Anda di halaman 1dari 11

Hukum Adat adalah hukum yang berlaku dan berkembang dalam lingkungan masyarakat di

suatu daerah. Di Indonesia, salah satu hukum yang merupakan pencerminan kepribadian bangsa
adalah hukum adat, yang merupakan penjelmaan jiwa bangsa tersebut dari abad ke abad. Adat
yang dimiliki oleh daerah-daerah adalah berbeda-beda, meskipun dasar serta sifatnya satu yaitu
ke-Indonesiaannya. Oleh karena itu adat bangsa Indonesia dikatakan merupakan Bhinneka
Tunggal Ika, yang artinya berbeda- beda, tetapi tetap satu. Adat tersebut selalu berkembang dan
senantiasa mengikuti perkembangan masyarakat dan erat hubungannya dengan tradisi rakyat.
Dengan demikian adat merupakan endapan (renapan) kesusilaan dalam masyarakat, yang
kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat tersebut.
Adat istiadat pada hakikatnya sudah ada pada zaman kuno, yakni pra masuknya agama
Hindu ke Indonesia. Pada waktu itu adat yang berlaku adalah adat-adat Melayu–Polinesia. Lambat
laun kultur Islam dan Kristen juga mempengaruhi kultur asli. Pengaruh kultur- kultur pendatang
tersebut di atas adalah sangat besar sehingga akhirnya kultur asli yang sejak lama menguasai tata
kehidupan masyarakat Indonesia itu tergeser, dan adat yang berlaku adalah merupakan akulturasi
antara adat asli dengan adat yang dibawa oleh agama Hindu, Islam dan Kristen. Dengan demikian
dalam perkembangan hukum adat pun di masyarakat sangatlah dipengaruhi oleh ketiga agama
tersebut di atas.
Hukum adat merupakan hukum yang tumbuh dari kesadaran masyarakat, yang merupakan
pencerminan dari cita rasa dan akal budi budaya bangsa.Dalam perkembangan dan pembangunan
di bidang hukum, sering timbul pernyataan, apakah dalam pembentukannya akan menggunakan
bahan-bahan hukum adat, yang merupakan hukum sendiri, atau malahan menggunakan hukum
dari luar (asing).
Ada sebagian para sarjana yang meragukan tentang kemampuan hukum adat untuk
dijadikan dasar atau landasan hukum nasional. Pendapat ini didasarkan pada pendapat dan
argumentasi bahwa hukum adat adalah hukum kuno, dan sering disebut hukum primitif, yang
hanya cocok untuk digunakan pada masyarakat yang terbelakang. Pendapat ini menimbulkan
konsekwensi bahwa hukum adat tidak sesuai lagi bilamana digunakan sebagai hukum
bagi masyarakat peradaban modern. Apalagi jika diberlakukan pada era globalisasi saat ini,
dimana hubungan masyarakat antar negara tidak lagi ada pembatasan.
Ada beberapa pengertian mengenai Hukum Adat. Menurut Hardjito Notopuro Hukum Adat
adalah hukum tak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman
kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan
bersifat kekeluargaan. Soepomo, Hukum Adat adalah sinonim dari hukum tidak tertulis didalam
peraturan legislatif, hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan negara (parleman, dewan
Provinsi, dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan
dalam pergaulan hidup, baik di kota mauun di desa-desa.
Menurut Cornelis van Vollennhoven Hukum Adat adalah himpunan peraturan tentang
perilaku bagi orang pribumi dan Timur Asing pada suti pihak mempunyai sanksi (karena
bersifat hukum), Hukum adat merupakan hukum yang tumbuh dari kesadaran masyarakat, yang
merupakan pencerminan dari cita rasa dan akal budi budaya bangsa.
Dalam perkembangan dan pembangunan di bidang hukum, sering timbul pernyataan, apakah
dalam pembentukannya akan menggunakan bahan-bahan hukum adat, yang merupakan hukum
sendiri, atau malahan menggunakan hukum dari luar (asing). Ada sebagian para sarjana yang
meragukan tentang kemampuan hukum adat untuk dijadikan dasar atau landasan hukum
nasional. Pendapat ini didasarkan pada pendapat dan argumentasi bahwa hukum adat adalah
hukum kuno, dan sering disebut hukum primitif, yang hanya cocok untuk digunakan pada
masyarakat yang terbelakang. Pendapat ini menimbulkan konsekwensi bahwa hukum adat
tidak sesuai lagi bilamana digunakan sebagai hukum bagi masyarakat peradaban modern.
Apalagi jika diberlakukan pada era globalisasi saat ini, dimana hubungan masyarakat antar negara
tidak lagi ada pembatasan.
Hukum Adat merupakan sebuah aturan yang tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun
tetap ditaati dalam masyarakat karena mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak ditaati. Dari
pengertian Hukum Adat yang diungkapkan diatas, bentuk Hukum Adat sebagian besar adalah
tidak tertulis. Padahal, dalam sebuah negara hukum, berlaku sebuah asas yaitu asas legalitas.
Asas legalitas menyatakan bahwa tidak ada hukum selain yang dituliskan di dalam hukum. Hal
ini untuk menjamin kepastian hukum. Namun di suatu sisi bila hakim tidak dapat menemukan
hukumnya dalam hukum tertulis, seorang hakim harus dapat menemukan hukumnya dalam
aturan yang hidup dalam masyarakat. Diakui atau tidak, namun Hukum Adat juga mempunyai
peran dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia.
Hal ini tidak memberikan tenpat secara formil hukum adat sebagai sumber hukum
perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum adat yang secara formal
diakui dalam perundang- undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, secara eksplisit tidak ada satu pasal pun yang
menyatakan berlakunya hukum adat di Indonesia. Hal ini berbeda apabila dibandingkan
dengan Konstitusi RIS, yang secara konstitusional dapat diketemukan pasal-pasal yang
merupakan landasan hukum berlakunya hukum adat, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 146
ayat (1) yang menyatakan bahwa keputusan kehakiman harus berisi alasan-alasan dan dalam
perkara hukuman harus menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan hukum adat yang
dijadikan dasar hukuman itu. Pasal 146 ayat (1) Konsitusi RIS tersebut ditegaskan kembali dalam
pasal 104 (1) Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Pada masa sekarang konfigurasi hukum telah berubah dan hukum adat adalah bagian
organik dari hukum negara. Realisasi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang diatur di dalam pasal 25 ayat (1) yang
menyatakan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Pasal tersebut diperkuat oleh
pasal 28 yang menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dari 2 (dua) pasal tersebut di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa secara implisit hukum
adat dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam mengadili dan memutus perkara di pengadilan,
karena yang dimaksud sumber hukum tidak tertulis dalam pasal 25 ayat (1) adalah hukum adat.
Dan yang dimaksud dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat, salah satunya
adalah hukum adat, dengan asumsi bahwa hukum adat adalah hukum yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat. Kedua pasal tersebut memberikan kewenangan kepada hakim
dalam memutus perkara dengan mendasarkan pada hukum adat.
A. Hukum adat tertulis
1. Hukum Adat dan Hukum Agraria
Salah satu realisasi pemikiran penggunaan hukum adat sebagai landasan Hukum
Nasional tercermin dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok
Agraria, atau yang lazim disebut sebagai UUPA. Di dalam pasal 5 Undang-Undang tersebut
dinyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa, berlaku hukum
adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Di dalam hubungannya dengan
konsep atau pengertian hukum adat, perumus UUPA mengartikan hukum adat sebagai “hukum
yang asli” yang sesuai dengan kesadaran hukum rakyat banyak. Hanya saja UUPA tidak
menjelaskan hukum adat yang akan dijadikan dasar, mengingat di Indonesia tiap daerah
memiliki adatnya masing-masing.
Jadi berdasarkan ketentuan pasal 5 UUPA, untuk hukum agraria berlaku hukum adat
mengenai tanah. Artinya bahwa segala masalah hukum mengenai tanah harus diselesaikan
menurut ketentuan-ketentuan hukum adat. Namun walaupun menjadi dasar dari hukum agraria
nasional, tidak semua hukum tanah adat yang asli secara langsung dijadikan dasar melainkan
hukum adat yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Dan sebelum
dijadikan dasar UUPA, Hukum adat tanah terlebih dahulu harus disesuaikan dan disempurnakan
dalam hubungannya dengan negara modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional.
Oleh karena itu hukum adat yang dijadikan dasar hukum agraria nasional adalah hukum adat
yang telah di-saneer, yang berarti telah dibersihkan cela-celanya serta ditambah kekurangan-
kekurangannya supaya dapat berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
Hukum adat sebagai dasar pembentukan hukum agraria nasional menghadapi kendala-
kendala tertentu, yang berkait dengan sifat pluralisme hukum adat, dimana masing-masing
masyarakat adat mempunyai hukum adatnya sendiri-sendiri, yang tentu saja di dalamnya terdapat
perbedaan. Untuk itu dicari persamaan- persamaannya yaitu dengan merumuskan azas-
azas/konsepsi lembaga hukum atau sistem hukumnya. Hal-hal inilah yang diambil dalam hukum
adat untuk dijadikan dasar utama dalam penbentukan hukum agraria nasional, sehingga hukum
agraria nasional dapat bercorak sederhana dan dapat menjamin kepastian hukum.
2. Hukum Adat dan Hukum Harta Perkawinan
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin. antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut salah satu faktor yang
menentukan adalah dibutuhkan suatu kekayaan duniawi guna mencukupi keperluan hidup
bersama-sama, yang nantinya akan dipergunakan oleh suami isteri untuk membiayai ongkos
kehidupan mereka beserta anak- anaknya. Kekayaan duniawi tersebut populer dengan istilah
“harta perkawinan”.
Salah satu materi hukum adat asli yang dimasukkan dalam Undang-Undang perkawinan
adalah pengaturan hukum harta perkawinan. Secara garis besar dalam hukum adat parental, harta
perkawinan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu harta asal dan harta bersama.24 Pengaturan harta
perkawinan menurut hukum adat tersebut kemudian dituangkan dalam pasal 35 Undang-Undang
Perkawinan yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama. Pasal tersebut dipertegas lagi oleh pasal 37 yang menyatakan bahwa bila
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing- masing.
Karenanya, di dalam praktik di masyarakat, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing
dalam membagi harta, salah satunya adalah hukum adat tentang harta perkawinan.
Menurut hukum adat di Indonesia, apabila terjadi perceraian maka harta bersama pada
umumnya dibagi antara suami isteri, yang pada umumnya masing-masing menerima setengah
bagian. Namun di beberapa daerah mempunyai kebiasaan yang berbeda, misalnya di daerah Jawa
Tengah dikenal asas sagendong sapikul, yang artinya suami memperoleh dua pertiga dan isteri
memperoleh sepertiga. Di pulau Bali dikenal asas sasuhun sarembat, yang membagi harta
bersama seperti yang berlaku di daerah Jawa Tengah tersebut. Sesudah perang dunia kedua,
perkembangan menunjukan bahwa kebiasaan sagendong sapikul dan sasuhun sarembat di atas
lambat laun. tidak berlaku, dengan semakin tumbuhnya keinsyafan atas persamaan hak antara
wanita dan pria, sebagaimana keputusan Mahkamah Agung No. 387 K/Sip./1958, tanggal 25
Pebruari 1959, yang menyatakan bahwa di Jawa Tengah, seorang janda mendapat separuh dari
harta gono-gini. Perubahan ini merupakan bukti bahwa hukum adat bersifat dinamis, sehingga
ketika keadaan suatu masyarakat berubah, maka akan terjadi perubahan juga terhadap hukum
adatnya.
3. Hukum Adat Dalam Konsitusi.
Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita
pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada
sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum
adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan
kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat
(1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang disebut
Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara
tradisional diakui dalam hukum adat. Dalam konsitusi RIS pasal 146 ayat 1 disebutkan bahwa segala
keputusan kehakiman harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara harus menyebut aturan-
atiuran undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukum itu Selanjutnya
dalam UUD Sementara, pasal 146 ayat 1 dimuat kembali. Dengan demikian hakim harus menggali
dan mengikuti perasaaan hukumd an keadilan rakyat yangs enantiasa berkembang. Dalam pasal
102 dan dengan memperhatikan ketentuan pasal 25 UUDS 1950 ada perintah bagi penguasa
untuk membuat kodifikasi hukum. Maka hal ini termasuk di dalamnya hukum adat. Perintah
kodifikasi ini pada hematnya juga berlaku pula terhadap hukum adat, dan perintah kodifikasi ini
merupakan pertama kalinya disebtkan di dalam Peraturan Perundang- Undangan Republik
Indonesia yang mengatur ketentuan terhadapa kodifikasi hukum adat, walaupun dalam
kenyatannya belum dapat dilaksanakan.
Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 dimbali berlaku, ada 4 pokok pikiran
dalam pembukaan UUD1945, yaitu persatuan melipouti segenap bangsa Indonesia, hal ini
mencakup juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah
negara hendak emwujdukan keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. Maka azas-
azas fungsi sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting untuk
diwujdukan dan disesusikan dengan dengan tuntutan dan perekembangan amsyarakat, dengan tetap
bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : negara mewujdukan kedaulatan rakyat,
berdasar atas kerakyatamn danm permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat
fondamental dan penting, adanya persatuan perasahaan antara rakyat dan pemimpinnya, artinya
pemimpin harus menantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan hukum, perasaaan politik dan
menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan kepentingan umum melalui kepngambilan
kebijakan publik.Dalam hubungan itu maka ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpoin
publik yanhg memilikiw atak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus
dan berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan
yang Maha Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan harus senantiasa dikaitkan
fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara hanya semata-mata
sebagai sarana membawa manusia dan masyarakatnya sebagai fungsinya harus sebabtiasa dengan
visi dan niat memperoleh ridho Tuhan yang maha Esa. Namun setelah amandemen konstitusi,
hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 18D ayat
2 menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Memahami rumusan pasal 18 d UUD 1945 tersebut maka:


1. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya ;
2. Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;
3. Sesuai dengan perkembangan masyarakat;
4. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
5. Diatur dalam undang-undang.

Maka konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi
syarat:
1. Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat;
2. Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan
keberlakuan diatur dalam undang-undang;

B. Hukum Adat Tidak Tertulis


1. Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat suatu
daerah dan akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum adat yang
telah diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh karena
itu, keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak dapat
dipungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah
hukum yang tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat.
2. Hukum Adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga
masyarakat yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat-
istiadatnya dan pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional.
Berbicara mengenai hukum tak tertulis erat dengan keberadaan suatu masyarakat. Karena
hukum tak tertulis lahir dan terbentuk dalam masyarakat. Masyarakat adalah sekumpulan orang
yang terdiri dari berbagai macam individu yang menempati suatu wilayah tertentu dimana di
dalamnya terdapat berbagai macam fungsi-fungsi dan tugas-tugas tertentu. Masyarakat dapat
terbentuk akibat kesamaan genalogis, kultur, budaya, agama,atau karena ada di suatu teritori yang
sama. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengartikan masyarakat adat sebagai
“kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun temurun di wilayah geografis
tertentu serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri”.
Secara lebih sederhana kita bisa katakan bahwa masyarakat adat terikat oleh hukum adat,
keturunan dan tempat tinggal.

Keterikatan akan hukum adat berarti bahwa hukum adat masih hidup dan dipatuhi dan ada
lembaga adat yang masih berfungsi antara lain untuk mengawasi bahwa hukum adat memang
dipatuhi. Walaupun di banyak tempat aturan yang berlaku tidak tertulis, namun diingat oleh
sebagian besar masyarakatnya.

Hukum Adat secara historis empiris dapat ditelusuri bahwa hukum adat selalu dipatuhi oleh
warga masyarakat karena adanya sistem kepercayaan yang amat berakar dalam hati warganya,
sehingga mampu mengendalikan perilaku dan perbuatan para pemeluknya dari sifat-sifat negatif.
Disamping itu juga karena secara material dan formal, hukum adat berasal dari masyarakat itu
sendiri, atau merupakan kehendak kelompok. Oleh karena itu, kepatuhan hukum itu akan tetap ada
selama kehendak kelompok diakui dan di junjung tinggi bersama, karena kehendak kelompok
inilah yang menyebabkan timbul dan terpeliharanya kewajiban moral warga masyarakat.

Hukum adat sebagai hukum tak tertulis juga memiliki kekurangan dan kelebihan
sebagaimana manusia itu sendiri. Karena bagaimanapun juga karena hukum tak tertulis merupakan
bentukan manusia.

a. Kelebihan
 Responsive
 Tidak kaku
 Sesuai dengan rasa keadilan

b. Kelemahan
 Kurangnya kepastian hukum
 Terus berubah-ubah

Memang selama ini aturan tidak tertulis sering dianggap tidak menjamim kepastian hukum
karena dalam menyelesaikan suatu masalah aturan yang dipakai dapat diterapkan berbeda. Lain
dengan undang-undang yang memperlakukan semua orang sama dihadapan hukum. Padahal hal
tersebut belum tentu baik, tidak selamanya seseorang melakukan perbuatan dengan motif dan alas
an yang sama. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh hukum tertulis.

Hukum tak tertulis sering dianggap tidak konsisten karena dapat berubah sewaktu-waktu
sesuai kepentingan yang menghendakinya. Bagi kami hal ini sangat bagus karena akan menjamin
rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum tertulis selama ini selalu tertinggal dari fenomena yang
muncul dalam masyarakat. Untuk itulah hukum tak tertulis melakukan back up terhapad undang-
undang.

Dalam kaitannya dengan kesadaran dan kepatuhan hukum, terdapat perbedaan yang cukup
mendasar antara hukum adat dengan hukum positif. Kesadaran masyarakat adat terhadap norma-
norma baik dan buruk adalah secara sukarela sebagai akibat adanya kewajiban moral tadi,
sedangkan kesadaran hukum manusia modern adalah karena adanya sifat memaksa dari hukum
tersebut. Dengan demikian, kepatuhan hukum masyarakat modern-pun bukan karena di junjung
tingginya aturan-aturan hukum, tetapi lebih disebabkan oleh ketakutan terhadap sanksi atau
ancaman yang diberikan oleh hukum.

Pada dasarnya hukum adat dipatuhi karena:

1. Hukum adat berasal dari masyarakat itu sendiri. Konsekwensinya adalah masyarakat harus
mematuhi aturan tersebut.
2. Sesuai dengan jiwa dan rasa keadilan yang dimiliki oleh masyarakat
3. Memiliki akibat hukum yang apabila tidak ditaati akan menimbulkan sanksi bagi para
pelakunya.
Walaupun tidak tertulis namun hukum adat mempunyai akibat hukum terhadap siapa saja
yang melanggarnya. Norma-norma dan nilai-nilai yang ada di dalam hukum adat sangat dipatuhi
dan dipegang teguh oleh masyarakat adat.

Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang
dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak
tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis.
HUKUM ADAT TERTULIS DAN TIDAK
TERTULIS

DI SUSUN OLEH:

Kelompok 1
NAMA : Sri Alica Wijaya NPM :175114003
Ella Siska Noviana 175114

KELAS : III- O (malam)

UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL-


WASHLIYAH MEDAN
T.A 2017 – 2018

Anda mungkin juga menyukai