Bab. VI Lampiran
6.1. Kegiatan Tim Ad hoc
6.2. Alur fikir
6.3. Matriks Kajian
6.4. Matrik Input FGD
6.5. Draf Perubahan PP No. 68 Tahun 1998
6.6. Draf Perubahan PP No. 18 Tahun 1994
6.7. Draf Perubahan PP No. 7 Tahun 1999
6.8. Draf Perubahan PP No. 8 Tahun 1999
6.9. Draf Naskah Akademis Perubahan UU No. 5
Tim ini juga secara tidak langsung melakukan analisis kritis nasional dan
peraturan daerah yang relevan dengan konservasi sumber daya alam hayati.
Konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia diatur melalui serangkaian
peraturan stemed pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Hidup dan Ekosistem. Meskipun adanya kekurangan
di beberapa hukuman (terutama bagi spesies yang tidak dilindungi), tindakan
ini dianggap sebagai hukum paling komprehensif hingga akhir abad 20, dalam
memberikan peraturan ketat tentang konservasi sumber daya alam.
Indonesia secara geografis berada di daerah tropis dan di zona peralihan antara
Asia dan Australia, mempunyai banyak tipe ekosistem unik yang dipengaruhi oleh
kedua wilayah biogeografis tersebut. Departemen Kehutanan (2004) menyatakan
bahwa, Indonesia memiliki kekayaan keaneka-ragaman hayati yang tinggi, (nomor
dua di dunia), dicerminkan oleh keanekaragaman ekosistem dan jenis satwa dan
flora, tercatat ada 515 jenis mamalia (12% dari total jumlah mamalia dunia);
511 reptilia (7,3% dari seluruh reptil dunia) 1.531 jenis burung (17% dari jumlah
burung dunia) dan terdapat sekitar 38.000 jenis tumbuhan berbunga.
Dewasa ini akibat berbagai sebab, kekayaan alam tersebut telah mengalami
degradasi (termasuk deforestasi) yang luar biasa, tercatat laju degradasi hutan
1,08 juta hektar/tahun selama periode 2000 – 2005 (Departemen Kehutanan,
2009). Degradasi tersebut telah berdampak pada hilangnya sebagian fungsi
kawasan, rusaknya habitat tumbuhan dan satwa liar, juga telah berdampak pada
meningkatnya laju kelangkaan/kepunahan tumbuhan dan satwa liar, disamping
berdampak luas bagi penurunan kualitas mutu kehidupan dan meningkatnya
ancaman bagi kehidupan manusia.
Degradasi terjadi oleh berbagai sebab, seperti konversi hutan, illegal logging,
perambahan, dan kebakaran. Hal ini erat kaitannya dengan lemahnya partisipasi
masyarakat, lemahnya penegakan hukum maupun akibat lemahnya tata laksana
pengelolaan. Situasi ini dipengaruhi antara lain oleh belum mantapnya peraturan
perundangan, sehingga tidak mampu menjamin terwujudnya kaidah–kaidah
pengelolaan alam lestari.
TUJUAN
Kajian dilakukan dengan maksud diperolehnya gambaran masalah dan solusi
penyelenggaraan konservasi selama ini, dengan tujuan antara lain:
METHODOLOGI
Metode Pengkajian yang digunakan dalam studi analisis gap dengan tema
pergeseran paradigma kebijakan konservasi. Kajian terkait dengan Undang
Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya beserta peraturan pelaksanaannya dilakukan dengan metode
penelitian hukum normatif, studi kepustakaan (library research) dan diskusi.
Kajian dilaksanakan selama enam bulan (Januari – Juni 2009).
Hasil analisa diatas didiskusikan dalam beberapa seri diskusi terbatas, dengan
berbagai kalangan ahli ataupun profesional yang terlibat dalam pengelolaan
kawasan konservasi. Diskusi ini diharapkan dapat menggalang persepsi dan
pemikiran sehingga dapat memberikan alternatif pilihan-pilihan reformasi ke-
bijakan konservasi. Diskusi ini dilakukan oleh sub Tim Ad hoc (sub tim kawasan
dan sub tim jenis).
RUANG LINGKUP
Kajian kebijakan konservasi oleh Tim Ad hoc diarahkan pada seluruh kebijakan
pemerintah yang mengatur tentang penyelenggaraan KSDH & E di Indonesia.
Namun demikian memperhatikan arahan SC serta akibat terbatasnya waktu,
kajian tim lebih difokuskan pada kajian Peraturan pemerintah (PP) 68/1998,
PP 18/1994, PP 7/1999 dan PP 8/1999, serta kajian terhadap UU 5/90.
Kajian tersebut meliputi materi hukum kebijakan konservasi dan implementasi
di lapangan. Hasil kajian disusun menjadi sebuah rekomendasi penyempurnaan
kebijakan konservasi di bidang konservasi yang telah ada.
Gambaran diatas juga diperoleh dari hasil studi dan diskusi tim dengan para
pihak, sebagaimana nampak dalam uraian berikut. Untuk memudahkan
menangkap gambaran praktik penyelenggaraan konservasi sumberdaya
alam hayati dan ekosistem di Indonesia, uraian berikut akan dibagi dalam
uraian umum, tata kelola dan jaminan atas hak – hak masyarakat dalam
penyelenggaraan konservasi kawasan (ekosistem), serta dalam penyelenggaran
konservasi jenis dan genetik.
UMUM
Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di Indonesia meliputi kegiatan
konservasi ekosistem, serta konservasi jenis dan genetik yang dilaksanakan
melalui kegiatan:
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan.
b. Pengawetan keanekaragaman hayati serta.
c. Pemanfaatan secara lestari.
KSA merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun
di perairan, yang memiliki fungsi utama sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya juga berfungsi
sebagai penyangga kehidupan3. Terdapat dua macam kawasan KSA yaitu,
2
Peraturan perundang-undangan di bidang konservasi belum mengenal istilah kawasan konservasi. UU No. 5
Tahun 1990 menggunakan istilah Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam, sedangkan Keppres
No. 32 Tahun 1990 menggunakan istilah kawasan lindung.
3
Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1990. Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara No. 3419.
Guna memudahkan pengelolaan KPA, Taman Nasional dibagi dalam zona inti,
zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain, sedang Taman Wisata Alam dan
Taman Hutan Raya dibagi dalam blok perlindungan dan blok pemanfaatan. Di sisi
lain KSA tidak dikelola berdasarkan ruang berupa zonasi maupun blok.
4
Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1990. Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara No. 3419.
5
Pasal 30 UU No. 5 Tahun 1990. Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara No. 3419.
6
Pasal 29 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1990. Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara No. 3419.
7
Pasal 7 UU No. 41 Tahun 1999. Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor XX, Tambahan Lembaran
Negara No. XX.
Kebiasaan masyarakat yang dilandasi kearifan lokal dan telah diwariskan sejak
jaman dulu, seperti berburu, mengambil kayu dan pengambilan tumbuhan
obat menjadi sesuatu yang tidak boleh dilakukan, dan diancam pidana se-
telah kawasan tersebut menjadi KSA atau KPA. Sekalipun pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Menteri No. P.19 Tahun 2005 tentang kolaborasi peng-
Isu-isu tersebut di atas teridentifikasi sebagai masalah pokok dari sisi regulasi
yang menyebabkan pengelolaan kawasan konservasi menjadi kurang efektif.
Isu terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi di lapangan tidak hanya
disebabkan oleh lemahnya regulasi atau kebijakan, karena masih banyak isu
lain seperti sosial, ekonomi dan budaya. Namun beberapa masalah sosial dan
ekonomi dapat bersumber dari masalah regulasi.
Dalam lampiran PP No.7 tahun 1999 dicantumkan daftar spesies yang dilindungi
dengan perincian: 134 spesies Mamalia, 405 spesies Burung, 31 spesies Reptil,
7 spesies Ikan (laut dan tawar), 20 spesies Insekta, 13 spesies Bivalvia, 1
spesies Crustasea (udang/kepiting), dan 1 spesies Anthozoa (karang). Pada jenis
tumbuhan dilindungi meliputi 14 spesies Palem/Palmae, semua jenis dari genus
Rafflesia, 29 spesies anggrek/Orchidaceae, semua jenis dari marga kantung
semar Nephentes, dan 13 spesies dari marga shorea (meranti)9.
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar bertujuan agar jenis tumbuhan
dan satwa liar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan
dengan mengendalikan pendayagunaan jenis tumbuhan dan satwa liar
atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dengan tetap menjaga
keanekaragaman jenis dan keseimbangan ekosistem11.
Anoa (Anoa depressicornis, Anoa quarlesi); Babi rusa (Babyrousa babyrussa); Badak Jawa
(Rhinoceros sondaicus); Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis); Biawak Komodo (Varanus
komodoensis); Cendrawasih (Seluruh jenis dari famili Paradiseidae); Elang Jawa, Elang Garuda
(Spizaetus bartelsi); Harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae); Lutung Mentawai (Presbytis
potenziani); Orangutan (Pongo pygmaeus); Owa Jawa (Hylobates moloch).
10
Pasal 1 PP No.8 tahun 1999.
11
Pasal 2.
Dalam kegiatan pengawetan dan pengelolaan tumbuhan dan satwa yang di-
lindungi diluar habitatnya (ex situ) pemerintah dapat mendelegasikan kewenangan
tersebut kepada Lembaga Konservasi melalui perizinan. Lembaga Konservasi
mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan atau penyelamatan
tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Di-
samping itu Lembaga Konservasi juga berfungsi sebagai tempat pendidikan,
peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan. Lembaga
Konservasi dapat berbentuk Kebun Binatang, Museum Zoologi, Taman Satwa
Khusus, Pusat Latihan Satwa Khusus, Kebun Botani, Herbarium dan Taman
Tumbuhan Khusus12.
Tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan adalah jenis satwa liar
yang tidak dilindungi. Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan perdagangan
diperoleh dari13 hasil penangkaran; dan pengambilan atau penangkapan dari alam
sepanjang memenuhi ketentuan tidak merusak populasi di alam (non detriment
findings/NDF).
Hal-hal di atas perlu segera mendapat perhatian dari sisi kebijakan agar sumber-
daya alam berupa spesies dan genetik mendapat perlindungan yang proporsional
dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk generasi saat ini maupun
generasi mendatang.
PP 68 & PP 18
Kawasan konservasi baik di daratan dan dilautan saat ini mengalami tekanan
yang luar biasa, seperti dalam bentuk konversi hutan alam, illegal logging,
pembukaan hutan tanaman yang bersifat monokultur, penambangan, kebakaran
hutan, dan perambahan hutan, sedang kawasan konservasi perairan banyak
mengalami tekanan yang berhubungan dengan cara pengambilan ikan secara
tidak ramah lingkungan. Kondisi ini telah mengancam keberhasilan capaian tujuan
konservasi sumberdaya alam.
Situasi diatas diperburuk lagi dengan adanya situasi tidak kuatnya komitmen para
pihak untuk berupaya keras menetapkan kawasan konservasi wilayah dataran
rendah, dimana banyak satwa liar yang dilindungi menggantungkan kehidupan-
nya. Sebagaimana diketahui, kebanyakan kawasan konservasi di Indonesia
adalah wilayah konservasi yang telah ditetapkan pada masa penjajahan, dan
kemudian diperluas ke wilayah sekitarnya. Upaya pemerintah untuk memenuhi
target lebih dari 20 % kawasan hutan negara dicadangkan/ ditetapkan sebagai
kawasan konservasi patut dipuji, hanya sayang sekali sebagian besar upaya
perluasan ini masih bergerak disekitar wilayah konservasi yang telah ada (high
land), dan kurang bergerak kewilayah baru di dataran rendah yang menjadi
habitat beberapa satwa dilindungi.
Untuk jenis yang dilindungi, walaupun secara hukum sebenarnya cukup kuat
karena ancaman hukumannya cukup berat bagi pelanggarannya, penegakan
hukum di lapangan masih sering tidak memadai, dan tidak menimbulkan efek
jera, karena kurangnya koordinasi dan dukungan para pihak. Spesies kharismatik
seperti Harimau Sumatra masih tetap mengalami ancaman yang serius dari per-
dagangan illegal dan populasi di habitat alamnya terus mengalami penurunan.
Disamping itu salah satu penyebab menurunnya populasi juga disebabkan oleh
kurang terlindunginya habitat bagi jenis bersangkutan di luar kawasan pelestarian
alam atau kawasan suaka alam. Hutan produksi (tetap maupun konversi) yang
mayoritas berada di dataran rendah dan merupakan habitat banyak satwa ter-
ancam punah seperti orangutan, gajah, harimau dan badak kondisinya terancam
oleh konversi dan pemanenan yang tidak berkelanjutan. Untuk itu mutlak diperlu-
kan peraturan yang dapat melindungi habitat jenis-jenis terancam punah terutama
di luar KPA dan KSA.
Keberadaan satwa liar, dewasa ini juga terancam oleh kebijakan yang tidak
didasarkan pada temuan ilmiah, terutama sehubungan dengan merebaknya
kasus penyakit mematikan yang diduga dapat ditularkan oleh atau berasal
Menyikapi hal tersebut diatas, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, seperti
sebagai berikut:
Sambil menunggu perubahan di tingkat UU, ada beberapa hal yang harus segera
dilakukan guna mengisi gap di tingkat peraturan pemerintah yaitu:
• Intergrasi hukum adat dengan hukum formal.
• Perlindungan spesies harus berikut perlindungan habitatnya.
• Perlu norma bagi pemilikan, pemeliharaan, penyerahan, penyitaan, masing-
masing harus dibedakan dengan tegas tentang definisi, norma dan sanksi.
• Medis konservasi yang mengatur satwa SEBAGAI VEKTOR Zoonosis yang
membawa virus, kuman yang dapat menyebar dari hewan ke manusia
atau sebaliknya, seperti FLU BURUNG, Nypa Fever, TBC, Hepatitis. Medis
konservasi dilakukan melalui dua cara yaitu secara in situ dalam rangka
penanganan wabah yang menyangkut jenis-jenis dilindungi/ tidak dilindungi
dan kegiatan pemantauan melalui surveilance, dan sebagainya, serta
secara ex situ untuk penanganan medis jenis-jenis satwa di luar habitatnya,
diantaranya adalah penanganan reproduksi, penanganan satwa di PPS, pusat
rehabilitasi, kebun binatang, dan sebagainya, serta perlakuan euthanasia.
Hal tersebut dilakukan melalui konsultasi dengan Otorita Veteriner, sesuai
peraturan perundangan yang berlaku.
• Akomodasi pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar untuk kepentingan budaya
dan religi.
• Penangkaran perlu memasukkan ketentuan audit independen dan akses
informasi sehingga peran serta pengawasan masyarakat juga dapat
berlangsung.
Selain itu undang-undang ini juga telah memberikan perlindungan legal (hukum)
bagi jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang terancam punah dengan mengatur
penetapan jenis-jenis tersebut sebagai jenis yang dilindungi Undang-undang, se-
hingga secara signifikan dapat mencegah kepunahannya serta mengatur sanksi
hukum bagi pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan yang terkait dengan jenis-
jenis terancam punah tersebut di atas. Untuk melindungi jenis-jenis tumbuhan
dan satwa yang telah terancam punah, undang-undang ini memberikan pedoman
terhadap hal-hal yang tidak boleh atau boleh dilakukan beserta sanksi terhadap
pelanggaran-pelanggaran. Sanksi tersebut, bila diterapkan secara konsisten
akan memberikan efek penjera bagi pelaku-pelaku kejahatan, terutama kejahatan
terhadap tumbuhan dan satwa langka yang semakin terorganisasi (organizad
crime).
Perubahan politik nasional dari sentralistik ke otonomi daerah juga perlu di-
cerminkan dalam kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati, sehingga perlu
memperbaiki undang-undang yang ada.
Sanksi hukum pelaku tindak pidana hanya ditujukan untuk jenis-jenis yang di-
lindungi, sedang untuk yang tidak dilindungi belum ada pengaturan mengenai
sanksi hukumnya. Sedangkan secara internasional CITES mewajibkan negara
anggota untuk dapat memberikan sanksi hukum terhadap jenis-jenis yang
termasuk dalam appendix CITES yang justru sebasgian besar tidak dilindungi.
Kecuali itu tidak ada sanksi hukum terhadap pelanggaran CITES bagi jenis-jenis
yang berasal dari luar Indonesia.
Besarnya sanksi baik kurungan maupun denda sudah tidak memadai lagi, yaitu
penjara 5 tahun dan denda maksimal 100 juta rupiah, dibandingkan sanksi pada
UU Nomor 41 tahun 1999 yang sebesar 5 milyar rupiah. Padahal kerugian akibat
punahnya species tidak dapat diukur dengan ekonomi. Kecuali itu besarnya
sanksi untuk jenis-jenis yang saat ini tidak dilindungi namun perlu dikendalikan
harus ditetapkan cukup besar agar pemanfaatan dapat dikendalikan dengan
baik. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu redefinisi mengenai status