CIPROFLOXCACIN
Disusun sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu THT
Pembimbing:
dr. Soehartono, Sp.THT-KL
PENDAHULUAN
Golongan Fluorokuinolon adalah antibiotik yang sangat aktif, memiliki spektrum luas dan
banyak digunakan baik pada manusia maupun hewan.7 Fluorokuinolon memiliki kelebihan karena
dapat melawan berbagai jenis patogen multiresisten disebabkan cara kerjanya yang melalui target
– target yang berbeda dari golongan antimikroba lain. Mekanisme resistensi fluorokuinolon juga
tidak seperti kebanyakan mekanisme resistensi dari antibiotik lain, yaitu tidak melalui plasmid atau
integron.8
Saat ini, fluorokuinolon semakin banyak digunakan untuk terapi empiris disebabkan
resistensi terhadap antimikroba empiris yang biasa dipakai.7,8 Siprofloksasin, yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1987 merupakan golongan fluorokuinolon yang paling banyak
digunakan. Siprofloksasin memiliki spektrum lebih luas terhadap bakteri gram negatif daripada
kuinolon generasi pertama, namun aktivitasnya terhadap gram positif lebih lemah, terutama
Fenomena lain, yaitu kian gencarnya peresepan siprofloksasin untuk mengobati infeksi
saluran nafas atas yang didapat dari komunitas walaupun siprofloksasin memiliki aktivitas sangat
lemah terhadap Streptococcus pneumoniae.5,6 Di Inggris dilaporkan dua kasus infeksi pneumokok
sistemik yang mengancam nyawa, dimana infeksi tersebut berasal dari saluran nafas atas dan
PEMBAHASAN
A. Rumus Kimia
Kuinolon yang pertama, yaitu asam nalidiksat memiliki keterbatasan oleh karena aktivitas intrinsik
yang rendah dan cepatnya terjadi resistensi. Penambahan fluor pada molekul kuinolon
yang memiliki spektrum lebih luas terhadap bakteri gram negatif, namun aktivitas terhadap gram
B. Farmakodinamik
Mekanisme Kerja. Ciprofloxacin bekerja pada DNA gyrase dan topoisomerase IV bakteri.
Pada banyak bakteri gram-positif (seperti S.aureus), topoisomerase IV merupakan aktivitas utama
yang dihambat oleh ciprofloxacin. Sebaliknya, pada banyak bakteri gram-negatif (seperti E.coli),
target utama ciprofloxacin adalah DNA gyrase. Kedua untai DNA heliks ganda harus dipisahkan
untuk memungkinkan terjadinya replikasi atau transkripsi DNA. Namun, pemisahan kedua untai
tersebut menyebabkan terjadinya supercoiling (pembentukan gulungan DNA) positif yang
berlebihan (“overwinding”) pada DNA tersebut didepan titik pemisahan. Untuk mengatasi
rintangan mekanis ini, enzim DNA gyrase bakteri bertanggung jawab untuk melakukan pengenalan
supercoiling negatif yang kontinu ke dalam DNA. Ini adalah reaksi tergantung-ATP yang
memerlukan pemotongan pada kedua untai DNA untuk membuka lintasan bagi satu segmen DNA
DNA gyrase E.coli tersusun atas dua subunit A 105.000 dalton yang dikode oleh gen gyrA
dan dua subunit B 95.000 dalton yang dikodekan oleh gen gyrB. Subunit A, yang membawafungsi
pemotong-untai pada gyrase, merupakan tempat kerja ciprofloxacin. Obat ini menghambat
terjadinya supercoiling DNA yang diperantarai oleh gyrase pada konsentrasi yang berkaitan erat
dengan konsentrasi yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Mutasi pada gen
Topoisomerase IV juga tersusun atas empat subunit yang dikodekan oleh gen parC dan pare
pada E.coli. Topoisomerase IV memisahkan sambungsilang (katanase) molekul DNA turunan yang
merupakan produk replikasi DNA. Sel-sel eukariot tidak mengandung DNA gyrase. Namun, sel
ini memiliki topoisomerase DNA tipe II yang serupa secar konseptual dan mekanistik, yang dapat
menghilangkan superkoil positif DNA eukariot untuk mencegahnya dari kekusutan selama
C. Farmakokinetik
Absorpsi siprofloksasin oral diserap dengan baik melalui saluran cerna. Bioavailabilitas
absolut adalah sekitar 70%, tanpa kehilangan yang bermakna dari metabolisme fase pertama.
Berikut ini adalah konsentrasi serum maksimal dan area di bawah kurva (area under the curve,
AUC) dari siprofloksasin yang diberikan pada dosis 250 ~ 1000 mg.9
Konsentrasi serum maksimal dicapai 1 sampai 2 jam setelah dosis oral. Konsentrasi rata-
rata 12 jam setelah dosis 250, 500 dan 750 mg adalah 0,1; 0,2 dan 0,4 mg/mL.9
Distribusi ikatan siprofloksasin terhadap protein serum adalah 20-40% sehingga tidak
cukup untuk menyebabkan interaksi ikatan protein yang bermakna dengan obat lain. Setelah
ditemukan dalam bentuk aktif di saliva, sekret nasal dan bronkus, mukosa sinus, sputum cairan
gelembung kulit, limfe, cairan peritoneal, empedu dan jaringan prostat.14,15 Siprofloksasin juga
dideteksi di paru-paru, kulit, jaringan lemak, otot, kartilago dan tulang. Obat ini berdifusi ke cairan
serebro spinal, namun konsentrasi di CSS adalah kurang dari 10% konsentrasi serum puncak.
Siprofloksasin juga ditemukan pada konsentrasi rendah di aqueous humor dan vitreus humor.
Empat metabolit siprofloksasin yang memiliki aktivitas antimikrobial yang lebih rendah dari
siprofloksasin bentuk asli telah diidentifikasi di urin manusia sebesar 15% dari dosis oral.3,9
Ekskresi Waktu paruh eliminasi serum pada subjek dengan fungsi ginjal normal adalah
sekitar 4 jam. Sebesar 40-50% dari dosis yang diminum akan diekskresikan melalui urin dalam
bentuk awal sebagai obat yang belum diubah. Ekskresi siprofloksasin melalui urin akan lengkap
setelah 24 jam . Dalam urin semua fluorokuinolon mencapai kadar yang melampaui konsentrasi
hambat minimal (KHM) untuk kebanyakan kuman patogen selama minimal 12 jam.3,9 Klirens
ginjal dari siprofloksasin, yaitu sekitar 300 mL/menit, melebihi laju filtrasi glomerulus yang
sebesar 120 mL/menit. Oleh karena itu, sekresi tubular aktif memainkan peran penting dalam
eliminasi obat ini. Pemberian siprofloksasin bersama probenesid berakibat pada penurunan 50%
D. Interaksi Obat
Siprofloksasin sediaan tablet bila diberikan bersama makanan, akan mengalami terjadi
keterlambatan absorpsi, sehingga konsentrasi puncak baru akan dicapai 2 jam setelah pemberian.
Pada siprofloksasin sediaan suspensi, tidak terjadi keterlambatan absorpsi bila diberikan bersama
makanan sehingga konsentrasi puncak dicapai dalam 1 jam. Bila diberikan bersama dengan antasid
Siprofloksasin bersifat bakterisid, terutama aktif terhadap bakteri gram negatif dan
Dosis1
ANAK-ANAK:
Oral:
o Infeksi saluran urin atau pyelofritis: anak 1-17 tahun: 20-30 mg/kg/hari
terbagi dalam 2 dosis terpisah (setiap 12 jam) untuk 10-21 hari. Maksimal
1.5 g/hari.
Injeksi:
o infeksi saluran urin komplikasi pada anak 5-17 tahun: 6-10 mg/kg setiap 8
jam untuk 10-21 hari (maksimum 400 mg/dosis)
DOSIS DEWASA:
Oral:
Untuk infeksi saluran kemih :
o Ringan sampai sedang : 2 x 250 mg sehari
o Berat : 2 x 500 mg sehari
o Untuk gonore akut cukup pemberian dosis tunggal 250 mg sehari
Untuk infeksi saluran cerna :
o Ringan / sedang / berat : 2 x 250 mg sehari
Untuk infeksi saluran nafas, tulang dan sendi kulit dan jaringan lunak :
o Ringan sampai sedang : 2 x 500 mg sehari
o Berat : 2 x 750 mg sehari
o Untuk mendapatkan kadar yang adekuat pada osteomielitis maka
pemberian tidak boleh kurang dari2 x 750 mg sehari
o Dosis untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal : Bila bersihan
kreatinin kurang dari 20 ml/menit maka dosis normal yang
dianjurkan harus diberikan sehari sekali atau dikurangi separuh bila
diberikan 2 x sehari.
Lamanya pengobatan tergantung dari beratnya penyakit.
Untuk infeksi akut selama 5-10 hari biasanya pengobatan selanjutnya paling sedikit
3 hari sesudah gejala klinik hilang.1
Daftar Pustaka
1. Anonim. (2017). MIMS Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
2. FDA. (2009). The Human Health Impact of Fluoroquinolone-Resistant Campylobacter.
3. Hardman, J., & Limbird, L. (2012). Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Hooper, D. (2001). Emerging Mechanism of Fluoroquinolone Resistance. Emerging
Infectious Disease.
5. Korner, J., Reeves, S., & MacGowan, P. (2004). Lesson of the Week: Dangers of Oral
fluoroquinolon treatment in community acquired upper respiratory tract infections. BMJ.
6. Legg, J., & Bint, A. (1999). Will pneumococci put quinolones in their place? Journal of
Antimicrobial Chemotherapy.
7. Piddock, L. (1998). Fluoroquinolone Resistance. BMJ.
8. Scheld, W. (2003). Maintaining Fluoroquinolon Class Efficacy: Review of Influencing
Factors. Emerging Infectious Disease.
9. Setiabudi, R. (2000). Antimikroba Lain. Dalam: Ganiswara SG. Farmakologi dan Terapi.
Jakarta: Penerbit FKUI.