A. Defenisi
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan”
(siphon). Melitus dalam bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Penyakit
diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume urine yang
banyak dengan kadar glukosa tinggi.3
Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis
termasuk heterogen dengan menifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.
Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai
dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit
vaskular mikroangiopati, dan neuropati. 1
B. Epidemiologi
Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara penyakit tidak
menular yang akan meningkatkan jumlahnya di masa yang akan datang. Diabetes
sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan uma manusia pada
abad 21. Perserikaaan Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada
tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta
orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu
akan membengkak menjadi 300 juta orang.5
Tingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Di duga terdapat sekitar 16 juta
kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus
baru. Diabetes merupakan penyebab kemetian ketiga di Amerika Serikat dan
merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati
diabetik. Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit 21/2 kali lebih
sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak
menderita diabetes. Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya
meninggal karena penyakit vaskuler. Serangan jantung. Gagal ginjal, stroke dan
gangren adalah komplikasi yang paling utama. Selain itu, kematian fetus
intrauterin pada ibu-ibu yang menderita tidak terkontrol juga meningkta. Dampak
ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya pengobatan dan
hilangnya pendapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi
seperti kebutaan dan penyakit vaskular.1
C. Etiopatogenesis
4
Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik
dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan
imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Individu yang peka secara genetik
tampaknya memberikan respons terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga
berupa infeksi virus, dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel beta,
yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsan oleh
glukosa. Manifestasi klinis diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta
rusak. Bukti untuk determinan genetik diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan
dengan tipe-tipe histokompabilitas (human leukocyte antigen [HLA]) spesifik. Tipe
dari gen histokompabilitas yang berkaitan dengan diabetes tipe 1 (DW3 dan DW4)
adalah yang memberi kode pada protein-protein yang berperan penting dalam
monosit-limposit. Protein-protein ini mengatur respon sel T yang merupakan
bagian normal dari respon imun. Jika terjadi kelainan, fungsi limposit T yang
terganggu akan berperan penting dalam patogenesis perusakan sel-sel pulau
langerhans. 1
Ini adalah penyakit yang jarang terjadi, terutama mengenai penduduk Eropa utara
yang berkulit putih (25/10.000 populasi), di mana gejala timbul pada usia <30
tahun, dan terjadi defisiensi insulin absolut setelah sel β pangkreas dihancurkan
oleh proses autoimun pada orang-orang yang memiliki predisposisi secara
genetis.8
5
Infiltrasi pulau pangkreas oleh makrofag yang teraktivasi, limposit T sitotoksik dan
supresor, dan limposit B menimbulkan ‘insulitis’ dekstruktif yang sangat selektif
terhadap populasi sel β. Sekitar 70-90% sel β hancur sebelum timbul gejala klinis.
DM tipe 1 merupakan gangguan poligenik sebesar 30%. Terdapat kaitan dengan
HLA halotife DR3 dan DR4 di dalam kompleks histokompatibilitas mayor pada
kromosom 6, walaupun alel ini dapat merupakan marker untuk lokus lain yang
berperan dalam antigen HLA klas II yang terlibat dalam inisiasi respon imun.
Faktor lingkungan juga dapat berperan penting sebagai etiologi diabetes tipe 1 :
peran virus dan diet sedang diteliti.9
Diabetes tipe 1 diperkirakan terjadi akibat destruksi otoimun sel-sel beta pulau
langerhans. Individu yang memiliki kecendrungan genetik penyakit ini tampaknya
menerima faktor pemicu dari lingkungan yang menginisiasi proses otoimun.
Sebagai contoh faktor pencetus yang mungkin antara lain infeksi virus seperti
gondongan (mumps), rubela, atau sitomegalovirus (CMV) kronis. Pajana terhadap
obat atau toksin juga disuga dapat memicu serangan otoimun ini. Karena proses
penyakit diabetes tipe 1 terjadi dalam beberapa tahun, sering kali tidak ada faktor
pencetus yang pasti. Pada saat diagnosis diabetes tipe 1 ditegakkan, ditemukan
antibodi terhadap sel-sel pulau langerhans pada sebagian besar pasien. Mengapa
individu membentuk antibodi terhadap sel-sel pulau langerhans sebagai respon
terhadap faktor pencetus tidak diketahui. Salah satu mekanisme yang
kemungkinan adalah bahwa terdapat agens lingkungan yang secara genetis
mengubah sel-sel pangkreas sehingga menstimulus pembentukan autoantibodi.
Kemungkinan lain bahwa para individu yang mengidap diabetes tipe 1 memiliki
kesamaan antigen antara sel-sel beta pangkreas mereka dan mikroorganisme
atau obat tertentu. Sewaktu berespons terhadap virus atau obat, sistem imun
mungkin gagal mengenali bahwa sel pangkreas adalah "diri”, mereka sendiri.3
Diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis diabetes yang paling sering terjadi,
mencakup 85% pasien diabetes. Keadaan ini ditandai oleh resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif. Mekanisme resistensi insulin pada diabetes tipe 2
masih belum jelas. Walaupun terdapat sejumlah abnormalitas genetik dari
reseptor insulin yang ditemukan, namun pada beberapa kasus yang berhubungan
sindrom resistensi insulin yang jelas, hal ini jarang terjadi dan tidak menjelaskan
hiperinsulinemia yang terjadi pada sebagaian besar pasien dengan diabetes tipe
2. Konsekuensi hiperensulinemia yang berkepanjangan adalah terjadinya
defisiensi insulin.9
Penyakit ini sering ditemukan (prevalensi saat ini adalah 2% di Inggris dan 6,6% di
AS, dan meningkat dengan pesat akibat faktor gaya hidup/diet) pada usia
menengah dan manula, diakibatkan terutama oleh resistensi terhadap kerja
insulin di jaringan perifer. Walaupun pada tahap lanjut defisiensi insulin dapat
terjadi, namun tidak ditemukan dafisiensi absolut insulin. Penyakit ini juga
dipengaruhi faktor genetik. Pada kembar identik tingkat kesamaannya adalah
90%, namun tidak ada kaitannya dengan antigen leukosit manusia (human
leukocyte antigen [HLA]).8
D. Klasifikasi
1. Diabetes tipe 1
Insidensi diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapt
dibagi dalam dua sub tipe: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan
kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak
diketahui sumbernya. Subtipe ini lebih sering timbul pada etnik keturunan Afrika-
Amerika dan Asia.1
2. Diabetes tipe 2
Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan
tipe nondependen insulin. Insidens diabetes tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru
setiap tahunnya. Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini.
3. Diabetes gestasional
10
Tipe khusus lain adalah (a) kelainan genetik dalam sel beta seperti yang dikenali
pada MODY. Diabetes subtipe ini memiliki prevalensi familial yang tinggi dan
bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. Pasien seringkali obesitas dan resisten
tehadap insulin. Kelainan genetik telah dikenali dengan baik dalam empat bentuk
mutasi dan bentuk fenotif yang berbeda (MODY 1, MODY 2, MODY 3, MODY 4);
(b) kelainan genetik pada kerja insulin, menyebabkan sindrom resistensi insulin
berat dan akantosis negrikans; (c) penyakit pada eksokrin pangkreas
menyebabkan pangkreatitis kronik; (d) penyakit endokrin seperti sindrom Cushing
dan akromegali; (e) obat-obatan yang bersifat terhadap sel-sel beta; dan (f)
infeksi.1
Gejala awal berhubungan dengan efek langsung dari kada gula darah yang tinggi.
Jika kadar gula darah lebih dari 160-180 mg/dL maka glukosa akan sampai ke air
kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk
mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air
kemih dalam jumlah yang berlebihan maka penderita sering berkemih dalam
jumlah yang banyak (poliuri). Akibat poliuri maka penderita merasa haus yang
berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke
dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan. Hal ini
menyebabkan penderita sering kali merasakan lapar yang luar biasa sehingga
banyak makan (polifagi).2
11
Pada pasien diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif
dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen
yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi
sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapat
pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol
metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya, pasien
dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun,
dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien
tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya
mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin
secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih
cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien
tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obatan hipoglikemik
oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya.
Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas periver terhadap
insulin. Kadar insulin sendiri pada pasien mungkin berkurang, normal atau malah
tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah
normal. Penderita juga resistensi terhadap insulin eksogen.1
12
Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya bisa timbul secara tiba-tiba dan
berkembang dengan cepat kedala suatu keadaan yang disebut dengan
ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah tinggi, tapi karena sebgaian
besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin maka sel-sel ini mengambil
energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang
merupakan senyawa kimia yang beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi
asam (ketoasidosi). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan
berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah, dan nyeri perut (terutama pada
anak-anak). Pernapasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk
memperbaiki keasaman darah. Bau napas penderita tercium seperti bau aseton.
Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma,
kadang dalam beberapa jam setelah gejala muncul. Bahkan, setelah menjalani
terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka
melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi,
kecelakaan atau penyakit yang serius.2
13
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin pada reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulinpada diabetes tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulus pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi
resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus
terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita teloransi
glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan
kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit
meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan
terjadi diabetes tipe II.
Meskipun terhjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes
tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk
mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya,
karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun
demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut
lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemih hiperosmoler nonketotik
(HHNK).10
Individu pengidap diabetes tipe 2 sering memperlihatkan satu atau lebih gejala
non-spesifik, antara lain :
· Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan kadar glukosa di sekitar mukus,
gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah.
· Pelisutan otot dapat terjadi karena protein otot digunakan untuk memenuhi
kebutuhan energi tubuh.3
F. Pemeriksaan Fisik
14
· Respon autonomik
ø Berkeringat
ø Palpitasi
ø Tremor
ø Gugup
ø Pucat
ø Lapar
· Respon neuroglikopenik
ø Sakit kepala
ø Pening
ø Kacau mental
ø Peka rangsang
ø Kesulitan berkonsentrasi
ø Kerusakan penilaian
Pasien diabetes tipe II dikaji untuk melihat adanya tanda-tanda sindrom HHNK,
mencakup hipotensi, gangguan sensori, dan penurunan turgor kulit. Nilai
laboratorium dipantau untuk melihat adanya tanda hiperosmolaritas dan
ketidakseimbangan elektrolit.
15
Gangguan penglihatan (pasien diminta untuk membaca angka atau tulisan pada
spuit insulin, lembaran menu, suratkabar, atau bahan pelajaran)
· Gangguan koordinasi motorik (pasien diobservasi pada saat makan atau
mengerjakan pekerjaan lain atau pada saat menggunakan spuit atau lanset untuk
menusuk jari tangannya)
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi DM.
Yaitu kelompok usia dewasa tua (>40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi,
riwayat keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi >4.000 g,
riwaya DM pada kehamilan, dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar gula darah puasa
(Tabel 53.1), kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
standar. Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil penyaringannya negatif, perlu
pemeriksaan penyaring ulang tiap tahun. Bagi pasien berusia 45 tahun tanpa
faktor resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Tabel 53.1 kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik
sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Belum pasti DM
Bukan DM DM
3.
16
5. Berikan glukosa 75 g yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam
waktu 5 menit.
Ada berbagai tes yang mengukur hal yang sama tetapi memiliki nama yang
berbeda, termasuk hemoglobin A1C dan hemoglobin A1. Nilai normal antara
pemeriksaan yang satu dengan yang lainnya, serta keadaan laboratorium yang
satu dan lainnya, memilikmi sedikit perbedaan dan biasanya berkisar dari 4%
hingga 8%.
Pada saat ini, pemeriksaan glukosa urin hanya terbatas pada pasien yang tidak
bersedia atau tidak mampu untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah.
Prosedur yang umum dilakukan meliputi aplikasi urin pada strip atau tablet
pereaksi dan mencocokkan warna pada strip dengan peta warna.
Senyawa-senyawa keton (atau badan keton) dalam urin merupakan sinyal yang
memberitahukan bahwa pengendalian kadar glukosa darah pada diabetes tipe I
sedang mengalami kemunduran. Apabila insulin dengan jumlah yang efektif mulai
berkurang, tubuh akan mulai memecah simpana lemaknya untuk menghasilkan
energi. Badan keton merupakan produk-sampingan proses pemecahan lemak ini,
dan senyawa-senyawa keton tersebut bertumpuk dalam darah serta urin.1
H. Diagnosis
17
18
Ibu hamil yang memenuhi kriteria WHO untuk DM atau TGT diklasifikasikan
sebagai penderita DM gestasional. Skining untuk DM gestasional tidak diperlukan
pada wanita yang berusia kurang dari 25 tahun dan mempunyai resiko yang
rendah. Toleransi glukosa harus diklasifikasi ulang dengan TTGO 75 gram pada 6
minggu atau lebih sesudah melahirkan. The American Diabetes Association (ADA)
merekomendasikan skining dengan mengukur kadar glukosa plasma 1 jam
sesudah pemberian oral 50 gram glukosa pada usia kehamilan antara 24 dan 28
minggu. Jika glukosa tersebut paling sedikit 7,8 mmol/l (140 mg/dl), pemeriksaan
TTGO selama 3 jam penuh harus dilaksanakan. Setiap dua dari empat nilai glukosa
plasma selama tes yang memenuhi atau melebihi nilai-nilai yang terlihat dibawah
ini menunjukkan diagnosis DM gestasional :
1 rasa 95 5,3
I. Terapi
Penatalaksaan diabetes melitus didasarkan pada (1) rencana diet, (2) latihan fisik
dan pengaturan aktivitas fisik, (3) agen-agen hipoglikemik oral, (4) terapi insulin,
(5) pengawasan glukosa di rumah, dan (6) pengetahuan tentang diabetes dan
perawatan diri. Diabetes adalah penyakit kronik, dan pasien perlu menguasai
pengobatan dan belajar bagaimana menyesuaikan agar tercapai kontrol
metabolik yang optimal. Pasien dengan diabetes tipe 1 adalah defisiensi insulin
dan selalu membutuhka terapi insulin. Pada pasien diabetes tipe 2 terdapat
resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif dan dapat ditangani tanpa insulin.1
Tujuan utama dari pengobatan diabetes dalah untuk mempertahankan kadar gula
darah dalam kondisi normal. Kadar gula darah yang benar-benar normal sulit
untuk dipertahankan. Akan tetapi, semakin mendekati dalam batas yang normal
maka kemungkinan terjadinya komplikasi sementara ataupun jangka panjang
adalah semakin berkurang.
19
Pada diabetes tipe I, pangkreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus
diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan
melalui suntikan, insulin dihancurkan dalam lambung sehingga tidak dapat
diberikan per oral (ditelan). Bentuk insulin yang baru (semprot hidung) sedang
dalam penelitian. Pada saat ini, bentuk insulin yang baru ini belum dapat bekerja
dengan baik karena proses penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah
dalam penentuan dosisnya. Insulin disuntikkan di bawah kulit ke dalam lapisan
lemak, biasanya di lengan, paha, atau dinding perut. Digunakan jarum yang sangat
kecil agar tidak terasa terlalu nyeri.2
Terapi gizi medis merupaka salah satu terapi non farmakologi yang sangat
direkomendasikan bagi penyandang (diabetisi). Terapi gizi medis ini pada
prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada
status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual. 5
Obat-obatan
Golongan sulfonilurea sering kali dapat menurunkan kadar gula darah secara
adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif pada diabetes tipe I.
Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid, dan klopropamid. Obat ini
menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh
pangkreas dan meningkatkan efektifitasnya. Obat lainnya, yaitu metformin, tidak
mempengaruhi pelepasan insulin, tetapi meningkatkan respons tubuh terhadap
insulin sendiri. Akabors bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa dalam
usus.2
Latihan Fisik
20
Pengelolaan diabetes melitus (DM) yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik merupakan
salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari
sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh semua orang
termasuk diabetes sebagai kegiatan sehari-hari, seperti misalnya : bangun tidur,
memasak, berpakaian, mencuci, makan bahkan tersenyum. Berangkat kerja,
bekerja, berbicara, berfikir, tertawa, merencanakan kegiatan esok, kemuadian
tidur. Semua kegiatan tadi tanpa disadari oleh diabetisi, telah sekaligus
menjalankan pengelolaan terhadap DM sehari-hari.5
J. Komplikasi
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari
konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada
diabetes tipe 1 adalah ketoasodosis diabetik (DKA). Apabila kadar insulin sangat
menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan
lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas
disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton).
Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi
keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asisosis metabolik. Glukosuria dan
ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil
akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan
mengalami syok. Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien
akan mengalami koma dan meninggal.1
Individu dengan ketoasidosi diabetik sering mengalami mual dan nyeri abdomen.
Dapat terjadi muntah, yang memperparah dehidrasi ekstrasel dan intrasel. Kadar
kalium total tubuh turun akibat poliuria dan muntah berkepanjangan dan
muntah-muntah.3
Kompliksai Kronik Jangka Panjang
21
Nefropati
Neuropati
Keadaan ini terjadi melalui beberapa mekanisme, termasuk kerusakan pada
pembuluh darah kecil yang memberi nutrisi pada saraf perifer, dan metabolisme
gula yang abnormal.8
22
K. Prognosis
Sekitar 60 % pasien DMTI yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti
orang normal. Sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik, dan
kemungkinan untuk meninggal lebih cepat.7
Jika kadar gula darah tidak terkontrol, sebagian besar komplikasi jangka panjang
berkembang secara progresif. Seorang obesitas yang menderita diabetes meiltus
tipe II tidak akan memerlukan pengobatan jika mereka menurunkan berat
badannya dan berolahraga secara teratur. Namun, pada kebanyakan penderita
merasa kesulitan menurunkan berat badan dan melakukan olahraga yang
teratur.2
23
BAB III
KESIMPULAN
Ada empat klasifikasi Diabetes Melitus yang dikenal, yaitu: diabetes melitus tipe
1, diabetes melitus tipe 2, diabetes gestasional (diabetes kehamilan), dan
diabetes melitus tipe khusus lain.
Penatalaksaan diabetes melitus didasarkan pada rencana diet, latihan fisik dan
pengaturan aktivitas fisik, agen-agen hipoglikemik oral, terapi insulin,
pengawasan glukosa di rumah, dan pengetahuan tentang diabetes dan perawatan
diri.
Pada penderita DM dapat terjadi Komplikasi-komplikasi yang dapat dibagi
menjadi dua kategori mayor: komplikasi metabolik akut misalnya ketoasidosis
diabetik, dan komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang misalnya retinopati,
nefropati dan neuropati.