Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FARMASI KOMUNITAS

PROBLEMATIKA SISTEM PEMBIAYAAN PELAYANAN


KESEHATAN

Disusun Oleh:
1. Anisa Rahmawati 207117010
2. Ani Ulfah 207117018
3. Dewi Reza Utami 207117021
4. Fitri Aina Lutpia 207117020

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AL IRSYAD AL


ISLAMIYYAH CILACAP
PROGRAM STUDI SI FARMASITAHUN
AJARAN 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Indonesia masih mengalami keterlambatan dalam proses realisasi
pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium (TMP)/ Millenium
Development Goals (MDG's). Terlihat pada masih tingginya angka
kematian ibu melahirkan, masih rendahnya kualitas sanitasi & air bersih,
laju penularan HIV/AIDS yang kian sulit dikendalikan, serta
meningkatnya beban utang luar negeri yang kian menumpuk.
Permasalahan tersebut jelas memberikan pengaruh pada kualitas hidup
manusia Indonesia yang termanifestasi pada posisi peringkat Indonesia
yang kian menurun pada Human Development Growth Index. Pada tahun
2006 Indonesia menyentuh peringkat 107 dunia, 2008 di 109, hingga tahun
2009 sampai dengan 2010 masih di posisi 111. Posisi Indonesia ternyata
selisih 9 peringkat dengan Palestina yang berada di posisi 101. Sulit
dipungkiri, dan sungguh ironis (Progres Report in Asia & The Pacific yang
diterbitkan UNESCAP).
Khusus masalah pembiayaan kesehatan per kapita. Indonesia juga
dikenal paling rendah di negara-negara ASEAN. Pada tahun 2000,
pembiayaan kesehatan di Indonesia sebesar Rp. 171.511, sementara
Malaysia mencapai $ 374. Dari segi capital expenditure (modal yang
dikeluarkan untuk penyediaan jasa kesehatan) untuk sektor kesehatan,
pemerintah hanya mampu mencapai 2,2 persen dari GNP sementara
Malaysia sebesar 3,8 persen dari GNP. Kondisi ini masih jauh dibanding
Amerika Serikat yang mampu mencapai 15,2 persen dari GNP pada 2003
(Adisasmito, 2008:78).
Untuk mencapai Millenium Development Goals (MDG's) tahun
2015, perlu upaya kerja keras dalam pembangunan kesehatan, termasuk
mengatur system pembiayaan kesehatan yang baik.
1.2. Rumusan Masalah
1. Definisi Biaya Kesehatan
2. Sumber Biaya Kesehatan
3. Permaslahan yang dihadapi dalam system pembiayaan pelayanan
kesehatan
4. Penyebab serta pencegahan dalam menghadapi permasalahan
pembiayaan pelayanan kesehatan

1.3. Tujuan
Mengetahui masalah sistem pembiayaan kesehatan yang ada di
Indonesia dan penyebab serta penyelesaian masalah tersebut.

1.4. Manfaat
1. Dapat dipergunakan untuk melihat equity distribusi pembagian
keuangan pemerintah.
2. Menjadikan mahasiswa agar lebih memahami masalah system
pembiayaan di Indonesia.
3. Dapat dijadikan sebagai data dasar pengambilan keputusan
untuk menyusun suatu rumusan alokasi anggaran di Indonesia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jaminan Kesehatan Nasional

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN


yang menyatakan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk
Indonesia. Jaminan sosial ini diberikan melalui penyelengaraan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini
diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan (Republik Indonesia, 2004). Partisipasi dalam JKN dapat
dilakukan dengan menjadi fasilitas kesehatan penunjang yang bekerja
sama langsung dengan BPJS untuk menjamin kebutuhan obat rujuk balik
yang disebut apotek program rujuk balik atau apotek menjalin kerjasama
dengan praktek dokter keluarga yang disebut apotek jejaring, ataupun
apotek yang terdapat dalam klinik pratama sebagai depo farmasi fasilitas
kesehatan tingkat pertama. Apotek sebagai fasilitas kesehatan penunjang,
tempat diselenggarakannya pelayanan kefarmasian menjadi syarat
kerjasama FKTP apabila ingin bekerjasama dengan BPJS Kesehatan,
FKTP harus membuat perjanjian kerjasama dengan apotek sebagai syarat
kerja sama (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Penerapan JKN di Indonesia mendorong perubahan model


pembayaran dari model fee for service saja menjadi dua sistem
pembayaran yaitu menjadi sistem pembayaran langsung (Fee For Service)
dan juga sistem pembayaran kapitasi. Penerapan sistem ini masih terdapat
kendala dalam pelaksanaannya. Perbedaan pokok yang berakibat langsung
kepada pasien adalah sistem pelayanan obat. Pada sistem kapitasi jasa,
pasien mendapatkan resep dan obat diambil di apotek yang jaraknya relatif
jauh dari dokter, pasien masih mengeluarkan biaya transportasi
(Martiningsih, 2009).

2.2. Definisi Biaya Kesehatan

Sistem adalah gabungan dari elemen-elemen yang saling dihubungkan


oleh suatu proses atau struktur dan berfungsi sebagai satu kesatuan
organisasi dalam upaya menghasilkan sesuatu yang telah ditetapkan
(Sumijatun,2006).
Biaya kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan
yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat.
Dari pengertian diatas maka biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut
yakni:
1. Penyedia pelayanan kesehatan
Biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan kesehatan
adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat
menyelenggarakan upaya kesehatan.
2. Pemakai jasa pelayanan kesehatan
Biaya kesehatan dari sudut pemakai jasa pelayanan adalah
besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan
jasa pelayanan.(Sumajitun,2006).
2.3. Sumber Biaya Kesehatan
Secara umum sumber biaya kesehatan ini dapat dibedakan atas dua
macam:
1) Seluruhnya bersumber dari anggaran pemerintah
Tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut, ditemukan
di negara yang bersumber biaya kesehatannya sepenuhnya
ditanggung oleh pemerintah.
2) Sebagian di tanggung oleh masyarakat
Pada beberapa negara sumber biaya kesehatan juga berasal
dari masyarakat. Pada negara seperti ini masyarakat diajak berperan
serta, baik dalam menyelenggarakan upaya kesehatan maupun
dalam pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan.(Sumijatun,2006).
2.4. Macam-macam Biaya Kesehatan
Biaya kesehatan banyak ragamnya, tergantung pada kompleksitas
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Secara umum biaya kesehatan dibedakan atas dua macam:
a) Biaya pelayanan kedokteran
Biaya yang dimaksud adalah yang dibutuhkan untuk
penyelenggaraan dan atau memanfaatkan pelayanan kedokteran,
yakni yang tujuan utamanya untuk mengobati penyakit serta
memulihkan kesehatan penderita.
b) Biaya pelayanan kesehatan masyarakat
Biaya yang dimaksud adalah yang dibutuhkan untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan
masyarakat, yakni dengan tujuan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta untuk mencegah
penyakit.(Komposiana,2011).
2.4. Syarat pokok pembiayaan kesehatan
Suatu biaya kesehatan yang baik haruslah memenuhi beberapa
syarat pokok yakni:
a. Jumlah
Tersedianya dana dalam jumlah yang cukup dalam arti dapat
membiayai penyelenggaraan seluruh upaya kesehatan yang dibutuhkan
serta tidak menyulitkan masyarakat yang memanfaatkannya.
b. Penyebaran
Mobilisasi dana kesehatan yang ada sesuai dengan kebutuhan.
c. Pemanfaatan
Alokasi dana pelayanan disesuaikan dengan tingkat pemanfaatan
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.(Pdgri,2014)
2.5. Upaya yang dilakukan untuk rnengatur penyebaran dan pemanfaatan
dana banyak macamnya, yang umumnya berkisar pada:
 Peningkatan efektivitas
Peningkatan efektivitas dilakukan dengan mengubah penyebaran atau
alokasi penggunaan sumber dana. Berdasarkan pengalarnan yang dimiliki,
maka alokasi tersebut lebih diutamakan pada upaya kesehatan yang
menghasilkan dampak vang lebih besar, misalnya mengutamakan upaya
pencegahan, bukan pengobatan penvakit.
 Peningkatan efisiensi
Peningkatan efisiensi dikaitkan dengan memperkenalkan berbagai
mekanisme pengawasan dan pengendalian. Mekanisme yang dimaksud
antara lain:
a.Standar minimal pelayanan
Dengan disusunnya standar minimal pelayanan (minimum stein
clard) akan dapat dihindari pemborosan. Pada dasarnya ada dua macam
standar minimal yang sering dipergunakan yakni:
1.Standar minimal sarana
Contoh standar minimal sarana ialah standar minimal
rumah sakit dan standar minimal laboratorium.
2.Standar minimal tindakan
Contoh standar minimal tindakan ialah tata cara pengobatan dan
perawatan penderita, dan daftar obat-obat esensial.

Dengan adanya standard minimal pelayanan ini, bukan saja


pemborosan dapat dihindari dan dengan demikian akan dapat ditingkatkan
efisiensinya, tetapi juga sekaligus dapat pula dipakai sebagai pedoman
dalam menilai mutu pelayanan.(Sumajitun,2006)

b. Kerjasama
Bentuk lain yang diperkenalkan untuk meningkatkan efisiensi ialah
memperkenalkan konsep kerjasama antar berbagai sarana pelayanan
kesehatan. Sebagaimana telah disebutkan, ada dua bentuk kerjasama yang
dapat dilakukan yakni:
1.Kerjasama institusi: Misalnya sepakat secara bersama-sama membeli
peralatan kedokteran yang mahal (cost sharing) dan jarang
dipergunakan. Dengan pembelian dan pemakaian bersama ini dapat
dihematkan dana yang tersedia serta dapat pula dihindari penggunaan
Peralatan yang rendah (under utilization). Dengan demikian. Efisiensi
juga akan meningkat.
2.Kerjasama sistem: Bentuk kerjasama sistem Yang Paling Populer ialah
sistem rujukan, Yakni adanya hubungan kerja sama timbal balik antara
satu sarana kesehatan dengan sarana kesehatan. (Sumajitun,2006).
2.6. Model Sistem pembiayaan kesehatan di beberapa negara
Dari berbagai pengalaman diberbagai negara, ada tiga model sistem
pembiayaan kesehatan bagi rakyatnya yang diberlakukan secara nasional
yakni model asuransi kesehatan sosial(Social Health Insurance), model
asuransi kesehatan komersial(Commercial/Private Health Insurance), dan
model NHS (National Health Services). Model Social Health Insurance
berkembang di beberapa Negara Eropa sejak Jerman dibawah Bismarck
pada tahun 1882 kemudian ke Negara-negara Asia lainnya yakni Philipina,
Korea, Taiwan. Kelebihan sistem ini memungkinkan cakupan 100 persen
penduduk dan relatif rendahnya peningkatan biaya pelayanan
kesehatan.(Sumajitun,2006)
Sedangkan model Commercial/Private Health Insurance berkembang
di AS. Sistem ini gagal mencapai cakupan 100% penduduk sehingga Bank
Dunia merekomendasikan pengembangan model Regulated Health
Insurance. Amerika Serikat adalah negara dengan pengeluaran untuk
kesehatannya paling tinggi (13,7% GNP) pada tahun 1997 sementara
Jepang hanya 7% GNP tetapi derajat kesehatan lebih tinggi Jepang.
Indikator umur harapan hidup didapatkan untuk laki-laki 73,8 tahun dan
wanita 79,7 tahun di Amerika Serikat sedang di Jepang umur harapan
hidup laki-laki 77,6 tahun dan wanita 84,3 tahun. Terakhir model National
Health Services dirintis pemerintah Inggris sejak usai perang dunia kedua.
Model ini juga membuka peluang cakupan 100% penduduk, namun
pembiayaan kesehatan yang dijamin melalui anggaran pemerintah akan
menjadi beban yang berat.(Sumajitun,2006)
2.7. Sistem Pembiayaan kesehatan di Indonesia
Sistem Pembiayaan kesehatan di Indonesia yang berlaku saat ini
adalah Jaminan Kesehatan Nasional yang dimulai pada tahun 2014 yang
secara bertahap menuju ke Universal Health Coverage. Tujuan Jaminan
Kesehatan Nasional secara umum yaitu mempermudah masyarakat untuk
mengakses pelayanan kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan
yang bermutu. Perubahan pembiayaan menuju ke Universal Coverage
merupakan hal yang baik namun mempunyai dampak dan risiko
sampingan.(Sumajitun,2006).
2.8 Sejarah badan penyelenggara jaminan kesehatan (JKN)
Jaminan pemeliharaan kesehatan di Indonesia sebenarnya sudah ada
sejak zaman kolonial Belanda. Dan setelah kemerdekaan, pada tahun 1949,
setelah pengakuan kedaulatan oleh Pemerintah Belanda, upaya untuk
menjamin kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, khususnya
pegawai negeri sipil beserta keluarga, tetap dilanjutkan. Prof. G.A.
Siwabessy, selaku Menteri Kesehatan yang menjabat pada saat itu,
mengajukan sebuah gagasan untuk perlu segera menyelenggarakan
program asuransi kesehatan semesta (universal health insurance) yang saat
itu mulai diterapkan di banyak negara maju dan tengah berkembang pesat.

Pada saat itu kepesertaannya baru mencakup pegawai negeri sipil


beserta anggota keluarganya saja. Namun Siwabessy yakin suatu hari
nanti, klimaks dari pembangunan derajat kesehatan masyarakat Indonesia
akan tercapai melalui suatu sistem yang dapat menjamin kesehatan seluruh
warga bangsa.
Pada 1968, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1 Tahun 1968 dengan membentuk Badan Penyelenggara Dana
Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang mengatur pemeliharaan
kesehatan bagi pegawai negara dan penerima pensiun beserta keluarganya.
Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 22 dan 23 Tahun 1984. BPDPK pun berubah status dari
sebuah badan di lingkungan Departemen Kesehatan menjadi BUMN, yaitu
PERUM HUSADA BHAKTI (PHB), yang melayani jaminan kesehatan
bagi PNS, pensiunan PNS, veteran, perintis kemerdekaan, dan anggota
keluarganya.
Pada tahun 1992, PHB berubah status menjadi PT Askes (Persero)
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992. PT Askes (Persero)
mulai menjangkau karyawan BUMN melalui program Askes Komersial.
Pada Januari 2005, PT Askes (Persero) dipercaya pemerintah untuk
melaksanakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin
(PJKMM) yang selanjutnya dikenal menjadi program Askeskin dengan
sasaran peserta masyarakat miskin dan tidak mampu sebanyak 60 juta jiwa
yang iurannya dibayarkan Pemerintah.
PT Askes (Persero) juga menciptakan Program Jaminan Kesehatan
Masyarakat Umum (PJKMU), yang ditujukan bagi masyarakat yang
belum tercover oleh Jamkesmas, Askes Sosial, maupun asuransi swasta.
Hingga saat itu, ada lebih dari 200 kabupaten/kota atau 6,4 juta jiwa yang
telah menjadi peserta PJKMU. PJKMU adalah Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda) yang pengelolaannya diserahkan kepada PT Askes (Persero).
Langkah menuju cakupan kesehatan semesta pun semakin nyata dengan
resmi beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014, sebagai
transformasi dari PT Askes (Persero). Hal ini berawal pada tahun 2004 saat
pemerintah mengeluarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan kemudian pada tahun 2011
pemerintah menetapkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta menunjuk PT Askes (Persero)
sebagai penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan,
sehingga PT Askes (Persero) pun berubah menjadi BPJS Kesehatan.
Melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat
(JKN-KIS) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, negara hadir di
tengah kita untuk memastikan seluruh penduduk Indonesia terlindungi
oleh jaminan kesehatan yang komprehensif, adil, dan merata.
BAB III

PEMBAHASAN

A.Masalah-masalah yang terjadi pada JKN:

 Ketidakmerataan ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan


kondisi geografis, menimbulkan masalah baru berupa ketidakadilan
antara kelompok masyarakat.
Penyebab:
Kurangnya fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan sulitnya
menjangkau fasilitas kesehatan karena kondisi geografis.
Sebagai gambaran di Indonesia timur: Di daerah kawasan timur yang
jumlah providernya terbatas dan aksesnya kurang menyebabkan
kurangnya supply (penyediaan layanan oleh pemerintah dan pihak
lain), sehingga akan muncul kesulitan terhadap akses ke fasilitas
kesehatan. Hal ini berimbas pada masyarakat di wilayah Indonesia
bagian timur yang tidak memiliki banyak pilihan untuk berobat di
fasilitas kesehatan. Sementara di wilayah Indonesia bagian barat
dimana ketersediaan providernya banyak, diperkirakaan
pemanfaatan provider akan lebih banyak dan benefit package yang
tidak terbatas. Hal yang mengkhawatirkan adalah tanpa adanya
peningkatan supply di Indonesia bagian timur, dana BPJS Kesehatan
akan banyak dimanfaatkan di daerah-daerah perkotaan dan di wilayah
Indonesia Barat. Situasi inilah yang membutuhkan kegiatan monitoring
dengan seksama.
 Ketidakmerataan BPJS
Jaminan Kesehatan Nasional/JKN adalah amanah UUD
1945.Ketidakmerataan BPJS ke pelosok negeri terutama daerah
Indonesia timur dapat diatasi dengan cara:Pertama, pemerintah harus
segera merealisasikan anggaran minimal 10% dari APBN 2014 untuk
pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan
diprioritaskan untuk peningkatan mutu fasilitas pelayanan kesehatan,
SDK, dan pemerataan tenaga kesehatan ke seluruh pelosok negeri.
Sehingga dengan begitu BPJS dapat berjalan dengan baik dan dapat
dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat Indonesia secara adil dan merata
tanpa menguntungkan salah satu kelompok masyarakat.Kedua,
pemerintah bisa melibatkan organisasi profesi seperti IDI, PPNI, dan
organisasi sosial masyarakat jika JKN ingin sukses. Organisasi profesi
mempunyai sumber daya dan perangkat organisasi yang memadai serta
keterlibatan organisasi profesi juga bisa memberikan pemahaman
tentang besarnya kapitasi dan jasa medis yang layak bagi tenaga
kesehatan.
 Mengatasi buruknya pelayanan kesehatan yang diberikan
Mengganti mekanisme pembiayaan dari INA-CBGs menjadi Fee
For Service seperti yang digunakan sebelumnya oleh PT Jamsostek
agar jaringan fasilitas kesehatan yang selama ini bekerjasama mau
melayani peserta BPJS Kesehatan. Serta Menkes harus mengubah
regulasi Permenkes tentang Tarif JKN tersebut karena menghambat
pelayanan peserta.
B.Masalah yang terjadi dalam pembiayaan sistem pelayanan kesehatan:
 Buruknya pelayanan yang diberikan
Penyebab:
Salah satu hal utama yang menyebabkan buruknya pelayanan itu
adalah mekanisme pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan yaitu
INA-CBGs. Mekanisme kendali mutu dan biaya yang diatur lewat
Permenkes Tarif JKN itu mengelompokan tarif pelayanan kesehatan
untuk suatu diagnosa penyakit tertentu dengan paket. Sayangnya,
mekanisme pembiayaan yang dikelola Kementerian Kesehatan itu
dinilai tidak mampu memberikan pelayanan terbaik bagi peserta BPJS
Kesehatan. Sehingga fasilitas kesehatan yang selama ini melayani
peserta JPK Jamsostek dan Askes enggan memberikan pelayanan. Serta
adanya permenkes tentang Tarif JKN yang intinya mengatur paket
biaya dalam INA-CBGs. Lewat sistem itu Kemenkes membatasi biaya
pelayanan kesehatan peserta.
 Permaslahan pembiayaan BPJS pada pasien tuberculosis(TB)
Kepemilikan BPJS tidak menjamin bahwa pasien TB bebas dari
segala macam biaya. Pasien TB masih harus mengeluarkan biaya lain
seperti biaya transport dan biaya obat untuk keluhan penyerta seperti
batuk dan demam. Biaya transport dikeluarkan pasien karena pasien
harus pergi ke rumah sakit, menebus sisa obat di apotek lain karena
obat yang diberikan oleh RSUD hanya 15 hari. Biaya obat dikeluarkan
pasien karena pasien harus menebus obat yang tidak diberikan RSUD
karena obat tersebut kosong. Hal ini perlu segera dibenahi karena
pasien TB tidak boleh putus berobat. Peristiwa ini memicu pasien tidak
mendapat obat yang seharusnya, dosis pemberian menjadi berkurang
apabila pasien tidak melanjutkan berobat karena tidak punya uang
untuk biaya transport atau biaya membeli obat.
SARAN: Perlu ditetapkan clinical pathway pengobatan TB rawat
jalan untuk membantu pasien, RSUD dan dokter dalam melakukan
terapi serta perlu bantuan sosial untuk pasien miskin mengingat biaya
yang ditanggung pasien untuk pasien sembuh selama 6 bulan cukup
besar (biaya tidak langsung, biaya obat penunjang selain OAT, dan
sebagainya).
 Kefektifitasan pelayanan kesehatan BPJS di Puskesmas
Terdapat beberapa kendala yang dialami puskesmas dalam
pelaksanaan program BPJS Kesehatan. Kendala – kendala tersebut
tidak hanya dari dalam BPJS Kesehatan melainkan juga dari
masyarakat. Kendala- kendala tersebut antara lain:
o Kurangnya sosialisasi dari BPJS Kesehatan mengenai hak
dan kewajiban peserta.
o Adanya peserta yang berobat lintas faskes.
o Masyarakat kurang memperdulikan adanya sosialisasi
program BPJS.
o Masyarakat terlalu menganggap mudah program BPJS.
o Masyarakat belum terbiasa menggunakan jaminan kesehatan
sistem asuransi.
Mekanisme pelaksanan program BPJS Kesehatan yang telah
dilaksankan sesuai Surat Edaran Kemenkes Nomor 32 Tentang
Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta BPJS Kesehatan dan
Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor
1Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan. Efektivitas
program BPJS Kesehatan yang diberikan di Puskesmas Kecamatan
Batang untuk keseluruhan masuk dalam kategori/ kriteria efektif dengan
persentase sebesar 80%. Kendala yang dihadapi Puskesmas dalam
penyediaan pelayanan kesehatan bagi para peserta BPJS Kesehatan
adalah banyaknya masyarakat yang belum paham terhadap progam
BPJS Kesehatan. Kurangnya sosialisasi program pada masyarakat
berdampak pada pelaksanaan program dimana terdapat peserta yang
menggunakan layanan kesehatan lintas faskes yang seharusnya tidak
diperbolehkan, hal ini terjadi karena pada setiap kartu peserta BPJS
Kesehatan telah tercantum faskes yang dituju sehingga menimbulkan
kesalah pahaman pada masyarakat terutama yang menjadi peserta BPJS
Kesehatan.
 Pembiayaan pasien JKN di Apotek
Tidak sedikit pasien yang tetap mau mengeluarkan biaya untuk
memperoleh obat di Apotek di era JKN ini. Tingkat kesadaran pasien
akan kesehatan sudah tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan
pasien di salah satu apotek jejaring, pasien menjelaskan bahwa :
“Kalau saya tidak keberatan bayar lagi sendiri, kalo untuk kesehatan
berpapun akan saya bayar, setidaknya dibantu dengan adanya ini
(JKN)“ .
Persepsi pasien di masing-masing apotek tentang kualitas dan
ketersediaan obat berbeda-beda yang dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor seperti jenis apotek dan usia pasien dalam penelitian
ini. Persepsi pasien tentang obat generik masih buruk, pengetahuan
pasien tentang obat generik masih kurang, obat di apotek belum
mencukupi karena masih ada pasien yang tidak mendapatkan obat
yang diresepkan. Sebagian besar pasien sudah mendapatkan obat
dengan jumlah yang sesuai dengan diresepkan dan pembayaran obat
di era JKN sudah mejadi tanggungan BPJS Kesehatan
 Permasalahan pembiayaan pengalokasian dana untuk pasien ibu dan
anak.
masalah pelayanan kesehatan di tingkat Provinsi Kalimantan
Timur seperti Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur dan tiga
rumah sakit umum kelas B serta satu RS Khusus selama tahun 2013-
2011. Yang termasuk dalam pembiayaan kesehatan disini berupa
belanja pegawai, belanja modal dan pembiayaan pelayanan kesehatan
yang bersifat perorangan. Besar biaya yang dibelanjakan oleh institusi
tersebut pada tahun 2013 sebesar Rp. 251.913 per kapita, pada tahun
2012 sebesar Rp. 188.498 perkapita dan pada tahun 2011 sebesar Rp.
202.450 perkapita. Pengeluaran biaya sebesar ini untuk keseluruhan
kegiatan pelayanan kesehatan, belum diperinci untuk khusus kegiatan
pelayanan kesehatan ibu dan anak seberapa besar sesungguhnya.
Banyaknya pembiayaan kesehatan tidak menentukan
efektifitasnya pelayanan kesehatan ibu dan anak namun yang
terpenting adalah komitmen pelayanan dan kerjasama lintas program
dan sektoral yang mendukung pelayanan kesehatan ibu dan anak untuk
mencapai target MDGs.
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
1. Biaya kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya
kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok
dan masyarakat.
2. Model Sistem pembiayaan kesehatan di beberapa Negara yakni
model asuransi kesehatan sosial(Social Health Insurance), model
asuransi kesehatan komersial(Commercial/Private Health
Insurance), dan model NHS (National Health Services).
3. Sistem Pembiayaan kesehatan di Indonesia yang berlaku saat ini
adalah Jaminan Kesehatan Nasional.
4. Masalah-masalah yang terjadi pada JKN dan penyebabnya:
Ketidakmerataan ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga
kesehatan dan kondisi geografis, menimbulkan masalah baru
berupa ketidakadilan antara kelompok masyarakat
Masalah lain adalah besarnya re-imbustment dari BPJS untuk
rumah sakit yang menyangkut besaran jasa medik. Perubahan
sistem pembiayaan yang kurang menghargai tenaga kesehatan dan
pengelola rumah sakit dapat menurunkan mutu pelayanan.
4.2. Saran
Sebagai calon seorang tenaga kesehatan, kita sudah seharusnya
memahami tentang JKN dan masalah apa saja yang ada didalamnya,
karena kita selalu terlibat dengan pasien dan terlebih lagi jika dapat
mengusulkan penyelesaian terhadap masalah yang terjadi. Dengan
memahami yang terjadi kita akan tetap dapat memberikan pelayanan
secara professional tanpa menguntungkan salah satu pihak.
Daftar Pustaka

Kompasiana.2011.kesehatan.(http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2
011/10/16/kebijakan-pembiayaan-kesehatan-403770.html). diakses
tanggal 26 Maret 2014 pukul 18.30 WIB.
Kemenkes RI, 2013, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan
Kesehatan Nasional, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Martiningsih, D., 2009, Pengaruh Variasi Metode Pembayaran Kapitasi
Kepada Dokter Keluarga Terhadap Efisiensi Biaya Dan Kualitas
Pelayanan, Jurnal Kedokteran Indonesia, 1(2): 185-192.
Pdgri.2014.PenyelenggaraanSJSNKesehatan.(http://www.pdgi.or.id/ne
ws/detail/penyelenggaraan-sjsn-kesehatan-2014). diakses tanggal
26 Maret 2014 pukul 18.45 WIB.
Sumijatun, et all. 2006. Konsep dasar keperawatan komunitas. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai