Anda di halaman 1dari 8

Studi Kasus: Terorisme

Rumusan Masalah:

 Apa penyebab terjadinya terorisme di Indonesia?

Tujuan:

 Mengetahui penyebab terjadinya terorisme di Indonesia.

Dasar Teori:

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan


membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda
dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti
waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta
seringkali merupakan warga sipil.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada


para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau
tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga
mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak
berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para
pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan


"terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis,
pejuang pembebasan, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran
dimata terrorism: "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari
tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam
perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan
agama.
Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau
dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan
oleh Noam Chomskyyang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu.
Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya
bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris
terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan
fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan
hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.

Pembahasan:

Istilah terorisme memang masih tergolong “baru”, khususnya di Indonesia.


Menurut Kacung Marijan, kata teror disebutkan dengan istilah system, regime de
terreur yang kali pertama muncul pada tahun 1789 di dalam The Dictionnaire of
The Academic Francaise (Marijan, 2003). Konteks revolusi Prancis lekat di dalam
penggunaan istilah itu. Karena itu, istilah terorisme pada waktu itu memiliki
konotasi positif, yakni aksi-aksi yang dilakukan untuk menggulingkan penguasa
yang lalim dan aksi-aksi itu berhasil dilakukan. Namun, praktik-praktik terorisme
sudah lama terjadi sejak sekitar 66 - 67 sebelum Masehi, ketika kelompok ekstrem
Yahudi melakukan aksi teror, termasuk di dalamnya pembunuhan, terhadap
bangsa Romawi yang melakukan pendudukan di wilayahnya (kira-kira di wilayah
yang dipersengketakan oleh Israel dan Palestina sekarang). Sejak saat itu, aksi-
aksi terorisme di berbagai belahan dunia, yang melibatkan beragam etnik dan
agama terus terjadi.

Latar belakang Indonesia menjadi salah satu lahan yang subur atau
“surga”, baik sebagai sumber perekrutan kelompok maupun aksi adalah: Pertama,
faktor agama Islām yang dipeluk mayo-ritas rakyat Indonesia. Kedua, faktor
geografis sangat berpengaruh. Luas wilayah dan bentangan pulau-pulau
Indonesia, sangat menuntungkan aksi terorisme. Sebab mobilitas mereka akan sa-
ngat sukar dideteksi. Selain itu, beragam fasilitas AS yng bercokol di Indonesia
menjadi target. Dan juga kemampuan aparat keamanan yang terbatas. Ketiga,
faktor sosial-ekonomi pelaku bom yang sangat memprihatinkan menjadi penyebab
utama. Intinya adalah kemiskinan dan alinasi. Menurut mereka, lebih baik
mencari surga daripada hidup dalam kemiskinan dan selalu diiming-imingi
reward yang indah setelah mati. Keempat, faktor karisma tokoh yang
menyebarkan doktrin tersebut yang berpengaruh. Contohnya Dr. Azhari atau
Noordin Moh. Top, para pengikutnya di Indonesia sangat terpesona oleh
kebesaran dua tokoh tersebut. Terutama, bagaimana mereka dengan rela
meninggalkan segala macam kenikmatan dunia yang mereka miliki untuk
berjihād. Kelima, faktor tingkat pendidikan seseorang berpengaruh pada
pemahaman mereka tentang Islām. Interpretasi juga dilakukan kelompok teroris,
namun mereka hanya menerjemahkan ayat-ayat suci secara hitam dan putih. Jihād
tidak lagi diartikan sebagai perlawanan terhadap diri sendiri (hawa nafsu), namun
pembunuhan dan penghancuran akan segala hal yang berkaitan dengan Barat.
Mereka juga tidak merasa berdosa dengan turut mengorbankan orang-orang yang
bukan AS dalam serangan bom tersebut, sebab berbeda dengan asasinasi.
Maksudnya, korban bom adalah perantara untuk menyampaikan pesan kepada
pihak yang dikehendaki.

Tindak pidana terorisme maupun radikalisme lainnya merupakan


kejahatan yang luar biasa oleh karena itu penanggulangannya harus dilakukan
secara komprehensif. Dalam rangka penegaan hukum, kepolisian memiliki
peranan strategis dalam SPP oleh karena itu harus mengindahkan ketentuan dalam
Hukum Acara Pidana dalam rangka penyidikan penuntuttan dan peradilannya.
Peran Direktorat Jenderal Imigrasi memegang peranan penting guna mengawai
masuk dan keluarnya orang asing khususnya berkaitan dengan masuknya faham
radikal ataupun gerakan teroris lainnya yang berusaha memecah belah persatuan
dan kesatua bangsa. Pelibatan TNI dalam rangka pemberantasan terorisme adalah
sebagai bentuk tugas pembantuan agar pemberantasan terorisme dapat berjalan
secara efektif dan effisien.
Hubungan antara terorisme dan media di kemajuan teknologi komunikasi
dan informasi adalah sebuah hubungan simbiosis yang saling memanfaatkan. Di
satu sisi, para pelaku teror membutuhkan media sebagai alat untuk menebar pesan
dan pengaruhnya di tengah masyarakat. Agar mendapatkan liputan media secara
masif, kelompok-kelompok teror pun merancang aksinya agar bisa menarik
prehatian semaksimal mungkin. Dalam kasus serangan di Paris (2015) mereka
merancang aksi di 7 titik, di antaranya di luar stadion sepak bola di Saint-Denis
yang saat itu sedang menggelar pertandingan sepakbola dan dihadiri oleh Presiden
Perancis. Sedangkan serangan bom Manchester (2017) teroris meledakkan bom di
pintu luar Manchester Arena, tempat berlangsungnya konser penyanyi terkenal
dunia, Ariana Grande. Kedua kejadian teror ini diliput secara masif oleh media
Barat dan disiarkan ulang oleh media-media lokal di berbagai negara.
Dampaknya, sebagaimana muncul ketakutan di tengah masyarakat dan semakin
‘besar’ atau ‘kuat’-nya citra yang dimiliki oleh kelompok teror. Sebaliknya, media
membutuhkan aksi terorisme untuk memproduksi siaran yang dramatik dan
berdarah-darah, yang memang ‘disukai’ atau Hubungan antara terorisme dan
media di kemajuan teknologi komunikasi dan informasi adalah sebuah hubungan
simbiosis yang saling memanfaatkan. Di satu sisi, para pelaku teror membutuhkan
media sebagai alat untuk menebar pesan dan pengaruhnya di tengah masyarakat.
Agar mendapatkan liputan media secara masif, kelompok-kelompok teror pun
merancang aksinya agar bisa menarik prehatian semaksimal mungkin. Dalam
kasus serangan di Paris (2015) mereka merancang aksi di 7 titik, di antaranya di
luar stadion sepak bola di Saint-Denis yang saat itu sedang menggelar
pertandingan sepakbola dan dihadiri oleh Presiden Perancis. Sedangkan serangan
bom Manchester (2017) teroris meledakkan bom di pintu luar Manchester Arena,
tempat berlangsungnya konser penyanyi terkenal dunia, Ariana Grande. Kedua
kejadian teror ini diliput secara masif oleh media Barat dan disiarkan ulang oleh
media-media lokal di berbagai negara. Dampaknya, sebagaimana muncul
ketakutan di tengah masyarakat dan semakin ‘besar’ atau ‘kuat’-nya citra yang
dimiliki oleh kelompok teror. Sebaliknya, media membutuhkan aksi terorisme
untuk memproduksi siaran yang dramatik dan berdarah-darah, yang memang
‘disukai’ atau menarik minat pemirsa sehingga meningkatkan rating dan
pendapatan korporasi media.
Menghadapi fenomena ini, UNESCO telah merilis buku panduan untuk
para jurnalis dalam memberitakan aksi terorisme (Terrorism and Media: A
Handbook for Journalist). Pada intinya, masyarakat perlu mendapatkan informasi.
Namun, informasi yang diberikan media perlu mengikuti sejumlah panduan etika,
antara lain pemberitaan tidak disertai bumbu rumor, berita yang dirilis perlu
mendapatkan konfirmasi terlebih dahulu dari berbagai pihak (tidak langsung
ditayangkan dalam bentuk live blogging) untuk menghindari tersebarnya
informasi yang salah, dan penggunaan bahasa yang tepat agar tidak tersebar
stigmatisasi atau kebencian dalam masyarakat.

Amerika Serikat yang dijuluki sebagai “ Polisi Dunia “ menganggap


terorismecsebagai ancaman yang berbahaya bagi masyarakat internasional,
sehingga sejakctragedi runtuhnya dua menara gedung WTC ( Word Trade Centre
) tanggal 11 September 2001, seolah-olah menjadi momentum sejarah bagi
masyarakat dunia untuk menjadikan para “ Teroris “ sebagai musuh yang paling
berbahaya yang harus diperangi secara bersama-sama, yang ironisnya AS dapat
menyakinkan kepada dunia bahwa gerakan Terorisme adalah gerakan “ Islam
Militan, Islam fundamentalis dan Islam radikal “. Sementara zeonis – Israil yang
bertindak sama dengan Teroris ( membunuh dan menganiaya) terhadap
masyarakat Palestina tidak diberikan sanksi oleh AS bersama dengan sekutu-
sekutunya (baca : PBB ).

Pencegahan dan penanggulangan tindak pidana “ terorisme “ di Indonesia,


Pemerintahan Indonesia telah mensahkan Undang-Undang dengan nomor 15
tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selai Undang-
undang tersebut, pencegahan dan penanggulangan aksi teror merupakan agenda
yang akan dilaksanakan secara berkelanjutan, dengan peningkatan kemampuan
kinerja aparat keamanan dan peran serta masyarakat.

Gerakan terorisme yang terjadi dimana-mana sekarang ini, apabila


dikaitkan dengan pandanagan Islam, maka para ulama dan cendekiawan muslim
masih terjadi perbedaan pendapat, terutama menyangkut masalah “ bom syahid
atau bom bunuh diri “ sebahagian berpendapat bahwa pelaku bom syahid dapat
dikatagorikan “ mati syahid “ jika tujuannya membela agama dan tanah air, seperti
palestina dan Afghanistan dan di Negara-Negara muslim lainnya ( Dar al-Harb ),
sebaliknya jika peledakan bom bunuh diri dilakukan pada daerah/Negara yang
aman, maka pelakunya bukan kategori mati syahid.

Kerja sama dapat dikategorikan kedalam dua bentuk yaitu strategic plan
dan action. Kerja sama dalam bentuk strategic plan misalnya seperti MoU,
perjanjian, dan sebagainya. Sedangkan kerja sama dalam bentuk action lebih
kepada operasi gabungan, pendirian badan atau lembaga, dan penyelenggaraan
forum atau pertemuan. Di bawah kepemimpinan Presiden Megawati, strategic
plan yang dilakukan adalah disepakatinya berbagai Memorandum of
Understanding (MoU) dan konsep kerja sama lainnya. Sedangkan dalam bentuk
action, dibentuk Operasi Gabungan investigasi Bom Bali hingga pada tahun 2004
didirikan JCLEC di Indonesia sebagai pusat kerja sama penegakan hukum antara
kepolisian Indonesia-Australia, POLRI dan AFP. Ketika Presiden Yudhoyono
menjabat, melalui agenda kerjanya yang mengutamakan citra Indonesia di kancah
internasional, pemerintah Indonesia lebih focus kepada strategic plan dengan
meneruskan perjanjian-perjanjian kerja sama bilateral termasuk dengan Australia
dalam hal keamanan dan kontra-terorisme. Dengan didirikannya JCLEC,
pemerintah hanya perlu meningkatkan kualitas pusat tersebut dengan melengkapi
fasilitas JCLEC tanpa harus membangun badan-badan sejenis lainnya.
Sedangkan pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang belum
genap dua tahun, sementara ini belum ada bentuk baru dari kerja sama kontra-
terorisme antara Indonesia dan Australia semacam JCLEC. Hal ini dapat dipahami
perbedaannya dibandingkan ketika periode Presiden Megawati, dimana saat itu
terdapat isu terorisme di Indonesia yang melibatkan Australia seperti Bom Bali I
tahun 2002 dan serangan bom Kedubes Australia di Jakarta tahun 2004. Namun
telah disepakati kerja sama antara Indonesia dan Australia dalam pencegahan
munculnya kelompok-kelompok terorisme baru yang didanai oleh pihak-pihak
tertentu. Maka AUSTRAC dan PPATK melakukan kerja sama dengan cara
information sharing melalui para intelijen.
Perbedaan yang jelas pada kerja sama antara Indonesia dengan Australia
di bawah periode kepemimpinan presiden yang berbeda adalah dari bentuk kerja
samanya. Ketika Presiden Megawati menjabat, dibentuk operasi gabungan antara
AFP dan POLRI dimana operasi gabungan ini menandakan bahwa kerja sama
yang dilakukan lebih kepada penanganan dan investigasi kasus terorisme,
sedangkan di periode presiden selanjutnya kerja sama penegakan hukum antara
Indonesia dan Australia bersifat pencegahan dan memperkuat keamanan. Hal ini
menjadi bukti bahwa kerja sama yang dilakukan pemerintah satu Negara dengan
yang lainnya sangat dipengaruhi oleh situasi keamanan negara, politik luar negeri
yang ditetapkan masing-masing presiden, latar belakang presiden dan identitas
nasional.
Kesimpulan:
Banyak sekali pengertian terorisme menurut para ahli dan baru terdengar
istilah terorisme di Indonesia pada tahun 1789. Pemerintah Inggris adalah yang
pertama merumuskan definisi resmi yang membedakan antara tindakan teroris dan
kriminal. Pada tahun 1974, definisi itu menjelaskan bahwa “terorisme adalah
penggunaan kekerasan untuk tujuan politik, dan termasuk penggunaan kekerasan
untuk menjadikan masyarakat dalam ketakutan.” Pada tahun 1980, CIA (Central
Intelligence Agency) mendefinisikan terorisme sama dengan “ancaman atau
penggunaan kekerasan untuk tujuan politik yang dilakukan oleh individu atau
kelompok, atas nama atau menentang pemerintah yang sah, dengan menakut-
takuti masyarakat yang lebih luas daripada korban langsung teroris”.
Terorisme biasa menyebutkan agama sebagai tindakan keji tersebut.
Dalam wacana Islām, banyak orang mengkaitkan ideologi terorisme dengan
doktrin jihād, yang dalam Kristen disamakan dengan perang salib (Khadduri,
1966). Ada 35 kali kata jihād disebutkan dalam al-Qur’ān (Kassis, 1983). Dalam
tradisi Islām, jihād memiliki makna beragam. Namun, secara garis besar jihād
dibagi menjadi dua konsep: Pertama, konsep moral, diartikan seba-gai perjuangan
kaum Muslimin melawan hawa nafsu atau perjuangan melawan diri sendiri (jihād
al-nafs), yang disebut jihād al-akbar. Kedua, konsep politik, diartikan sebagai
konsep “perang yang adil,” jihād al-asghar.
Terorisme tidak hanya terjadi di dunia, banyak sekali kejadian terorisme
yang terjadi di Indonesia. Salah satunya Bom Bali, Pengeboman di Bali tidak
hanya merupakan aksi terorisme terbesar dalam sejarah Indonesia, tetapi juga
salah satu serangan terbesar terhadap tujuan wisata di kawasan Asia Tenggara
(Hitchcock, 2009). Peristiwa serangan Bom Bali I tahun 2002 merenggut ratusan
korban jiwa dari beberapa negara di dunia. Dari data yang tercatat (SBS News
Australia, 3 September 2013), korban meninggal dengan jumlah terbesar
merupakan warga negara Australia, yaitu sebanyak 88 korban jiwa. Dari total 202
jiwa, terdapat dua korban yang identitasnya tidak dapat teridentifikasi sehingga
tidak diketahui kewarganegaraannya.
Kelompok-kelompok teroris juga memanfaatkan media untuk
menyebarluaskan pesan mereka, penciptaan ketakutan, dan rekrutmen anggota.
Pasca Teror Paris November 2015, ISIS merilis rekaman yang berisi pernyataan
bahwa merekalah yang melakukan serangan tersebut. Menurut saya melihat
kejadian ini, sangat terlihat bahwa aksi teroris juga sudah sangat berkembang
dengan memanfaatkan media sebagai aksi terror mereka, mereka ingin aksi terror
tersebut di lihat oleh banyak orang yang menimbulkan rasa takut. Betapa
buruknya perbuatan terorisme, semoga kelompok-kelompok itu sadar dan tidak
mengkaitkannya dengan Agama, dan para kelompok atau individu aksi terorisme
yang sudah tertangkap oleh aparat pemerintahan bisa di hokum seberat-beratnya,
agar tidak ada kejadian terorisme terutama di Negara tercinta kita ini yaitu
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai