Anda di halaman 1dari 7

PROPOSAL PENELITIAN

EMOSI ANAK TERHADAP TINDAK


KRIMINAL

TUGAS BAHASA INDONESIA

Disusun Oleh :

1. Femitha Ayu Floriska (09)


2. Gaberaja Samuel Roosevelt Sidauruk (11)
3. Gizha Adhira Salsabilla (12)
4. Jessica Mawar Putri (15)
5. Kristian Harris (16)
6. Raihan Putra Priyanto (29)

SMAN 48 JAKARTA
2019
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Perhatian dan kasih sayang sebuah keluarga merupakan hal yang penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak di masa yang akan mendatang. Lingkungan keluarga,
sosial, sekolah, dan lain-lain dapat memengaruhi perkembangan mental juga fisik bagi sang
anak. Ayah dan Ibu adalah orangtua yang mana bisa memberikan pengaruh positif juga
negatif bagi sang anak. Masalah keluarga, pribadi, dan rumah tangga pada ayah dan ibu yang
membuat suasana menjadi tidak nyaman akan mendendam atau membuat anak menyimpan
rasa tersebut. Bagi mayoritas anak, mungkin mereka akan bertahan dari masalah tersebut.
Namun, bagi beberapa anak yang memiliki masalah emosional, tidak dapat dipungkiri bahwa
mereka tidak akan bertahan di masa depan. Sebagai generasi penerus dan penerang bangsa,
kami akan melakukan wawancara untuk mendapat hasil yang akurat mengenai “wajah
emosional” anak di Indonesia. Dengan hasil data yang akan didapatkan, kami mampu untuk
membangun lingkungan Indonesia yang ramah anak dan membangun Indonesia lebih maju.

2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka inilah beberapa masalah yang didapatkan:
1. Anak-anak memandang suatu kriminalitas dipengaruhi dari pandangan orang tuanya
dari orang-orang terdekat mereka.
2. Anak-anak belum mengerti apa yang harus dilakukan jika melihat suatu tindakan
kriminal maupun perbuatan-perbuatan yang melanggar suatu peraturan maupun
norma-norma.
3. Rendahnya pengetahuan anak terhadap tindakan-tindakan kriminal yang terjadi di
seputar masyarakat.

3. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka dapat rumusan masalah adalah sebagai
berikut :
1. Apakah setiap manusia memiliki emosi yang berbeda?
2. Bagaimana emosi yang dimiliki oleh anak-anak?
3. Apa yang mempengaruhi perubahan emosi pada anak?
4. Bagaimana emosi anak saat menghadapi tindak kriminal?
5. Bagaimana reaksi anak saat melihat tindak kriminal di sekitar mereka?
6. Bagaimana pendapat anak-anak mengenai tindak kriminal?

4. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat tujuan masalah adalah sebagai
berikut :
1. Membandingkan emosi yang dimiliki oleh manusia.
2. Mengetahui emosi yang dimiliki oleh anak-anak.
3. Mendeskripsikan hal-hal yang mempengaruhi perubahan emosi pada anak.
4. Mengidentifikasi emosi anak saat menghadapi tindak kriminal.
5. Mengetahui reaksi anak saat melihat tindak kriminal di sekitar mereka.
6. Mengetahui pendapat anak-anak mengenai tindak kriminal yang terjadi di sekitar
mereka.

5. Manfaat
1. Bagi peneliti
Memberi pengalaman bagi peneliti dalam melaksanakan penelitian hubungan
emosional dengan konsep diri terhadap anak dan dapat mengetahui dan
mengaplikasikan teori yang telah didapat untuk mengatasi masalah yang diteliti
saat ini.

2. Bagi orang tua


Dapat memberikan informasi sekaligus pengetahuan baru mengenai masalah yang
ditemukan terhadap anak yang mengalami kekerasan emosional sehingga orang
tua dapat menghindari atau berhenti melakukan kekerasan emosional kepada
anak-anaknya.

3. Bagi peneliti lain


Sebagai bahan masukan bagi penliatian selanjutnya dan sebagai bahan
pembanding untuk pengenbangan penelitian sejenis.

LANDASAN TEORI
Semua emosi, pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Akar kata emosi
adalah movere, kata kerja Bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah
awalan “e-” untuk memberi arti bergerak menjauh, menyiratkan bahwa kecenderungan
bertindak merupakan hal yang mutlak dalam emosi. Bahwa emosi memancing tindakan,
tampak jelas bila kita mengamati binatang atau anak-anak; hanya pada orang-orang dewasa
yang “beradab”, kita sering menemukan perkecualian, walaupun terkadang tidak, emosi-akar
dorongan untuk bertindak, terpisah dari reaksi-reaksi yang tampak oleh mata.
Pembahasan mengenai emosi, sesungguhnya adalah pembahasan mengenai kerja otak, yang
menjadi mesin penggerak tingkah laku individu. Dan karena letaknya di otak itulah, maka
emosi sebagai sebuah sistem penggerak hidup kita, cara kerjanya sangat berkaitan erat
dengan seluruh sistem yang lain, yang juga mendorong munculnya tingkah laku individu,
terutama yang berkaitan dengan kemampuan kognitif, atau kecerdasan, termasuk kecerdasan
akademik.
Pemahaman bahwa kecerdasan akademik bukanlah satu-satunya aspek yang menentukan
keberhasilan hidup seseorang, tampaknya sudah mahfum dikalangan masyarakat. Namun,
alasan mengapa seperti itu tampaknya belum semua orang memahami dengan sepenuhnya.
Jika kita melihat dan memperhatikan benar-benar, sesungguhnya aspek apa yang paling
sering mewarnai dan menentukan irama hidup seseorang? Sesungguhnya adalah keadaan
emosi. Belakangan, setelah Howard Gardner mengemukakan teorinya mengenai multiple
intelligent atau kecerdasan majemuk dan Daniel Goleman mensosialisasikan mengenai
emotional intelligent (kecerdasan emosi), nyatalah mengapa kecerdasan secara akademik saja
bukan satu-satunya yang menentukan keberhasilan hidup seseorang. Karena individu
terbangun dari berbagai aspek dalam hidupnya. Maka, memahami apa yang paling mendasar
dalam hidup seseorang, yaitu emosi menjadi sesuatu yang penting untuk diketahui oleh
semua orang, terutama orang tua .
Perkembangan Emosi Anak Sesuai Tahapan Usia
• Usia Infant (0 – 2 Tahun)
Sejak lahir, seorang individu sudah memiliki kemampuan untuk merasakan dan memberi
respon emosi; dalam bentuk tertarik pada sesuatu, merasa tertekan dan merasa jijik. Bayi
sudah bisa memberikan senyuman social sebagai bentuk ekpsresi emosi, pada usia mulai 4-6
minggu. Emosi-emosi yang lain berkembang secara bertahap dan ditunjukkan dengan
semakin banyaknya respon ketika anak berkembang seiring dengan waktu. Emosi marah,
terkejut dan sedih mulai muncul pada usia 3-4 bulan, dan anak mulai bisa merasakan takut
pada usia antara 5 – 7 bulan. Rasa malu mulai muncul pada usia 6-8 bulan, dan perasaan
bersalah baru muncul pada usia anak 2 tahun.
Ketika anak belum bisa bicara, mereka menggunakan emosi, khususnya senyuman dan
tangisan untuk berkomunikasi. Senyuman bayi mengkomunikasikan rasa senang dan nyaman
kepada orang tuanya, dan meningkatkan semakin banyaknya pernyataan cinta dan perhatian
yang disampaikan oleh orang tuanya. Sebaliknya, tangisan merupakan bentuk komunikasi
dari perasaan tertekan karena lapar, sakit atau marah. Responsivitas dan kecepatan serta
ketepatan orang tua bereaksi terhadap tangisan tersebut akan menguatkan rasa percaya dan
membuat anak membentuk attachment (kelekatan)dengan orang tuanya. Sebagai dasar dari
tumbuhnya rasa percaya dan rasa aman anak terhadap dunianya.
• Usia Prasekolah (2- 6 Tahun)
Secara emosional, anak-anak prasekolah sudah bisa merasakan cinta dan mempunyai
kemampuan untuk menjadi anak yang penuh kasih sayang, baik dan sangat menolong, dan
pada saat yang bersamaan bisa juga sangat egois dan agresif. Ketika anak-anak prasekolah ini
memiliki model/orang tua/pengasuh yang penuh kehangatan dan cinta serta merawat mereka
dengan kasih sayang, mereka akan menjadikan cinta sebagai landasan dari dunia mereka, dan
bisa diajari untuk peduli dan mau membantu atau menolong orang lain. Hal ini bisa dilakukan
dengan memberi contoh, membacakan cerita, melalui gambar, menyanyi, menari, bermain
drama, atau kegiatan-kegiatan kooperatif lainnya.
Anak sudah bisa merasakan dan menyadari jika ada anak lain yang sedih, merasa bersimpati
dan ingin menolong. Namun demikian, karena mereka belum bisa berpikir dari sudut
pandang orang lain, mereka belum bisa diharapkan untuk berempati. Ketika anak semakin
matang, mereka akan mampu untuk mengidentifikasi atau mengenali perasaan mereka, dan
menghubungkannya dengan kejadian/peristiwa yang spesifik. Sebagai contoh anak usia 3
tahun bisa menceritakan perbedaan antara reaksi senang dan sedih pada sebuah cerita, dan
seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasa mereka, anak usia 4 dan 5 tahun sudah bisa
menyampaikan perasaan mereka pada orang lain.
Anak-anak ini sudah bisa mengekspresikan emosi dasar dari rasa marah dan takut, baik
dengan cara yang positif maupun negative. Marah sebagai bentuk pernyataan asertif,
merupakan dasar dari cara anak mengembangkan kemampuan inisiatif, dan bisa
mendorongnya kearah prestasi dan penyelesaian masalah. Rasa takut, yang diekspresikan
dalam bentuk kecemasan yang ringan justru bisa menjadi sebuah motivator bagi mereka.
Marah juga bisa mereka ekspresikan dalam bentuk agresisivitas, biasanya hal ini disebabkan
karena mainan dan ruang bermain atau tempat untuk bereksplorasi yang kurang, dan
kecemburuan biasanya berkaitan dengan persaingan antar saudara kandung.
Anak prasekolah hanya mengekspresikan satu emosi pada satu waktu, dan belum bisa
memadukan emosi atau perasaan dari hal-hal yang membingungkan, seperti yang dirasakan
oleh anak-anak yang lebih besar. Karena itu, anak-anak ini menjadi bingung dan sulit untuk
membedakan emosi mereka, dan tidak tahu bagaimana cara menyampaikan apa yang
mengganggu atau apa yang mereka inginkan.
• Usia Sekolah (6- 12 Tahun)
Perkembangan emosi anak usia sekolah kurang lebih sama dengan anak usia prasekolah,
namun karena kemampuan kognitif mereka sudah lebih berkembang, hal ini memungkinkan
mereka untuk bisa mengekpresikan emosinya dengan lebih bervariasi, dan terkadang bisa
mengekpresikan secara bersamaan dua bentuk emosi yang berbeda dan bahkan bertolak
belakang.
Perkembangan kemampuan kognitif mereka juga yang membuat anak-anak usia antara 6-8
tahun sudah mengetahui bahwa orang lain bisa punya perasaan dan pikiran berbeda mengenai
suatu hal. Pada usia 8-10 tahun mereka bisa mempersepsi/mengira-ngira mengenai apa yg
orang lain pikir dan rasakan, dan pada usia 12 tahun keatas mereka sudah mampu
menganalisa dan mengevaluasi cara mereka merasakan atau memikirkan sesuatu, begitu juga
orang lain, dan mereka sudah mulai bisa merasakan bentuk empati yang lebih dalam.
Pengetahuan mengenai benar – salah dan perkembangan emosi mengenai perasaan benar dan
salah pada anak usia ini ditentukan oleh aturan yang ada dalam keluarga, sekolah, masyarakat
dan teman sebaya mereka. Begitu anak-anak tumbuh dan berkembang, mereka semakin
matang untuk membentuk aturan dan nilai-nilai mereka sendiri dalam kerangka social dan
budaya yang lebih luas. Anak-anak pada usia 6-7 tahun mengetahui adanya aturan, dan
menganggap hal tersebut tidak bisa diubah, dan mereka selalu memikirkan mengenai
hukuman yang akan mereka dapat jika mereka melanggar aturan. Mulai usia 10 tahun keatas,
mereka mulai bisa mempertimbangkan antara tujuan tingkah laku dan konsekuensinya,
mereka juga menyadari bahwa sebuah tingkah laku bisa memiliki makna berbeda tergantung
sudut pandangnya. Mereka juga tahu bahwa aturan bisa diubah dan dikompromikan.
Bentuk-bentuk Ekspresi Emosi Anak
• Amarah, pertengkaran saat main, tidak terpenuhi keinginan, ekspresi emosi yang tampil
biasanya adalah: menangis, berteriak, menendang, melompat-lompat, memukul, berguling
• Takut, ingatan tentang pengalaman yang tidak menyenangkan, cerita/gambar seram,
film/TV, ekspresi emosinya biasanya adalah: panik, lari, menghindar, bersembunyi,
menangis
• Cemburu, minat dan perhatian orang tua beralih, bentuk ekspresi yang mungkin muncul:
mengompol, pura-pura sakit, menjadi nakal, dengan tujuan untuk menarik perhatian
• Iri hati, mengenai kemampuan/barang yang dimiliki anak lain, bentuk ekspresi emosinya
adalah: mengeluh tentang barang yang dimiliki, mengambil barang yang diinginkan
• Gembira, karena sehat, situasi yang lucu, bunyi yang tiba-tiba/diharapkan, bencana yang
ringan, membohongi orang lain, bisa melakukan sesuatu yang sulit, bentuk ekspresi:
tersenyum, tertawa, tepuk tangan, melompat, memeluk benda/orang
• Sedih, kehilangan segala sesuatu yang dicintai atau yang dianggap penting, bentuk ekspresi:
menangis, kehilangan minat terhadap kegiatan normal, tidak mau makan
• Kasih sayang, belajar mencintai org lain, binatang atau benda yang menyenangkan, bentuk
ekspresi: dengan mengatakan secara lisan, memeluk, mencium
Masalah-masalah emosi pada anak
• Pengendalian emosi terutama marah,
• Kurang kasih sayang,
• Terlalu terikat dengan satu figur,
• Tidak mampu terikat secara emosi dengan benda-benda kesayangan
Memahami Emosi Anak
• Jika anak marah dan menggunakan kekuatannya, apa yang ia inginkan sesungguhnya adalah
otonomi, ikut memutuskan dan tanggung jawab
• Jika ia menyakiti untuk membalas, yang ia butuhkan sesungguhnya adalah keadilan dan
perlakuan yang sama
• Jika anak takut dan tidak berani melakukan sesuatu, apa yang ia butuhkan adalah, dorongan
dan dukungan
• Jika anak merengek minta perhatian, apa yang sesungguhnya diinginkan adalah rasa
memiliki dan dimiliki, pengakuan, keterlibatan
Pemahaman mengenai isi emosi anak ini, akan membantu orang tua untuk bereaksi dan
memberi respon yang tepat terhadap ekspresi emosi yang ingin disampaikan anak.
STIMULASI UNTUK PERKEMBANGAN EMOSI YANG SEHAT
1. Pengasuhan yang sensitive dan responsif
• Memahami apa yang dibutuhkan anak
• Tidak bereaksi negatif saat anak rewel atau marah
• Menanggapi dengan tepat apa yang menjadi kebutuhan anak
• Senang bermain dengan anak dan tertarik dengan aktivitas anak
2. Penggunaan disiplin positif
• Fokus pada tingkah laku positif anak
• Menghilangkan tingkah laku negatif anak tanpa omelan dan hukuman fisik
• Meyakini bahwa tidak ada anak yang nakal
• Mengajarkan disiplin dengan cinta dan kasih sayang
3. Metode disiplin positif
• Spesial Moment, berarti anak mendapatkan perhatian yang special dengan kualitas yang
khusus sebagai bentuk dedikasi orang tua padanya di waktu-waktu tertentu. Special moment
merupakan alat untuk membawa self esteem anak naik mencapai derajat tertentu. Special
moment dapat mengambil situasi-situasi yang biasa terjadi dalam interaksi anak dan orang
tua, namun yang melibatkan afeksi secara mendalam. Untuk anak-anak yang lebih muda,
special moment bisa terjadi saat orang tua memeluk anak ketika bangun di pagi hari,
permainan-permainan seperti saatnya berpelukan atau saat membacakan buku menjelang
tidur.
• I – message, I-message tidak menyalahkan, tidak menilai tingkah laku yang
dipermasalahkan, terutama ketika bertabrakan dengan kebutuhan yang menyatakannya. I-
messages menggambarkan bagaimana tingkah laku yang tidak bisa diterima berdampak pada
yang menyatakannya, dan bagaimana itu mempengaruhi perasaannya. I-messages
mengkonfrontasi tingkah laku yang dikeluhkan dan bukan orangnya. Salah satu contoh I-
messages adalah sebagai berikut: ” jika kamu membuang pasir dari kotak pasir ke karpet,
maka ibu membutuhkan banyak waktu untuk membersihkannya, dan ibu tidak suka itu”.
Bukan, ”kamu nakal sekali mengotori karpet dengan pasir”
• Positif Recognition, adalah Menghargai dan mengapresiasi untuk setiap hal baik yang
dilakukan anak, bisa berbentuk ekspresi fisik (memeluk, mencium, mengelus) atau pemberian
hadiah.
• Konsekuensi tingkah laku, Anak-anak harus belajar dan diajari bahwa tingkah laku
mereka memiliki konsekuensi. Jika orang tua memberi aturan atau melarang mereka
melakukan sesuatu yang berbahaya, tujuannya adalah mengajarkan mereka mengenai
konsekuensi dari tingkah lakunya. Dengan cara ini, mereka dapat memahami serta
mengapresiasi bahwa orang tua membantu atau melarang dengan tujuan agar mereka tidak
mendapat konsekuensi yang negatif
• Kees-erziehen, merupakan singkatan kees, merupakan kependekan dari cooperative,
encouraging, social and situation-oriented. Kees-erziehen mengidentifikasi empat kebutuhan
social dasar pada individu yaitu:
• to belong and feel loved (rasa dimiliki dan dicintai)
• to be important (merasa penting)
• to be able to influence (bisa memberi pengaruh)
• to feel protected dan secure (merasa terlindungi dan aman)
Dengan mengadopsi metode kees-erziehen, maka praktek mendisiplinkan anak, selalu
dilandaskan pada empat kebutuhan social dasar diatas. Bahwa, bahkan pada saat kita akan
mengajarkan mereka untuk berdisiplin, kita tetap harus memperhatikan kebutuhan anak akan
perasaan dimiliki dan dicintai, perasaan bahwa mereka penting bagi orang tuanya, dan bahwa
mereka bisa memberi pengaruh serta tetap harus dipenuhi keinginannya untuk dilindungi dan
mendapatkan rasa aman.

METODOLOGI
Data-data yang kami kumpulkan didapatkan dari hasil-hasil wawancara dengan
memberikan beberapa pertanyaan maupun sekumpulan pertanyaan yang ditujukan kepada
beberapa responden dengan detail-detail sebagai berikut:
1. Tempat : Lingkungan SMA N 48 Jakarta
2. Waktu : Jum’at, 8 Maret 2019 (Setelah bel pulang sekolah)
3. Responden : Anak-anak (tingkat SD)
4. Instrumen : Angket

Langkah-langkah penelitian:
1. Setelah bel sekolah berbunyi, kami akan menemui beberapa anak-anak tingkat SD di
lingkungan sekitar SMAN 48 Jakarta
2. Kelompok kami terdiri dari 6 orang, masing-masing orang akan mewawancarai 2
anak dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah disediakan.
3. Catat jawaban-jawaban dari responden.

Anda mungkin juga menyukai