Anda di halaman 1dari 29

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

RSUD Undata Palu


Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako

TUTORIAL KLINIK

DISUSUN OLEH:
Valeria Devisti Tambolang
Fiona Febriyanti
Ni Kadek Widiadnyani
Desy Alfriyani
Janet Nurul Rachmaningrum
Dwi Pasca Cahyawati

PEMBIMBING:
dr. Dewi Suriany., Sp. KJ

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
RSUD UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
TUTORIAL

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 37 tahun
Alamat : Desa Pandere, Kec. Gumbasa Sigi
Status pernikahan : Menikah
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Tanggal pemeriksaan : 19 Oktober 2019

LAPORAN PSIKIATRIK
Autoanamnesis pada tanggal 19 Oktober 2019

I. RIWAYAT PENYAKIT
A. Keluhan utama
Cemas yang berlebihan

B. Riwayat Gangguan Sekarang


Seorang pasien Tn. A berumur 37 tahun datang ke Poli Jiwa RS
Madani dengan keluhan cemas yang berlebihan, cemas sudah
dirasakan sejak 3 tahun yang lalu namun mulai terasa memberat 3
minggu terakhir ini setelah pasien didiagnosis penyakit batu ginjal
oleh dokter Penyakit Dalam. Rasa cemas bertambah karena pasien
juga menderita penyakit jantung, sehingga pasien terus menerus
memikirkan penyakitnya. Pasien mengaku rasa cemasnya juga
semakin memberat karena selama dirawat di rumah sakit, istri jarang
menjaga pasien. Sebelum pasien dirawat dirumah sakit, pasien sudah
memiliki riwayat gangguan cemas dan sering berobat namun beberapa
hari ini pasien mengaku obatnya habis oleh karena itu dia datang ke
poli klinik jiwa untuk menambah obatnya. Saat dilakukan wawancara
pasien juga mengeluh sakit kepala, pasien sering merasakan kaki
tangan dingin, berkeringat dingin, nyeri tengkuk, nyeri dada kiri dan
nyeri perut kiri bawah yang menyebar ke belakang. Pasien kadang
mengalami sesak nafas dan kadang merasa mau pingsan tetapi hal itu
tidak pernah terjadi. Pasien juga mengeluh susah tidur dalam sehari
biasanya tidur hanya 3 jam dan bila terbangun di dini hari pasien sulit
untuk tidur kembali, kurang nafsu makan, gelisah, serta pasien
mengaku kurang berkonsentrasi dan sering putus asa.
Pasien adalah seorang petani dan selalu ingin pergi untuk
bekerja demi menafkahi keluarganya, namun karena rasa cemasnya
membuat pasien susah untuk konsentrasi saat bekerja. Pasien
mengaku kesulitan dalam melakukan beberapa kegiatan sehari-harinya
ketika terjadinya peningkatan kecemasan. Pasien memiliki 1 orang
anak dan seorang istri, pasien mengaku hubungan dengan istrinya
selama dirumah baik saja dan demikian pula dengan anak mereka.
Pasien mengaku dirumah tidak ada konflik dengan anak dan istrinya,
walaupun selama dirawat pasien merasa kurang diperhatikan oleh
keluarganya.
a) Hendaya/Disfungsi
Hendaya Sosial (-)
Hendaya Pekerjaan (+)
Hendaya Penggunaan Waktu Senggang (+)
b) Faktor Stressor Psikososial
Faktor stressor psikososial pasien memiliki masalah dengan
keluarganya karena selama dirawat pasien jarang di jaga oleh
istrinya dan pasien mengetahui bahwa ia mengidap sakit jantung
dan batu ginjal sehingga ia selalu memikirkannya.
c) Hubungan gangguan sekarang dengan riwayat
penyakit/gangguan sebelumnya.
Pasien pernah memeriksakan diri dengan keluhan yang
sama dan sudah mulai berobat sejak 1 tahun sebelumnya.

C. Riwayat Gangguan Sebelumnya


 Gangguan emosional atau mental (+)
 Gangguan psikosomatik (-)
 Infeksi Berat (-)
 Penggunaan obat/NAPZA (-)
 Gangguan neurologi:
 Trauma/Cedera Kepala (-)
 Kejang atau Tumor (-)

D. Riwayat Kehidupan Pribadi (Past Personal History)


a. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Tidak ada masalah saat pasien dalam kandungan. Pasien
lahir pada tanggal 21 Agustus 1982, lahir dengan normal,
dilahirkan di rumah. Pasien merupakan anak pertama dari 3
bersaudara.
b. Riwayat Masa Kanak-Kanak Awal (1-3 tahun)
Pasien mendapatkan ASI dari ibunya, pertumbuhan dan
perkembangan sesuai umur, tidak ada trauma pada masa ini.
Pasien mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya.
c. Riwayat Masa Kanak-Kanak Pertengahan (4-11 tahun)
Pasien tumbuh dengan baik dan bergaul seperti anak-anak
biasa. Pasien dibesarkan dengan baik oleh orang tuanya.
Hubungan pasien dengan keluarga, saudara, kerabat, dan teman
bermain pasien baik. Selama di sekolah pasien mengaku memiliki
banyak teman.
d. Riwayat Masa Kanak-Kanak Akhir/Pubertas/Remaja (12-18
tahun)
Pasien melanjutkan sekolah sampai tingkat SMA.
Kemudian bekerja menjadi seorang petani.
e. Riwayat Masa Dewasa (>18 tahun)
Pasien menikah dengan istrinya dan memiliki 1 orang
anak.
E. Riwayat Kehidupan Keluarga
Pasien anak ke-1 dari 3 bersaudara. Pasien tinggal bersama istri
dan anaknya. Hubungan kasih sayang, dan komunikasi antara pasien
dengan orang rumahnya baik, hanya saja dia merasa tidak
diperhatikan lagi oleh istri dan anak-anaknya.
F. Situasi Sekarang
Saat ini pasien tinggal di rumah bersama istri dan anaknya.
G. Persepsi Pasien Tentang Diri dan Kehidupan.
Pasien menyadari dirinya sakit secara penuh, dan memerlukan
pengobatan dari dokter.

II. STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
1. Penampilan: Pasien mengenakan baju hitam berkerah dan celana
jeans panjang, tampak wajah pasien sesuai dengan umur.
2. Kesadaran: Compos mentis.
3. Perilaku dan aktivitas psikomotor : Gelisah.
4. Pembicaraan : Spontan, intonasi rendah dan dapat dimengerti.
5. Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif.
B. Keadaan Afektif, Perasaan dan Empati :
1. Afek : Serasi
2. Mood : Cemas
3. Empati : Dapat diraba-rasakan
C. Fungsi Intelektual (Kognitif)
1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan :
Pengetahuan dan kecerdasan sesuai taraf pendidikannya.
2. Daya konsentrasi : Cukup
3. Orientasi :
 Waktu : Baik
 Tempat : Baik
 Orang : Baik
4. Daya ingat
 Jangka Pendek : Baik
 Segera (immediate memory) : Baik
 Jangka Panjang : Baik
5. Pikiran abstrak : Baik
6. Bakat kreatif : Tidak ditemukan
7. Kemampuan menolong diri sendiri : Baik
D. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi : Tidak ada
2. Ilusi : Tidak ada
3. Depersonalisasi : Tidak ada
4. Derealisasi : Tidak ada
E. Proses Berpikir
- Arus Pikiran
a. Produktivitas : Baik
b. Kontinuitas : Relevan
c. Hendaya berbahasa : Tidak ada
- Isi Pikiran
a. Preokupasi : Tidak ada
b. Gangguan isi pikir : Tidak ada

F. Pengendalian Impuls
Baik, pasien tampak tenang dan dapat mengendalikan dirinya.
G. Daya Nilai
1. Norma Sosial : Baik
2. Uji Daya Nilai : Baik
3. Penilaian Realitas : Baik
H. Tilikan (Insight)
Derajat VI: Pasien menyadari dirinya sakit dan butuh
pengobatan dari dokter.
I. Taraf Dapat Dipercaya
Dapat dipercaya.

III. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT


Pemeriksaan Fisik :
 Tekanan Darah : 140/90 mmHg
 Denyut Nadi : 82 kali/menit
 Suhu : 37,4°C
 Pernapasan : 24 kali/menit

IV. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Seorang pasien laki-laki berumur 37 tahun datang ke Poli klinik Jiwa
RS Madani dengan keluhan cemas yang berlebihan, cemas dirasakan sejak
3 tahun yang lalu. Rasa cemas timbul karena pasien memikirkan
penyakitnya. Sebelum datang kepoli, pasien pernah dirawat dirumah sakit
Undata dengan penyakit batu ginjal dan penyakit jantung. Saat dirawat,
pasien merasa tidak dipedulikan oleh keluarganya.
Pasien juga mengeluh sakit kepala, pasien sering merasakan kaki
tangan dingin, berkeringat dingin, nyeri tengkuk, nyeri dada kiri dan nyeri
perut kiri bawah yang menyebar ke belakang. Pasien kadang mengalami
sesak nafas dan kadang merasa mau pingsan tetapi hal itu tidak pernah
terjadi. Pasien juga mengeluh susah tidur dalam sehari biasanya tidur
hanya 3 jam dan bila terbangun di dini hari pasien sulit untuk tidur
kembali, kurang nafsu makan, gelisah, serta pasien mengaku kurang
berkonsentrasi dan sering putus asa.

V. EVALUASI MULTIAKSIAL
 Aksis I
 Berdasarkan autoanamnesa didapatkan adanya gejala klinis yang
bermakna berupa perasaan cemas dan takut
mengakibatkan pasien kehilangan semangat dan sulit
tidur. Keadaan ini akan menimbulkan distress dan
disabilitas dalam sosial, pekerjaan dan penggunaan waktu
senggang, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami
Gangguan Jiwa.
 Pada pasien tidak ditemukan adanya hendaya berat dalam menilai
realita ataupun gejala psikotik positif, seperti halusinasi dan
waham pada pasien sehingga didiagnosa sebagai Gangguan Jiwa
Non Psikotik.
 Berdasarkan deskripsi kasus diatas, dimana pasien merasa cemas
yang memberat setelah mengetahui memiliki batu ginjal dan
riwayat sakit jantung, sulit tidur, sakit kepala, nyeri perut, kurang
nafsu makan, kurang berkonsentrasi, dan putus asa sehingga dapat
didiagnosa gangguan cemas akibat keadaan medis umum,
gangguan insomnia, gangguan depresi, atau gangguan
somatoform.
 Berdasarkan gejala-gejala yang dialami pasien yang lebih
menonjol pada perasaan cemas setelah mengetahui bahwa pasien di
diagnosa penyakit batu ginjal dan memiliki riwayat penyakit
jantung, yang dapat mengakibatkan gejala lain timbul dan
kecemasan berlebihan atau khawatir tentang sejumlah peristiwa
atau kegiatan mendominasi maka pasien dapat di diagnosa sebagai
Gangguan Cemas Akibat Keadaan Medis Umum dengan
cemas menyeluruh (criteria 293.89)
 Aksis II
Pasien memiliki kepribadian yang tidak khas dengan sifat yang aktif,
bertanggung jawab, dan selalu berusaha.
 Aksis III
Penyakit Acute Coronary Syndrome
 Aksis IV
Stressor psikososial yaitu masalah dengan keluarga “primary support
group”
 Aksis V
Berdasarkan Global Assessment of Functioning (GAF) Scale pada 80-
71 yaitu beberapa gejala sementara & dapat diatasi, disabilitas ringan
dalam sosial, pekerjaaan, sekolah, dll.

VI. DAFTAR MASALAH


 Organobiologik
Terdapat ketidakseimbangan neurotransmitter sehingga
pasien memerlukan psikofarmaka.
 Psikologik
Ditemukan adanya kecemasan dan masalah/ stressor
psikososial sehingga pasien memerlukan psikoterapi.

VII. PROGNOSIS
Prognosis : dubia ad bonam
Faktor yang mempengaruhi :
a . Keinginan pasien untuk sembuh
b. Dukungan dari keluarga
c. Suportif lingkungan baik
d .Edukasi
VIII. RENCANA TERAPI
 Farmakoterapi :
Berikan obat antiansietas golongan benzodiazepine
(Alprazolam) dengan sediaan dosis 0,25;0,5;1 mg dimana dosis
anjuran 3x0,25-0,5 mg/hari
 Psikoterapi
Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan isi
hati dan keinginannya sehingga pasien merasa lega.
Memberikan penjelasan kepada keluarga dan orang-orang
sekitarnya sehingga tercipta dukungan sosial dengan lingkungan yang
kondusif untuk membantu proses penyembuhan pasien serta
melakukan kunjungan berkala.

IX. FOLLOW UP
Mengevaluasi keadaan umum, pola tidur, pola makan dan
perkembangan penyakit pasien serta menilai efektivitas pengobatan yang
diberikan dan melihat kemungkinan adanya efek samping obat yang
diberikan.
Learning Objectives

1. Mengapa pasien merasa cemas?


Asal Mula Kecemasan
Freud melihat kecemasan sebagai bagian penting dari sistem kepribadian, hal
yang merupakan suatu landasan dan pusat dari perkembangan perilaku
neurosis dan psikosis. Freud mengatakan bahwa prototipe dari semua anxietas
adalah trauma masa lahir (suatu pendapat yang pertama kali dikemukakan
oleh kolega Otto Rank).
Janin saat dalam masa kandungan merasa dalam dunia yang nyaman, stabil
dan aman dengan setiap kebutuhan dapat dipuaskan tanpa ada penundaan.
Tiba-tiba saat lahir individu dihadapkan pada lingkungan yang bermusuhan .
Individu kemudian harus beradaptasi dengan realitas, yaitu kebutuhan
instinktual tidak selalu dapat ditemukan. Sistem saraf bayi yang baru lahir
masih mentah dan belum tersiapkan, tiba-tiba dibombardir dengan stimulus
sensorik yang keras dan terus-menerus.
Trauma lahir, dengan peningkatan kecemasan dan ketakutan bahwa Id (aspek
dari kepribadian yang berhubungan dengan dorongan insting yang merupakan
sumber energi psikis yang bekerja berdasarkan prinsip kepuasan/pleasure
principle dan selalu ingin dipuaskan) tidak dapat terpuaskan merupakan
pengalaman pertama individu dengan ketakutan dan kecemasan. Dari
pengalaman ini diciptakan pola teladan dari reaksi dan tingkat perasaan yang
akan terjadi kapan saja pada individu yang ditunjukkan bila berhadapan
dengan bahaya di masa depan. Ketika individu tidak mampu melakukan
coping terhadap anxietasnya pada waktu dalam keadaan bahaya atau
berlebihan, maka kecemasan itu disebut sebagai traumatik. Apa yang
dimaksud Freud dengan hal ini adalah individu, tak dihitung berapa usianya,
mundur pada suatu tahapan tak berdaya sama sekali, 234 Teori Kecemasan
Berdasarkan Psikoanalisis Klasik Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7,
Juli 2007 seperti keadaan pada janin. Pada kehidupan dewasa,
ketidakberdayaan infantil diberlakukan kembali, untuk beberapa tingkatan,
dimana ego terancam.

Mekanisme Pertahanan terhadap Kecemasan


Kecemasan berfungsi sebagai tanda adanya bahaya yang akan terjadi, suatu
ancaman terhadap ego yang harus dihindari atau dilawan. Dalam hal ini ego
harus mengurangi konflik antara kemauan Id dan Superego. Konflik ini akan
selalu ada dalam kehidupan manusia karena menurut Freud, insting akan
selalu mencari pemuasan sedangkan lingkungan sosial dan moral membatasi
pemuasan tersebut. Sehingga menurut Freud suatu pertahanan akan selalu
beroperasi secara luas dalam segi kehidupan manusia. Layaknya semua
perilaku dimotivasi oleh insting, begitu juga semua perilaku mempunyai
pertahanan secara alami, dalam hal untuk melawan kecemasan. Freud
membuat postulat tentang beberapa mekanisme pertahanan namun mencatat
bahwa jarang sekali individu menggunakan hanya satu pertahanan saja.
Biasanya individu akan menggunakan beberapa mekanisme pertahanan pada
satu saat yang bersamaan. Ada dua karakteristik penting dari mekanisme
pertahanan. Pertama adalah bahwa mereka merupakan bentuk penolakan atau
gangguan terhadap realitas. Kedua adalah bahwa mekanisme pertahanan
berlangsung tanpa disadari. Kita sebenarnya berbohong pada diri kita sendiri
namun tidak menyadari telah berlaku demikian. Tentu saja jika kita
mengetahui bahwa kita berbohong maka mekanisme pertahanan tidak akan
efektif. Jika mekanisme pertahanan bekerja dengan baik, pertahanan akan
menjaga segala ancaman tetap berada di luar kesadaran kita. Sebagai hasilnya
kita tidak mengetahui kebenaran tentang diri kita sendiri. Kita telah terpecah
oleh gambaran keinginan, ketakutan, kepemilikan dan segala macam lainnya.
Beberapa mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melawan kecemasan
antara lain adalah:
a. Represi
Dalam terminologi Freud, represi adalah pelepasan tanpa sengaja sesuatu dari
kesadaran (conscious). Pada dasarnya merupakan upaya penolakan secara
tidak sadar terhadap sesuatu yang membuat tidak nyaman atau menyakitkan.
Konsep tentang represi merupakan dasar dari sistem kepribadian Freud dan
berhubungan dengan semua perilaku neurosis.

b. Reaksi Formasi
Reaksi formasi adalah bagaimana mengubah suatu impuls yang mengancam
dan tidak sesuai serta tidak dapat diterima norma sosial diubah menjadi suatu
bentuk yang lebih dapat diterima. Misalnya seorang yang mempunyai impuls
seksual yang tinggi menjadi seorang yang dengan gigih menentang pornografi.
Lain lagi misalnya seseorang yang mempunyai impuls agresif dalam dirinya
berubah menjadi orang yang ramah dan sangat bersahabat. Hal ini bukan
berarti bahwa semua orang yang menentang, misalnya peredaran film porno
adalah seorang yang mencoba menutupi impuls seksualnya yang tinggi.
Perbedaan antara perilaku yang diperbuat merupakan benar-benar dengan
yang merupakan reaksi formasi adalah intensitas dan keekstrimannya.

c. Proyeksi
Proyeksi adalah mekanisme pertahanan dari individu yang menganggap suatu
impuls yang tidak baik, agresif dan tidak dapat diterima sebagai bukan
miliknya melainkan milik orang lain. Misalnya seseorang berkata “Aku tidak
benci dia, dialah yang benci padaku”. Pada proyeksi impuls itu masih dapat
bermanifestasi namun dengan cara yang lebih dapat diterima oleh individu
tersebut.

d. Regresi
Regresi adalah suatu mekanisme pertahanan saat individu kembali ke masa
periode awal dalam hidupnya yang lebih menyenangkan dan bebas dari
frustasi dan kecemasan yang saat ini dihadapi. Regresi biasanya berhubungan
dengan kembalinya individu ke suatu tahap perkembangan psikoseksual.
Individu kembali ke masa dia merasa lebih aman dari hidupnya dan
dimanifestasikan oleh perilakunya di saat itu, seperti kekanak-kanakan dan
perilaku dependen.

e. Rasionalisasi
Rasionalisasi merupakan mekanisme pertahanan yang melibatkan pemahaman
kembali perilaku kita untuk membuatnya menjadi lebih rasional dan dapat
diterima oleh kita. Kita berusaha memaafkan atau mempertimbangkan suatu
pemikiran atau tindakan yang mengancam kita dengan meyakinkan diri kita
sendiri bahwa ada alasan yang rasional dibalik pikiran dan tindakan itu.
Misalnya seorang yang dipecat dari pekerjaan mengatakan bahwa
pekerjaannya itu memang tidak terlalu bagus untuknya. Jika anda sedang
bermain tenis dan kalah maka anda akan menyalahkan raket dengan cara
membantingnya atau melemparnya daripada anda menyalahkan diri anda
sendiri telah bermain buruk. Itulah yang dinamakan rasionalisasi. Hal ini
dilakukan karena dengan menyalahkan objek atau orang lain akan sedikit
mengurangi ancaman pada individu itu.

f. Pemindahan Suatu mekanisme pertahanan dengan cara memindahkan


impuls terhadap objek lain karena objek yang dapat memuaskan Id tidak
tersedia. Misalnya seorang anak yang kesal dan marah dengan orang tuanya,
karena perasaan takut berhadapan dengan orang tua maka rasa kesal dan
marahnya itu ditimpakan kepada adiknya yang kecil. Pada mekanisme ini
objek pengganti adalah suatu objek yang menurut individu bukanlah
merupakan suatu ancaman.

g. Sublimasi Berbeda dengan displacement yang mengganti objek untuk


memuaskan Id, sublimasi melibatkan perubahan atau penggantian dari impuls
Id itu sendiri. Energi instingtual dialihkan ke bentuk ekspresi lain, yang secara
sosial bukan hanya diterima namun dipuji. Misalnya energi seksual diubah
menjadi perilaku kreatif yang artistik.
h. Isolasi
Isolasi adalah cara kita untuk menghindari perasaan yang tidak dapat diterima
dengan cara melepaskan mereka dari peristiwa yang seharusnya mereka
terikat, merepresikannya dan bereaksi terhadap peristiwa tersebut tanpa emosi.
Hal ini sering terjadi pada psikoterapi. Pasien berkeinginan untuk mengatakan
kepada terapis tentang perasaannya namun tidak ingin berkonfrontasi dengan
perasaan yang dilibatkan itu. Pasien kemudian akan menghubungkan perasaan
tersebut dengan cara pelepasan yang tenang walau sebenarnya ada keinginan
untuk mengeksplorasi lebih jauh.

i. Undoing
Dalam undoing, individu akan melakukan perilaku atau pikiran ritual dalam
upaya untuk mencegah impuls yang tidak dapat diterima. Misalnya pada
pasien dengan gangguan obsesif kompulsif, melakukan cuci tangan berulang
kali demi melepaskan pikiran-pikiran seksual yang mengganggu.

j. Intelektualisasi
Sering bersamaan dengan isolasi; individu mendapatkan jarak yang lebih jauh
dari emosinya dan menutupi hal tersebut dengan analisis intelektual yang
abstrak dari individu itu sendiri.

Faktor HPA Axis


Dalam keadaan normal, hormon stres dilepaskan dalam jumlah kecil
sepanjang hari, tetapi bila menghadapi stres kadar hormon ini meningkat
secara dramatis. Setiap jenis respon tubuh yang berupa stres, baik stres fisik
maupun stres psikis dapat meningkatkan sekresi ACTH yang pada akhirnya
dapat meningkatkan kadar kortisol, Awal pelepasan hormon stres dimulai
dengan sekresi corticotrophin releasing factor (CRF). Pertama kali CRF
dilepaskan dari hipotalamus di otak ke aliran darah, sehingga mencapai
kelenjar pituitary yang berlokasi tepat di bawah hipotalamus. Di tempat ini
CRF merangsang pelepasan adenocorticotrophin hormone (ACTH) oleh
pituitary, yang pada gilirannya akan merangsang kelenjar adrenalis untuk
melepaskan berbagai hormon. Salah satunya adalah kortisol. Kortisol beredar
di dalam tubuh dan berperan dalam mekanisme coping (coping mechanism).
Bila stresor yang diterima hipotalamus kuat, maka CRF yang disekresi akan
meningkat, sehingga rangsang yang diterima oleh pituitary juga meningkat,
dan sekresi kortisol oleh kelenjar adrenal juga meningkat. Apabila kondisi
emosional telah stabil, coping mecahnism menjadi positif, maka sinyal di
otak akan menghambat pelepasan CRF dan siklus hormon-stres berulang lagi.
Dalam kondisi gelisah, cemas dan depresi, sekresi kortisol meningkat.

2. Bagaimana Faktor biologi mengakibatkan cemas?


Ansietas adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar
disertai respon otonom (sumber tidak diketahui oleh individu) sehingga
individu akan meningkatkan kewaspadaan untuk mengantisipasi.
Kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, berkaitan dengan perasaan
tidak berdaya dan respons emosional terhadap penilaian sesuatu. Sistem syaraf
pusat menerima suatu persepsi ancaman. Persepsi ini timbul akibat adanya
rangsangan dari luar dan dalam yang berupa pengalaman masa lalu dan faktor
genetik. Kemudian rangsangan dipersepsi oleh panca indra, diteruskan dan
direspon oleh sistem syaraf pusat melibatkan jalur cortex cerebri - limbic
system - reticular activating system - hypothalamus yang memberikan impuls
kepada kelenjar hipofise untuk mensekresi mediator hormonal terhadap target
organ yaitu kelenjar adrenal yang kemudian memicu syaraf otonom melalui
mediator hormonal yang lain.
3. Bagaimana hubungan rasa cemas dan penyakit jantung pasien?
Mekanisme antara kecemasan dan hipertensi sangat kompleks. Umumnya,
kecemasan meningkatkan tekanan darah, resistensi vaskular sistemik, aktivitas
simpatis, aktivitas renin plasma, model homeostasis, dan lipid darah. Pertama,
kecemasan meningkatkan tekanan darah dalam jangka pendek, dan efek bulu
putih yang berasal dari kecemasan adalah contoh yang khas. Penelitian
pemantauan tekanan darah ambulatory baru-baru ini melaporkan bahwa
gangguan kecemasan dikaitkan dengan hipertensi nokturnal dan pagi hari pada
pasien rawat jalan hipertensi. Kedua, kecemasan memiliki hubungan dekat
dengan sistem renin angiotensin dan meningkatkan tingkat angiotensin II.
Kecemasan jangka panjang dapat menurunkan variabilitas vaskular, sehingga
resistensi vaskular persisten menyebabkan hipertensi. Ketiga, beberapa
percobaan menunjukkan bahwa pasien dengan kecemasan biasanya memiliki
tanda-tanda fisiologis aktivasi simpatis, dan kecemasan dapat sangat
merangsang aliran keluar simpatis saraf dan refleks vasovagal. Rozanski dkk
berpendapat bahwa kecemasan dapat mengaktifkan sistem saraf simpatetik,
meningkatkan curah jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan
meningkatkan tekanan darah arteri.

Selain itu, keadaan kecemasan jangka panjang akan meningkatkan respons


simpatik dan lebih mudah mengaktifkan sistem saraf simpatik. Aktivasi sistem
saraf simpatik tidak hanya mengurangi aliran darah ginjal, meningkatkan
retensi air dan natrium ginjal, dan meningkatkan tekanan darah, tetapi juga
merusak sel-sel endotel, menyebabkan disfungsi endotel dan meningkatkan
risiko aterosklerosis. Aktivasi simpatetik dapat menyebabkan perubahan
hemodinamik abnormal dan metabolisme lipid abnormal, seperti menurunkan
kolesterol high-density lipoprotein dan meningkatkan kolesterol low-density
lipoprotein, yang mempengaruhi fungsi endotel. Selain itu, sel-sel endotel
pada hewan dengan aktivitas saraf simpatik yang meningkat menunjukkan
perubahan struktural dan imunoreaktivitas yang lebih besar. Keempat, aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal adalah sistem respons stres fisiologis utama
dalam tubuh. Ketika sumbu ini disfungsional, peningkatan sekresi hormon
steroid menyebabkan retensi air dan natrium, yang menyebabkan tekanan
darah tinggi. Lebih lanjut, hubungan tidak langsung antara kecemasan dan
peningkatan risiko hipertensi mungkin juga berasal dari karakteristik subjek
yang cemas, yang biasanya memiliki gaya hidup yang lebih tidak sehat secara
umum. Dengan kata lain, mereka biasanya memiliki beberapa perilaku yang
merugikan, seperti peningkatan makan, merokok, dan penggunaan alkohol,
dan kurang berolahraga, karena stres dan kecemasan, yang berdampak pada
kesehatan.

4. Bagaimana patofisiologi dari gejala:


a. Putus asa
Banyak juga kasus orang yang mengalami depresi, awalnya memliki riwayat
gangguan kecemasan. Pada suatu titik seseorang yang cemas berlebih merasa
lelah akan pemikiran-pemikiran negatif dalam dirinya. Orang tersebut
perlahan merasa dirinya tidak berguna dan berujung pada rasa kekosongan dan
keputusasaan seperti yang dirasakan oleh orang dengan depresi.

b. Sulit tidur
Seseorang yang mengalami stress akan merasa dirinya tidak nyaman. Jika
seseorang tidak memiliki kemampuan memecahkan masalah yang baik, stress
akan menjadi beban berat baginya. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan
cemas yang begitu mendalam. Cemas terhadap sesuatu, cemas menghadapi
masa depan. Timbul ketakutan, perasaan takut yang luar biasa, takut akan
dosa-dosa yang pernah dilakukan dan takut akan kematian. Sementara rasa
ketakutan dan kecemasan masih berlangsung terus menerus. Kondisi seperti
ini akan menimbulkan ketegangan. Ketegangan pada saraf-saraf, ketegangan
pada organ-organ tubuh dan vaskularisasi. Menyebabkan meningkatnya detak
jantung (tachicardia) dan berdebar-debar tanpa sebab yang jelas. Jika hal ini
terjadi maka akan berdampak pada kualitas tidur seseorang yang akan
berakibat penurunan kuantitas dan kualitas tidur (insomnia)

c. Nyeri ulu hati


Ansietas dapat memimbulkan keluhan dispepsia karena ansietas dapat
mengaktifkan sistem motor emosional pada korteks serebri yang nantinya
rangsangan ini akan diteruskan ke hipotalamus anterior, selanjutnya
diteruskan ke nervus vagus dan akhirnya mempengaruhi motilitas dan
sensitivitas lambung. Rangsangan pada sistem motor emosional ini dapat
diteruskan ke hipotalamus anterior, dan selanjutnya ke hipofisis anterior yang
mensekresi hormon kortikotropin. Hormon kortikotropin ini nantinya akan
mengaktivasi sel pada korteks adrenal untuk memproduksi hormon kortisol
yang selanjutnya merangsang produksi asam lambung dan juga menghambat
produksi prostaglandin E yang bersifat protektif pada mukosa lambung,
sehingga hal ini akan menyebabkan mukosa lambung lebih mudah terluka.
Oleh karena adanya brain-gut-axis inilah maka gangguan psikologis seperti
ansietas dapat mengakibatkan disfungsi fisiologis (motilitas/sekresi/imunitas
dan hipersensitivitas viseral yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya
gejala-gejala pada dispepsia fungsional.

5. Differentia diagnosis dari kasus


1. Gangguan Somatosasi
Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR memberi syarat
awitan gejala sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan,
keluhan pasien harus memenuhi 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1
gejala seksual, dan 1 gejala pseudoneurologik, serta tak satu pun dapat
dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorik. Berikut kriteria
diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR:
A. Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun
yang terjadi selama periode lebih dari beberapa tahun dan
menyebabkan pencarian pengobatan atau hendaya dalam fungsi sosial,
pekerjaan dan fungsi penting lainnya.
B. Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang
terjadi kapan pun selama perjalanan dari gangguan:
a. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya 4
tempat atau fungsi yang berbeda (mis: kepala, abdomen,
punggung, sendi, ekstremitas, dada, rektum, selama menstruasi,
selama berhubungan seksual, atau selama buang air kecil)
b. Dua gejala gastrointestinal: sedikitnya 2 riwayat gejala
gastrointestinal selain nyeri (mis: mual, kembung, muntah bukan
karena kehamilan, diare, atau intoleransi beberapa makanan
berbeda)
c. Satu gejala seksual: sedikitnya 1 riwayat gejala seksual atau
reproduktif selain nyeri (mis: indiferens seksual, disfungsi ereksi
atau ejakulasi, haid tak teratur, perdarahan haid berlebihan,
muntah sepanjang kehamilan)
d. Satu gejala pseudoneurologik: sekurangnya 1 riwayat gejala atau
defisit pseudoneurologik yang memberikan kesan adanya kondisi
neurologik tak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti
gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau
kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa ada gumpalan
tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, kehilangan sensasi
rasa sakit dan raba, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan;
gejala disosiatif seperti amnesia, hilang kesadaran bukan karena
pingsan)
C. Salah satu dari:
1. Setelah penelusuran yang sesuai, tiap gejala pada kriteria b tak
dapat sepenuhnya dijelaskan sebagai akibat kondisi medik umum
atau merupakan efek langsung dari zat (mis: penyalahgunaan zat,
karena mediksi)
2. Apabila terdapat konsisi medik umum yang terkait, keluhan fisik
atau hendaya sosial atau pekerjaan yang diakibatkannya melebihi
daripada yang diharapkan berdasarkan riwayat, penemuan fisik dan
laboratorium
D. Gejala-gejalanya tidak dibuat secara sengaja atau berpura-pura (seperti
pada gangguan buatan atau berpura-pura).

2. Gangguan Cemas akibat keadaan medis umum


Langkah pertama dalam mengidentifikasi gangguan kecemasan karena
salah satu kondisi medis atau substansi adalah untuk mengkonfirmasi
adanya satu atau faktor rumit lainnya. Jelasnya, praktisi harus secara rutin
mendokumentasikan status penggunaan medis dan zat dari semua pasien.
Namun, dokter harus sangat waspada ketika menemui pasien dengan
presentasi gejala yang tidak biasa. Misalnya, perubahan dalam kesadaran
atau fungsi neurologis hampir tidak pernah terjadi pada keadaan
kecemasan akut kecuali ada juga komponen medis yang mendasari
sindrom tersebut. Pada pasien yang mungkin memiliki faktor-faktor rumit
seperti itu, kehadiran penggunaan zat atau masalah medis pertama harus
dikonfirmasi secara definitif dengan memperoleh riwayat medis yang
diperlukan atau melakukan prosedur evaluatif. Selanjutnya, dokter harus
menentukan bahwa masalah mendasar ini menyebabkan gejala kecemasan
yang sedang berlangsung. Meskipun tidak ada tes definitif untuk
menetapkan hubungan kausal semacam itu, setidaknya tiga faktor dapat
membantu untuk dipertimbangkan. Ini termasuk waktu gejala, literatur
yang ada berkaitan dengan kekuatan hubungan antara kecemasan dan
faktor komplikasi potensial, dan tanda atau gejala (misalnya, perubahan
kesadaran) yang atipikal untuk gangguan kecemasan. Akhirnya, bukti
lebih sugestif dapat diberikan jika pengentasan faktor medis yang rumit
menghasilkan ameliorasi gejala kecemasan.
Sesuai dengan kriteria dalam DSM IV
A. Kecemasan yang menonjol, Serangan Panik, atau obsesi atau kompulsi
mendominasi dalam gambaran klinis.
B. Ada bukti dari sejarah, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium
bahwa gangguan adalah konsekuensi fisiologis langsung dari kondisi
medis umum.
C. Gangguan ini tidak lebih baik dipertanggungjawabkan oleh gangguan
mental lain (misalnya, Penyesuaian gangguan Dengan Kecemasan di
mana stressor adalah kondisi medis umum yang serius).
D. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan delirium.
E. Gangguan tersebut menyebabkan gangguan atau kerusakan yang
signifikan secara klinis di bidang fungsi sosial, pekerjaan, atau area
penting lainnya.
Tentukan jika:
 Dengan Kecemasan Generalized: jika kecemasan berlebihan atau
khawatir tentang sejumlah peristiwa atau kegiatan mendominasi dalam
presentasi klinis
 Dengan Panic Attacks: jika Panic Attacks mendominasi presentasi
klinis
 Dengan Gejala Obsesif-Kompulsif: jika obsesi atau kompulsi
mendominasi dalam presentasi klinis

3. Gangguan Depresi Mayor


A. Lima (atau lebih) gejala yang ada berlangsung selama 2 minggu dan
memperlihatkan perubahan fungsi, paling tidak satu atau lainnya
(1)mood depresi (2)kehilangan minat
1. Mood depresi terjadi sepanjang hari atau bahkan setiap hari,
diindikasikan dengan laporan yang subjektif (merasa sedih atau
kosong) atau yang dilihat oleh orang sekitar. Note : pada anak dan
remaja, dapat mudah marah
2. Ditandai dengan hilangnya minat disemua hal, atau hampir semua
hal
3. Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet, atau
penurunan atau peningkatan nafsu makan hamper setiap hari. Note
: pada anak-anak, berat badan yang tidak naik
4. Insomnia atau hipersomnia hamper setiap hari
5. Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari (dilihat oleh
orang lain, bukan perasaan yang dirasakan secara subjektif dengan
kelelahan atau lamban)
6. Cepat lelah atau kehilangan energi hampir setiap hari
7. Merasa tidak berguna atau perasaan bersalah yang berlebihan (bisa
terjadi delusi) hampir setiap hari
8. Tidak dapat berkonsentrasi atau berpikir hampir setiap hari
9. Pemikiran untuk mati yang berulang, ide bunuh diri yang berulang
tanpa perencanaan yang jelas, atau ide bunuh diri dengan
perencanaan.
B. Gejala-gejalanya tidak memenuhi episode campuran
C. Gejala yang ada menyebabkan distress atau kerusakan yang signifikan
secara klinis
D. Gejala tidak disebabkan langsung oleh sebuah zat (penyalahgunaan
obat, obat-obatan) atau kondisi medis umum (hipotiroid)
E. Gejala yang muncul lebih baik tidak masuk dalam kriteria
bereavement

4. Insomnia berhubungan dengan indikasi gangguan aksis I dan II


A. Keluhan utama adalah kesulitan memulai atau mempertahankan tidur,
atau tidur nonrestoratif, setidaknya selama 1 bulan yang berhubungan
dengan kelelahan siang hari atau gangguan fungsi siang hari.
B. Gangguan tidur (atau sekuel siang hari) menyebabkan distres atau
gangguan yang signifikan secara klinis di bidang fungsi sosial,
pekerjaan, atau area penting lainnya.
C. Insomnia dinilai terkait dengan gangguan Axis I atau Axis II lainnya
(misalnya, Gangguan Depresi Mayor, Gangguan Kecemasan
Generalized, Gangguan Penyesuaian Dengan Kecemasan), tetapi
cukup parah untuk menjamin perhatian klinis independen.
D. Gangguan ini tidak ditanggung lebih baik oleh Gangguan Tidur
lainnya (misalnya, Narkolepsi, Gangguan Tidur Terkait Pernapasan,
Parasomnia).
E. Gangguan ini bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat
(misalnya obat penyalahgunaan, obat) atau kondisi medis umum.

Insomnia Primer
A. Keluhan yang dominan adalah kesulitan memulai atau
mempertahankan tidur, atau tidur nonrestorative, setidaknya selama 1
bulan.
B. Gangguan tidur (atau kelelahan siang hari terkait) menyebabkan
gangguan atau kerusakan yang signifikan secara klinis di bidang fungsi
sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya.
C. Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama gangguan
Narkolepsi, Gangguan Tidur Terkait Pernafasan, Gangguan Tidur
Irama sirkadian, atau Parasomnia.
D. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama gangguan mental
lainnya (misalnya, Gangguan Depresi Utama, Gangguan Kecemasan
Generalized, delirium).
E. Gangguan ini bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat
(misalnya obat penyalahgunaan, obat) atau kondisi medis umum.

6. Evaluasi Multiaksial
 Aksis I
 Berdasarkan autoanamnesa didapatkan adanya gejala klinis yang
bermakna berupa perasaan cemas dan takut mengakibatkan
pasien kehilangan semangat dan sulit tidur . Keadaan ini
akan menimbulkan distress dan disabilitas dalam sosial, pekerjaan
dan penggunaan waktu senggang, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pasien mengalami Gangguan Jiwa.
 Pada pasien tidak ditemukan adanya hendaya berat dalam menilai
realita ataupun gejala psikotik positif, seperti halusinasi dan waham
pada pasien sehingga didiagnosa sebagai Gangguan Jiwa Non
Psikotik.
 Berdasarkan deskripsi kasus diatas, dimana pasien merasa cemas yang
memberat setelah di diagnosis oleh dokter menderita batu ginjal dan
memiliki riwayat sakit jantung, sulit tidur, sakit kepala, nyeri ulu hati,
kurang nafsu makan, kurang berkonsentrasi, dan putus asa sehingga
dapat didiagnosa gangguan cemas akibat keadaan medis umum,
gangguan insomnia, gangguan depresi, atau gangguan
somatoform.
 Berdasarkan gejala-gejala yang dialami pasien yang lebih menonjol
pada perasaan cemas setelah mengetahui bahwa pasien memiliki
penyakit jantung, yang dapat mengakibatkan gejala lain timbul dan
kecemasan berlebihan atau khawatir tentang sejumlah peristiwa atau
kegiatan mendominasi maka pasien dapat di diagnosa sebagai
Gangguan Cemas Akibat Keadaan Medis Umum dengan cemas
menyeluruh (criteria 293.89 DSM IV)
 Aksis II
Pasien memiliki kepribadian yang tidak khas dengan sifat yang aktif,
bertanggung jawab, dan selalu berusaha.
 Aksis III
Penyakit batu ginjal dan penyakit jantung
 Aksis IV
Stressor psikososial yaitu masalah dengan keluarga “primary support
group”
 Aksis V
Berdasarkan Global Assessment of Functioning (GAF) Scale pada 80-71
yaitu beberapa gejala sementara & dapat diatasi, disabilitas ringan dalam
sosial, pekerjaaan, sekolah, dll.

7. Bagaimana prognosis dari setiap DD yang ada?


Prognosis berdasarkan perjalanan penyakit
a. Gangguan somatisasi
Gangguan yang bersifat kronis dan sering membuat tak berdaya. Menurut
definisi, gejala harus dimulai sebelum usia 30 tahun dan harus ada selama
beberapa tahun. Episode meningkatnya keparahan gejala dan timbulnya gejala
harus dianggap bertahan selama 6 hingga 9 bulan dan dipisahkan periode yang
tidak terlalu simtomatik selama 9 hingga 12 bulan. Kesimpulan prognosis
dubia et malam.
b. Gangguan cemas akibat keadaan medis umum
Pengalaman ansietas yang tidak juga membaik dapat membuat
ketidakmampuan pada pasien dan menganggu setiap aspek kehidupan
termasuk fungsi social, pekerjaan dan psikologis. Terapi atau penyingkiran
penyebab medis primer pada ansietas biasanya mengawali proses perbaikan
yang jelas pada gejala gangguan ansietas. Meskipun demikian, pada sejumlah
kasus gejala gangguan ansietas berlanjut bahkan setelah keadaan medis primer
terobati biasa gejala yang tersisa harus diobati sebagai gejala primer yaitu
dengan psikoterapi atau farmakoterapi atau keduanya. Kesimpulan prognosis
Malam.
c. Gangguan insomnia
Suatu periode singkat insomnia paling sering disebabkan oleh ansietas,
baik sebagai gejala sisa suatu pengalaman yang mencemaskan atau antisipasi
pengalaman yang mencetuskan ansietas. Pada bebrapa orang, insomnia
sementara jenis ini dapat disebabkan berkabung, kehilangan, atau nyaris
semua perubahan kehidupan maupun stress. Keadaan ini cendrung tidak berat.
Terapi spesifik untuk keadaan ini biasa tidak diperlukan. Kesimpulan
prognosis Bonam.
d. Gangguan depresif
Gangguan depresif bukan merupakan gangguan ringan. Gangguan ini
cenderung menjadi kronis karena pasien cenderung mengalami kekambuhan.
Pasien yang dirawat untuk episode pertama gangguan depresif berat memiliki
kemungkinan sekitar 50% untuk pulih pada tahun pertama. Persentase pasien
yang pulih seteah rawat inap menurun seiring waktu. Banyak pasien yang
tidak pulih tetapi mengalami gangguan distimik. Kesimpulan prognosis
Malam.

8. Bagaimana rencana terapi pada kasus?

 Farmakoterapi :
Berikan obat antiansietas golongan benzodiazepine (Alprazolam)
dengan sediaan dosis 0,25;0,5;1 mg dimana dosis anjuran 3x0,25-0,5
mg/hari
 Psikoterapi
Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan isi
hati dan keinginannya sehingga pasien merasa lega.
Memberikan penjelasan kepada keluarga dan orang-orang sekitarnya
sehingga tercipta dukungan sosial dengan lingkungan yang kondusif
untuk membantu proses penyembuhan pasien serta melakukan kunjungan
berkala.
DAFTAR PUSTAKA

1. Andri & P dewi, 2007. Teori Kecemasan Berdasarkan Psikoanalisis Klasik


dan Berbagai Mekanisme Pertahanan terhadap Kecemasan. Maj Kedokt
Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007
2. Elvira S.D dan Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Ed.2. Jakarta : FKUI ;
2013.
3. Rusdi, M,. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya : Jakarta. 2013.
4. Sadock B.J dan Sadock V.A. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed. 2. Jakarta :
EGC ; 2010.

Anda mungkin juga menyukai