Anda di halaman 1dari 26

DIABETES MELITUS (DM)

A. Defenisi

Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan”
(siphon). Melitus dalam bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Penyakit
diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume urine yang
banyak dengan kadar glukosa tinggi.3

Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis
termasuk heterogen dengan menifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.
Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai
dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit
vaskular mikroangiopati, dan neuropati. 1

Diabetes melitus (DM) merupakan kelainan metabolik dengan etiologi


multifaktorial. Penyakit ini ditandai oleh hiperglikemia kronis dan mempengaruhi
metabolisme karbohidrat, protein serta lemak. Patofisiologi DM berpusat pada
gangguan sekresi insulin dan/atau gangguan kerja insulin. Penyandang DM akan
ditemukan dengan berbagai gejala seperti poliuria (banyak berkemih), polidipsia
(banyak minum) dan polifagia (banyak makan) dengan penurunan berat badan.4

B. Epidemiologi

Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara penyakit tidak
menular yang akan meningkatkan jumlahnya di masa yang akan datang. Diabetes
sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan uma manusia pada
abad 21. Perserikaaan Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada
tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta
orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu
akan membengkak menjadi 300 juta orang.5

Tingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Di duga terdapat sekitar 16 juta
kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus
baru. Diabetes merupakan penyebab kemetian ketiga di Amerika Serikat dan
merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati
diabetik. Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit 21/2 kali lebih
sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak
menderita diabetes. Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya
meninggal karena penyakit vaskuler. Serangan jantung. Gagal ginjal, stroke dan
gangren adalah komplikasi yang paling utama. Selain itu, kematian fetus
intrauterin pada ibu-ibu yang menderita tidak terkontrol juga meningkta. Dampak
ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya pengobatan dan
hilangnya pendapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi
seperti kebutaan dan penyakit vaskular.1

Prevalensi DM di Indonesia mencapai jumlah 8.426.000 (tahun 2000) yang


diproyeksikan mencapai 21.257.000 pada tahun 2030. Artinya, terjadi kenaikan
tiga kali lipat dalam 30 tahun.6

Sebagai dampak positif pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam


kurun waktu 60 tahun merdeka, pola penyakit di Indonesia mengalami
pergeseran yang cukup meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi
berangsur turun, meskipu diakui bahwa angka penyakit infeksi ini masih
dipertanyakan dengan timbulnya penyakit baru seperti Hepatitis B dan AIDS, juga
angka kesakitan TBC yang tampaknya masih tinggi dan akhir-akhir ini flu burung,
demam berdarah dengue (DBD) antraks dan polio melanda negara yang kita cintai
ini. Di lain pihak penyakit menahun yang disebabkan oleh penyakit degeneratif, di
antaranya diabetes meningkat tajam. Perubahan pola penyakit iitu diduga ada
hubungannya dengan cara hidup yang berubah. Pola makan di kota-kota telah
bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan
serat dari sayuran, ke pola makan ke barat-baratan, dengan komposisi makanan
yang terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula, garam dan mengandung
sedikit serat. Komposisi makanan seperti ini terutama terdapat pada makanan
siap santap yang akhir-akhir ini sangat digemari terutama oleh anak-anak muda.5

C. Etiopatogenesis
4

Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus


bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya
akan mengarah pada insufesiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya
memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes melitus.

Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik
dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan
imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Individu yang peka secara genetik
tampaknya memberikan respons terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga
berupa infeksi virus, dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel beta,
yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsan oleh
glukosa. Manifestasi klinis diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta
rusak. Bukti untuk determinan genetik diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan
dengan tipe-tipe histokompabilitas (human leukocyte antigen [HLA]) spesifik. Tipe
dari gen histokompabilitas yang berkaitan dengan diabetes tipe 1 (DW3 dan DW4)
adalah yang memberi kode pada protein-protein yang berperan penting dalam
monosit-limposit. Protein-protein ini mengatur respon sel T yang merupakan
bagian normal dari respon imun. Jika terjadi kelainan, fungsi limposit T yang
terganggu akan berperan penting dalam patogenesis perusakan sel-sel pulau
langerhans. 1

Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau Diabetes melitus Tergantung


Insulin (DMTI) disebabkan oleh destruksi sel β pulau Langerhans akibat proses
autoimun.7

Ini adalah penyakit yang jarang terjadi, terutama mengenai penduduk Eropa utara
yang berkulit putih (25/10.000 populasi), di mana gejala timbul pada usia <30
tahun, dan terjadi defisiensi insulin absolut setelah sel β pangkreas dihancurkan
oleh proses autoimun pada orang-orang yang memiliki predisposisi secara
genetis.8

5
Infiltrasi pulau pangkreas oleh makrofag yang teraktivasi, limposit T sitotoksik dan
supresor, dan limposit B menimbulkan ‘insulitis’ dekstruktif yang sangat selektif
terhadap populasi sel β. Sekitar 70-90% sel β hancur sebelum timbul gejala klinis.
DM tipe 1 merupakan gangguan poligenik sebesar 30%. Terdapat kaitan dengan
HLA halotife DR3 dan DR4 di dalam kompleks histokompatibilitas mayor pada
kromosom 6, walaupun alel ini dapat merupakan marker untuk lokus lain yang
berperan dalam antigen HLA klas II yang terlibat dalam inisiasi respon imun.
Faktor lingkungan juga dapat berperan penting sebagai etiologi diabetes tipe 1 :
peran virus dan diet sedang diteliti.9

Diabetes tipe 1 diperkirakan terjadi akibat destruksi otoimun sel-sel beta pulau
langerhans. Individu yang memiliki kecendrungan genetik penyakit ini tampaknya
menerima faktor pemicu dari lingkungan yang menginisiasi proses otoimun.
Sebagai contoh faktor pencetus yang mungkin antara lain infeksi virus seperti
gondongan (mumps), rubela, atau sitomegalovirus (CMV) kronis. Pajana terhadap
obat atau toksin juga disuga dapat memicu serangan otoimun ini. Karena proses
penyakit diabetes tipe 1 terjadi dalam beberapa tahun, sering kali tidak ada faktor
pencetus yang pasti. Pada saat diagnosis diabetes tipe 1 ditegakkan, ditemukan
antibodi terhadap sel-sel pulau langerhans pada sebagian besar pasien. Mengapa
individu membentuk antibodi terhadap sel-sel pulau langerhans sebagai respon
terhadap faktor pencetus tidak diketahui. Salah satu mekanisme yang
kemungkinan adalah bahwa terdapat agens lingkungan yang secara genetis
mengubah sel-sel pangkreas sehingga menstimulus pembentukan autoantibodi.
Kemungkinan lain bahwa para individu yang mengidap diabetes tipe 1 memiliki
kesamaan antigen antara sel-sel beta pangkreas mereka dan mikroorganisme
atau obat tertentu. Sewaktu berespons terhadap virus atau obat, sistem imun
mungkin gagal mengenali bahwa sel pangkreas adalah "diri”, mereka sendiri.3

Diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis diabetes yang paling sering terjadi,
mencakup 85% pasien diabetes. Keadaan ini ditandai oleh resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif. Mekanisme resistensi insulin pada diabetes tipe 2
masih belum jelas. Walaupun terdapat sejumlah abnormalitas genetik dari
reseptor insulin yang ditemukan, namun pada beberapa kasus yang berhubungan
sindrom resistensi insulin yang jelas, hal ini jarang terjadi dan tidak menjelaskan
hiperinsulinemia yang terjadi pada sebagaian besar pasien dengan diabetes tipe
2. Konsekuensi hiperensulinemia yang berkepanjangan adalah terjadinya
defisiensi insulin.9

DM tipe 2 merupakan bentuk DM yang paling sering ditemukan dan ditandai


dengan gangguan pada sekresi serta kerja insulin. Kedua defek ini terdapat pada
DM klinis. Penyebab yang jumlahnya banyak dan bervariasi untuk terjadinya
kelainan ini telah teridentifikasi. DM tipe 2 juga memiliki perubahan
multifaktorial. Mayoritas pasien DM tidak bergantung pada insulin dan
kebanyakan dari mereka menderita diabetes pada usia dewasa. Pada Dm 2 sering
terdapat retensi insulin dengan insulinopia relatif yang kadang-kadang pada saat-
saat stres memerlukan insulin.4

Penyakit ini sering ditemukan (prevalensi saat ini adalah 2% di Inggris dan 6,6% di
AS, dan meningkat dengan pesat akibat faktor gaya hidup/diet) pada usia
menengah dan manula, diakibatkan terutama oleh resistensi terhadap kerja
insulin di jaringan perifer. Walaupun pada tahap lanjut defisiensi insulin dapat
terjadi, namun tidak ditemukan dafisiensi absolut insulin. Penyakit ini juga
dipengaruhi faktor genetik. Pada kembar identik tingkat kesamaannya adalah
90%, namun tidak ada kaitannya dengan antigen leukosit manusia (human
leukocyte antigen [HLA]).8

Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola


familial yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hampir
100%. Resiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati
40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan
contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu
subtipe penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika
orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak
adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2.1

Untuk kebanyakan individu, diabetes melitu tipe 2 tampaknya berkaitan dengan


kegemukan. Selain itu, kecendrungan pengaruh genetik, yang menentukan
individu kemungkinan mengidap penyakit ini, cukup kuat. Diperkirakan bahwa
terdapat sifat genetik yang belum teridentifikasi yang menyebabkan pangkreas
mengeluarkan insulin yang berbeda, atau menyebabkan reseptor insulin atau
perantara kedua tidak dapat berespons secara adekuat terhadap insulin. Terdapat
kemungkinan lain bahwa kaitan rangkai genetik antara yang dihubungkan dengan
kegemukan dan rangsangan berkepanjangan reseptor-reseptor insulin.
Rangsangan berkepanjangan terhadap reseptor-reseptor tersebut dapat
menyebabkan penurunan jumlah reseptor insulin yang terdapat di sel tubuh.
Penurunan ini disebut downregulation. Penelitian lain menduga bahwa defisit
hormon leptin, akibat kekurangan gen penghasil leptin atau tidak berfungsi,
mungkin bertanggungjawab untuk diabetes melitus tipe 2 pada beberapa
individu. Tanpa gen leptin, yang sering disebut gen obesitas pada hewan, mungkin
termasuk manusia, gagal berespons terhadap tanda kenyang, dan itulah mengapa
menjadi gemuk dan menyebabkan insensitivitas insulin. Meskipun obesitas
merupaka resiko utama untuk diabetes melitus tipe 2, ada beberapa individu yang
menderita diabetes tipe 2 di usia muda dan individu yang kurus atau dengan
berat badan yang normal. Salah satu contoh tipe penyakit ini adalah MODY
(maturity-onset diabetes of the young), suatu kondisi yang dihubungkan dengan
defek genetik pada sel beta pangkreas yang tidak mampu menghasilkan insulin.
Pada keadaan seperti ini dan beberapa kondisi lainnya, berkaitan erat dengan
rangkai genetik suatu sifat yang diwariskan.3

D. Klasifikasi

Beberapa klasifikasi diabetes melitus telah diperkenalkan, berdasarkan metode


presentase klinis, umur awitan, dan riwayat penyakit. Kotak 63-1 menjelaskan
klasifikasi yang diperkenalkan oleh American Diabetes Association (ADA)
berdasarkan pengetahuan mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan
toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan oleh World Health
Organization (WHO) dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat klasifikasi klinis
gangguan toleransi glukosa : (1) diabetes melitus tipe 1 dan 2, (2) diabetes
gestasional (diabetes kehamilan), dan (3) tipe khusus lain. Dua kategori lain dari
dari toleransi glukosa abnormal adalah gangguan toleransi glukosa dan gangguan
glukosa puasa.1

1. Diabetes tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit hiperglikemia akibat ketiadaan absolut


insulin. Sebelumnya, tipe diabetes ini disebut sebagai diabetes melitus dependen
insulin (IDDM), karena individu pengidap penyakit ini harus mendapat insulin
pengganti. Diabetes tipe 1 biasanya dijumpai pada individu yang tidak gemuk
berusia kurang dari 30 tahun, dengan perbandingan laki-lakisedikit lebih banyak
dari pada wanita. Karena insidensi diabetes tipe 1 memuncak pada usia remaja
dini, pada masa dahulu bentuk ini disebut sebagai diabetes juvenilis. Akan tetapi,
diabetes tipe 1 dapat timbul pada semua kelompok usia.3

Insidensi diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapt
dibagi dalam dua sub tipe: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan
kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak
diketahui sumbernya. Subtipe ini lebih sering timbul pada etnik keturunan Afrika-
Amerika dan Asia.1

Pengidap diabetes tipe 1 memperlihatkan kadar glukosa normal sebelum yang


terkendali awitan penyakit muncul. Pada masa dahulu, diabetes tipe 1 dianggap
penyakit yang terjadi tiba-tiba dengan sedikit tanda peringatan. Akan tetapi, saat
ini, diabetes tipe 1 adalah penyakit yang biasanya berkembang secara perlahan
selama beberapa tahun, dengan adanya autoantibodi terhadap sel-sel beta
destruksi yang terjadi secara terus-menerus pada diagnosis lanjut. Pada saat
diagnosis tipe 1 ditegakkan, biasanya pangkreas tidak atau sedikit mengeluarkan
insulin, dan lebih dari 80% sel beta pangkres telah dihancurkan. Kadar glukosa
darah meningkat karena tanpa insulin glukosa tidak dapat masuk ke sel. Pada saat
yang sama, hati mulai melakukan glukoneogenesis (sintesis glukosa baru)
menggunakan subtrat yang ter sedia seperti sam amino, asam lemak dan
glikogen. Subtrat-subtrat ini mempunyai konsentrasi yang tinggi dalam sirkukalsi
karena efek katabolik glukagon tidak dilawan oleh insulin. Hal ini yang
menyebabkan sel-sel mengalami kelaparan walaupun kadar glukosa darah sangat
tinggi. Hanya sel otak dan sel darah merah yang tidak kekurangan glukosa karena
keduanya tidak memerlukan insulin untuk memasukkan glukosa.3

2. Diabetes tipe 2

Hiperglikemia yang disebabkan insensitivitas seluler terhadap insulin disebut


diabetes melitus tipe 2. Selain itu, terjadi defek sekresi insulin ketidakmampuan
pangkreas untuk menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan
glukosa plasma yang normal. Meskipun kadar insulin mungkin sedikit menurun
atau berada dalam rentang normal, jumlah insulin tetap rendah sehingga kadar
glukosa plasma meningkat. Karena insulin tetap dihasilkan sel-sel beta pangkreas,
diabetes melitus tipe 2 yang sebelumnya disebut diabetes melitus tidak
tergantung insulin atau NIDDM (noninsulin dependent diabetes melitus),
sebenarnya kurang tepat karena banyak individu yang mengidap diabetes tipe 2
dapat ditangani dengan insulin. Pada diabetes melitus tipe 2, lebih banyak banyak
wanita yang mengidap penyakit ini dibandingkan pria. Predisposisi genetik yang
kuat dan faktor lingkungan yang nyata dapat menyebabkan diabetes melitus tipe
2.

Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan
tipe nondependen insulin. Insidens diabetes tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru
setiap tahunnya. Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini.

3. Diabetes gestasional

Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan


memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor resiko terjadinya GDM adalah
usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes
gestasional terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang
mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah
suatu diabetogenik. Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes secara
genetik mungkin akan memperlihatkan toleransi inglukosa atau manifestasi klinis
diabetes pada kehamilan.1

DM gestasional merupakan intoleransi karbohidrat yang mengakibatkan


hiperglikemia dengan keparahan yang beragam dan onset atau deteksi pertama
kali pada saat hamil. Defenisi ini berlaku tanpa memandang apakah hormon
insulin digunakan atau tidak dalam penanganannya ataukah keadaan tersebut
tetap bertahan setelah kehamilan berakhir. Intoleransi glukosa dapat mendahului
kehamilan tetapi keadaan ini tidak diketahui sebelumnya.4
Meskipun diabetes tipe ini sering membaik setelah persalinan, sekitar 50% wanita
pengidap ini tidak akan kembali ke status nondiabetes setelah kehamilan
berakhir. Bahkan, jika membaik setelah persalinan, resiko untuk mengalami
diabetes tipe 2 setelah sekitar 5 tahun II pada waktu mendatang lebih besar
daripada normal.3

4. Tipe khusus lain

10

Tipe khusus lain adalah (a) kelainan genetik dalam sel beta seperti yang dikenali
pada MODY. Diabetes subtipe ini memiliki prevalensi familial yang tinggi dan
bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. Pasien seringkali obesitas dan resisten
tehadap insulin. Kelainan genetik telah dikenali dengan baik dalam empat bentuk
mutasi dan bentuk fenotif yang berbeda (MODY 1, MODY 2, MODY 3, MODY 4);
(b) kelainan genetik pada kerja insulin, menyebabkan sindrom resistensi insulin
berat dan akantosis negrikans; (c) penyakit pada eksokrin pangkreas
menyebabkan pangkreatitis kronik; (d) penyakit endokrin seperti sindrom Cushing
dan akromegali; (e) obat-obatan yang bersifat terhadap sel-sel beta; dan (f)
infeksi.1

E. Gambaran Klinik dan Patofisiologi

Kejadian DM diawali dengan kekurangan insulin sebagai penyebab utama. Di sis


lain timbulnya DM bisa berasal dengan kekurangan insulin yang bersifat relatif
yang disebabkan oleh adanya resistensi insulin (insuline resistance). Keadaan ini
ditandai dengan ketidakrentanan/ketidakmampuan organ menggunakan insulin,
sihingga insulin tidak bisa berfungsi optimal dalam mengatur metabolisme
glukosa. Akibatnya, kadar glukosa darah meningkat (hiperglikemia).6

Gejala awal berhubungan dengan efek langsung dari kada gula darah yang tinggi.
Jika kadar gula darah lebih dari 160-180 mg/dL maka glukosa akan sampai ke air
kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk
mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air
kemih dalam jumlah yang berlebihan maka penderita sering berkemih dalam
jumlah yang banyak (poliuri). Akibat poliuri maka penderita merasa haus yang
berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke
dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan. Hal ini
menyebabkan penderita sering kali merasakan lapar yang luar biasa sehingga
banyak makan (polifagi).2

11

Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik


defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi
glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi
ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan
mengakibatkan diuretik osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria)
dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka
pasien mengalami kalori negatif dan berat badan kurang. Rasa lapar yang semakin
besar (polifagi) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien
mengeluh lelah dan mengantuk.1

Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual, dan berkurangnya


ketahanan selama olahraga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih
peka terhadap infeksi. Karena kekurangan insulin yang berat maka sebelum
mengalami pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami
penurunan berat badan. Pada sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak
mengalami penurunan berat badan.2

Pada pasien diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif
dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen
yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi
sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapat
pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol
metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya, pasien
dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun,
dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien
tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya
mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin
secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih
cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien
tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obatan hipoglikemik
oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya.
Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas periver terhadap
insulin. Kadar insulin sendiri pada pasien mungkin berkurang, normal atau malah
tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah
normal. Penderita juga resistensi terhadap insulin eksogen.1

12

Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya bisa timbul secara tiba-tiba dan
berkembang dengan cepat kedala suatu keadaan yang disebut dengan
ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah tinggi, tapi karena sebgaian
besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin maka sel-sel ini mengambil
energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang
merupakan senyawa kimia yang beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi
asam (ketoasidosi). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan
berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah, dan nyeri perut (terutama pada
anak-anak). Pernapasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk
memperbaiki keasaman darah. Bau napas penderita tercium seperti bau aseton.
Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma,
kadang dalam beberapa jam setelah gejala muncul. Bahkan, setelah menjalani
terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka
melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi,
kecelakaan atau penyakit yang serius.2

Dalam keadaan yang normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan


glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari
asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin,
proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan
hiperglikemia. Di samping itu akan terjadi pemecahan lemak yang meningkatkan
produksi bahan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak.10
Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama beberapa
tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah maka timbullah gejala berupa sering
berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula
darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres,
misalnya infeksi atau obat-obatan) maka penderita akan mengalami dehidrasi
berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang, dan suatu
keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar nonketotik.2

13

Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin pada reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulinpada diabetes tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulus pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi
resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus
terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita teloransi
glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan
kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit
meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan
terjadi diabetes tipe II.

Meskipun terhjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes
tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk
mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya,
karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun
demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut
lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemih hiperosmoler nonketotik
(HHNK).10

Individu pengidap diabetes tipe 2 sering memperlihatkan satu atau lebih gejala
non-spesifik, antara lain :
· Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan kadar glukosa di sekitar mukus,
gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah.

· Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan air atau,


pada kasus yang lebih berat, kerusakan retina.

· Paretesia, atau abnormalitas sensasi.

· Kandidiasis vagina (infeksi ragi), akibat peningkatan kadar glukosa di sekitar


vagina dan urine, serta gannguan fungsi imun. Kandidiasi dapat menyebabkan
rasa gatal di vagina. Infeksi vagina merupakan kondisi yang sering dijumpai pada
wanita yang sebelumnya tidak diduga menderita diabetes.

· Pelisutan otot dapat terjadi karena protein otot digunakan untuk memenuhi
kebutuhan energi tubuh.3

F. Pemeriksaan Fisik

14

Pada penderita diabetes tipe I dilakukan pengkajian untuk memeriksa tanda-


tanda ketoasidosis diabetik, yang mencakup pernapasan kussmaul, hipotensi
ortostatik, dan latergi. Pasien ditanya tentang gejala ketoasidosis diabetik, seperti
mual, muntah dan nyeri abdomen. Hasil-hasil laboratorium dipantau untuk
mengenali tanda-tanda asidosis metabolik, seperti penurunan nilai pH serta kadar
bikarbonat dan untuk mendeteksi tanda-tanda gangguan keseimbangan
elektrolit.10

Pemeriksaan fisik selama episode hipoglikemik menunjukkan :

· Respon autonomik

ø Berkeringat

ø Palpitasi

ø Tremor

ø Gugup
ø Pucat

ø Lapar

· Respon neuroglikopenik

ø Sakit kepala

ø Pening

ø Kacau mental

ø Peka rangsang

ø Kesulitan berkonsentrasi

ø Kerusakan penilaian

ø Kelemahan dan kejang

ø Koma pada kasus berat 11

Pasien diabetes tipe II dikaji untuk melihat adanya tanda-tanda sindrom HHNK,
mencakup hipotensi, gangguan sensori, dan penurunan turgor kulit. Nilai
laboratorium dipantau untuk melihat adanya tanda hiperosmolaritas dan
ketidakseimbangan elektrolit.

Pasien dikaji untuk menemukan faktor-faktor fisik yang dapat mengganggu


kemampuannya dalam mempelajari melakukan keterampilan perawatan mandiri,
seperti :

15

Gangguan penglihatan (pasien diminta untuk membaca angka atau tulisan pada
spuit insulin, lembaran menu, suratkabar, atau bahan pelajaran)
· Gangguan koordinasi motorik (pasien diobservasi pada saat makan atau
mengerjakan pekerjaan lain atau pada saat menggunakan spuit atau lanset untuk
menusuk jari tangannya)

· Gangguan neurologis (misalnya, akibat stroke) (dari riwayat penyakit yang


tercantum pada bagan: pasien dikaji untuk menemukan gejala afasia atau
penurunan kemampuan dalam mengikuti perintah sederhana).10

G. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi DM.
Yaitu kelompok usia dewasa tua (>40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi,
riwayat keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi >4.000 g,
riwaya DM pada kehamilan, dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar gula darah puasa
(Tabel 53.1), kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
standar. Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil penyaringannya negatif, perlu
pemeriksaan penyaring ulang tiap tahun. Bagi pasien berusia 45 tahun tanpa
faktor resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Tabel 53.1 kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik
sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Belum pasti DM
Bukan DM DM

Kadar glukosa darah sewaktu

Plasma vena <110 110-199 >200

Darah kapiler <90 90-199 >200

Kadar glukosa darah puasa

Plasma vena <110 110-125 >126

Darah kapiler <90 90-109 >110


Cara pemeriksaan TTGO, adalah :

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.

2. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.

3.

16

Pasien puasa semalam selama 10-12 jam.

4. Periksa glukosa darah puasa.

5. Berikan glukosa 75 g yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam
waktu 5 menit.

6. Periksa glukosa darah 1 jam sesudah beban glukosa.

7. Selama pemeriksaan, pasien diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.7

Pemeriksaan hemoglobin glikosilasi

Hemoglobin glikosilasi merupakan pemeriksaan darah yang mencerminkan kadar


glukosa darah rata-rata selama periode waktu 2 hingga 3 bulan. Ketika terjadi
kenaikan kadar glukosa darah, molekul glukosa akan menempel pada hemoglobin
dalam sel darah merah.

Ada berbagai tes yang mengukur hal yang sama tetapi memiliki nama yang
berbeda, termasuk hemoglobin A1C dan hemoglobin A1. Nilai normal antara
pemeriksaan yang satu dengan yang lainnya, serta keadaan laboratorium yang
satu dan lainnya, memilikmi sedikit perbedaan dan biasanya berkisar dari 4%
hingga 8%.

Pemeriksaan urin untuk glukosa

Pada saat ini, pemeriksaan glukosa urin hanya terbatas pada pasien yang tidak
bersedia atau tidak mampu untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah.
Prosedur yang umum dilakukan meliputi aplikasi urin pada strip atau tablet
pereaksi dan mencocokkan warna pada strip dengan peta warna.

Pemeriksaan urin untuk keton

Senyawa-senyawa keton (atau badan keton) dalam urin merupakan sinyal yang
memberitahukan bahwa pengendalian kadar glukosa darah pada diabetes tipe I
sedang mengalami kemunduran. Apabila insulin dengan jumlah yang efektif mulai
berkurang, tubuh akan mulai memecah simpana lemaknya untuk menghasilkan
energi. Badan keton merupakan produk-sampingan proses pemecahan lemak ini,
dan senyawa-senyawa keton tersebut bertumpuk dalam darah serta urin.1

H. Diagnosis

17

Diagnosis diabetes ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya (polidipsi, polifagi,


poliuri) dan hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan kadar gula darah yang
tinggi. Untuk mengukur kadar gula darah, contoh darah biasanya diambil setelah
penderita berpuasa selama 8 jam atau bisa juga diambil setelah makan. Pada usia
di atas 65 tahun, paling baik sebelum mebelum dilakukan pemeriksaan adalah
berpuasa terlebih dahulu karena jika pemeriksaan dilakukan setelah makan, pada
usia lanjut memiliki peningkatan gula darah yang lebih tinggi. Pemeriksaan darah
lainnya yang bisa dilakukan adalah tes toleransi glukosa. Tes dilakukan dalam
keadaan tertentu, misalnya pada wanita hamil. Penderita berpuasa dan contoh
darahnya diambil untuk mengukur kadar gula darah puasa. Lalu penderita
meminum larutan khusus yang mengandung sejumlah glukosa dan 2-3 jam
kemudian contoh darah diambil lagi untuk diperiksa.2
Keluhan atau gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu
>200 mg/dl atau glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl suda cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. Bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaan
TTGO diperlukan untuk memastikan DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan
toleransi glukosa lainnya diperlukan glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa.
Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk
konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau TTGO yang abnormal.
Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan
dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun
cepat dan lain-lain.7

18

Ibu hamil yang memenuhi kriteria WHO untuk DM atau TGT diklasifikasikan
sebagai penderita DM gestasional. Skining untuk DM gestasional tidak diperlukan
pada wanita yang berusia kurang dari 25 tahun dan mempunyai resiko yang
rendah. Toleransi glukosa harus diklasifikasi ulang dengan TTGO 75 gram pada 6
minggu atau lebih sesudah melahirkan. The American Diabetes Association (ADA)
merekomendasikan skining dengan mengukur kadar glukosa plasma 1 jam
sesudah pemberian oral 50 gram glukosa pada usia kehamilan antara 24 dan 28
minggu. Jika glukosa tersebut paling sedikit 7,8 mmol/l (140 mg/dl), pemeriksaan
TTGO selama 3 jam penuh harus dilaksanakan. Setiap dua dari empat nilai glukosa
plasma selama tes yang memenuhi atau melebihi nilai-nilai yang terlihat dibawah
ini menunjukkan diagnosis DM gestasional :

Waktu mg/dl mmol/l

1 rasa 95 5,3

1 jam setelah makan 180 10,0

2 jam setelah makan 155 8,6

3 jam setelah makan 140 7,8


Kadar hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) merupakan indeks status glikemik selama
2-3 bulan yang lampau. Pemeriksaan ini dianjurkan sebagai alat untuk memantau
pengendalian glukosa darah.4

I. Terapi

Penatalaksaan diabetes melitus didasarkan pada (1) rencana diet, (2) latihan fisik
dan pengaturan aktivitas fisik, (3) agen-agen hipoglikemik oral, (4) terapi insulin,
(5) pengawasan glukosa di rumah, dan (6) pengetahuan tentang diabetes dan
perawatan diri. Diabetes adalah penyakit kronik, dan pasien perlu menguasai
pengobatan dan belajar bagaimana menyesuaikan agar tercapai kontrol
metabolik yang optimal. Pasien dengan diabetes tipe 1 adalah defisiensi insulin
dan selalu membutuhka terapi insulin. Pada pasien diabetes tipe 2 terdapat
resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif dan dapat ditangani tanpa insulin.1

Dalam jangka pendek penatalaksaan DM bertujuan untuk menghilangkan


keluhan/gejala DM. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mencegah
komplikasi. Tujuan tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan kadar
glukosa, lipid, dan insulin. Untuk mempermudah tercapainya tujuan tersebut
kegiatan dilaksanakan dalam bentuk pengelolaan pasien secara holistik dan
mengajarkan kegiatan mandiri. Umur 60 tahun keadaan, sasaran glukosa darah
lebih tinggi dari pada biasa(puasa <150 mg/dl dan sesudah makan <200 mg/dl).7

Tujuan utama dari pengobatan diabetes dalah untuk mempertahankan kadar gula
darah dalam kondisi normal. Kadar gula darah yang benar-benar normal sulit
untuk dipertahankan. Akan tetapi, semakin mendekati dalam batas yang normal
maka kemungkinan terjadinya komplikasi sementara ataupun jangka panjang
adalah semakin berkurang.

19

Terapi Sulih Insulin

Pada diabetes tipe I, pangkreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus
diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan
melalui suntikan, insulin dihancurkan dalam lambung sehingga tidak dapat
diberikan per oral (ditelan). Bentuk insulin yang baru (semprot hidung) sedang
dalam penelitian. Pada saat ini, bentuk insulin yang baru ini belum dapat bekerja
dengan baik karena proses penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah
dalam penentuan dosisnya. Insulin disuntikkan di bawah kulit ke dalam lapisan
lemak, biasanya di lengan, paha, atau dinding perut. Digunakan jarum yang sangat
kecil agar tidak terasa terlalu nyeri.2

Terapi Gizi Medis

Terapi gizi medis merupaka salah satu terapi non farmakologi yang sangat
direkomendasikan bagi penyandang (diabetisi). Terapi gizi medis ini pada
prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada
status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual. 5

Obat-obatan

Obat hipoglikemik oral (OHO) diperlukan dalam pengobatan DM tipe 2 jika


intervensi gaya hidup dengan diet dan latihan fisik tidak cukup untuk
mengendalikan hipeglikemia. OHO terutama terdiri atas dua tipe, yaitu prevarat
insulinotrropik dan insulin sensitizer.4

Golongan sulfonilurea sering kali dapat menurunkan kadar gula darah secara
adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif pada diabetes tipe I.
Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid, dan klopropamid. Obat ini
menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh
pangkreas dan meningkatkan efektifitasnya. Obat lainnya, yaitu metformin, tidak
mempengaruhi pelepasan insulin, tetapi meningkatkan respons tubuh terhadap
insulin sendiri. Akabors bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa dalam
usus.2

Latihan Fisik

20
Pengelolaan diabetes melitus (DM) yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik merupakan
salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari
sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh semua orang
termasuk diabetes sebagai kegiatan sehari-hari, seperti misalnya : bangun tidur,
memasak, berpakaian, mencuci, makan bahkan tersenyum. Berangkat kerja,
bekerja, berbicara, berfikir, tertawa, merencanakan kegiatan esok, kemuadian
tidur. Semua kegiatan tadi tanpa disadari oleh diabetisi, telah sekaligus
menjalankan pengelolaan terhadap DM sehari-hari.5

J. Komplikasi

Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor:


(1) komplikasi metabolik, dan (2) komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang

Komplikasi Metabolik Akut

Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari
konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada
diabetes tipe 1 adalah ketoasodosis diabetik (DKA). Apabila kadar insulin sangat
menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan
lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas
disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton).
Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi
keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asisosis metabolik. Glukosuria dan
ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil
akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan
mengalami syok. Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien
akan mengalami koma dan meninggal.1

Individu dengan ketoasidosi diabetik sering mengalami mual dan nyeri abdomen.
Dapat terjadi muntah, yang memperparah dehidrasi ekstrasel dan intrasel. Kadar
kalium total tubuh turun akibat poliuria dan muntah berkepanjangan dan
muntah-muntah.3
Kompliksai Kronik Jangka Panjang

21

Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-


pembuluh kecil-mikroangiopati-dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar-
makroangiopati.Mikroangiopati lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan
arteriola retina(retinopati diabetik), glumerulus ginjal (nefropati diabetik) dan
saraf-saraf perifer(neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut
histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan peningkatan penimbunan glikoprotein.
Selain itu, karena senyawa kimia dari membran dasar dapat berasal dari glukosa,
maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan pembentukan sel-sel
membran dasar. Penggunaan glukosa dari sel-sel ini tidak membutuhkan insulin.
Bukti histologik mikroangiopati sudah tampak nyata pada penderita IGT. Namun,
manifestasi klinis penyakit vaskuler, retinopati atau nefropati biasanya baru
timbul 15 sampai 20 tahun sesudah awitan diabetes.1

Penyakit mata (retinopati)

Retinopati terjadi akibat penebalan membran basal kapiler, yang menyebabkan


pembuluh darah mudah bocor (pendarahan dan eksudat padat), pembuluh darah
tertutup (iskemia retina dan pembuluh darah baru) dan edema makula.

Nefropati

Lesi awalnya adalah hiperfiltrasi glomerulus (peningkatan laju filtrasi glomerulus)


yang menyebabkan penebalan difus pada membran basal glomerulus,
bermanifestasi sebagai mikroalbuminuria (albumin dalam urin 30-300 mg/hari),
merupakan tanda yang sangat akurat terhadap kerusakan vaskular secara umum
dan menjadi prediktor kematian akibat penyakit kardiovaskular. Albumin
persisten (albumin urin > 300 mg/hari) awalnya disertai dengan GFR yang normal,
namun setelah terjadi protenuria berlebih (protein dalam urin > 0,5 g/24 jam),
GFR menurun secara progresif dan terjadi gagal ginjal.

Neuropati
Keadaan ini terjadi melalui beberapa mekanisme, termasuk kerusakan pada
pembuluh darah kecil yang memberi nutrisi pada saraf perifer, dan metabolisme
gula yang abnormal.8

22

K. Prognosis

Sekitar 60 % pasien DMTI yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti
orang normal. Sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik, dan
kemungkinan untuk meninggal lebih cepat.7

Jika kadar gula darah tidak terkontrol, sebagian besar komplikasi jangka panjang
berkembang secara progresif. Seorang obesitas yang menderita diabetes meiltus
tipe II tidak akan memerlukan pengobatan jika mereka menurunkan berat
badannya dan berolahraga secara teratur. Namun, pada kebanyakan penderita
merasa kesulitan menurunkan berat badan dan melakukan olahraga yang
teratur.2

DM merupakan penyakit kronis yang memerlukan modifikasi gaya hidup dan


pengobatan selama seumur hidup. Meskipun tidak mudah dilaksanakan para
pasien DM, keberadaan bentuk-bentuk terapi DM yang baru dengan penurunan
komplikasi telah memberikan harapan bahwa mereka dapat menjalani kehidupan
yang normal dan sehat.4

23
BAB III

KESIMPULAN

Diabetes melitus (DM) merupakan kelainan metabolik dengan etiologi


multifaktorial. Penyakit ini ditandai oleh hiperglikemia kronis dan mempengaruhi
metabolisme karbohidrat, protein serta lemak. Patofisiologi DM berpusat pada
gangguan sekresi insulin dan/atau gangguan kerja insulin tetapi determinan
genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes
melitus. Pada penyandang DM akan ditemukan dengan berbagai gejala seperti
poliuria (banyak berkemih), polidipsia (banyak minum) dan polifagia (banyak
makan) dengan penurunan berat badan.

Ada empat klasifikasi Diabetes Melitus yang dikenal, yaitu: diabetes melitus tipe
1, diabetes melitus tipe 2, diabetes gestasional (diabetes kehamilan), dan
diabetes melitus tipe khusus lain.

Untuk pemeriksaan fisik pada penderita diabetes tipe I dilakukan pengkajian


untuk memeriksa tanda-tanda ketoasidosis diabetik, yang mencakup pernapasan
kussmaul, hipotensi ortostatik, dan latergi. Pasien ditanya tentang gejala
ketoasidosis diabetik, seperti mual, muntah dan nyeri abdomen. Pasien diabetes
tipe II dikaji untuk melihat adanya tanda-tanda sindrom HHNK, mencakup
hipotensi, gangguan sensori, dan penurunan turgor kulit. Pemeriksaan penyaring
dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar gula darah
puasa. Disamping itu dapat juga dilakukan pemeriksaan urin untuk mengetahui
apakah terdapat banyak kandungan glukosa serta keton.

Penatalaksaan diabetes melitus didasarkan pada rencana diet, latihan fisik dan
pengaturan aktivitas fisik, agen-agen hipoglikemik oral, terapi insulin,
pengawasan glukosa di rumah, dan pengetahuan tentang diabetes dan perawatan
diri.
Pada penderita DM dapat terjadi Komplikasi-komplikasi yang dapat dibagi
menjadi dua kategori mayor: komplikasi metabolik akut misalnya ketoasidosis
diabetik, dan komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang misalnya retinopati,
nefropati dan neuropati.

Anda mungkin juga menyukai