Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Prevalensi autisme di dunia semakin lama semakin meningkat. Hingga sebelum

tahun 2000, prevalensi autisme 2-5 sampai dengan 15-20 per 1.000 kelahiran, 1-2 per

1.000 penduduk dunia. Data ASA ( Autism Society of America) tahun 2000 yaitu 60 per

10.000 kelahiran, dengan jumlah 1 : 250 penduduk. Sementara, data CDC (Centers for

Disease Control and Prevention, USA) tahun 2001 yaitu 1 di antara 150 penduduk, dan

di beberapa daerah di USA / UK yaitu di antara 100 penduduk. Pada tahun 2012, data

CDC menunjukkan bahwa sejumlah 1:88 anak menyandang autisme, dan pada tahun

2014 meningkat 30% yaitu sebanyak 1,5% atau 1 : 68 anak di USA menyandang

autisme. (CDC,2018)

Di Indonesia tidak ada data yang pasti mengenai autis . Menurut Dokter Rudy,

yang merujuk pada Incidence dan Prevalence ASD (Autism Spectrum Disorder),

terdapat 2 kasus baru per 1000 penduduk per tahun serta 10 kasus per 1000 penduduk.

Sedangkan penduduk Indonesia yaitu 237,5 juta dengan laju pertumbuhan penduduk

1,14% ( BPS, 2010). Maka di perkirakan penyandang ASD di Indonesia yaitu 2,4 juta

orang dengan pertambahan penyandang baru 500 orang/tahun. Data UNESCO pada

2014 mencatat, sekitar 35 juta orang penyandang autisme di dunia. Itu berarti rata-rata

6 dari 1000 orang di dunia mengidap autisme. Pravelensi autis di Indonesia mengalami

peningkatan setiap tahunnya, dari 1 per 1000 penduduk menjadi 8 per 1000 penduduk

dan melampaui rata- rata dunia yaitu 6 per 1000 penduduk. Data tersebut menunjukan

bahwa peningkatan autisme sangat pesat, jika penderita autisme meningkat, menurut

Depkes RI akan berakibat hilangnya generasi penerus bangsa karena anak autis pun

1
2

adalah anak yang ikut andil dalam menentukan masa depan Indonesia. (Kemenppa,

2018)

Autisme banyak ditemukan pada laki-laki (83,3%) dibandingkan perempuan.

Usia terdiagnosa autis paling banyak antara 1-2 tahun (53%) dan sebagian besar status

gizinya normal (46,7%) tetapi ada pula subyek (40%) yang mengalami obesitas.

Subyek mengalami penurunan perilaku autis (26,7%) ketika diet bebas gluten dan

casein. (Pratiwi, 2014)

Pravelensi pada tahun 2018 CDC menetapkan bahwa sekitar 1 dari 59 anak di

diagnosis dengan autism spectrum disorder (ASD). 1 dari 37 anak laki-laki dan 1 dari

151 anak perempuan. Anak laki-laki empat kali lebih rentan terdiagnosis autis dari pada

anak perempuan. 31 % anak dengan Autis memiliki cacat intelektual ( Intelligence

quotient atau IQ < 70 ), 25 % berada dikisaran batas ( IQ 71-85) dan 44 % memiliki

skor IQ dalam kisaran rata-rata hingga di atas rata-rata (yaitu, IQ > 85). (AutismSpeaks,

2018)

Menurut data Profil Pemenuhan Hak Anak DIY (2018) jumlah anak

penyandang autis di DIY tahun 2016 sebesar 313 jiwa dan meningkat pada tahun 2017

sebesar 384 jiwa. Terjadi peningkatan sebesar 71 jiwa ( 22,68 %) dengan jumlah anak

laki-laki penderita autis lebih banyak dibanding dengan perempuan. Penyandang autis

DIY terbanyak yaitu di kabupaten sleman sebesar 151 jiwa dan terendah di Kulon

Purogo sebesar 11 jiwa.

Deteksi dini merupakan hal yang sangat penting untuk dapat dilakukan

intervensi atau terapi sedini mungkin. Anak dengan kebutuhan khusus, sama dengan

anak manapun, mengalami perkembangan otak yang cepat pada usia dibawah 5 tahun,

dan yang paling ideal untuk intervensi dini adalah pada usia 2-3 tahun karena otak anak

berkembang paling cepat (Mulyadi & Sutadi, 2014). Pendeteksian gejala autis harus
3

dilakukan sesegera mungkin. Kasus yang sering terjadi ketika anak belum bisa berjalan

atau berbicara sampai usia 3 tahun, orangtua menunggu terlebih dahulu, padahal sudah

ada ganjalan sejak usia 2 tahun sehingga lambat mendapatkan penanganan. (Hasdianah,

2013).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no 66 tahun

2014, Pemantauan Pertumbuhan, Perkembangan Anak harus diselenggarakan secara

komprehensif dan berkualitas melalui kegiatan stimulasi, deteksi dini dan intervensi

dini. Kualitas tumbuh kembang balita di Indonesia perlu mendapat perhatian serius

yaitu mendapat gizi yang baik, stimulasi yang memadai serta terjangkau oleh pelayanan

kesehatan berkualitas termasuk deteksi dan intervensi dini penyimpangan tumbuh

kembang.Pembinaan tumbuh kembang anak secara komprehensif dan berkualitas yang

diselenggarakan melalui kegiatan stimulasi, deteksi dan intervensi dini penyimpangan

tumbuh kembang balita harus dilakukan pada “masa kritis”. Melakukan stimulasi

artinya merangsang otak balita sehingga perkembangan kemampuan gerak, bicara dan

bahasa, sosialisasi dan kemandirian pada balita berlangsung secara optimal sesuai

dengan umur anak. Melakukan deteksi dini penyimpangan tumbuh kembang artinya

melakukan skrining atau mendeteksi secara dini adanya penyimpangan tumbuh

kembang balita termasuk menindaklanjuti setiap keluhan orang tua terhadap masalah

tumbuh kembang anaknya. Melakukan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang

balita artinya melakukan tindakan koreksi dengan memanfaatkan plastisitas otak anak

untuk memperbaiki penyimpangan tumbuh kembang pada seorang anak agar tumbuh

kembangnya kembali normal atau penyimpangannya tidak semakin berat. Apabila

balita perlu dirujuk, maka rujukan juga harus dilakukan sedini mungkin sesuai dengan

indikasi. (Permenkes RI, 2014)


4

Jumlah kasus autisme mengalami peningkatan yang signifikan. Melihat

fenomena ini, tentu saja sangat meresahkan. Anak-anak dengan ASD yang tidak

diintervensi sejak dini dan tertangani dengan tepat, kemungkinan jalan kesembuhan

akan semakin jauh dan dikhawatirkan akan menjadi generasi yang hilang (loss

generation). Peran pemenerintah dan dukungan masyarakat juga sangat dibutuhkan.

Karena saat ini masih minimnya lembaga pelayanan pendidikan/terapi milik

pemerintah dan sangat diperlukan sosialisasi dan edukasi tentang pengertian autisme

itu sendiri. Disamping itu pengetahuan masyarakat atau secara khusus orang tua yang

memiliki anak usia balita tentang deteksi awal terhadap autisme masih sangat minim,

terutama di pedesaan bahkan banyak yang terlambat mengetahui ketika usia anak sudah

melewati usia 5 tahun, sehingga intervensi dini tidak bisa segera dilaksanakan. Anak

autisme perlu penanganan dini yang terpadu yang melibatkan orangtua dan profesional

di bidang medis, psikologis, dan pendidikan. Pemberian penanganan secara terpadu,

intensif, dan dimulai sejak usia dini akan memberikan hasil yang positif, yaitu

membantu anak dengan autisme beradaptasi dengan lingkungannya dan belajar

berbagai kemampuan kognitif. (Ayie, 2017)

Sama hal nya dengan penelitian Zahra dkk (2017) yang berjudul “Deteksi

Autisme pada Anak Menggunakan Metode Modified K-Nearest Neighbor (MKNN)“ .

Terdapat bahwa deteksi dini autisme pada anak menggunakan metode MKNN memiliki

tingkat akurasi yang cukup baik dan mampu melakukan klasifikasi deteksi gejala

autisme berdasarkan masukan gejala yang dirasakan pengguna.

Dalam tinjauan islam dijelaskan bahwa dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 61,

Allah SWT berfirman :

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak
(pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama
mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah ibu-ibumu,
dirumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan,
5

dirumah saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang perempuan,
dirumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan,
dirumah yang kamu miliki kuncinya atau dirumah kawan-kawanmu. Tidak ada
halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu
memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam
kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang
ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan
ayat-ayatnya (Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.

Ayat ini menjelaskan bahwa kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dan

yang bukan penyandang disabilitas, memiliki hak yang sama. Tidak ada perbedaan

terhadap penyandang disabilitas dan yang bukan penyandang disabilitas.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis dapat merumuskan masalah yaitu

“Bagaimana gambaran deteksi dini autis pada anak usia 18-36 bulan“ ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran deteksi dini autis

pada anak usia 18-36 bulan di Puskesmas x.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan menambah informasi dan wawasan tentang

deteksi dini autis pada anak usia 18-36 bulan.

2. Manfaat Aplikatif

a. Bagi Orang Tua

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang autis

pada anak usia 18-36 bulan.

b. Bagi Tenaga Medis di Puskesmas

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam upaya

peningkatan deteksi dini autis usia 18-36 bulan.


6

c. Bagi Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mmenambah pustaka fakultas, sekaligus

dapat digunakan sebagai referensi peneliti selanjutnya.

E. Ruang Lingkup Penelitian

1. Ruang Lingkup Materi

Ruang lingkup materi penelitian ini adalah deteksi dini autis pada anak usia 18- 36

bulan. Penelitian ini dilakukan karena masih minim nya upaya tentang deteksi dini

autis pada anak.

2. Ruang Lingkup Responden

Responden dalam penelitian ini adalah anak usia 18-36 bulan agar dapat dilakukan

penanganan lebih dini dan sesuai dengan program SDIDTK.

3. Ruang Lingkup Tempat

Tempat penelitian ini dilakukan di Puskesmas karena deteksi dini autis anak usia

18-36 bulan masih jarang diterapkan.

4. Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini dimulai dari penyusunan proposal sampai dengan laporan hasil

skripsi yang dilaksanakan sejak bulan November 2019 sampai bulan Juli 2020.

F. Keaslian Penelitian

1. Penelitian Gladys L. Kandow dkk (2018) “Deteksi Dini Anak Gangguan Spektrum

Autisme dan Interaksinya dengan Orang Tua dan Saudara Kandung” Jenis

penelitian ini adalah deskriftif – kuantitatif dengan desain potong lintang. Hasil

penelitian memperlihatkan bahwa dari total 64 anak autisme yang diteliti, terbanyak

usia 7-10 tahun yaitu 30 anak. Pengumpulan data melalui kuesioner.Terdapat

interaksi antara anak autisme dengan saudara kandung dan orang tua berupa

mengamuk dan menangis secara tiba-tiba. Perbedaan penelitian ini adalah waktu
7

penelitian, tempat penelitian dan judul penelitian. Persamaan penelitian ini adalah

desain penelitian dan pengumpulan data melalui kuesioner.

2. Penelitian Aji Setiawan, Dwi Kuncoro (2016) “ Sistem Pakar Deteksi Anak Autis”

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Forward Chaining Method

dengan mengambil beberapa data dari hasil survei dan penelitian di SLB NEGERI

Surakarta dan lainnya untuk meneliti data materi tambahan sehingga membuat

sistem pakar persatuan. Penelitian ini diharapkan dapat diterima dengan baik untuk

menyelesaikan problemas yang muncul untuk orang tua. Dengan ahlinya sistem

dapat memfasilitasi deteksi anak-anak dengan autisme dan kemudahan autis dalam

berurusan dengan autism sejak dini. Perbedaan penelitian ini adalah Judul

penelitian, waktu penelitian, tempat penelitian dan metode penelitian. Persamaan

penelitian ini tidak terdapat persaman.

3. Penelitian Akhter S, Hussain AHME, Shefa J, Kundu GK, Rahman F, Biswas A.

(2018) Prevalence of Autism Spectrum Disorder (ASD) among the children aged

18-36 months in a rural community of Bangladesh: A cross sectional study. Jenis

penelitian ini adalah studi cross sectional dilakukan di antara 5.286 anak berusia

antara 18-36 bulan di sebuah komunitas pedesaan. Data tingkat rumah tangga

dikumpulkan menggunakan alat skrining MCHAT. Diagnosis dibuat dengan

berbagai tahapan mulai dari skrining primer, diikuti oleh validasi menggunakan

MCHAT dan kartu flash. Diagnosis akhir dibuat oleh ahli saraf pediatrik, psikolog

klinis anak dan terapis pengembangan menggunakan alat diagnostik ( DSM-IV &

ADOS). Hasil: 04 anak didiagnosis dengan autism spectrum disorder (ASD).

Prevalensi ASD di masyarakat pedesaan ditemukan 0,75 / 1000 anak-anak. Di

antara empat kasus ASD, tiga adalah laki-laki dan satu perempuan dan rentang usia

antara 20-30 bulan. Perbedaan penelitian ini adalah judul penelitian, waktu
8

penelitian, tempat penelitian. Persamaan penelitian terletak pada metode penelitian

yang menggunakan MCHAT.

Anda mungkin juga menyukai