Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Persepsi masyarakat awam tentang anak berkelainan fungsi anggota tubuh
(anak tunadaksa) sebagai salah satu jenis anak berkelainan dalam konteks Pendidikan
Luar Biasa (Pendidikan Khusus) masih dipermasalahkan. Munculnya permasalahan
tersebut terkait dengan asumsi bahwa anak tunadaksa (kehilangan salah satu atau lebih
fungsi anggota tubuh) pada kenyataannya banyak yang tidak mengalami kesulitan untuk
meniti tugas perkembangannya, tanpa harus masuk sekolah khusus untuk anak tunadaksa
(khususnya tunadaksa ringan).
Secara umum dikenal dua macam anak tunadaksa. Pertama, anak tuna daksa yang
disebabkan karena penyakit polio, yang mengakibatkan terganggunya salah satu fungsi
anggota badan. Anak tunadaksa kelompok ini sering disebut Orthopedically Handicapped,
tidak mengalami hambatan perkembangan kecerdasannya. Oleh karena itu mereka
dapat belajar mengikuti program sekolah biasa.
Kedua, anak tunadaksa yang disebabkan oleh gangguan neurologis. Anak
tunadaksa kelompok ini mengalami gangguan gerak dan kebanyakan dari mereka
mengalami gangguan kecerdasan dan sering disebut Neurologically Handicapped atau
secara khusus mereka disebut penyandang cerebral palsy. Anak tunadaksa kelompok ini
membutuhkan layanan pendidikan luar biasa. Anak yang mengalami gangguan gerakan
pada taraf sedang dan berat, umumnya dimasukkan ke sekolah luar biasa (SLB), sedangkan
anak yang mengalami gangguan gerakan dalam taraf ringan banyak ditemukan sekolah ±
sekolah umum. Namun jika mereka tidak mendapatkan pelayanan khusus dapat
menyebabkan terjadinya kesulitan belajar yang serius.

1.2. RUMUSAN MASALAH

1.3. TUJUAN PENULISAN


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN ANAK TUNADAKSA


Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik, dan
cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna yang berarti rugi atau kurang dan
daksa yang berarti tubuh“. Tunadaksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh tidak
sempurna, sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak
cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat indranya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi
terjemahan dari bahasa Inggris orthopedically handicapped. Orthopedic mempunyai arti
yang berhubungan dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi
kelainannya terletak pada aspek otot, tulang dan persendian atau dapat juga merupakan
akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem otot, tulang dan
persendian.
Anak tunadaksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau
kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan
koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan
pribadi. Salah satu definisi mengenai anak tunadaksa menyatakan bahwa anak tunadaksa
adalah anak penyandang cacat jasmani yang terlihat pada kelainan bentuk tulang, otot,
sendi maupun saraf - sarafnya. Istilah tunadaksa maksudnya sama dengan istilah yang
berkembang, seperti cacat tubuh, tuna tubuh, tuna raga, cacat anggota badan, cacat
orthopedic, crippled, dan orthopedically handicapped Selanjutnya, Samuel A Kirk yang
dialihbahasakan oleh Moh. Amin dan Ina Yusuf Kusumah mengemukakan bahwa
seseorang dikatakan anak tunadaksa jika kondisi fisik atau kesehatan mengganggu
kemampuan anak untuk berperan aktif dalam kegiatan sehari - hari, sekolah atau rumah.
Sebagai contoh, anak yang mempunyai lengan palsu tetapi ia dapat mengikuti kegiatan
sekolah, seperti Pendidikan Jasmani atau ada anak yang minum obat untuk mengendalikan
gangguan kesehatannya maka anak - anak jenis itu tidak termasuk penyandang gangguan
fisik. Tetapi jika kondisi fisik tidak mampu memegang pena, atau anak sakit - sakitan
(mengidap penyakit kronis) sering kambuh sehingga ia tidak dapat bersekolah secara rutin
maka anak itu termasuk penyandang gangguan fisik (tunadaksa).
2.2. KLASIFIKASI ANAK TUNADAKSA
Anak berkebutuhan khusus dakam hal ini adalah anak tunadaksa, Hallahan & Kauffman
mengklasifikasikan karakteristik kelainan anak yang dikategorikan sebagai penyandang
tunadaksa ortopedi (orthopedically handicapped) dan anak tunadaksa saraf (neurologically
handicapped).
1. Tunadaksa Ortopedi
Anak tunadaksa ortopedi, yaitu anak tunadaksa yang mengalami kelainan , kecacatan
ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot tubuh ataupun daerah persediaan, baik itu
yang dibawa sejak lahir (congenital) ataupun yang diperoleh kemudian (karena
penyakit ataupun kecelakaan) sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh
secara normal . kelainan yang termasuk dalam kategori tunadaksa ortopedi ini
diantaranya poliomyelitis, tubercolosis tulang, asteomyelitis, arthritis, paraplegia,
bemiplegia, muscledystrophia, kelainan pertumbuhan anggota atau anggota badan yang
tidak sempurna, cacat punggung, ampulasi tangan, lengan, kaki dan sebagainya.
2. Tunadaksa Saraf
Anak tunadaksa saraf neurologically handucapped, anak tunadaksa yang
mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf otak. Sebagai pengontrol
tubuah, otak memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh. Jika
otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada organisme fisik, emosi, dan mental.
Sebuah eksperimen dilakukan oleh Penfield dan Rasmusen dengan
menggunakan rangsangan listrik dari beberapa bagian otak. Hasilnya dalam kondisi
sadar, ternyata manusia mampu gerakan otot pada bagian-bagian tubuh. Misalnya,
rangsangan terhadap daerah pendengaran, rangsangan terhadap daerah penglihatan
menimbulkan sensai warna, bentuk dan sebagainya atau jika yang dirangsang lobus
temporalis akan muncul memori tentang suatu situasi atau lainnya.
Efek luka pada bagian otak tertentu, penderita akan mengalami gangguan dalam
pengembangan, mungkin akan berakibat ketidakmampuan dalam melaksanakan
berbagai bentuk kegiatan. Salah satunya bentuk kelainan yang terjadi pada fungsi otak
dapat dilihat pada anak Cerebral Palsy (CP). Cerebral Palsy yang berasal
ketidakmampuan atau gangguan motorik. Jadi, Cerebral Palsy adalah gangguan aspek
motorik pada otak.
The American Academy of Cerebral Palsy mendefinisikannya, yaitu berbagai
perubahan gerakan atau fungsi motor yang tidak normal dan timbul sebagai akibat
kecelakaan, luka, atau penyakit pada susunan saraf yang terdapat pada rongga
tenggkorak.
Cerebral Palsy bukan suatu penyakit, melainkan suatuu kondisi yang ditandai
oleh sejumlah gejala yang muncul bersamaan. Hal ini berarti Cerebral Palsy berbeda
dengan cacar air, tuberculosis, atau penyakit kanker. Cerebral Palsy merupakan suatu
sindrom dan mempunyai gambaran yang jelas. Dilihat dari manifestasi yang tampak
pada aktivitas motorik, anak Cerebral Palsy dapat dikelompokkan menjadi spasticity,
athetosis, ataxia, tremor, dan rigidity.
Spasticity terjadi karena lapisan luar otak (khususnya lapisan motor) bidang
piramida dan beberapa kemungkinan bidang eksrapiramida yang berhubungan dengan
pengontrolan gerakkan sadar tidak berfungsi sempurna. Bidang piramida yang terletak
diantara gerak dan pengindraan di lapisan luar dan daerah ekstrapiramida terletak
dibawah cartical, lebih masuk didalam otak. Daerah tertentu dalam otak dapat
menimbulkan gerakkan tertentu, kontraksi, atau rangsangan. Faktor yang menyebabkan
terjadinya kondisi tersebut supressor (pendesak). Apabila salah satu dari supressor ini
masuk, akan terjadi suatu desakan. Akibatnya, otot akan berada dalam kondisi yang
tegang dan kejang. Ketika kondisi otot kejang keseimbangan akan hilang, gerakan
muncul menjadi tidak harmonis, tidak terkontrol, dan kontraksi otot tidak teratur
sehingga gerkan keadaan normal anak mampu menggerakkan otot yang baik meskipun
gerakkannya tampak lamban, eksplosif, dan tidak sempurna.
Athetosis penyebabnya adalah luka pada sistem ekstrapiramida yang terletak
pada otak depan maupun tengah. Anak-anak yang menderita Cerebrak Palsy jenis
athetosis ini tampak susah payah untuk berjalan, menggeliat-geliat, dan terhuyung-
huyung. Gerakan-gerakan abnormal penderita athetosis ini kian menghebat, apabila
yang bersangkutan melakukan kegiatan disertai emosi yang tinggi.
Ataxia disebabkan oleh luka pada otak kecil yang terletak di bagian belakang
kepala (cerebellum) yang bekerja sebagai pengontrol keseimbangan dan koordinasi
pada kerja otot. Anak yang menderita axatia gerakkannnya tidak teratur, berjalan
dengan langkah yang tinggi dengan mudah menjatuhkannya.
Tremor dan rigidity mirip dengan athetosis, yakni disebabkan oleh luka pada
sistem ekstra piramida. Hal ini terjadi akibat gangguan kesimbangan antara kelompok
otot yang bekerja berlawanan.
Anak Berkebutuhan Khusus tunadaksa dapat diklasifikasikan dalam beberapa
golongan. agar mudah memberikan layanan terhadap anak tunadaksa, perlu adanya
sistem penggolongan. Penggolongan anak tuna daksa bermacam-macam salah satu
diantaranya dilihat dari sistem kelainannya yang terdiri dari (1) kelainan pada sistem
cerebral (cerebral system) dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus
skeletas system). Penyandang kelainan pada sistem cerebral, kelainannya terletak pada
sistem saraf pusat, seperti cerebral palsy (CP) atau kelumpuhan otak. Cerebral palsy
ditandai oleh adanya kelainan gerak, sikap atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi,
kadang-kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan oleh adanya
kerusakan atau kecacatan pada masa perkembangan otak.
Menurut derajat kecacatannya, cerebral palsy diklasifikasikan menjadi (1)
ringan, dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat
menolong diri; (2) sedang, dengan ciri-ciri: membutuhkan bantuan untuk latihan
berbicara, berjalan, mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace; (3) berat, dengan
ciri-ciri, yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara dan menolong
diri. Adapun menurut letak kelainan otak dan fungsi geraknya cerebral palsy dibedakan
atas : (1) spastik, dengan ciri seperti terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh
ototnya; (2) dyskenisia, yang meliputi athetosis (penderita memperlihatkan gerak yang
tidak terkontrol); rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan);
tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan dan pada kepala); (3)
Ataxia, (adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan
tidak berfungsi; serta (4) jenis campuran, (Seorang anak mempunyai kelainan dua tau
lebih dari tipe-tipe di atas).
Golongan anak tunadaksa berikut ini tidak mustahil akan belajar bersama
dengan anak normal dan banyak ditemukan pada kelas-kelas normal. Penggolongan
anak tunadaksa dalam kelompok kelainan sistem oto dan rangka tersebut adalah sebagai
berikut.
a. Poliomyelitis
Poliomyelitis merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang
disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya
menetap. Dilihat dari sel-sel motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dapat
dibedakan menjadi: ti[e spinal, yaitu kelumpuhan pada otot-oto leher, sekat dada,
tangan dan kaki; tipe bulbair, yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih
saraf tepi dengan ditandai adanya gangguan pernapasan; tipe bulbispinalis, yaitu
gabungan antara tipe spinal dan bulbair; encephalitis yang biasanya disertai dengan
demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.
Kelumpuhan pada polio sifatna layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan
kecerdasn atau alat-alat indra. Akibat penyakit poliomyelitis adalah otot menjadi
kecil (atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekuatan sendi (kontraktur),
pemendekan anggota gerak, tulang belakang melengkung kesalah satu sisi, sperti
huruf S (Scoliosis), kelainan telapak kaki yang membengkok ke luar atau ke dalam,
dislokasi (sendi yang keluar dari dudukannya), lutut melenting ke belakang (genu
recorvatum).
b. Muscle Dystrophy
Muscle dystrophy adalah jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak
berkembang karena mengalami kelumpuhan yang sifatnya progresif dan simetris.
Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan
c. Spina Bifida
Spina bifida merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai
dengan terbukanya satu atau tiga ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya
kembali selama proses perkembangan. Akibatnya, fungsi jaringan saraf terganggu
dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu pembesaran pada
kepala karena produksi cairan yang berlebihan. Baisanya kasusini disertai dengnan
ketunagrahitaan.
Klasifikasi anak tunadaksa dapat dikelompokkam menjadi anak tunadaksa
ortopedi (orthopedically handicapped), dan anak tunadaksa saraf (neurologically
handicapped).

2.3. KARAKTERISTIK ANAK TUNADAKSA


Pada aspek psikologis anak tundaksa cenderung merasa apatis, malu, rendah diri,
sensitif. Kadang-kadang pula muncul sikap egois terhadap lingkungannya. Keadaan seperti
ini mempengaruhi kemampuan dalam bersosialisasi dan berinteraksi terhadap lingkungan
sekitar atau dalam pergaulan sehari-harinya. Kelaurbaisaan jenis apapun yang disandang
anak tunadaksa merupakan pengalaman personal. Hal ini berarti siapa pun yang beradad di
luar dirinya tidak akan merasakan tanpa ia mengerti, memahami, dan mengalaminya. Anak
tunadaksa yang satu dengan yang lainnya belum tentu sama apa yang dipikirkannya. Jadi,
meskipun sama-sama mengalami ketunaan, belum tentu apa yang dirasakan seseorang
sama dengan yang dirasakan anak tuna-tuna lainnya. Dengan adanya keluarbiasaan itu,
maka eksistensinya sebagai makhluk sosial dapat terganggu. Sebagai akibat dari ketunaan
dan pengalaman pribadi anak itu, efek psikologis yang ditimbulkannya juga bergantung
pada tingkat ketunaan yang disandangnya itu, waktu terjadi kecacatan, kualitas kecacatan,
dan karakteristik susunan kejiwaan.
Anak tunadaksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau cacat tubuh,
yang mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami kelainan anggota gerak
dan kelumpuhan yang disebabkan oleh kelainan yang ada diseraf pusat atau otak, disebut
sebagai cerebral pasly (CP), dengan karakteristik sebagai berikut.
a. Karakteristik Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan
pada sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama
dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem
cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiocysampai dengan
gifted. Hardman mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami
keterbelakangan mental (tunagrahita), 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal dan
di atas normal. Sisanya berkecerdasan sedikit di bawah rata-rata. Selanjutnya, P. Seibel
mengemukakan bahwa tidak ditemukan hubungan secara langsung antara tingkat
kelainan fisik dengan kecerdasan anak. Artinya,anak cerebral palsy yang kelainannya
berat, tidak berarti kecerdasannya rendah.Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi
anak cerebral palsy juga mengalami kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi.
Kelainan persepsiterjadi karena saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak
mengalami kerusakan sehingga proses persepsi yang dimulai dari stimulus merangsang
alat maka diteruskan ke otak oleh saraf sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas
menerima dan menafsirkan, serta menganalisis) mengalami gangguan. Kemampuan
kognisi terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi
kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta akhirnya anak
tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi terus
menerus melalui persepsi dengan menggunakan media sensori (indra). Gangguan pada
simbolisasi disebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa yang didengar
dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan mempengaruhi prestasi akademiknya.
b. Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak
yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang
mengakibatkan mereka malas belajar, bermain dan perilaku salah suai lainnya.
Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari
masyarakat akan merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak
dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya problem emosi,
seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu,
menyendiri, dan frustrasi. Problem emosi seperti itu,banyak ditemukan pada anak
tunadaksa dengan gangguan sistem cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka
tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosialnya
c. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat
tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya
daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu
banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara disebabkan
oleh kelainan motorik alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lidah, bibir, dan rahang
sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya, bicaranya tidak
dapat dipahami orang lain dan diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami
aphasia sensoris, artinya ketidakmampuan bicara karena organ reseptor anak terganggu
fungsinya, dan aphasia motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan
sekitarnya melalui indra pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara
lisan. Anak cerebral palsy mengalami kerusakan pada pyramidal tract dan
extrapyramidal yang berfungsi mengatur sistem motorik. Tidak heran mereka
mengalami kekakuan, gangguan keseimbangan, gerakan tidak dapat dikendalikan, dan
susah berpindah tempat. Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya
dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah; hipoaktif
yang menunjukkan sikap pendiam, gerakan lamban, dan kurang merespons rangsangan
yang diberikan; dan tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit melakukan
kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis,
menggambar, dan menari.

2.4. ETIOLOGI ANAK TUNADAKSA


Seperti juga ketunaan lainnya, kondisi kelaian pada fungsi anggota tubuh
(tunadaksa) dapat terjadi saat sebelum anak lahir (prenatal, saat lahir (neonatal), dan
setealah anak lahir (postnatal). Insiden kelainan fungsi fungsi anggota tubuh atau
ketunadaksaan, yang terjadi sebelum bayi lahir atau ketika dalam kandungan, di antaranya
disebabkan oleh faktor genetik dan kerusakan pada sistem saraf pusat.
Faktor lain yang menyebabkan kelainan pada bayi selama dalam kandungan adalah
anoxia prenatal, gangguan metabolisme pada ibu, dan faktor rhesus. Kondisi
ketunadaksaan yang terjadi pada masa kelahiran bayi di antaranya kesulitan saat persalinan
karena lerak bayi sungsang ataupun punggung ibu terlalu kecil, pendaharan pada otak saat
kelahiran, kelahiran prematur, dan gangguan pada placenta yang dapat mengurangi ksigen
sehingga mengakibatkan terjadinya anoxia. Adapun ketunadaksaan yang terjadi pada masa
setelah anak lahir, diantaranya faktor penyakit, faktor kecelakaan, pertumbuhan tubuh
seorang anak tunadaksa, yaitu pada tulang yang tidak sempurna.
Penelitian tentang kekurangan dan gangguan penglihatan pada anak tunadaksa
cerebral palsy menunjukkan bahwa sebagian besar kelompok dari mereka mengalami
gangguan penglihatan berdasarkan kelompoknya dapat diperinci, yaitu 47,7% pada
penderita ataxia, 27,4% pada penderita spasticity, dan 20,4% pada penderita atheosis.
Sisanya rigidity dan tremor. Masalah lain yang dihadapi anak cerebral palsy adalah
gangguan ketajaman pendengaran. Gangguan neuromuscular pada anak cerebral palsy
70% berpengaruh pada gangguan bicara.
Ada beberapa macam atiologi anak tunadaksa yang dapat menimbulkan kerusakan
pada anak sehingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak di jaringan
otak, jaringan sumsum tulang belakang, serta pada sistem musculuc skeletal. Terdapat
keragaman jenis tunadaksa, dan masing-masing timbulnya kerusakan berbeda-beda. Dilihat
dari waktu terjaidnya, kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir dan
sesudah lahir.
a. Sebelum Lahir (Fase Prenatal)
Kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan disebabkan oleh hal-hal
berikut.
 Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga
menyerang otak bayi yang sedang di kandungnya.
 Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusar tertekan
sehingga merusak pembentukan saraf-saraf di dalam otak
 Bayi dalam kandungan terkena radiasi yang langsung mempengaruhi sistem saraf
pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
 Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma yang dapat mengakibatkan
terganggunya pembentukan sistem saraf pusat. Misalnyaa, ibu jatuh dan perutnya
terbentur benda tumpul dengan cukup keras dan secara kebetulan mengganggu
kepala bayi, maka dapat merusak sistem saraf pusat dengan demikian akan
membahayakan bayi.
b. Saat Kelahiran (Fase Natal/Perinatal)
Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak byai saat bayi dilahirkan, antara lain
sebagai berikut.
 Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang yang kecil pada ibu
sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen. Hal ini kemudian menyebabkan
terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi sehingga jaringan saraf pusat
mengalami kerusakan.
 Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses melahirkan yang mengalami
kesulitan sehingga dapat merusak jaringan saraf otak pada bayi
 Pemakaian anestesi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi
dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem
persarafan otak bayi sehingga otak mengalami kelainan struktur ataupun
fungsinya.
c. Setelah Proses Kelahiran (Fase Postnatal)
Fase setelah kelahiran adalah masa dimana bayi mulai dilahirkan samapi masa
perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia lima tahun. Hal-hal yang dapat
menyebabkan kecacatan stelah bayi lahir adalah sebagai berikut.
 Kecelakaan/trauma kepala, amputasi
 Infeksi penyakit yang menyerang otak.
Seseorang yang menyandang kelemahan fisik biasanya disebabkan oleh
kelemahan saraf, kelemahan ortopedi atau gangguan kesehatan lainnya (misalnya,
penyakit jantung atau asma). Tingkat keterlibatan mulai dari kelemahan yang ringan
higga sangat parah, sampai kelumpuhan yang memaksa seseorang untuk terus menerus
duduk, anak-anak dengan kelemahan saraf adalah anak-anak yang cacat karena sistem
saraf pusatnya berkembang dengan tidak sempurna atau terluka. Anak yang mengalami
kelemahan otropedi adalah mereka yang memiliki kelumpuhan yang menganggu fungsi
normal tulang, persendian, atau otot-otot. Anak-anak yang memiliki kelemahan seperti
ini harus diperlakukan khusus oleh sekolah. Oleh sebab itu, modifikasi tata ruang kelas
yang memungkinkan bagi kehadiran anak itu amatlah penting.
Kelemahan fisik bisa disebabkan oleh cacat lahir (misalnya, perkembangan
yang tidak sempurna sebelum melahirkan), penyakit (misalnya, “poliomyelitis” atau
“muscular dystrophy”), atau kecelakaan (misalnya, jatuh ataupun trauma pada otak)
Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak
hingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut adalah yang terletak di jaringan otak,
jaringan sumsum tulang belakang, pada sistem muscula skeletal. Adanya keragaman
jenis tunadaksa dan masing-masing kerusakan timbulnya berbeda-beda.
Agar memiliki kesanggupan untuk membuat suatu yang berguna baik buat
dirinya maupun oranglain, penyandang tunadaksa melakukan rehabilitasi, lazimnya,
rehabilitasi ini dibatasi pada proses pemberian bantuan kepada penderita untuk
mencapai tingkat penyesuaian selaras dengan kemampuannya. Menurut kebutuhannya
jenis rehabilitasi tunadksa terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi vokasional, dan
rehailitasi psikososial.
1. Rehabilitasi Medis
Rehabilitasi medis adalah sebuah pemberian pertolongan kedokteran dan
bantuan alat-alat tubuh tiruan, alat-alat penguat angota tubuh. Semua perangkat
tersebut diberikan untuk meningkatkan kemampuan fisik penderita tunadaksa
secara maksimal. Dalam rehabilitasi medis, ada beberapa teknik yang digunakan,
antara lain, operasi otropedi, fisioterapi, activities in daily living (ADL),
accupational therapy, atau terapi tugas, pemberian protese, pemberian alat-alat
otropedi, dan bantuan teknis lainnya. Operasi ortpedi dilakukan sebagai usaha untuk
memperbaiki salah bentuk dan salah gerak dengan mengurangi atau menghilangkan
bagian yang menyebabkan terjadnya kesalahan bentuk atau gerak
Fisioterapi adalah melatih otot-otot bagian tubuh yang mengalami kelainan,
yang dilakukan sebelum dan sesudah dilakukannya tindakan medis. Activities in
daily living adalah latihan berbagai kegiatan sehari-hari dengan maksud untuk
melatih penderita agar mampu melakukan gerakkan atau perbuatan menurut
keterbatasan kemampuan fisiknya. Occupational therapy adalah bentuk usaha atau
aktivitas bersifat dan psikis dengan tujuan kondisi sebelumnya melalui sejumlah
tugas atau pekerjaan tertentu.
2. Rehabilitasi Vokasional
Rehabilitasi vokasional atau kekaryaan adalah rehabilitasi penderita
kelainan fungsi tubuh bertujuan memberi kesempatan anak tunadaksa untuk
bekerja. Metode atau pendekatan yang lazim digunakan dalam rehabilitasi
vokasional ini, antara lain Counseling Revalidasi, Vocational Guidance, Vocational
assessment, teamwork, Vocational training, placement, dan follow up.
 Counseling adalah penyuluhan, bertujuan unuk menumbuhkan keberanian atau
kemampuan penderita anak tunadaksa yang diperoleh setelah lahir. Ada
kalanya mereka tidak memahami jalan keluarnya setelah menderita ketunaan,
untuk bangkit kembali.
 Revalidasi adalah upaya untuk mempersiapkan fisik, mental, dan sosial anak
tunadaksa untuk memperoleh bimbingan jabatan dan latihan kerja.
 Revalidasi fisik dapat dilakukan oleh dokter dan paramedia melalui operasi
ataupun pengobatan yang lain. Adapun revalidasi mental dilakukan konselor
melalui pemberian informasi, petunjuk, dan nasihat yang diperlukan.
 Vocational Guidance adalah pemberian bimbingan kepada penderita tundaksa
dalam kaitannya pemilihan jabatan yang sesuai dengan kondisi anak
tunadaksa.
 Vocational assessment adalah penilaian terhadap kemampuan penyandang
kelainan melalui sebuah bengkel kerja dalam melakukan berbagai aktivitas
keterampilan.
 Teamwork adalah kerjasama berbagai ahli yang tergabung dalam tim
rehabilitasi, seperti kedokeran, ahli terapi fisik, pekerja sosial, konselor dan
ortopedagog.
 Vocational training adalah pemberian kesempatan latihan kerja agar
penyandang tunadaksa mandiri dan produktif, serta berguna bagi masyarakat
di lingkungannya.
 Selective placement adalah penempatan para penyandang tunadaksa pada
jabatan setelah selesai menjalin pendidikan dan latihan selama rehabilitasi.
 Follow up tindak lanjut yang dilakukan setelah penyandang tunadaksa
menempati jabatan pekerjaan.
3. Rehabilitasi Psikososial
Rehabilitasi psikososial adalah rehabilitasi yang dilakukan dengan harapan
mereka dapat mengurangi dampak psikososial yang kurang menguntungkan bagi
perkembangan dirinya. Pelaksanaan rehabilitasi psikososial dalam kaitannya
dengan program rehabilitasi yang dilakukan secara bersamaan dan terintegrasi.
Sasaran yang hendak dicapai dalam program rehabilitasi psikososial secara khusus
dapat meminimalkan dampak psikososial sebagai akibat dari kelainan yang di
deritanya; meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri; memupuk semangat
juang dalam meraih kehidupan dan penghidupan yang lebih baik, serta
menyadarkan pada tanggung jawab diri sendiri, serta keluarga, masyarakat dan
negara, dan mempersiapkan mental penyandang tunadaksa kelak setelah terjun
dimasyarakat sehingga dapat berperan aktif tanpa harus merasa canggung atau
terbebani oleh ketunaan atau kelainannya. Beberapa pendekatan yang lazim
digunakan dalam rehabilitasi psikososial, antara lain bimbingan individual,
bimbingan kelompok, pelayanan dan bantuan sosial.

2.5. DAMPAK ANAK TUNADAKSA


Dampak anak berkebutuhan khusus tunadaksa yang akan dibahas dalam hal ini sebagai
berikut.
a. Dampak Aspek Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan
pada sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama
dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem
cerebral, tingkat kecerdasan berentang mulai dari tingkat sangat rendah sampai dengan
sangat tinggi. Hardman mengemukakan bahwa 45% anak cerebral pasly mengalami
keterbelakangan mental (tunagrahita), 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal dan
di atas normal. Sisanya berkecerdasan sedikit dibawah rata-rata. Selanjutnya, P. Seibel
mengemukakan bahwa tidak ditemukannya hubungan secara langsung antara tingkat
kelainan fisik dengan kecerdasan anak. Artinya anak cerebral palsy yang kelainannya
berat, tidak berarti kecerdasan rendah.
Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami
kelainan persepsi, kognisi, simbolisasi. Kelainan persepsi terjadi karena saraf
penghubung dan jaringan saraf otak mengalami kerusakan ke otak oleh saraf sensoris,
kemudian ke otak (yang bertugs menerima dan menafsirkan, serta menganalisis)
mengalami gangguan.
Kemampuan kognisi terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga
mengganggu kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta
akhirnya anak tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang
terjadi terus-menerus melalui persepsi dengan menggunakan media sensori (indra).
Gangguan pada simbolisasi disebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan
apa yang di dengar dan dilihat kelainan yang kompleks ini akan memengaruhi prestasi
akademiknya.
b. Dampak Sosial Emosi
Dampak sosial emosi anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang
merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang mengakibatkan
mereka malas belajar, bermain dan berperilaku salah lainnya. Kehadiran anak cacat
yang tidak diterima oleh orangtua dan disingkirkan dari masyarakat akan merusak
perkembangan pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak
tunadaksa akan dapat menimbulkan timbulnya problem emosi, seperti mudah
tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan
frustasi. Problem emosi seperti itu, banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan
gangguan sistem cerebral. Oleh karena itu, tidak jarang dari mereka yang tidak
memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosialnya.
c. Dampak Fisik Dan Kesehatan
Dampak fisik dan kesehatan anak tunadaksa selain mengalami cacat secara fisik
tubuhnya adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurang
daya pendengaran, penglihatn, gangguan bicara, dan sebagainya. Kelainan tambahan
itu banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara
disebabkan oleh kelainan motorik alat bicara (kaku dan lumpuh), seperti lidah, bibir,
dan rahang sehingga menggang pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya
bicaranya tidak dapat dipahami oranglain dan diucapkan dengan susah payah. Mereka
juga mengalami aphasia sensoris, artinya, ketidakmampuan dalam berbicara karena
organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia motorik, yaitu mampu
menangkap informasi dari lingkungan sekitar melalui indra pendengaran, tetapi tidak
dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak cerebral palsy mengalami kerusakan
pada pyramidal tract dan extrapymadial yang berfungsi mengatur sistem motorik.
Tidak heran mereka mengalami kekacauan, gangguan keseimbangan, gerakan tidak
dapat dikendalikan, dan susah pindah tempat. Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas
gangguannya dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam,
gelisah, hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam, gerakkan lamban dan kurang
merespons rangsangan yang diberikan; dan tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan
kaku, sulit melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak yang halus, seperti
menggambar, dan menari.
Tunadaksa merupakan sebutan halus bagi orang-orang yang memiliki kelainan
fisik, khususnya anggota badan, seperti kaki, tangan, atau bentuk tubuh. Tunadaksa ada
yang memiliki kemampuan daya pikir lebih tinggi dibandingkan anak normal pada
umumnya. Tidak jarang kelainan yang dialami oleh penyandang tunadaksa tidak
membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan jiwa dan pertumbuhan fisik serta
kepribadiannya. Demikian pula diantara anak tunadaksa hanya mengalami sedikit
hambatan sehingga mereka dapat mengikuti pendidikan sebagaimana anak normal
Bagi anak yang mempunyai keluarbiasaan dibawah normal, pada umumnya
akan terhambat perkembangannya, kecuali jika ia mendapat pelayanan yang sesuai
dengan kebutuhan. Tingkat keluarbiasaan juga menghasilkan dampak yang berbeda
bagi anak. Anak yang menderita keluarbiasaan yang bersifat ringan mungkin masih
mampu menolong diri sendiri. Makin parah tingkat keluarbiasaan, dampaknya bagi
anak juga semakin parah.
Dampak keluarbiasaan bagi anak, keluarga, dan masyarakat bervariasi sesuai
dengan latar belakang budaya, pendidikan, dan status sosial ekonomi. Bagi anak,
keluarbiasaan akan mempengaruhi perkembangannya dan berdampak selama
hidupnya. Intensits dampak ini dipengaruhi pula oleh jenis dan tingkat keluarbiasaan
yang diderita, serta masa munculnya keluarbiasaan bagi keluarga, dampak
keluarbiasaan bervariasi, tetapi pada umumnya keluarga merasa syok dn tidak bisa
menerima keluarbiasaan (dibawah normal) yang di derita oleh anaknya. Adanya ABK
dalam keluarga dan masyarakat membuat keluarga dan masyarakat menyediakan
layanan, fasilitas yang dibutuhkan oleh ABK tersebut.
Menurut Krik dan Gallahan, dengan adanya anak yang berkelainan di tengah-
tengah keluarganya, orangtua mengalami dua kristis yang terjadi, yaitu orangtua
menghadapi anaknya sebagai kondisi kematian secara simbolis dan masalah yang
berkaitan dengan kesulitan orangtua dalam merawat, membimbing, dan mendidik anak
yang berkelainan.
Shontz menggambarkana adanya empat tahap reaksi orangtua terhadap kelainan
yang terjadi pada anaknya, sebagai berikut.
 Orangtua merada terpukul dan syok dengan kondisi anaknya.
 Tahap dimana orangtua merasa ragu-ragu terhadap kemampuannya dalam
merawat anak, perasaan benci terhadap diri sendiri dan merasa berdosa.
 Tahap menghindari dari kenyataan dan menyerahkan anaknya ke panti-panti
 Tahap pengakuan dimana orangtua mulai memelihara anaknya dengan jalan
mencari informasi dan berkonsultasi pada para profesional.
Dampak keluarbiasaan tunadaksa yang tak hanya dirasakan oleh penyandang,
berpengaruh besar bagi pribadinya, keluarga, dan masyarakat. Anggapan yang
notabenenya negatif hampir selalu disematkan kepada para penyandang tunadaksa.
Kebanyakan masyarakat menganggap mereka berbeda, tidak berdaya, selalu
membutuhkan orang lain, dan atau menjadi beban orang lain.
Pandangan masyarakat yang demikian, sudah tentu tidak semuanya benar
sebab pandangan tersebut selalu dikaitkan dengan kondisi kelainannya. Masyarakat
belum melihat bagaimana potensi dan sisa kemampuan yang masih dimiliki anak
berkelainan. Apabila masyarakat sudah melihat kemampuan dan ketidakmampuan
secara seimbang, dan ternyata anak tidak memiliki kemungkinan untuk berkembang
(walaupun sudah diberi bantuan), maka pandangan diatas mungkin ada benarnya.
Meskipun demikian, apabila yang terjadi ternyata sebaliknya, artinya anak masih
sangat mungkin untuk di kembangkan kemampuannya, maka pandangan yang bernada
negayif terhadap anak berkelainan tersebut sudah tentu salah. Banyak pengalaman
menunjukkan bahwa ada penyandang kelainan yang ternyata memiliki kesuksesan
hidup yang lebih baik daripada orang normal, baik ditinjau secara ekonomis,
pendidikan, status sosial, dan lain-lain.

2.6. INTERVENSI ANAK TUNADAKSA


Dalam dunia pendidikan pada prinsipnya guru mempuyai peranan ganda. Di satu
pihak, guru berfungsi sebagai pengajar, pendidik, dan pelatih bagi anak didik. Dipihak lain
guru berfungsi sebagai pengganti orang tua murid di sekolah. Dengan demikian secara tidak
langsung mereka dituntut menjadi manusia serbabisa dan serbabiasa, lebih-lebih bila
dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan pada saat ini, yaitu bahwa orangtua dan
masyarakat pada umumnya masih mempunyai anggapan yang keliru. Mereka berpendapat
bahwa berhasil atau tidaknya pendidikan anak-anak mereka diserahkan sepenuhnya pada
pihak sekolah, termasuk di dalamnya para guru, tanpa ikut campur mereka.
Keadaan semacam ini lebih komplet lagi dalam dunia pendidikan luar baisa karena
subjek didik yang dihadapi memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu, baik kemampuan
fisik, mental, emosi maupun dalam usaha penyesuaian diri dengan pihak luar atau
lingkungan sekitar. oleh karena itu, tugas guru semakin berat yang dituntut keahlian serta
keterampilan tertentu, baik dalam bidang metodologi yang bersifat khusus. Maupun dalam
bidang pelayanan terapi. Pelayanan terapi yang diperlukan anak tunadaksa antara lain
sebagai berikut.
1. Latihan wicara (speech Therapy)
2. Fisioterapi
3. Occupational Therapy
4. Hydro Therapy
Anak tunadaksa pada dasarnya sama dengan anak-anak normal lainnya. Kesamaan
tersebut dapat dilihat dari fisik dan psikososial. Dari segi fisik, mereka dapat makan,
minum, dan kebutuhan yang tidak dapat ditunda dalam beberapa menit, yaitu bernapas,
sedangkan dari segi psikososial, mereka memerlukan rasa aman dalam bermobilisasi, perlu
afiliasi, butuh kasih sayang dari oranglain, diterima dan perlu pendidikan. Adapun unsur
kesamaan kebutuhan antara anak tunadaksa dan anak normal karena pada dasarnya mereka
miliki fitrah yang sama sebagai manusia.
Pandangan yang melihat anak tunadaksa dan anak norma dari sudut kesamaan akan
lebih banyak memberikan layanan optimal untuk mengembangkan potensi yang
dimilikinya, ketimbang pandangan yang semata-mata mengekspos segi kekurangannya.
Tidak dapat dipungkiri orang sering melihat orang laintenatnag kelemahannya sehingga
yang muncul adalah kritik ata cemoohan. Kiranya demikian, andaikata kita melihat anak
tunadaksa semata-mata dari kecacatannya. Oleh karena itu, pandangan yang mendahulukan
sifat positif pada anak tunadaksa perlu dimasyarakatkan supaya kesempatan perkembangan
dirinya yang baik semakin lebar. Pendidikan yang juga merupakan kebutuhan anak
tunadaksa perlu direncanakan dan dilaksanakan dengan mengacu pada kemampuan
masing-masing anak tunadaksa. Melalui pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Anak-anak tunadaksa diharapkan memiliki masa depan yang tidak selalu bergantung pada
orang lain dan masyarakat.

2.7. MODEL PELAYANAN PENDIDIKAN ANAK TUNADAKSA


Tujuan pendidikan anak tunadaksa bersifat ganda (dual purpose), yaitu yang
berhubungan dengan aspek rehabilitasi pemulihan dan pengembangan fungsi fisik, dan
yang berkaitan dengan pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan nasional
bertujuan untuk mengembangankan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Frances P. Connor mengemukakan sekurang-kurangnya ada 7 aspek yang perlu di
kembangkan pada diri masing-masing anak tunadaksa melalui pendidikan, yaitu : (1)
pengembangan intelektual dan akademik (2) membantu perkembangan fisik (3)
meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak (4) mematangkan aspek
sosial (5) mematangkan moral dan spiritual (6) meningkatkan eksperesi diri, dan (7)
mempersiapkan masa depan anak. Adapun prinsip dasar program pendidikannya meliputi
hal-hal berikut ini.
1. Keseluruhan anak (all the children)
2. Kenyataan (reality)
3. Program yang dinamis (a dynamic program)
4. Kesempatan yang sama (Equality of opportunity)
5. Kerja sama (Cooperative)
Adapun prinsip khusus pendidikannya terdiri dari prinsip multisensori dan prinsip
individualisasi. Multisensori berarti banyak indra, maksudnya dalam proses pendidikan
pada anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra
yang ada dalam diri anak agar kesan pendidikan yang diterimanya lebih baik. Prinsip
individualisasi berarti kemampuan masing-masing diri individu lebih dijadikan titik tolak
dalam memberikan pendidikan pada mereka. Model pelayanannya dapat berbentuk
individual dan klasikal pada individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir
sama, bahan pembelajaran yang diberikan pada siswa sesuai dengan kemampuan masing-
masing anak. Layanan pendidikan untuk anak tunadaksa dapat dilakukan dengan
pendekatan guru kelas, guru mata pelajaran/bidang studi, campuran dan pengajaran tim.
Pembelajaran disekolah idealnya sebagai berikut.
1. Perencanaan kegiatan belajar mengajar : program pendidikan di individualisasikan.
2. Prisip pembelajaran : prinsip multisensori dan prinsip individualisasi.
3. Penataan lingkungan belajar.
4. Bangunan gedung memprioritaskan tiga kemudahan : mudah keluar masuk, mudah
bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian.
5. Personel guru PLB, guru reguler, dokter ahli anak, dokter ahli rehab medis, dokter
ahli ortopedi, dokter ahli saraf, psikolog, guru BP, social worker, fisioterapist,
occupational therapist, speechterapist, orthotic, dan prosthetic.
6. Bimbingan belajar : anak tunadaksa memerlukan bimbingan belajar membeca,
menulis, dan berhitung. Ketiga kemampuan dasar ini perlu memperoleh layanan
sedini mungkin sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak, manakala telah
memasuki program sekolah dasar.
7. Pembinaan karir dan pekerjaan untuk mempersiapkan masa depan anak, di sekolah
perlu adanya pembinaan karir. Pengertian karir tidak hanya dipandang sebagai
pekerjaan yang diberikan pada tamatan sekolah menengah atas, tetapi dibutuhkan
oleh siswa sejak Taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Pada jenjang TKLB
dan SDLB materi pembelajaran adalah untuk memberikan pengertian dasar
mengenai kemungkinan pekerjaan dalam hidup kelak dan memberikan kesadaran
bahwa sekolah memberi kesempatan untuk bereksplorasi dalam mempersiapkan
kehidupan kelak; sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi selain melanjutkan
materi tersebut telah di arahkan pada prevokasional maupun vokasional.

Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan bagi anak tidak selalu harus berlangsung
di suatu lembaga pendidikan khusus sebab sebagian dari anak tunadaksa, pendidikannya
dapat berlangsung di sekolah dan di kelas reguler/sekolah umum.
Dari kenyataan dilapangan bahwa anak tunadaksa memiliki problem penyerta.
Problem penyerta ini berbeda-beda antar seorang anak tunadaksa yang satu dengan yang
lainnya, bergantung pada penyebab ketunaannya, serta berat ringannya ketunaannya. Atas
dasar kondisi anak tunadaksa tersebut, maka model pelayanan pendidikannya dibagi pada
“Sekolah Khusus” dan “Sekolah Terpadu/Inklusi”.
1. Sekolah Khusus
Pelayanan pendidikan bagi anak tunadaksa di sekolah khusus ini diperuntukkan
bagi anak yang memiliki probelum lebih berat, baik problem penyerta intelektualnya,
seperti retadasi mental maupun problem penyerta ksulitan lokomosi (gerakan) dan
emosinya.
Disekolah khusus ini pelayanan pendidikannya dibagi menjadi dua unit, yaitu
unit sekolah khusus bagi anak tunadaksa ringan, dan unit sekolah khusus bagi anak
tunadaksa sedang.
a. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Ringan (SLB-D)
Pelayanan pendidikan diunit tunadaksa ringan atau SLB-D diperlukan bagi
anak tunadaksa yang mempunyai problem penyerta retardasi mental, yaitu anak
tunadaksa yang mempunyai intelektual rata-rata atau bahkan diatas rata-rata
intelektual anak normal. Namun, anak kelompok ini belum di tempatkan disekolah
terpadu/sekolah umum karena anak masih memerlukan terapi-terapi seperti
fisioterapi, speech therapy, occuppational therapy, dan atau terapi yang lain. Dapat
juga terjadi karena derajat kecacatannya terlalu berat.
b. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Sedang (SLB-D1)
Pelayanan pendidikan diunit ini, diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang
mempunyai problem, seperti emosi, perspesi, atau campuran dari ketiganya disertai
problem penyerta retardasi mental. Kelompok anak tunadaksa sedang ini
mempunyai intelektual di bawah rata-rata anak normal.
2. Sekolah Terpadu/Inklusi
Bagi anak tunadaksa dengan problem penyerta relatif ringan, dan tidak disertai
dengan problem penyerta retardasi mental akan sangat baik jika sedini mungkin
pelayanan pendidikannya dengan anak-anak normal lainnya disekolah reguler/sekolah
umum. Karena anak tunadaksa tersebut sudah dapat mengatasi problem fisik maupun
intelektual serta emosionalnya.
Walaupun kondisi anak penyerta anak tunadaksa cukup ringan, sekolah reguler
di tunjuk untuk melayani pendidikannya perlu persiapan yang matang terlebih dahulu,
baik persiapan sarana maupun prasarananya. Seperti persiapan aksesilibitas misalnya
meminimalkan trap-trap atau tangga-tangga. Jika memungkinkan dibuatkan ramp-
ramp untuk akses kursi roda, atau bagi anak yang khusus menggunakan alat bantu jalan
lainnya, seperti kruk atau wolker. Bentuk meja atau kursi belajar disesuaikan dengan
kondisi anak. Hal demikian memerlukan persiapan yang lebih terencana sehingga tidak
menimbulkan problem tambahan bagi anak tunadaksa. Juga bentuk toilet, kloset harus
dapat dipergunakan bagi anak yang menggunakan kursi roda. Di samping itu, sistem
guru kunjung dapat membantu memecahkan permasalahan yang mungkin timbul akibat
anak tunadaksa di kemudian hari.
3. Ketenagaan Khusus, Kurikulum dan Administrasi
a. Ketenagaan
 Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan untuk Pendidikan Luar Biasa bagian D (tunadaksa)
adalah guru yang secara khusus mempersiapkan diri untuk mengajar anak
tunadaksa yang mempunyai masalah dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai
dengan Tingkat Menengah. Di samping itu, juga dapat merencakan dan
melaksanakan tugas pendidikan bagi anak yang sedang dalam perawatan
operasi.
Tenaga guru yang diperlukan adalah sebagai berikut :
 Guru kelas atau guru bidang studi.
 Guru keterampilan.
 Guru agama.
 Guru olahraga.
Persyaratan tenaga guru/pendidik adalah sebagai berikut :
 Tamatan minimal SGPLB, sarjana muda/DIII, sarjana pendidikan luar
biasa dari IKIP/Universitas.
 Untuk guru agama dari PGA, DII, S1 IAIN, atau sederajat.
 Untuk guru olahraga dari DIII, S1 IKIP/Universitas.
 Untuk guru keteranpilan DIII, S1 IKIP/Univerasitas.
 Untuk guru bidang studi minimal DIII, S1 IKIP?Universitas dari jurusan
yang sesuai
 Tenaga Ahli
Tenaga ahli diperlukan untuk hal-hal berikut ini :
 Remedial Teaching
Guru yang mendapat tugas khusus untuk remedial atau bertugas memberi
bimbingan dan penyuluhan.
 Tim Rehabilitasi
1). Dokter umum.
2). Dokter anak.
3). Dokter anak pediatri.
4). Dokter ortopedi,
5). Konselor.
6). Psikolog.
7). Orthopedagogik.
8). Specch Therapist.
9). Occupational Therapist.
10). Pekerja Sosial
 Tenaga Administrasi
Tenaga administrasi untuk pendidikan luar biasa bagian D (tunadaksa)
adalah sebagi beriku.
1). Kepala Sekolah.
2). Wakit Kepala Sekolah.
3). Bendahara.
4). Tenaga Usaha, yang dapat melaksanakan : agendaris, inventaris, dan
pengetikan.
5). Pesuruh/pembantu sekolah.
 Kurikulum
Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum PLB tahun 1994 yang terdiri dari
 Landasan program.
 Garis-garis program pengajaran.
 Pedoman pelaksanaan.
 Administrasi
Administrasi yang digunakan adalah administrasi yang sesuai dengan pedoman
administrasi yang telah dibukukan, antara lain sebagai berikut.
 Administrasi program pengajaran.
 Administrasi kepegawaian,
 Administrasi keuangan.
 Administrasi perlengkapan dan barang.

2.8. PERAN BIMBINGAN KONSELING BAGI ANAK TUNADAKSA


Peran bimbingan kosneling pada anak tunadaksa adalah bagaimana pelayanan yang
mampu membuat anak tunadaksa mandiri dan terus membuat anak tersebut menjadi anak
yang mampu mengasah kreativitas serta mengenal kehidupam sosial yang ada
dimasyarakat.
1. Pengertian Bimbingan dan Konseling untuk Anak Tunadaksa
Bimbingan dan konseling anak tunadaksa adalah bantuan yang diberikan oleh
seorang kepada anak yang mengalami ketunadaksaan dalam menumbuhkan rasa
percaya diri, harga diri, dan kemampuan diri untuk menghadapi perubahan-perubahan
yang terjadi pada diri dan lingkungannya agar mampu mandiri.
2. Tujuan Bimbingan dan Konseling untuk Anak Tunadaksa
Tujuan layanan bimbingan dan konseling bagi anak tunadaksa pada setiap
satuan pendidikan luar biasa adalah sebagai berikut.
a. Tujuan Bimbingan dan Konseling di TKLB
 Membantu anak didik agar secara sosioemosional dapat memulai masa transisi
dari kehidupan di rumah ke kehidupan di lingkungan sekolah.
 Membantu anak tunadaksa untuk mengurangi atau menghilangkan secara
bertahap kebiasaan buruk dan memupuk kebiasaan yang baik.
 Membantu menyiapkan perkembangan mental anak untuk masuk SD/SLB.
 Membantu orangtua untuk mengerti dan memahami anak sebagai individu.
 Membantu orangtua dalam mengenali kebutuhan anak.
 Membantu dalam mengatasi gangguan emosi anak yang ada hubungannya
dengan kelahiran anak maupun situasi keluarga di rumah.
 Membantu orangtua anak khususnya anak tunadaksa dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari kelainan mereka.
b. Tujuan Bimbingan dan Konseling di SDLB
 Membantu siswa tunadaksa agar secara sosioemosional dapat melalui masa
transisi dari lingkungan TK/lingkungan keluarga ke ingkungan SD/SDLB.
 Membantu siswa mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi, baik dalam
kegiatan belajar maupun kegiatan pendidikan pada umumnya.
 Membantu siswa dalam memahami dirinya (kelebihan, kekurangan, dan
kelainan yang disandang) maupun lingkungannya.
 Membantu siswa dalam melakukan pilihan yang tepat untuk melanjutkan
pendidikan di SLTP umum/SLTPLB.
 Membantu orangtua dalam mengambil keputusan untuk memilih jenis sekolah
yang sesuai dengan kemampuan diri dari kelainan tunadaksa tersebut.
 Membantu orangtua dalam memahami anak dan kebutuhannya, baik sebagai
makhluk individual maupun sebagai makhluk sosial.
3. Prinsip-Prinsip Layanan Bimbingan dan Konseling Anak Tunadaksa
a. Sasaran Layanan Bimbingan dan Konseling
 Bimbingan dan konseling ditunjukan kepada semua individu yang berkelainan
tanpa memandang umur, suku, agama, dam status sosial ekonomi.
 Bimbingan dan konseling berurusan dengan pribadi berkelainan yang unik.
 Bimbingan dan konseling memperhatikan sepenuhnya tahap dan berbagai
aspek perkembangan individu yang berkelainan.
 Bmbingan dan konseling memberikan perhatian yang utama kepada perbedaan
individu yang berkelainan yang menjadi pokok layanannya.
b. Permasalahan Individu
Permasalahan yang dihadapi oleh individu adalah kompleks sedapat
mungkin dikecilkan. Oleh karena itu, dalam pelayanan bimbingan dan konseling
perlu melibatkan orangtua, sekolah dan masyarakat.
c. Program Layanan Bimbingan dan Konseling
 Layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan
dan perkembangan individu. Oleh karena itu, program bimbingan dan
konseling harus disesuaikan dan dipadukan dengan program pendidikan serta
pengembangan peserta didik.
 Program bimbingan dan konseling harus fleksibel, disesuaikan dengan
ketubuhan indivdu, masyarakat dan kondisi lembaga.
 Program bimbingan dan konseling disusun dari jenjang pendidikan yang
terendah sampai yang tertinggi.
 Terhadap isi dan pelaksanaan program bimbingan dan konseling perlu ada
kegiatan penilaian yang teratur dan terarah.
4. Ruang Lingkup Bimbingan dan Konseling Anak Tunadaksa
Ruang lingkup layanan bimbingan dan konseling pada satuan pendidikan luar
biasa, menekankan pada 4 bidang sebagai berikut.
a. Bimbingan dan Konseling Pribadi-Sosial
Untuk mencapai tujuan tugas perkembangan pribadi-pribadi dalam
mewujudkan pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Untuk anak tunadaksa,
yakni membentuk pribadi yang mandiri dan tidak selalu bergantung pada orang lain.
b. Bimbingan dan Konseling Pribadi
Untuk mencapai tujuan tugas perkembangan pendidikan dalam
mewujudkan pribadi sebagai pelajar yang efektif. Anak tunadaksa diharapkan
mampu menggunakan waktu yang tersedia secara efektif untuk kepentingan
pendidikan, memilih strategi belajar yang sesuai, dan dapat mencapai prestasi yang
optimal.
c. Bimbingan dan Konseling Karier
Untuk mencapai tujuan dan tugas perkembangan karier dalam mewujudkan
pribadi yang produktif. Diharapkan anak tunadaksa mampu mengenal dan
menyadari kekurangan serta kelebihan, minat, bakat, dan potensinya.
d. Bimbingan dan Konseling Penggunaan Waktu Luang
Sebagai upaya untuk membantu peserta didik dalam mengatur waktu yang
tersedia seefektif mungkin. Anak tunadaksa diharapkan dapat memanfaatkan waktu
luang dimanapun mereka berada, baik untuk kepentingan pengembangan pribadi-
sosial, belajar, maupun, karier sehingga tidak banyak waktu yang terbuang sia-sia
tanpa digunakan untuk kegiatan yang bermanfaat.
5. Pendekatan Bimbingan dan Konseling Anak Tunadaksa
Pendekatan layanan dan bimbingan konseling yang paling tepat dilaksanakan di
sekolah adalah bimbingan dan konseling yang bersifat mengembangkan. Disamping
itu, pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling perlu digunakan pendekatan
terpadu, yakni terpadu dengan seluruh kegiatan pendidikan di sekolah baik kurikulum
maupun ekstrakulikuler.
Kecacatan yang dialami anak tunadaksa adalah heterogen dan kompleks
sehingga persoalan-persoalan yang muncul pada masing-masing anak selalu bervariasi
baik jenis maupun derajat kualitasnya. Oleh karena itu, diperlukan teknik pendekatan
yang mampu menangani dan mengantisipasi masalah-masalah yang timbul pada diri
anak tunadaksa disekolah dengan menggunakan pendekatan tim dengan istilah lain
pendekatan multidisipliner.
Pendekatan multidisipliner yang dirancang dalam penyelenggaraan pendidikan,
dimaksudkan untuk meningkatkan layanan yang dibutuhkan oleh anak-anak tunadaksa.
Dalam pendekatan multidisipliner ini melibatkan banyak ahli yang profesional dalam
bidangnya masing-masing. Dalam bekerja mereka ada yang bersama-sama dan ada pula
yang bekerja sendiri-sendiri sesuai dengan keahliannya.
Untuk mengembangkan kemampuan masing-masing anak tunadaksa adalah
tugas guru pendidikan luar biasa, khususnya yang mengambil bidang kajian mayor
pendidikan untuk anak tunadaksa. Seseorang yang memiliki tanggungjawab
profesional dituntut untuk tampil secara profesional pula. Jenis penampilan yang
seyogianya dikuasai guru pendidiakn luar baisa, meliputi hal-hal berikut ini.
a. Kemampuan mengolah kegiatan belajar mengajar.
b. Kemampuan melaksanakan bimbingan dan konseling belajar.
c. Kemampuan menjadi penghubung antara sekolah dan masyarakat.
d. Kemampuan mengolah administrasi kelas.
Dengan demikian peran guru kelas atau guru mata pelajaran dapat membantu
program layanan bimbingan dan konseling yang dipadukan dengan kegiatan-kegiatan
pendidikan dan/atau pengajaran yang dilaksanakannya.
6. Teknik Layanan Pada Bimbingan dan Konseling Anak Tunadaksa
Dilihat dari sumber inisiatif dalam memberikan layanan, maka teknik
bimbingan dan konseling dapat dibedakan menjadi beberapa macam.
a. Teknik direktif, yaitu layanan bimbingan dan konseling inisiatif terbesarnya
berpusat pada pihak pembimbing/konselor.
b. Teknik nondirektor, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang inisiatif
terbesarnya berpusat pada pihak siswa.
c. Teknik elektrik, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memadukan antara
teknik direktif dan nondirektf.

Anda mungkin juga menyukai