Anda di halaman 1dari 9

r

DASAR-DASAR FILOSOFIS ILMU OLAHRAGA


(Suatu Pengantar)

Made Pramono

4 part of commondaily activity, and


Intisari: Sport in our society_i_s
also is an art of Various
competition. aspectsinvolvedin sportevents
such as human resources,buildings, investments,equipments,.and
anvotherneeds.Internal problemssuch as eltbrts to gatn the best
po'sitionin local,national.-andinternationaleventsimplicateso many
bther problems. Beside those problems, spo4 . develops in -any
scientific studies like Psych-ologyof Sport, Politics of- Sport, Law
Study of Sport, etc. All of those.screntlllcstudlesare cllmenslonsln
*triil spott requires an academic conscience ln investigating
philosophicalfoundationsof sportas science.
dasarfilosofis.
Kata Kunci: Ilmu Olahraga,kesadaran,

Kesadaranbahwa olahraga merupakan ilmu secara internasional mulai


muncul pertengahanabad 20, dan di Indonesiasecararesmi dibakukan melalui
deklarasiilmu olahragatahun 1998. Beberapaakademisidan masyarakatawam
memang masih pesimis terhadap eksistensi ilmu olahraga, khususnya di
Indonesia,terutama dengan melihat kajian dan wacana akademis yang masih
sangatterbatasdan kurang integral.Namun sebagaisuatuilmu baru yang diakui
secaraluas, ilmu olahragaberkembangseiring kompleksitaspermasalahanyang
ada dengan ketertarikan-ketertarikan ilmiah yang mulai bergairahmenunjukkan
eksistensiilmu baru ini ke arahkemapanan.
Filsafat, dalam hal ini dianggapmemiliki tanggungjawab penting dalam
mempersatukan berbagai kajian ilmu untuk dirumuskan secara padu dan
mengakar menuju ilmu olahraga dalam tiga dimensi ilmiahnya (ontologi,
epistemologidan aksiologi) yang kokoh dan sejajardenganilmu lain. Ontologi
membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan
pengkajian mengenaiteori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungan
drng* materi yang menjadi obyek penelaahanilmu, ciri-ciri esensialobyek itu
yang berlaku umum. Ontologi berperan dalam perbincangan mengenai
pengembanganilmu, asumsi dasar ilmu dan konsekuensinyapada penerapan
ilmu. Ontologi merupakansaranailmiah untuk menemukanjalan penanganan
masalahsecarailmiah (Van Peursen,1985:32). Dalam hal ini ontologiberperan
dalam proseskonsistensiekstensifdan intensif dalampengembangan ilmu.
Epistemologi membahassecaramendalam segenapproses yang terlibat
dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan.Ini terutama berkaitan dengan
metode keilmuan dan sistematikaisi ilmu. Metode keilmuan merupakansuatu
proseduryang mencakupberbagaitindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan
tata langkah untuk memperoleh pengetahuanbaru atau mengembangkanyang
telah ada. Sedangkansistimatisasiisi ilmu dalam hal ini berkaitandenganbatang

Penulis adalah dosenFakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Surabaya

138
Made, Dasar-dasar Filosofis
tubuh ilmu, di mana peta dasardan pengembangan ilmu pokok dan ilmu cabang
dibahasdi sini.
Aksiologi ilmu membahastentang manfaat yang diperoleh manusia
dari
pengetahuanyang didapatnya. Bila persoalan value dan value
free bound ilmu
mendominasi fokus perhatian aksiologi pada umumnya, maka dalam
hal
pengembanganilmu baru seperti olahragaini, dimensi alsiologi
aipertuas tagi
sehinggasecarainherenmencakupdimensinilai kehidupun,n*uiia seperti
etika,
estetika, religius (sisi dalam) dan juga intenelasi iimu dengan aspek-aspek
kehidupan manusia dalam sosialitasnya (sisi luar aksiologi). keduanya
merupakanaspekdari permasalahantransferpengetahuan.
Relevansi filosofis ini pada gilirannya mensyaratkanpula komunikasi
lintas, inter dan muiltidisipliner ilmu-ilmu terkaii dalam upuyu menjawab
persoalandan tantanganyang muncul dari fenomenakeolah.ugu*. Dengan
kata
lain, proses timbal yang sinergis antara khasanahkeilmuan dan wilayah
-balik
praksis muncul, dan menjadi tanggungjawab filsafat untuk mengkritisi,
memetakan dan memadukan hal tersebut. Filsafat ilmu olahraga, dengl
titik
tekan utama pada tiga dimensikeilmuan ini - ontologi, epistemotgi, akiiologi _
mengeksplorasi ilmu olahraga ini secara mendalam. Ekstensifikasi
dan
intensifikasi menjadi permasalahan yang amat menentukan eksistensi
dan
perkembanganilmu keolahragaanlebihjauh dari hasil eksplorasiini.

Akar Eksistensi Olahraga


olahraga, sebagaimanayang dikatakanRichard scaht (199g: 124), seperti
halnya sex, terlalu penting untuk dikacaukan dengan tema lain. Ini tidak hanya
tentang latihan demi kesehatan.Tidak hanya permainan untuk hiburan,
atau
menghabiskan waktu luang, atau untuk kombinasi dari maksud sosial
dan
rekreasional.Olahragaadalah aktivitas yang memiliki akar eksistensiontologis
,sangatalami, yang dapat diamati sejak bayi dalam kandungan sampai dengan
bentuk-bentukgerakanterlatih.
Olahraga juga adalah permainan, senada dengan eksistensi manusiawi
sebagai makhluk bermain (homo ludens-nya HuLinga). olahraga
adalah
tontonan, yang memiliki akar sejarah yang panjang, sejak jaman yunani
Kuno
dengan orete, agon, pentothlon sampaidengin otympic- Gamesdi masa
modem,
di mana dalam sejarahnya, perang dan damai selalu mengawal peristiwa
keolahragaan itu. olahraga adalah fenomena multidimensi, seperti
halnya
manusia itu sendiri.
Mitos dan agama yunani awar menampilkan suatu pandangandunia yang
membantu perkembangankesalinghubunganintrinsik antararnuk ru olahraga
dan
budaya dasar. Keduanya juga merefleksikan kondisi terbatas dari eksi-istensi
keduniaan, dan bukan sebagai kerajaan transenden dari pembebasan.Nuansa
keduniawian tampak pula pada ekspresi naratif tentang kehidupan, rentang luas
pengalamanmanusiawi, situasionalnyadan suka dukanya.Manifestasi kesaLalan
terwujud dalam prestasidan kekuasaanduniawi, kecantikan visual dan campuran
dari dayapersainganmempengaruhisituasikemanusiaan(Hatab, l99g: 9g).

r39
Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2

Budaya Yunani Kuno juga sepenuhnyabersifat agon, persaingan.Puisi-


puisi Homer dan Hesiod menampilkandiri sebagaikonflik di antaradaya-daya
persaingan. Wajah realitas Yunani Kuno juga mewujud dalam daya-daya
persaingan ini: atletik, keindahan fisik, kerajinan tangan, seni-seni visual,
nyanyian,tarian,dramadan retorika(Crowell, 1998:7).
Signifikansi agon dapat lebih dipahami dari pandangantentang ideal
kepahlawanan.Dalam lliad-nya Homer, keberadaanmanusia secara esensial
adalah mortal dan terarah pada takdir negatif melampaui kendali manusia.
Kematian dapat mencapai kompensasi istimewa: keduniawian, kejayaan dan
kemasyhuranmelalui pengambilanresiko dan pengkonfrontasiankematian pada
medan perang, melalui pengujian keberanianmanusiamelawan satria lain dan
kekuatannasib. Hal terpentingdi sini adalahbahwamaknakeutamaanterhubung
dengan batas-batasdan resiko. Dapat digeneralisir- dalam lliad rtu - bahwa
tanpa kemungkinanuntuk kalah atau gagal, kemenanganatau keberhasilantak
akanberarti apa-apa(Hatab, 1998:98).
Atletik (olahraga,dalam tulisan ini kadang-kadangdisebut dengan atletik
untuk kepentinganpenyesuaiankonteks) berperanpenting dalam dunia Yunani
Kuno. Kata atletik berarti konflik atau perjuangan,dan dapat secaralangsung
diasosiasikandengan persaingan,di mana kompetisi di tengah-tengahkondisi
keterbatasanmambangkitkanmakna dan keutamaan.Apa yang membedakan
kontes atletik dari hal-hal lain dalam budaya Yunani adalah bahwa atletik
menampilkan dan mengkonsentrasikan elemen-elemen duiniawi dalam
penampilanfisik dan keahlian,keindahantubuh, dan hal-hal khususdari tontonan
dramatis(Hatab,1998:99).
Kontes atletik, seperti yang tampak dalam lliad, menunjukkanpenghargaan
yang tinggi masyarakat Yunani terhadap olahraga yang terrepresentasikan
sebagaisemacamritual agamadan terorganisirdalam mana kompetisi-kompetisi
fisik ditampilkan sebagai analog mimetic (secara menghibur) dari penjelasan
agama- baik tentang nasib dan kepahlawanan- dan sebagaipenjelmaanrinci
signifikansikultural agon.
Sekarang,signifikansi olahragamenurun di dunia Yunani, justru dengan
datangnyastatemen-statemen filsafat sebagaikompetitor kultural. Nilai penting
dari tubuh dan aksi secarabertahapdikalahkan oleh tekananpada pikiran dan
refleksi intelektual. Ketertarikanterhadaptransendensispiritual dan tertib alam
menggeserpengaruhmitos-mitosdan religi sepertidijelaskandi atas. Meskipun
Plato dan Aristoteles mengusungnilai penting latihan fisik dalam pendidikan,
namun mereka memulai sebuah revolusi intelektual yang meremehkan nilai
penting kultural keolahragaan- "remeh" justru karenaketerkaitanerat olahraga
dengan tubuh, aksi, perjuangan,kompetisi dan prestasi kemenangan(Hatab,
1998:99).

Ekspresi Filosofis Kultur Olahraga


Friederich Nietzsche (terkenal dengan tesisnya: "Tuhan telah mati")
termasuk filsuf yang pemikiran-pemikirannyaberhutang banyak pada dunia

140
Made, Dasar_dasar Filosofis
Yunani Kuno yang menghargaiatletik sejajardenganintelek. Nietzscheadalah
seorangfilsuf kontroversialyang paling banyakdirujuk sebagaipenyumbangtak
langsung debat akademis tentang kaitan pemikiran filsafat- dan lhu
keolahragaan.Bahkan beberapapenulis, seperti Richard Schacht, menyebut
"filsafat olahragaNietzscheian"sebagaiistilah pentingdalam bahasanihijmya,
Nietzscheand Sport, meskipun istilah ini masih perlu dicurigai sebagaiterlalu
maju dan ahistoris,oleh karenapemikir lain sepertiLawrenceJ. Hatab(tqgg: Zg)
menyatakanbahwaNietzschesedikit sekali ataubahkantak pernahbicaratentang
aktivitas atletik dan olahragasecaralangsung.Hatab mengeksplorasiNietzsche
hanya dalam kaitan pemikirannyayang dapat diasosiasikandan mengarahpada
tema keolahragaan.
Hatab mengeksplorasibeberapapemikiran Nietzschesepertiwill to power,
sublimation, embodiment,spectacle danplay yang terarahpada aktivitas atletik
dan event-eventolahraga(Hatab, 1998: 102). Dari sini, dapat dimaknai bahwa
arah pemikiran yang berhubungansecara historis pada dunia keolahragaan
termasuk dalam ekspresi pemikiran filosofis, dan oleh karenanya, il-u
keolahragaanmemiliki akar fi losofisnya.
Perspektif naturalistik Nietzsche ini menjelaskanmengapabanyak orang
menyukai permainandan menyaksikanpertandinganolahraga,dan kenapa hal-
hal tersebutdapat dianggapmemiliki nilai dan manfaatyung b"rur. pertunjukan
atletik adalahpenampilandan prosesproduksi makna kultu;l penting. Ini dapat
dilihat dari efek kesehatan dan pengembangankeahlian fisik. Selain i,u,
pertunjukan olahraga juga dapat dipahami sebagai tontonan publik yang
mendramatisir keterbatasandunia yang hidup, prestasi teatrikal dari keaiaan
umat manusia,pengejaran,perjuangan-perjuangan suksesdan gagal. Dari sudut
pandangpengembangansumberdaya manusia,sudahjelas bahwu oluhrugudapat
menanamkankebajikan-kebajikantertentu dalam keikutsertaandisiplin, ke.Ja
tim, keberaniandan intelegensi praktis(Hatab,l99g: 103).
Konsekuensi dari semua itu, permainan olahraga adalah cukup ..serius,,
untuk diangkat ke tingkat penghargaanbudayayang lebih tinggi (Hatab, l99g:
106), sehinggafilsafat mau tak mau harus berani mengkaji utang ..tradisinya"
sendiri yang menekankanjiwa atas tubuh, harmoni atas konflik, dan mengalui
bahwa olahraga memiliki kandungannilai-nilai fundamental bagi kebera-daan
manusia.Begitulah,di dunia Yunani Kuno, lokus asalmuasalpemikiran filsafat
Barat, olahraga tak hanya populer, tetapi menempati p"ngharga* kultural
terhormat.
Namun demikian, StevenGalt crowell (199g: I l3) denganmengeksplorasi
secara mendalam feneomena olahraga sebagai tontonan dan permainan,
mengungkapsisi-sisi buramnya:brutalitas,agresifitas,dan "merusak kesehatan".
Dalam hal yang terakhir,olahragadisebutnyasebagaialat alamiahuntuk ,,war on
drugs", olahtagaditampilkan sebagaialternatif pengobatanketika para praktisi
terkemuka menemukanobat-obatansebagaibagian alami dari gaya hidup atlit
olahraga.
Apabila di jaman Yunani Kuno atlitnya mendemonstrasikan atletik dengan

t4l
Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2

keahlianyang langsungberimplikasi pada kesehariansi atlit, di mana nilai-nilai


keksatriaandimunculkan,pada atlit sekarangkeberaniansedemikianotonomnya,
sehinggayang menampakadalahdemonstrasiketiadaartiankecakapan.Tontonan
menawarkanindividu-individu yang mengkonsentrasikan seluruhkeberadaannya,
ke dalam satu permasalahan.Individu-individu tersebutmeniru apa yang oleh
Nietzschedisebut "inversecripples" (ketimpanganterbalik),di manakeberadaan
manusia "kurang segalasesuatunyakecuali untuk satu hal yang mereka terlalu
banyak memilikinya - keberadaanmanusiayang adalahtak lain daripadamata
besar,mulut besar,perutbesar,segalanya serbabesar"(Crowell, 1998:I l5).
Atlit sekarangbukanlah Tuan, tetapi Budak, bukan teladandari apa artinya
menjadi manusia,tetapi sekedarfokus untuk hidup yang tak dialami sendiri dari
penonton yang pujian-pujiannyamenjadi rantai yang mengikat atlit itu sendiri
(teralienasi - dalam bahasa patologi sosialnya Erich Fromm). Dari tontonan
kompetitif seperti ini, tak ada artinya "aturan urutanjuara": kemenangandi beli
dan dibayarkan,olahragasebagaitontonan,dan ini secaraesensialberarti bicara
tentanghidup yang tak dialami sendiri.

Deklarasi Ilmu Olahraga


Beberapapendapatdi atas bagaimanapunmencerminkansuatu perhatian
filosofis yang diakronik terhadapolahragasebagaifenomenayang monumental
di jaman ini (setidaknya dengan mengukur antusiasme masyarakat awam
terhadaptontonan olahragabaik langsungdi stadion maupun di televisi, atau
dengan larisnya majalah atau kolom keolahragaan, berikut fenomena
"megasponsor" dan perjudian di dalamnya). Lalu, bagaimana tuntutan
perkembangan keolahragaan sebagai ilmu itu di Indonesia khususnya dan
masyarakatakademisdunia padaumumnya?
Terdorong oleh rasa ingin mencari jawaban tepat terhadap pertanyaan:
apakaholahragamerupakanilmu yang berdiri sendiri, dan sebagaitindak lanjut
dari pertemuan sebelumnya,maka diselenggarakanlahpada tahun 1998 di
Surabayasuatu Seminar Lokakarya Nasional Ilmu Keolahragaan.Seminar ini
mampu melahirkan kesepakatantentangpendefinisianpengertianolahragayang
dikenal dengan nama Deklarasi Surabaya 1998 tentang Ilmu Keolahragaan,
sebagaijawaban bahwa olahragamerupakanilmu yang mandiri. Sebagaiilmu
yang mandiri, olahraga harus dapat memenuhi 3 kriteria: obyek, metode dan
pengorganisasianyang khas, dan ini dicakup dalam paparantentang ontologi,
epistemologidan aksiologi(Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan,2000: l-2,6).
Dari sini, filsafat ilmu muncul sebagaisuatukebutuhan.
Earle F. Zeigler (1977) mengaitkan pendidikan keolahragaandengan
filsafat olahragadenganmencobamenguraiberbagaiaspekyang dianggapterkait
dengan berbagai dimensi yang muncul dari fenomena keolahragaan,terutama
dalam hal dimensi edukatifnya. Tampaknya banyak penelitian serupa yang
menggagas filsafat ilmu keolahragaan dalam tinjauan yang kurang lebih
diasalkanpada pendidikanjasmani. C.A. Bucher denganbukunyaFoundation of
Physical Education and Sport (1995), William H. dalam buku Physical

t42
Made, Dasqr-dasar Filosofis

Education and Sport a Changing Society (1987), adalah beberapakarya yang


bemuansa filsafat ilmu keolahragaan,narnun pembahasanyang diambil lebih
merupakanintegrasidari berbagaidisiplin ilmu terkait untuk membangundasar-
dasarilmu keolahragaan,sedangkanhakikat dimensi ontologi, epistemonogidan
aksiologi belum sepenuhnya digarapmendalamdan mengakar.
Aspek pertama, ontologi, setidaknyadapat dirunut dari obyek studi ilmu
keolahragaanyang unik dan tidak dikaji ilmu lain. Sebagai rumusan awal,
UNESCO mendefinisikan olahraga sebagai "setiap aktivitas fisik berupa
permainan yang berisikan perjuanganmelawan unsur-unsuralam, orang lain,
ataupun diri sendiri". SedangkanDewan Eropa merumuskanolahraga sebagai
"aktivitas spontan,bebasdan dilaksanakandalam waktu luang". Definisi terakhir
ini merupakan cikal bakal panji olahraga di dunia "Sport for All" dan di
Indonesia tahun 1983, "memasyarakatkanolahraga dan mengolahragakan
masyarakat"(Rusli dan Sumardianto,2000: 6).
"Aktivitas", sebagaikata yang mewakili definisi olahraga,menunjukkan
suatu gerak, dalam hal ini gerak manusia,manusiayang menggerakkandirinya
secarasadar dan bertujuan.Oleh karenaitu, menurut KDI keolahragaan,obyek
material ilmu keolahragaanadalah gerak insani dan obyek formalnya adalah
gerak manusia dalam rangka pembentukandan pendidikan. Dalam hal ini,
ragaltubuhadalahsasaranyang terpentingdan paling mendasar.
Penelitian filosofis untuk itu sangat diharapkan menyentuh sisi tubuh
manuisiawi sebagai kaitan tak terpisah dengan jiwa/pikiran, apalagi dengan
fenomena maraknya arah mode atau tekanan kecintaan masyarakatluas terhadap
bentuktubuh ideal.
Seneca,seorangfilsuf dan guru kaisarNero mengatakan:"oran dum es ut
'Mens
sit Sano in Corpore Sano"' yang secara bebasdapat ditafsirkan bahwa
menyehatkanjasmani denganlatihan-latihanfisik adalah salah satujalan untuk
mencegah timbulnya pikiran-pikiran yang tidak sehat yang membawa orang
kepadaperbuatan-perbuatan yang tidak baik Q.,loerbai,
2000: 35).
Ilmu keolahragaansebagaisatu konsekuensiilmiah fenomenakeolahragaan
berarti pengetahuan yang sistematik dan terorganisir tentang fenomena
keolahragaanyang dibangunmelalui sistempenelitianilmiah yang diperolehdari
medan-medanpenyelidikan(KDI Keolahragaan, 2000: 8).
Aspek kedua sebagai dimensi filsafat ilmu adalah epistemologi yang
mempertanyakanbagaimanapengetahuandiperolehdan apa isi pengetahuanitu.
Ilmu keolahragaan dalam pengembangannyadidekati melalui pendekatan
multidisipliner, lintasdisipliner dan interdisipliner. Pendekatanmultidisipliner
ditandai oleh orientasi vertikal karena merupakan penggabungan beberapa
disiplin ilmu. Interdisiplinerditandai oleh interaksi dua atau lebih disiplin ilmu
berbeda dalam bentuk komunikasi konsep atau ide. Sedangkanpendekatan
lintasdisiplinerditandai orientasihorisontalkarenamelumatnyabatas-batasilmu
yang sudahmapan.
Ketiga pendekatandi atas dalam khasanahilmu keolahragaanmembentuik
batangtubuh ilmu sebagaijawaban ataspertanyaanapa isi ilmu keolahragaanitu.

t43
JurnalFilsafat,Agustus
2003,Jilid 34, Nomor2
Inti kajian ilmu keolahragaanadalah Teori Latihan, Belajar Gerak, Ilmu
Gerak, Teori Bermain dan Teori Instruksi yang didukung oleh ilmu-ilmu
Kedokteranolahraga, Ergofisiologi,Biomekanika,Sosiologiolahraga, pedagogi
Olahraga, Psikologi Olahraga,SejarahOlahragadan Filsafat Olahraga.Akar dari
batang tubuh ilmu keolahragaan terdiri dari Humaniora - terwujud dalam
antropokinetika; Ilmu PengetahuanAlam - terwujud dalam Somatokinetika; dan
Ilmu PengetahuanSosial - terwujud dalam Sosiokinetika(KDI Keolahragaan,
2000:33-34).
Aksiologi - aspekketiga - berkaitandengannilai-nilai, untuk apa manfaat
suatu kajian. Secaraaksiologi olahragamengandungnilai-nilai ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budayadan strategisdalam pengikat ketahanannasional (KDI
Keolahragaan,2000: 36). sisi luar aksiologis ini menempatiporsi yang paling
banyak,dibandingkansisi dalamnyayang memanglebih saratfilosofinya.
Kecenderungan-kecenderungan sisi aksiologi keolahragaan ini seczua
akademis menempati sisi yang tak bisa diabaikan, bahkan cenderung paling
banyak diminati untuk dieksplorasi.Ini termasuk dari sisi estetisnya,di mana
Randolph Feezell mengulasnyasecarafenomenologis,selain dimensi naratifnya
(Feezell, 1989: 204-220).Kemungkinannilai etisnya,Dietmar Mieth (19g9: 79-
92) membahasnyasecaraekstensifdan komprehensif.Thomas Ryan (1989: I l0-
I l8) membahaskaitan olahragadenganarah spiritualitasnya.Nancy Shinabargar
(1989: 44-53)secarasosiologismembahasdimensi feminis dalam olahraga.Yattg
tersebut di atas adalah beberapacontoh cakupan dimensi ilmu keolahragaan
dalam filsafat ilmu, di mana ekstensifikasi dan intensifikasi masih luas
menantang.
Bertaburan dan tumbuh subumya ilmu-ilmu yang berangkat dari dimensi
ontologi, epistemologidan aksiologi, membuktikanbahwa apa yang paul weiss
tulis dalam bukunya sport: A Philosophy Inquiry (1969: 12) bahwa semakin
banyak renungan filosofis yang mengarahkankeingintahuan mendalam dan
keterpesonaanterhadapolahraga,memiliki daya prediktif, persuasifdan benar
adanya.Ini perlu dimaknaisecaraoperasional-ilmiah.Sampaidenganabad2l ini,
fenomena signifikansi dan kejelasantranskultural dari olahraga menempati salah
satu koridor akademisilmiah yang membutuhkanlebih banyak penggagasdan
kreatoride (Hyland,1990:33).
Kecenderunganminat keilmuan yang makin ekstensif dan intensif ini
membawaimplikasi logis bagi filsafat untuk mengasahmatapisau "keibuannya",
mengingat dari sejarahnya,filsafat dianggapmater scientarum: ..ibunya ilmu',,
dalam memberi tempat bagi pertanyaandan jawaban mendasaratau inti isi ilmu
keolahragaansekaligusmengasuhcabang-cabangranting ilmu keolahragaanini.

Kesimpulan
Ilmu Olahraga merupakan pengetahuanyang sistematis dan terorganisir
tentangfenomenakeolahragaanyang memiliki obyek,metode,sistematikailmiah
dan sifat universal yang dibangunmelalui sebuahsistempenelitian ilmiah yang
diperoleh dari macam-macampenyelidikan, yang produk nyatanyatampak dalam

t44
Made,Dasar-dasar
Filosofis
batang tubuh pengetahuan ilmu olahraga dengan pendekatan pengembangan
keilmuan yang multidisipliner sehingga secara aksiologis pemaknaandomain
perilaku gerak - olahraga - membuka spektrum nilai yang normatif-teoritis
(etika, estetika,kesehatanbesertapengembangannya) dan nilai-nilai yang praktis-
profesional (pengajarandan pelatihan, manajemen,rehabilitasi ataupun rekreasi
olahragabesertapengembangannya).
Pembahasan yang mencoba mengintegrasikan disiplin ilmu untuk
memaknai dasar-dasarteoritis ilmu keolahragaansebagai ilmu baru memang
sudahada dan dalam penelitianini digunakansebagaireferensi,namun relevansi
filsafati-ilmiahnya masih sangat minim. Meskipun pro dan kontra ilmu
keolahragaan sebagai suatu ilmu mandiri sudah surut, namun tantangan yang
muncul kemudian sebagai kompensasieksistensi ilmu keolahragaanmelalui
tantangan itu adalah ekstensifikasi dan intensifikasi ilmu keolahragaan yang
mensyaratkanfi Isafat sebagaiel<s
p Ior er pokoknya.

DAFTAR PUSTAKA
Buchgr_,Q.A., l_995,^Foundation of Physical Education and Sport, Mosby-
Yearbook,Inc., St.Louis.
crowe.ll, s.G., 1998,spgr! as-spectggleand.as Play: NietzscheianReflections,
dalam Internatioial Studiei in Philosophy.
Feezell,R., l98l , Play, Freedomand Sport, dalamPhilosophyToday.
Freezell,R., 1984,Play and TheAbsurd, dalamPhilbsophyToday.
Freezell, R., 1989,Sport, Character, and Virtue, dalam Philosophy Today
Freezell,R, 1995,Sport,Aesthetic,and Narrative, dalarnPhilosophyToday
Haag,_Herb9rt, l9!4, Theoretical Foundation of sport science as a Scientific
Discipline.:^Contribution to a Phylosophy (Mdta-Theory) of sport scieice,
Schoirrdorf,VerlaagKarl Hoffma-nn,f'eaerdlRepublicdf C6*iany.-
Hyland, Drew A., 1990,Philosophyof Sport, ParagonHouse,New York.
Jujun S.S., 1984,Filsafat llmu,Sinar Harapan,Jakarta.
Komisi Disiplin Ilmu KeoldTlgu*,_ 2000, Ilmu Keolahragaan dan Rencana
P engembangannyo, Depdiknas,Jakarta.
Mieth, D., 1989,TheEthics of Sport, dalamConcilium.
Noertri, 2000, {ilsafat Pendidikan Jasmqni dan olahraga, UNESA University
PressoSurabaya.
Panitia Seminar dan__ Lgkakarya Nasional Ilmu Keolahragaantahun 1998,
Deklarasi llmu_Keolahragaandan Hasil RumusanSemiiar dan Lokalcarya
Nasional llmu Keolahragaantanggal6-7 September1998di Surabaya.
Rusli Lutan dan Sumardianto,2000, Filsafat olahraga, Depdiknas,Jakarta.
Schacht, Richard, 1998, Nietzsche and Sport, dalam International Studies and
Philosophy.
Shinabargar,N., 1989,Sexismand Sport: A Feminist Critique, dalam Concilium.

t45
2003,Jilid 34, Nomor2
JurnalFilsafat,Agustus
Van Peursen,C.A., 1985, Szsznan llmu Pengetahuan,alih bahasa:J. Drost,
Gramedia,Jaliarta.
Weiss, Paul,^1,969,.Sport: A Philosophy Inquiry, Southem Illinois University
Press,California.

t46

Anda mungkin juga menyukai