Anda di halaman 1dari 7

Nama : Indri Febriani

Prodi/Offering : Biologi/H

NIM : 190342621216

Ringkasan Bab X, XI dan XII

Buku Filsafat Umum Dari Metologi Sampai Teofilosofi

oleh Drs. Atang Abdul Hakin, M.A. dan Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si.

BAB X
POSITIVISME
AUGUSTE
COMTE
A. Riwayat Hidup Auguste Comte
Pentingnya menguraikan biografi Auguste Comte dengan tujuan mengambil
serpihan latar belakang dirinya sehingga mewujudkan pandangan melalui positivisme.
Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Perancis tahun 1798. Keluarganya
beragama Katholik yang berdarah bangsawan. Meskipun demikian, Auguste Comte
tidak terlalu peduli dengan kebangsawanannya. Auguste Comte memulai karir
profesionalnya dengan memberi les dalam bidang matematika. Auguste Comte juga
membangun kerja sama dengan Saint Simon. Kepribadian dua orang ini saling
melengkapi: Saint Simon seorang yang tekun, aktif, bersemangat dan tidak disiplin.
Sedangkan Auguste Comte, seorang yang metodis, disiplin dan refleksif. Kondisi
ekonomi Auguste Comte terbilang pas-pasan dan hampir terus-menerus hidup miskin.
Di akhir hayatnya, dia hidup dari pemberian orang-orang yang mengaguminya dan
pengikut agama humanitasnya.
Tahun 1844, dua tahun setelah Auguste Comte menyelesaikan enam jilid karya
besarnya yang berjudul Course of Positive Philosophy, Comte bertemu dengan
Clothilde de Vaux, seorang ibu yang mengubah hidup Auguste Comte. wanita yang
memberikan nilai-nilai kehidupan pada Auguste Comte. Comte mengharapkan bahwa
ahli sosiologi lainnya akan mengikuti bimbinginnya dengan berperan sebagai
penjaga-penjaga moral dan iman-iman, dengan memberiakn pengarahan pada
pemimpin politik.
Sumbangan kreatif khas dari Auguste Comte terhadap perkembangan filsafat,
ternyata dibarengi oleh sumbangan pemikirannya terhadap sosiologi, bahkan
Martindale melihatnya sebagai suatu sintesis antara dua perspektif yang bertentangan
mengenai keteraturan sosial: positivisme dan organisme. Auguste Comte hidup di
akhir-akhir Revolusi Perancis, termasuk rangkaian pergolakan yang tampaknya
berkesinambungan, seperti pada rezim Napoleon Bonaparte, penggantian monarki,
revolusi dan periode publik. Maka tidak heran jika Auguste Comte sangat
menekankan pentingnya keteraturan sosial. Dalam pernyataannya disebutkan bahwa
masyarakat diancam oleh kekacauan intelektusl dan sosial politik maka menegakkan
kembali keteraturan atas dasar pengetahuan hukum masyarakat positif yang logis
untuk menjamin yang terus berjalan. (Paul, Jhonson, Robert MZ, Lawang, 1986:81).
B. Pengertian Positivisme
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang
dalam karya utama Auguste Comte adalah Cours de Philosophic Positivie yaitu
kursus tentang filsafat positif (1830-1842) yang diterbitkan dalam enam jilid.
Positivisme berasal dari kata “positif” yang artinya apa yang berdasarkan fakta.
Positivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah
tersebut. Ia hanyalah mengandalkan fakta belaka (Juhaya S. Pradja, 2000:89)
C. Perspektif Positivisik
Auguste Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat
alamiah sebagai puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis yang telah
dilewati oleh ilmu-ilmu lainnya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk-
bentuk pemikiran teologis purba, penjelasan metafisik dan akhirnya sampai
terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif. Keatuan ilmu diperlihatkan menurut
Auguste Comte, semua ilmu itu memperlihatkan hukum perkembangan intelektual
yang sama, seperti tampak dalam perkembangan melalui tiga tahap pemikiran, yaitu
teologis, metafisik dan positif. Adapun gagasan dasar bahwa manusia dan gejala
sosial merupakan bagian dari alam dan dapat dianalisis dengan metode ilmu alam,
sumbangan Comte adalah memberikan suatu analisis komperehensif mengenai
kesatuan filosofis dan metodologis yang menjadi dasar antara apa yang disebut ilmu-
ilmu alam dan ilmu sosial.
D. Hukum Tiga Tahap
Meskipun perspektif teoritis Comte mencakup statika dan dinamika sosial,
(atau ahli sosiologi sekarang ini menyebutnya struktur dan perubahan), perhatian
utamanya dalam bagian pertama dari karirnya adalah menjelaskan dinamika kemajuan
sosial. Dengan keyakinan yang tinggi terhadap kepercayaan bahwa penelitian sejarah
akan mengungkapkan kemajuan manusia yang mantap, Auguste Comte menjelaskan
bahwa tujuannya yang menyeluruh adalah menjelaskan setepat mungkin
perkembangan yang besar dari umat manusia, dengan semua aspeknya yang penting,
yakni menemukan mata rantai yang harus ada dari perubahan umat manusia mulai
kondisi yang sekadar lebih tinggi daripada suatu masyarakat kera besar, secara
bertahap menuju ke tahap peradaban Eropa sekarang ini. Hukum tiga tahap
merupakan usaha Auguste Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat
manusia dan masa primitif sampai peradaban Perancis abad kesembilan belas yang
sangat maju.
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia
dan untuk analisis yang lebih terperinci. Auguste Comte membaginya ke dalam
periode fetisisme, politeisme dan monoteisme. Selanjutnya, tahap metafisik yang
merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif yang ditandai oleh satu
kepercayaan akan hukum alam yang asasi dan dapat ditemukan dengan akal budi.
Lalu yang terakhir, tahap positif yang ditandai oleh kepercayaan akan data empiris
sebagai sumber pengetahuan terakhir.
E. Prinsip-prinsip Keteraturan Sosial
Auguste Comte sangat menerima saling ketergantungan yang harmonis antara
“bagian-bagian” masyarakat dan sumbangannya terhadap bertahannya stabilitas
sosial. Analisis Auguste Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua
fase. Pertama, usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan
menggunakan metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial
sebagai suatu cita-cita yang normatif dengan menggunakan metode-metode yang
bukan tidak sesuai dengan positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan juga intelek.
F. Agama Humanitas
Wawasan Auguste Comte terhadap konsekuensi agama yang menguntungkan
dan ramalannya mengenai tahap postif postreligius dalam evolusi manusia
menghadapkan dia pada masalah yang rumit. Dengan agak sederhana, Auguste Comte
mengemukakan gagasan untuk mengatasi masalah keteraturan sosial yang dapat
dipertahankan atau tidak dalam masyarakat positif, Auguste Comte mendirikan satu
agama baru-agama Humanitas- dan mengangkat dirinya sebagai imam agung. Banyak
ahli menyetujui bahwa buku Auguste Comte yang berjudul System of Positive Politics
itu secara intelektual tidak sebaik bukunya yang terdahulu, Course of Poitive
Philosophy. Gagasan Auguste Comte mengenai satu masyarakat positivis di bawah
bimbingan moral agama Humanitas makin lama makin terperinci. Misalnya, dia
menyusun satu kalender baru dengan hari-hari tertentu untuk menghormati ilmuwan
besar dan lain-lain, yang sudah bekerja demi kemanusiaan dan kemajuan manusia.
G. Tiga Zaman Perkembangan Pemikiran Manusia
Menurut Auguste Comte, zaman yang digunakan untuk titik tolak Auguste Comte
untuk menampung tanggapannya atas perkembangan pengetahuan manusia, yaitu:
1. Zaman Teologis
Pada zaman ini, manusia percaya bahwa di belakang gejala alam terdapat kuasa
adikordati yang mengatur fungsi dan gerak gejala tersebut. Zaman teologi dibagi
menjadi tiga periode, yaitu:
a. Animisme. Merupakan tahapan paling primitif karena benda-benda dianggap
mempunyai jiwa.
b. Politeisme. Merupakan perkembangan dari tahap pertama. Pada tahap ini,
manusia percaya pada dewa yang maisng-masing menguasai suatu lapangan
tertentu; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintas dan sebagainya.
c. Monoteisme. Tahapan ini lebih tinggi daripada dua tahap sebelumnya, karena
pada tahap ini manusia hanya memandang satu Tuhan sebagai penguasa.
2. Zaman Metafisis
Pada zaman ini, kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep dan prinsip yang
abstrak, seperti “kodrat” dan “penyedap”. Metafisika pada zaman ini dijunjung
tinggi.
3. Zaman positif
Zaman ini dianggap Auguste Comte sebagai zaman tertinggi dari kehidupan
manusia. alasannya ialah zaman ini tidak ada lagi usaha manusia untuk mencari
penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta.
4. Altruisme
Altruisme merupakan ajaran Auguste Comte sebagai kelanjutan dari ajaran tiga
zaman. Altruisme diartikan sebagai “menyerahkan diri kepada keseluruhan
masyarakat”. Bahkan, bukan “salah satu masyarakat”, melainkan I’humanite –
“suku bangsa manusia” – pada umumnya. Jadi “altruisme” bukan sekedar lawan
“egoisme”. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 91)
H. Susunan Ilmu Pengetahuan
Auguste Comte membedakan ilmu pengetahuan pokok, yaitu: ilmu pasti,
astronomi, fisika, kimia, biologi dan puncaknya pada sosiologi. Auguste Comte
beranggapan bahwa selaku ‘pencipta’ sosiologi, ia menghantarkan ilmu pengetahuan
masuk ke tahap positifnya. Dnegan dmeikian, merancang sosiologi, Auguste Comte
mempunyai maksud praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang hukum yang
menguasai masyarakat mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna.
(Juhaya S.Pradja, 2000 : 92).

BAB XI
PRAGMATISM
E

A. Terminologi Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata “progma” (bahasa Yunani) yang berarti
tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan
bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi
kehidupan nyata. Filosof yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah
Willian James dan John Dewey.
B. William James (1842-1910 M)
James lahir di New York City pada tahun 1842 M dan merupakan putra dari
Henry James, Sr, seorang yang terkenal, berkebudayaan tinggi dan pemikir kreatif.
Pendidikan formalnya mula-mula tidak teratur lalu ia mendapat tutor berkebangsaan
Inggris, Perancis, Swiss, Jerman dan Amerika. Akhirnya, ia memasuki Harvard
Medical School pada tahun 1864 dan memperoleh M.D-nya pada tahun 1869.
Pandangan filsafatnya, di antaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak,
berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal yang
mengenal. Sebab, pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar
dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah.
Menurut James, dunia tidak dapat diterangkan dapat berpangkal pada satu asas
saja. Dunia adalah dunia yang dunia yang terdiri dari banyak hal yang saling
bertentangan. Segala macam pengalaman keagamaan mempunyai nilai yang sama,
jika akibatnya sama-sama memberikan kepuasan kepada kebutuhan keagamaan.
James membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang
mempraktikannya dalam pendidikan. (lihat Ahmad Tafsir, 2006 : 191)
C. John Dawey (1859 M)
Sebagai pengikut filsafat pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas
filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Menurutnya, tak ada
sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami
kesulitan, segera berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Satu-satunya cara yang dapat
dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang
sebenarnya adalah metode induktif. Secara umum, pragmatisme berarti hanya idea
yang dapat dipraktikan yang benar dan berguna.

BAB XII
FENOMENOL
OGISME
Seorang hal berpendapat bahwa fenomenologi hanya suatu gaya berpikir, bukan suatu
mazhab filsafat. Sementara itu, anggapan para ahli tertentu lebih mengartikan fenomenologi
sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan dan memaknakan sesuatu
sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat.

Edmund Husserl, seorang filosof dan matematikus mengenai intensionalitas atau


pengarahan melahirkan filsafat fenomenologi berdasarkan pemikiran Brentano. Kant dan
Husserl mengatakan bahwa apa yang dapat diamati hanyalah fenomena, bukan neumenon
atau sumber gejala itu sendiri. Adapun hal yang harus dilakukan adalah pertama-tama reduksi
fenomenologi (phaenomeno-logische reduktion) atau disebut reduksi epochal. Tiga hal yang
perlu disisihkan (eingeklammert) dari usaha menginginkan kebenaran yang murni, yaitu:

a. Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif,


b. Membebaskan diri dari kungkungan teori dan hipotesis, serta,
c. Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional.
Selain fenomenologi Edmund Husserl, beberapa ahli filsafat yang dapat diajukan
sebagai eksponennya di antaranya Max Scheler dan Edith Stein. Eksistensialisme terutama
merupakan hasil pemikiran Soren Kierkegaard yang dikenal banyak orang sebagai
perlawanan atau materialisme ataupun idealisme. Pada prinsipnya, amterialisme hanyalah
materi sehingga manusia hanya merupakan resultance dari proses kimiawi. Semua alam
adalah materi, maka secara totalitas yang ada hanyalah materi. Materialisme memandang
manusia seperti memandang bahan yang tunduk pada hukum alam, fisika, kimia dan biologi.

Secara etimologi, idealisme berasal dari kata “eidos” idea yang berarti buah pikiran
atau pikiran. Idealisme hanya memandang manusia sebagai idea, subjek yang selanjutnya
hanya menempatkan diri sebagai kesadaran. Demikianlah prinsip perlawanan
eksistensialisme terhadap materialisme ataupun idealisme. Setelah masa modernisme, datang
masa pascamodern yang dimulai pada tahun 1950. Istilah pascamodernisme tampil dalam
konteks yang luas. Pascamodernitas adalah suatu era yang menampilkan ketidakpercayaan
atas mumpuninya pengetahuan dan penelitian ilmiah. Pascamodernisme merupakan ekspresi
kultural di mana terjadi penjabaran antara realitas dan fiksi oleh media.

Pengertian dan perkembangan pascamodernisme dalam psikologi merupakan hal


penting yang harus mendapat perhatian. Pascamodernisme merupakan aliran filsafat yang
lahir pada awal abad ke-20 atau pertengahan abad ke-20.menurut Hergenhahn,
pascamodernisme mengacu pada keyakinan yang prevalen, seperti semua hal, termasuk
pendapat sepanjang abad pertengahan. Sejak 1960-an, pascamodernisme, baik yang disebut
konstruksinisme atau dekonstruksinisme. Pada intinya, para pascamodernis meyakini bahwa
“realitas” diciptakan manusia dan kelompok orang dalam berbagai konteks pribadi, historis
dan kultural. Pascamodernisme memiliki banyak kesamaan, tidak hanya dengan romantisme,
eksistensialisme dan aspek psikologi James. Para penganut pascamodernisme mendapatkan
dukungan untuk relativisme dalam konsep permainan bahasa seperti diajukan filosof yang
berpengaruh, Ludwig Wittgenstein (1889-1895).

Beberapa kasus yang ada sekarang ini, terutama masalah dikotomi dalam sejarah
psikologi, beberapa kata sepakat pun telah banyak dilakukan antara modernisme dan
pascamodernisme. Usulan-usulan mengenai unsur-unsur isi, baik modernisme maupun
pascamodernisme terlihat pada Fishman yang menampilkan pragmatisme di dalam kata
sepakatnya dan Schmaide yang menampilkan romantisme.

Anda mungkin juga menyukai