),
lalu diamati setelah disuntik, mencit mengalami perubahan aktivitas pada menit ke
04:02, kemudian mencit menjadi lebih tenang atau mulai mengalami efek sedativ
pada menit ke 05:26, setelah diamati kembali mencit mulai memasuki fase
hipnotik pada menit ke 13:27, hingga pada menit ke 20:00 mencit kembali
bergerak normal, tanpa mengalami anastesi.
Mencit jantan 1 diamati dalam keadaan normal (sebelum disuntik), lalu
diamati setelah disuntik, telihat mencit ,mulai mengalami perubahan aktivitas
pada menit ke 03:15, kemudian mencit menjadi lebih tenang atau mulai
mengalami efek sedativ pada menit ke 06:08, setelah diamati kembali mencit
mulai memasuki fase hipnotik pada menit ke 11:08, hingga pada menit ke 16:11
mencit kembali bergerak normal, tanpa mengalami anastesi.
Pada mencit jantan III, aktifitas awal normal,setelah disuntikkan pada
menit ke 4 : 00 terjadi perubahan aktifitas dimana mencit mulai memojok. Pada
menit ke 7 : 48 mencit mulai mengalami sedative yang menenangkan mencit.
Mencit mengalami sedative cukup lama, kemudian pada menit ke 13 : 23 mencit
mengalami hipnotik yang meningkatkan keinginan untuk tidur. Pada menit ke 14 :
40 mencit mengalami anastesi sampai ke 22 : 37, setelah itu mencit terbangun dan
melakukan aktifitas seperti biasa.
Adanya perbedaan lama durasi pada hewan uji, kemungkinan disebabkan
oleh perbedaan berat badan hewan, yang mempengaruhi dosis. Adanya kesalahan
pada saat penyuntikan juga dapat mempengaruhi lama kerja obat atau durasi.
Kesulitan pada saat penyuntikan karna hewan coba yamg selalu bergerak atau
stess juga menyebabkan kesalahan pada penyuntika tidak tepat.
BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan,
sebagai berikut :
1. Adanya perbedaan jenis kelamin hewan mempengaruhi pennyerapan obat
dan metabolismenya
2. Pada mencit betina terjadi efek yang cepat namun durasi yang cepat
dikarenakan tidak memiliki kadar lemak dan air yang kecil dibandingkan
dengan mencit jantan yang memiliki kadar minyak dan air yang lebih
banyak.
Jenis kelamin akan mempengaruhi respon obat yang diberikan, dimana
jantan lebih cepat memberika respon dari pada betina karena pengaruh hormone
androgen.
Variasi biologi mempengaruhi pemberian dosis obat, pada tikus I (berat
badan 121 g), tikus mengalami ataksia ringan sedangkan pada tikus II berat badan
(146 g), tikus mengalami ataksia sedang.
Hal ini dapat dilihat pada saat tikus I diberikan rangsangan, respon yang di
berikan tikus I sedikit lebih cepat dibanding tikus II. Namun, meskipun tikus II
mengalami respon yang sedikit lebih lambat dari tikus I tidak menutup
kemungkinan bahwa tikus II dapat mencapai efek yang diharapkan namun dalam
waktu lebih dari 45 menit.
Ketidaksesuaian efek yang diharapkan dengan data yang diperoleh dapat
disebabkan karena efek fisiologis tikus yang sudah mengalami stres sebelum obat
diberikan, atau lokasi tempat pemberian obat (dalam percobaan ini intraperitonial)
yang kurang sesuai.
Sedangkan pada tikus III (berat badan 118 g) yang diberikan larutan fisiologis
NaCl tidak memberikan efek. Hal ini sesuai karena pada percobaan ini tikus III
hanya dijadikan tikus kontrol.

2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Tim Dosen Praktikum Farmakologi,Penuntun Praktikum Farmakologi,Fakultas


Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Isntitut Sains Dan Teknologi
Nasional,2013.
Gan, S. (1980). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi 2, Penerbit buku Bagian
Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. Halaman 120-122
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Farmakope Indonesia,ed.IV,1995
Tim Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005. Farmakologi dan
Terapi. Jakarta: Gaya Baru
BAB I

PENDAHULUAN

OBAT SISTEM SARAF PUSAT

UJI ANALGESIK AKIBAT INDUKSI KIMIA

DENGAN METODE GELIAT

1. Latar Belakang

2. Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat :
 Mengamati respon geliat atau writhing reflex pada mencit akibat induksi
kimia
 Mengetahui mula kerja obat (onset of action),lama kerja obat (duration of
action) dan saat obat mencapai efek yang maksimum

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Teori Dasar
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman
berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Nyeri erat kaitannya dengan
inflamasi atau radang atau karena nyeri merupakan respon pertama munculnya
peradangan. Nyeri merupakan gejala penyakit yang timbul jika terdapat
rangsangan mekanik, thermal, kimia atau listrik yang melampaui nilai ambang
nyeri dan menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan mediator nyeri
seperti bradikinin dan prostaglandin. Kemudian prostaglandin menimbulkan
hiperalgesia sehingga mediator nyeri seperti bradikinin dan histamine merangsang
dan menimbulkan nyeri yang nyata.

Analgetika atau obat penhilang nyeri adalah zat-zat yang menghalau rasa nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran. Acetosal, antalgin, asam mefenamat,
indometasin dan lain-lain merupakan analgetik perifer yang mampu meringankan
atau menghilangkan rasa nyeri dengan caramerintangi terentuknya rangsangan
pada reseptor nyeri perifer. Mekanismenya melalui penghambatan biosintesis
prostaglandin dengan memblok enzim siklooksigenase. Prostaglandin adalah
mediator nyeri perifer. Injeksi PGE2 dan PGI2 secara intradermal dalam waktu
singkat menyebabkan respon radang berupa eritema, vasodilatasi, edema dan
hiperalgesia. Respon dapat berlangsung hampir l0 jam.
Asam asetat glasial merupakan penginduksi nyeri kimia yang digunakan
untuk menstimulasi rasa sakit pada peritoneum mencit; dengan responnya berupa
geliat atau writhing reflex. Selain asam asetat glasial, untuk menginduksi nyeri/
rasa sakit pada mencit dapat digunakan fenilkinon. Bahan penginduksi tersebut
diberikan secara intraperitoneum. Parietal peritonium sangat sensitif terhadap
stimulasi fisik dan kimia walaupun tidak terjadi inflamasi. Keberadaan cairan
dalam peritonium dapat menstimulasi rasa sakit.
Reflek geliat atau writhing reflex merupakan reflek nyeri pada mencit
akibat substansi penginduksi nyeri. Dalam waktu ±5 menit setelah diberi
penginduksi nyeri, umumnya mencit mulai merasakan nyeri. Hewan akan berdiam
di suatu tempat, yang biasanya di sudut ruangan, badannya ditekuk, bulunya
acapkali berdiri dan ekornya diangkat ke atas. Setelah beberapa saat, hewan akan
bergerak perlahan, menarik satu atau kedua kaki belakangnya, badannya
direntangkan dan perutnya ditekan hingga menyentuh dasar. Gerakan ini
seringkali disertai dengan gerakan kepala yang menoleh ke belakang sehingga
tampak seolah-olah mencit tersebut menggeliat. Reflek ini dapat terjadi selama
masa durasi kerja penginduksi. Refleks geliat ini selanjutnya digunakan sebagai
parameter uji pada metode ini.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

1. Hewan Coba
 Mencit putih jantan jumlah 3 ekor, bobot tubuh 20-30g

2. Obat
 Larutan asam asetat glasial 3% sebanyak 0,5 ml secara IP ( yang sudah
diencerkan )  sebagai penginduksi nyeri ( pemberi rasa nyeri )
 CMC Na 1% secara PO  sebagai kontrol
 Asam mefenamat 500 mg/ 70 kg BB manusia secara PO  antinyeri/analgetik
 Parasetamol 500 mg/ 70 kg BB manusia secara PO  antinyeri/analgetik

3. Alat
 Spuit Injeksi 1 ml 6 buah
 Jarum sonde oral
 Timbangan hewan
 Bejana untuk pengamatan
 Stopwatch

4. Prosedur kerja
1) Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing-
masing mencit selama 10 menit.
2) Masing-masing mencit akan diberikan analgetik yang berbeda serta control.
3) Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing
mencit.
PERHITUNGAN DOSIS
 Faktor konversi dosis berdasarkan luas permukaan tubuh antara manusia
70kg dan mencit 20g adalah = 0,0026
 Volume maksimal pemberian obat pada mencit :
IV = 0,5ml ; IM = 0,05ml ; IP = 1ml ; SC = 0,5-1ml ; PO = 1ml
 Sediaan Asam Mefenamat di laboratorium = 500mg/50ml
 Sediaan Parasetamol di laboratorium = 500mg/50ml
 CMC Na 1% yang digunakan sebanyak 0,5ml
 Asam asetat glasial 3% (yang sudah diencerkan) digunakan masing-
masing 0,5ml
 Tabel Perhitungan Dosis
Mencit Bobot Nama Rute Volume obat
Dosis obat (mg)
Jantan mencit Obat pemberian (ml)
CMC Na
28 g PO - 0,5 ml
1 1%
35 2,275
Asam 𝑔 𝑥 0,0026 𝑥 500𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑥 50𝑚𝑙
35 g PO 20 500
2 Mefenamat
= 2,275 = 0,2275  0,2
35 2,275
𝑔 𝑥 0,0026 𝑥 500𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑥 50𝑚𝑙
35 g Paracetamol PO 20 500
3
= 2,275 = 0,2275  0,2

4) Berikan larutan obat yang berbeda sesuai perhitungan pada ketiga mencit
secara Per Oral dan catat waktu pemberiannya.
5) Setelah ditunggu 15-30 menit, kemudian diberi penginduksi nyeri asam asetat
glasial 3% (yang sudah diencerkan) sebanyak 0,5 ml secara IP pada masing-
masing mencit.
6) Tempatkan mencit ke dalam bejana untuk pengamatan.
7) Amati, catat dan tabelkan pengamatan respon geliat mencit.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Pengamatan
Tabel Hasil Pengamatan

Pengamatan
Jumlah Geliat
Hewan Obat
Respon Awal dalam Periode
15-60 menit
82 geliat
Mencit 1 CMC Na l% secara PO Diam
( 30 menit)
Mencit Diam
Mencit 2
Asam mefenamat
500 mg/ 70 kg BB 23 geliat
manusia secara PO Lalu kemudian mulai (30 menit)
bergerak kembali

Mencit Lincah
Asam mefenamat
14 geliat
Mencit 3 500 mg/ 70 kg BB
Mencit diam, lalu (30 menit)
manusia secara PO
lincah kembali

Mencit Masih Lincah


Parasetamol
46geliat
Mencit 4 500 mg/ 70 kgBB
(30 menit)
manusia secara PO Mencit masih
bergerak aktif

2. Pembahasan
Mencit 1 dengan berat badan 35 gr disuntikkan Asam Mefenamat secara
PO sebanyak 0,2 ml mengalami perubahan aktivitas dengan durasi selama 13:95
menit, efek sedatif berlangsung selama 10:99 menit, dan efek hipnotik durasinya
selama 08:92 menit. Pada tikus 2 dengan berat badan 132g disuntikkan
phenobarbital secara intravena sebanyak 0,2 ml mengalami perubahan aktifitas
dengan durasi selama 07:75 menit, efek sedatif berlangsung selama 12:19 menit,
dan efek hipnotik durasinya selama 06:18 menit. Pada tikus kontrol, tidak
mengalami perubahan aktivitas karen hanya diberikan larutan NaCl saja.
Digunakan larutan ini karena kandungan dan sifat larutan tersebut merupakan
bahan yang juga terkandung dalam tubuh tikus. Oleh sebab itu tidak akan
memberikan pengaruh apapun terhadap tikus yang diuji coba.

Dari kedua hewan uji tersebut, didapat perbedaan lama durasi yang
dicapai pada masing-masing hewan uji. Hal ini kemungkinan dapat
disebabkan oleh perbedaan berat badan hewan uji. Obat phenobarbital ini
merupakan golongan barbiturat yang mudah larut dalam lemak, dapat
ditimbun dijaringan lemat dan otot sehingga menyebabkan kadar obat dalam
plasma dan otak menurun dengan cepat.

Adanya kesalahan pada saat penyuntikan juga dapat mempengaruhi


durasi obat pada hewan uji. Pada tikus 2 saat proses penyuntikan, obat
phenobarbital tersebut tidak masuk seluruhnya kedalam jaringan tubuh tikus.
Hal ini terjadi karena hewan uji tersebut bergerak-gerak sehingga mengganggu
pada saat penyuntikan berlangsung. Pada tikus 2 didapatkan hasil pengamatan
berupa durasi yang lebih pendek dibandingkan dengan tikus 1. Hal ini dapat
terjadi karena obat yang masuk lebih sedikit sehingga efek yang ditimbulkan
lebih cepat, sedangkan pada tikus 1 durasi yang dihasilkan lebih panjang. Hal
ini disebabkan karena obat yang masuk kedalam tubuh hewan uji sesuai
dengan dosis yang telah dihitung sehingga jumlah obat yang harus dieliminasi
lebih banyak.
BAB V
PENUTUP

1. Kesimpulan
 Dari kedua hewan uji tersebut, didapat perbedaan lama durasi yang dicapai
pada masing-masing hewan uji. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh
perbedaan berat badan hewan uji.
 Adanya kesalahan pada saat penyuntikan juga dapat mempengaruhi durasi obat
pada hewan uji.
 Pada tikus 2 didapatkan hasil pengamatan berupa durasi yang lebih pendek
dibandingkan dengan tikus 1. Hal ini dapat terjadi karena obat yang masuk
lebih sedikit sehingga efek yang ditimbulkan lebih cepat, sedangkan pada tikus
1 durasi yang dihasilkan lebih panjang.

2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara Sulistia et al. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: UI Press.


Ikawati, Z., (2006). Pengantar Farmakologi Molekuler. Yogyakarta: Gadjah Mada
Katzung, Bertram G.2002. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika.
Mycek, M. J., (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi II. Jakarta: Widya
Medika
Purwanto, SL dan Istiantoro, Yati. 1992. DOI(Data Obat DiIndonesia).Jakarta: PT.
Grafindian Jaya.
Tim Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005. Farmakologi dan
Terapi. Jakarta: Gaya Baru.
BAB I

PENDAHULUAN
EFEK LOKAL OBAT
(METODE ANASTESI LOKAL)

1. Latar Belakang

2. Rumusan Masalah
a. Apakah Pemberian obat anastesi pada kelinci menyebabkan adanya respon
haffner
b. Apakah terdapat pengaruh perbedaan berat badan pada kelinci dengan efek
yang timbul?
c. Apakah ada pengaruh cara pemberian terhadap efek local obat yang
timbul?

3. Tujuan Praktikum
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat :
a. Mengenal berbagai teknik untuk menyebabkan anastesi local pada hewan
coba.
b. Memahami faktor yang melandasi perbedaan dalam sifat dan potensi kerja
anastetika local.
c. Memahami faktor yang mempengaruhi potensi kerja anastetika local
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Teori Dasar
Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau
blokade lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang
transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik
lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan
dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf. Anestetik lokal
menghilangkan penghantaran saraf ketika digunakan secara lokal pada jaringan
saraf dengan konsentrasi tepat. Bekerja pada sebagian Sistem Saraf Pusat
(SSP) dan setiap serabut saraf. Kerja anestetik lokal pada ujung saraf sensorik
tidak spesifik. Hanya kepekaan berbagai struktur yang dapat dirangsang berbeda.
Serabut saraf motorik mempunyai diameter yang lebih besar daripada serabut
sensorik. Oleh karena itu, efek anestetika lokal menurun dengan kenaikan
diameter serabut saraf, maka mula-mula serabut saraf sensorik dihambat dan baru
pada dosis lebih besar serabut saraf motorik dihambat.
Anastetika local adalah obat yang menghambat konduksi saraf apabila
dikenakan secara local pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Contoh anastetika
local adalah kokain dan ester asam para amino benzoate (PABA) yaitu prokain
dan lidokain.
Lidokain adalah satu obat anastetika local dari golongan amida. Lidokain
terdiri dari satu gugus lipofilik (biasanya merupakan suatu cincin aromatik) yang
dihubungkan suatu rantai perantara (jenis amid) dengan suatu gugus yang mudah
mengion (amin tersier). Dalam penerapan terapeutik, mereka umumnya
disediakan dalam bentuk garam agar lebih mudah larut dan stabil. Didalam tubuh
mereka biasanya dalam bentuk basa tak bermuatan atau sebagai suatu kation.
Perbandingan relative dari dua bentuk ini ditentukan oleh harga pKa nya dan pH
cairan tubuh, sesuai dengan persamaan Henderson-Hasselbalch.3
Lidokain merupakan obat terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap
prokain dan juga epinefrin. Biasanya Lidokain digunakan untuk anestesi
permukaan dalam bentuk salep, krim dan gel. Efek samping Lidokain biasanya
berkaitan dengan efeknya terhadap SSP misalnya kantuk, pusing, paraestesia,
gangguan mental, koma, dan seizure.
Beberapa teknik untuk menyebabkan anastesi local pada hewan coba di
antaranya:

1. Anestesi Lokal Metode Permukaan.

Anestetika local digunakan pada mukosa atau permukaan luka dan


berdifusi ke organ akhir sensorik dan ke percabangan saraf terminal. Pada
epidermis yang utuh (tidak terluka) maka anestetika local hampir tidak
bekhasiat karena tidak mampu menembus lapisan tanduk. Efek anastesi ini
tercapai ketika anastetika local ditempatkan di daerah yang ingin dianastesi

2. Anestesi Lokal Metode Infiltrasi.

Anestetika local disuntikkan ke dalam jaringan, termasuk juga diisikan


ke dalam jaringan. Dengan demikian selain organ ujung sensorik, juga batang-
batang saraf kecil dihambat, mengakibatkan kehilangan sensasi pada struktur
sekitarnya.

3. Anastesi Lokal Metode Regnier


Mata normal apabila disentuh pada kornea akan memberikan respon
refleks ocular (mata berkedip). Jika diteteskan anstestika local, respon refleks
ocular timbul setelah beberapa kali kornea disentuh sebanding dengan
kekuatan kerja anastetika dan besaran sentuhan yang diberikan. Tidak adanya
respon refleks ocular setelah kornea disentuh 100 kali dianggap sebagai tanda
adanya anastesi total'

4. Anestesi Lokal Metode Konduksi

Anestesia konduksi (juga di sebut blockade-saraf perifer), yaitu injeksi


di tulang belakang pada suatu tempat berkumpulnya banyak saraf, hingga
tercapai anesthesia dari suatu daerah yang lebih luas, terutama pada operasi
lengan atau kaki, juga bahu. Juga digunakan untuk menghalau rasa nyeri
hebat. Pada anestesi konduksi, anestetika local disuntikkan di sekitar saraf
tertentu yang dituju dan hantaran rangsang pada tempat ini diblok. Bentuk
khusus dari anestesi konduksi ini adalah anestesi spinal, anestesi peridural, dan
anestesi paravertebral. Respon anastesi local yang disuntikkan ke dalam
jaringan dilihat dari ada/ tidaknya respon Haftrer. Respon Haffter adalah
refleks mencit yang apabila ekornya dijepit, maka terjadi respon angkat ekor/
mencit bersuara.

Teknik Anestesi

Ada dua teknik anestesi lokal yang memberikan hasil yang baik, yaitu blok
dan infiltrasi. Kedua cara ini masing-masing mempunyai keuntungan dan
kerugian.

1. Blok

Dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi di area tertentu dimana saraf


yang mempersarafinya diblok agar rangsang nyeri tidak dilanjutkan. Jadi
dengan teknik blok, anestesi dilakukan di proksimal daerah operasi. Pada
daerah operasinya dapat juga ditambahkan anestesi infiltrasi. Penguasaan
anatomis persarafan sangat penting diketahui.

Keuntungan:

 Keberhasilan cukup tinggi

 Area yang teranestesi relatif bisa lebih luas dibandingkan dengan


anestesi infiltrasi

 Obat yang dipakai lebih sedikit sehingga menurunkan toksisitas

Kerugian

 Teknik lebih rumit

 Penyuntikan tergantung daerah operasi

 Tidak semua daerah operasi dapat dilakukan tindakan anestesi ini

 Cedera saraf permanen


2. Infiltrasi

Dilakukan penyuntikan di sekitar area operasi. Suntikan dilakukan di daerah


subkutis. Teknik yang berkembang saat ini adalah field blok, yaitu
menginfiltrasi suatu area dengan terget operasi ditengahnya. Setelah seluruh
pinggir area diinfiltrasi, area tepat diatas insisi diinfiltrasi lagi. Jarak antara
pinggir daerah yang diinfiltrasi dengan target operasi tidak melebihi 2 cm. Jika
lebih maka kemungkinan masih ada impuls saraf yang tidak terblok. Jika
memang masa yang akan operasi cukup besar, kemungkinan diperlukan
infiltrasi beberapa lingkaran, agar area yang diinfiltrasi menjadi luas.
Kedalaman infiltrasi tergantung dari jenis operasi. Jika masa yang diambil
cukup dalam, maka perlu juga dilakukan infiltrasi lebih dalam, bahkan sampai
otot atau periosteum.

Teknik infiltrasi

1. Masukan jarum di salah satu sudut area operasi.

2. Arahkan ke area kanan, aspirasi, jarum dicabut (tetapi tidak sampai lepas
dari kulit) sambil obat dikeluarkan.

3. Jarum dibelokan ke arah kiri, aspirasi, jarum dicabut sambil obat


dikeluarkan.

4. Masukan jarum di sudut yang bersebrangan dengan sudut tadi

5. Arahkan ke area kanan, aspirasi, jarum dicabut (tetapi tidak sampai lepas
dari kulit) sambil obat dikeluarkan

6. Jarum dibelokan ke arah kiri, aspirasi, jarumdicabut sambil obat


dikeluarkan.

7. Lanjutkan penyuntikan ketiga tepat diatas garis yang akan diinsisi

8. Masase

9. Cek dengan menjepitkan pinset

Komplikasi Tindakan Anestesi


1. Hematom

Terjadi karena pecahnya pembuluh darah ketika anestesi yang kemudian darah
berkumpul di submukosa sehingga menimbulkan benjolan. Hematom ini dapat
terus membesar atau berhenti tergantung dari besarnya pembuluh darah yang
terkena. Pada pembuluh darah kecil biasanya hematom tidak membesar karena
platelet plug sudah cukup untuk menghentikan kebocoran tadi. Jika terjadi
hematom, kita evaluasi beberapa saat apakah hematom itu terus membesar
atau tetap. Jika terus membesar, kita harus berusaha mencari pembuluh darah
yang pecah dan mengikatnya kemudian membuang bekuan darah yang
terkumpul. Tetapi jika hematom tidak membesar hanya diperlukan membuang
masa hematomnya saja.

2. Udem

Disebabkan terlalu banyaknya obat anestesi yang diberikan sehingga obat


tersebut berkumpul dalam jaringan ikat longgar mukosa dan sub mukosa. Hal
ini akan mempersulit ketika melakukan penjahitan. Udem akibat anestesi ini
diabsorpsi dalam 24 jam

3. Syok Anafilaktik

Syok anafilaksis disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas type I. Terjadi


vasodilatasi perifer sehingga terjadi pengumpulan darah di perifer. Akibatnya
terjadi penurunan venous return sehingga cardiac output pun menurun.
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Anastesi Lokal Metode Permukaan


1. Hewan coba
 Kelinci 1 ekor , bobot tubuh ±1,5 kg
2. Obat
 Tetes mata lidokain HCl 2%
3. Alat
 Gunting
 Aplikator
 Kotak kelinci
 Stopwatch

4. Prosedur Kerja
1) Siapkan kelinci. Gunting bulu mata keiinci dan gunakan sebagai aplikator.
2) Sebelum pemberian obat, cek ada/ tidaknya respon refleks ocular mata
(mata berkedip) dengan menggunakan aplikator pada kornea mata secara
tegak lurus pada menit ke-0.
CATATAN: Jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan ritme harus
diatur.
3) Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci:
a. Mata kanan : tetes mata Lidokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes
b. Mata kiri : tetes mata Lidokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes
4) Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama satu menit.
5) Cek ada/ tidaknya respon refleks ocular mata (mata berkedip) dengan
menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit
ke-5, 10, 15, 20, 30, 45, 60.
6) Catat dan tabelkan Pengamatan.
7) Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9%
pada kedua mata kelinci.

B. Anastesi Lokal Metode Regnier


1. Hewan coba
 Kelinci 1 ekor , bobot tubuh ±1,5 kg
2. Obat
 Tetes mata lidokain HCl 2%
3. Alat
 Gunting
 Aplikator
 Kotak kelinci
 Stopwatch

4. Prosedur Kerja
1) Siapkan kelinci. Gunting bulu mata keiinci agar tidak mengganggu
aplikator.
2) Sebelum pemberian obat, cek ada/ tidaknya respon refleks ocular mata
(mata berkedip) dengan menggunakan aplikator pada kornea mata secara
tegak lurus pada menit ke-0.
CATATAN: Jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan ritme harus
diatur.
3) Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci:
Mata kanan : tetes mata lidokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes
Mata kiri : tetes mata lidokain HCl 2% sebanyak 1 -2 tetes
4) Tutup kelopak mata kelinci selama satu menit.
5) Cek ada/ tidaknya respon refleks ocular mata (mata berkedip) dengan
menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit
ke-5, 10, 15, 20, 30, 45, 60.
6) Ketentuan metode Regnier:
 Pada menit ke-8:
- Jika pemberian aplikator sampai 100 kali tidak ada respon
refleks okuler → maka dicatat angka 100 sebagai respon
negative.
- Jika pemberian aplikator sebelum 100 kali terdapat respon
refleks okuler → maka dicatat angka terakhir saat memberikan
respon sebagai respon negative.
 Pada menit ke-15, 20,25,30, 40, 50, 60:
- Jika pemberian aplikator pada sentuhan pertama terdapat
respon refleks okuler → maka dicatat angka 1 sebagai respon
negative dan menit-menit yang tersisa juga diberi angka 1.
 Jumlah respon refleks okuler negative dimulai dari menit ke-8
hingga menit ke-60. Jumlah ini menunjukkan angka Regnier
dimana efek anastetika local dicapai pada angka Regnier minimal
13 dan maksimal 800.
7. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada
mata kanan dan kiri kelinci.
8. Catat dan tabelkan Pengamatan.
C. Anastesi Lokal Metode Infiltrasi
1. Hewan coba
 Kelinci 1 ekor , bobot tubuh ±1,5 kg
2. Obat
 Larutan Lidokain HCl 1% sebanyak 0,5ml
 Larutan Lidokain HCl 1% dalam adrenain (1:50.000) sebanyak 0,5ml
3. Alat
 Gunting
 Alat Cukur
 Aplikator
 Disposable spuit 1ml
 Peniti
 Spidol
 Kotak kelinci
 Stopwatch
4. Prosedur Kerja
1) Siapkan kelinci. Gunting bulu punggung kelinci dan cukur hingga bersih
kulitnya (hindari terjadinya luka).
2) Gambar empat daerah penyuntikan dengan jarak ±3 cm.
3) Sebelum pemberian obat, cek ada/ tidaknya respon getaran otot punggung
kelinci dengan menggunakan peniti sebanyak enam kali sentuhan pada
daerah penyuntikan pada menit ke-0.
CATATAN: Jangan terlalu keras menggunakan peniti dan ritme harus
diatur
4) Suntikkan larutan obat tersebut pada daerah penyuntikan yaitu pada
punggung kelinci yang telah dicukur secara SubCutan.
5) Cek ada/ tidaknya respon getaran otot punggung kelinci dengan
menggunakan peniti sebanyak enam kali sentuhan pada daerah
penyuntikan pada menit ke-5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 60.
6) Catat dan tabelkan pengamatan.

D. Anastesi Lokal Metode Konduksi


1. Hewan coba
 Mencit putih jantan 2 ekor
2. Obat
 Larutan Lidokain HCl 1% 50-300mg/70kg BB manusia 
diambil dosis 175mg/70kgBB manusia
 Larutan NaCl 0,9% sebanyak 0,5 ml
3. Alat
 Disposable spuit 1ml 2 buah
 Pinset
 Spidol
 Kandang/ kotak restriksi mencit
 Stopwatch
4. Prosedur Kerja
1) Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, cek adal tidaknya respon
Haffner pada menit ke-0.
2) Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-
masing mencit.
PERHITUNGAN DOSIS
 Faktor konversi dosis berdasarkan luas permukaan tubuh antara
manusia 70kg dan mencit 20g adalah = 0,0026
 Volume maksimal pemberian obat pada mencit :
IV = 0,5ml ; IM = 0,05ml ; IP = 1ml ; SC = 0,5-1ml ; PO = 1ml
 Sediaan Lidocain HCl 1% di laboratorium = 20mg/ml
 NaCl 0,9% digunakan 0,5ml
 Tabel Perhitungan Dosis
Mencit Bobot Nama Rute
Dosis obat (mg) Volume obat (ml)
Jantan mencit Obat pemberian
27 0,614
Lidocain 𝑔 𝑥 0,0026 𝑥 175𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑥 1𝑚𝑙
27 g IV 20 20
1 HCl 1%
= 0,614 = 0,0307  0,03
NaCl
34 g IV - 0,5
2 0,9%

3) Mencit pertama disuntik dengan larutan Lidokain HCI 1% secara IV.


4) Mencit kedua disuntik dengan larutan NaCl 0,9% secara IV
5) Cek ada/tidaknya respon Haffner (ekor mencit dijepit lalu terjadi respon
angkat ekor/ mencit bersuara) pada menit ke-10, 15,20,25,30.
6) Catat dan tabelkan pengamatan.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Pengamatan
A. Anastesi Lokal Metode Permukaan
Ada/ Tidaknya Respon Refleks Okuler
Mata Kelinci Obat (menit ke-)
0 5 10 15 20 30 45 60
Kanan lidokain HCl 2% + + + + + + + +
Kiri lidokain HCl 2% + + + + + + + +
Ket : Pada menit ke 70 obat baru bereaksi

B. Anastesi Lokal Metode Regnier


Jumlah Sentuhan yang Memberi Respon Refleks
Mata Okuler
Obat
Kelinci (menit ke-)
0 8 15 20 25 30 40 50 60
Kanan lidokain HCl 2% - 13 5 7 1 1 1 1 1
Kiri lidokain HCl 2% - 15 3 5 3 1 1 1 1

C. Anastesi Lokal Metode Infiltrasi

Ada/ tidaknya Respon Getaran Otot Punggung


Punggung Kelinci Sebanyak 6 kali dengan Menggunakan Peniti
Obat
Kelinci (menit ke-)
0 5 10 15 20 25 30 35 40 50 60

Kanan Lidokain + - - - - + + + + + +

Lidokain
Kiri + + - + + + + + + + + +
adrenalin

D. Anastesi Lokal Metode Konduksi


Ada/tidaknya Respon Haffner
Mencit
Obat (menit ke-)
Jantan
0 10 15 20 25 30
1 Larutan Lidokain HCl 1% + + + + + +
2 Larutan NaCl 0,9% + + + + + +
2. Pembahasan
Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa
adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada
jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap
bagian susunan saraf.
Pada praktikum ini kami melakukan percobaan anastesi permukaan
dengan menggunakan obat anastetik lokal yaitu Lidocain dan larutan
Prokain dan kelinci sebagai hewan ujinya. Obat diteteskan kedalam kantong
kunjungtiva larutan anastetika lokal Lidokain 0,5ml pada mata kanan dan
Prokain pada mata kiri.
Pada hasil pengamatan, pada mata kanan diteteskan lidocain mempunyai efek
anastetik lokal, efek obat mulai bekerja pada menit ke 10 dan efek Lidocain
mulai hilang pada menit ke 45. Sedangkan pada Tetrakain efek obat bekerja
pada menit ke 5 dan hilang pada menit ke 45.
Lidokain merupakan derivate-asetanilida termasuk kelompok amida dan
merupakan obat pilihan utama untuk untuk anastesia permukaan ataupun
filtrasi. Zat ini digunakan pada selaput lendir dan kulit untuk nyeri,perasaan
terbakar dan gatal. Dibandingkan prokain, khasiatnya lebih kuat dan lebih
cepat kerjanya ( setelah beebrapa menit ) juga bertahan lebih lama.
Lidokain adalah derivat asetanilida yang merupakan obat pilihan utama untuk
anestesi permukaan maupun infiltrasi. Lidokain adalah anestetik lokal kuat
yang digunakan secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Anestesi
terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih lama, dan lebih ekstensif daripada yang
ditimbulkan oleh prokain. Lidokain ialah obat anestesi lokal yang banyak
digunakan dalam bidang kedokteran oleh karena mempunyai efek kerja yang
lebih cepat dan bekerja lebih stabil dibandingkan dengan obat-obat anestesi
lokal lainnya. Obat ini mempunyai kemampuan untuk menghambat konduksi
di sepanjang serabut saraf secara reversibel, baik serabut saraf sensorik,
motorik, maupun otonom. Kerja obat tersebut dapat dipakai secara klinis
untuk menyekat rasa sakit atau impuls vasokonstriktor menuju daerah tubuh
tertentu. Lidokain mampu melewati sawar darah otak dan diserap secara cepat
dari tempat injeksi. Dalam hepar, lidokain diubah menjadi metabolit yang
lebih larut dalam air dan disekresikan ke dalam urin. Absorbsi dari lidokain
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tempat injeksi, dosis obat,
adanya vasokonstriktor, ikatan obat, jaringan, dan karakter fisikokimianya.
Pada percobaan kali ini, punggung kelinci bagian kanan disuntikkan obat
anastesi lidocain, punggung bagian kiri sebagai balnko disuntikkan obat NaCl,
berdasarkan data pengamatan lidocain lah yang mempunyai efek obat yang
cepat namun pada percobaan ini. Dan pada punggung kiri yang disuntikkkan
NaCl tidak memberikan efek anastesi sama sekali.
Pada percobaan kali ini mungkin dipengfaruhi dari factor biologis dan factor
eksternal hewan percobaan sehingga mempengaruhi efek kerja dan lama
waktu kerja obat tersebut. Seperti berat badan, cara menyuntikkan, lokasi
penyuntikkan, dan tingkat stress dari hewan percobaan tersebut.
Dari hasil percobaan ternyata Lidocain memiliki efek anastesi yang lebih
cepat. Teknik pemberian anastesi konduksi disuntikkan di sekitar saraf tertentu
yang dituju atau injeksi tulang belakang, yaitu pada suatu tempat
berkumpulnya banyak saraf hingga tercapai anastesi dari suatu daerah yang
lebih luas.
Dari hasil percobaan, ternyata tetrakain memberikan efek anestetika lokal
cepat dan memiliki kekuatan kerja yang lebih kuat jika dibandingkan prokain.
Berdasarkan teori, tetrakain berkhasiat sekitar 10 kali lebih kuat dari pada
prokain, akan tetapi juga 10 kali lebih toksik daripada prokain(Dinamika
Obat,1999)
Maka hasil percobaan sesuai dengan teori bahwa tetrakain menimbulkan efek
anestetika cepat dan memiliki kekuatan kerja yang lebih kuat dibandingkan
lidokain .
BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan
Pada dasarnya, anestesi terbagi dua menjadi anestesi lokal dan anestesi
umum. Akan tetapi, anestesi lokal lebih sering digunakan karena memiliki tingkat
keselamatan yang lebih tinggi daripada anestesi umum. Anestetik lokal ialah obat
yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf
dengan kadar cukup. Obat ini bekerja pada tiap bagian susunan saraf.
Salah satu contoh obat anestesi lokal yang sering digunakan adalah
lidokain. Lidokain diberikan secara suntikan dan cepat diabsorbsi oleh saluran
pernapasan maupun saluran cerna. Dan sebagaimana obat yang memiliki
kandungan zat kimia, lidokain pun tak lepas dari efek samping, yang di antaranya
adalah mengantuk, pusing, parestesia, kedutan otot, gangguan mental, dan koma.
2. Saran
BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara Sulistia et al. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: UI Press.


Ikawati, Z., (2006). Pengantar Farmakologi Molekuler. Yogyakarta: Gadjah Mada
Katzung, Bertram G.2002. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika.
Mycek, M. J., (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi II. Jakarta: Widya
Medika
Purwanto, SL dan Istiantoro, Yati. 1992. DOI(Data Obat DiIndonesia).Jakarta: PT.
Grafindian Jaya.
Tim Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005. Farmakologi dan
Terapi. Jakarta: Gaya Baru.
http://dentistrymolar.wordpress.com/2011/03/24/anastesi-infiltrasi/
http://bedahminor.com/index.php/main/show_page/218

http://beckdir.blogspot.com/2011/02/anastesi.html

Tim Dosen Praktikum Farmakologi.Penuntun Praktikum Farmakologi.Program Studi


Farmasi.ISTN.Jakarta : 2008.
BAB I

PENDAHULUAN
EFEK DIUR-ETIKA
(UJI POTENSI DIURETIKA)

1. Latar Belakang
Seluruh sel-sel tubuh terendam dalam suatu cairan yang disebut cairan
intestinal, yang bertindak sebagai lingkungan dalam dari sel-sel. Oleh sebab itu
volume dan komposisi cairan intestial harus tetap dalam berad batas-batas yang
tertentu agar sel-sel dapat berfungsi dengan normal. Perubahan dari volume dan
komposisi cairan nintestial dapat menimbulkan kelainan fungsi tubuh. Kelainan
volume cairan vaskuler akan menganggu fungsi kardiovaskuler, sedang perubahan
komposisi cairan intestitial akan menganggu fungsi.

Terdapat banyak keadaan – keadaan yang dapat mengganggu volume dan


komposisi cairan tubuh tersebut, antara lain ingesti (pemasukan) air atau defripasi
(hilangnya) air, ingesti atau defrivasi elektrolit, kelebihan asam atau alkali, produk
metabolisme atau pemberian bahan-bahan toksik.

Jadi jelas harus terdapat suatu regulasi aktif untuk mempetahankan lingkungan
agar tetap konstan, terutama dalam menghadapi faktor yang dapat mengganggu
kestabilan volume dan komposisi cairan interistitial

2. Tujuan Praktikum
Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswadapat:
1. Memahami kerja farmakologi dari berbagai kelompok diuretika.
2. Memperoleh gambaran tentang cara evaluasi potensi diuretika.

3. Prinsip Percobaan
Penentuan efek farmakologi dari obat – obat diuretik yaitu furosemid
terhadap tikus yang setelah diberikan air per oral, berupa pengamatan terhadap
frekwensi urinasi dan volume urinasi setiap interval waktu 20 menit selama 3
jam.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Diuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin yang lebih
banyak. Jika pada peningkatan ekskresi garam-garam, maka diuretika ini dinamakan
saluretika atau natriuretika (diuretika dalam arti sempit). (Mutschler,1991)

Walaupun kerja nya pada ginjal,diuretika bukan ‘obat ginjal’,artinya senyawa ini
tidak dapat memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal,demikian juga pada
pasien insufisiensi ginjal jika diperlukan dialysis,tidak dapat ditangguhkan dengan
penggunaan senyawa ini. Beberapa diuertika pada awal pengobatan justru
memperkecil ekskresi zat-zat penting urin dengan mengurangi laju filtrasi glomerulus
sehingga memperburuk insufisiensi ginjal. (Mutschler,1991)

Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak kemih (diuresis) melalui


kerja langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang menstimulasi diuresis dengan
mempengaruhi ginjal secara tak langsung tidak termasuk dalam definisi ini, misalnya
zat-zat yang memperkuat kontraksi jantung (digoksin, teofilin), memperbesar volume
darah (dekstran), atau merintangi sekresi hormon antidiuretik ADH (air, alkohol).

Fungsi utama ginjal adalah memelihara kemurnian darah dengan jalan mengeluarkan
semua zat asing dan sisa pertukaran zat dari dalam darah dimana semuanya melintasi
saringan ginjal kecuali zat putih telur dan sel-sel darah.

Fungsi penting lainnya adalah meregulasi kadar garam dan cairan tubuh.
Ginjal merupakan organ terpenting pada pengaturan homeostasis, yakni
keseimbangan dinamis antara cairan intra dan ekstrasel, serta pemeliharaan volume
total dan susunan cairan ekstrasel. Hal ini terutama tergantung dari jumlah ion Na+,
yang untuk sebagian besar terdapat di luar sel, di cairan antarsel, dan di plasma darah.

Pada uji potensi diuretic dengan hewan coba dicari Potensi diuretic dengan
persamaan :
Volume urine yang diekskresikan dalamwaktu2 jam
Potensi diuretic = x 100%
volume air yang diberikan per oral

Efek diuretika positif jika persentase volume kumulatif urine yang


diekskresika > 75% dari volume air yang diberikan.

MEKANISME KERJA OBAT DIURETIK

Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorbsi natrium, sehingga


pengeluaranya lewat kemih- dan demikian juga dari air-diperbanyak. Obat-obat ini
bekerja khusus terhadap tubuli, tetapi juga ditempat lain, yakni di :
a. Tubuli proksimal, ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang disini
direabsorbsi secara aktif untuk kurang lebih 70%, antara lain ion-Na+ dan air,
begitu pula glukosa dan ureum. Karena reabsorbsi berlangsung secara
proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhadap
plasma. Diuretika osmosis (manitol, sorbitol) bekerja di sini dengan
merintangi reabsorbsi air dan juga natrium.

b. Lengkungan henle. Dibagian menaik dari Henle’s loop ini k,l. 25% bsorbsi
pasif dari Na+ dan K+ tetapi tanpa hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika
lengkungan seperti furosemida, bumetamida dan etakrinat, bekerja terutama di
sini dengan merintangi transpor Cl- dan demikian reabsorbsi Na+. pengeluaran
K+dan air juga diperbanyak.

c. Tubuli distal. Dibagian pertama segmen ini, Na+ direabsorbsi secara aktif pula
tanpa air hingga filtrat menjadi lebih cair dan lebih hipotonis.sentawa
thiazidadan klortalidon bekerja di tempat ini dengan memperbanyak eksreksi
Na+ dan Cl –sebesar 5-10%. Dibagian kedua segmen ini, ion Na+ ditukarkan
dengan ion K + atau –NH4+; proses ini dikendalikan oleh hormon anak-ginjal
aldosteron antagonis aldosteron (spirolacton) dan zat-zat penghemat kalium
(amilorida, triateren) bertitik kerja disini dengan mengekibatkan ekskresi
Na+ (5%) dan retensi- K+.

d. Saluran pengumpul. Hormon antidiuretika ADH (vasoprin) dari hipofisis


bertitik kerja disini dengan jalan memengaruhi permeabilitas bagi air dari sel-
sel saluran ini.(mariska syafri ; 2011)

PENGGOLONGAN OBAT DIURETIK

Diuretik dapat dibagi menjadi 5 golongan yaitu :

1. Diuretik osmotic

Tempat Dan Cara Kerja : Tubuli Proksimal penghambatan reabsorbsi natrium


dan air melalui daya osmotiknya. Ansa Henle penghambatan reasorbsi natrium
dan air oleh karena hiperosmolaritas daerah medula menurun. Penghambatan
reasorbsi natrium dan air akibat adanya kecepatan aliran filtrat yang tinggi,
atau adanya faktor lain. Diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan
elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi oeh ginjal. Contoh dari diuretik
osmotik adalah ; manitol, urea, gliserin dan isosorbid.
2. Diuretik golongan penghambat enzim karbonik anhidrase

Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik ini bekerja pada tubuli Proksimal dengan
cara menghambat reabsorpsi bikarbonat.

Yang termasuk golongan diuretik ini adalah asetazolamid, diklorofenamid dan


meatzolamid.

3. Diuretik golongan tiazid

Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik golongan tiazid ini bekerja pada hulu tubuli
distal dengan cara menghambat reabsorpsi natrium klorida.

Obat-obat diuretik yang termsuk golongan ini adalah ; klorotiazid,


hidroklorotiazid, hidroflumetiazid, bendroflumetiazid, politiazid, benztiazid,
siklotiazid, metiklotiazid, klortalidon, kuinetazon, dan indapamid.

4. Diuretik hemat kalium

Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik hemat kalium ini bekerja pada hilir tubuli
distal dan duktus koligentes daerah korteks dengan cara menghambat
reabsorpsi natrium dan sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif
(sipironolakton) atau secara langsung (triamteren dan amilorida).

Yang tergolong dalam kelompok ini adalah: antagonis aldosteron. triamterenc.


amilorid.

5. Diuretik kuat

Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian
asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat transport
elektrolit natrium, kalium, dan klorida. Yang termasuk diuretik kuat adalah
; asam etakrinat, furosemid dan bumetamid.

6. Xantin

Xantin ternyata juga mempunyai efek diuresis. Efek stimulansianya paa fungsi
jantung, menimbulkan dugaan bahwa diuresis sebagian disebabkan oleh
meningkatnya aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus. Namun semua
derivat xantin ini rupanya juga berefek langsung pada tubuli ginjal, yaitu
menyebabkan peningkatan ekskresi Na+ dan Cl- tanpa disertai perubahan
yang nyata pada perubahan urin. Efek diuresis ini hanya sedikit dipengaruhi
oleh keseimbangan asam-basa, tetapi mengalami potensiasi bila diberikan
bersama penghambat karbonik anhidrase.Diantara kelompok xantin, theofilin
memperlihatkan efek diuresis yang paling kuat.

TOKSISITAS DIURETIK
Pada pengobatan hipertensi, sebagian besar efek samping yang lazim terjadi
adalah deplesi kalium. Walaupun hipokalemia ringan dapat ditoleransi oleh banyak
pasien , hipokalemia dapat berbahaya pada pasien yang menggunakan digitalis, pasien
dengan aritmia kronis, pada infarktus miokardium akut atau disfungsi ventrikel kiri.
Kehilangan kalium diimbangi dengan reabsorpsi natrium. Oleh karenanya
,pembatasan asupan natrium dapat meminimalkan kehilangan kalium. Diuretik
glukosa, dan peningkatan konsentrasi lemak serum. Diuretik dapat meningkatkan
konsentrasi uric acid dan menyebabkan terjadinya gout (pirai). Penggunaan dosis
rendah dapat meminimalkan efek metabolik yang tidak diinginkan tanpa mengganggu
efek antihipertensinya. (Katzung, 1986).

Diuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin menjadi lebih
banyak frekuensi dan kuantitasnya. Jika pada peningkatan ekskresi air terjadi juga
ekskresi garam-garam, maka diuretika ini disebut natriuretika atau saluretika.

Diuretika dapat dikelompokkan menurut mekanisme kerjanya, yaitu:

- Diuretika inhibitor karboanhidrase; contohnya asetazolamid.


- Diuretika lengkung Henle; contohnya furosemide.
- Diuretika golongan tiazid; contohnya hidroklortiazid.
- Diuretika antagonis aldosterone; contohnya spironolakton.
- Diuretika hemat kalium jenis siklomidin; contohnya triamterene dan amilorid.
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

1. Hewan Coba
 Tikus putih jantan sejumlah 4 ekor
2. Obat
 CMC Na 1% secara PO
 Furosemid 20 mgl70 kgBB manusia secara PO
 Spironolakton 100 mg/ 70 kgBB manusia secara PO
 Air hangat 50 ml/ kgBB tikus
3. Alat
 Disposable spuit 1ml
 Jarum sonde oral
 Timbangan hewan
 Kandang diuretic
 Beaker glass
 Gelas ukur
4. Prosedur Kerja
1) Tikus dipuasakan selama 12-16 jam, tetapi tetap diberikan air minum.
2) Tikus dibagi menjadi 4 kelompok dimana masing-masing mencit diberikan
obat :

Kelompok I : CMC Na l% secara PO


Kelompok II : furosemide 20 mg/ 70 kgBB manusia secara IV
Kelompok II : furosemide 20 mg/ 70 kgBB manusia secara IV

Kelompok IV : spironolakton 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IV

3) Sebelum pemberian obat, berikan air hangat per oral sebanyak 50 ml/ kg BB
tikus.
Jumlah air hangat yang diberikan
Tikus Bobot Rute Volume Air Hangat
Jantan (g) pemberian (ml)

IV 5 ml
1
131
131 IV 𝑔 𝑥 50𝑚𝑙 = 6,55 ~ 5𝑚𝑙
2 1000
154
3
154 IV 𝑔 𝑥 50𝑚𝑙 = 7,7  5𝑚𝑙
1000
156
4
156 IV 𝑔 𝑥 50𝑚𝑙 = 7,8  8𝑚𝑙
1000

4) Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing
mencit.
PERHITUNGAN DOSIS
 Faktor konversi dosis berdasarkan luas permukaan tubuh antara manusia
70kg dan tikus 200g adalah = 0,018
 Volume maksimal pemberian obat pada tikus :
IV = 1,0 ml ; IM = 0,1 ml ; IP = 2-5,0 ml ; SC = 2-5,0 ml ; PO = 5ml
 Sediaan Furosemide di laboratorium = 20mg/50ml (sudah diencerkan)
 Sediaan Spironolacton di laboratorium = 100mg/50ml (sudah diencerkan)
 CMC Na 1% digunakan 0,5ml
 Tabel Perhitungan Dosis
Tikus Bobot Nama Rute
Dosis obat (mg) Volume obat (ml)
Jantan (g) Obat pemberian

CMC Na 1% IV - 0,5
1
131 0,2358
𝑔 𝑥 0,018 𝑥 20𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑥 50𝑚𝑙
131 Fuosemide IV 200 20
2
= 0,2358 = 0.5895  0,6
154 0,2772
𝑔 𝑥 0,018 𝑥 20𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑥 50𝑚𝑙
154 Fuosemide IV 200 20
3
= 0,2772 = 0,693  0,7
156 1,404
𝑔 𝑥 0,018 𝑥 20𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝑥 50𝑚𝑙
156 Spirnolactone IV 200 20
4
= 1,404 = 0,7010,7

5) Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing secara IV.


6) Tempatkan tikus ke dalam kandang diuretic.
7) Kumpulkan urine selama 2 jam, catat frekuensi pengeluaran urine dan jumlah
urine setiap kali diekskresikan.
8) Catat dan tabelkan pengamatan.
9) Hitung persentase volume kumulatif urine yang diekskresikan:

Volume urine yang diekskresikan dalamwaktu2 jam


= x 100%
volume air yang diberikan per oral

Efek diuretika positif jika persentase volume kumulatif urine yang


diekskresikan > 75% dari volume air yang diberikan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Pengamatan

Hewan Obat Efek Diuretika


Coba
Frekuensi Urinasi (menit
58 98
ke-)
Volume Urine (ml) 1
CMC Na 1% Volume Urine Kumulatif
Tikus 1 1
secara PO selama 2 jam (ml)
Volume Air yang
5
Diberikan secara PO (ml)
Potensi Diuretika (%) (1/5) x 100 % = 20%
Frekuensi Urinasi (menit
72 100 117
ke-)
Furosemide Volume Urine (ml) 1,8
20 mg /70 kg Volume Urine Kumulatif
Tikus 2 1,8
BB manusia selama 2 jam (ml)
secara PO Volume Air yang
5
Diberikan secara PO (ml)
Potensi Diuretika (%) (1,8/5) x 100 % = 36 %
Frekuensi Urinasi (menit
32 55 73
ke-)
Furosemide Volume Urine (ml) 1,2
20 mg /70 kg Volume Urine Kumulatif
Tikus 3 1,2
BB manusia selama 2 jam (ml)
secara PO Volume Air yang
5
Diberikan secara PO (ml)
Potensi Diuretika (%) (1,2/5) x 100 % = 24 %
Frekuensi Urinasi (menit
39 42 58 66 120
ke-)
Spironolakton
Volume Urine (ml) 4,5 1,9
100mg
Volume Urine Kumulatif
Tikus 4 /70kg BB 6,4
selama 2 jam (ml)
manusia
Volume Air yang
secara PO 8
Diberikan secara PO (ml)
Potensi Diuretika (%) (6,4/8) x 100 % = 80 %
2. Pembahasan
Pada praktikum ini kami melakukan percobaan uji potensi diuretic dengan
menggunakan obat Furosemid yang dikenal sebagai diuretic boros kalium dan
Spirnolactone yang merupakan senyawa diuretic hemat kalium. Serta digunakan
larutan CMC Na 1% sebagai control pembanding. Untuk hewan coba pada uji ini
digunakan tikus putih yang lumayan agresif. Diuretik sendiri berfungsi sebagai
obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urien. Dengan kata lain
adalah berfungsi membuat produksi urine meningkat. Hal ini dilakukan dengan
maksud mencuci atau membilas ginjal dari dari zat zat berbahaya. Disini kami
membandingkan potensi diuretic dari senyawa atau obat Furosemide dan
Spirnolactone, apakah potensinya sesuai teori atau tidak.
Sebelum dilakukan percobaan masing tikus terlebih dahulu dipuasakan
selama 16 jam. Walaupun berpuasa tetapi tikus tetap di beri minum ini untuk
mencegah sebelum diberikan obat untuk menghilangkan factor makanan. Namun
walaupun demikian faktor variasi biologis dari hewan tidak dapat di hilangkan
sehingga factor ini relative dapat mempengaruhi hasil.
Saat awal praktikum, tikus-tikus diberi minum air hangat dengan
menggunakan sonde sesuai berat badannya dengan perhitungan 50ml/kg BB tikus.
Tetapi karena pada literature di awal percobaan disebutkan (pada tabel) volume
pemberian cairan per oral terhadap tikus hanya 5ml, maka kelompok 1-3 yang
menggunakan tikus 1-3 hanya memberi minum air hangat 5ml. Hanya kelompok 4
yang menggunakan tikus 4, memberikan minum pada tikus sesuai perhitungan
50ml/kg BB, yaitu 7,8ml  8ml. pemberian minum ini bertujuan untuk membantu
mempercepat atau memperbanyak urin yang dikeluarkan.
Setelah prosedur pemberian minum air hangat, tikus masing-masing diberi
obat dan larutan control melalui rute Intravena pada ekor. Dosis sesuai hasil
perhitungan sebelumnya. Tikus 1 diberikan larutan CMC Na 1% sebagai control
sebanyak 0,5ml. Tikus 2 diberikan larutan Furosemid 20mg/50ml sebanyak 0,6ml
dan Tikus 3 sebanyak 0,7ml. Tikus 4 diberi obat Spironolacton 100mg/50ml
sebanyak 0,7ml.
Setelah masing- masing tikus disuntikkan, tikus langsung dimasukkan ke
sebuah tempat yaitu kandang metabolism selama 2 jam. Urin tikus ditampung
menggunakan gelas ukur. Setelah itu urin yang telah ditambung menggunakan
gelas ukur tersebut diukur dan dicatat berapa banyak keluarnya. Tiap pengeluaran
urin dicatat waktu dan diukur volumenya.
Dari hasil data pengamatan terlihat bahwa pengeluaran urin paling banyak
pada tikus 4 setelah diberikan larutan Spirnolacton, kemudian pada tikus 2 dan 3
yang volumenya hampir sama dan diberikan obat yang sama yaitu 1,8ml dan
1,2ml. Terakhir pengeluaran urin paing sedikit pada tikus 1 yang diberikan control
CMC Na 1%. Potensi diuretic terbesar juga didapat dari spirnolacton yaitu 80%
yang menunjukkan potensi positf karena lebih besar dari 75%. Larutan CMC Na
1% dan furosemide yang digunakan pada tikus 1-3 menunjukkan hasil negative
karena hasil presentase dibawah 75%.
Hasil uji pada tikus 1 menujukkan larutan control tidak memiliki efek
diuretic. Tetapi pada tikus 2 dan 3 yang menggunakan furosemide terlihat hasil
negative, hal ini tidak sesuai dengan teori bahwa furosemide merupakan Diuretik
kuat. Setelah dipertimbangkan dari prosedur kerjanya pada tikus pertama dan
tikus kedua kemungkinan penyuntikkan tidak efektif masuk ke pembuluh vena.
Ha ini bisa dikarenakan tikus yang terus bergerak saat dipegang oleh pratikan
sehingga mengakibatkan pratikan yang bertugas menyuntikan obat merasa takut
dan pada waktu obat disuntikan ke tikus obat tidak masuk secara maksimal.
Karena obat tidak tersuntik secara maksimal dari jumlah obat yang seharusnya
disuntikkan maka efek dari obat tersebut tidak efektif, dan mengakibatkan tikus
pertama dan kedua mengeluarkan urin lebih sedikit dari tikus ke 4.
Pada tikus ke 4 dengan penyuntikan spironolacton, urin yang dikeluarkan
juga banyak, dan menghasilkan uji potensi diuretic positif. Tapi karena pada teori
seharusnya spironolactone merupakan diuretic yang lebih lemah dan hemat
kalium, banyaknya pengeluaran urin bisa diduga karena tikus yang stress pada
saat penyuntikan dan perlakuan oleh praktikan.
BAB VI

PENUTUP

1. Kesimpulan
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin..
Diuretik dapat di golongkan menjadi beberapa golongan : diuretik kuat, diuretik
hemat kalium, diuretik golongan tiazid, golongan penghambat enzim karbonik
anhidrase, diuretik osmotic. Furosemid, adalah sebuah obat yang digunakan
untuk meningkatkan produksi urin. Fungsi utama diuretik adalah untuk
memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan
sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstra sel kembali menjadi normal.

2. Saran
 Perlu dilakukan praktik lebih maksimal untuk menangani hewan coba,
sehingga didapatkan hasil uji yang sesuai dengan teori.
 Pengurangan jumlah praktikan dalam satu shift supaya tidak terlalu ramai
sehingga membuat hewan coba stress dan takut, serta memberikan pelajaran
yang maksimal
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.2008.Farmakologi dan Terapi


Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

2. Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat,.Bandung: ITB

3. Tjay, Tan Hoan, Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting Edisi 6 . Jakarta :
PT. Elex Media Komputindo

4. Katzung, Bertram G., 1986, Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika ;
Jakarta.

5. Mary.J, Miycek, Richard A. Harvey, Pamela C. Champe ; alih bahasa, Azwar


Agoes. 2001. Farmakologi Ulasan bergambar edisi 2. Jakarta : Widya
Medika

http://repository.ui.ac.id
6.

Anda mungkin juga menyukai