Anda di halaman 1dari 5

Ramai-Ramai Eksploitasi Anak di Dunia Hiburan

Muhammad Fakhri Dwi Ariza/1177070063

Gambar 1. Ilustrasi Anak di Dunia Hiburan (Sumber: Remotivi)

Siapa yang ingat dengan kalimat viral “Iya seyeng” yang diucapkan seorang anak laki-
laki dalam perannya di sinetron? Ya, yang mengucapkan itu adalah Radja Nasution dalam
perannya sebagai Roni di sinetron Cinta Suci yang tayang di salah satu TV swasta nasional dan
sudah mencapai ribuan episode. Tingkah lucu dan menggemaskan Radja dalam sinetron itu
lantas membuatnya menjadi sosok anak- anak yang dikenal. Selain Radja, sudah banyak nama-
nama lain yang berperan sebagai anak- anak di film ataupun sinetron yang lalu-lalang tayang
di televisi ataupun layar lebar. Pernakah terpikir oleh kita bagaimana hidup mereka yang harus
disibukan dengan kejar tayang epiosode- episode di televisi dan waktu bermain serta belajar
mereka sebagai anak-anak?
Kasus seperti ini sama sekali bukanlah kasus yang baru, wara-wiri anak-anak di televisi
sudah kita rasakan sejak lama, bahkan di masa seperti sekarang bukan hanya di televisi atau
layar lebar melainkan di jaringan internet seperti YouTube juga anak-anak mulai ramai muncul
di linimasa. Bukan hanya di Indonesia, di Amerika dan negara lain juga mendapatkan kasus
yang sama yaitu pekerja anak di dunia hiburan. Dikutip dari riset Titro, kekayaan influencer
cilik telah jadi topik hangat di Amerika Serikat selama tiga tahun terakhir. Berbagai perusahaan
yang memiliki target pasar balita dan anak lebih suka membayar influencer ketimbang
memasang iklan di televisi yang ratingnya makin buruk. Di samping itu, memberikan imbalan
produk kepada influencer yang juga merupakan pengguna produk dipandang lebih efektif.
“Mereka punya banyak pengikut. Proses pengunggahan produk jauh lebih cepat
ketimbang proses pembuatan iklan, dan cara influencer mengulas produk lebih mirip
rekomendasi yang disampaikan oleh seorang teman,” tulis jurnalis Sapna Maheshwari dalam
laporannya di New York Times. Tren ini membuat banyak orangtua, terutama ibu rumah tangga,
telaten dalam menjalani peran sebagai ibu influencer anak. Michelle Foley, ibu influencer anak
Ava, bintang akun YouTube Besties berkata bahwa dalam sehari ia biasa mendapat sekitar 10
email dari berbagai perusahaan yang berniat mensponsori tayangan video anaknya.
Kyler Fisher, orangtua influencer kembar Taytum dan Oakley yang memiliki jutaan
pengikut di Instagram mengaku mendapat uang sekitar $10.000-$20.000 untuk satu unggahan
di Instagram. Bila perusahaan ingin
produknya tampil di akun YouTube,
maka honor akan meningkat jadi
$25.000-$50.000 per tayangan.
Uang yang sangat besar itu jelas
terasa sangat menggiurkan bagi para
orang tua influencer, dengan membuat
anaknya rajin membuat video ataupun
konten di internet otomatis menjadi
penghasilan bagi para orang tua itu
sendiri juga. Dikutip dari Tirto, dalam
wawancara dengan Fast Company, salah
satu ibu influencer anak di Amerika
menyatakan bahwa kini ia keluarganya
belum mendapat jumlah uang yang
spektakuler karena kedua anak mereka
belum bisa bicara. Tapi, Ia yakin bila
kelak anak kembarnya sudah bicara
lancar, ia akan mendapat penghasilan
berkali lipat lebih besar.
“Kami tidak akan hidup seperti
sekarang tanpa anak-anak. Keluargaku
seperti sebuah paket komplit,” kata
Fisher, blogger yang kini sedang
mengandung anak ketiga--ia telah
membuat akun Instagram untuk anak
yang belum lahir dan telah meraih
40.000an pengikut.
Di Industri hiburan konvensional
seperti televisi mungkin terlihat lebih
Gambar 2 Infografis Fakta Influencer Anak (Sumber: Tirto) kejam, dan keras. Apabila di YouTube
pembuatan konten disepakati oleh anaknya juga, dalam pembuatan sinetron dan film, pekerja
dituntut untuk menyelesaikan proyek tersebut termasuk anak-anak yang bermain peran disana.
Dalam artikel di laman Remotivi yang berjudul ‘Bintang atau Pekerja Cilik?’ disebutkan
bagamaina cara membujuk anak- anak untuk mengikuti proses pembuatan sinetron karena
dituntut profesional, orang tua dari anak tersebut yang biasanya adalah manajer dari anak itu
mengatakan “Adek kalau syuting kan adek kerja. Jadi saat di-order, adek harus serius, jangan
bercanda. Waktunya kerja ya kerja. Jangan bercanda. Jadi krunya suka.” Lalu “Di saat adek
nggak di-take, ada saatnya tidur, ya tidur. Nah, di saat adek dibangunin, ya adek harus
konsekuen bangun. Nggak boleh rewel.”. Lingkungan pekerja dewasa di tempat pembuatan
sinetron atau film juga menjadi perhatian karena adanya anak- anak disana, dalam artikel
tersebut juga disebutkan bahwa anak- anak disana sudah biasa melihat orang merokok bahkan
melakukan tindakan- tindakan lain yang tidak pantas. Hal ini jelas menjadi hal yang berbahaya
karena masa anak- anak dan dunia anak-anak seharusnya dibedakan oleh dunia dewasa karena
akan menyangkut kepada tumbuh kembang anak itu sendiri.
Jarang Dianggap Penting
Lintang Ratri dosen Ilmu Komunikasi FISIP Undip menulis dalam artikelnya yang
dikeluarkan oleh Remotivi bahwa isu pekerja anak sejatinya bukan hal baru, namun pekerja
anak di industri media terutama televisi hampir tak pernah dilihat sebagai permasalahan sosial.
Pekerja anak selalu dilekatkan pada anak-anak yang bekerja sebagai buruh pabrik, asisten
rumah tangga, pekerja seks anak, anak jalanan, anak-anak yang bekerja di lepas pantai,
tambang dan lain-lain. Jika berbicara soal eksploitasi yang menjadi isu besar dalam Undang-
Undang Perlindungan Anak, maka eksploitasi seksual dianggap jauh lebih berbahaya daripada
eksploitasi ekonomi.
Hal ini tampak dalam pandangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melalui
salah satu komisionernya, Rita Pranawati, dalam wawancara penulis. Pranawati menyatakan
bahwa isu darurat seksual lebih mengkhawatirkan dibandingkan isu darurat ekonomi—apalagi
tumbuh kembang anak. Kekhawatiran mengenai eksploitasi ekonomi pada anak, sekalipun
diperhatikan, cenderung pada aktivitas perdagangan anak, seperti yang tertuang dalam Laporan
Kerja Tahunan KPAI tahun 2012.
Eksploitasi anak dalam dunia hiburan jarang dianggap penting karena masyarakat
melihat bahwa anak-anak yang tampil di televisi terlihat membahagiakan tanpa melihat
bagaimana dan apa yang mereka lakukan di usia anak- anak. Ketika menjadi profesional, anak-
anak yang tergabung dalam proyek tersebut harus ikut bekerja secara profesional dengan
mengikuti alur dari proyek tersebut yang kadang bahkan untuk orang dewasa juga tidak
manusiawi.

Aturan Hukum
Aturan Hukum di Indonesia memang memiliki sejumlah Undang-Undang yang mengatur
industri media dan kreatif. Namun, kesemuanya tidak menata secara khusus perlindungan
terhadap pekerja anak. Dapat dikatakan, perlindungan terhadap pekerja di industri media belum
mendapatkan perhatian dari perumus kebijakan di Indonesia yang terkait.
Dalam UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 71, anak-anak memang
diizinkan bekerja dalam rangka mengembangkan bakat dan minatnya dengan memenuhi syarat
tertentu. Syarat-syarat tersebut di antaranya adalah pengawasan orang tua, jam kerja tidak lebih
dari tiga jam, dan lingkungan bekerja yang ramah anak. Usia anak yang diperkenankan bekerja,
jika konsisten dengan pasal sebelumnya, dibatasi pada usia di atas 14 tahun. Meskipun
demikian, selain tidak diterapkan secara sungguh-sungguh, UU ini juga tidak memberi catatan
khusus tentang pekerja anak dalam industri hiburan.
Pada UU Perfilman, terdapat pasal 20 tentang perlindungan terhadap insan perfilman.
Secara spesifik, di ayat (5) pasal tersebut dinyatakan bahwa perlindungan hukum untuk insan
perfilman anak-anak di bawah umur harus memenuhi hak-hak anak dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Di dalam penjelasan undang-undang, dinyatakan
pula bahwa yang dimaksud perlindungan hukum untuk insan perfilman anak-anak di bawah
umur adalah “terutama perlindungan mengenai pemenuhan hak belajar dan hak bermain”.
Hanya saja, di bawah UU ini memang tidak ada peraturan menteri atau keputusan menteri yang
kemudian mengatur teknis pelaksanaan perlindungan hak anak. Dalam UU ini pun, tidak
disebutkan sanksi terhadap pihak yang terbukti tidak memberlakukan perlindungan terhadap
hak anak dalam pembuatan film.
Undang-Undang Penyiaran No.32 Tahun 2002 tidak memasukkan satu pasal pun yang
menjelaskan adanya perlindungan pekerja anak dalam industri penyiaran. UU Penyiaran hanya
melindungi penonton televisi anak-anak atas konten yang dimuat dalam media. Satu-satunya
pasal lain yang menyinggung tentang anak adalah pasal 46 tentang siaran iklan yang
melibatkan anak-anak. Ketetapan mengenai perlindungan artis anak baru terbaca dalam P3SPS
yang merupakan panduan utama bagi mereka yang bergerak dalam industri pertelevisian. Hal
ini termaktub dalam Bab X tentang Perlindungan Kepada Anak, pada Pasal 14 ayat 2 yang
berbunyi “Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek
produksi siaran”. Namun, sejauh ini KPI belum melakukan langkah yang berarti.

Gambar 3 Infografis Peraturan (Sumber: Berita Tagar)

Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, kehadiran para artis anak disertai
dengan perlindungan hukum atas hak anak. Seperti yang dimuat dalam situs web Departemen
Tenaga Kerja Amerika Serikat, dari 50 negara bagian, 36 negara bagian memiliki regulasi child
entertainment dan lebih dari separuhnya memberlakukan izin kerja (work permit) bagi anak
yang bekerja di industri hiburan. Salah satu negara bagian di AS, California, memiliki Hukum
Pekerja Anak, yang dikeluarkan Departemen Hubungan Industrial, Divisi Standar Pelaksanaan
Tenaga Kerja pada 2013. Di dalamnya tercantum pengaturan mengenai industri hiburan
sebanyak sepuluh halaman yang secara rinci mengatur perlindungan hak anak yang bekerja di
industri hiburan. Misalnya, anak-anak tidak boleh bekerja selama jam sekolah dan anak-anak
yang ingin bekerja di industri hiburan harus memiliki izin bekerja. Jam bekerja dan fasilitas
yang harus disediakan juga diatur oleh negara dan harus dipatuhi oleh perusahaan yang
mempekerjakan. Aturan di Amerika Serikat tersebut secara jelas menunjukkan kepedulian
untuk melindungi hak anak ketika anak dilibatkan dalam industri hiburan.

Lindungi Hak Anak dengan Peraturan Khusus


Walaupun hal ini adalah hal klasik yang sudah ada semenjak dahulu, tetapi kasus ini
sama sekali kita tidak bisa remehkan. Kadang kala hal ini dipandang sebelah mata karena
diyakini oleh proses sama sama mau dan juga untuk mengembangkan minat dan bakat. Sampai
hal tersebut tidak adalah hal yang salah. sampai untuk mengembangkan minat dan bakat itu
dituntut oleh bekerja secara profesional, dimana seharusnya anak-anak tidak boleh dipaksa
untuk mencari uang apalagi bekerja secara profesional. Oleh karena itu, agar semuanya lebih
baik harus dibuatnya aturan khusus yang mengatur anak-anak di industri hiburan, karena tidak
bisa kita pungkiri juga memang dunia hiburan membutuhkan anak- anak, sementara anak-anak
juga jangan sampai dipaksa untuk bekerja apalagi ke kawasan industri.

Refrensi:
http://www.remotivi.or.id/amatan/363/bintang-atau-pekerja-cilik
https://tirto.id/influencer-cilik-sekadar-hobi-atau-eksploitasi-anak-dlDW
https://beritagar.id/artikel/infografik/anak-kecil-kok-bekerja-di-showbiz-16285

Anda mungkin juga menyukai