1
Dalam hal wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas namun
peredaran usahanya atau peredaran brutonya kurang dari Rp4,8 miliar setahun maka
Wajib Pajak dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Selain itu
Wajib Pajak yang memiliki pekerjaan bebas seperti dokter, pengacara, notaris,
akuntan, konsultan, penilai, aktuaris dan arsitek juga wajib melaporkan penghasilan
brutonya dan Pajak Penghasilannya.
4. Prinsip UU PPh Menentukan Orang Pribadi Sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri dan
Subjek Pajak Luar Negeri
Dalam bukunya, Markus dan Yujana (2002) mengatakan bahwa, UU PPh menentukan
bahwa setiap orang pribadi yang berdomisili di Indonesia adalah Subjek Pajak orang
pribadi dalam negeri (asas domisili bukan asas kewarganegaraan). Orang pribadi yang
tidak berdomisili di Indonesia bukan Subjek Pajak, karena mereka tidak tunduk pada
hukum pajak yang berlaku di Indonesia. Mereka yang tidak berdomisili di Indonesia
baru tunduk pada hukum pajak Indonesia dan menjadi Subjek Pajak luar negeri, jika
mereka memenuhi salah satu syarat berikut :
1. Jika orang pribadi yang tidak berdomisili di Indonesia tersebut melakukan
kegiatan atau menjalankan usaha di Indonesia melalui Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia, maka orang pribadi tersebut menjadi Subjek Pajak Orang
Pribadi Luar Negeri BUT, atau
2. Jika orang pribadi yang tidak berdomisili di Indonesia tersebut menerima
atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia tanpa melalui
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, maka orang pribadi tersebut menjadi
Subjek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri selain BUT.
2
6. Kewajiban Wajib Pajak
Sesuai dengan sistem self assessment, Wajib Pajak mempunyai kewajiban
untuk mendaftarkan diri, melakukan sendiri penghitungan pembayaran dan pelaporan
pajak terutangnya.
Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Wajib Pajak Orang Pribadi yang wajib
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP adalah :
a Orang Pribadi yang menjalakan usaha atau pekerjaan bebas;
b Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, yang
memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib
mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya;
c Wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah
berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan
perjanjian pemisahan penghasilan dan harta;
d Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha
berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan
diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
e Untuk memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi kedudukan wajib pajak dengan
mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi.
Selain mendatangi Kantor Pelayanan Pajak, Wajib Pajak Orang Pribadi dapat
pula mendaftarkan diri secara online melalui e-registration di website
Direktorat Jenderal Pajak www.pajak.go.id. Selain mendapatkan NPWP,
Wajib Pajak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan
kepadanya akan diberikan Nomor Pengkuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)
3
Kewajiban pajak subjektif untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang
pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia, dimulai sejak hari pertama orang pribadi tersebut
berada atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat
meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Sedangkan
kewajiban pajak subjektif bagi orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia
dimulai pada saat ia lahir di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
9. Perbedaan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Usaha dan yang Tidak
Melakukan Usaha/Pekerjaan Bebas
4
a Kewajiban Pajak Bagi Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas
1) WPOP Karyawan yang hanya memperoleh penghasilan dari satu pemberi
kerja.
Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas (berstatus sebagai karyawan) dan hanya bekerja pada satu
pemberi kerja tidak memiliki kewajiban untuk membayar pajak sendiri setiap
bulan atas penghasilan yang diterima/ diperoleh seubungan dengan
pekerjaan.WP Orang Pribadi ini juga tidak memiliki kewajiban untuk membuat
laporan (Surat Pemberitahuan Masa) ke Kantor Pelayanan Pajak setiap bulan.
Perusahaan tempat wajib pajak bekerja (pemberi kerja) memiliki
kewajiban untuk memotong pajak atas penghasilan sehubungan pekerjaan yang
dibayarkan/terutang kepada karyawannya setiap bulan dan menyetorkannya ke
Kas Negara serta melaporkannya ke kantor pelayanan pajak setempat. Oleh
karena itu gaji yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi yang berstatus
sebagai karyawan adalah gaji bersih setelah dipotong pajak penghasilan.Pajak
yang terutang atas Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dikenal dengan
istilah PPh Pasal 21.
2) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang bukan obyek PPh
Final.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan lain
selain dari satu pemberi kerja, baik karena bekerja pada lebih dari satu pemberi
kerja maupun memiliki penghasilan lain selain dari pekerjaan dan penghasilan
lain tersebut bukan merupakan obyek PPh final.
Besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh wajib pajak dihitung
berdasarkan PPh yang terutang dalam SPT Tahunan tahun sebelumnya setelah
dikurangi dengan pemotongan yang dilakukan pihak lain yang dapat
dikreditkan dan dibagi 12 (dua belas).
Jatuh tempo pembayaran PPh pasal 25 adalah tanggal 15 bulan
berikutnya.Jika jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka
pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pembayaran Angsuran
PPh pasal 25 ini, wajib dilaporkan ke kantor pelayanan pajak tempat wajib
pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
5
3) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang merupakan obyek
PPh Final.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan lain
selain dari satu pemberi kerja, dan memiliki penghasilan lain yang merupakan
obyek PPh final, maka selain diwajibkan untuk melaporkan SPT Tahunan
(SPT 1770-S) juga memiliki kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPh
final pasal 4 (2).
Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran PPh-nya
wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib pajak) adalah sebagai
berikut :
- Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
- Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
- Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi ;
b Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha
atau Pekerjaan Bebas.
Bagi wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan Usaha atau
pekerjaan bebas, setelah terdaftar di kantor pelayanan pajak dan memperoleh NPWP
maka akan memiliki kewajiban pajak yang harus dilaksanakan. Wajib Pajak Orang
Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja selain
diwajibkan untuk membayar dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya sendiri juga diwajibkan untuk menyetorkan dan
melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada
karyawannya.
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak Orang Pribadi yang melakukann
kegiatan usaha/pekerjaan bebas setelah memperoleh NPWP adalah sebagai berikut :
1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)
2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)
B. Dasar Hukum PPh WP OP
1. Dasar Hukum PPh WP OP
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 Pasal 25 ayat (7)
6
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 tentang Penghitungan
Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus
Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak
Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak
Masuk Bursa dan Wajib Pajak Lainnya yang berdasarkan Ketentuan Diharuskan
Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 208/PMK.03/2009
c. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 tentang Pelaksanaan
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu
7
keterangan resminya;
c. Wajib Pajak yang tidak ditemukan alamatnya, walaupun sudah diusahakan
pencariannya;
d. Wajib Pajak yang secara nyata tidak lagi menunjukkan kegiatan usaha.
Sebagai Wajib Pajak, tiap-tiap Wajib Pajak mempunyai hak-hak dan
kewajiban perpajakan. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak adalah :
a Kewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib
Pajak;
b Kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan;
c Menghitung dan membayar pajaknya dengan benar;
d Mengisi dan memasukkan SPT masa dan Tahunan tepat pada waktunya;
e Jika diperiksa, Wajib Pajak harus meberikan keterangan yang diperlukan
dan memperlihatkan atau meminjamkan pembukuan/pencatatan serta
memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan termasuk memasuki
ruangan-ruanganatau tempat yang diperlukan.
Selain itu, Wajib Pajak berhak untuk :
a Menunda pemasukan SPT
b Membetulkan atau mengadakan koreksi terhadap SPT yang telah
disampaikan kepada fiskus
c Mengajukan permohonan untuk menunda pembayaran pajak atas suatu
ketetapan maupun mengajukan permohonan pengurangan besarnya
angsuran pajak
d Meminta kembali (restitusi) atau mengadakan kompensasi terhadap
kelebihan pembayaran pajak
e Mengajukan permohonan untuk dihapuskannya sanksi Administrasi
f Mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak
g Mengajukan banding kepada Badan Peradilan Pajak yang lebih tinggi.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-
06/PJ.9/2001.
Pengertian Ekstensifikasi adalah ”kegiatan yang berkaitan dengan penambahan
jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan obyek pajak dalam administrasi
Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam Surat Edaran tersebut menerangkan bahwa
ruang lingkup pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak meliputi :
1. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), termasuk pemberian
8
NPWP secara jabatan terhadap Wajib Pajak PPh orang pribadi yang
berstatus sebagai karyawan perusahaan, orang pribadi yang bertempat
tinggal di wilayah atau lokasi pemukiman, atau perumahan, dan orang
pribadi lainnya (termasuk orang asing yang yang bertempat tinggal di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan), yang
memperoleh atau menerima penghasilan yang melebihi batas Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP)
2. Pemberian NPWP di lokasi usaha, terhadap orang pribadi pengusaha
tertentu yang mempunyai lokasi usaha di sentra perdagangan atau
perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal atau plaza atau
kawasan industri atau sentra ekonomi lainnya
3. Penentuan jumlah angsuran PPh pasal 25 yang harus disetor dalam tahun
berjalan, dimulai sejak Januaritahun yang bersangkutan.
9
Pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan di Kantor Pos dan Giro
atau bankbank persepsi yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak. Setiap keterlambatan
pembayaran atau penyetoran pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% sebulan dari pokok pajak yang terutang, dihitung mulai dari tanggal jatuh
tempo pembayaran dan bagian bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Dalam hal WP
tidak mampu membayar pajak atau alasan lainnya, berdasarkan Pasal 9 ayat (4) UU
No.16/2000, WP yang betul-betul mengalami kesulitan likuiditas diperkenankan untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang dengan mengajukan
permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang
terutang.
10
Sedangkan pengertian dari penagihan menurut Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2000 adalah ”serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika sekaligus, memberitahukan Surat Paksa,
mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan,
menjual barang yang telah disita”. Tindakan penagihan pajak diawali dengan
menerbitkan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran pajak.
Apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh
Penanggung pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterbitkannya Surat
Teguran, pejabat segera menerbitkan Surat Paksa. Selanjutnya, setelah lewat 2 kali 24
(dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan, Penanggung Pajak
masih belum melunasi utang pajaknya, maka pejabat segera menerbitkan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan. Tetapi apabila utang pajak dan biaya penagihan
yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah lewat waktu
14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, pejabat dapat
melaksanakan pengumuman lelang. Tindakan penagihan terakhir yang dilakukan
pejabat adalah dengan segera melakukan penjualan barang sitaan Penanggung Pajak
melalui Kantor Lelang, jika setelah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengumuman
lelang, utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak juga dilunasi
oleh Penanggung Pajak.
11
e) Wajib pajak orang pibadi yang semata-mata menerima penghasilan yang
bersifat final. Contohnya: Bunga deposito, hadiah undian.
f) Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang
bukan objek pajak. Contohnya: Bantuan, sumbangan.
g) Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari luar
negeri. Contohnya: bunga, royalti dari luar negeri (PPh pasal 24).
h) Wajib pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari berbagai sumber.
Contohnya: Pegawai swasta tetapi juga mempunyai usaha rumah makan, PNS
tetapi membuka praktek dokter.
D. Perbedaan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Usaha dan yang Tidak
Melakukan Usaha/Pekerjaan Bebas
1) Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas.
a) WPOP Karyawan yang hanya memperoleh penghasilan dari satu pemberi
kerja.
WPOP yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
(berstatus sebagai karyawan) dan hanya bekerja pada satu pemberi kerja tidak
memiliki kewajiban untuk membayar pajak sendiri setiap bulan atas
penghasilan yang diterima/diperoleh sehubungan dengan pekerjaan WPOP ini
juga tidak memiliki kewajiban untuk membuat laporan (Surat Pemberitahuan
Masa) ke Kantor Pelayanan Pajak setiap bulan.
Perusahaan tempat wajib pajak bekerja (pemberi kerja) memiliki
kewajiban untuk memotong pajak atas penghasilan sehubungan pekerjaan
yang dibayarkan/terutang kepada karyawannya setiap bulan dan
menyetorkannya ke Kas Negara serya melaporkannya ke kantor pelayanan
pajak setempat. Oleh karena itu, gaji yang diterima oleh WPOP yang
berstatus sebagai karyawan adalah gaji bersih setelah dipotong pajak
penghasilan. Pajak yang terutang atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan dikenal dengan istilah PPh Pasal 21.
b) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang bukan obyek PPh
final.
Bagi WPOP yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
(WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan lain selain dari satu
12
pemberi kerja, baik karena bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja maupun
memiliki penghasilan lain selain dari pekerjaan dan penghasilan tersebut
bukan merupakan objek PPh final, maka selain diwajibkan untuk melaporkan
SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga memiliki kewajiban untuk membayar dan
melaporkan PPh pasal 25 setiap bulan.
Besarnya PPh pasal 25 yang harus dibayar oleh wajib pajak dihitung
berdasarkan PPh yang terhutang dalam SPT Tahunan tahun sebelumnya
setelah dikurangi dengan pemotongan yang dilakukan pihak lain yang dapat
dikreditkan dan dibagi 12 (dua belas).
Jatuh tempo pembayaran PPh pasal 25 adalah tanggal 15 bulan
berikutnya. Jika jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka
pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pembayaran
Angsuran PPh pasal 25 ini, wajib dilaporkan ke kantor pelayanan pajak
tempat wajib pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
Apabila jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka penyampaian SPT
Masa PPh pasal 25 harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
c) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang merupakan objek
PPh Final.
Bagi WPOP yang tidak melakukan kegiatan saha atau pekerjaan bebas
(WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan lain selain dari satu
pemberi kerja, dan memiliki penghasilan lain yang merupakan objek PPh
final, maka selain diwajibkan untuk melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S)
juga memiliki kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPh final pasal 4
ayat 2.
Jenis penghasilan lain yang merupakan objek PPh final dan
pembayaran PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan
(Wajib Pajak) adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
2. Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
3. Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
2) Kewajiban Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan
Usaha atau Pekerjaan Bebas.
Bagi WPOP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, setelah
terdaftar di kantor pelayanan pajak dan memperoleh NPWP maka akan memiliki
13
kewajiban pajak yang harus dilaksanakan WPOP yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja selain diwajibkan untuk membayar
dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya sendiri juga diwajibkan untuk menyetorkan dan melaporkan PPh
yang terutang atau penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada
karyawannya.
Dalam hal WPOP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas telah
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak juga memiliki kewajiban dibidang
PPN. Bagi WPOP tertentu yang telah ditunjuk oleh dirjen pajak sebagai pemotong
PPh pasal 23 dan PPh final pasal 4 ayat 2, juga memiliki kewajiban dibidang PPh
pasal 23 dan PPh final pasal 4 ayat 2.
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh WPOP yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas setelah memperoleh NPWP adalah sebagai berikut:
1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)
2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan).
E. Pengertian Pembukuan
Menurut UU KUP Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 1 angka 29 menyatakan bahwa
pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi aset, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
untuk periode tahun pajak tersebut.
a. Kewajiban Pembukuan
Dalam UU KUP Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 28 ayat (1) menyatakan bahwa WP
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas dan WP badan di Indonesia
wajib menyelenggarakan pembukuan.
b. Syarat menyelenggarakan pembukuan
14
3. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas (consistency)
6. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen lain,
termasuk hasil pegelolaan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik
atau secara program aplikasi online, wajib disimpan selama 10 tahun di Indonesia
yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal WP orang pribadi, atau di tempat
kedudukan WP badan.
WP OP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya
dalam 1 tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan
1. WP OP yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
2. Kewajibannya :
WP OP yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto ini wajib menyelenggarakan pencatatan
3. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila WP
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
b. Dalam hal terhadap WP Badan atau WP OP yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam UU KUP, ternyata
Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau
15
pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya, penghasilan netonya dihitung dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
16
b. Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau
pekerjaan bebas adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis
usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung.
Kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan ini dimaksudkan untuk
merumuskan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian laporan keuangan bagi
pengguna laporan keuangan eksternal.
b. Asumsi dasar dan persamaan akuntansi
Laporan keuangan disusun berdasarkan asumsi-asumsi dasar akuntansi, yaitu:
- Dasar akrual
17
Pengaruh transaksi dan peristiwa diakui pada saat kejadian dan bukan pada saat
kas atau setara kas diterima atau dibayar, serta pencatatan akuntansi dilaporkan
dalam laporan keuangan pada periode bersangkutan.
- Kelangsungan usaha
Penyusunan laporan keuangan pada dasarnya disusun dengan mendasarkan pada
asumsi kelangsungan usaha dan akan melanjutkan usahanya di masa yang akan
datang.
Dalam akuntansi, kegiatan yang dicatat adalah kegiatan yang bersifat keuangan yang
tercermin dalam transaksi usaha (business transaction). Transaksi usaha tersebut dicatat
menggunakan persamaan akuntansi (accounting equation) yang diakhiri dengan
penyusunan laporan keuangan.
c. Perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal
Koreksi Fiskal
Dasar Hukum : UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
a. Koreksi Positif
Intinya, tujuan dari koreksi positif adalah menambah laba komersil atau laba
Penghasilan Kena Pajak (PhKP). Jadi, koreksi positif akan menambahkan pendapatan
dan mengurangi atau mengeluarkan biaya-biaya yang sekiranya harus diakui secara
fiskal. Secara rinci, penyebab dari koreksi positif menurut Ortax.org adalah:
1. Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau
orang yang menjadi tanggungannya.
2. Dana cadangan.
3. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura atau kenikmatan.
4. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
5. Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan.
6. Pajak penghasilan.
7. Gaji yang dibayarkan kepada pemilik.
8. Sanksi administrasi.
9. Selisih penyusutan/amortisasi komersial di atas penyusutan/amortisasi fiskal.
10. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan
PPh Final dan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.
11. Penyesuaian fiskal positif lain yang tidak berasal dari hal-hal yang telah
disebutkan di atas.
19
b. Koreksi Negatif
Sebaliknya, tujuan dari koreksi negatif adalah mengurangi laba komersil atau laba
PhKP. Hal ini disebabkan oleh pendapatan komersil yang lebih tinggi daripada
pendapatan fiskal dan biaya-biaya komersil yang lebih kecil daripada biaya-biaya
fiskal. Penyebab dari adanya koreksi negatif sendiri adalah.
1. Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan yang tidak termasuk
objek pajak tetapi termasuk dalam peredaran usaha.
2. Selisih penyusutan/amortisasi komersial komersial di bawah
penyusutan/amortisasi fiskal.
3. Penyesuaian fiskal negatif lain yang tidak berasal dari hal-hal yang telah
disebutkan di atas.
20
- Biaya-biaya yang menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan
karena tidak memenuhi syarat-syarat tertentu (misalnya ; daftar
nominatif biaya entertainment, daftar nominatif atas peghapusan
piutang).
b. Beda Waktu
Beda waktu merupakan perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi
komersial dengan ketentuan fiskal, misalnya ;
- Metode penyusutan
- Metode penilaian persediaan
- Penyisihan piutang tak tertagih
- Rugi-laba selisih kurs
- Dan sebagainya.
Sedangkan segala bentuk penghasilan yang sudah dikenakan pajak yang bersifat
final, tidak boleh diperlakukan sebagai kredit pajak. Demikian pula untuk pajak
penghasilan yang dipungut atau dibayar di luar negeri oleh wajib pajak dalam negeri.
Pajak penghasilan yang telah dipungut di luar negeri dapat dikurangkan dengan pajak
penghasilan yang terhutang di Indonesia, bila telah ada perjanjian kerjasama timbal balik
(tax treaty) di bidang perpajakan antara Indonesia dengan Negara lain. Bila belum ada
perjanjian pajak, maka wajib pajak tidak dapat melakukan kredit pajak. Perhitungan
besarnya pajak yang dapat dikreditkan terhadap pajak terutang atas seluruh penghasilan
yang telah dipungut di luar negeri diatur dalam pasal 24.
21
2. Variabel-variabel dalam penghitungan PPh orang pribadi
Dalam UU Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP), pengertian Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu.
Sebagaimana diketahui, dalam prakteknya banyak Wajib Pajak terdaftar yang tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya disebabkan antara lain non aktif, meninggal
dunia dan sebagainya. Dari kenyataan di atas telah timbul berbagai istilah seperti
Wajib Pajak aktif, Wajib Pajak efektif, Wajib Pajak non aktif, Wajib Pajak non efektif.
Tetapi dalam adminstrasi perpajakan hanya mengenal istilah Wajib Pajak efektif dan
Wajib Pajak non efektif. Pengertian dari Wajib Pajak efektif adalah Wajib Pajak yang
memenuhi kewajiban menyampaikan SPT Masa dan atau Tahunan sebagaimana
mestinya; sedangkan Wajib Pajak non efektif adalah Wajib Pajak yang tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya, berupa kewajiban menyampaikan SPT Masa dan
atau Tahunan. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak
Nomor SE-09/PJ.8/1998 Tanggal 2 Oktober 1988, Wajib Pajak dikatakan non efektif
adalah : (i) Wajib Pajak yang berturut-turut selama 2 (dua) tahun tidak menyampaikan
SPT; (ii) Wajib Pajak yang sudah meninggal dunia atau bubar tetapi belum ada surat
keterangan resminya; (iii) Wajib Pajak yang tidak ditemukan alamatnya, walaupun
sudah diusahakan pencariannya; atau (iv) Wajib Pajak yang secara nyata tidak lagi
menunjukkan kegiatan usaha.
22
koreksi terhadap SPT yang telah disampaikan kepada fiskus; (iii) Mengajukan
permohonan untuk menunda pembayaran pajak atas suatu ketetapan maupun
mengajukan permohonan pengurangan besarnya angsuran pajak; (iv) Meminta
kembali (restitusi) atau mengadakan kompensasi terhadap kelebihan pembayaran
pajak; (v) Mengajukan permohonan untuk dihapuskannya sanksi administrasi; (vi)
Mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak; dan (vii) Mengajukan banding
kepada Badan Peradilan Pajak yang lebih tinggi.
23
KPP; dan lembar (4) untuk Bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro. Fungsi dari SSP
adalah sebagai bukti dan laporan pembayaran pajak.
Pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan di Kantor Pos dan Giro
atau bank-bank persepsi yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak. Setiap keterlambatan
pembayaran atau penyetoran pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% sebulan dari pokok pajak yang terutang, dihitung mulai dari tanggal jatuh
tempo pembayaran dan bagian bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Dalam hal WP
tidak mampu membayar pajak atau alasan lainnya, berdasarkan Pasal 9 ayat (4) UU
No.16/2000, WP yang betul-betul mengalami kesulitan likuiditas diperkenankan untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang dengan mengajukan
permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang
terutang.
24
Tunggakan pajak adalah utang pajak yang tidak dibayar sesudah jatuh tempo
pembayaran. Apabila Dirjen Pajak, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan
keterangan lain, mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang tidak
benar,maka Dirjen Pajak dapat menetapkan jumlah pajak yang terutang yang
semestinya, menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan
Undang-Undang ini, Dirjen Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak (SKP) atas semua SPT yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan
suatu SKP hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh
ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau ditemukannya data fiskal lainnya.
25
DAFTAR PUSTAKA
https://dokumen.tips/download/link/konsep-dasar-dasar-hukum-dan-variabel-variabel-pph-
wajib-pajak-orang-pribadi Diakses pada 27 September 2019. Pukul 18.15 WITA
https://www.scribd.com/doc/304559128/Perbedaan-PPh-Wajib-Pajak-Orang-Pribadi-Yang-
Melakukan-Usaha-Dan-Yang-Tidak-Melakukan-Usaha. Diakses Pada 30 September 2019.
https://www.scribd.com/doc/284463495/Konsep-Dasar-Dasar-Hukum-Dan-Variabel-
Variabel-PPh-Wajib-Pajak-Orang-Pribadi. Diakses Pada 30 September 2019.
http://muhammadsyaroni.blogspot.com/2011/04/kredit-pajak Diakses pada30 September 2019
https://www.academia.edu/5847026/Analisis_Variabel-
Variabel_Yang_Mempengaruhi_Tingkat Diakses pada 2 oktober 2019.
26