Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Setiap bencana pasti meninggalkan duka dan luka. Terbayang


penderitaan yang dialami masyarakat Jepang, khususnya di daerah bencana
(Sendai, Fukushima, dan sekitarnya), bencana gempa bumi dan tsunami yang
menelan korban lebih dari 10.000 jiwa ini tentunya akan membawa
perasaan pilu yang mendalam bagi seluruh keluarganya. Demikian pula
kejadian gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh 6 tahun yang lalu
yang menelan korban sekitar 200.000 jiwa. Tidak hanya itu, selain
kehilangan sanak saudara, para korban gempa juga kehilangan tempat
tinggal. Bangunan rumah mereka hancur, dan rata dengan tanah. (Gambar 1:
Kehancuran akibat bencana gempa bumi dan tsunami di Sendai, Jepang)

Akibat dari bencana tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan


masyarakat paska bencana, sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam
hidup mereka yang terjadi secara drastis dan tiba–tiba, dan pada
akhirnya menimbulkan kelainan atau gangguan pada mental atau gangguan
kejiwaan sebagai buntut bencana.

Pada fase awal bencana, akan membuat para korban menjadi khawatir dan
bahkan mungkin menjadi panik. Kepanikan itu berupa, seseorang akan
merasa sangat down, shock, karena kehilangan harta benda dan
sanak saudara. Demikian pula, mereka akan merasakan berbagai macam emosi
seperti ketakutan, kehilangan orang dan benda yang dicintainya, serta
membandingkan keadaan tersebut dengan kondisi sebelum bencana, mereka
kembali mengingat harta benda yang telah hilang atau rusak sekaligus
merasakan kesedihan yang mendalam. Hingga pada akhirnya merasa kecewa,
frustasi, marah, dan merasakan pahitnya hidup

1
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi Bencana

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan


Bencana menyebutkan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
(http://www.bnpb.go.id)

Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor


alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana
nonalam, dan bencana sosial.
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.
2. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

B. Fase-fese Bencana

Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu


bencana, yaitu diantaranya :

2
1. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana.
Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya
pada fase inilah segala persiapan dilakukan baik oleh pemerintah,
lembaga, dan warga masyarakat.

2. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-
saat dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup
(survive). Fase impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan
bantuan-bantuan darurat dilakukan.

3. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari


fase darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada
fungsi komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para
korban akan mengalami tahap respon psikologis mulai penolakan, marah,
tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.

C. Evolusi Pandangan Terhadap Bencana


1. Pandangan Konvensional
Bencana merupakan sifat alam. Terjadinya bencana : Kecelakaan
(accident) ; tidak dapat diprediksi, tidak menentu, tidak terhindarkan, dan
tidak terkendali. Masyarakat dipandang sebagai ‘korban’ dan ‘penerima
bantuan’ dari pihak luar.

2. Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam

Bencana merupakan unsur lingkungan fisik yang membahayakan


kehidupan manusia. Karena kekuatan alam yang luar biasa. Proses
geofisik, geologi dan hidrometeorologi. Tidak memperhitungkan manusia
sebagai penyebab bencana.

3. Pandangan Ilmu Terapan

Besaran (magnitude) bencana tergantung besarnya ketahanan atau


kerusakan akibat bencana. Pengkajian bencana ditujukan pada upaya

3
meningkatkan kekuatan fisik struktur bangunan untuk memperkecil
kerusakan.

4. Pandangan Progresif

Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat


yang ‘normal’. Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti.
Peran sentral dari masyarakat adalah mengenali bencana itu sendiri.

5. Pandangan Ilmu Sosial

Fokus pada bagaimana tanggapan dan kesiapan masyarakat menghadapi


bahaya. Ancaman adalah alami, tetapi bencana bukan alami. Besaran
bencana tergantung perbedaan tingkat kerawanan masyarak.

6. Pandangan Holistik

Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability), serta


kemampuan masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala alam menjadi
ancaman jika mengancam hidup dan harta-benda. Ancaman akan berubah
menjadi bencana jika bertemu dengan kerentanan.

D. Paradigma-paradigma Penanggulangan Bencana

1. Pandangan Konvensional

Bencana merupakan sifat alam. Terjadinya bencana : Kecelakaan


(accident) ; tidak dapat diprediksi, tidak menentu, tidak terhindarkan, dan
tidak terkendali. Masyarakat dipandang sebagai ‘korban’ dan ‘penerima
bantuan’ dari pihak luar.

4
2. Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam

Bencana merupakan unsur lingkungan fisik yang membahayakan


kehidupan manusia. Karena kekuatan alam yang luar biasa. Proses
geofisik, geologi dan hidrometeorologi. Tidak memperhitungkan manusia
sebagai penyebab bencana.

3. Pandangan Ilmu Terapan

Besaran (magnitude) bencana tergantung besarnya ketahanan atau


kerusakan akibat bencana. Pengkajian bencana ditujukan pada upaya
meningkatkan kekuatan fisik struktur bangunan untuk memperkecil
kerusakan.

4. Pandangan Progresif

Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat


yang ‘normal’. Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti.
Peran sentral dari masyarakat adalah mengenali bencana itu sendiri.

5. Pandangan Ilmu Sosial

Fokus pada bagaimana tanggapan dan kesiapan masyarakat menghadapi


bahaya. Ancaman adalah alami, tetapi bencana bukan alami. Besaran
bencana tergantung perbedaan tingkat kerawanan masyarak.

6. Pandangan Holistik

Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability), serta


kemampuan masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala alam menjadi
ancaman jika mengancam hidup dan harta-benda. Ancaman akan berubah
menjadi bencana jika bertemu dengan kerentanan.

E. Permasalaahan Dalam Penanggulangan Bencana

Secara umum masyarakat Indonesia termasuk aparat pemerintah didaerah


memiliki keterbatasan pengetahuan tentang bencana seperti berikut :
1. Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya
2. Sikap atau prilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA

5
3. Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan
ketidaksiapan
4. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman
bahaya

F. Kelompok Rentan Bencana


Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau
masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau
ancaman dari potensi bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai
kesiapan dan menanggapi dampak bahaya tertentu. Kerentanan terbagi atas:
1. Kerentanan fisik, kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam
menghadapi ancaman bahaya tertentu, misalnya kekuatan rumah bagi
masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempa.
2. Kerentanan ekonomi, kemampuan ekonomi individu atau masyarakat
dalam pengalokasian sumber daya untuk pencegahan serta
penanggulangan bencana.
3. Kerentanan social, kondisi social masyarakat dilihat dari aspek
pendidikan, pengetahuan tentang ancaman bahaya dan rsiko bencana.
4. Kerentanan lingkungan, keadaan disekitar masyarakat tinggal. Misalnya
masyarakat yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap
ancaman bencana tanah longsor.

G. Pengurangan Resiko Bencana


Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
1. Pra bencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan
penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan,
pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko
bencana, penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan peletahihan serta
penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana
(kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana).

6
2. Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap loksi,
kerusakan dan sumber daya; penentuan status keadan darurat;
penyelamatan dan evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar;
pelayanan psikososial dan kesehatan.
3. Paska bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan
daerah bencana, prasaranan dan saran umum, bantuan perbaikan rumah,
social, psikologis, pelayanan kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan
rekonstruksi (pembangunan, pembangkitan dan peningkatan sarana
prasarana termasuk fungsi pelayanan kesehatan.

H. Trauma Pasca Bencana


1. Stress

Secara sederhana, stres dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan


dimana individu terganggu keseimbangannya. Stres terjadi akibat adanya
situasi dari luar ataupun dari dalam diri yang memunculkan gangguan,
dan menuntut individu berespon secara sesuai.

Stress merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan


manusia, bahkan seperti merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri.
Setiap hari kadang kita harus tergesa bangun, membereskan pekerjaan
rumah kadang hingga lupa atau tidak sempat sarapan, lari mengejar
kendaraan umum untuk Sekolah atau menjalani aktivitas, berkonflik
dengan teman atau orang lain, kehabisan uang padahal harus membeli
keperluan harian dan seterusnya. Semua kejadian itu dapat memunculkan
stres.

Mereka yang mengalami stres mungkin merasa lebih gelisah,


tegang, cemas, mengalami kelelahan, ketegangan otot dan sulit tidur. Ada
pula yang tekanan darah dan detak jantungnya nmeningkat, sakit kepala,
perut mulas, gatal-gatal atau diare. Stres juga dapat merubah perilaku

7
kita. Misalnya kita menjadi lebih cepat marah, lebih suka sendirian,
menjadi tidak enak makan, merasa tidak berdaya, tidak bersemangat,
frustrasi, atau merasa tidak percaya diri.

Meski cukup sering menganggu, stres tidak perlu selalu dilihat


sebagai hal negatif. Dalam hal tertentu ,stres memiliki dampak positif.
Eustress adalah stres dalam artian positif yakni keadaan yang dapat
memotivasi, dan berdampak menguntungkan. Sebagai contohnya, ada
orang-orang yang bila sudah terdesak waktu, tiba-tiba akan terbangkitkan
kreativitasnya. Ada pula yang karena merasa tertinggal, memotivasi diri
sendiri dan dapat berprestasi gemilang.

2. Trauma
Secara sederhana, trauma berarti luka atau kekagetan
(syok/shock). Penyebab trauma adalah peristiwa yang sangat menekan,
terjadi secara tiba-tiba dan di luar kontrol/kendali seseorang, bahkan
seringkali membahayakan kehidupan atau mengancam jiwa. Peristiwa ini
begitu mengagetkan, menyakitkan dan melebihi situasi stres yang kita
alami sehari-hari. Peristiwa ini dinamakan sebagai peristiwa traumatis.
Ciri-ciri peristiwa traumatis adalah :
a. Terjadi secara tiba-tiba.
b. Mengerikan, menimbulkan perasaan takut yang amat sangat.
c. Mengancam keutuhan fisik maupun mental.
d. Dapat menimbulkan dampak fisik, pikiran, perasaan, dan perilaku
yang amat membekas bagi mereka yang mengalami ataupun yang
menyaksikan.

Bencana alam seperti gempa bumi jelas merupakan peristiwa


traumatis, karena tidak pernah ada yang bisa meramalkan kapan akan
datang dan menimbukan perasaan takut dan mengerikan. Sehingga dapat
menimbukan trauma bagi yang mengalaminya. Kondisi seperti stres yang

8
kita rasakan setelah munculnya peristiwa traumatis disebut sebagai stres
traumatis. Kondisi inilah yang biasa kita kenal sebagai trauma.

Gejala trauma sebenarnya dapat juga dialami oleh orang yang


tidak mengalami langsung peristiwa traumatis. Misalnya, seseorang
yang menonton berita bencana secara terus menerus. Ia kemudian
menjadi sulit tidur, mengalami rasa takut dan waspada berlebihan. Hal
semacam ini disebut sebagai trauma sekunder, yaitu stres traumatis
yang dialami oleh orang yang tidak mengalami secara langsung.

Siapapun orangnya, sekuat dan sehebat apapun dia, biasanya


akan menunjukkan respon tertentu. Respon yang muncul mungkin
berbeda-beda bagi tiap orang, namun umumnya respon yang muncul
adalah:
a. Memiliki ingatan atau bayangan yang sulit dilupakan, seperti
mencengkeram, atau ingatan lainnya tentang traumanya
b. Merasakan peristiwa seperti terjadi lagi (flashback)
c. Merasa terganggu bila diingatkan, atau teringat peristiwa
d. traumatis karena sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan, atau
diciumnya.
e. Ketakutan, merasa kembali berada dalam bahaya
f. Kesulitan mengendalikan perasaan karena tidak mampu
mengendalikan ingatan tentang peristiwa traumatis.

Selain respon-respon tersebut, kita mungkin akan mengalami


perubahan perasaan ataupun perilaku. Perubahan perasaan yang
mungkin dialami antara lain:
a. Cepat sedih
b. Cepat marah
c. Ingin menangis
d. Merasa bersalah
e. Merasa tidak berdaya

9
f. Suasana hati tidak menentu atau mudah berubah
g. Merasa tidak dipahami oleh orang-orang disekitarnya

Sementara perubahan perilaku yang mungkin terjadi antara lain :


a. Lebih banyak menyendiri
b. Gemetar
c. Tidak mau keluar rumah
d. Mudah tersinggung
e. Mengalami gangguan tidur, seperti: sering mimpi buruk,
f. susah tidur atau justru terlalu banyak tidur.
g. Gelisah
h. Kewaspadaan berlebih, sangat ingin menjaga dan melindungi diri
i. Mengalami gangguan makan, seperti : mual, muntah, tidak mau
makan, atau justru terlalu banyak makan
j. Mudah merasa was-was
k. Tiba-tiba dicekam bayangan menakutkan
l. Sulit berkonsentrasi atau berpikir jernih
m. Badan sering terasa lemas dan keluar keringat dingin
n. Sesak napas

Biasanya perubahan perilaku maupun perasaan tersebut akan


berkurang seiring dengan berjalannya waktu. Namun, kita perlu
mewaspadai apabila perubahan tersebut dirasakan lebih dari 6-8 minggu
dan mengganggu kehidupan kita sehari-hari. Dampak yang kita alami
mungkin lebih besar daripada yang kita bayangkan.

I. Dari Aspek Psikososial, Bencana Dapat Berdampak Pada:

1. Extreme peritraumatic stress reactions (reaksi stres & trauma)


Gejala ini muncul pada masa kurang dari 2 hari. Gejala ini ditandai
dengan simptom-simptom yang muncul setelah bencana, di antaranya:

a. Dissosiasi (depersonalisasi, derelisasi, amnesia).

b. Menghindar (menarik diri dari situasi sosial).

c. Kecemasan (cemas berlebihan, nervous, gugup, merasa tidak


berdaya).

10
d. Intrusive re-experiencing (flashback, mimpi buruk).

2. Acute stress disorder (ASD)

Gejala ini muncul pada masa 2 s.d 30 hari/4 minggu yang ditandai
dengan:

a. Individu/korban mengalami peristiwa traumatik yang mengancam


jiwa diri sendiri maupun orang lain, atau menimbulkan kengerian
luar biasa bagi dirinya (horor).

b. Peningkatan keterbangkitan psikologis, misalnya kewaspadaan


tinggi, mudah kaget, sulit konsentrasi, sulit tidur, mudah tersinggung
dan gelisah.

c. Gangguan efektifitas diri di area sosial dan pekerjaan.

3. Post traumatic stress disorder (PTSD)

Gejala ini muncul di atas 30 hari/1 bulan yang ditandai dengan:

a. Gangguan muncul akibat suatu peristiwa hebat yang mengejutkan,


bahkan sering tidak terduga dan akibatnya pun tidak tertahankan
oleh orang yang mengalaminya.

b. Terulangnya bayangan mental akibat peristiwa traumatik yang


pernah dialami.

c. Ketidakberdayaan/ke-”tumpul”an emosional dan “menarik diri”.

d. Terlalu siaga/waspada yang disertai ketergugahan/keterbangkitan


secara kronis.

e. Terjadi gangguan yang menyebabkan kegagalan untuk berfungsi


secara efektif dalam kehidupan sosial (pekerjaan, rumah tangga,
pendidikan, dll)

11
J. Peran Perawat Komunitas Dalam Manajemen Kejadian Bencana

Perawat komunitas dalam asuhan keperawatan komunitas memiliki


tanggung jawab peran dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik
selama tahap preimpact, impact/emergency, dan post impact. Peran perawat
disini bisa dikatakan multiple; sebagai bagian dari penyusun
rencana, pendidik, pemberi asuhan keperawatan bagian dari tim pengkajian
kejadian bencana.

Tujuan utama : Tujuan tindakan asuhan keperawatan komunitas pada bencana


ini adalah untuk mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat
yang terkena bencana tersebut.

1. Peran dalam Pencegahan Primer

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana
ini, antara lain:

a. Mengenali instruksi ancaman bahaya,


b. Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency
(makanan, air, obat-obatan, pakaian dan selimut, serta tenda),
c. Melatih penanganan pertama korban bencana, dan
d. Merkoordinasi berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan,
palang merah nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan
dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi
ancaman bencana kepada masyarakat.

Pendidikan kesehatan diarahkan kepada :

a. Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut).

b. Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong


anggota keluarga dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan, dan
pertolongan pertama luka bakar.

c. Memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti


dinas kebakaran, rs dan ambulans.

12
d. Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa
(misal pakaian seperlunya, portable radio, senter, baterai).

e. Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau


posko-posko bencana.

2. Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)

Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan


tepat setelah keadaan stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing
bidang tim survey mulai melakukan pengkajian cepat terhadap
kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat sebagai bagian dari tim
kesehatan.

Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan


tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana ”seleksi” pasien untuk
penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. (Triase).

TRIASE :

a. Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam


kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma
dada, perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, luka bakar derajat I-II.

b. Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury


dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena
dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama
30-60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel,
fraktur terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat
II.

c. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur


tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan
dislokasi.

d. Hitam — meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat


selamat dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.

13
3. Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana

a. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan


sehari-hari.
b. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian.
c. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan
penanganan kesehatan di RS.
d. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian.
e. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan
khusus bayi, peralatan kesehatan.
f. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit
menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri
dan lingkungannya berkoordinasi dengan perawat jiwa.
g. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban
(ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan
mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan,
insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot).
h. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat
dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi
bermain.
i. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para
psikolog dan psikiater.
j. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan
kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.
4. Peran perawat dalam fase postimpact

Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik,


sosial, dan psikologis korban. Selama masa perbaikan perawat membantu
masyarakat untuk kembali pada kehidupan normal. Beberapa penyakit
dan kondisi fisik mungkin memerlukan jangka waktu yang lama untuk
normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana kecacatan terjadi.

K. Peran MahasiswaKeperawatan Dalam Bencana

14
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang
lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran
dipengaruhi oleh keadaan nalge baik dari dalam maupun dari luar dan
bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari
seesorang pada situasi nalge tertentu. (Kozier Barbara, 1995:21).

Peran mahasiswa perawat yang dimaksud adalah cara untuk


menyatakan aktifitas mahasiswa keperawatan dalam membantu praktik,
dimana telah mendapatkan pendidikan formalnya yang sesuai dengan kode
etik keperawatan. Dimana setiap peran yang dinyatakan sebagai nalg
terpisah demi untuk kejelasan.

Seorang perawat, khususnya perawat komunitas memiliki tanggung


jawab peran dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik selama
tahap preimpact, impact/emergency, dan postimpact. Dalam melakukan
tugasnya tentu perawat tidak bisa berjalan sendiri. Koordinasi dan
persiapan yang baik mulai dari pemerintah atas hingga ke cabang-cabang
di bawahnya mutlak diperlukan. Dimulai dari pusat studi bencana, badan
nalgesic, pemerintah pusat dan daerah, para teknisi, departemen kesehatan,
palang merah nasional yang didalamnya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa
peduli bencana, tenaga-tenaga kesehatan, departemen penerangan, dinas
transportasi hingga dinas kebakaran dan lembaga-lembaga swadaya
masyarakat, semua ikut terlibat dalam perencanaan persiapan
penanggulangan bencana.

Tujuan utama dari tindakan keperawatan bencana ini adalah untuk


mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena
bencana tersebut. Jika seorang mahasiswa keperawatan beserta para
perawat lainnya berada di pusat area bencana, ia akan dibutuhkan untuk
ikut mengevakuasi dan nalge pertolongan pertama pada korban.
Sedangkan di lokasi-lokasi penampungan seorang perawat bertanggung
jawab pada evaluasi kondisi korban, melakukan tindakan keperawatan

15
berkelanjutan, dan mengkondisikan lingkungan terhadap perawatan
korban-korban dengan penyakit menular.

L. Jenis Kegiatan Siaga Bencana

Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda dibandingkan


pertolongan medis dalam keadaan normal lainnya. Ada beberapa hal yang
menjadi perhatian penting. Berikut beberapa tnidakan yang bisa dilakukan
oleh perawat dalam situasi tanggap bencana:
1. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan korban
dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka, kerusakan
fasilitas pribadi dan umum, yang mungkin akan menyebabkan isolasi
tempat, sehingga sulit dijangkau oleh para relawan. Hal yang paling urgen
dibutuhkan oleh korban saat itu adalah pengobatan dari tenaga kesehatan.
Perawat bisa turut andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi dengan tenaga
perawat atau pun tenaga kesehatan profesional, ataupun juga melakukan
pengobatan bersama perawat lainnya secara cepat, menyeluruh dan merata
di tempat bencana. Pengobatan yang dilakukan pun bisa beragam, mulai
dari pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan lainnya sesuai dengan profesi
keperawatan.
2. Pemberian bantuan
Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana,
dengan menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk,
seperti makanan, obat obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya.
Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan langsung oleh perawat secara
langsung di lokasi bencana dengan memdirikan posko bantuan. Selain itu,
Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini adalah pemerataan bantuan
di tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan oleh para korban
saat itu, sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak mendapatkan
bantuan tersebut dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak tepat
sasaran.
3. Pemulihan kesehatan mental

16
Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma
psikologis akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa
kesedihan yang mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit
trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam
massa pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka
akan mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para korban
bencana. Hal yang dibutukan dalam penanganan situasi seperti ini adalah
pemulihan kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh perawat. Pada
orang dewasa, pemulihannya bisa dilakukan dengan sharing dan
mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya
diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit.
Sedangkan pada anak anak, cara yang efektif adalah dengan
mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah
anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat mendirikan
sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan mendapatkan
permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehinnga kepercayaan diri
mereka akan kembali seperti sedia kala.
4. Pemberdayaan masyarakat
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca bencana
biasanya akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat memburuknya
keaadaan pasca bencana., akibat kehilangan harta benda yang mereka
miliki. sehinnga banyak diantara mereka yang patah arah dalam
menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong membangkitkan
keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat.
Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal
bagi mereka kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan
keterampilan yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi ataupun
LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan masyarakat di
sekitar daerah bencana akan mampu membangun kehidupannya kedepan
lewat kemampuan yang ia miliki.

17
Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal yang harus
dimiliki oleh seorang perawat, diantaranya:
a. Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik.
Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam
penanaganan bencana, haruslah mumpunyai skill keperawatan, dengan
bekal tersebut perawat akan mampu memberikan pertolongan medis
yang baik dan maksimal.
b. Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap
elemen masyarakat termasuk perawat, kepedulian tersebut tercemin
dari rasa empati dan mau berkontribusi secara maksimal dalam segala
situasi bencana. Sehingga dengan jiwa dan semangat kepedulian
tersebut akan mampu meringankan beban penderitaan korban
bencana.
c. Perawatan harus memahami managemen siaga bencana
Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang berbeda, segal
hal yang terkait harus didasarkan pada managemen yang baik,
mengingat bencana datang secara tak terduga banyak hal yang harus
dipersiapkan dengan matang, jangan sampai tindakan yang dilakukan
salah dan sia sia. Dalam melakukan tindakan di daerah bencana,
perawat dituntut untuk mampu memilki kesiapan dalam situasi apapun
jika terjadi bencana alam. Segala hal yang berhubungan dengan
peralatan bantuan dan pertolongan medis harus bisa dikoordinir
dengan baik dalam waktu yang mendesak. Oleh karena itu, perawat
harus mengerti konsep siaga bencana.

M. Management Bencana
Ada 3 aspek mendasar dalam management bencana, yaitu:
1. Respons terhadap bencana
2. Kesiapsiagaan menghadapi bencana
3. Mitigasi efek bencana

18
Managemen siaga bencana membutuhkan kajian yang matang dalam setiap
tindakan yang akan dilakukan sebelum dan setelah terjun kelapangan. Ada
beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman, yaitu:
1. Mempersiapkan bentuk kegiatan yang akan dilakukan
Setelah mengetahui sebuah kejadian bencana alam beserta situasi di
tempat kejadian, hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah memilih
bentuk kegiatan yang akan diangkatkan, seperti melakukan pertolongan
medis, pemberian bantuan kebutuhan korban, atau menjadi tenaga
relawan. Setelah ditentukan, kemudian baru dilakukan persiapan mengenai
alat alat, tenaga, dan juga keperluan yang akan dibawa disesuaikan dengan
alur dan kondisi masyarakat serta medan yang akan ditempuh.
2. Melakukan tindakan yang telah direncanakan sebelumnya.
Hal ini merupakan pokok kegiatan siaga bencana yang dilakukan, segala
hal yang dipersiapkan sebelumnya, dilakukan dalam tahap ini, sampai
jangka waktu yang disepakati.
3. Evaluasi kegiatan
Setiap selesai melakukan kegiatan, perlu adanya suatu evaluasi kegiatan
yang dilakukan, evaluasi bisa dijadikan acuan, introspeksi, dan pedoman
melakukan kegiatan selanjutnya. Alhasil setiap kegiatan yang dilakukan
akan berjalan lebih baik lagi dari sebelumnya.

N. Pemulihan Korban Pasca Bencana

Penanganan korban stres akibat bencana memang tidak mudah.


Pengalaman traumatis karena bencana telah menggoncangkan dan
melemahkan pertahanan individu dalam menghadapi tantangan dan kesulitan
hidup sehari-hari. Apalagi kondisi trauma, kondisi fisik dan mental, aspek
kepribadian masing-masing korban tidak sama.

Masyarakat yang menjadi korban dari suatu bencana cenderung


memiliki masalah penyesuaian perilaku dan emosional. Perubahan mendadak
sering membawa dampak psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi

19
oleh para korban tersebut dapat mengubah pandangan mereka tentang
kehidupan dan menyebabkan tekanan pada jiwa mereka.

Munculnya gejala-gejala stres, seperti rasa takut, cemas, duka cita


yang mendalam, tidak berdaya, putus asa, kehilangan kontrol, frustrasi
sampai depresi semuanya bermuara pada kemampuan individu dalam
memaknai suatu musibah secara lebih realistis. Gejala-gejala tersebut adalah
reaksi wajar dari pengalaman yang tidak wajar. Tentunya hal ini tidak bisa
dibiarkan begitu saja. Mereka memerlukan cara yang tepat untuk mengatasi
masalah yang dialami

Dalam hal ini, konsep coping merupakan hal yang penting untuk
dibicarakan. Konsep coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental
maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau
meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan
kata lain, coping merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk
menanggani dan menguasai situasi yang menekan akibat dari masalah yang
sedang dihadapinya. Beragam cara dilakukan. Namun, semua bermuara pada
perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam
dirinya.

Ketika seseorang tertimpa suatu musibah, biasanya ia akan mendekat


kepada Tuhan dengan meningkatkan ibadah dan perbuatan baik lainnya. Hal
ini diperlihatkan oleh sebagian besar rakyat Bantul yang mengaku tawakal
dengan memasrahkan segalanya kepada Tuhan. Ekspresi sikap pasrah itu
gampang dijumpai di lokasi bencana, “Matur nuwun, Gusti, kawula tasih
dipunparingi keselametan...” (Terima kasih, Tuhan, saya masih diberi
keselamatan).

Mereka bersyukur masih diberi keselamatan. Pengalaman tersebut


menjadikan mereka semakin dekat kepada Tuhan. Idealnya, mereka harus
memaknai bencana sebagai sebuah musibah, bukan petaka atau azab.
Bencana gempa ditafsirkan sebagai peringatan keras Tuhan kepada manusia
yang telah lama berkubang dalam dosa dan dusta. Karena itu, sebagai sebuah

20
musibah, bencana bukan akhir segala-galanya. Bencana dapat diubah menjadi
sesuatu yang memiliki makna, bukan kesia-siaan apalagi keterkutukan.

Korban bencana yang tingkat spiritualitasnya tinggi akan menjadikan


mereka senantiasa hidup dalam nuansa keimanan kepada Tuhan. Mereka akan
memaknai aktivitasnya dalam kehidupan ini sebagai ibadah kepada Tuhan.
Mereka pun akan semakin tegas dan konsisten dalam sikap dan langkah
hidupnya serta semakin terikat dengan aturan Sang Pencipta dengan perasaan
ridha dan tenteram. Perasaan itu akan menjadikannya kuat dalam menghadapi
segala persoalan hidup. Mereka dapat mengambil hikmah atas musibah yang
menimpanya, tidak putus asa, dan menjadikan hambatan-hambatan yang
ditemui pasca-bencana sebagai tantangan untuk memulai kehidupan baru.
Mereka menganggap bahwa bencana bukan akhir dari segalanya. Bencana
bisa diubah menjadi suatu pengalaman positif yang memiliki makna.

Identitas spiritual dibutuhkan individu dalam mengkonstruksi makna


atas pengalaman hidup. Dengan adanya kepercayaan pribadi untuk
memberikan makna luar biasa kepada realitas kehidupan, agama akan mampu
mengarahkan individu untuk memberikan penerimaan tulus atas musibah
yang terjadi. Kondisi tersebut memungkinkan individu untuk memaknai
kembali hidupnya dengan membuat perencanaan atas setiap kemungkinan
yang terjadi setelah mengalami musibah untuk mencapai suatu tujuan tertentu
pada masa yang datang.

Robert A. Emmons (2000) mengungkapkan bahwa spiritualitas


bermanfaat dalam upaya untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam
kehidupan. Spiritualitas dapat memprioritas-ulangkan tujuan-tujuan
(reprioritization of goals). Terlebih lagi, pribadi yang spiritual lebih mudah
menyesuaikan diri pada saat menangani kejadian-kejadian traumatis. Mereka
pun lebih bisa menemukan makna dalam krisis traumatis dan memperoleh
panduan untuk memutuskan hal-hal tepat apa saja yang harus dilakukan .

O. Terapi Psiko-Sosial

21
Tuhan menciptakan manusia dengan segenap keunikan. Sejak ia
dilahirkan, manusia memiliki potensi yang meliputi sisi psikologis, sosial,
dan spiritual. Menurut Hanna Djumhana Bastaman (1995), untuk dapat
memahami manusia seutuhnya, baik dalam keadaan sehat maupun sakit,
pendekatan yang digunakan mestinya tidak lagi memandang manusia sebagai
makhluk bio-psiko-sosial (jasmani, psikologis, dan sosial), melainkan
manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual (jasmani, psikologis,
sosial, dan spiritual).

Secara eksplisit, Ralph L. Piedmont (2001) memandang spiritualitas


sebagai rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait); kekuatan
emosional umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam
tingkah laku individu. Sementara itu, Susan Folkman, dkk (1999)
mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu bagian dalam diri seseorang yang
menghasilkan arti dan tujuan hidup, yang terungkap dalam pengalaman-
pengalaman transendental individu dan hubungannya dengan ajaran-ajaran
ketuhanan (universal order).

Inayat Khan dalam bukunya Dimensi Spiritual Psikologi menyebutkan


bahwa kekuatan psikis yang dimiliki oleh seseorang dapat dikembangkan
melalui olah spiritual yang dilakukan melalui beberapa tahapan.

Pertama, berlatih melakukan konsentrasi. Dengan konsentrasi, seseorang


dapat memiliki kekuatan dan inspirasi karena berada dalam kondisi terpusat
serta tercerahkan. Melalui konsentrasi pula, seseorang belajar dan berlatih
untuk menguasai dirinya.

Kedua, berlatih mengungkapkan hasil konsentrasi melalui pikiran. Artinya,


setelah seseorang mendapatkan hasil dalam konsentrasi, maka ia harus berani
mengungkapkan hasil konsentrasi tersebut dalam ungkapan-ungkapan yang
sederhana melalui kekuatan pikiran. Kekuatan pikiran ini nantinya akan
mempengaruhi kekuatan perasaan yang dimiliki. Ketahuilah, sesungguhnya
perasaan adalah ruh pemikiran, sebagaimana ucapan adalah ruh suatu

22
tindakan. Karena itu, konsentrasi merupakan hal penting untuk
mengembangkan kekuatan psikis seseorang.

Ketiga, agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis, seseorang harus


memiliki kekuatan tubuh (kesehatan fisik). Artinya, orang yang sehat
umumnya memiliki pernafasan dan sirkulasi darah yang teratur dan lancar,
sehingga memberikan efek bagi kemampuan mengekspresikan dirinya.

Keempat, berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam berpikir.


Artinya, seseorang yang terbiasa mengembangkan kebiasaan-kebiasaan buruk
dalam berpikir, seperti khawatir, cemas, takut, atau ragu tentang sesuatu, akan
mengurangi daya kekuatan dalam mengekspresikan diri. Tentang hal ini, saya
teringat pada kata-kata yang diungkapkan oleh seorang pegiat pelatihan
manajemen diri di sebuah seminar yang pernah saya ikuti. Kata beliau,
“Pikiranmu adalah awal dari perkataanmu. Perkataanmu adalah awal dari
perbuatanmu. Perbuatanmu adalah awal dari kebiasaanmu. Kebiasaanmu
adalah awal dari karaktermu. Karaktermu adalah takdirmu.”

Kelima, berlatih mengumpulkan kekuatan psikis yang selanjutnya digunakan


untuk bertindak. Artinya, hasrat dan daya tarik kekuatan psikis yang dimiliki
seseorang harus ditunda sebelum betul-betul terkumpul dan berkembang
melimpah. Saat itulah kekuatan psikis mampu dimanfaatkan untuk menolong
diri sendiri maupun orang lain. Kekuatan psikis yang timbul dari energi
spiritual bagaikan mata air yang tercurah, melimpah secara konstan dan
stabil. Karna itu, tinggal pemanfaatannya tergantung pada kesediaan dan
kemauan seseorang untuk mengumpulkan dan mengembangkannya menjadi
energi yang bersifat menyembuhkan (terapeutik).

Sebuah penelitian bertajuk “Religion and Spirituality in Coping with


Stress” yang dipublikasikan oleh Journal of Counseling and Values beberapa
tahun lalu, menunjukkan bahwa semakin penting spiritualitas bagi seseorang,
maka semakin besar kemampuannya dalam mengatasi masalah yang
dihadapi. Penelitian ini menyarankan bahwa spiritualitas bisa memiliki peran
yang penting dalam mengatasi stres. Spiritualitas bisa melibatkan sesuatu di

23
luar sumber-sumber yang nyata atau mencari terapi untuk mengatasi situasi-
situasi yang penuh tekanan di dalam hidup.

Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana kondisi


spiritualitas para korban pasca-bencana. ada hubungan positif yang sangat
signifikan antara spiritualitas dengan proactive coping pada korban bencana .
Semakin tinggi tingkat spiritualitas, semakin baik pula proactive coping yang
dilakukan oleh korban. Konsep proactive coping diarahkan oleh sikap yang
proaktif. Sikap tersebut merupakan kepercayaan yang relatif terus menerus
ada pada setiap individu. Di mana apabila terjadi perubahan-perubahan yang
berpotensi mengganggu keseimbangan emosional individu, maka sikap
tersebut mampu memperbaiki diri dan lingkungannya.

Terapi psiko-spiritual ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan


penyadaran diri (self awareness), tahapan pengenalan jati diri dan citra diri
(self identification), dan tahapan pengembangan diri (self development). Pada
fase penyadaran diri, para korban akan melalui proses pensucian diri dari
bekasan atau hal-hal yang menutupi keadaan jiwa melalui cara penyadaran
diri, penginsyafan diri, dan pertaubatan diri. Fase ini akan menguak hakikat
persoalan, peristiwa, dan kejadian yang dialami oleh para korban. Pun
menjelaskan hikmah atau rahasia dari setiap peristiwa tersebut.

Selanjutnya, pada fase pengenalan diri, para korban akan dibimbing


kepada pengenalan hakikat diri secara praktis dan holistik dengan
menanamkan nilai-nilai ketuhanan dan moral. Melalui fase ini, individu
diajak untuk menyadari potensi-potensi yang ada di dalam dirinya. Setelah
diidentifikasi, pelbagai potensi itu perlu segera dimunculkan. Kemudian
mengelola potensi diri yang menonjol tersebut agar terus berkembang dan
dicoba untuk diaktualisasikan. Adalah sebuah riwayat yang menyebutkan,
“Barangsiapa 7mengenal dirinya, maka dia pun akan mengenal Tuhannya.”

Terakhir, pada fase pengembangan diri, para korban akan didampingi


dan difasilitasi untuk tidak hanya sehat fisikal, namun juga sehat mental dan
spiritual. Kesehatan mental terwujud dalam bentuk keharmonisan yang

24
sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan
untuk menghadapi masalah yang terjadi, dan merasakan secara positif
kebahagiaan dan kemampuan dirinya. Adapun kesehatan spiritual mencakup
penemuan makna dan tujuan dalam hidup seseorang, mengandalkan Tuhan
(The Higher Power), merasakan kedamaian, dan merasakan hubungan dengan
alam semesta.

Harapannya, terapi psiko-spiritual akan memberikan penerimaan yang


tulus atas musibah yang menimpa para korban gempa. Selain itu, terapi ini
dapat pula mengurangi kesedihan dan tekanan psikologis, serta membantu
para korban dalam menemukan makna yang positif.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bencana alam merupakan sebuah musibah yang tidak dapat diprediksi kapan
datangnya. Apabila bencana tersebut telah datang maka akan menimbulkan
kerugian dan kerusakan yang membutuhkan upaya pertolongan melalui
tindakan tanggap bencana yang dapat dilakukan oleh perawat.

Adapun peran serta mahasiswa keperawatan dalam menolong korban bencana


dikelompokkan menjadi 4 yaitu :

1. Peran dalam Pencegahan Primer

2. Peran dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)

3. Peran di dalam posko pengungsian dan posko bencana

4. Peran dalam fase postimpact

25
7DAFTAR PUSTAKA

http://susansutardjo.blogdetik.com/tag/dampak-psikologis-terhadap-korban-bencana-
alam/
psikologi.or.id/.../sumbangan-psikologi-klinis-terhadap-bencana.pdf
http://kabarinews.com/psikosomatik-banyak-diderita-oleh-masyarakat-korban-
bencana-alam/36556
http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter_14.pdf
http://altanwir.wordpress.com/2008/02/14/karakter-psikososial-korban-bencana/
http://dppm.uii.ac.id/dokumen/prosiding/2f_Artikel_rumiani.pdf.dppm.uii.ac.id.pdf
http://sururudin.wordpress.com/2011/04/13/penanganan-psikiatris-pada-korban-pasca-
bencana/
http://radenandriansyah.blogdetik.com/penanganan-bencana/macam-macam-bencana/

26
27

Anda mungkin juga menyukai