Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DISUSUN OLEH
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelangsungan hidup dan berfungsinya sel secara normal bergantung pada pemeliharaan
kosentrasi garam, asam, dan elektrolit lain di lingkungan cairan internal. Kelangsungan hidup
sel juga bergantung pada pengeluaran secara terus menerus zat- zat sisa metabolisme toksik
dan dihasilkan oleh sel pada saat melakukan berbagai reaksi demi kelangsungan hidupnya.
Traktus urinarius merupakan sistem yang terdiri dari organ-organ dan struktur-struktur yang
menyalurkan urin dari ginjal ke luar tubuh. Ginjal berperan penting mempertahankan
homeostasis dengan mengatur konsentrasi banyak konstituen plasma, terutama elektrolit dan
air dan dengan mengeliminasi semua zat sisa metabolisme. Gangguan pada organ ginjal dapan
menyebabkan penyakit serius bagi tubuh, beberapa contoh penyakit ginjal yaitu
glomerulonefritis, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik, dll. Makalah ini memaparkan tentang
penyakit gagal ginjal kronik serta penatalaksanaannya baik secara farmakologi maupun non-
farmakologi.
B. Tujuan
1. Mengetahui anatomi & fisiologi Ginjal, etiologi serta patogenesis penyakit gagal ginjal
kronik.
2. Mengetahui penatalaksanaan penyakit gagal ginjal kronik
3. Memenuhi kewajiban tugas mata kuliah Farmakologi Klinis
BAB II
A. Anatomi Ginjal
Ginjal (Ren) adalah suatu organ yang mempunyai peran penting dalam mengatur
keseimbangan air dan metabolit dalam tubuh dan mempertahankan keseimbangan asam basa
dalam darah. Produk sisa berupa urin akan meninggalkan ginjal menuju saluran kemih untuk
dikeluarkan dari tubuh. Ginjal terletak di belakang peritoneum sehingga disebut organ
retroperitoneal (Snell, 2006). Ginjal berwarna coklat kemerahan dan berada di sisi kanan dan
kiri kolumna vertebralis setinggi vertebra T12 sampai vertebra L3. Ginjal dexter terletak
sedikit lebih rendah daripada sinistra karena adanya lobus hepatis yang besar. Masing- masing
ginjal memiliki fasies anterior, fasies inferior, margo lateralis, margo medialis, ekstremitas
superior dan ekstremitas inferior (Moore, 2002). Bagian luar ginjal dilapisi oleh capsula
fibrosa, capsula adiposa, fasia renalis dan corpus adiposum pararenal. Masing- masing ginjal
memiliki bagian yang berwarna coklat gelap di bagian luar yang disebut korteks dan medulla
renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang. Med ulla renalis terdiri dari kira-
kira 12 piramis renalis yang masingmasing memiliki papilla renalis di bagian apeksnya. Di
antara piramis renalis terdapat kolumna renalis yang memisahkan setiap piramis renalis
(Snell, 2006).
Gambar 1. Letak Anatomi Ginjal (Sumber : Fisiologi Ginjal dan Cairan Tubuh, 2009)
Pembuluh darah pada ginjal dimulai dari arteri renalis sinistra yang membawa darah
dengan kandungan tinggi CO 2 masuk ke ginjal melalui hilum renalis. Secara khas, di dekat
hilum renalis masing- masing arteri menjadi lima cabang arteri segmentalis yang melintas ke
segmenta renalis. Beberapa vena menyatukan darah dari ren dan bersatu membentuk pola
yang berbeda-beda, untuk membentuk vena renalis. Vena renalis terletak ventral terhadap
arteri renalis, dan vena renalis sinistra lebih panjang, melintas ventral terhadap aorta. Masing-
masing vena renalis bermuara ke vena cava inferior (Moore, 2002). Arteri lobaris merupakan
arteri yang berasal dari arteri segmentalis di mana masing- masing arteri lobaris berada pada
setiap piramis renalis. Selanjutnya, arteri ini bercabang menjadi 2 atau 3 arteri interlobaris
yang berjalan menuju korteks di antara piramis renalis. Pada perbatasan korteks dan medula
renalis, arteri interlobaris bercabang menjadi arteri arkuata yang kemudian menyusuri
lengkungan piramis renalis. Arteri arkuata mempercabangkan arteri interlobularis yang
kemudian menjadi arteriol aferen (Snell, 2006).
B. Fisiologi Ginjal
Masing- masing ginjal manusia terdiri dari sekitar satu juta nefron yang masing- masing
dari nefron tersebut memiliki tugas untuk membentuk urin. Ginjal tidak dapat membentuk
nefron baru, oleh sebab itu, pada trauma, penyakit ginjal, atau penuaan ginjal normal akan
terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap. Setelah usia 40 tahun, jumlah ne fron
biasanya menurun setiap 10 tahun. Berkurangnya fungsi ini seharusnya tidak mengancam
jiwa karena adanya proses adaptif tubuh terhadap penurunan fungsi faal ginjal (Sherwood,
2001). Setiap nefron memiliki 2 komponen utama yaitu glomerulus dan tubulus. Glomerulus
(kapiler glomerulus) dilewati sejumlah cairan yang difiltrasi dari darah sedangkan tubulus
merupakan saluran panjang yang mengubah cairan yang telah difiltrasi menjadi urin dan
dialirkan menuju keluar ginjal. Glomerulus tersusun dari jaringan kapiler glomerulus
bercabang dan beranastomosis yang mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira
60mmHg), dibandingkan dengan jaringan kapiler lain.
Gambar 2. Ginjal dan nefron (Sumber : Fisiologi Ginjal dan Cairan Tubuh, 2009)
Kapiler-kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel dan seluruh glomerulus dilingkupi
dengan kapsula Bowman. Cairan yang difiltrasi dari kapiler glomerulus masuk ke dalam
kapsula Bowman dan kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang terletak pada korteks
ginjal. Dari tubulus proksimal kemudian dilanjutkan dengan ansa Henle (Loop of Henle).
Pada ansa Henle terdapat bagian yang desenden dan asenden. Pada ujung cabang asenden
tebal terdapat makula densa. Makula densa juga memiliki kemampuan kosong untuk
mengatur fungsi nefron. Setelah itu dari tubulus distal, urin menuju tubulus rektus dan tubulus
koligentes modular hingga urin mengalir melalui ujung papilla renalis dan kemudian
bergabung membentuk struktur pelvis renalis (Berawi, 2009). Terdapat 3 proses dasar yang
berperan dalam pembentukan urin yaitu filtrasi glomerulus reabsorbsi tubulus, dan sekresi
tubulus. Filtrasi dimulai pada saat darah mengalir melalui glomerulus sehingga terjadi filtrasi
plasma bebas-protein menembuskapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Proses ini dikena l
sebagai filtrasi glomerulus yang merupakan langkah pertama dalam pembentukan urin. Setiap
hari terbentuk ratarata 180 liter filtrat glomerulus. Dengan menganggap bahwa volume
plasma rata-rata pada orang dewasa adalah 2,75 liter, hal ini berarti seluruh volume plasma
tersebut difiltrasi sekitar enam puluh lima kali oleh ginjal setiap harinya. Apabila semua yang
difiltrasi menjadi urin, volume plasma total akan habis melalui urin dalam waktu setengah
jam. Namun, hal itu tidak terjadi karena adanya tubulus-tubulus ginjal yang dapat melakukan
reabsorpsi kembali zat-zat yang masih dapat dipergunakan oleh tubuh.
Perpindahan zat-zat dari bagian dalam tubulus ke dalam plasma kapiler peritubulus ini
disebut sebagai reabsorpsi tubulus. Zat-zat yang direabsorpsi tidak keluar dari tubuh melalui
urin, tetapi diangkut oleh kapiler peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung untuk
kembali diedarkan. Dari 180 liter plasma yang difiltrasi setiap hari, 178,5 liter diserap
kembali, dengan 1,5 liter sisanya terus mengalir melalui pelvis renalis dan keluar sebagai urin.
Secara umum, zat-zat yang masih diperlukan tubuh akan direabsorpsi kembali sedangkan
yang sudah tidak diperlukan akan tetap bersama urin untuk dikeluarkan dari tubuh. Proses
ketiga adalah sekresi tubulus yang mengacu pada perpindahan selektif zat-zat dari darah
kapiler peritubulus ke lumen tubulus. Sekresi tubulus merupakan rute kedua bagi zat- zat
dalam darah untuk masuk ke dalam tubulus ginjal. Cara pertama adalah dengan filtrasi
glomerulus dimana hanya 20% dari plasma yang mengalir melewati kapsula Bowman,
sisanya terus mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus. Beberapa zat,
mungkin secara diskriminatif dipindahkan dari plasma ke lumen tubulus melalui mekanisme
sekresi tubulus. Melalui 3 proses dasar ginjal tersebut, terkumpullah urin yang siap untuk
diekskresi (Sherwood, 2001). Ginjal memainkan peranan penting dalam fungsi tubuh, tidak
hanya dengan menyaring darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, namun juga dengan
menyeimbangkan tingkat-tingkat elektrolit dalam tubuh, mengontrol tekanan darah, dan
menstimulasi produksi dari sel-sel darah merah. Ginjal mempunyai kemampuan untuk
memonitor jumlah cairan tubuh, konsentrasi dari elektrolit-elektrolit seperti sodium dan
potassium, dan keseimbangan asam-basa dari tubuh. Ginjal menyaring produk-produk sisa
dari metabolisme tubuh, seperti urea dari metabolisme protein dan asam urat dari uraian DNA.
Dua produk sisa dalam darah yang dapat diukur adalah Blood Urea Nitrogen (BUN) dan
kreatinin (Cr). Ketika darah mengalir ke ginjal, sensor-sensor dalam ginjal memutuskan
berapa banyak air dikeluarkan sebagai urin, bersama dengan konsentrasi apa dari elektrolit-
elektrolit. Contohnya, jika seseorang mengalami dehidrasi dari latihan olahraga atau dari
suatu penyakit, ginjal akan menahan sebanyak mungkin air dan urin menjadi sangat
terkonsentrasi. Ketika kecukupan air dalam tubuh, urin adalah jauh lebih encer, dan urin
menjadi bening. Sistem ini dikontrol oleh renin, suatu hormon yang diproduksi dalam ginjal
yang merupakan sebagian daripada sistem regulasi cairan dan tekanan darah tubuh (Ganong,
2009).
BAB III
A. Definisi
Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel serta
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Penderita gagal ginjal memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009). Gagal ginjal kronis
(chronic renal failure atau chronic kidney disease) adalah kerusakan ginjal progresif yang
berakibat fatal dan ditandai dengan uremia. Uremia adalah suatu keadaan dimana urea dan
limbah nitrogen lainnya beredar dalam darah yang merupakan komplikasi akibat tidak
dilakukannya dialisis atau transplantasi ginjal (Nursalam,2006). Gagal ginjal kronis (GGK)
atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan kegagalan tubuh untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, sehingga menyebabkan uremia
(Smeltzer dan Bare, 1997 dalam Suharyanto dan Madjid, 2009). GGK adalah kerusakan ginjal
yang terjadi selama atau lebih 3 bulan dengan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) kurang dari 60
ml/menit/1,73 m2 (Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2011).
B. Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal dapat dibagi menjadi 3 stadium (Price dan
Wilson, 2006), yaitu :
1. Stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal
Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan penderita
asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dengan tes pemekatan urin
dan tes LFG yang teliti.
2. Stadium II, dinamakan insufisiensi ginjal
Pada stadium ini dimana lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. LFG
besarnya 25 % dari normal. Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat dari
normal. Gejala-gejala nokturia atau sering berkemih di malam hari sampai 700 ml dan
poliuria (akibat dari kegagalan pemekatan urin) mulai timbul.
3. Stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia
Sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau hanya sekitar 200.000
nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal. Kreatinin
serum dan BUN akan meningkat dengan mencolok. Gejala-gejala yang timbul karena
ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh,
yaitu oliguri karena kegagalan glomerulus, sindrom uremik.
Berdasarkan dasar derajat penyakitnya, gagal ginjal kronis dapat diklasifikasikan
menurut LFG dari pasien GGK seperti pada Tabel 1 .
LFG
Derajat Penjelasan
(ml/mn/1,73m2 )
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang 30 – 59
4 LFG menurun berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Tabel 1. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit (sumber : Ilmu Penyakit
Dalam UI, 2009)
(140−umur) x BB (kg)
LFG (ml/mnt/1,73m2 ) =
72 x kreatinin plasma (mg ⁄dl )
Klasifikasi GGK juga dapat dibedakan berdasarkan etiologinya seperti pada Tabel 2
sebagai berikut :
Tabel 2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik Berdasarkan Etiologi (sumber : Suharyanto dan Madjid,
2009)
C. Epidemiologi
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan
prevalens dan insidens gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk dan biaya yang
tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan
kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10 populasi global
mengalami PGK pada stadium tertentu. Hasil systematic review dan meta- analysis yang
dilakukan oleh Hill et al, 2016, mendapatkan prevalensi global PGK sebesar 13,4%. Menurut
hasil Global Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan penyebab kematian peringkat
ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010.
Di Jepang, sejumlah pasien dengan gagal ginjal kronik diperkirakan sekitar 13 juta. Di
antaranya, jumlah pasien dialisis, yang menunjukkan stadium terminal, mencapai 282.000
pada akhir tahun 2008. Setiap tahun, lebih dari 37000 pasien gagal ginjal kronik melakukan
terapi dialisi akibat diabetic nefropati, glomerulonefritis kronik, nefrosklerosis, penyakit
polikistik ginjal atau glomerulonefritis yang cepat pro gresif ( dengan urutan menurun).
Meskipun jumlah pasien dialisis baru akibat glomerulonefritis kronik berkurang, jumlah
kasus baru terkait dengan diabetes, hipertensi, dan arteriosclerosis semakin banyak.2,3
Berdasarkan survei statistik yang dilakukan oleh the Japanese Society for Dialisis
Therapy untuk tahun 2008 (disebut sebagai Survei 2008), total jumlah pasien yang menjalani
pengobatan dialisis lebih daripada 282.000 pada 31 Desember 2008. Seperti yang tampak dari
grafik, jumlah pasien dialisis telah semakin meningkat secara konsisten tahun demi
tahun, dengan tidak adanya penurunan. Terdapat sekitar 37.000 pasien dialisis baru setiap
tahun. Penyakit primer tersering yang bertanggung jawab terhadap terjadinya stadium akhir
penyakit ginjal adalah diabetes nephropati glomerulonefritis kronik, nefrosklerosis,
penyakit ginjal polikistik, dan glomerulonefritis yang cepat pro gresif (dengan urutan
menurun).
Di Indonesia perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar
dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung. Jumlah penderita GGK terus meningkat dan
diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10% setiap tahun. Saat ini belum ada penelitian
epidemiologi tentang prevalensi PGK di Indonesia. Dari data di beberapa pusat nefrologi di
Indonesia diperkirakan prevalensi PGK masing- masing berkisar 100 – 150 perjuta penduduk
(Suwitra, 2009). Berdasarkan data dari Yayasan Ginjal Diatras Indonesia (YGDI) RSU AU
Halim Jakarta pada tahun 2006 ada sekitar 100.000 penderita gagal ginjal di Indonesia. WHO
memperkirakan akan terjadi peningkatan penderita gagal ginjal antara tahun 1995-2025
sebesar 41,4%.
F. Patofisologi
Penyakit gagal ginjal kronis ini disebabkan oleh kerusakan ginjal dari penyebab yang
bermacam- macam antara lain pada kista renal yang menyebabkan penyakit polisistik ginjal.
Kerusakan ginjal disebakan karena kehilangan massa nefron, proteinuria serta hipertensi pada
kapiler glomerulus. Tekanan kapiler glomerulus meningkat dimediasi oleh angiotensin II
untuk menjaga hiperfiltrasi dari fungsi nefron. Angiotensin II yang bertindak sebagai
vasokonstriktor pada arteriola aferen dan arteriola eferen, namun lebih dominan pada arteriola
eferen. Sehingga dapat menaikkan tekanan kapiler pada glomerulus. Peningkatan tekanan
kapiler glomerulus dapat menyebabkan pori-pori membran glomerulus semakin luas dan
mengubah ukuran barier selektif yang memungkinkan protein disaring melalui glomerulus.
Protein disaring dan diserap pada tubulus ginjal, proses tersebut mengaktifkan sel- sel tubular
yang menghasilkan vasoaktif sitokin dan inflamasi yang akan menyebabkan kerusakan
interstitial pada tubulus ginjal sehingga nefron akan banyak hilang dan menyebabkan
penurunan fungsi ginjal (Schonder, 2008).
Berdasarkan derajat keparahan penyakit gagal ginjal kronik maka berikut ini renca na
tatalaksananya :
2. Terapi Farmakologi
Gagal ginjal kronik sering terjadi bersama dengan penyakit kardiovaskular dan
diabetes. Gagal ginjal kronik ditetapkan sebagai adanya kerusakan ginjal selama periode
lebih dari 3 bulan. Hipertensi dan DM tipe 2 sering terkait dengan gagal ginjal kronik.
Kontrol tekanan darah dan kadar glukosa darah akan berdampak besar dalam
memperlambat perkembangan gagal ginjal kronik dan penyakit kardiovaskular. Terapi
farmakologi gagal ginjal kronik dibedakan berdasarkan pathogenesis penyakit serta
penyakit komorbidnya.
a. Hipertensi
Baik pada gagal ginjal terkait diabetes maupun yang tidak terkait diabetes serta
menunjukkan kadar ekskresi albumin urin < 30mg/24 jam (atau ekuivalen) dimana
tekanan darah konsisten diatas 140/90 mmHg, perlu diberikan terapi antihipertensi baik
untuk menjaga tekanan darah konsisten dibawah 140/90 mmHg. Pada pasien dengan
kadar ekskresi albumin urin antara 30- 300 mg/24 jam, maka target tekanan darah dijaga
konsisten dibawah 130/80 mmHg. Obat golongan ACEi atau ARB merupakan pilihan
yang direkomendasikan untuk terapi penurunan tekanan darah. Penggunaan ACEi dimulai
dari dosis yang paling rendah terlebih dahulu dan diikuti dengan titrasi hingga mencapai
target tekanan darah yang diinginkan. GFR umumnya menurun 25% sampai 30% dalam 3
sampai 7 hari setelah memulai terapi dengan ACEi. Pada terapi dengan ACEi perlu
monitoring terkait kadar kalium untuk mendeteksi perkembangan kejadian hyperkalemia
setelah terapi awal (inisiasi) maupun peningkatan dosis ACEi. Berikut ini tahapan yang
dilakukan guna mengontrol tekanan darah :
Gambar 4. Tahapan terapi antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik (Pugh, Dan et al.,2019)
b. Pada Hiperglikemik (Diabetic Chronic Kidney Disease)
Pasien dengan diabetes berisiko meningkat untuk terjadinya gagal ginjal
kronik dan kejadian kardiovaskular. Kontrol kadar glukosa darah pada pasien dengan
gagal ginjal kronik mungkin bermasalah karena meningkatnya atau berubahnya
sensitivitas terhadap rejimen konvensional, bervariasi anjuran diet dan masalah kepatuhan
terkait dengan diperlukannya kerumitan dalam perawatan. Berikut ini penanganan gagal
ginjal kronik terkait dengan pasien diabetes :
i. Kontrol tekanan darah
Golongan obat ACEi yang direkomendasikan untuk pasien CKD antara
lain kaptopril, enalapril, lisinopril, ramipril. Keseluruh jenis ACEi tersebut
efektif dalam menurunkan tekanan darah serta belum ada penelitian yang
menunjukkan terkait ACEi yang terbaik untuk pasein gagal ginjal kronik terkait
diabetes. Pada pasien DM tipe 1, obat golongan ACEi lebih disarankan
dibanding ARB. Berikut ini beberapa skema dosis terapi yang digunakan untuk
menurunkan tekanan darah :
Obat Dosis Karakteristik fungsi ginjal
Kaptopril 25 mg, 3 kali sehari Ekskresi protein di urin ≥500
mg/hari, serum kreatinin ≤ 2,5
mg/dL
50 mg, 2 kali sehari Pasien normotensive dengan
mikroalbuminuria
Enalapril 10 mg, 1 kali sehari Kadar albumin urin ≤ 30 mg/hari
5 mg, 1 kali sehari Pasien hipertensi, GFR 30-100
mL/min per 1,73 m2
Lisinopril 10 mg, 1 kali sehari Pasien normotensive baik dengan
atau tanpa mikroalbuminuria
Ramipril 10 mg, 1 kali sehari Normoalbuminuria atau
mikroalbuminuria
Selain golongan ACEi, golongan ARB juga terbukti efektif untuk
menurunkan tekanan darah pada pasien gagal ginjal kronik terkait diabetes.
Penggunaan Irbesartan 300 mg, 1 kali sehari maupun Irbesartan 150 mg sekali
sehari menunjukkan efek perlambatan progresifitas nefropati diabetic lebih baik
dibanding jenis ARB yang lainnya. Penggunaan ACEi lebih cost- effective
dibanding golongan ARB, oleh karenanya pemilihan ARB hanya jika pasien
menunjukkan gejala efek samping batuk atau hyperkalemia setelah penggunaan
golongan ACEi.
ii. Kontrol glikemik
Target untuk kontrol glikemik yaitu kadar hemoglobin A1c ~ 7,0 % (53
mmol/mol) untuk mencegah atau menghambat progresifitas komplikasi
mikrovaskular yaitu diabetes. Kontrol glikemik seharusnya merupakan bagian
dari strategi intervention multifaktorial yang menyebutkan kontrol tekanan
darah dan risiko kardiovaskular, dan mendukung penggunaan ACE inhibitor,
angiotensin receptor blocker, statin dan terapi antiplatelet. Obat untuk
mengontrol kadar glikemik yaitu :
Metformin
Metformin direkomendasi untuk kebanyakan pasien dengan tipe
diabetes 2 dengan gagal ginjal kronik stadium 1 atau 2 yang memiliki
fungsi renal stabil yang tidak berubah selama 3 bulan terakhir. Metformin
mungkin dilanjutkan pada pasien gagal ginjal kronik stabil stadium 3.
Metformin seharusnya dihentikan jika terdapat perubahan akut
dalam fungsi renal atau selama periode penyakit yang dapat
menimbulkan perubahan tersebut (misalnya ketidaknyamanan
gastrointestinal atau dehidrasi) atau menyebabkan hipoksia (misalnya gagal
jantung atau respirasi). Perawatan khusus seharusnya dilakukan untuk pasien
yang juga mengkonsumsi ACE inhibitor, angiotensin receptor blocker, obat
antiinflamasi nonsteroid atau diuretik, atau setelah pemberian kontras
intravena karena risiko gagal ginjal akut dan sehingga akumulasi asam laktat,
terbesar untuk pasien ini.
Metformin merupakan agen hipoglikemik oral yang murah
dan efektif yang direkomendasi sebagai terapi lini pertama untuk pasien
yang berlebih berat badan dan tidak dengan diabetes mellitus tipe 2.
Metformin telah terbukti efektif pada pasien obesitas dan tidak terdapat
banyak kekhawatiran mengenai keamanan metformin pada gagal ginjal
kronis, terutama risko terjadi asidosis laktat.
Pilihan agen lain yang mengurangi glukosa
Menyesuaikan pilihan agen lain yang mengurangi glukosa (termasuk
insulin) pada pasien individu, tingkat fungsi renal dan komorbiditas. Risiko
hipoglikemia seharusnya dinilai secara teratur untuk pasien yang memakai
insulin atau insulin secretagogue. Pasien ini seharusnya diajarkan bagaimana
mengenali, mendeteksi dan mengobati hipoglikemia. Sulfonilurea kerja
pendek (misalnya gliclazide) dipilih melebihi agen kerja panjang untuk
pasien dengan chronic kidney disease.
Terapi insulin intensif
c. Gagal ginjal kronik tidak terkait diabetes (Non Diabetic Chronic Kidney Disease)
i. Kontrol tekanan darah
Golongan ACEi dan ARB tetap menjadi pilihan pertama dalam
menurunkan tekanan darah karena efektif dalam menurunkan tekanan
intraglomerular. Berikut ini beberapa skema dosis terapi yang digunakan untuk
menurunkan tekanan darah :
Obat Dosis Karakteristik fungsi ginjal Penyakit penyerta
Benazepril 10 mg, 1 Mild ( 46-60 mL/min GFR) dan Pasien pada
(tidak kali sehari moderate (30-45 mL/min GFR) beberapa jenis
tersedia di penyakit ginjal
Indonesia) termasuk DM
Enalapril 20 mg, 1 Proteinuria Hipertensi
kali sehari
5-40 mg, 1 Kadar ekskresi protein urin ≥ 0,5 Nefropati
kali sehari g/hari dan serum kreatinin ≥ 1,5 Immunglobulin A
mg/dL
Ramipril 2,5 mg, 1 GFR 20-270 mL/min per 1,73 m2 , Proteinurik
kali sehari kadar ekstresi protein urin ≥ 1
(tritrasi) gr/hari
1,25-5 mg, Proteinuria 1-3 g/hari Nefropati kronik
1 kali/ hari
Penggunaan ARB walaupun sedikit lebih kurang efektif dibanding ACEi,
tetapi menunjukkan efek yang bagus pada pasien dengan glomerunefritis. ARB
yang dapat disarankan digunakan yaitu Losartan dosis 50 mg sekali sehari untuk
pasien glomerulosclerosis maupun dosis 25 mg sekali sehari pada kasus
glomerulonefritis dengan kondisi pasien GFR 36-93 mL/min
Perkembangan gagal ginjal kronik menjadi ESRD (End Stage Renal Disease)/
Stage akhir gagal ginjal kronik dapat terjadi setelah bertahun-tahun dengan mekanisme
kerusakan ginnjal tergantung dengan etiologi penyakit. Pada pasien yang sudah berada
pada gagal ginjal tahap 4 atau 5, terjadi akumulasi toksin akibat peningnkatan sekresi,
penurunan klirens, disertai penurunan metabolism ginjal, dan/atau penurunan klirens ginjal
terhadap by-product metabolisme protein.
Tujuan utama terapi adalah untuk optimalisasi durasi dan kualitas hidup pasien.
Pasien yang telah mencapai gagal ginjal kronik tahap 4 tidak dapat menghindari
perkembangan penyakit menjadi ESRD, dan lebih lanjut sudah memerlukan hemodialysis
unutk mempertahankan hidup. Komplikasi yang paling umum terkait penurunan GFR
antara lain :
i. Abnormalitas Cairan dan Elektrolit
Manifestasi yang paling umum yaitu peningkatan volume intravaskular
akibat retensi kadar serum natrium sehingga mengakibatkan hipertensi sistemik.
Kemampuan ginjal untuk menyesuaikan perubahan konse ntrasi serum natrium
pada pasien ESRD sudah hilang. Pembatasan natrium melalui diet rendah
natrium tidak direkomendasikan mesekipun pasien memiliki hipertensi atau
edema. Kondisi keseimbangan natrium yang negatif dapat menurunkan perfusi
ginjal dan menyebabkan penurunan GFR lebih lanjut.
Terapi diuretik dan hemodialysis merupakan pilihan untuk mengontrol
edema dan tekanan darah. Diuretik loop yang diberikan secara infus kontinu,
dapat meningkatkan volume urin dan ekskresi natrium ginjal. Kombinasi
diuretik thiazid dengan diuretik loop terbukti dapat meningkatkan ekskresi
natrium dan air.
ii. Homeostatis Kalium
Konsentrsi serum kalium dijaga dalam rentang normal sampai GFR
kurang dari 20 mL/menit per 1,73m2 , dimana hiperkalemia mulai berkembang.
Terapi utama mengatasi hiperkalemia pada pasien ESRD yaitu dengan
hemodialysis. Penanganan sementara dapat berupa kalsium glukonat, insulin dan
glukosa, albuterol ternebulisasi, serta sodium polistoren sulfonat.
iii. Anemia
Penyebab utama anemia pada pasien gagal ginjal kronik dan ESRD yaitu
defisiensi eritropoietin. Faktor lain yang berkontrobusi adalah penurunan siklus
hidup sel darah merah, kehilangan darah, dan defisiensi besi. Penanganan
anemia pada pasien gagal ginjal kronik sebapada gambar 5.
Terapi lainnya yang digunakan yaitu suplemen besi berguna untuk
memnuhi persediaan besi. Terapi besi parenteral meningkatkan respon terhadap
terapi eritropoietin dan menurunkan dosis yang diperlukan untuk memperoleh
dan menjaga indeks target. Hal yang perlu diperhatikan yaitu efek samping besi
intravena yaitu reaksi alergi, hipotensi, gangguan pernapasan, sakit kepala, nyeri
punggung, artalgia, sinkop dan artritis. Beberapa efek tersebut dapat dikurangi
dengan mengurangi dosis atau laju infus. Natrium besi glukonat dan besi sukrosa
memiliki catatan penggunaan yang lebih baik dibanding besi dekstran.
Penanganan anemia dengan terapi eritropoietin merekomendasikan
pemberian epoetin alfa secara subkutan (SC) lebih dipilih karena lebih praktis
dan dosis subkutan untuk mempertahankan target indeks sekitar 15-35% lebih
rendah dibandingkan dosis intravena. Darbepoietin alfa memiliki waktu paruh
yang lebih panjang dibandingkan epoetin alfa, serta juga memiliki aktivitas
biologi yang lebih lama. Dosis diberikan dengan frekuensi yang lebih sedikit,
mulai dari pemberian satu kali seminggu apabila diadministrasikan secara
intravena atau subkutan. Efek utama dari agen eritropoietin adalah hipertensi.
Ukur Pertanda Besi TSat (atau CHr) dan Feritin
Ya Belum
Gambar 5. Tatalaksana terapi Fe pada pasien anemia pada gagal ginjal kronik (CHr,
kandungan hemoglobin dalam retikulosit; ESA Erithopoietic Sttimulating Agent; Hb,
hemoglobin; HD, Hemodialisis; PD Peritonial dialysis; TSat Transferin saturation)
iv. Hipertiroid sekunder dan osteodistrofi ginjal
Patofisiologi dan manifestasi klinik
Keseimbangan kalsium- fosfor dimediasi melalui hubungan yang
kompleks antara hormon dan efeknya pada tulang, saluran cerna, ginjal dan
kelenjar paratiroid. Seiring perkembanagan ggal ginjal, aktivasi vitamin D
oleh ginjal akan terganggu, yang dapat menurunkan absorpsi kalsium oleh
usus. Konsentrasi kalsium darah yang rendah menstimulasi sekresi hormone
paratiroid (PTH). Ketika fungsi ginjal menurun, keseimbangan kalsium serum
hanya dapat dipertahanan dengan meningkatkan resorpsi tulang, yang secara
langsung mengakibatkan osteodistrofi ginjal (renal osteodystrophy/ROD)
Hipertiroid sekunder dapat mengakibatkan perubahan pada metabolise
lipid, perubahan pada sekresi insulin, retensi terhadap terapi eritropoietin,
kerusakan faktor neurologi dan imunitas, serta meningkat kematian.
Perkembangan ROD terjadi perlahan asimtomatik selama bertahun-tahun
sebelum muncul gejala seperti nyeri dan kerusakan tulang. Komplikasi
skeletal diantaraya osteitis fibrosa cystic (turn over tinggi pada tulang),
osteomalacia ( turn over rendah pada tulang) dan penyakit tersebut tidak
dapat langsung ditangani melalui terapi.
Terapi
Prosedur preventif sebaiknya dilakukan pada pasien CKD tahap awal
untuk meningkatkan keluaran (outcome) pada saat pasien mencapai CKD
tahap 5 atau ESRD. Tata laksana terapi K/DOQI mencantumkan rentang
kalsium, fofor sediaan kalsium- fosfor dan keseluruhan PTH berdasrkan tahap
CKD. Pengukuran sebaiknya diulangi tiap 12 bulan untuk tahap 3, tipa 3
bulan untuk tahap 4 dan lebih sering untuk tahap 5. Pembatasan asupan fosfor
(800-100mg/hari) sebaiknya dijadikan intervensi lini pertama untuk CKD
tahap 3 atau lebih tinggi lagi. Pada saat ESRD terbentuk, kebanyakan pasien
mwmvutuhkan kombinasi phosphate-binding agent, vitamin D, dan
kalsimimetik untuk mencapai tujuan terapi K/DOQI. Berikut terapi yang
dapat dipakai :
Agen Pengikat Fosfat (Phosphat-Binding Agents)
Agen pengikat- fosfat menurunkan absorpsi fosfor dari usus dan
merupakan obat pilihan pertama untuk mengontrol konsentrasi fosfor dan
kalsium. Tatalaksana terapi K/DOQI merekomendasikan kalsium
elemental dari binder mengandung kalsium sebaiknya tidak melebihi
1500mg/hari dan total asupan harian dari semua sumber tidak melebihi
2000mg/hari. Kondisi ini membutuhkan kombinasi produk mengandung
kalsium maupun prodk non kalsium. Efek samping binder kalsium
mengandung fosfat meliputi konstipasi, diare, mual, muntah dan nyeri
abdominal. Resiko hiperkalemia juga perlu diperhatikan. Untuk
mneghindari interaksi obat. Binder fosfat sebaiknya diberikan 1 jam
sebelum atau 3 jam setelah medikasi obat.
Vitamin D
Kalsium (kurang dari 9,5 mg/dL) dan fosfor (kurang dari 4,6
mg/dL) harus dikontrol sebelum vitamin D diberikan. Kalsitrol 1,25-
dihidroksivitamin D3, secara langsung menekan sekresi dan sintesis PTH
serta mempengaruhi vitamin D3 yang dapat mempengaruhi reseptor
Vitamin D, yang dapat mengurnagi hyperplasia paratiroid. Dosis
tergantung pada tahap CKD dan Tipe Dialisis. Analog vitamin D
parikalsitol dan dokserkalsiferol dapat berkaitan dengan hiperkalemia
yang berkurang, dan untuk parikalsiterol hiperfosfatemia. Terapi vitamin
D berhubungan dengan kematian
Kalsimimetik
Sinakalset mengurangi sekresi PTH dengan meningkatkan
sensitivitas reseptor peka-kalsium. Efek samping yang paling umum
terjadi adalah mual muntah. Cara yang paling efektif untuk menggunakan
cinacalcet bersama dengan terapi lainnya belum ditetapkan. Dosis awal
adalah 30 mg perhari, yang dapat difiltrasi mencapai konsentrasi PTH dan
kalsium yang diinginkan tiap 3 sampai 4 mninggu dengan kadar
maksimum 180 mg per hari.
Berikut ini rekomendasi dosis vitamin D pada pasien gagal ginjal
kronik tahap 5 dan pasien hemodialisis
PTH (pg/mL) IV dan Dosis Dosis IV Dosis Oral dan IV
kalsitriol oral Parikalsitol per Dokserkalsiferol
per HD HD per HD
300-600 0,5-1,5 mcg oral 2,5-5 mcg 5 mcg oral, 2 mcg
atau IV IV
600-1000 1-4 mcg oral 6-10mcg 5-10 mcg oral. 2-4
1-3 mcg IV mcg IV
>1000 3-7 mcg oral 10-15 mcg 10-20 mcg oral
3-5 mcg IV 4-8 mcg IV
v. Asidosis Metabolik
Penggantian dosis alkali dapat diperkirakan dengan mengkalikan volume
distribusi bikarbonat (o,5 L/Kg) dengan bobot tubuh pasien (dalam kg) dan
dengan selisih bikarbonat (24 mEq/L dikurangi kadar serum bikarbonat pasien.
Dosis hrus diberikan beberapa hari. Dosis pemeliharaan harian berkisar 12-20
meq/mL dan sebaikanya dititrasi bila diperlukan. Asidosis metabolic pada pasien
yang menjalani dialysis dapat dipantau dengan menggunakan bikarbonat atau
asetat sebagai dialisat pada konsentrasi yang lebih tinggi
vi. Hiperlpidemia
Prevelansi hiperlipidemia meningkat seiring penurunan fungsi ginjal.
Hiperlipidemia sebaiknya dimonitor secara baik pada pasien dengan ESRD
dengan target kadar kolesterol lipoprotein kerapatan rendah (LDL) kurang dari
100mg/dL. Statin adalah pilihan lini pertama. Walaupun dapat dengan baik
ditoleransi pasien sehat. Statin berpoteni menyebabkan efek miotoksis apabila
diberikan pada pasien dengan penyakit hati atau melalui interaksi dengan obat-
obatan seperti ciklosporin, gemfibrozil dan niacin. Pada pasien dengan ESRD,
profil lipid sebaiknya dikaji ulang setidaknya sekali setahun dan 2 sampai 3
bulan setelah perubahan terapi
vii. Pruritus
Prutitus adalah masalah umum yang dialami pasien ESRD. Pathogenesis
kondisi ini tidak cukup banyak dipahami, namun berkolerasi dengan dialysis
yang tidak mencukupi, kulit kering, hiperparatiroid sekunder, peningkatan
konsentrasi vitamin A dan histamin. Serta peningkatan sesisitivitas terhadap
histamine.
viii. Status Nutrisi
Malnutrisi protein-energi adalah masalah yang umum dialami pasien CKD
tahap 4 atau 5. Asupan makanan terkadang tidak mencukupi kebutuhan karena
anoreksia, perubahan sensasi rasa, sakit dan ketidakmampuan mersakan
makanan yang dianjurkan. Asupan protein harian sebaiknya sekitar 2 g/kg untuk
pasien yang menjalanihemodialisis dan sekitar 1,2 sampai 1,3 g/kg untuk pasien
yang menjalani dialysis peritoneal.
Asupan energy harian sebaiknya sekitar 35kcal/kg untuk pasien yang
menjalani dialysis. Asupan sebaiknya kurang dari 30 sampai 35 kkal/kg untuk
pasien yang berusi diatas 60 tahun. Vitamin A dan E meningkat pada ESRD
dimana vitamin larut air sebaiknya diberikan sebagai suplemen untuk mengganti
kehilangan nutrisi akibat dialysis
ix. Pendarahan Uremik
Patofisiologi pendarahan uremik bersifat multifactor. Mekanisme utama
adalah abnormalitas biokimia platelet dan perubahan pada interaksi platelet-
dinding pembuluh darah. Terapi nondialiss yang dalam jangka waktu pendek
dapat meningkatkan waktu pendarahan diantaranya cryoprecipitate,
desmopressin (1-deamino-8-D-argininvasopresin) dan estrogen
3. Terapi Non Farmakologi
a. Diet Protein
Pembatasan asupan protein dan fosfat pada gagal ginjal kronik sebagai berikut :
tinggi
25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≤10 g
b. Berhenti merokok
Seharusnya didukung berhenti merokok untuk mengurangi risiko terjadinya gagal
ginjal kronik dan stadium akhir penyakit ginjal, dan untuk mengurangi risiko penyakit
kardiovaskular .
c. Mengurangi berat badan
Orang obesitas (IMT >30kg/m2 ) dan berat badan berlebihan (IMT 25.0-
29.9 kg/m2 ) seharusnya didukung untuk mengurangi IMT mereka untuk mengurangi
risiko terjadinya gagal ginjal kronik dan stadium akhir penyakit ginjal.
Mempertahankan berat badan sehat (IMT 18.5- 24.9 kg/m2 , lingkar pinggang <102cm
untuk laki- laki, <88 untuk wanita) direkomendasi untuk mencegah hipertensi atau
untuk mengurangi tekanan darah pada yang dengan hipertensi. Semua orang yang
berlebih berat badan dengan hipertensi disarankan untuk mengurangi berat badan.
d. Asupan alkohol
Untuk mengurangi tekanan darah, konsumsi alkohol pada orang normotensi
dan hipertensi seharusnya sejalan dengan pedoman Canadian untuk risiko rendah.
Orang dewasa sehat seharusnya membatasi konsumsi alkohol untuk 2 minimuan atau
kurang per hari, dan konsumsi seharusnya tidak melebihi 14 minuman standar per
minggu untuk laki-laki dan 9 minuman standar per minggu untuk wanita.
e. Olahraga
Orang tanpa hipertensi (untuk mengurangi kesempatan menjadi hipertensi) atau
tanpa dengan hipertensi (untuk menurunkan tekanan darah mereka) seharusnya
didukung untuk mengakumulasi 30-60 menit olahraga dinamik intensitas sedang
(berjalan, berlari, bersepeda, atau berenang) 4-7 hari per minggu. Intensitas olahraga
lebih tinggi tidak lebih efektif
f. Asupan garam
Selain diet yang seimbang, untuk mencegah hipertensi, asupan sodium
<100mmol/hari direkomendasikan,. Pasien dengan hipertensi seharusnya membatasi
asupan sodium mereka sampai 65-100mmol/hari.
BAB IV
PENUTUP
Gagal ginjal kronik ditetapkan sebagai adanya kerusakan ginjal selama periode lebih
dari 3 bulan. Gagal ginjal kronik sering terjadi bersama dengan penyakit kardiovaskular dan
diabetes. Beberapa penyakit komorbid pada kasus gagal ginjal kronik yaitu hipertensi,
hiperlipidemia, anemia, hipertiroid, osteodistrofi ginjal, asidosis metabolik. Kontrol tekanan
darah dan kadar glukosa darah akan berdampak besar dalam memperlambat
perkembangan gagal ginjal kronik dan penyakit kardiovaskular.
DAFTAR PUSTAKA
Berawi, K.N. 2009.Fisiologi Ginjal dan Cairan Tubuh. Edisi 2. Bandar Lampung: Penerbit
Universitas Lampung
Delima, Emiliana Tjitra, Lusianawaty Tana, Frans Suharyanto Halim, Lannywati Ghani, Hadi
Siswoyo, Sri Idaiani, Lelly Andayasari, Lucie Widowati, Retno Gitawati, Marice
Kementrian Kesehatan RI, 2018. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI, 2017. InfoDatin Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Pusat Data dan
lnformasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Selatan
Kenward, R. & Tan, C.K., 2003. Penggunaan Obat pada Gangguan Ginjal. In M. Aslam &
Prayitno, eds. Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy) Menuju Pengobatan Rasional dan
Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta: PT. Elex Media Computindo.
Moore, KL. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Konsensus Dialisis PERNEFRI, 2011 Hal 17
Schonder, K.S., 2008. Chronic and End-Stage Renal Disease. In Burns, M.A.C., Wells, B.G.,
Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C. & J. T. Dipiro, eds.
Pharmacotherapy Principles and Practice. New York: The McGraw-Hill Companies.
Sherwood, L., 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Edisi 2, EGC, Jakarta
Sihombing, Indirawati Tjahja Notohartojo, Sintawati, Tince Arniati Jovina, Muhammad Karyana,
Pringgodigdo Nugroho, Djoko Wibisono, J. Sarwono, Heidy Agustin, Suhardjono,
Sudigdo Sastroasmoro & Siswanto,2017. Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik : Studi
Kasus Kontrol di Empat Rumah Sakit di Jakarta Tahun 2014. Jakarta: Buletin Penelitian
Kesehatan, Vol. 45, No. 1, Maret 2017: hal 17 – 26
Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. 2006.
Stamatakis, M.K., 2008. Acute Renal Failure. In M. A. C. Burns., Wells, B. G.,
Schwinghammer, T. L., Malone, P.M., Kolesar, J.M. & J. T. Dipiro., eds. Pharmacotherapy
Principles and Practice. New York: The McGraw-Hill Companies.
Sukandar, Elin Y et al. 2014. ISO Farmakoterapi 2. Penerbit ISFI, Jakarta.
Suwitra Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Sehati S, Alwi I, Sudoyo AW, dkk, Editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta Pusat : Interna Publishing :
2014 ; 2159-2165.
The Kidney Disease : Improving Global Outcomes (KDIGO) 2012 Clinical Practice Evaluation
dan Manageent of Chronic Kidney Disease (CKD) , 2012, Journal of the International
Society of Nephrology