Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN PADA

ASMA BRONCHIALE

1. PENGERTIAN
Asma bronchiale adalah penyakit dari system pernafasan yang
meliputi dari jalan nafas dan gejala-gejala bronkospasme yang bersifat
reversible (Antony C, 2011).
Asma bronkhiale adalah mengi berulang-ulang/ batuk bersistem dalam
keadaan di mana asma yang paling mungkin. (Arief Mansjoer dkk, 2010).
Asma bronkhiale adalah suatu sindrom obstruksi jalan nafas yang
berulang yang ditandai kontraksi otot polos, hypereksi mucus dan inflamasi.
(Buyton, 2014).

2. ETIOLOGI
a. Imunologik atau alergik atau autopik.
Dalam bentuk ekstrinsik antigen berupa suatu bahan yang dapat
berbentuk:
1) Inhalen yang masuk dalam bahan dengan melalui alat
pernafasan misalnya debu rumah, bahan-bahan yang terlepas (sepih
kulit) dari binatang misalnya anjing, kucing, kuda dan sebagainya.
2) Ingestan yang masuk dalam tubuh melalui mulut, biasanya
berupa makanan seperti susu, telur, ikan-ikanan, obat-obatan dan
lain sebagainya.
3) Kontaktan yang masuk dalam tubuh dengan jalan kontak
dengan kulit seperti obat-obatan dalam bentuk salep, berbagai
logam dalam bentuk perhiasan, jam tangan dan lain sebagainya.
b. Non imunologik atau non alergik atau non autopik
Seringkali dicetuskan oleh infeksi pada serangan.
3. PATOFISIOLOGI
Zat oksigen masuk dalam tubuh melalui pernafasan, mulut dan kontak
kulit. Dari jenis allergen yang masuk dalam tubuh, bila pada orang yang
tidak atopik tidak akan menyebabkan apa-apa. Bila jenis allergen masuk
dalam tubuh orang yang mempunyai factor keturunan untuk bereaksi
terhadap bahan allergen akan menyebabkan alergik.
Akibat reaksi dari tubuh untuk melepaskan zat histamine
menyebabkan reaksi kontraksi otot-otot polos saluran pernafasan sehingga
terjadi broncospasme. Broncospasme akan timbul kerusakan dinding
bronkus yang akan mengakibatkan kualitas otot polos bronkus dapat
ditembus oleh cairan atau zat dalam larutan yang dapat meningkatkan
permeabilitas kapiler yang berperan terjadinya edema mukosa.
Dari edema mukosa akan menimbulkan peningkatan sekresi kelenjar
mukosa dan peningkatan produksi sputum sebagai akibatnya akan terjadi
penyempitan saluran pernafasan kemudian menghambat saluran pernafasan.
Hambatan aliran pernafasan ini menyebabkan distribusi ventilasi yang tidak
rata dengan sirkulasi darah paru sehingga mengganggu difusi gas di tingkat
alveoli. Bila hal ini berlanjut akan terjadi hipoksemia. Proses tersebut pada
penderita asma bronkhiale sering akan terjadi ketidakmampuan tentang
penyakitnya.
Karena hambatan aliran nafas yang menyebabkan gangguan aliran
udara terjadi hipoventilasi karena hipersekresi sputum yang tertahan
sehingga menyebabkan jalan nafas tidak efektif di mana gejala dan tanda
yang muncul pada penderita asma bronkhiale terjadi sesak nafas, bunyi
nafas tidak normal (wheezing), batuk yang menerus dan semakin lama
terjadinya serangan akan mengakibatkan kurangnya tenaga atau kelemahan,
serta tidak nafsu makan, dalam kondisi demikian akan menyebabkan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, gangguan pemenuhan
istirahat tidur, intoleransi aktivitas dan mengalami penurunan perawatan diri
sendiri. Dari proses seringnya kekambuhan atau serangan asma bronchial

2
didukung ketidaktahuan tentang proses penyakitnya akan berpotensial
infeksi ( Tjen daniel,2010 ).

4. MANIFESTASI KLINIK
Gangguan klinik: tachicardi, tachipnea, mengi, pernafasan pendek,
rasa sesek di dada, serangan biasanya menghilang dalam waktu 30-60
menit, sputum dalam bentuk kental dan jumlah banyak, diaphoresis,
kelelahan terjadi setelah serangan. Kontraksi yang kaku dari bronkiolus,
penurunan kecepatan ekspirasi, batuk pada malam hari berlangsung 10-14
hari (Aryanto Suwondo, karnen B. Baratawidjaja, 2008).
5. PEMERIKSAAN FISIK SESUAI TEORI
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang
datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal
dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi
seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa,
kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta
adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan
dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa
mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan
mata selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan
skor GCS.
1) Mata : Periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya,
apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya
ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus),
apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan,
rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos,
subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2) Hidung : Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri,
penyumbatan

3
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan)
lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu
fraktur.
3) Telinga : Periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan,
penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter
mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya
hemotimpanum
4) Rahang atas : Periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah: Periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : Inspeksi pada bagian mucosa
terhadap
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah
tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah
tosil meradang, pegang dan tekan daerah
pipi kemudian rasakan apa ada massa/
tumor, pembengkakkan dan nyeri,
inspeksi amati adanya tonsil meradang
atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi
adanya respon nyeri
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia
(kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul
atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan
adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi
trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi
segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi.
Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder..

d. Toraks
1) Inspeksi
Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang

4
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam
ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan
tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace
maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (lombardo, 2005)
2) Palpasi
Seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
3) Perkusi
Untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
4) Auskultasi
Suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya
pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur
vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya
dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi
abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam,
tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen,
asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk,
ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi
abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen
untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau
uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal,
dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage,
ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen
misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera
karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya
dengan transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD
118, 2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)

5
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan
fisik (pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan
penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi.
Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari
fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam,
lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok
dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti
akan kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi,
adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter
ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya
darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina
dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada
tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus
dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan
yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun
jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi,
kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin
(pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10
sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan
tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit
atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing
berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat
RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat
inspeksi, jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur
(fraktur terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa
denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan

6
dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra
kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan
aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan
penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi
pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus
diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan
pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri
tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat
s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular.
Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai
fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan sendi menjadi tidak
stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan
sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan
oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat
dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian
lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam
keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan
muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan
punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit
dikontrol, sehingga terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi
penderita dalam keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran
pulih kembali barulah kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru
dikenal setelah penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr.
M.Djamil, 2006).
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,
memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada
saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010).

7
Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam,
lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa
adanya deformitas.
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan
tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan
sendorik. Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan
pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan
kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan
short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi
dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang
sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada
kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan
leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita
memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi
neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena
merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan
kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi
oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada
perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli
bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching,
parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia
( kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji
pula adanya vertigo dan respon sensori
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan spinometri.
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau
FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma,
(Karnen B;2013).
b. Tes provokasi brokial.

8
Dilakukan jika pemeriksaan spinometri internal. Penurunan
FEV, sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung
80-90 % dari maksimum di anggap bermakna bila menimbulkan
penurunan PEFR 10 % atau lebih,(Karnen B.;2013).
c. Pemeriksan tes kulit.
Untuk menunjukan adanya antibodi IgE hipersensitif yang
spesifik dalam tubuh, (Karnen B.;2013).
d. Laboratorium.
1) Analisa gas darah.
Hanya di lakukan pada serangan asthma berat karena terdapat
hipoksemia, hyperkapnea, dan asidosis respiratorik,(Karnen
B.;2013).
2) Sputum.
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan
Asthma yang berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang
menyebabkan transudasi dari adema mukasa, sehingga
terlepaslah sekelompok sel – sel epitel dari perlekatannya.
Peawarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri, diikuti
kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik,(Arjadiono
T.;2009).
3) Sel eosinofil
Pada penderita status asthmatikus sel eosinofil dapat mencapai
1000 – 1500 /mm3 baik asthma Intrinsik ataupun extrinsik,
sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm 3.
Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel
eosinofil menunjukkan pengobatan telah tepat,(Arjadiono
T.;2009).
4) Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit lebih dari 15.000 terjadi karena adanya
infeksi. SGOT dan SGPT meningkat disebabkan karena

9
kerusakkan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea,(Arjadiono
T.;2009).
e. Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan adanya
proses patologik diparu atau komplikasi asthma seperti pneumothorak,
pneumomediastinum, atelektosis dan lain – lain, (Karnen B.;2013).
f. Elektrokardiogram
Perubahan EKG didapat pada 50% penderita Status
Asthmatikus, ini karena hipoksemia, perubahan pH, hipertensi
pulmunal dan beban jantung kanan . Sinus takikardi – sering terjadi
pada asthma.
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan asthma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non
farmakologik dan pengobatan farmakologik(Lismidar ; 2014):
a. Penobatan non farmakologik
1) Penyuluhan
Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien
tentang penyakit asthma sehinggan klien secara sadar menghindari
faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat secara benar dan
berkonsoltasi pada tim kesehatan.
2) Menghindari faktor pencetus
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma
yang ada pada lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari
dan mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan yang
cukup bagi klien.
3) Fisioterapi
Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran
mukus. Ini dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi dan
fibrasi dada.
b. Pengobatan farmakologik
1) Agonis beta

10
Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan
jarak antara semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang
termasuk obat ini adalah metaproterenol ( Alupent, metrapel ).
2) Metil Xantin
Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini
diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg empatkali
sehari.
3) Kortikosteroid
Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang
baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol (
beclometason dipropinate ) dengan disis 800 empat kali semprot
tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek
samping maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi
dengan ketat.
4) Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-anak.
Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.
5) Ketotifen
Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari.
Keuntunganya dapat diberikan secara oral.
6) Iprutropioum bromide (Atroven)
Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan
bersifat bronkodilator.
(Evelin dan joyce L. kee, 2007 ; Karnen baratawijaja, 2009 )

c. Pengobatan selama serangan status asthmatikus


1) Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
2) Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
3) Aminophilin bolus 5 mg / kg bb diberikan pelan-pelan
selama 20 menit dilanjutka drip Rlatau D5 mentenence (20

11
tetes/menit) dengan dosis 20 mg/kg bb/24 jam.
4) Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub kutan.
5) Dexamatason 10-20 mg/6jam secara intra vena.
6) Antibiotik spektrum luas.
7) Terapi O2 dengan humidifikasi
8) Penatalaksanaan cairan
9) Jalan nafas buatan dan ventilator
Bila diperlukan:
1) Obat-obatan
2) Bronkodilator: parental, aerosol, oral
3) Simpatominetik
4) Teofilin
5) Steroid
6) Antibiotic

8. FOKUS PENGKAJIAN
1. Fokus pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Airway
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway, meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat
disebabkan sumbatan atau penumpukan sekret. Adakah
suara wheezing atau krekles. Jika ada obstruksi maka
lakukan :
a. Chin lift/ Jaw trust
b. Suction/ hisap
c. Guedel airway
d. Intubasi trakhea dengan leher ditahan ( Imobilisasi
pada posisi netral).
2) Breathing
Kelemahan menelan/batuk/melindungi jalan nafas,
timbulnya pernafasan yang sulit dan atau tidak teratur, suara

12
nafas terdengar ronchi/ aspirasi, whezing, sonor, stidor/
ngorok, ekspansi dinding kaca.
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gak yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari
tubuh. Ventilasi yang baik meliputi: fungsi yang baik dari
paru, dinding dada dan diafragma dan perlu diperhatikan:
sesak dengan aktifitas ringan atau pada saat istirahat, RR
lebih dari 24 x/menit, irama ireguler dangkal, adakah
ronchi, krekles, ekspansi dada tidak penuh, apakah
menggunakan otot bantu nafas.
3) Circulation
TD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada
tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap
dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin,
sianosis pada tahap lanjut.
Observasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu: kesadaran
pasien, gelisah, akral dingin, warna kulit pucat, sianosis,
adakah edema, TD meningkat atau menurun, nadi lemah
atau tidak teratur, takikardi, dan apakah output urine
menurun.
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran,
hanya respon terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar.
Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adakah cara yang cukup
jelas dan cepat adalah:
Awake :A
Respon bicara :V
Respon nyeri :P
Tidak ada respon :U
5) Exposure

13
Lepas baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari
semua cidera yang mungkin ada, jika ada kecurigaan cedera
leher atau tulang belakang, maka imobilisasi in line harus
dikerjakan. Dilakukan pemeriksaan fisik Heat To Toe untuk
pemeriksaan lebih jelas, apakah ada nyeri dada spontan atau
menjalar.
b. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder dapat meliputi anamnesa dan pemeriksaan
fisik,. Anamnesa dapat menggunakan format AMPLE ( Alergi,
Medikasi, Post ilnes, Last meal, dan event/environment yang
berhubungan dengan kejadian). Pemeriksaan fiisk dimulai dari
kepala hingga kaki dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan
diagnostik.
Pengkajian sekunder dilakukan dengan menggunakan metode
SAMPLE, yaitu sebagai berikut :
S : Sign and Symptom.
Tanda gejala terjadinya tension pneumothoraks, yaitu
Ada jejas pada thorak, Nyeri pada tempat trauma,
bertambah saat inspirasi, Pembengkakan lokal dan
krepitasi pada saat palpasi, Pasien menahan dadanya dan
bernafas pendek, Dispnea, hemoptisis, batuk dan
emfisema subkutan, Penurunan tekanan darah
A : Allergies
Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien.
Baik alergi obat-obatan ataupun kebutuhan akan
makan/minum.
M : Medications
(Anticoagulants, insulin and cardiovascular medications
especially). Pengobatan yang diberikan pada klien
sebaiknya yang sesuai dengan keadaan klien dan tidak

14
menimbulka reaksi alergi. Pemberian obat dilakukan
sesuai dengan riwayat pengobatan klien.
P : Previous medical/surgical history.
Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit
sebelumnya.
L : Last meal (Time)
Waktu klien terakhir makan atau minum.
E : Events /Environment surrounding the injury; ie.
Exactly what happened

Pengkajian sekunder dapat dilakukan dengan cara


mengkaji data dasar klien yang kemudian digolongkan
dalam SAMPLE.
a. Aktivitas / istirahat
Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
b. Sirkulasi
Takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau
S4 / irama jantung gallop, nadi apikal (PMI)
berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal,
tanda homman (bunyi rendah sehubungan dengan
denyutan jantung, menunjukkan udara dalam
mediastinum).
c. Psikososial
Ketakutan, gelisah.
d. Makanan / cairan
Adanya pemasangan IV vena sentral / infuse
tekanan.
e. Nyeri / kenyamanan
Perilaku distraksi, mengerutkan wajah. Nyeri dada
unilateral meningkat karena batuk, timbul tiba-tiba

15
gejala sementara batuk atau regangan, tajam atau
nyeri menusuk yang diperberat oleh napas dalam.
f.Pernapasan
Pernapasan meningkat/takipnea, peningkatan kerja
napas, penggunaan otot aksesori pernapasan pada
dada, ekspirasi abdominal kuat, bunyi napas
menurun/ hilang (auskultasi mengindikasikan
bahwa paru tidak mengembang dalam rongga
pleura), fremitus menurun, perkusi dada :
hipersonor diatas terisi udara, observasi dan palpasi
dada : gerakan dada tidak sama bila trauma, kulit :
pucat, sianosis, berkeringat, mental: ansietas,
gelisah, bingung, pingsan. Kesulitan bernapas,
batuk, riwayat bedah dada / trauma : penyakit paru
kronis, inflamasi / infeksi paru (empiema / efusi),
keganasan (mis. Obstruksi tumor).
g. Keamanan
Adanya trauma dada, radiasi / kemoterapi untuk
keganasan.

2. Nursing Care Plan ( Rencana Asuhan Keperawatan)


a. Diagnosa Keperawatan yang muncul adalah :
1) Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
2) Ketidak efektifan pola nafas
3) Ansietas
4) Kerusakan pertukaran gas
5) Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
3. Perencanaan

16
Setelah pengumpulan data klien, mengorganisasi data dan menetapkan
diagnosis keperawatan maka tahap berikutnya adalah perencanaan .
Pada tahap ini perawat membuat rencana perawatan dan menentukan
pendekatan apa yang digunakan untuk memecahkan masalah klien.
Ada tiga pase pada tahap perencanaan yaitu menentukan prioritas,
menentukan tujuan dan merencanakan tindakan keperawatan,
(Lismidar;2012).
a. Ketidak efektifan jalan nafas
1) Tujuan
Jalan nafas menjadi efektif.
2) Kriteria hasil
a) Menentukan posisi yang nyaman sehingga
memudahkan peningkatan pertukaran gas.
b) Dapat mendemontrasikan batuk efektif
c) Dapat menyatakan strategi untuk menurunkan
kekentalan sekresi
d) Tidak ada suara nafas tambahan
3) Rencana tindakan
a) Kaji warna, kekentalan dan jumlah sputum
b) Instruksikan klien pada metode yang tepat dalam
mengontrol batuk.
c) Ajarkan klien untuk menurunkan viskositas sekresi
d) Auskultasi paru sebelum dan sesudah tindakan
e) Lakukan fisioterapi dada dengan tehnik drainage
postural,perkusi dan fibrasi dada.
f) Dorong dan atau berikan perawatan mulut
4) Rasional
a) Karakteristik sputrum dapat menunjukkan berat
ringannya obstruksi
b) Batuk yang tidak terkontrol melelahkan dan
inefektif serta menimbulkan frustasi

17
c) Sekresi kental sulit untuyk dikeluarkan dan dapat
menyebabkan sumbatan mukus yang dapat menimbulkan
atelektasis.
d) Berkurangnya suara tambahan setelah tindakan
menunjukan keberhasilan
e) Fisioterpi dada merupakan strategi untuk
mengeluarkan sekret.
f) Hygiene mulut yang baik meningkatkan rasa
sehat dan mencegah bau mulut.
b. Ketidak efektifan pola nafas
1) Tujuan
Klien akan mendemontrasikan pola nafas efektif
2) Kriteria hasil
a) Frekuensi nafas yang efektif dan perbaikan pertukaran
gas pada paru
b) Menyatakan faktor penyebab dan cara adaptif mengatasi
faktor-faktor tersebut
3) Rencana tindakan
a) Monitor frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan
b) Posisikan klien dada posisi semi fowler
c) Alihkan perhatian individu dari pemikiran tentang
keadaan ansietas dan ajarkan cara bernafas efektif
d) Minimalkan distensi gaster
e) Kaji pernafasan selama tidur
f) Yakinkan klien dan beri dukungan saat dipsnea
4) Rasional
a) Takipnea, irama tak teratur dan nafas dangkal
menunjukkan pola nafas tak efektif
b) Posisi semi fowler akan menurunkan diafragma
sehingga memberikan pengembangan pada organ paru
c) Ansietas dapat menyebabkan pola nafas tidak efektif

18
d) Distensi gaster dapat menghambat kontraksi diafragma
e) Adanya apnea tidur menunjukkan pola nafas yang tidak
efektif
f) Rasa ragu–ragu pada klien dapat menghambat komunikasi
terapeutik.
c. Ansietas
1) Tujuan
Asietas berkurang atau hilang.
2) Kriteria hasil
a) Klien mampu menggambarkan ansietas dan
pola fikirnya.
b) Munghubungkan peningkatan psikologi dan
kenyaman fisiologis.
c) Menggunakan mekanisme koping yang efektif
dalam menangani ansietas.
3) Rencana tindakan.
a) Kaji tingkat ansietas yang dialami klien.
b) Kaji kebiasaan keterampilan koping.
c) Beri dukungan emosional untuk kenyamanan
dan ketentraman hati.
d) Implementasikan teknik relaksasi.
e) Jelaskan setiap prosedur tindakan yang akan
dilakukan.
f) Pertahankan periode istirahat yang
telah di rencanakan.

4) Rasional.
a) Mengetahui tinggkat kecemasan untuk
memudahkan dalam perencanaan tindakan selanjutnya.
b) Menilai mekanisme koping yang telah
dilakukan serta menawarkan alternatif koping yang bisa di

19
gunakan.
c) Dukungan emosional dapat memantapkan hati
untuk mencapai tujuan yang sama.
d) Relaksasi merupakan salah satu metode
menurunkan dan menghilangkan kecemasan
e) Pemahaman terhadap prosedur akan
memotifasi klien untuk lebih kooperatif.
d. Kerusakan pertukaran gas
1) Tujuan
Klien akan mempertahankan pertukaran gas dan oksigenasi
adekuat.
2) Kreteria hasil
a) Frekuensi nafas 16 – 20 kali/menit
b) Frekuensi nadi 60 – 120 kali/menit
c) Warna kulit normal, tidak ada dipnea dan
GDA dalam batas normal
3) Rencana tindakan
a) Pantauan status pernafasan tiap 4 jam, hasil
GDA, pemasukan dan haluaran
b) Tempatkan klien pada posisi semi fowler
c) Berikan terapi intravena sesuai anjuran
d) Berikan oksigen melalui kanula nasal 4 l/mt
selanjutnya sesuaikan dengan hasil PaO2
e) Berikan pengobatan yang telah ditentukan
serta amati bila ada tanda – tanda toksisitas

4) Rasional
a) Untuk mengidentifikasi indikasi kearah kemajuan atau
penyimpangan dari hasil klien
b) Posisi tegak memungkinkan expansi paru lebih baik

20
c) Untuk memungkinkan rehidrasi yang cepat dan dapat
mengkaji keadaan vaskular untuk pemberian obat – obat
darurat.
d) Pemberian oksigen mengurangi beban otot – otot
pernafasan
e) Pengobatan untuk mengembalikan kondisi bronkus seperti
kondisi sebelumnya
f) Untuk memudahkan bernafas dan mencegah atelektasis.
e. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi.
1) Tujuan
Pemenuhan kebutuhan nutrisi terpenuhi
2) Kriteria hasil
a) Klien menghabiskan porsi makan di
rumah sakit
b) Tidak terjadi penurunan berat badan
3) Rencana tindakan
a) Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan nafsu
makan menurun misalnya muntah dengan ditemukannya
sputum yang banyak ataupun dipsnea.
b) Anjurkan klien untuk oral hygiene paling sedikit satu jam
sebelum makan.
c) Lakukan pemeriksaan adanya suara perilstaltik usus serta
palpasi untuk mengetahui adanya masa pada saluran cerna
d) Berikan diit TKTP sesuai dengan ketentuan
e) Bantu klien istirahat sebelum makan
f) Timbang berat badan setiap hari
4) Rasional
a) Merencanakan tindakan yang dipilih berdasarkan penyebab
masalah.
b) Dengan perawatan mulut yang baik akan meningkatkan
nafsu makan.

21
c) Mengetahui kondisi usus dan adanya dan konstipasi.
d) Memenuhi jumlah kalori yang dibutuhkan oleh tubuh.
e) Kelelahan dapat menurunakn nafsu makan.
f) Turunya berat badan mengindikasikan kebutuhan nutrisi
kurang.

9. PATHWAYS

22
Zat alergen masuk ke dalam
Tubuh melalui pernafasan mulut
Dan kontak kulit

Reaksi tubuh terhadap allergen

Tubuh tidak tahan reaksi alergik tubuh tahan/tidak alergik

Kontraksi otot polos pernafasan

Bronchospasme

Hypersekresi

Penyempitan saluran pernafasan

Hambatan aliran pernafasan


gangguan ventilasi (hipoventilasi)
Distribusi ventilasi yang tidak
Rata dengan sirkulasi paru jalan nafas tidak efektif

Gangguan difusi gas penurunan sirkulasi darah, dispnea,


Di tingkat alveoli Wheezing, kelemahan dan anoreksia

Hipoksemia perubahan intoleransi


nutrisi kurang dari aktivitas
Ketidaktahuan Kebutuhan tubuh
Tentang penyakit

Potensial infeksi deficit perawatan diri

23
DAFTAR PUSTAKA

Anes, SW. (1998). Essentials of Adult Health Nursing. Menlo Park. California.

Baratawidjaja, G. K. (1990). Asma Bronkhiale.Dalam Soeparman, Ilmu Penyakit


Dalam jilid II. FKUI. Jakarta.

Black. JM and Ester MJ (1997). Medical Surgical Nursing.Vol. 2, W. B. Saunders


Company. Philadelphia.

Engram,B. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan medical bedah. Vol 1. EGC.


Jakarta.

Fax ,SI and Graw ,M (1999). Human Physiology. Hill Companies. Nort America.

Gibson, JM. (1998). Mikrobiologi dan Patologi Modern untuk perawat. EGC.
Jakarta.

Kaliner, MA. (1991). Astma its Pathology and Treatment. Vol. 49, National
Institutes of Health Bethesda, Maryland.

Kontaraf, J. (1992). Olah Raga Sumber Kesehatan. Advent. Bandung.

Sundaru H. (1995). Asma : Apa dan Bagaimana Pengobatannya. FKUI. Jakarta.

24

Anda mungkin juga menyukai