Anda di halaman 1dari 26

A.

Konsep Dasar PPh Wajib Pajak dan Orang Pribadi (WPOP)


1. Pengertian WPOP
Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) adalah Orang Pribadi yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.

2. Pajak Penghasilan Orang Pribadi


Pada prinsipnya, orang pribadi yang menjadi subyek pajak dalam negeri adalah orang
pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian
orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia
dipertimbangkan menurut keadaan. Keberadaan seseorang pribadi di Indonesia
diperhitungkan apabila orang tersebut lebih dari 183 hari, tidak harus berturut-turut
tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka
waktu dua belas bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Sebagai subjek pajak
seseorang dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia atau di luar negeri
(Djuanda, 2001).

3. Objek Pajak Penghasilan Orang Pribadi


Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa penghasilan merupakan setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apa pun. Dalam konteks orang pribadi, penghasilan dapat berasal
kegiatan usaha, pekerjaan bebas ataupun penghasilan-penghasilan lainnya.
Dalam hal orang pribadi menjalankan kegiatan usaha dan melaksanakan pembukuan,
penghasilan neto dihitung dengan mengurangkan peredaran usaha dengan harga pokok
penjualan dan biaya usaha. Penghasilan neto dari kegiatan usaha selanjutnya akan
dilakukan beberapa penyesuaian fiskal baik positif maupun negatif. Penyesuaian ini
adalah penyesuaian penghasilan neto komersial dalam rangka menghitung penghasilan
kena pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan beserta peraturan
pelaksanaannya, yang dapat bersifat menambah maupun mengurangi penghasilan kena
pajak.

1
Dalam hal wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas namun
peredaran usahanya atau peredaran brutonya kurang dari Rp4,8 miliar setahun maka
Wajib Pajak dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Selain itu
Wajib Pajak yang memiliki pekerjaan bebas seperti dokter, pengacara, notaris,
akuntan, konsultan, penilai, aktuaris dan arsitek juga wajib melaporkan penghasilan
brutonya dan Pajak Penghasilannya.

4. Prinsip UU PPh Menentukan Orang Pribadi Sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri dan
Subjek Pajak Luar Negeri
Dalam bukunya, Markus dan Yujana (2002) mengatakan bahwa, UU PPh menentukan
bahwa setiap orang pribadi yang berdomisili di Indonesia adalah Subjek Pajak orang
pribadi dalam negeri (asas domisili bukan asas kewarganegaraan). Orang pribadi yang
tidak berdomisili di Indonesia bukan Subjek Pajak, karena mereka tidak tunduk pada
hukum pajak yang berlaku di Indonesia. Mereka yang tidak berdomisili di Indonesia
baru tunduk pada hukum pajak Indonesia dan menjadi Subjek Pajak luar negeri, jika
mereka memenuhi salah satu syarat berikut :
1. Jika orang pribadi yang tidak berdomisili di Indonesia tersebut melakukan
kegiatan atau menjalankan usaha di Indonesia melalui Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia, maka orang pribadi tersebut menjadi Subjek Pajak Orang
Pribadi Luar Negeri BUT, atau
2. Jika orang pribadi yang tidak berdomisili di Indonesia tersebut menerima
atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia tanpa melalui
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, maka orang pribadi tersebut menjadi
Subjek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri selain BUT.

5. Tarif Pajak Penghasilan


Tarif pajak penghasilan orang pribadi yang berlaku saat ini di Indonesia adalah
sebagai berikut:
 Penghasilan kena pajak (PKP) sampai dengan Rp. 50 juta 5%
 Di atas Rp. 50 juta s.d. Rp. 250 juta 15%
 Diatas Rp. 250 juta s.d. Rp. 500 juta 25%
 Diatas Rp. 500 juta 30%

2
6. Kewajiban Wajib Pajak
Sesuai dengan sistem self assessment, Wajib Pajak mempunyai kewajiban
untuk mendaftarkan diri, melakukan sendiri penghitungan pembayaran dan pelaporan
pajak terutangnya.
Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Wajib Pajak Orang Pribadi yang wajib
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP adalah :
a Orang Pribadi yang menjalakan usaha atau pekerjaan bebas;
b Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, yang
memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib
mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya;
c Wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah
berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan
perjanjian pemisahan penghasilan dan harta;
d Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha
berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan
diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
e Untuk memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi kedudukan wajib pajak dengan
mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi.
Selain mendatangi Kantor Pelayanan Pajak, Wajib Pajak Orang Pribadi dapat
pula mendaftarkan diri secara online melalui e-registration di website
Direktorat Jenderal Pajak www.pajak.go.id. Selain mendapatkan NPWP,
Wajib Pajak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan
kepadanya akan diberikan Nomor Pengkuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)

7. Kewajiban Pajak Subjektif Orang Pribadi


Menurut Rusjdi (2004), Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang
kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban
perpajakan tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak
lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat
mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.

3
Kewajiban pajak subjektif untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang
pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia, dimulai sejak hari pertama orang pribadi tersebut
berada atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat
meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Sedangkan
kewajiban pajak subjektif bagi orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia
dimulai pada saat ia lahir di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

8. Jenis-jenis PPh Wajib Pajak Orang Pribadi


Berdasarkan penghasilan yang diterima oleh orang pribadi, maka wajib pajak orang
pribadi dapat dibagi menjadi :
a Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari
pekerjaan. Contoh : Pegawai swasta, Pegawai BUMN dan PNS.
b Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari
Usaha. Contoh : Pengusaha toko emas, Pengusaha Industri Mie Kering
c Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari
Pekerjaan bebas. Contoh : Dokter, Notaris, Akuntan, Konsultan
d Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan lain yang
tidak bersifat final (sehubungan dengan pemodalan). Contoh : Bunga
pinjaman, royalti, sewa (yang bukan usaha pokoknya)
e Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang
bersifat final. Contoh : Bunga deposito, hadiah undian.
f Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang
bukan objek pajak. Contoh : bantuan, sumbangan
g Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari luar
negeri. Contoh : bunga, royalti dari luar negeri (PPh Pasal 24)
Wajib pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari berbagai sumber.Contoh :
Pegawai swasta tetapi juga mempunyai usaha rumah makan, PNS tetapi membuka
praktek dokter.

9. Perbedaan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Usaha dan yang Tidak
Melakukan Usaha/Pekerjaan Bebas

4
a Kewajiban Pajak Bagi Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas
1) WPOP Karyawan yang hanya memperoleh penghasilan dari satu pemberi
kerja.
Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas (berstatus sebagai karyawan) dan hanya bekerja pada satu
pemberi kerja tidak memiliki kewajiban untuk membayar pajak sendiri setiap
bulan atas penghasilan yang diterima/ diperoleh seubungan dengan
pekerjaan.WP Orang Pribadi ini juga tidak memiliki kewajiban untuk membuat
laporan (Surat Pemberitahuan Masa) ke Kantor Pelayanan Pajak setiap bulan.
Perusahaan tempat wajib pajak bekerja (pemberi kerja) memiliki
kewajiban untuk memotong pajak atas penghasilan sehubungan pekerjaan yang
dibayarkan/terutang kepada karyawannya setiap bulan dan menyetorkannya ke
Kas Negara serta melaporkannya ke kantor pelayanan pajak setempat. Oleh
karena itu gaji yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi yang berstatus
sebagai karyawan adalah gaji bersih setelah dipotong pajak penghasilan.Pajak
yang terutang atas Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dikenal dengan
istilah PPh Pasal 21.
2) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang bukan obyek PPh
Final.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan lain
selain dari satu pemberi kerja, baik karena bekerja pada lebih dari satu pemberi
kerja maupun memiliki penghasilan lain selain dari pekerjaan dan penghasilan
lain tersebut bukan merupakan obyek PPh final.
Besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh wajib pajak dihitung
berdasarkan PPh yang terutang dalam SPT Tahunan tahun sebelumnya setelah
dikurangi dengan pemotongan yang dilakukan pihak lain yang dapat
dikreditkan dan dibagi 12 (dua belas).
Jatuh tempo pembayaran PPh pasal 25 adalah tanggal 15 bulan
berikutnya.Jika jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka
pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pembayaran Angsuran
PPh pasal 25 ini, wajib dilaporkan ke kantor pelayanan pajak tempat wajib
pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

5
3) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang merupakan obyek
PPh Final.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan lain
selain dari satu pemberi kerja, dan memiliki penghasilan lain yang merupakan
obyek PPh final, maka selain diwajibkan untuk melaporkan SPT Tahunan
(SPT 1770-S) juga memiliki kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPh
final pasal 4 (2).
Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran PPh-nya
wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib pajak) adalah sebagai
berikut :
- Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
- Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
- Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi ;

b Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha
atau Pekerjaan Bebas.
Bagi wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan Usaha atau
pekerjaan bebas, setelah terdaftar di kantor pelayanan pajak dan memperoleh NPWP
maka akan memiliki kewajiban pajak yang harus dilaksanakan. Wajib Pajak Orang
Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja selain
diwajibkan untuk membayar dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya sendiri juga diwajibkan untuk menyetorkan dan
melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada
karyawannya.
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak Orang Pribadi yang melakukann
kegiatan usaha/pekerjaan bebas setelah memperoleh NPWP adalah sebagai berikut :
1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)
2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)
B. Dasar Hukum PPh WP OP
1. Dasar Hukum PPh WP OP
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 Pasal 25 ayat (7)

6
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 tentang Penghitungan
Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus
Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak
Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak
Masuk Bursa dan Wajib Pajak Lainnya yang berdasarkan Ketentuan Diharuskan
Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 208/PMK.03/2009
c. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 tentang Pelaksanaan
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu

2.Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Tingkat Penerimaan PPh Orang Pribadi


a. NPWP Yang Terdaftar
Dalam UU Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP), pengertian Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu.
Sebagaimana diketahui, dalam prakteknya banyak Wajib Pajak terdaftar yang tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya disebabkan antara lain non aktif, meninggal
dunia dan sebagainya. Dari kenyataan di atas telah timbul berbagai istilah seperti
Wajib Pajak aktif, Wajib Pajak efektif, Wajib Pajak non aktif, Wajib Pajak non
efektif. Tetapi dalam adminstrasi perpajakan hanya mengenal istilah Wajib Pajak
efektif dan Wajib Pajak non efektif. Pengertian dari Wajib Pajak efektif adalah
Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban menyampaikan SPT Masa dan atau
Tahunan sebagaimana mestinya; sedangkan Wajib Pajak non efektif adalah Wajib
Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya, berupa kewajiban
menyampaikan SPT Masa dan atau Tahunan.
Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor
SE- 09/PJ.8/1998 Tanggal 2 Oktober 1988, Wajib Pajak dikatakan non efektif
adalah :
a. Wajib Pajak yang berturut-turut selama 2 (dua) tahun tidak menyampaikan
SPT;
b. Wajib Pajak yang sudah meninggal dunia atau bubar tetapi belum ada surat

7
keterangan resminya;
c. Wajib Pajak yang tidak ditemukan alamatnya, walaupun sudah diusahakan
pencariannya;
d. Wajib Pajak yang secara nyata tidak lagi menunjukkan kegiatan usaha.
Sebagai Wajib Pajak, tiap-tiap Wajib Pajak mempunyai hak-hak dan
kewajiban perpajakan. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak adalah :
a Kewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib
Pajak;
b Kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan;
c Menghitung dan membayar pajaknya dengan benar;
d Mengisi dan memasukkan SPT masa dan Tahunan tepat pada waktunya;
e Jika diperiksa, Wajib Pajak harus meberikan keterangan yang diperlukan
dan memperlihatkan atau meminjamkan pembukuan/pencatatan serta
memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan termasuk memasuki
ruangan-ruanganatau tempat yang diperlukan.
Selain itu, Wajib Pajak berhak untuk :
a Menunda pemasukan SPT
b Membetulkan atau mengadakan koreksi terhadap SPT yang telah
disampaikan kepada fiskus
c Mengajukan permohonan untuk menunda pembayaran pajak atas suatu
ketetapan maupun mengajukan permohonan pengurangan besarnya
angsuran pajak
d Meminta kembali (restitusi) atau mengadakan kompensasi terhadap
kelebihan pembayaran pajak
e Mengajukan permohonan untuk dihapuskannya sanksi Administrasi
f Mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak
g Mengajukan banding kepada Badan Peradilan Pajak yang lebih tinggi.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-
06/PJ.9/2001.
Pengertian Ekstensifikasi adalah ”kegiatan yang berkaitan dengan penambahan
jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan obyek pajak dalam administrasi
Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam Surat Edaran tersebut menerangkan bahwa
ruang lingkup pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak meliputi :
1. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), termasuk pemberian

8
NPWP secara jabatan terhadap Wajib Pajak PPh orang pribadi yang
berstatus sebagai karyawan perusahaan, orang pribadi yang bertempat
tinggal di wilayah atau lokasi pemukiman, atau perumahan, dan orang
pribadi lainnya (termasuk orang asing yang yang bertempat tinggal di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan), yang
memperoleh atau menerima penghasilan yang melebihi batas Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP)
2. Pemberian NPWP di lokasi usaha, terhadap orang pribadi pengusaha
tertentu yang mempunyai lokasi usaha di sentra perdagangan atau
perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal atau plaza atau
kawasan industri atau sentra ekonomi lainnya
3. Penentuan jumlah angsuran PPh pasal 25 yang harus disetor dalam tahun
berjalan, dimulai sejak Januaritahun yang bersangkutan.

b. SSP Yang Diterima


Sarana WP dalam melakukan pembayaran pajak yang terutang, media yang
digunakan adalah Surat Setoran Pajak (SSP). Dalam UU Nomor 16 Tahun 2000
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pengertian Surat Setoran
Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan
pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara atau ke tempat
pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Satu set SSP yang harus
diisi terdiri dari 4 lembar masing-masing, antara lain : lembar (1) untuk arsip Wajib
Pajak; lembar (2) untuk KPP melalui KPKN; lembar (3) untuk dilaporkan oleh WP ke
KPP; dan lembar (4) untuk Bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro. Fungsi dari SSP
adalah sebagai bukti dan laporan pembayaran pajak. Batas waktu
pembayaran/penyetoran pajak diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 16/2000 dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 948/KMK/04/1994.
Pembayaran atau penyetoran pajak pada dasarnya dibedakan menjadi tiga yaitu
pembayaran masa, pembayaran kekurangan pajak setelah tahun pajak berakhir dan
pembayaran atas ketetapan pajak. Untuk batas waktu pembayaran atau penyetoran PPh
Pasal 25 orang pribadi adalah tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak
berakhir. Jika tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan
dengan hari libur, maka pembayaran atau penyetoran pajak harus dilakukan pada hari
kerja berikutnya.

9
Pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan di Kantor Pos dan Giro
atau bankbank persepsi yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak. Setiap keterlambatan
pembayaran atau penyetoran pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% sebulan dari pokok pajak yang terutang, dihitung mulai dari tanggal jatuh
tempo pembayaran dan bagian bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Dalam hal WP
tidak mampu membayar pajak atau alasan lainnya, berdasarkan Pasal 9 ayat (4) UU
No.16/2000, WP yang betul-betul mengalami kesulitan likuiditas diperkenankan untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang dengan mengajukan
permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang
terutang.

c. Pencairan Tunggakan Pajak


Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan
ketentuan perundang-undangan perpajakan. Jumlah pajak yang telah dipotong,
ataupun yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa
pelunasan pembayaran. Jumlah pajak yang terutang menurut SPT yang disampaikan
oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan
perundangundangan perpajakan. Apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak
melunasi utang pajaknya sampai dengan jatuh tempo pembayaran pajak, maka dapat
dilakukan tindakan penagihan pajak. Dasar untuk menagih pajak yang terutang adalah
: Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Keputusan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Keputusan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan
yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar dan Surat Keputusan Banding.
Tunggakan pajak adalah utang pajak yang tidak dibayar sesudah jatuh tempo
pembayaran. Apabila Dirjen Pajak, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan
keterangan lain, mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang tidak benar,
maka Dirjen Pajak dapat menetapkan jumlah pajak yang terutang yang semestinya,
menurut ketentuan perundang undangan yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang
ini, Dirjen Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
atas semua SPT yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu SKP hanya terbatas
pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT
atau ditemukannya data fiskal lainnya. Pencairan tunggakan adalah upaya-upaya yang
dilakukan oleh seksi penagihan untuk menagih pajak yang tidak atau kurang dibayar
melalui tindakan penagihan aktif maupun pasif.

10
Sedangkan pengertian dari penagihan menurut Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2000 adalah ”serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika sekaligus, memberitahukan Surat Paksa,
mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan,
menjual barang yang telah disita”. Tindakan penagihan pajak diawali dengan
menerbitkan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran pajak.
Apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh
Penanggung pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterbitkannya Surat
Teguran, pejabat segera menerbitkan Surat Paksa. Selanjutnya, setelah lewat 2 kali 24
(dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan, Penanggung Pajak
masih belum melunasi utang pajaknya, maka pejabat segera menerbitkan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan. Tetapi apabila utang pajak dan biaya penagihan
yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah lewat waktu
14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, pejabat dapat
melaksanakan pengumuman lelang. Tindakan penagihan terakhir yang dilakukan
pejabat adalah dengan segera melakukan penjualan barang sitaan Penanggung Pajak
melalui Kantor Lelang, jika setelah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengumuman
lelang, utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak juga dilunasi
oleh Penanggung Pajak.

C. Jenis-jenis PPh Wajib Pajak Orang Pribadi


Berdasarkan penghasilan yang diterima oleh orang pribadi, maka wajib pajak
orang pribadi dapat dibagi menjadi:
a) Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari
pekerjaan. Contohnya: Pegawai Swasta, Pegawai BUMN dan PNS.
b) Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari
usaha. Contohnya: Pengusaha toko emas, Pengusaha industri Mie Kering.
c) Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari
pekerjaan bebas. Contohnya: Dokter, Notaris, Akuntan, Konsultan.
d) Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan lain yang
tidak bersifat final (sehubungan dengan pemodalan). Contohnya: Bunga
pinjaman, royalti, sewa.

11
e) Wajib pajak orang pibadi yang semata-mata menerima penghasilan yang
bersifat final. Contohnya: Bunga deposito, hadiah undian.
f) Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang
bukan objek pajak. Contohnya: Bantuan, sumbangan.
g) Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari luar
negeri. Contohnya: bunga, royalti dari luar negeri (PPh pasal 24).
h) Wajib pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari berbagai sumber.
Contohnya: Pegawai swasta tetapi juga mempunyai usaha rumah makan, PNS
tetapi membuka praktek dokter.

D. Perbedaan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Usaha dan yang Tidak
Melakukan Usaha/Pekerjaan Bebas
1) Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas.
a) WPOP Karyawan yang hanya memperoleh penghasilan dari satu pemberi
kerja.
WPOP yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
(berstatus sebagai karyawan) dan hanya bekerja pada satu pemberi kerja tidak
memiliki kewajiban untuk membayar pajak sendiri setiap bulan atas
penghasilan yang diterima/diperoleh sehubungan dengan pekerjaan WPOP ini
juga tidak memiliki kewajiban untuk membuat laporan (Surat Pemberitahuan
Masa) ke Kantor Pelayanan Pajak setiap bulan.
Perusahaan tempat wajib pajak bekerja (pemberi kerja) memiliki
kewajiban untuk memotong pajak atas penghasilan sehubungan pekerjaan
yang dibayarkan/terutang kepada karyawannya setiap bulan dan
menyetorkannya ke Kas Negara serya melaporkannya ke kantor pelayanan
pajak setempat. Oleh karena itu, gaji yang diterima oleh WPOP yang
berstatus sebagai karyawan adalah gaji bersih setelah dipotong pajak
penghasilan. Pajak yang terutang atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan dikenal dengan istilah PPh Pasal 21.
b) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang bukan obyek PPh
final.
Bagi WPOP yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
(WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan lain selain dari satu

12
pemberi kerja, baik karena bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja maupun
memiliki penghasilan lain selain dari pekerjaan dan penghasilan tersebut
bukan merupakan objek PPh final, maka selain diwajibkan untuk melaporkan
SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga memiliki kewajiban untuk membayar dan
melaporkan PPh pasal 25 setiap bulan.
Besarnya PPh pasal 25 yang harus dibayar oleh wajib pajak dihitung
berdasarkan PPh yang terhutang dalam SPT Tahunan tahun sebelumnya
setelah dikurangi dengan pemotongan yang dilakukan pihak lain yang dapat
dikreditkan dan dibagi 12 (dua belas).
Jatuh tempo pembayaran PPh pasal 25 adalah tanggal 15 bulan
berikutnya. Jika jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka
pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pembayaran
Angsuran PPh pasal 25 ini, wajib dilaporkan ke kantor pelayanan pajak
tempat wajib pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
Apabila jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka penyampaian SPT
Masa PPh pasal 25 harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
c) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang merupakan objek
PPh Final.
Bagi WPOP yang tidak melakukan kegiatan saha atau pekerjaan bebas
(WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan lain selain dari satu
pemberi kerja, dan memiliki penghasilan lain yang merupakan objek PPh
final, maka selain diwajibkan untuk melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S)
juga memiliki kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPh final pasal 4
ayat 2.
Jenis penghasilan lain yang merupakan objek PPh final dan
pembayaran PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan
(Wajib Pajak) adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
2. Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
3. Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
2) Kewajiban Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan
Usaha atau Pekerjaan Bebas.
Bagi WPOP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, setelah
terdaftar di kantor pelayanan pajak dan memperoleh NPWP maka akan memiliki

13
kewajiban pajak yang harus dilaksanakan WPOP yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja selain diwajibkan untuk membayar
dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya sendiri juga diwajibkan untuk menyetorkan dan melaporkan PPh
yang terutang atau penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada
karyawannya.
Dalam hal WPOP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas telah
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak juga memiliki kewajiban dibidang
PPN. Bagi WPOP tertentu yang telah ditunjuk oleh dirjen pajak sebagai pemotong
PPh pasal 23 dan PPh final pasal 4 ayat 2, juga memiliki kewajiban dibidang PPh
pasal 23 dan PPh final pasal 4 ayat 2.
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh WPOP yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas setelah memperoleh NPWP adalah sebagai berikut:
1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)
2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan).

E. Pengertian Pembukuan
Menurut UU KUP Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 1 angka 29 menyatakan bahwa
pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi aset, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
untuk periode tahun pajak tersebut.
a. Kewajiban Pembukuan

Dalam UU KUP Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 28 ayat (1) menyatakan bahwa WP
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas dan WP badan di Indonesia
wajib menyelenggarakan pembukuan.
b. Syarat menyelenggarakan pembukuan

1. Pembukuan haruslah diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan


mencerminkan keadaan/kegiatan usaha yang sebenarnya (full disclosure).

2. Pembukuan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin,


angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia/dalam
bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

14
3. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas (consistency)

4. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat


persetujuan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

5. Pembukuan yang diselenggarakan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan


mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan
pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak terutang.

6. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen lain,
termasuk hasil pegelolaan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik
atau secara program aplikasi online, wajib disimpan selama 10 tahun di Indonesia
yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal WP orang pribadi, atau di tempat
kedudukan WP badan.

Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto


a. Yang Boleh Menggunakan NPPN

WP OP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya
dalam 1 tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan
1. WP OP yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
2. Kewajibannya :
WP OP yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto ini wajib menyelenggarakan pencatatan
3. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila WP
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

b. Dalam hal terhadap WP Badan atau WP OP yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam UU KUP, ternyata
Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau

15
pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya, penghasilan netonya dihitung dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

c. Pemberitahuan Penggunaan NPPN Dianggap Disetujui. Pemberitahuan penggunaan


Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan dianggap disetujui kecuali berdasarkan
hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto


a. Daftar Persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut
wilayah sebagai berikut :
- 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;
- ibukota propinsi lainnya;
- daerah lainnya
b. Daftar persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto untuk WP OP yang
menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan norma penghitungan
penghasilan neto. (tautan)
c. Daftar persentase Norma penghitungan Penghasilan Neto untuk WP OP yang
ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak
bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya. (tautan)
d. Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak
badan yang tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak
bersedia memperlihatkan pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya. (tautan)

Wajib Pajak Memiliki Lebih Dari Satu Jenis Usaha


a. Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis
usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha atau
pekerjaan bebas dengan memperhatikan pengelompokan wilayah pengenaan
norma.

16
b. Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau
pekerjaan bebas adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis
usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung.

Cara Menghitung Penghasilan Neto


a. Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka
persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau
penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu) Tahun
Pajak.
b. Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh WP OP,
sebelum dilakukan penerapan tarif umum Pajak Penghasilan, terlebih dahulu
dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena
Pajak dari penghasilan neto tersebut.

F. Laporan Keuangan Fiskal


a. Kerangka dasar penyusunan laporan keuangan.
Dalam penyusunan laporan keuangan fiskal sebagai solusi antara ketentuan akuntansi
dan ketentuan pajak terdiri atas tiga pendekatan:
 Pendekatan pertama, Laporan keuangan disusun berdasarkan prinsip akuntansi,
sangat diwarnai oleh ketentuan pajak.

 Pendekatan kedua, WP bebas menyelenggarakan pembukuannya dengan dasar


prinsip dan metode akuntansinya. Laporan keuangan fiskal disusun melalui
proses rekonsiliasi antara akuntansi komersial dengan akunatnsi fiskal, sehingga
laporan yang dihasilkan dari extra comptable tersebut fungsinya hanya sebagai
tambahan laporan keuangan komersial.

 Pendekatan ketiga, menyatakan ketentuan perpajakan sebagai sisipan SAK atau


pendekatan dengan prinsip common basis.

Kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan ini dimaksudkan untuk
merumuskan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian laporan keuangan bagi
pengguna laporan keuangan eksternal.
b. Asumsi dasar dan persamaan akuntansi
Laporan keuangan disusun berdasarkan asumsi-asumsi dasar akuntansi, yaitu:
- Dasar akrual

17
Pengaruh transaksi dan peristiwa diakui pada saat kejadian dan bukan pada saat
kas atau setara kas diterima atau dibayar, serta pencatatan akuntansi dilaporkan
dalam laporan keuangan pada periode bersangkutan.
- Kelangsungan usaha
Penyusunan laporan keuangan pada dasarnya disusun dengan mendasarkan pada
asumsi kelangsungan usaha dan akan melanjutkan usahanya di masa yang akan
datang.
Dalam akuntansi, kegiatan yang dicatat adalah kegiatan yang bersifat keuangan yang
tercermin dalam transaksi usaha (business transaction). Transaksi usaha tersebut dicatat
menggunakan persamaan akuntansi (accounting equation) yang diakhiri dengan
penyusunan laporan keuangan.
c. Perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal

 Laporan keuangan komersial adalah laporan yang disusun dengan prinsip


akuntansi bersifat netral atau tidak memihak. Laporan keuangan fiskal adalah
laporan yang disusun khusus untuk kepentingan perpajakan dengan mengindahkan
semua peraturan perpajakan.

 Laporan keuangan komersial ditujukan untuk menilai hasil usaha (Income


statement) dan keadaan keuangan (Balance Sheet) dari satu entitas, sedangkan
laporan keuangan fiskal ditujukan untuk menghitung penghasilan kena pajak dan
beban pajak yang harus dibayar ke Negara.

 Laporan keuangan komersil berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum,


yaitu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) atau standar lain,
sedangkan untuk kepentingan fiskal, laporan keuangan disusun berdasarkan
Undang-undang dan Peraturan Perpajakan.

 Perbedaan penggunaan standar atau prinsip dasar dalam penyusunan Laporan


Keuangan – terutama laporan rugi laba, mengakibatkan perbedaan perhitungan
laba rugi suatu entitas (Wajib Pajak) antara laba rugi komersil dan laba rugi fiskal,
yang akan berakibat adanya perbedaan beban pajak komersial dan beban pajak
seharusnya dibayar ke Negara.

d. Proses penyusunan laporan keuangan


Pendekatan penyusunan laporan keuangan fiskal sebagai solusi antara ketentuan
akuntansi dan pajak yaitu :
18
- Ketentuan pajak secara dominan mewarnai praktek akuntansi, Dalam pendekatan
ini laporan keuangan fiskal murni disusun atas dasar perpajakan. Dengan demikian
dalam melakukan pembukuan perusahaan menyusun laporan harus menurut
ketentuan perpajakan dan menurut praktek pembukuan.
- Ketentuan pajak untuk tujuan penyusunan laporan keuangan merupakan standar
independensi dari prinsip akuntansi, dalam pendekatan ini perusahaan bebas untuk
menyelenggarakan pembukuan berdasarkan prinsif dan metode akuntansi.
- Ketentuan pajak merupakan sisipan terhadap standar akuntansi, pendekatan ini
laporan keuangan atas dasar standar akuntansi. Tetapi preferensi di berikan kepada
ketentuan pajak apabila tidak sesuai dan sejalan dengan standar akuntansi.

Koreksi Fiskal
Dasar Hukum : UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
a. Koreksi Positif
Intinya, tujuan dari koreksi positif adalah menambah laba komersil atau laba
Penghasilan Kena Pajak (PhKP). Jadi, koreksi positif akan menambahkan pendapatan
dan mengurangi atau mengeluarkan biaya-biaya yang sekiranya harus diakui secara
fiskal. Secara rinci, penyebab dari koreksi positif menurut Ortax.org adalah:
1. Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau
orang yang menjadi tanggungannya.
2. Dana cadangan.
3. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura atau kenikmatan.
4. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
5. Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan.
6. Pajak penghasilan.
7. Gaji yang dibayarkan kepada pemilik.
8. Sanksi administrasi.
9. Selisih penyusutan/amortisasi komersial di atas penyusutan/amortisasi fiskal.
10. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan
PPh Final dan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.
11. Penyesuaian fiskal positif lain yang tidak berasal dari hal-hal yang telah
disebutkan di atas.

19
b. Koreksi Negatif
Sebaliknya, tujuan dari koreksi negatif adalah mengurangi laba komersil atau laba
PhKP. Hal ini disebabkan oleh pendapatan komersil yang lebih tinggi daripada
pendapatan fiskal dan biaya-biaya komersil yang lebih kecil daripada biaya-biaya
fiskal. Penyebab dari adanya koreksi negatif sendiri adalah.
1. Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan yang tidak termasuk
objek pajak tetapi termasuk dalam peredaran usaha.
2. Selisih penyusutan/amortisasi komersial komersial di bawah
penyusutan/amortisasi fiskal.
3. Penyesuaian fiskal negatif lain yang tidak berasal dari hal-hal yang telah
disebutkan di atas.

Jenis Koreksi Fiskal juga dapat dilejaskan sebagai berikut.


a. Beda Tetap :
1. Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangkan menurut
ketentuan PPh bukan penghasilan. Misalnya dividen yang diterima oleh
Perseroan Terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri dari penyertaan
modal sebesar 25% atau lebih pada badan usaha yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia.
2. Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan
menurut ketentuan PPh telah dikenakan PPh yang bersifat final.
Penghasilan ini dikenakan pajak tersendiri (final) sehingga dipisahkan
(tidak perlu digabung) dengan penghasilan lainnya dalam menghitung
PPh yang terutang. Misalnya : penghasilan atas bunga deposito atau
tabungan lainnya yang telah dipotong PPh Final oleh Bank sebesar 20%.
3. Menurut akuntansi komersial merupakan beban (biaya) sedangkan
menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 ), misalnya ;
- Biaya-biaya yang digunakan untuk memperoleh penghasilan yang
bukan obyek pajak atau pengenaan pajaknya bersifat final.
- Penggantian/imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
- Sanksi perpajakan berupa bunga, denda, dan kenaikan.

20
- Biaya-biaya yang menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan
karena tidak memenuhi syarat-syarat tertentu (misalnya ; daftar
nominatif biaya entertainment, daftar nominatif atas peghapusan
piutang).

b. Beda Waktu
Beda waktu merupakan perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi
komersial dengan ketentuan fiskal, misalnya ;
- Metode penyusutan
- Metode penilaian persediaan
- Penyisihan piutang tak tertagih
- Rugi-laba selisih kurs
- Dan sebagainya.

G. Pengertian Kredit Pajak Dan Variabel-Variabel Dalam Penghitungan PPh Orang


Pribadi

1. Pengertian Kredit Pajak

Pengertian kredit pajak adalah memperhitungkan pajak penghasilan yang telah


dibayar atau dipungut di muka dengan jumlah pajak yang terutang pada akhir tahun pajak.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak pada saat
penghasilan diperoleh atau diterima dan bersifat tidak final (dapat sebagai kredit pajak),
terkait dengan PPh pasal 21, PPh pasal 22 dan PPh pasal 23.

Sedangkan segala bentuk penghasilan yang sudah dikenakan pajak yang bersifat
final, tidak boleh diperlakukan sebagai kredit pajak. Demikian pula untuk pajak
penghasilan yang dipungut atau dibayar di luar negeri oleh wajib pajak dalam negeri.
Pajak penghasilan yang telah dipungut di luar negeri dapat dikurangkan dengan pajak
penghasilan yang terhutang di Indonesia, bila telah ada perjanjian kerjasama timbal balik
(tax treaty) di bidang perpajakan antara Indonesia dengan Negara lain. Bila belum ada
perjanjian pajak, maka wajib pajak tidak dapat melakukan kredit pajak. Perhitungan
besarnya pajak yang dapat dikreditkan terhadap pajak terutang atas seluruh penghasilan
yang telah dipungut di luar negeri diatur dalam pasal 24.

21
2. Variabel-variabel dalam penghitungan PPh orang pribadi

A. NPWP Yang Terdaftar

Dalam UU Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP), pengertian Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu.
Sebagaimana diketahui, dalam prakteknya banyak Wajib Pajak terdaftar yang tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya disebabkan antara lain non aktif, meninggal
dunia dan sebagainya. Dari kenyataan di atas telah timbul berbagai istilah seperti
Wajib Pajak aktif, Wajib Pajak efektif, Wajib Pajak non aktif, Wajib Pajak non efektif.
Tetapi dalam adminstrasi perpajakan hanya mengenal istilah Wajib Pajak efektif dan
Wajib Pajak non efektif. Pengertian dari Wajib Pajak efektif adalah Wajib Pajak yang
memenuhi kewajiban menyampaikan SPT Masa dan atau Tahunan sebagaimana
mestinya; sedangkan Wajib Pajak non efektif adalah Wajib Pajak yang tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya, berupa kewajiban menyampaikan SPT Masa dan
atau Tahunan. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak
Nomor SE-09/PJ.8/1998 Tanggal 2 Oktober 1988, Wajib Pajak dikatakan non efektif
adalah : (i) Wajib Pajak yang berturut-turut selama 2 (dua) tahun tidak menyampaikan
SPT; (ii) Wajib Pajak yang sudah meninggal dunia atau bubar tetapi belum ada surat
keterangan resminya; (iii) Wajib Pajak yang tidak ditemukan alamatnya, walaupun
sudah diusahakan pencariannya; atau (iv) Wajib Pajak yang secara nyata tidak lagi
menunjukkan kegiatan usaha.

Sebagai Wajib Pajak, tiap-tiap Wajib Pajak mempunyai hak-hak dan


kewajiban perpajakan. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak adalah : (i)
Kewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak; (ii)
Kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan; (iii) Menghitung dan
membayar pajaknya dengan benar; (iv) Mengisi dan memasukkan SPT masa dan
Tahunan tepat pada waktunya; (v) Jika diperiksa, Wajib Pajak harus meberikan
keterangan yang diperlukan dan memperlihatkan atau meminjamkan
pembukuan/pencatatan serta memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan termasuk
memasuki ruangan-ruangan atau tempat yang diperlukan. Selain itu, Wajib Pajak
berhak untuk : (i) Menunda pemasukan SPT; (ii) Membetulkan atau mengadakan

22
koreksi terhadap SPT yang telah disampaikan kepada fiskus; (iii) Mengajukan
permohonan untuk menunda pembayaran pajak atas suatu ketetapan maupun
mengajukan permohonan pengurangan besarnya angsuran pajak; (iv) Meminta
kembali (restitusi) atau mengadakan kompensasi terhadap kelebihan pembayaran
pajak; (v) Mengajukan permohonan untuk dihapuskannya sanksi administrasi; (vi)
Mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak; dan (vii) Mengajukan banding
kepada Badan Peradilan Pajak yang lebih tinggi.

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-06/PJ.9/2001,


pengertian Ekstensifikasi adalah ”kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah
Wajib Pajak terdaftar dan perluasan obyek pajak dalam administrasi Direktorat
Jenderal Pajak (DJP). Dalam Surat Edaran tersebut menerangkan bahwa ruang lingkup
pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak meliputi : (i) Pemberian Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP), termasuk pemberian NPWP secara jabatan terhadap Wajib Pajak PPh
orang pribadi yang berstatus sebagai karyawan perusahaan, orang pribadi yang
bertempat tinggal di wilayah atau lokasi pemukiman, atau perumahan, dan orang
pribadi lainnya (termasuk orang asing yang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih
dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan), yang memperoleh atau menerima
penghasilan yang melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP); (ii)
Pemberian NPWP di lokasi usaha, terhadap orang pribadi pengusaha tertentu yang
mempunyai lokasi usaha di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau
perkantoran atau mal atau plaza atau kawasan industri atau sentra ekonomi lainnya;
dan (iii) Penentuan jumlah angsuran PPh pasal 25 yang harus disetor dalam tahun
berjalan, dimulai sejak Januari tahun yang bersangkutan.

B. SSP Yang Diterima

Sarana WP dalam melakukan pembayaran pajak yang terutang, media yang


digunakan adalah Surat Setoran Pajak (SSP). Dalam UU Nomor 16 Tahun 2000
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pengertian Surat Setoran
Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan
pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara atau ke tempat
pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Satu set SSP yang harus
diisi terdiri dari 4 lembar masing-masing, antara lain : lembar (1) untuk arsip Wajib
Pajak; lembar (2) untuk KPP melalui KPKN; lembar (3) untuk dilaporkan oleh WP ke

23
KPP; dan lembar (4) untuk Bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro. Fungsi dari SSP
adalah sebagai bukti dan laporan pembayaran pajak.

Batas waktu pembayaran/penyetoran pajak diatur dalam Pasal 9 UU Nomor


16/2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 948/KMK/04/1994. Pembayaran
atau penyetoran pajak pada dasarnya dibedakan menjadi tiga yaitu pembayaran masa,
pembayaran kekurangan pajak setelah tahun pajak berakhir dan pembayaran atas
ketetapan pajak. Untuk batas waktu pembayaran atau penyetoran PPh Pasal 25 orang
pribadi adalah tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir. Jika
tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur,
maka pembayaran atau penyetoran pajak harus dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan di Kantor Pos dan Giro
atau bank-bank persepsi yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak. Setiap keterlambatan
pembayaran atau penyetoran pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% sebulan dari pokok pajak yang terutang, dihitung mulai dari tanggal jatuh
tempo pembayaran dan bagian bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Dalam hal WP
tidak mampu membayar pajak atau alasan lainnya, berdasarkan Pasal 9 ayat (4) UU
No.16/2000, WP yang betul-betul mengalami kesulitan likuiditas diperkenankan untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang dengan mengajukan
permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang
terutang.

C. Pencairan Tunggakan Pajak

Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan


ketentuan perundang-undangan perpajakan. Jumlah pajak yang telah dipotong,
ataupun yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa
pelunasan pembayaran. Jumlah pajak yang terutang menurut SPT yang disampaikan
oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak
melunasi utang pajaknya sampai dengan jatuh tempo pembayaran pajak, maka dapat
dilakukan tindakan penagihan pajak. Dasar untuk menagih pajak yang terutang adalah
: Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Keputusan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Keputusan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan
yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar dan Surat Keputusan Banding.

24
Tunggakan pajak adalah utang pajak yang tidak dibayar sesudah jatuh tempo
pembayaran. Apabila Dirjen Pajak, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan
keterangan lain, mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang tidak
benar,maka Dirjen Pajak dapat menetapkan jumlah pajak yang terutang yang
semestinya, menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan
Undang-Undang ini, Dirjen Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak (SKP) atas semua SPT yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan
suatu SKP hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh
ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau ditemukannya data fiskal lainnya.

Pencairan tunggakan adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh seksi penagihan


untuk menagih pajak yang tidak atau kurang dibayar melalui tindakan penagihan aktif
maupun pasif. Sedangkan pengertian dari penagihan menurut Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2000 adalah ”serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika sekaligus, memberitahukan Surat Paksa,
mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan,
menjual barang yang telah disita”. Tindakan penagihan pajak diawali dengan
menerbitkan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran pajak.
Apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh Penanggung
pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterbitkannya Surat Teguran,
pejabat segera menerbitkan Surat Paksa. Selanjutnya, setelah lewat 2 kali 24 (dua kali
dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan, Penanggung Pajak masih
belum melunasi utang pajaknya, maka pejabat segera menerbitkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan. Tetapi apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih
harus dibayar tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah lewat waktu 14 (empat
belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, pejabat dapat melaksanakan
pengumuman lelang. Tindakan penagihan terakhir yang dilakukan pejabat adalah
dengan segera melakukan penjualan barang sitaan Penanggung Pajak melalui Kantor
Lelang, jika setelah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengumuman lelang, utang
pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak juga dilunasi oleh
Penanggung Pajak.

25
DAFTAR PUSTAKA
https://dokumen.tips/download/link/konsep-dasar-dasar-hukum-dan-variabel-variabel-pph-
wajib-pajak-orang-pribadi Diakses pada 27 September 2019. Pukul 18.15 WITA
https://www.scribd.com/doc/304559128/Perbedaan-PPh-Wajib-Pajak-Orang-Pribadi-Yang-
Melakukan-Usaha-Dan-Yang-Tidak-Melakukan-Usaha. Diakses Pada 30 September 2019.
https://www.scribd.com/doc/284463495/Konsep-Dasar-Dasar-Hukum-Dan-Variabel-
Variabel-PPh-Wajib-Pajak-Orang-Pribadi. Diakses Pada 30 September 2019.
http://muhammadsyaroni.blogspot.com/2011/04/kredit-pajak Diakses pada30 September 2019
https://www.academia.edu/5847026/Analisis_Variabel-
Variabel_Yang_Mempengaruhi_Tingkat Diakses pada 2 oktober 2019.

26

Anda mungkin juga menyukai