Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hepatitis adalah peradangan hati yang bisa berkembang menjadi fibrosis
(jaringan parut), sirosis atau kanker hati. Hepatitis disebabkan oleh berbagai
faktor seperti infeksi virus, zat beracun (misalnya alkohol, obat-obatan tertentu),
dan penyakit autoimun. (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Menurut WHO 2019,
secara global, virus hepatitis adalah satu-satunya penyakit menular yang tingkat
kematiannya meningkat dan menjadi penyebab utama kematian ketujuh di seluruh
dunia dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan di Asia
Tenggara. Hepatitis virus menyebabkan 1,34 juta kematian pada tahun 2015,
melebihi jumlah kematian AIDS (1 juta). Sekitar 90% dari mereka disebabkan
oleh infeksi hepatitis B dan C kronis.
Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B
yang merusak hati dengan masa inkubasi 14-160 hari. (Herlando sinaga, ikhwan
latif, 2018). Angka penyebaran infeksi HBV (Hepatitis B Virus) semakin lama
semakin meningkat, khususnya di Indonesia. Indonesia termasuk dalam salah satu
negara dengan penderita hepatitis terbanyak, di antara 11 negara lainnya di Asia
Tenggara. Data lapangan Kemenkes tahun 2007-2015 menunjukkan bahwa
jumlah penderita infeksi HBV melebihi 31% dari jumlah penderita hepatitis
secara keseluruhan. Sekitar 50% dari penderita hepatitis B di Indonesia
diperkirakan akan berkembang mengalami gangguan hati kronis dan 10% di
antaranya berpotensi menjadi kanker hepatoseluler. (Kesehatan and Indonesia,
2015). Penyebaran penyakit Hepatitis B ini dapat melalui darah dan produknya,
suntikan yang tidak aman, transfusi darah, proses persalinan dan melalui
hubungan seksual ((Herlando sinaga, ikhwan latif, 2018)
Deteksi dini hepatitis B pada ibu hamil mulai dilakukan di Indonesia
pada 2013, dimulai dari DKI Jakarta dan terus berkembang ke provinsi lain di
tahun-tahun berikutnya. Sejak 2016, pemeriksaan hepatitis dilakukan
dengan Rapid Diagnostic Test (RDT) Hepatitis B surface Antigen (HBsAg).
Berdasarkan Sistem Informasi Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
(SIHEPI) 2018-2019 dan Ditjen P2P Kemenkes RI tahun 2018 jumlah ibu hamil
yang diperiksa hepatitis B sebanyak 1.531.2521 di 34 provinsi jumlah ini masih
belum memenuhi target yaitu sebanyak 3.984,594 ibu hamil yang diperiksa.
Hasilnya, sebanyak 38,44% ibu hamil reaktif (terinfeksi virus hepatitis B), dan
didapatkan persentase ibu hamil HBsAg reaktif tertinggi di pulau Jawa terdapat di
Provinsi Jawa Timur yaitu sebanyak 2,27% atau 6134 ibu yang terdiagnosa
HBsAg Positif (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Pada tahun 2018 prevalensi
ibu hamil dengan HBsAg Positif di Kabupaten Bondowoso sebesar 0.9% (Dinkes
Bondowoso, 2018). Menurut Studi Pendahuluan yang telah dilakukan peneliti di
RSUD dr. H Koesnadi ibu hamil dengan HBsAg Positif yang teregistrasi di
RSUD dr. H Koesnadi sebanyak 332 ibu hamil pada tahun 2018 dan sebanyak 59
ibu hamil dengan HBsAg Positif pada periode bulan Januari-Juli 2019 (RSUD dr.
Koesnadi Bondowoso,2018)
Kehamilan tidak akan memperberat infeksi virus, akan tetapi jika sudah
terjadi infeksi akut bisa mengakibatkan hepatitis fulminan yang dapat
menimbulkan mortalitas tinggi pada ibu dan bayi (Pusparini and Ayu, 2017).
Sekitar 3,9% bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif selama tahun pertama
kehidupan dan berkembang mengalami Hepatitis B Kronis (carrier). Anak-anak
yang terinfeksi sebelum usia 6 tahun mengembangkan infeksi kronis sebesar 30-
50% menjadi sirosis hati atau bahkan kanker hati dan kemudian 25% anak
dengan Hepatitis carier ini akan meninggal karena pernyakit hati kronis, sirosis
hati atau kanker hati (WHO, 2015). Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2019
Memperkirakan dari 5,3 Juta ibu hamil setiap tahun, rata-rata 2,2% dari total ibu
hamil memiliki status Hepariris B reaktif (HBsAg Reaktif), maka diperkirakan
terdapat kurang lebih 120.000 bayi akan menderita Hepatitis B dan 95%
berpotensi mengalami hepatitis Kronis, yakni Sirosis atau Kanker Hati untuk 30
tahun ke depan, jika diabaikan.
Berdasarkan rekomendasi guideline EASL tahun 2017, pada wanita
hamil sebaiknya dilakukan pemeriksaan HBsAg. Penapisan pada ibu hamil
yang sehat merupakan parameter penting dalam mengetahui penyakit,
diagnosis, dan implementasi berdasarkan bukti untuk infeksi kronik Hepatitis
B. Terutama hal ini akan memberikan manfaat pada ibu hamil dalam upaya
pencegahan transmisi virus Hepatitis B pada neonatus. Langkah ini bisa
dilakukan dengan melakukan penapisan HBsAg pada setiap ibu hamil. Metode
penapisan HBsAg bisa menggunakan pemeriksaan cepat (rapid test)
(Kemenkes Tahun 2012). Jika seorang wanita hamil positif mengidap HBV,
maka dia harus dirujuk ke dokter spesialis untuk evaluasi lebih lanjut.
Meskipun sebagian besar wanita tidak memiliki komplikasi kehamilan sebagai
akibat dari infeksi HBV, mereka masih memerlukan pemeriksaan spesialis
karena efek jangka panjang HBV pada bayi yang akan dilahirkannya (Cui et
al., 2016)
Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui prevalensi serta
karakteristik ibu hamil yang terdiagnosa HBsAg positif. Agar ibu hamil dengan
HBV (+) ditangani terpadu, segera setelah lahir bayi diimunisasi aktif dan pasif
terhadap HBV. Maka penelitian ini dianggap perlu dalam membantu
memberikan gambaran secara umum mengenai karakteristik Hepatitis B pada
ibu hamil khusunya bagi pelayanan kesehatan, sehingga pelayanan persalinan
dan imunisasi dapat dilakukan secara optimal.

1.2 Rumusan Masalah


Merujuk pada latar belakang ditemukannya penyakit Hepatitis B khususnya
yang terdapat pada populasi ibu hamil, maka dirumuskan masalahnya adalah
sebagai berikut :
1. Berapa Prevalensi ibu hamil dengan HBsAg Positif di RSUD dr. H.
Koesnadi Bondowoso?
2. Bagaimana karakteristik dari ibu hamil dengan HBsAg Positif di RSUD
dr. H. Koesnadi Bondowoso?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk memperoleh informasi mengenai prevalensi dan karakteristik
ibu hamil dengan HBsAg Positif di RSUD dr. H. Koesnadi
Bondowoso
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui prevalensi ibu hamil dengan HBsAg positif di
RSUD dr. H. Koesnadi Bondowoso
b. Untuk mengidentifikasi karakteristik ibu hamil dengan HBsAg
positif di RSUD dr. H. Koesnadi Bondowoso berdasarkan faktor
Usia.
c. Untuk mengidentifikasi karakteristik ibu hamil dengan HBsAg
positif di RSUD dr. H. Koesnadi Bondowoso berdasarkan faktor
Pekerjaan.
d. Untuk mengidentifikasi karakteristik ibu hamil dengan HBsAg
positif di RSUD dr. H. Koesnadi Bondowoso berdasarkan faktor
Riwayat Kontak Darah.
e. Untuk mengidentifikasi karakteristik ibu hamil dengan HBsAg
positif di RSUD dr. H. Koesnadi Bondowoso berdasarkan faktor
Riwayat Kontak Seksual.
f. Untuk mengidentifikasi karakteristik ibu hamil dengan HBsAg
positif di RSUD dr. H. Koesnadi Bondowoso berdasarkan faktor
Riwayat Penyakit Hepatitis B dalam Keluarga.

1.4 Manfaat Penelitian


Berdasarkan ruang lingkup dari permasalahan yang telah diteliti, penelitian ini
diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:
1.4.1 Bagi Peneliti
Peneliti dapat mengetahui gambaran prevalensi serta
karakteristik ibu hamil dengan HBsAg Positif dan diharapkan dapat
memberikan motivasi agar ibu hamil bersedia melakukan deteksi dini
terhadap penyakit hepatitis B.

1.4.2 Bagi Rumah Sakit dan Tempat Pelayanan Kesehatan


Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan
gambaran prevalensi serta karakteristik ibu hamil dengan HBsAg positif
kepada pelayanan kesehatan, sehingga pelayanan persalinan dan
imunisasi dapat optimal serta dapat mewujudkan program pemutusan
rantai penularan yaitu dengan penapisan HBsAg pada Asuhan Antenatal
di Indonesia.

1.4.3 Bagi Masyarakat


Hasil penelitian ini akan memberikan pemahaman dan motivasi
sehingga ibu hamil memiliki keinginan untuk melakukan pemeriksaan
penapisan HBsAg saat hamil bahkan sebelum hamil untuk mencegah
Proses penularan penyakit Hepatitis .
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Hepatitis


Hepatitis virus adalah penyakit sistemik yang terutama menyerang hati.
Kebanyakan kasus hepatitis virus akut pada anak dan dewasa disebabkan oleh
salah satu agen berikut: virus hepatitis A (HAV), agen penyebab hepatitis virus
tipe A (hepatitis infeksiosa); virus Hepatitis B (HBV) yang menyebabkan
hepatitis virus B (hepatitis serum), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis E
(HEV), agen penyebab hepatitis yang ditularkan secara enteris. Virus lain yang
sudah dikenali karakternya dan mampu menyebabkan hepatitis sporadik,
seperti virus demam kuning, sitomegalovirus, virus Epstein-Barr, virus herpes
simpleks, virus rubella, dan entervirus. Virus hepatitis menyebabkan
peradangan akut hati yang ditandai oleh demam, gejala gastrointestinal, seperti
mual dan muntah, serta ikterus. Tanpa melihat jenis virusnya, terlihat ada lesi
histopatologik yang identik di hati selama fase akut penyakit. (Brooks et al.,
2010).

2.1.1 Definisi Hepatitis B

Hepatitis B adalah infeksi pada organ hati yang disebabkan oleh virus
Hepatitis B (HBV) yang merupakan double-stranded DNA dan termasuk dalam
family Hepadnaviridae. Virus Hepatitis B (VHB) berdasarkan struktur fisiknya
merupakan virus DNA terkecil yang menginfeksi manusia. VHB pertama kali
ditemukan oleh Blumbeg dan kawan-kawan pada tahun 1965 pada saat mereka
melakukan penelitian untuk mencari antibody yang timbul terhadap lipoprotein.
pada penelitian tersebut ia menemukan suatu antibody dari seorang penderita
hemophili yang sering mendapatkan transfusi darah. Dimana antibody ini dapat
dipergunakan untuk mendeteksi suatu antigen dalam darah seorang aborigin
Australia yang dikenal dengan antigen Australia (Au-Ag). Antigen Australia lebih
di kenal dengan nama antigen permukaan virus Hepatitis B atau HBsAg
(sulaiman, Julitasari, 2010)
2.1.2 Epidemiologi Hepatitis B

Berdasarkan data WHO 2015, terdapat lebih dari 2 milyar orang yang
terinfeksi HBV dan sekitar 240 juta orang adalah Hepatitis kronik carrier di
dunia. Terdapat sekitar 650.000 kematian akibat HBV setiap tahunnya. Selain
itu, sekitar 4,5 juta kasus infeksi HBV baru di seluruh di dunia per tahun.
Pada daerah endemik tinggi seperi Asia, Afrika dan daerah sekitar lembah
sungai amazon, angka kejadian HBV carrier lebih dari 8%. Pada regio endemik
rendah seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa dan Australia memiliki
prevalensi HBsAg kurang dari 2%. Daerah Timur Tengah, beberapa negara
Eropa Timur dan lembah sungai Mediterania merupakan daerah endemik
intermediate dengan tingkat kejadian HBV carrier berkisar antara 2%-8%.
Hampir 90% bayi terinfeksi HBV pada tahun pertama kehidupan dan 30%-
50% anak yang terinfeksi HBV pada umur 1-4 tahun dapat menjadi kronik dan
sekitar 25% yang terinfeksi secara kronik sejak masa kanak-kanak meninggal
karena kanker hati atau sirosis. (WHO, 2015)

2.1.3 Virologi Virus Hepatitis B


Virus Hepatitis B utuh adalah suatu virus DNA yang berlapis ganda dengan
diameter 42 nm (1 nm = 0,000000001 meter) dan berbentuk bulat. Selubung
terluar tersusun oleh protein yang dinamakan hepatitis B surface antigen
(HBsAg), dan di bagian dalam terdapat nukleokapsid atau core berdiameter 27
nm, berbentuk heksagonal, tersusun oleh molekul tunggal dengan DNA rangkap,
mengandung 3200 pasangan basa (nukleotida) yang merupakan genom dari VHB
dan disebut sebagai Hepatitis B core Antigen (HBcAg). Para peneliti selanjutnya
menemukan antigen ketiga yang disebut Hepatitis B e Antigen (HBeAg) yang
dianggap sebagai komponen atau produk dari core VHB (WHO, 2002;; Alestig,
2010) seperti pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 : Virus Hepatitis B (Partikel Dane) (Miyakawa & Mayumi 1985)

Virus ini ditularkan secara perkutaneus atau permukosal yang menginfeksi


darah atau cairan tubuh dan memiliki periode inkubasi berkisar 40 – 160 hari.
Transmisi dapat terjadi secara vertikal dari ibu yang terinfeksi kepada anak, secara
horizontal (contohnya transmisi antar anak dalam sebuah rumah), secara seksual
atau parenteral (contohnya penggunaan obat injeksi, luka tajam atau darah yang
telah terkontaminasi). Sebagian besar infeksi HBV akut adalah asimptomatik
Virus Hepatitis B ini mampu bertahan dan menetap dalam tubuh, bersifat kronis
serta dalam perjalanan selanjutnya berpotensi merusak hati secara perlahan yang
pada akhirnya merusak organ hati, ukurannya menjadi kecil, menjadi keras
(sirosis hati) atau berakhir dengan kanker hati.. Pada fase akut, Hepatitis B surface
antigen (HBsAg) dan Hepatitis B e antigen (HBeAg) dapat terdeteksi dalam
serum dan terdapat peningkatan antibodi IgM anti HBc. Kadar HBsAg yang
persisten selama lebih dari 6 bulan dari awal terdeteksi menandakan Hepatitis B
kronik. Perkembangan menjadi Hepatitis B kronik bervariasi sesuai dengan usia
ketika terinfeksi. (Aspinall et al, 2011).

2.1.4 Patogenesis Hepatitis B


Selain transmisi vertikal, virus Hepatitis B dapat ditransmisikan dengan
efektif melalui cairan tubuh, perkutan dan membran mukosa. Hepatitis B
terkonsentrasi dalam jumlah tinggi dalam cairan tubuh berupa darah, serum dan
eksudat luka. Sementara konsentrasi yang sedang terdapat pada semen, cairan
vagina dan air liur. Konsentrasi yang rendah/tidak ada dijumpai pada urin,
feses, keringat, air mata dan ASI. Penularan yang lebih rendah dapat terjadi
melalui kontak dengan karier Hepatitis B, hemodialisis, paparan terhadap
pekerja kesehatan yang terinfeksi, alat tattoo, alat tindik, hubungan sesksual
dan inseminasi buatan. Selain itu penularan juga dapat terjadi melalui transfusi
darah dan donor organ. (Sanityoso et al., 2014)
Setelah seseorang tertular VHB, Virus akan berkembang dan
menggandakan diri dalam organ hati, Beberapa minggu hingga bulan, akan
muncul tanda tanda infeksi hepatitis B akut. Sebenarnya, serangan hepatitis akut
tidak selalu menunjukkan gejala sama sekali. Hanya 1/3 kasus hepatitis akut yang
memperlihatkan gejala dan tanda, selebihnya bersifat asimptomatik (tanpa gejala).
Dalam cahyono (2010), VHB tidak bersifat sitopatik, artinya virus ini tidak secara
langsung merusak sel sel hati. Rusak tidak nya sel-sel hati tergantung pada system
kekbalan tubuh. Semakin lemah system kekebalan tubuh, semakin berat tingkat
kerusakan sel hati begitu juga sebaliknya.
Ada Dua Sistem Kekbalan tubuh menanggapi VHB, yaitu
1. Respon Kekbalan Kuat
Sistem Kekebalan yang kuat untuk mengalahkan virus, namun
konsekuensinya pengerahan system kekebalan yang sedemikian kuat akan
menghancurkan banyak sel hati. Kondisi Seperti ini terjadi pada hepatitis
akut, dimana setelah viru berhasil dikalahkan maka organ hati akan kemali
berfungsi seperti semula.
Sel T sitotoksik yang merupakan bagian system kekebalan tubuh yang
bertanggung jawab untuk melawan virus akan merusak sel-sel hati yang
ditinggali oleh VHB, Akibatnya sel=sel yang diserangkan tersbut menjadi
hancur. Semakin banyak sel sel hati yang rusak, maka semakin jelas
penampilan sakit sesorang. Itulah sebabnya 30-50% pasien dewasa yang
menderita hepatitis akut akan menunjukkan gejala demam ringan, rasa
tidak nyaman pada perut bagian atas, mual dan muntah, tidak nyaman saat
merokok. Setelah 2-6 hari urin menjadi gelap, tinja menjadi lebih pucat,
timbul icterus (kuning). Jika tidak diobati secara intensif, resiko kematian
sangat tinggi (Sanityoso et al., 2014)
2. Respon Kekebalan Lemah
Pada Bayi dan anak-anak yang belum memiliki system kekebalan yang
kuat, virus relative mampu berkembang biak menggandakan diri tanpa
perlawanan yang berarti. Ini disebabkan karena system kekebalan tubuh
bayi dan anak-anak belum sempurna. Pada 95% bayi dan anak-anak yang
terinfeksi HBV, 30% anak-anak yang berusia kurang dari 6 tahun akan
menderita hepatitis akut. Semakin dini terinfeksi VHB maka resiko
menetapnya infeksi hepatitis B semakin besar (cahyono, 2010)

2.1.5 Gejala Klinis Hepatitis B


Pada fase awal, penderita hepatitis belum merasakan gejala yang spesifik.
Keluhan yang dirasakan antara lain mual, muntah tidak ada nafsu makan, badan
terasa lemas dan mudah lelah. Nafsu makan yang jelek dijumpai pada hepatitis
akut atau jika telah terjadi sirosis hati. Kelelahan merupakan keluhan yang sering
terjadi pada penderita hepatitis. Rasa mudah lelah terutama terjadi setelah
beraktivitas, akibatnya stamina tubuh menurun, merasa tidak bertenaga,
kebutuhan tubuh akan tidur meningkat dan merasa sering lemas. Rasa lelah ini
sifatnya hilang timbul dengan tingkat kelelahan yang bervariasi dari waktu ke
waktu.
Hepatitis B kronik memberikan gejala yang lebih serius seperti mudah lelah,
tidak nafsu makan, mual dan muntah, merasa lemas, dan juga dapat terjadi asites
dimana terjdi penumpukan cairan didalam rongga perut sehingga perut terlihat
membuncit. Jika sudah terjadi komplikasi pada hepatitis kronis dapat
menyebabkan perdarahan lambung, gangguan system saraf pusat berupa kejang
serta penurunan kesadaran sampai koma.
Saat dilakukan pemeriksaan fisik pada penderita hepatitis maka akan terlihat
warna kuning pada kulit, bola mata bagian putih dan kuku. Pada perabaan, perut
kanan atas teraba membesar karena terjadi pembesaran hati, dan juga teraba
adanya tegangan didaerah hati. Selain itu, dapat juga terjadi penurunan berat
badan ringan sebanyak 2-5 kg (cahyono, 2010)
2.1.6 Faktor Resiko dan Penularan Hepatitis B
Individu yang berisiko terinfeksi HBV :
- donor darah atau jaringan
- pasien hemodialisis
- pasien HIV
- kontak serumah atau hubungan seksual dengan penderita Hepatitis B
- pasien immunosuppressive
- peningkatan ALT/AST yang tidak diketahui penyebabnya
- anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi HBV
- Injection drug users (IDUs)
- Man Sex Man (MSM)
- wanita hamil
(McMahon et al., 2012)

HBV ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh yang terinfeksi dengan
host virus Hepatitis B hanya pada manusia. Darah merupakan media terbaik
transimisi, tapi cairan tubuh lain juga dapat terlibat seperti semen dan saliva.
(Scott et al., 1980) Saat ini diketahui terdapat 3 cara transmisi HBV yaitu
perinatal, seksual dan parenteral/perkutaneus. Tidak ada referensi yang dapat
dipercaya bahwa infeksi dapat menular melalui udara dan tinja bukan
merupakan sumber infeksi. HBV tidak ditransmisikan melalui makanan atau
air yang terkontaminasi, serangga atau agen lainnya. (Hou et al., 2005)

- Transmisi perinatal
Transmisi HBV melalui Ibu carrier kepada bayinya dapat muncul sepanjang
periode perinatal dan menjadi factor penting dalam menentukan prevalensi
infeksi di daerah endemisitas tinggi seperti China dan Asia Tenggara. Cheung,
dkk. membagi mekanisme transmisi vertical/perinatal hepatitis B dalam tiga
masa kehamilan, yaitu: 1) saat konsepsi yang mana terjadi infeksi germ-line; 2)
saat kehamilan melalui kontaminasi darah materna maupun transmisi
transplasenta; dan 3) saat kelahiran melalui ruptur membran dan persalinan per
vagina . Tingkat transmisi melalui ketiga mekanisme tersebut berkaitan dengan
status HBeAg positif dan kadar Hepatitis B Virus (HBV) DNA yang tinggi
Persalinan yang berkepanjangan (prolonged labor) memiliki pengaruh terhadap
risiko transmisi vertikal dari ibu ke janinnya yang menunjukkan korelasi linier
antara kejadian HBsAg pada tali pusat dan durasi kala I persalinan yang dapat
diamati jika kala I memanjang ≥ 9 jam. (Chalid et al., 2013

- Transmisi seksual
Transmisi seksual HBV merupakan sumber infeksi terbanyak di seluruh dunia
khusunya di daerah endemik rendah seperti di Amerika Timur. Hepatitis B
disebut sebagai Sexually Transmitted Disease (STD). Dalam jangka waktu
lama, homoseksual memiliki risiko tertinggi untuk terinfeksi melalui hubungan
seksual (70% homoseksual terinfeksi setelah 5 tahun berhubungan seksual).
Meskipun begitu, transmisi heteroseksual juga meningkatkan proporsi infeksi
HBV. pada heteroseksual, faktor risiko infeksi meningkat berkaitan dengan
durasi berhubungan seksual, jumlah pasangan seksual, riwayat penyakit
menular seksual, dan serologi positif Sifilis. Pasangan seksual dengan Injection
drug user (IDU), prostitusi dan pelanggan prostitusi merupakan risiko tinggi
infeksi. ( Alter, 2003)

- Transmisi Parenteral/perkutaneus
Sumber infeksi yang nyata adalah darah yang terkontaminasi HBV dengan
peralatan operasi yang terkontaminasi. Transimisi parenteral/perkutan dapat
muncul saat operasi, setelah penyuntikan, penggunaan obat intravena dan
prosedur tindik, ,tattoo, akupuntur dan sirkumsisi. Penyebaran nosokomial
infeksi HBV di rumah sakit seperti unit hemodialisis dan unit gigi. Orang
dengan risiko tinggi infeksi HBV adalah mereka yang melakukan hemodialisis,
dokter gigi, perawat dan pekerja kesehatan, laboratoran, pengguna obat
intravena yang berpotensi kontak dengan darah yang terinfeksi. (Hou et al.,
2005)
2.1.7 Pencegahan Hepatitis B

Tingkat infeksi dapat diturunkan dengan modifikasi tingkah laku dan


peningkatan pengetahuan individu. Melakukan pemeriksaan pada semua donor
darah dan memastikan praktik klinis yang aseptic. (Franco et al., 2012) Selain
itu skrining ibu hamil dapat membantu pencegahan transmisi pada saat
kelahiran. Administrasi Immunoglobulin Hepatitis B dapat mencegah infeksi
neonatus dan dapat pula sebagai profilaksis. Vaksinasi sangat efektif dalam
pencegahan Hepatitis B, sirosis dan hepatoselular karsinoma. (Alavian et al.,
2010)
WHO merekomendasikan semua Negara untuk memperkenalkan vaksin
Hepatitis B pada program imunisasi rutin nasional. Selanjutnya, di Negara-
negara dengan infeksi HBV tinggi (khususnya di Negara dengan prevalensi
infeksi HBV kronik >8%), WHO merekomendasikan pemberian dosis awal
vaksin Hepatitis B segera setelah lahir (<24 jam) untuk mencegah transmisi
HBV perinatal.
Pencegahan spesifik pre-exposure dapat dilakukan dengan memberikan
vaksin Hepatitis B pada kelompok risiko tinggi. Vaksin Hepatitis B yang tersedia
saat ini merupakan vaksin rekombinan HBsAg yang diproduksi dengan bantuan
ragi. Indonesia telah memasukkan imunisasi Hepatitis B dalam program imunisasi
rutin nasional pada bayi baru lahir pada tahun 1997. (Kemenkes, 2012)

2.2 Hepatitis B pada kehamilan


2.2.1 Pengertian

Ibu hamil yang terdiagnosa HBsAg dalam tubuh nya memiliki peluang
untuk menularkan virus Hepatitis B secara vertical pada anaknya. Penularan
yang terjadi pada masa perinatal yaitu penularan dari ibu kepada anaknya yang
baru lahir. Jika seorang ibu hamil karier Hepatitis B dan HBeAg positif maka
bayi yang dilahirkan 90% kemungkinan akan terinfeksi menjadi karier juga.
Kemungkinan 25% dari jumlah tersebut akan meninggal karena hepatitis
kronik atau kanker hati. Transmisi perinatal ini terutama banyak terjadi di
Negara-negara Timur dan Negara berkembang. Infeksi perinatal paling tinggi
terjaid selama persalinan dan diduga tidak berhubungan dengan proses
menyusui. (Kemenkes, 2012)

2.2.2 Epidemiologi
Menurut WHO, hampir 90% bayi terinfeksi HBV pada tahun pertama
kehidupan dan 30%-50% anak yang terinfeksi HBV pada umur 1-4 tahun dapat
menjadi kronik dan sekitar 25% orang dewasa yang terinfeksi secara kronik
sejak masa kanak-kanak meninggal karena kanker hati atau sirosis.
Transmisi HBV melalui Ibu carrier kepada bayinya dapat muncul
sepanjang periode perinatal dan menjadi factor penting dalam menentukan
prevalensi infeksi di daerah endemisitas tinggi seperti China dan Asia
Tenggara. Sebelum vaksinasi terintegrasi dengan program imunisasi rutin,
proporsi bayi yang menjadi HBV carrier berkisar antara 10-30% untuk ibu
yang HBsAg positif sedangan HBeAg negatif. Namun, insidens infeksi
perinatal meningkat sekitar 70-90% pada ibu yang HBsAg dan HBeAg positif.
(Hou et al., 2005)

2.2.3 Mekanisme Penularan

Cheung, dkk. membagi mekanisme transmisi vertical/perinatal hepatitis B


dalam tiga masa kehamilan, yaitu: 1) saat konsepsi yang mana terjadi infeksi
germ-line; 2) saat kehamilan melalui kontaminasi darah materna maupun
transmisi transplasenta; dan 3) saat kelahiran melalui ruptur membran dan
persalinan per vagina . Tingkat transmisi melalui ketiga mekanisme tersebut
berkaitan dengan status HBeAg positif dan kadar Hepatitis B Virus (HBV) DNA
yang tinggi.
Kejadian transmisi perinatal mencapai 70-90% pada ibu dengan HBsAg
positif dan HBeAg positif tanpa adanya imunoprofilaksis.Transmisi ini terjadi
melalui proses kelahiran, yaitu ketika terjadi mikrotransfusi atau terdapat kontak
antara darah ibu dan mukosa bayi saat kontraksi. Korioamnionitis, ancaman
persalinan preterm dan penggunaan alat bantu persalinan juga dapat meningkatkan
risiko transmisi hepatitis B (Pusparini and Ayu, 2017).
Transmisi transplasenta jarang terjadi dan diperkirakan hanya berkisar 5-
15% dari seluruh kehamilan dengan hepatitis B. Hepatitis B e antigent (HbeAg)
merupakan struktur virus hepatitis B satu-satunya yang dapat menembus sawar
darah plasenta karena memiliki berat molekul yang kecil. Oleh karena terdapat
reaksi silang terhadap antigen e dan antigen c dalam pengenalan antigen, maka
transfer HBeAg melalui plasenta akan menyebabkan imunotoleransi fetus
terhadap Hepatitis B core Antigent (HbcAg). Hal inilah yang dapat menyebabkan
infeksi hepatitis B kronik setelah kelahiran (Cheung dkk 2013). Beberapa bukti,
bahwa virus hepatitis dapat menembus plasenta, ialah ditemukannya hepatitis antigen
dalam tubuh janin in utero atau pada janin baru lahir.Selain itu telah dilakukan pula
autopsi pada janin-janin yang mati pada periode neonatal akibat infeksi hepatitis
virus.Hasil autopsi menunjukkan adanya perubahan-perubahan pada hepar, mulai dari
nekrosis sel-sel hepar sampai suatu bentuk sirosis.Perubahan-perubahan yang lanjut
pada hepar ini, hanya mungkin terjadi bila infeksi sudah mulai terjadi sejak janin
dalam rahim.Kelainan yang ditemukan pada hepar janin, lebih banyak terpusat pada
lobus kiri.Hal ini membuktikan, bahwa penyebaran virus hepatitis dari ibu ke janin
dapat terjadi secara hematogen (Shao, dkk., 2011).
Infeksi germ-line terjadi pada oosit atau spermatozoa yang terinfeksi
dengan hepatitis B. Virus hepatitis B dapat menembus sawar darah testis dan
menyebabkan mutagenesis dari sperma, namun tidak terjadi pada seluruh sperma.
Sperma mutagenik ini ditemukan pada 14,3% pria yang terinfeksi hepatitis B.5
Hepatitis B surface Antigent (HbsAg) juga dapat ditemukan pada 21% oosit dan
embrio ibu dengan HBsAg positif. Virus hepatitis B dapat ditemukan pada
nukleus dan sitoplasma oosit dan embrio ibu yang terinfeksi, dan akan bereplikasi
seiring dengan pertumbuhan embrio. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa
salah satu transmisi hepatitis B dapat disebabkan oleh infeksi germ-line. Faktor
prediktor infeksi germ-line ini adalah HBeAg positif dan HBV DNA lebih dari
106 kopi/mL (2 x 105 IU/mL).

2.2.4 Gejala Klinis


Bila hepatitis virus terjadi pada trimester I atau permulaan trimester II
maka gejala-gejalanya akan sama dengan gejala hepatitis virus pada wanita tidak
hamil.Biasanya Mual dan muntah pada kehamilan muda dapat dibedakan dari
hepatitis, dimana pada kehamilan muda, mual dan muntah terutama dirasakan
pada pagi hari dan semakin berkurang dan semakin membaik pada sore hari.
Sementara pada hepatitis, semakin sore mual dan muntah yang dirasakan akan
semakin berat. Meskipun gejala-gejala yang timbul relatif lebih ringan dibanding
dengan gejala-gejala yang timbul pada trimester III, namun penderita hendaknya
tetap dirawat di rumah sakit.
Hepatitis virus yang terjadi pada trimester III, akan menimbulkan gejala-
gejala yang lebih berat dan penderita umumnya menunjukkan gejala-gejala
fulminant. Pada fase inilah hepatitis nekrosis akut sering terjadi, dengan
menimbulkan mortalitas Ibu yang sangat tinggi, dibandingkan dengan penderita
tidak hamil. Pada trimester III, adanya defisiensi faktor lipotropik disertai
kebutuhan janin yang meningkat akan nutrisi, menyebabkan penderita mudah
jatuh dalam hepatitis nekrosis akut. Tampaknya keadaan gizi ibu hamil sangat
menentukan prognosa (Ferrari, dkk., 2003).
Peneliti lain juga menyimpulkan, bahwa berat ringan gejala hepatitis virus
pada kehamilan sangat tergantung dari keadaan gizi ibu hamil. Gizi buruk
khususnya defisiensi protein, ditambah pula meningkatnya kebutuhan protein
untuk pertumbuhan janin, menyebabkan infeksi hepatitis virus pada kehamilan
memberi gejala-gejala yang jauh lebih berat. Pengaruh kehamilan terhadap berat
ringannya hepatitis virus, telah diselidiki oleh Adam, yaitu dengan cara mencari
hubungan antara perubahan-perubahan koagulasi pada kehamilan dengan beratnya
gejala-gejala hepatitis virus. Diketahui bahwa pada wanita hamil, secara fisiologik
terjadi perubahan-perubahan dalam proses pembekuan darah, yaitu dengan
kenaikan faktor-faktor pembekuan dan penurunan aktivitas fibrinolitik, sehingga
pada kehamilan mudah terjadi DIC (Disseminated Intra Vascular Coagulation)
(Shao, dkk., 2011).

2.2.5 Dampak
Infeksi Virus Hepatitis B pada ibu hamil merupakan masalah yang
cukup serius. Karena tingginya penularan Hepatitis B secara vertikal yaitu dari ibu
ke anaknya saat melahirkan, yaitu sekitar 90% ibu yang mengidap Hepatitis B
atau hasil HBsAg positif akan menurunkan infeksi HBV pada anaknya dan
kemungkinan besar akan menjadi karier HBV.
Sekitar 3,9% ibu dengan HBsAg positif selama tahun pertama
kehidupan dan berkembang mengalami Hepatitis B Kronis (carrier). Anak-anak
yang terinfeksi sebelum usia 6 tahun mengembangkan infeksi kronis sebesar 30-
50% menjadi sirosis hati atau bahkan kanker hati dan kemudian 25% anak
dengan Hepatitis carier ini akan meninggal karena pernyakit hari kronis, sirosis
hati atau kanker hati (WHO, 2015).

2.2.6 Penapisan Hepatitis B pada Ibu Hamil


Langkah awal pencegahan penularan secara vertikal adalah dengan
mengetahui status HBsAg ibu hamil. Langkah ini bisa dilakukan dengan
melakukan penapisan HBsAg pada setiap ibu hamil. Metode penapisan HBsAg
bisa menggunakan rapid test. Penapisan ini sebaiknya diikuti oleh semua wanita
hamil trimester pertama kehamilannya. Hal ini dimaksudkan agar ibu, keluarga
dan tenaga medis memiliki kesempatan untuk mempersiapkan tindakan yang
diperlukan apabila ibu memiliki status HBsAg (+). (Kemenkes, 2012)

2.2.7 Hasil – hasil penelitian tentang Faktor Resiko Infeksi Virus Hepatitis
B pada Ibu Hamil
1. Usia
Penelitian yang dilakukan oleh Kolawole et al di Osogbo
Nigeria dimana prevalensi terbanyak HBsAg positif terdapat pada
kelompok umur 30-34 dengan persentase 23.3% yaitu sebanyak 14
orang dari total 60 orang yang berusia di rentan umur tersebut. Diikuti
kelompok umur terbanyak kedua yaitu 25-29 tahun dengan persentase
16.9%. Menurutnya, kelompok umur tersebut merupakan puncak dari
aktivitas sosial yang tertinggi atau dalam hal ini merupakan usia
produktif sehingga risiko transmisi virus melalui kontak seksual juga
sangat tinggi (Kolawole et al, 2012).
Penelitian yang dilakukan Sri Wahyu pada tahun 2017 di
Makassar menyatakan kelompok umur 25 – 29 tahun dan 30 – 34 tahun
menempati prevalensi terbanyak. Hal ini dikarenakan program
imunisasi hepatitis B mulai diterapkan sekitar 20 tahun yang lalu yaitu
pada tahun 1997 ketika dimasukkan dalam program imunisasi rutin
nasional pada bayi baru lahir (Kemenkes, 2012). Hal tersebut
menyebabkan wanita umur kurang dari 25 tahun memiliki prevalensi
HBsAg positif lebih rendah diduga karena dampak dari imunisasi yang
kemungkinan sudah ada pada waktu itu.

2. Pekerjaan
Penelitian Ngaira et al di Kenya pada tahun 2014 yakni prevalensi
tertinggi ibu hamil dengan HBsAg positif berdasarkan pekerjaan adalah
kelompok yang tidak bekerja yaitu sebanyak 7 dari 11 orang yang positif
HBsAg (Ngaira et al, 2016).
penelitian yang dilakukan oleh Anaedobe et al di Nigeria. Dari
penelitiannya, didapatkan prevalensi tertinggi ibu hamil dengan HBsAg
positif pada karyawan swasta dan pegawai pemerintah dengan persentase
yang sama yaitu 40%. Sedangkan yang tidak bekerja hanya sebesar 20%
(Anaedobe et al, 201).
Penelitian lain yang dilakukan di daerah lain di Nigeria oleh
Kolawole et al dimana hasil yang didapatkan adalah prevalensi menurut
pekerjaan terbanyak pada pedagang yaitu 14 dari 33 orang sedangkan ibu
rumah tangga memiliki prevalensi terendah. Hal tersebut dikarenakan
interaksi dengan lawan jenis yang lebih sering sehingga memicu hubungan
heteroseksual yang merupakan salah faktor risiko transmisi HBV
(Kolawole et al, 2012).

3. Riwayat Kontak Darah


a) Pernah suntik, tato permanen, tindik
Pengaturan kehamilan dalam program keluarga berencana salah satunya
adalah program KB suntik 1 bulan atau 3 bulan, data BKKBN pada
tahun 2013 menunjukkan bahwa pasangan usia subur yang menjadi
peserta KB hampir separuhnya 48,56% menggunakan metode
kontrasepsi suntikan (Mujiati, 2013). Terpaparnya jarum suntik tersebut
bisa berisiko untuk tertular penyakit seperti Hepatitis B yang bisa
menular melalui jarum suntik yang digunakan berganti-ganti.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Zenebe et al. 2014)
menyatakan, pernah suntik tidak aman berhubungan secara signifikan
dengan infeksi Hepatitis B pada ibu hamil di Kota Bahir Dar, Etiopia
Barat Laut (AOR=5,6; 95%CI: 1,44-22,19). Terpapar jarum suntik juga
terjadi pada saat pengambilan darah intravena, pengambilan darah
perifer dan berbagi jarum suntik yang tidak steril untuk penggunaan
obat intravena. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Obi et al.
(2006) bahwa pernah suntik tidak berhubungan secara statistik dengan
kejadian HBsAg positif pada ibu hamil.

b) Pernah operasi
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zenebe et al. (2014)
menyatakan bahwa pernah melakukan operasi berhubungan secara
signifikan dengan kejadian infeksi virus Hepatitis B pada ibu hamil
(AOR=11,1; 95%CI: 2,64-46,88). Hasil penelitian yang serupa
dilakukan oleh Li et al. (2012) menyatakan bahwa pernah operasi
berhubungan dengan Hepatitis B pada orang yang berusia 15-59 tahun
(AOR=1,24; 95%CI: 1,00-1,53). Pernah tidaknya operasi ini perlu
ditanyakan, karena penggunaan alat operasi yang tidak steril bisa
menyebabkan terinfeksinya virus hepatitis B (Cahyono, 2010). Hasil
penelitian yang berbeda didapatkan oleh Hannachi et al. (2009) di
Tunisia bahwa pernah operasi tidak berhubungan secara statistik dengan
kejadian HBsAg positif pada ibu hamil.

c) Pernah transfusi darah


Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yakasai et al. (2012) bahwa ibu
hamil HBsAg positif berhungan dengan pernah transfusi darah. Hasil
penelitian yang berbeda ditemukan oleh Adegbesan et al. (2015) di
Nigeria bahwa ibu hamil yang pernah transfusi darah tidak berhubungan
secara signifikan dengan kejadian HBsAg positif pada ibu hamil. Hasil
penelitian yang sama juga ditemukan oleh Metaferia et al. (2016) yaitu
ibu hamil yang pernah melakukan transfusi darah tidak berhubungan
dengan HBsAg positif. Penelitian lain yang dilakukan oleh Bayo et al.
(2014) menemukan bahwa dari 47 ibu hamil HBsAg positif, hanya 3 ibu
yang pernah melakukan transfusi darah dan hasil penelitian ini
menunjukkan hubungan yang tidak signifikan secara statistik antara
pernah transfusi darah dengan HBsAg positif pada ibu hamil.

d) Pernah perawatan gigi


Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Nigeria dengan responden ibu
hamil yang memeriksakan diri di klinik antenatal menyatakan bahwa
pernah perawatan gigi tidak berhubungan secara statistik dengan kejadian
HBsAg positif pada ibu hamil (Rabiu et al. 2010).

4. Riwayat Kontak Seksual


a) Frekuensi Perkawinan Ibu
Frekuensi perkawinan tiap individu berbeda dengan individu lainnya,
semakin sering orang melakukan perkawinan maka semakin banyak
jumlah pasangan seksual orang tersebut, sehingga akan meningkatkan
risiko tertularnya penyakit menular seksual. Studi yang dilakukan oleh
Chernet et al. (2017) menunjukkan bahwa wanita dengan beberapa
pasangan seksual lebih berisiko terinfeksi virus Hepatitis B dibandingkan
dengan mereka yang tidak melakukan hubungan dengan banyak pasangan
seksual (AOR=6,92; 95%CI: 1,69-28,44). Penelitian lain menemukan
perbedaan yang signifikan secara statistik jumlah pasangan seksual ≥2
dengan kejadian HBsAg positif pada ibu hamil di Nigeria (OR=4,11; 95%
CI: 2,85-9,22) (Adegbesan et al. 2015). Penelitian tersebut didukung oleh
penelitian yang dilakukan Anaedobe et al. (2015) yang menunjukkan
bahwa ibu hamil dengan beberapa pasangan seksual lebih berisiko terkena
virus Hepatitis B dari wanita dengan satu pasangan seksual (OR=3,987;
p=0,026).
Penelitian yang dilakukan oleh Rabiu et al. (2010) menunjukkan
peningkatan risiko infeksi VHB pada orang dengan pasangan seksual yang
banyak (AOR=2,02; 95%CI: 1,02-3,98). Wanita dengan riwayat beberapa
pasangan seksual berisiko lebih tinggi terinfeksi Hepatitis B dibandingkan
dengan mereka yang memiliki pasangan seksual tunggal (AOR=16,8;
95%CI: 3,18-89,06) (Umare et al. 2016). Temuan ini dapat dijelaskan
karena Hepatitis B adalah virus yang lahir dari darah, air mani, dan cairan
tubuh lainnya yang merupakan sumber umum dari infeksi melalui kontak
seksual (Umare et al. 2016). Hasil penelitian di atas didukung oleh Obi et
al. (2006) yang menunjukkan bahwa pasangan seksual dengan jumlah
yang lebih tinggi sejak mulai melakukan hubungan seks berhubungan
dengan kejadian HBsAg positif pada ibu hamil.

b) Frekuensi Pernikahan Suami


Penelitian yang menghubungkan langsung frekuensi perkawinan suami
dengan kejadian Hepatitis B masih sangat terbatas. Menurut UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan dan perceraian, sistem perkawinan yang
ada di Indonesia, seorang laki-laki hanya boleh menikah dengan satu orang
perempuan dan diperbolehkan lebih dari satu dengan alasan, syarat, dan
prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran islam dan hak untuk
membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif (Presiden Republik Indonesia 1974). Mulai munculnya
praktik poligami membuat status seorang perempuan dalam posisi sebagai
istri akan memberikan dampak terhadap kesehatan. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al. (2017) di Cina menyatakan
bahwa istri yang mempunyai suami dengan riwayat positif sifilis
berhubungan secara signifikan dengan kejadian HBsAg positif
(AOR=2,69; 95%CI: 2,57-2,82). Perempuan yang menempati posisi
sebagai istri kedua, ketiga, keempat dan seterusnya akan memiliki risiko
untuk tertular penyakit melalui hubungan seksual karena suaminya
sebelumnya pernah berhubungan seksual dengan perempuan lain.
Perempuan yang tidak terinfeksi Hepatitis B, berisiko lebih tinggi
terinfeksi jika memiliki pasangan yang menderita Hepatitis B. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al. (2017) menyatakan bahwa ada
hubungan secara statistik antara ibu hamil yang berada dalam hubungan
poligami dengan kejadian infeksi virus Hepatitis B positif (AOR=5,8;
95%CI: 2,1-10,4).

5. Riwayat Hepatitis Dalam Keluarga


Penelitian yang menghubungkan langsung Riwayat Keluarga yang
terkenaHepatitis B terhadap Kehamilan ibu masih sangat terbatas. Menurut
Ferrari , kelompok tertentu dan orang dengan cara hidup tertentu memiliki
risiko tinggi. Kelompok ini salah satunya yaitu kelompok yang Kontak
serumah, dan Ibu yang memiliki Hepatitis B ke anaknya(Ferrari, dkk., 2003)

2.3 Kerangka Konsep Penelitian


2.3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang diteliti
Penelitian ini ingin mengetahui seberapa besar prevalensi HBsAg
positif pada ibu hamil yang menjalani pemeriksaan HBsAg. Selain itu,
akan dilihat pula beberapa karakteristik ibu hamil dengan hasil tes HBsAg
positif yang meliputi : usia, pekerjaan, riwayat kontak darah, riwayat
kontak seksual, riwayat penyakit Hepatitis B dalam keluarga

2.3.2 Pola Hubungan antar Variabel


Pola hubungan antar variabel yang akan diteliti adalah sebagai berikut

HBsAg Negatif Prevalensi


HBsAg Positif
HBsAg Positif
Usia

Pekerjaan

Riwayat Kontak Darah


Karakteristik
Riwayat Kontak Seksual

Riwayat Hepatitis B dalam Keluarga


DAFTAR PUSTAKA

Cui, A. et al. (2016) ‘Maternal hepatitis B virus carrier status and pregnancy
outcomes : a prospective cohort study’, BMC Pregnancy and Childbirth. BMC
Pregnancy and Childbirth, pp. 1–8. doi: 10.1186/s12884-016-0884-1.
Herlando sinaga, ikhwan latif, N. P. (2018) ‘Jurnal Riset Kesehatan
PEMERIKSAAN HEPATITIS B SURFACE ANTIGEN (HBsAg) DAN Anti-
HBs PADA IBU HAMIL SEBAGAI SKRINING PENULARAN HEPATITIS B’,
7(2), pp. 80–84. doi: 10.31983/jrk.v7i2.3690.
Ilham, M. and Akbar, A. (2019) ‘Pencegahan transmisi virus Hepatitis B dan HIV
dari Ibu ke bayi Infeksi Pada Kehamilan : Hepatitis B dan HIV Hepatitis B Dalam
Kehamilan’, (January).
Kementerian Kesehatan RI (2018) ‘Infodatin Hepatitis 2018’, p. 8.
Kesehatan, K. and Indonesia, R. (2015) PROFIL KESEHATAN INDONESIA
2014.
Pusparini, A. D. and Ayu, P. R. (2017) ‘Tatalakasana Persalinan pada Kehamilan
dengan Hepatitis B Management of Labor in Pregnancy with Hepatitis B’,
7(April), pp. 1–5.
WHO (2015) ‘Guidelines for the prevention, care and treatment of persons with
chronic hepatitis b infection’, (March).

Radji, Maksum 2015. Imunologi dan Virologi Cetakan kedua (Edisi Revisi). PT.
ISFI Penerbitan : Jakarta

Konsensus PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) tentang Panduan


Tatalaksana Infeksi Hepatitis B Kronik. 26 Agustus 2006 di Hotel Shangri-La
Jakarta.

1. Cheung KW, Seto MT, Wong SF. Towards complete eradication of hepatitis B infection from perinatal
transmission: review of the mechanisms of in utero infection and the use of antiviral treatment during
pregnancy. Eur J Obstetr Gynecol Reprod Biol. 2013;169(1):17-23.

Anda mungkin juga menyukai