Anda di halaman 1dari 19

Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana

Endokarditis Infektif dengan Komplikasi Emboli Septik Pulmoner pada Pasien

Hemodialisis Kronik

Jeremia Immanuel Siregar , Imelda Maria Loho , 2


Idrus Alwi

1Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit dr.
Cipto Mangunkusumo,

Jakarta,

2Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia/Rumah Sakit dr. Cipto

Mangunkusumo, Jakarta

ABSTRAK

Pendahuluan. Endokarditis infektif (EI) pada pasien hemodialisis (HD) merupakan salah satu
contoh EI yang terkait dengan perawatan kesehatan dan menjadi penyebab kematian kedua
pada pasien HD setelah penyakit kardiovaskuler. Penggunaan kateter intravaskuler sebagai
akses HD meningkatkan risiko kejadian bakteremia sebesar sepuluh kali lipat serta infeksi
“metastatik” seperti EI dan emboli septik pulmoner sebesar 10-40%.

Ilustrasi Kasus. Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang dengan keluhan dyspnea d’effort,
orthopnea, dan post- nocturnal dyspnea, disertai batuk dengan bercak darah dan demam tinggi
sejak lima hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien menjalani HD kronik selama 15 bulan
dengan menggunakan catheter double-lumen (CDL). Dari pemeriksaan fisik didapatkan ronki
basah kasar bilateral, murmur pansistolik grade 3/6 pada sela iga keempat linea sternalis
sinistra, dan gallop S3. Pada ekokardiografi ditemukan vegetasi di katup trikuspid dan
pemeriksaan CT-scan toraks memberikan gambaran emboli septik pulmoner. Didapatkan satu
dari tiga kultur darah yang positif untuk infeksi methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA). Pengobatan dengan vankomisin yang adekuat selama enam minggu memberikan
kemajuan klinis signifikan, meskipun pada ekokardiografi evaluasi masih didapatkan adanya
vegetasi. Pasien kemudian menjalani operasi pengangkatan vegetasi, perbaikan katup jantung,
dan penggantian CDL, dimana kondisinya semakin membaik dan masih menjalani HD secara
rutin hingga saat ini.
Simpulan. Pengenalan dini EI dan emboli septik pulmoner pada pasien yang menjalani HD
kronik dengan akses kateter intravaskuler sangat penting agar tatalaksana awal yang adekuat
dan komprehensif dapat dilakukan. Hal ini dapat memperbaiki kondisi klinis serta
memperpanjang kesintasan hidup pasien.

Kata kunci: endokarditis infektif, emboli septik pulmoner, hemodialisis kronik.

PENDAHULUAN dan penggunaan narkoba suntik. Perubahan


signifikan yang terjadi pada epidemiologi
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa
penyakit ini adalah bahwa lebih dari sepertiga
insiden tahunan Endokarditis infektif (EI) di
kasus EI yang dilaporkan dalam beberapa
negara-negara industri berjumlah 3 sampai 9
tahun terakhir berhubungan dengan perawatan
kasus per 100.000 orang. Lebih dari 50%
kesehatan. Hal ini yang menjelaskan mengapa
penderita penyakit ini adalah laki-laki. Jumlah
proporsi pasien usia dewasa muda dan lanjut
ini lebih banyak diamati pada pasien dengan
usia yang mengalami penyakit ini menjadi
katup prostetik, intracardiac devices penyakit
semakin tinggi.
jantung bawaan sianotik, atau riwayat EI,
meskipun banyak juga kasus EI ditemukan pada EI pada pasien HD merupakan salah satu
pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit contoh EI yang terjadi terkait dengan
katup. perawatan kesehatan. Kasus ini pertama kali
dilaporkan pada tahun 1966, dan insidennya
Faktor risiko lain yang dapat
berkembang dari 6,7% menjadi >20% dalam 7
meningkatkan kemungkinan terjadinya
tahun terakhir. Hal yang lebih mengejutkan
penyakit EI adalah penyakit jantung rematik
yaitu EI pada pasien HD secara signifikan
kronis, penyakit katup degeneratif,
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang
hemodialisis (HD), serta kondisi-kondisi
lebih besar dari pada populasi umum dan
penyerta seperti diabetes, infeksi HIV (human
immunodeficiency virus),
menjalani HD rutin sejak 15 bulan yang
5 lalu dengan menggunakan akses catheter-
Jeremia Immanuel Siregar, Imelda Maria Loho,
double lumen (CDL). Pasien mengaku tidak
Idrus Alwi
memiliki riwayat penggunaan narkoba suntik.

Dari pemeriksaan fisik saat awal masuk


menjadi penyebab kematian kedua pada rumah sakit, didapatkan tekanan darah
pasien-pasien HD setelah penyakit 120/70 mmHg, frekuensi nadi 120 kali per
kardiovaskuler. Lebih jauh lagi, penggunaan menit reguler, kuat angkat, suhu tubuh 38,5°C,
kateter intravaskuler sebagai akses HD sendiri frekuensi pernapasan 24 kali/menit, serta
meningkatkan risiko sepuluh kali lipat lebih saturasi perifer 99% dengan O2 nasal 2 LPM.
besar untuk kejadian bakteremia dibandingkan Berat badan pasien yaitu 50,3 kg dengan
dengan cimino, dengan insiden infeksi tinggi badan 170 cm (indeks massa
“metastatik” seperti EI dan emboli septik tubuh/IMT: 17,4) dengan status gizi kurang.
pulmoner sebesar 10-40%. Pada artikel ini akan Konjungtiva pasien pucat dengan sklera
dibahas kasus EI dengan komplikasi emboli anikterik. Tekanan vena jugular meningkat
septik pulmoner pada pasien HD kronik dengan setinggi 5+3 cmH2O. Dari pemeriksaan
akses kateter intravaskuler. paru didapatkan ronki basah kasar bilateral.
Dari pemeriksaan jantung didapatkan bunyi
jantung murmur pansistolik derajat 3/6
ILUSTRASI KASUS dengan punctum maksimum di sela iga 4
linea sternalis sinistra, dan gallop S3. Hasil
Seorang laki-laki berumur 35 tahun datang
temuan pemeriksaan fisik lainnya dalam
ke gawat darurat dengan keluhan utama sesak
batas normal.
nafas yang memberat sejak satu hari sebelum
masuk rumah sakit. Sesak nafas tidak Pada pemeriksaan laboratorium
dipengaruhi oleh aktivitas, dan didapatkan didapatkan hemoglobin 6,36 g/dL,
juga keluhan orthopnea dan post-nocturnal hematokrit 17,8%, leukosit 19.800 sel/mm ,
dyspnea. Keluhan batuk juga dirasakan dengan trombosit 135.000 sel/mm dengan
dahak warna kehijauan disertai bercak darah. neutrofil 83%. Selain itu, didapatkan juga
3 3
Demam tinggi dirasakan juga sejak lima peningkatan ureum 257,6 mg/dL, kreatinin
12,53 mg/dL, serta penurunan kadar
hari dan lebih tinggi pada sore hari, namun tanpa
albumin 2,3 mg/dL. Nilai hemostasis pasien
disertai keringat di malam hari. Nafsu makan
adalah: APTT pasien/kontrol 60,9/32,7, PT
pasien juga berkurang, disertai penurunan berat
14,2/11,5, fibrinogen 289.9 mg/dL, dan d-
badan yang signifikan yaitu sekitar 8 kg dalam
Dimer 8300 ug/L, dengan skor Koagulasi
dua bulan terakhir. Pasien diketahui memiliki
234 | Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 2, No. 4 | Desember 2015
penyakit ginjal serta hipertensi dan harus
Intravaskuler Diseminata (KID) 5. Hasil foto
toraks awal
memberikan kesan kardiomegali, infiltrat di
lapangan tengah, bawah, dan apeks paru kanan
serta parakardial kiri (gambar 1). Hasil EKG
awal hanya menunjukkan sinus takikardia
dengan hipertrofi ventrikel kiri.

Berdasarkan data-data ini, ditetapkan


rumusan masalah awal yaitu sepsis dengan
Koagulasi Intravaskuler Diseminata yang
disebabkan oleh Health Care Associated
Pneumonia (HCAP) dengan diagnosis banding
tuberkulosis (TB) paru relaps dengan infeksi
sekunder, Gagal jantung kongestif kelas
fungsional II-III yang disebabkan oleh
penyakit jantung hipertensi, Chronic Kidney
Disease (CKD) stadium V dalam hemodialisis
rutin dengan anemia normositik normokromik
dan hipertensi terkontrol, anemia normositik
normokromik yang diduga karena perdarahan
samar dengan diagnosis banding anemia
renal, hipoalbuminemia serta malnutrisi. Dari
rumusan masalah tersebut, pasien direncanakan
untuk diperiksakan basil tahan asam (BTA)
sputum tiga kali, kultur sputum dan darah,
prokalsitonin serial serta ekokardiografi.
Rontgen toraks evaluasi untuk pasien juga
direncanakan setelah tujuh hari pemberian
antibiotik.

Terapi awal yang diberikan untuk pasien


adalah O2 dua liter per menit nasal kanul,
meropenem loading dose 1 gram, dilanjutkan
500 mg/12 jam intravena (IV), heparin 10
unit/kgBB/24 jam atau setara 12000 unit per 24
jam, n-asetil sistein 200 mg/8 jam per oral (PO),
inhalasi ipratropium bromide dan albuterol/8
jam, amlodipin 10 mg/hari, paracetamol 500
mg/8 jam, natrium bikarbonat 500 mg/8 jam, asam
folat 15 mg/hari, serta vitamin B12 50 mcg/8 jam.

Pada hari perawatan ketiga,


pemeriksaan ekokardiografi menunjukkan adanya
regurgitasi trikuspid (RT) berat, regurgitasi aorta
(RA) sedang, regurgitasi mitral (RM) ringan, serta
hipertensi pulmoner sedang, dengan fraksi ejeksi
51%. Ditemukan juga vegetasi di katup
trikuspid yang khas pada endokarditis (Gambar 2).
Melihat hasil tersebut, kemudian dilakukan
pemeriksaan kultur darah lagi sebanyak dua kali
di tempat yang berbeda, dengan temuan
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) pada 1 dari 3 kultur darah yang diambil.

Berdasarkan hasil-hasil temuan ini,


ditetapkan tambahan daftar masalah EI possible
pada pasien. Antibiotik meropenem dihentikan
pada hari ke-11 perawatan dan dimulai terapi
vankomisin selama enam minggu dengan dosis
awal 1 gram, dilanjutkan 250 mg/12 jam IV,
dengan tambahan dosis 250 mg IV setelah HD.
Kemudian, dilakukan HD tiga kali seminggu selama
empat jam serta prosedur dekontaminasi
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA).
Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Endokarditis Infektif dengan Komplikasi Emboli
Septik Pulmoner pada Pasien Hemodialisis Kronik

Gambar 1. Perbandian foto toraks awal


perawatan (1a) serta evaluasi 5 hari setelah
Evaluasi foto toraks evaluasi serial setelah
antibiotik
pemberian antibiotik menunjukkan tidak adanya
perubahan signifkan dari infiltrat di paru serta
terkesan “berpindah-pindah” disertai adanya
kecurigaan kavitas baru (Gambar 1). Melihat
hasil ini, pada perawatan hari ke-24 dilakukan
pemeriksaan CT-scan toraks dengan
menggunakan kontras, dengan temuan adanya
kavitas multipel yang berlokasi dari apeks
hingga basal paru, disertai nodul multipel
kedua paru dengan feeding vessels yang sesuai
dengan emboli septik pulmoner (Gambar 3).
6

Pada hari perawatan ke-28, dilakukan


ekokardiografi evaluasi setelah dua minggu
pemberian vankomisin. Dari gambaran
7
ekokardiografi didapatkan perbaikan fungsi
jantung, yaitu RT yang sebelumnya berat
menjadi sedang dan PH yang sebelumnya
sedang menjadi ringan. Akan tetapi, masih
terdapat vegetasi di daerah katup trikuspid.
Namun demikian, kondisi klinis pasien semakin
membaik dan frekuensi demam semakin jarang.
9

Pada hari perawatan ke-55, dilakukan


ekokardiografi evaluasi setelah enam minggu
pemberian vankomisin. Pada ekokardiografi saat
ini, fungsi sistolik jantung pasien

Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 2, No. 4 | Desember 2015 | 235


mengalami perbaikan signifikan dengan DISKUSI
fraksi ejeksi mencapai 65%. Namun
demikian, masih ditemukan adanya vegetasi
di katup trikuspid serta penemuan vegetasi Epidemiologi
baru di katup aorta area LCC (left
Berdasarkan literatur yang ada, pasien
coronary cusp). Setelah itu dilakukan
dengan HD kronis memang memiliki risiko
ekokardiografi trans-esofageal dan
kejadian EI yang lebih tinggi dibandingkan yang
didapatkan ukuran vegatasi di katup trikuspid
lainnya. Dalam sebuah studi di rumah sakit
sebesar 3.5 cm x 1.8 cm dan ukuran vegetasi
yang dilakukan pada pasien-pasien
di katup aorta sebesar 0.7 cm x 1.4 cm.
endokarditis dengan alami, Lamas, dkk.
Meskipun masih terdapat vegetasi melaporkan bahwa sepertiga pasien dengan EI
pada katup tersebut, kondisi klinis pasien adalah pasien ESRD yang telah menjalani HD
semakin baik, dan tanda- tanda infeksi rutin. Penelitian terbaru juga menunjukkan
serta gagal jantung telah mengalami bahwa proporsi keseluruhan pasien HD yang
perbaikan yang signifikan. Kultur darah mengalami EI adalah setinggi 20%, dengan
evaluasi pada CDL dan area lain juga peningkatan proporsi dari 6,7% menjadi 20%
menunjukkan tidak adanya bakteri. Pasien selama periode 7 tahun penelitian. Penelitian
ini kemudian menjalani operasi lain juga menemukan bahwa pasien HD kronik
pengangkatan vegetasi, perbaikan katup memilki peningkatan risiko untuk mengalami
jantung dan penggantian CDL. Kondisi endokarditis infeksi sebanyak 16.9-17,9 kali
klinis pasien secara klinis mengalami dibandingkan dengan
perbaikan signifikan setelah operasi dan
masih menjanai HD rutin hingga saat ini.

populasi 8
umum.

Penggunaan akses catheter double-lumen


(CDL) untuk HD kronik juga dapat meningkatkan
Gambar 2. Vegetasi yang terlihat pada
risiko sepuluh kali lipat lebih besar untuk
ekokardiografi pada katup trikuspid (2a) dan
mengalami bakteremia dibandingkan populasi
left coronary cusp (2a)
HD yang menggunakan arteriovenous (AV)
fistula sebagai akses HD, dengan insiden EI
dan septik emboli pulmoner sebesar 10-40%.
Gambar 3a dan b. Gambaran emboli septik
Hal ini sejalan dengan kondisi pasien dimana
pulmoner pada CT toraks, ditandai dengan
pasien mengalami EI dan septik emboli
gambaran feeding vessels.
pulmoner dengan CDL tunneling sebagai
akses utama untuk HD dalam jangka
waktu yang cukup lama. Hal ini menjadi
poin yang penting dalam melakukan
pendekatan terhadap pasien-pasien HD
kronis dengan keluhan demam tinggi, sesak
nafas dan gangguan katup jantung dengan
CDL sebagai aksesnya.
kejadian per 100 bulan perawatan pasien).
Kondisi ini secara utama merupakan hasil
Jeremia Immanuel Siregar, Imelda
penggunaan konstan
15
dari akses HD pasien
Maria Loho, Idrus Alwi
seperti akses intravaskuler melalui fistula
PATOFISIOLOGI
arterio-vena, graft, atau kateter pembuluh
15

Endotelium katup yang normal sebenarnya darah seperti


secara alamiah tahan terhadap kolonisasi oleh
10 15

bakteri-bakteri. Namun, pasien-pasien dengan


ESRD diketahui memiliki peningkatan insiden
11

penyakit katup jantung degeneratif, yang


merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya
EI. Stenosis aorta yang berkalsifikasi, kalsifikasi
mitral anuler dengan regurgitasi katup mitral
sebagai akibatnya, serta stenosis ataupun
degenerasi katup bioprostetik sangat sering
terjadi di kelompok ini. Selain itu, penyakit
16
katup jantung degeneratif yang terjadi pada
kelompok ini tampaknya dapat terjadi sekitar
10-20 tahun lebih awal dibandingkan13 dengan
populasi umum. Hal ini dapat kemungkinan
besar dapat terjadi sebagai akibat dari
kelainan homeostasis fosfor dan kalsium, terkait
dengan hiperparatiroidisme sekunder serta
13
kondisi mikroinflamasi kronis yang terjadi
akibat kondisi uremia pada pasien- pasien ini.
Kondisi inilah yang memungkinkan kondisi
katup jantung pada pasien kasus ini mengalami
18
kelainan signifikan yang dapat memicu terjadinya
kolonisasi bakteri yang juga memiliki properti
adhesi yang spesifik ini, seperti pada
Staphylococcus
14 aureus.

Kolonisasi bakteri-bakteri yang memiliki


properti adhesi yang spesifik ini juga dipicu
adanya kondisi bakteremia. Bakteremia
merupakan kondisi patogenik yang umum
236 | Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 2, No. 4 | Desember 2015
dijumpai pada pasien-pasien HD (sekitar satu
Pendekatan Diagnostik

kondisi ini merupakan salah satu infeksi Diagnosis EI umumnya didasarkan


“metastatik” yang dapat terjadi. Emboli septik pada klinis, mikrobiologi, dan temuan
merupakan emboli yang menyebar secara ekokardiografi. Kriteria Duke memiliki
hematogen ke paru dan berasal dari beberapa sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 80% dan
jenis infeksi. Emboli ini dapat mengakibatkan merupakan kriteria acuan untuk diagnosis.
oklusi dari pembuluh darah pulmoner yang kecil- Demam pada umumnya terjadi pada 80%
kecil di perifer dan mengakibatkan infark kasus. Dalam kebanyakan kasus, didapatkannya
pulmoner yang pada akhirnya berkomplikasi murmur baru dan memburuknya klinis murmur
menjadi mikroabses. Disamping itu, ekstravasasi dilaporkan pada 48% dan 20% dari kasus,
dari arteri bronkial atau yang disebut sebagai masing-masing. Sepsis, meningitis, gagal
“perdarahan paru” dapat menyebabkan terjadinya jantung yang tidak dapat dijelaskan, emboli
konsolidasi di perifer. Penyebab terjadinya septik pulmoner, stroke dan sumbatan arteri
kondisi ini terutama adalah penggunaan kateter perifer akut dapat merupakan manifestasi
intravaskuler dalam jangka waktu lama dan komplikasi dari endokarditis ini. Peningkatan
vegetasi dari EI. Kedua hal ini merupakan faktor penanda inflamasi seperti laju endap darah,
predisposisi yang dimiliki oleh pasien sehingga protein C-reaktif dan prokalsitonin juga diamati
komorbid emboli pulmoner septik dapat terjadi. pada dua pertiga dari kasus. Demikian juga
leukositosis dan anemia diamati pada

CDL tempat bakteremia dapat terjadi secara hampir sebagian besar 17


endogen (yaitu kasus.
dari flora kulit pasien sendiri, dimana infeksi stafilokokus menjadi penyebab utamanya)
atau sumber eksogen (yaitu kontaminasi dari petugas kesehatan). Risiko bakteremia ini
dapat meningkat tajam terutama pada pasien-pasien yang menggunakan kateter
intravaskuler seperti CDL.

Pasien HD kronik secara inheren rentan terhadap bakteremia dan EI karena


terjadinya penurunan sistem kekebalan tubuh pada pasien. Kelainan metabolik yang
berhubungan dengan End Stage Renal Disease (ESRD), kekurangan gizi, dan penyakit
penyerta lainnya seperti diabetes melitus, memang dapat mengganggu fungsi sel
polimorfonuklear dan mobilitas granulosit, mengurangi pertahanan seluler dan
pembersihan bakteri dari aliran darah. Semua hal ini pada akhirnya membuat pasien
menjadi rentan terhadap terjadinya EI.

Komplikasi emboli septik pulmoner yang terjadi juga merupakan komplikasi infektif
yang dapat ditemui pada pasien-pasien EI yang menjalankan HD kronis, dimana
Meskipun Kriteria Duke selalu dipakai dalam mendiagnosis EI, presentasi klinis
EI pada populasi HD seringkali sulit untuk dibedakan dari yang infeksi akses HD yang
sederhana. Selain itu, diagnosis EI pada pasien HD dengan menggunakan Kriteria Duke
dapat menimbulkan pertanyaan karena terdapatnya beberapa keterbatasan. Salah satunya
adalah kehadiran bakteremia untuk mendiagnosis EI karena fokus infeksi mungkin saja
berasal dari akses intravaskuler. Kedua, demam yang menjadi komponen lain kriteria
Duke seringkali tidak ditemukan pada pasien HD (45-70%) dibandingkan pada populasi
umum (80-90%), kemungkinan terjadi karena gangguan pertahanan seluler yang terkait
dengan uremia. Selain itu, tanda-tanda lain yang biasa menyertai penyakit menular pada
populasi umum seringkali tidak dapat dipakai untuk membantu dalam diagnosis seperti
peningkatan sedimentasi eritrosit dan anemia yang sudah hadir pada pasien ESRD serta
petanda infeksi seperti prokalsitonin

Dari pemeriksaan fisik saat awal masuk rumah sakit,

didapatkan tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi nadi

120 kali per menit reguler, kuat angkat, suhu tubuh 38,5°C,

frekuensi pernapasan 24 kali/menit, serta saturasi perifer

99% dengan O2

nasal 2 LPM. Berat badan pasien yaitu 50,3

kg dengan tinggi badan 170 cm (indeks massa tubuh/IMT:

17,4) dengan status gizi kurang. Konjungtiva pasien pucat

dengan sklera anikterik. Tekanan vena jugular meningkat

setinggi 5+3 cmH2

O. Dari pemeriksaan paru didapatkan

ronki basah kasar bilateral. Dari pemeriksaan jantung

didapatkan bunyi jantung murmur pansistolik derajat 3/6


dengan punctum maksimum di sela iga 4 linea sternalis

sinistra, dan gallop S3. Hasil temuan pemeriksaan fisik

lainnya dalam batas normal.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan

hemoglobin 6,36 g/dL, hematokrit 17,8%, leukosit 19.800

sel/mm3

, trombosit 135.000 sel/mm3

dengan neutrofil

83%. Selain itu, didapatkan juga peningkatan ureum 257,6

mg/dL, kreatinin 12,53 mg/dL, serta penurunan kadar

albumin 2,3 mg/dL. Nilai hemostasis pasien adalah: APTT

pasien/kontrol 60,9/32,7, PT 14,2/11,5, fibrinogen 289.9

mg/dL, dan d-Dimer 8300 ug/L, dengan skor Koagulasi

Intravaskuler Diseminata (KID) 5. Hasil foto toraks awal


memberikan kesan kardiomegali, infiltrat di lapangan

tengah, bawah, dan apeks paru kanan serta parakardial

kiri (gambar 1). Hasil EKG awal hanya menunjukkan sinus

takikardia dengan hipertrofi ventrikel kiri.

Berdasarkan data-data ini, ditetapkan rumusan

masalah awal yaitu sepsis dengan Koagulasi Intravaskuler

Diseminata yang disebabkan oleh Health Care Associated

Pneumonia (HCAP) dengan diagnosis banding tuberkulosis

(TB) paru relaps dengan infeksi sekunder, Gagal jantung


kongestif kelas fungsional II-III yang disebabkan oleh

penyakit jantung hipertensi, Chronic Kidney Disease

(CKD) stadium V dalam hemodialisis rutin dengan anemia

normositik normokromik dan hipertensi terkontrol,

anemia normositik normokromik yang diduga karena

perdarahan samar dengan diagnosis banding anemia

renal, hipoalbuminemia serta malnutrisi. Dari rumusan

masalah tersebut, pasien direncanakan untuk diperiksakan

basil tahan asam (BTA) sputum tiga kali, kultur sputum dan

darah, prokalsitonin serial serta ekokardiografi. Rontgen

toraks evaluasi untuk pasien juga direncanakan setelah

tujuh hari pemberian antibiotik.


Terapi awal yang diberikan untuk pasien adalah

O2

dua liter per menit nasal kanul, meropenem loading

dose 1 gram, dilanjutkan 500 mg/12 jam intravena (IV),

heparin 10 unit/kgBB/24 jam atau setara 12000 unit per

24 jam, n-asetil sistein 200 mg/8 jam per oral (PO), inhalasi

ipratropium bromide dan albuterol/8 jam, amlodipin 10

mg/hari, paracetamol 500 mg/8 jam, natrium bikarbonat

500 mg/8 jam, asam folat 15 mg/hari, serta vitamin B12 50

mcg/8 jam.

Pada hari perawatan ketiga, pemeriksaan


ekokardiografi menunjukkan adanya regurgitasi trikuspid

(RT) berat, regurgitasi aorta (RA) sedang, regurgitasi mitral

(RM) ringan, serta hipertensi pulmoner sedang, dengan

fraksi ejeksi 51%. Ditemukan juga vegetasi di katup

trikuspid yang khas pada endokarditis (Gambar 2). Melihat

hasil tersebut, kemudian dilakukan pemeriksaan kultur

darah lagi sebanyak dua kali di tempat yang berbeda,

dengan temuan Methicillin-Resistant Staphylococcus

aureus (MRSA) pada 1 dari 3 kultur darah yang diambil.

Trend dan isu dari jurnal di atas

Tren dan isunya : endocarditis pada pasien hemodialisis

HEMODIALISIS.

Hemodialisa adalah metode pencucian darah dengan membuang cairan berlebih dan zat-zat
yang berbahaya bagi tubuh melalui alat dialysis untuk menggantikan fungsi ginjal yang
rusak. Kapan saya harus melakukan hemodialisa? Hemodialisa dilakukan bila ginjal anda
sudah tidak mampu melaksanakan fungsinya atau biasa disebut dengan gagal ginjal.

Gagal ginjal dapat dibagi dua yaitu gagal ginjal akut dimana fungsi ginjal terganggu untuk
sementara waktu sehingga hemodialisa dilakukan hanya hingga fungsi ginjal membaik dan
gagal ginjal kronis dimana fungsi ginjal rusak secara permanen akibatnya hemodialisa harus
dilakukan seumur hidupnya.

Mengapa hemodialisa ini penting?


Ginjal merupakan organ vital yang berfungsi membersihkan darah kita dari cairan
berlebih, zat-zat sisa yang berbahaya dan elektrolit berlebih. Ginjal juga berfungsi
menghasilkan hormone yang penting dalam proses metabolism tubuh dan merangsang
pembentuk sel darah merah. Jika ginjal ini rusak maka bisa dibayangkan bahayanya bagi
tubuh kita bahkan bisa menyebabkan kematian akibat menumpuknya cairan dan zat
berbahaya dalam tubuh, karena itulah hemodialisa harus dilakukan untuk menggantikan
fungsi ginjal tersebut.

Bagaimana hemodialisa bekerja?

Pertama kita harus mempersiapkan pembuluh darah sebagai akses masuknya selang dari alat
dialysis. Pembuluh darah yang digunakan ada dua yaitu arteri sebagai akses keluarnya darah
kotor ke dalam mesin dan vena sebagai jalan masuknya darah bersih dari mesin ke dalam
tubuh. Melalui jarum maka selang dimasukkan ke dalam pembuluh darah. Biasanya anda
akan diberikan bius local untuk mengurangi nyerinya. Pembuluh darah yang digunakan
biasanya yang berukuran besar misalnya di daerah pangkal paha, daerah lengan dll.
Pembuluh darah ini akan digunakan secara bergantian untuk mencegah mengerasnya
pembuluh darah yang akhirnya nanti tidak bisa digunakan kembali.

Tentu anda akan bertanya •bagaimana dengan orang yang harus melakukan hemodialisa
seumur hidupnya, apakah tidak ada cara yang lebih praktis?

Anda tidak perlu khawatir, karena ada cara baru untuk membuat akses yang permanen bagi
pembuluh darah yaitu dengan membuat anatomosis antara arteri dan vena yang biasa disebut
dengan Cimino-Breschia fistula atau dengan menghubungkan arteri dengan vena lewat
pembuluh darah tambahan (graft).

Daerah yang dipilih biasanya pembuluh darah di lengan bawah. Dengan cimino, anda hanya
perlu menggunakan satu akses setiap kali melakukan hemodialisa hanya saja anda perlu
menunggu 2-6 minggu hingga luka operasi sembuh dan cimino bisa digunakan. Cimino ini
bisa bertahan selama 3 tahun untuk kemudian harus dicari pembuluh darah yang lain. Setelah
akses didapatkan, maka proses hemodialisa akan dilakukan. Hemodialisa dilakukan dengan
alat yang disebut dialyzer. Mesin akan memompa darah kita keluar dari tubuh secara sedikit
demi sedikit untuk kemudian dicuci dalam dialyzer ini.

Dialyzer merupakan alat seperti filter dengan ribuan serat halus yang akan menyaring semua
zat berbahaya, cairan dan elektrolit berlebih. Di dalam dialyzer terdapat cairan khusus yang
disebut dialysate yang mengandung cairan dan formula khusus yang berfungsi menyerap zat
yang tidak perlu dan menambahkan zat atau mineral atau elektrolit yang kurang. Komposisi
dialysate dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan cairan dan darah anda saat melakukan
hemodialisa. Karena itulah setiap kali akan melakukan hemodialisa anda akan melalui
pemeriksaan darah terlebih dahulu dulu untuk melihat komposisi elektrolit dan berbagai
komponen kimia darah dalam tubuh saat itu.

Setelah selesai disaring, maka darah yang sudah bersih akan dipompa kembali ke dalam
tubuh. Proses ini akan diulang berkali-kali hingga seluruh darah berhasil disaring. Proses
hemodialisa ini dapat dilihat dalam video berikut ini
http://www.youtube.com/watch?v=x_ra9YUX9fk Berapa lama proses hemodialisa
berlangsung? Rata-rata tiap orang memerlukan waktu 9 – 12 jam dalam seminggu untuk
mencuci seluruh darah yang ada, tetapi karena ini waktu yang cukup panjang, maka biasanya
akan dibagi menjadi tiga kali pertemuan dalam seminggu selama 3-5 jam setiap kali
hemodialisa.

Tentu saja ini tidak sama untuk tiap orang, lamanya waktu yang dibutuhkan dan berapa kali
dalam seminggu harus dilakukan hemodialisa sangat tergantung pada derajat kerusakan
ginjal, diet sehari-hari, penyakit lain yang menyertai, ukuran tubuh dll. Karena itu penting
untuk konsultasi secara teratur pada dokter yang menangani anda mengenai jadwal
hemodialisa anda.
Apa komplikasi yang dapat muncul selama hemodialisa?

- Hipotensi : ini paling sering pada pasien gagal ginjal dengan diabetes mellitus atau kencing
manis tapi seiring dengan kemajuan teknologi, resiko ini semakin berkurang. - Kram otot.
Dulu hal ini sering terjadi tetapi dengan mesin dialysis sekarang angka kejadiannya
berkurang.

- Reaksi anafilaktik atau alergi terhadap cairan dialysate. Biasanya ini terjadi pada
hemodialisa pertama kalinya tapi akan berkurang seirirng seringnya hemodialisa dilakukan.

- Selain itu anda dapat merasa mual, mengantuk, lelah, pusing, dan dingin selama proses
hemodialisa dilakukan. Beritahukanlah pada staf yang bertugas agar mereka dapat membantu
anda merasa lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai