Karena “plus” di dalam metode cost-plus biasanya adalah persentase tertentu dari
biaya, maka ketika biaya ini diturunkan melalui implementasi target-costing, “plus”, sales
price, dan total profit juga berubah sehingga menyimpang dari target yang dikehendaki oleh
manajemen puncak. Fakta ini merupakan masalah yang muncul ketika target-costing dan
cost-plus pricing method dikombinasikan, yang mana kombinasi dari keduanya memicu
beberapa komplikasi yang kurang diperhatikan dalam literatur akuntansi manajemen
tradisional.
Ada dua metode yang dikenal dalam target-costing, yakni metode additive dan
metode deductive. Di dalam metode additive, kita menemukan target cost (TC) dengan
menjumlahkan biaya komponen 1, biaya komponen 2, dan seterusnya untuk produk i,
sehingga didapatkan target cost (TC). Dengan kata lain, metode additive fokus kepada
komponen individual dari sebuah produk. Dengan menurunkan sebagian biaya komponen
produk, dan menaikkan biaya komponen lain, perusahaan dapat menurunkan biaya produk
secara keseluruhan sembari meningkatkan desain produk.
TCi = Pi – mi
Pi dalam equation di atas dalam cost-plus pricing method ditentukan melalui equation
berikut:
Pi= Ci + rCi
Di mana dalam equation di atas, Ci merupakan biaya. Biaya ini dapat berupa full
manufacturing cost, prime costs, atau variable manufacturing costs. Full manufacturing cost
merupakan biaya yang populer digunakan dalam metode cost-plus. Namun kami pribadi,
lebih prefer jika Ci merupakan prime costs atau variable manufacturing costs, sebab
penggunaan kedua biaya tersebut dalam pengaplikasian target-costing lebih kondusif.
Perusahaan seperti Toyota memilih untuk menggunakan prime costs yang terdiri dari direct
material dan direct labor costs sebagai alternatif basis untuk product pricing dan
pengaplikasian dari target-costing, yang mana dengan cara demikian, dapat mencegah
kesulitan dalam mengalokasikan indirect variable dan indirect fixed costs. Penggunaan
prime-costs dalam pengaplikasian target-costing dikenal dengan istilah engineering target-
costing. Sementara penggunaan variable manufacturing costs, yang terdiri dari direct
materials, direct labor, dan varible manufacturing overhead oleh banyak perusahaan Jepang
dikenal dengan istilah the variable manufacturing target-costing system. Dalam penggunaan
variable manufacturing cost, sudah tentu kita mengeluarkan fixed manufacturing costs dari
pengaplikasian target-costing, sebab fixed manufacturing costs mencerminkan dana yang
signifikan yang dikomitmenkan untuk jangka panjang, yang meng-cover kapasitas produksi
keseluruhan sebuah plant atau division. Di samping itu, Fixed-manufacturing costs bukan
merupakan subjek dari value-engineering.
𝑪+𝑴
𝑷 = 𝑻𝑪 (𝟏 + )
𝑻𝑪(𝑸)
Markup r terdiri dari dua komponen utama, yakni: (1) biaya-biaya selain variable
manufacturing costs, termasuk fixed manufacturing costs dan downstream (administrative
dan marketing) expenses dan (2) target profit.
Pada akhirnya, jika harus dihadapkan pada pilihan apakah akan menggunakan metode
additive dan deductive, kami akan memilih metode deductive. Meskipun metode deductive
tampak sulit untuk diaplikasikan pada cost-plus pricing companies, karena dalam metode
cost-plus, penentuan price merupakan tujuan utama, sementara metode deductive
membutuhkan price untuk menentukan biaya target. Akan tetapi, metode ini secara overall
lebih baik dari metode additive karena dua alasan (1) menghubungkan biaya target dengan
target profit yang ditentukan manajemen puncak, dan (2) lebih sesuai dengan mekanisme
value engineering, yang mana berhubungan dengan koneksi antara biaya dengan profit yang
sudah ditentukan terlebih dahulu. Interdependency variables dan masalah-masalah lain yang
tampak sukar diatasi dalam metode ini pada akhirnya dapat diatasi melalu sensitivity analysis.